BAGIAN 38 : SETERU LAMA
Karena tak disambut sewajarnya, dengan gusar Ko Thay menimpukan sepotong kayu kearah meja perjamuan. Tapi dengan tenaga lwekang Ang Hwat Cinjin dan Kiang Siang Yan muncratkan isi cawan mereka keudara.
Siraman arak dari Ang Hwat cinjin dan Kiang Siang Yan itu menggunakan lwekang. Sebenarnya kalau meniIai soal kepandaian, Kui-ing-cu setanding dengan Kiang Siang Yan, si Bongkok berdua dengan Ko Thay dapat menghadapi Ang Hwat cinjin. Sayang lwekang dari Kui-ing-cu sebagian besar sudah habis karena menolong Sik Lo-sam itu. Jadi dalam adu lwekang tadi, ketiga orang dari fihak tetamu, telah kalah. Begitu terciprat arak, kutungan kayu tadi segera miring kesamping dan jatuh ketanah.
Dari gebrak itu saja, cukuplah sudah diketahui tentang kekuatan masing2. Dan yang paling dibuat sayang, kini nyata2 Kiang Siang Yan sudah kena, dibohongi The Go dan berdiri difihak Ang Hwat, Ceng Bo siangjin pedih hatinya. "Hong-moay kau........", saking terharunya dia tak dapat melanjutkan kata2nya apalagi kala itu Kiang Siang Yan sedikitpun tak mau menghiraukan dan melainkan tertawa dingin.
Ceng Bo sadar bahwa pertempuran hari itu merupakan soal hidup atau mati. Ber-hari2 dia mondar mandir kesana Mini untuk menjumpai beberapa sahabat persilatan yang mempunyai tujuan sama. Berhasil atau tidaknya usaha mereka untuk mengusir kaum penjajah Ceng dari bumi Tiongkok, adalah mengandalkan tenaga persatuan dari para kaum pahlawan pencinta negeri itu. Ah, mengapa dia masih berat dipengaruhi hubungan suami-isteri serta ayah-anak lagi ? Demi sang hati terbuka, pikirannyapun longgar. Tak lagi dia merasa pedih. "Ang Hwat cinjin, bukankah kau mengundang kami kemari, mengapa begitu macam cara penyambutanmu ? Kau adalah seorang soko-guru dari dunia persilatan, mengapa masih dilekati sifat2 tak kenal aturan begitu ?" serunya.
Setiap patah dari ucapan Ceng Bo itu, memang sukar dibantah. Memang rencana untuk membuat panas hati para tetamu itu, adalah keluar dari pikiran The Go. Menurut rencana, begitu musuh panas hati, dia terus jalankan program yang ditetapkan menurut rencana The Go itu. Tapi ternyata Ang Hwat bukan The Go. Dia adalah seorang cianpwe dari dunia persilatan yang mempunyai gengsi agung. Walaupun dia mau merendah sedikit, turun gunung menyambut kedatangan sepasang suami-isteri Swat Bwe dan Hwat Siau yang dikirim oleh pemerentah Ceng itu, namun dia tetap bukan golongan orang rendah macam The Go. Maka demi mendengar cercaan Ceng Bo tadi, seketika dia berbangkit dan berseru: "Siapkan sebuah meja perjamuan lagi!"
Dalam sebentar saja perentah itu telah dilaksanakan. "Silahkan hadirin sekalian duduk," katanya sambil memberi hormat kepada para tetamunya, kemudian duduk pula. Menurut anggapannya, perbuatannya itu sudah cukup dari menghormat.
Ceng Bo tak mau banyak peradatan lagi, segera maju mengambil tempat duduk. Jarak antara kedua meja mereka itu, hanya terpisah satu meteran. Kalau sewaktu2 Ang Hwat menyerang, tentu sukarlah baginya untuk lolos. Namun sedikitpun siangjin itu tak mengunjuk rasa jeri. Lain2 kawannyapun segera menaulad tindakannya itu. Kui- ing-cu menyentuh Yan-chiu, katanya: "Siao-ah-thau, hatimu mendongkol tidak ?"
"Sudah tentu, Ang Hwat siimam tua itu benar2 kutu besar!" sahut Yan-chiu.
"Kuajarkan kau cara untuk melampiaskan kemendongkolanmu itu. Kau adalah seorang anak, mereka dibatasi dengan kedudukannya, tentu tak dapat meng- apa2kanmu. Kalau nanti suhumu menggegeri kau, akulah yang menanggung!" kata Kui-ing-cu, seraya membisiki beberapa patah, kata kedekat telinga sigenit.
