Naga dari Selatan BAGIAN 37 : PERJAMUAN DARAH

 
BAGIAN 37 : PERJAMUAN DARAH

"Ah, Kiau-heng," kedengaran Ceng Bo menghela napas, "sebenarnya Li Seng Tong bersungguh hati tinggalkan Ceng untuk mengabdi pada Beng. Tapi kerajaan Beng sudah tak mau mempercayainya dan siang2 telah mengirimnya kedaerah utara untuk menghadapi pasukan Ceng. Percuma saja mencarinya di Kwiciu!" Saking gusarnya, Kiau To sampai tak dapat ber-kata2. Sebaliknya si Bongkok nyatakan keheranannya: "Ah, makanya pemerintah Ceng gerakkan kawanan kaki tangannya secara besar2an untuk menumpas kita beberapa gelintir manusia ini. Kiranya mereka tak memandang mata pada kaisar Ing-lek itu !"

"Sudah tentu tak terbatas pada kita beberapa orang ini saja. Para pahlawan dari segala aliran didunia persilatan, sama menaruh sympati dan menunjang Ki dan Kiau-heng untuk membentuk Thian-te-hui lagi: Maka dalam beberapa hari lagi, kawanan kaki tangan Ceng itu tentu akan tiba kemari. Ah, sayang Ang Hwat cinjin itu.  Disebabkan karena turuti hawa nafsu ingin menang dalam urusan The Go ini, maka dia telah diperalat oleh kaki tangan pemerintah Ceng itu!" kata Ceng Bo.

Ki Ce-tiong yang sedari tadi diam saja, kini turut mengeluarkan suara: "Bek-heng, turut pendapatku yang cupat, kita lebih baik tinggalkan tempat ini saja dulu. Kelak kalau kita sudah berhasil menghimpun kekuatan, kita datang kesini lagi !"

"Ki lotoa, dengan-ngacir secara begitu, entah dikemudian hari apa kita masih ada muka bertemu orang lagi ?" si Bongkok menyanggah. Ki Ce-tiong menghela napas, tak mau berbantah lagi. Kini baru tahulah Tio Jiang sebab2nya mengapa tadi wajah suhu dan para cianpwe itu sama mengunjuk kegelisahan. Tapi dia masih tetap tak mengerti mengapa harus jerikan kekuatan fihak Ang-hun-kiong yang masih mendapat tambahan seorang dua tenaga bantuan itu?

Maka dia beranikan diri bertanya: "Siapakah dua kaki tangan yang dikirim kemari oleh pemerintah Ceng itu ?"

"Itulah yang tadi masuk kedalam gereja bersama Ang Hwat cinjin! Kabarnya mereka berdua adalah benggolan besar dari daerah utara, sepasang suami isteri. Kalau bertempur mereka merupakan pasangan tunggal, mahir dalam ilmu lwekang jit-gwat-im-yang-kang, saktinya bukan main"

Baru Kui-ing-cu menerangkan