Yan-chiu berseri girang. Sembari sebelah tangan mencekali bandringan yang tergantung dipinggang, ia ikut Kui-ing-cu menghampiri ketempat meja Ceng Bo tadi. Setiba, ditepi meja, tiba2 ia memutar tubuh dan berseru: "Ang Hwat locianpwe, subo dan Lian suci!"
Ketiga orang itu terkejut mendengar panggilan itu. Tanpa merasa mereka sama mendongakkan kepala. Bek Lian agaknya malu sendiri, maka lalu tundukkan kepala. Ang Hwat cinjin dan Kiang Siang Yan terpaksa mengulum suara tenggorokan "hem", yalah dimaksud sebagai jawaban. Adalah selagi kedua tokoh ini lengah karena memberi jawaban itu, tangan Yan-chiu sudah kibaskan bandringan melayang disisi punggung To Ceng dan To Bu, lalu menyusup kebawah meja mereka. Sekali tangan menyentak, maka buk ........ bola bandringan itu tepat menghantam bagian bawah permukaan meja.
Hantaman itu tak kurang dari berpuluh kati beratnya. Selagi Ang Hwat cinjin dan Kang Siang Yan bersuara tenggorokan tadi, tahu2 cawan dan mangkok piring diatas mejanya sama berhamburan keatas, Serambut dibelah tujuh, mereka tak mengira sama sekali kalau Yan-chiu berani melakukan perbuatan ugal2an itu. Buru2 Ang Hwat meniup keras2 dengan mulut untuk menghalau kuah panas yang hendak menyemprot mukanya, namun tak urung rambut kepalanya juga kena tersiram. Adalah Kiang Siang Yan yang paling tangkas. Begitu melihat ancaman datang, ia segera gunakan ilmu mengentengi tubuh thay-im-i-seng yang sakti, menarik Bek Lian untuk menghindar kesamping. Jadi hanya pakaiannya yang kena kesiraman sedikit.
Yang paling runyam, adalah ketiga tianglo dari Ci-hun-si itu dan The Go. Muka dan rambut mereka basah kuyup dikeramasi kuah (gulai). Oleh karena tak menyangka sama sekali dan gerakan Yan-chiu tadi datangnya secara tiba2 dan cepat sekali, jadi walaupun keramas dengan kuah panas namun keempat orang itu tetap ter-longong2 tak tahu apa yang telah terjadi. Dan selagi mereka berempat terlongong2 keheranan itu, tepat tiupan hawa mulut Ang Hwat cinjin tadi tiba. Oleh karena gusar, jadi cinjin itu meniup se- kuat2nya. Menurut tingkat kepandaian Ang Hwat, sekali meniup, bulu ayam sisik Man ataupun setitik air dapat berobah menjadi suatu senjata rahasia yang sangat hebat.
Sam-tianglo dari Ci-hun-si itu duduknya tepat berhadapan dengan Ang Hwat, jadi keadaannya tepat seperti yang dikatakan orang 'sudah jatuh dihimpit tangga pula'. Sudah tadi muka dan rambut mereka gebes2 dikeramasi kuah panas, kini dihujani semburan air panas oleh Ang Hwat, aduh mak, kalau badan lagi sial .............
Mereka menjerit rubuh ketanah, lalu bergelundungan kian kemari! Masih untung The Go berlaku sebat. Begitu mendengar tiupan mulut Ang Hwat, dia terus loncat menghindar. Ini berarti dia mendapat keringanan dari siksaan.
Tidak kecewa dara dari Lo-hu-san itu digelari nona genit tangkas dan lincah. Lincah lidahnya, tangkas tangannya. Ia dapat membandring dengan cepat tanpa diketahui orang, tapi iapun dapat menarik balik bandringannya itu dengan tak kurang cepatnya juga. Seperti tak terjadi suatu apa, dengan lenggang ia mengambil tempat duduk. Olok2 sigenit itu, telah dimainkan dengan hebat dan luar biasa bagusnya. Si Bongkok, Kui-ing-cu, dan lain2nya, sampai kaku perutnya karena ketawa. Sampaipun Ceng Bo siangjin yang biasanya tak suka bergurau, kali ini seperti di-kitik2 dan tak tahan mengekang tawanya. Dia melirik kearah muridnya yang nakal itu, siapa mengerti akan maksud sang suhu. Oleh karena diantara sekian orang itu hanya ia sendiri yang tak tertawa, maka untuk jangan sampai kentara, iapun turut tertawa cekikikan. Didalam fihak tuan rumah, Ang Hwat dan Kiang Siang Yan adalah tokoh2 persilatan kelas utama. Cepat2 keduanya dapat menguasai kejutnya tadi. Mendengar dimeja tetamu orang sama tertawa lepas2, tahulah mereka berdua kalau tadi perbuatan ugal2an itu adalah dari fihak tetamu yang melakukan. Tapi keduanya merasa malu dan heran sendiri. Mereka yakin akan tingginya kepandaiannya, namun apa dan bagaimana peristiwa tadi terjadi, benar2 keduanya tak mengetahui. Jadi terpaksa mereka diam menahan kemurkaan.
Ang Hwat perentahkan The Go supaya menggotong sam-tianglo Ci-hun-si. Ketiga tianglo itu benar memiliki lwekang yang tak lemah, namun karena Ang Hwat yang meniup, jadi mereka bertigapun parah juga lukanya. Ada beberapa kerat tulang ayam yang menyusup kedalam mukanya. Sewaktu satu per satu dicabuti, mereka sama mengerang2 kesakitan. Karena keadaannya setengah mati, terpaksa mereka digotong orang masuk kedalam kamar.
Dengan marahnya Ang Hwat titahkan lagi menyiapkan sebuah meja hidangan, kemudian suruh Ang-hun su-mo bertiga duduk mengisi kursi sam-tianglo yang kosong itu. Selagi keadaan menjadi tenang kembali, tiba2 Kui-ing-cu berseru keras: "Siao-ah-thau, terhadap orang yang tak tahu adat, memang begitulah caranya memperlakukan. Hayo, cucilah tanganmu dulu, nanti aku yang per-tama2 akan memberi selamat dengan secawan arak!"
Gelarnya saja dia itu hendak memberi selamat dengan arak, tapi pada hakekatnya sengaja dia suruh Ang Hwat dan Kiang Siang Yan mendengarkan jelas, bahwa yang melakukan perbuatan ugal2an tadi bukanlah tokoh2 lihay dari golongan fihak tetamu, melainkan hanya seorang anak perempuan dara yang tak ternama! Mendengar itu benar juga wajah Ang Hwat berobah, mengangkat cawannya dia kedengaran tertawa gelak2 dan berseru : "Ceng Bo siangjin, lama nian orang menyohorkan bahwa dua pedang pusaka suami-isteri kalian tiada tandingannya dikolong jagad ini. Harini sebagai tuan rumah, pinto hendak lebih dulu menghaturkan selamat secawan arak dadamu !"
Habis berkata begitu, dia taruhkan cawan keatas telapak tangan dan tiba2 telapak tangannya itu dicekungkan kebawah. Cawan arak itu memangnya sudah kecil, maka hampir separoh cawan itu seperti masuk kedalam telapak tangan Ang Hwat. Kemudian entah bagaimana caranya, tahu2 begitu telapak tangan itu dijunkatkan lagi keatas, wut........ cawan itu mumbul setengah meter tingginya. Setelah sejenak berhenti diatas, cawan itu pe-lahan2 melayang kearah tempat duduk Ceng Bo. Namanya saja Ang Hwat itu hendak memberi selamat dengan arak, tapi hal yang sebenarnya dia itu hendak membuat malu pada Ceng Bo.
Cawan itu tampaknya melayang dengan pelahan, tapi Ceng Bo dan kawan2 cukup mengetahui bahwa tadi Ang Hwat telah gunakan ilmu melempar senjata rahasia tingkat tinggi. Sedikitnya dia telah gunakan 8 bagian dari tenaganya lwekang, untuk mengantar cawan arak itu. Jangan lagi kini lwekang Ceng Bo siangjin sudah lumpuh daya lebih dari setengah bagian, sekalipun masih utuh, juga belum ketahuan apakah dia itu dapat menyambuti 'persembahan arak' istimewa itu. Dia tahu kalau berani menyambuti dengan lwekang, lengannya pasti akan putus. Baik disambuti atau tidakkah persembahan itu ? Dia dirundung kesangsian. Kalau disambuti, resikonya lengan putus. Kalau tidak menyambutnya, Ang Hwat tentu akan menyusuli lagi persembahan yang kedua. Jadi tanpa adu kepandaian, berarti dia sudah kalah ini.
Jarak kedua meja itu hanya satu meteran. Tempat duduk Ceng Bo tepat berhadapan dengan tuan rumah, jaraknya hanya kira2 satu tombak. Cawan arak itu walaupun pelahan melayangnya, namun dalam beberapa detik saja pasti akan sudah tiba. Ceng Bo mengambil putusan, lebih baik binasa daripada malu. Tapi ketika dia hendak, kerahkan seluruh sisa lwekangnya untuk menyambuti, tiba2 kedengaran Kui- ing-cu tertawa dan berseru lantang: "Aku yang rendah inipun hendak balas memberi hormat pada tuan rumah Anghun-kiong sini dengan secawan arak."
Sekali kelima jarinya dibuka, maka cawan arak yang digenggamnya itupun meluncur kemuka, tring tepat
membentur cawan Ang Hwat. Kui-ing-cu tadi telah
gunakan seluruh lwekangnya. Begitu berbentur, kedua cawan itu berhenti sebentar. Cawan Kui-ing-cu melayang kesamping, sementara cawan Ang Hwat masih tetap melayang kearah tujuannya semula (kearah Ceng Bo), tapi daya kekuatan-nya sudah berkurang separoh bagian. Sekalipun begitu, kala Ceng Bo menyambuti, lengannya dirasakan kesemutan nyeri sekali. Buru2 dia meneguknya habis. Ketika mengawasi kearah cawan Kui-ing-cu yang melayang kearah Ang Hwat cinjin, tampak cinjin itu ulurkan tangan untuk menyambuti, pyah....... tahu2 cawan itu pecah berantakan jatuh kebawah.
Kiranya sewaktu melayangkan cawan tadi, Kui-ing-cu telah gunakan akal. Tatkala saling berbentur dengan cawan Ang Hwat, cawannya itu tak sampai pecah. Ini karena kedua tokoh itu telah menggunakari ilmu lwekang sakti dengan perhitungan yang sangat tepat. Waktu me-layang2, cawan itu biasa saja, tapi begitu saling berbentur kedua benda itu keras bagai baja, maka tak sampai pecah. Kalau tak hujan tak angin begitu tiba dihadapan Ang Hwat, cawan itu terus pecah sendiri, itu juga permainan yang lihay dari Kui-ing-cu. Ini dimaksud untuk memper-olok2 Ang Hwat untuk yang kedua kalinya. Dari kejadian itu, dapatlah ditarik kesimpulan sampai dimana tinggi rendahnya kepandaian Kui-ing-cu. Dia adalah setingkat dengan Ang Hwat cinjin, Tay Siang Siansu dan Kang Siang Yan.
Tapi dalam soal peyakinan, mungkin Ang Hwat lebih lama. Sudah 50-an tahun dia berkecimpung dalam peyakinannya itu. Jauh2 ketika masih dalam jaman pemerentahan Beng, namanya sudah berkumandang diseluruh negeri. Dia pernah menerima undangan dari fihak pimpinan kim-i-wi (pasukan bayangkari istana) untuk datang kekota raja dan mengunjukkan kegagahan yang mengagumkan. Kalau mau, dulu2 dia sudah diangkat menjadi kepala kim-i-wi. Ini kejadian pada beberapa puluh tahun yang lampau. Kini peyakinannya makin sempurna lagi. Tapi dengan begitu, belumlah menjadi jaminan bahwa kebatinannya makin tinggi. Dalam beberapa tahun yang terachir ini, dia selalu mengeluh dalam batin, mengapa sampai dihari tua masih jadi "orang hutan" atau orang yang tinggal digunung saja. Maka ketika berkenalan dengan sam- tianglo Ci-hun-si yang berhamba pada pemerentah Ceng, dia rupanya penuju juga. "Makin tua makin gila", rupanya pembilangan orang begitu itu, memang beralasan.
Ang Hwat tak mau memegang buntut kucing (mendapat malu) untuk yang kedua kalinya. Cepat2 dia rangkumkan sepasang tangan kearah pecahan cawan dan arak yang berhamburan kebawah itu, sekali menyedot, pecahan cawan. dan arak itu naik lagi meluncur kedalam mulutnya, krucuk........., krucuk..........demikian bunyi tenggorokannya. Se-konyong2 mulutnya menganga dan fui......... pecahan keramik putih menyembur keluar, cret....., cret......, semua berhamburan menyusup pada sebuah tiang besar yang jauhnya antara satu tombak. Itulah pecahan cawan arak tadi.
Walaupun Kui-ing-cu seorang tokoh yang paling suka berolok2, tapi dia itu juga seorang lelaki jantan perwira. Melihat Ang Hwat mengunjuk demonstrasi kepandaian yang luar biasa itu, serta merta dia berseru memuji. "Ilmu kepandaian yang hebat!" serunya. Tapi pada lain saat dia kedengaran berkata pula: "Sayang sekali tak menjalankan didikan keras, hingga anak muridnya telah menodai kebesaran nama Ang-hun-kiong!"
Memang lihay kepandaian Kui-ing-cu, selihay itu pula mulutnya. Sedang. Tio Jiang dan Yan-chiu sama terlongong2 mengawasi pertunjukan istimewa itu. Kalau tak menyaksikan sendiri, mungkin mereka tak mau percaya bahwa didunia ini ternyata terdapat ilmu kepandaian macam begitu.
Memang apa yang dipertunjukkan Ang Hwat cinjin itu, luar biasa sekali. Kalau orang meneguk arak itu sih biasa. Tapi Ang Hwat telah meneguk arak yang bercampur dengan keping pecahan cawan. Kalau dia tak memiliki : ilmu lwekang yang tinggi, tentu mulutnya akan pecak rowak terkena tajamnya pecahan keramik. Tapi Ang Hwat telah memperhitungkan lebih dahulu. Begitu keping pecahan itu masuk kemulut, dia tiup dengan tekanan lwekang, hingga kepingan cawan itu menjadi hancur seperti bubuk. Setelah arak ditelan, bubuk cawan itu disemburkan keluar. Dia hanya tertawa dingin mendengar tetamu (Kui- ing-cu) memujinya. Berpaling kearah Kui-ing,cu, dia berseru: "Cunke telah menghaturkan hormat dengan secawan arak, pinto haturkan terima kasih. Murid Ang-hun- kiong dari tingkatan ke 3, juga akan mewakili pinto untuk membalas hormat.” Habis berkata begitu, mulutnya berkicup kearah The Go. tahu kalau sucounya itu menyuruhnya unjuk kepandaian. Heran juga dia dibuatnya, mengapa dalam waktu dan tempat begitu, orang masih hendak main hormat2an dengan cawan arak ? Terlebih heran pula mengapa sucounya menyuruh dia yang keluar ? Tapi walaupun heran, dia terpaksa harus menurut perentah sucounya itu. Dituangnya arak penuh2 kedalam sebuah cawan, tanpa mengeluarkan tenaga apa2, diapun lemparkan cawan itu kearah Kui-ing-cu. Tapi membarengi dengan itu, Ang Hwat kedengaran batuk2 dan suatu tenaga dahsyat terasa menyambar kearah cawan yang segera seperti berhenti sejenak diatas udara. Ah, kiranya sang sucou diam2 memberi bantuan, agar Kui-ing-cu mendapat malu.
Kalau cawan arak itu dihaturkan pada Ceng Bo siangjin, mungkin rencana Ang Hwat itu akan memberi hasil. Tapi yang diarah itu adalah Kui-ing-cu, si Setan Tanpa Bayangan yang cerdik tangkas itu. Dalam gelanggang segenting itu Ang Hwat suruh The Go maju, dia sudah menduga tentu ada udang dibalik batu. Setelah merenung sebentar dan mendengar Ang Hwat batuk2, cepat dia sudah dapat mencium bau.
"Murid angkatan ketiga dari Ang-hun-kiong menghaturkan arak, murid angkatan kedua dari Cin-wan- kuan yang hendak meminumnya!" serunya sembari memberi isyarat ekor mata kearah Yan-chiu dan lalu menampar kearah cawan arak itu. Benar kala itu lwekangnya tak sehebat Ang Hwat, tapi kalau Ang Hwat mengeluarkan lwekang dengan berbatuk2, adalah dia dengan sebuah tamparan biat-gong-ciang. Deru samberan anginnya telah membuat arah cawan itu miring kesamping jalannya. Juga Yan-chiu tak mengerti apa kemauan Kui-ing-cu tadi. Tapi serta tampak cawan arak itu melayang kearahnya, tahulah ia sudah. Sekali tangan menekan pada sandaran kursi, tubuhnya melayang keatas menyongsong datangnya cawan. Ia sudah mempunyai dasar latihan ilmu mengentengi cukup baik dari Ceng Bo siangjin, kemudian dapat mempelajari ilmu itu dari Tay Siang Siansu dan masih pula meminum mustika batu yang menambah kekuatan dan memperkokoh lwekang, maka bagaikan seekor burung waled ia melayang-layang. Dilihatnya gerak- layang dari cawan itu masih cukup keras jadi tentu belum melayang kebawah.
Untuk mencoba bagaimana kwaliteit ilmu mengentengi tubuhnya, ia mau unjuk demonstrasi. Selagi masih melayang, ia injakkan kaki kanan keatas tapak kaki kiri dan meminjam tenaga pijakan itu, tubuhnya segera lurus menjulang keatas sampai 2 meter tingginya. Dari situ ia menekuk tubuh membujur kemuka, dengan gunakan jurus gan-lok-ping-sah (burung meriwis jatuh dipasir datar), ia meluncur kemuka kesamping cawan itu, crup sekali hirup habis isi cawan itu diminumnya. Tangannya diulur menyambuti cawan yang kosong itu, begitu sang kaki menginjak tanah, ia enjot tubuhnya melayang kembali ketempat, duduknya semula.
Gerakan sinona tadi itu, sedikitpun tak mengeluarkan suara. Ia melayang maju mundur bagaikan seorang bidadari turun dari kahyangan saja. Sungguh indah sedap dipandang mata nian gerak layang dara dari Lo-hu-san itu. Sampaipun Kiang Siang Yan yang sejak tadi diam saja, kini tanpa terasa mengeluarkan suara tertahan ditenggorokan, suatu pujian secara diam2. Bek Lian segera membisiki beberapa patah kata kedekat telinga ibunya. Melihat itu The Go menduga, nona itu tentu mengiri akan kepandaian Yan chiu yang secara begitu tiba2 telah maju pesat sekali.
"Lian-moay, itu kan hanya permainan anak2 saja, apanya yang perlu dikagumi. Beberapa tahun lagi, kita berdua tentu akan dapat melebihinya!" The Go menghibur. Bek Lian puas.
Tiba2 datanglah seorang tosu melapor: "Ma Cap-jit dari Hoasan, cong-piauthau (pemimpin kantor pengantar barang) Liok Toa piaukiok dari Hui-ciu, Liat-hwat-cian Tiat Leng-koan serta Empat persaudaraan Li dari Haylam, telah tiba kemari !"
Mendengar itu Ceng Bo ber-gegas bangun untuk menyambut sahabat2 yang memang diundangnya itu. "Celaka.!" seru Kui-ing-cu, tapi dalam pada itu tampak Ma Capjit situkang tebang puhun dengan pikulannya sudah melangkah masuk. Yang disebut Tiat Leng-koan bergelar Liathwat-cian (panah api) itu adalah seorang yang bertubuh gemuk pendek. Sedang keempat persaudaraan Li itu mengenakan pakaian yang serba aneh, berasal dari kepulauan Haylam, pandai menggunakan senjata, rahasia. Ceng Bo mempersilahkan mereka duduk pada sebuah meja yang sudah disiapkan lagi dengan hidangan lengkap.
Tak antara berapa lama, haripun malam. Karena Ang Hwat masih tetap duduk menikmati arak, tahulah Ceng Bo bahwa semalam-malaman nanti tentu tiada orang yang tidur. Benar juga, perjamuan itu diteruskan sampai keesokan hari malah tidak cukup hanya sehari semalam saja, tapi berlangsung sampai 3 hari 3 malam tanpa mengaso. Bek Lian dan Ang-hun su-mo tampaknya sudah tak tahan lagi. Tapi orang2 yang lihay kepandaiannya, tetap menghadiri perjamuan itu dengan ber-cakap2 sembari ter- tawa2. Pada hari ketiga, kembali datang lagi sepuluhan sahabat2 persilatan yang diundang Ceng Bo. Kini ruangan luas itu sudah penuh diisi dengan meja2 perjamuan, dan hanya tinggal tempat, kosong seluas dua tombak pesegi saja.
Pada hari keempat, tiba2 Ang Hwat cinjin tampak berbangkit. Setelah menyapukan pandangan matanya kearah semua tetamunya, dia berkata kepada Ceng Bo siangjin: "Siangjin, apakah sahabat2mu yang kau undang itu sudah lengkap hadir semuanya?"
Ceng Bo dapatkan bahwa sahabat2 yang diundang itu boleh dikata sebagian besar sudah datang, maka menyahutlah dia: "Entah cinjin hendak memberi pesan apa, fihak kami sudah hadir semua."
Ang Hwat mendengus. Ratusan mata ditujukan kearah kepala gereja Ang-hun-kiong itu untuk mendengarkan apa pembicaraannya.
Dalam perjamuan itu ternyata Ceng Bo telah berhasil mengundang beberapa tokoh persilatan dari berbagai daenzh. Jadi perjamuan itu merupakan suatu pertemuan tokoh persilatan yang jarang terjadi. Maka berkatalah Ang Hwat Cinjin kemudian : "Pertandingan silat pada, hari pehcun ini, sebenarnya adalah antara murid angkatan ke 3 dari gereja ini lawan ketua kedua Thian Te Hui dan murid dari Ceng Bo Siangjin Menantang bertanding ilmusilat, sesungguhnya adalah suatu persoalan kecil. Tapi mengapa Ceng Bo siangjin telah mengundang sekian banyak tokoh2 persilatan. datang kemari ? Apakah maksudnya hendak merobohkan pendirian gereja kami yang sudah ber-puluh2 tahun ini"
Ceng Bo dapat menduga kemana arah tujuan kata2 tuan rumah itu, yalah hendak menimpahkan segala kesalahan pada fihak tetamu, agar dalam pandangan kaum persilatan menuduh Ceng Bo mempunyai maksud tertentu untuk merebut gereja Ang-hun-kiong. Se-kali2 bukan berjuang untuk kepentingan rakyat. Maka berdirilah Ceng Bo dari kursinya dan berkata dengan nada berat: "Kedatangan kami kegereja Ang-hun-kiong ini; pertama-tama hendak menyelesaikan dendam kesumat para pejoang rakyat terhadap murid cinjin yalah The Go itu. Kedua, setelah urusan ttu selesai, dalam pertemuan ini kami hendak membangun lagi Thian Te Hwe untuk melanjutkan perjuangan melawan penjajah Ceng. Soal itu tak mempunyai hubungan dengan cinjin dan kini mari kita kembali kepersoalan The Go. Biarlah para hadirin disini sama mendengar jelas tentang kedosaannya. Diantara sekian kejahatan yang dilakukan dalam dunia persilatan, yang paling besar yalah sebagai orang Han dia telah sudi ber-hamba menjadi budak penjajah Ceng dengan menyediakan diri sebagai penyuluh membawa tentara Ceng masuk kewilayah Kwiciu. Dunia persilatan tak dapat mengampuni adanya bebodoran macam begitu!"
Ceng Bo hanya mendamprat The Go, tapi dalam pendengaran Ang Hwat, tiap patah kata dari siangjin itu bagaikan duri tajam yang menusuk ulu hatinya. Sehabis mendengarkan kata2 orang, mukanya yang sejelek itu telah berobah makin menyeramkan. Dia tertawa dingin: "Begitu gagah perwira siangjin ini menjual jiwa pada pemerintah Beng, tidakkah itu juga berarti menjadi kaki tangan kerajaan tersebut ?"
Ceng Bo mendongak tertawa keras, serunya: "Menentang penjajah Ceng, setiap orang Han mempunyai kewajiban. Kalau kerajaan Beng betul2 memperhatikan kepentingan rakyat, kamipun tak segan2 untuk menggabungkan diri. Walaupun tidak demikian, asal rakyat berdiri dipihak kita, dan bersatu melawan penjajah, maka kita takkan terpatahkan se-lama-2nya !" Kata2 ber-api2 dari Ceng Bo siangjin itu disambut dengan gelora tepukan sorak sorai dari para orang gagah. Namun wajah Ceng Bo tetap tenang, tak mengunjuk kesombongan. Kembali Ang Hwat menyambutnya dengan sebuah tertawa dingin, kemudian berkata: "Kata'2 yang tiada berguna, lebih baik jangan dikeluarkan. Silahkan siangjin mengatakan, bagaimana urusan ini hendak diselesaikan!"
Habis berkata, Ang Hwat segera duduk kembali sebaliknya Ceng Bo merenung dalam2. Pikirnya, tiada dengan kekerasan, persoalan ini takkan selesai. Namun kalau menggunakan kekerasan, meskipun berjumlah banyak tapi hanya sedikit sekali orang2 difihaknya yang mempunyai kepandaian berarti. Sedangkan fihak tuan rumah telah mendapat tambahan tenaga dua orang tokoh sepasang suami-isteri Swat Moay dan Hwat Siau yang chusus dikirim oleh pemerintah Ceng sebagai perintis untuk masuk kewilayah Kwiciu lagi. Disamping itu masih ada lagi kaki tangan pemerintah Ceng yang menurut Yan-chiu sudah berkumpul digereja sau dengan menyaru sebagai tosu. Kalau kawanan kaki tangan musuh itu mengunjukkan diri, itu sih mudah diselami kekuatan mereka. Tapi yang mencemaskan, sampai pada saat ini mereka masih menyembunyikan diri, jadi sukar diduga gerak geriknya.
Ratusan mata telah ditujukan kearah diri siangjin itu, siapa nampaknya belum dapat mengambil suatu keputusan yang dirasa tepat. Dia cukup sadar, sekali salah jalan akan hancur binasalah tiang sendi pejuang kemerdekaan itu dibasmi oleh musuh. Pecahnya Thian Te Hwe, bobolnya ke 72 markas Hoasan, semua karena salah jalan. Kegagalan itu harus merupakan pelajaran bagi perjuangan sekarang dan kemudian hari. Lewat sejenak kemudian, achirnya barulah Ceng Bo siangjin berkata: "Dalam pertempuran pada 4 hari yang lalu, muridku dengan The Go masih belum ada kesudahannya. Sebaiknya kedua orang itu bertempur lagi sajalah!"
Mendengar kata2 suhunya itu, Tio Jiang serentak bangun, tapi Ang Hwat mencegahnya: "Tunggu dulu!" Ketika semua hadirin tampak keheranan, barulah Ang Hwat kedengaran berkata pula dengan pe-lahan2: "Bagaimana kalau menang dan bagaimana kalau kalah ?"
Kini Kui-ing-cu tak dapat bersabar lagi, serunya: "Kalau The Go kalah, jangan harap The Go masih bernyawa lagi! Kami setiap orang akan mengunyah dagingnya!"
"Kalau dia menang? !" tanya Ang Hwat dengan tetap jumawa.
"Terserah padamu!" sahut Kui-ing-cu.
"Baik! Go-ji, keluarlah ketengah gelanggang!" seru Ang Hwat kepada The Go, siapa segera berbangkit dari tempat duduknya. Itu waktu dia mengenakan pakaian mahasiswa yang disulam indah sekali, ikat kepala yang bertaburkan permata dan sepasang sepatu yang bagus. Wajahnya berseri gemilang, matanya bagai sebuah bintang kejora, sikapnya gagah ke-agung2an. Benar2 dia itu seorang pemuda yang tampan dan gaya. Siapakah yang akan mengira, kalau dia itu adalah seekor serigala yang berselimutkan kulit domba?
"Engkoh Go, hati2lah!" sepasang mata Bek Lian. berkicup mesra merayu pesan.
"Suko, jangan lepaskan dia lagi!" juga disebelah sana Yan-chiu menitipkan pesannya kepada sang suko. Tio Jiang tahu bahwa pertempuran hari itu, beriklim genting penting. Tujuh puluhan jiwa orang gagah dari dunia persilatan dipertaruhkan kebahunya. Kini kedua seteru besar itu, saling berhadapan muka dengan muka. Mereka saling bertukar pandangan mata yang tajam. Dalam pandangan seorang achli, walaupun dandanan dan wajah The Go itu menyolok dan menarik perhatian orang, namun tak dapat menandingi perbawa kegagahan anak Lo-hu-san yang serba sederhana itu.
The Go melolos kuan-wi-kiam dan Tio Jiang mencabut yap-kun-kiam. "Harap siap!" kata Tio Jiang. Dia tak pandai bicara, apalagi memang tak ingin bicara banyak2. Begitu gitu memperingatkan lawan, dia segera menusuk. Tring
.......... The Go menangkis dengan pedangnya yang ditujukan kebagian gigir pedang lawan. Agaknya dia tak memandang mata pada Tio Jiang. Kalau lain orang, tentu akan sudah naik darah diperlakukan begitu. Tapi tidak demikian dengan Tio Jiang. "Biar kau membawa tingkah bagaimana, juga, harini aku harus mengalahkanmu!" pikirnya. Dia cepat tarik pulang yap-kun-kiam, lalu diputar menjadi sebuah lingkaran sinar, dan tiba2 ujungnya menusuk ketenggorokan The Go.
(Oo-dwkz-tah-oO)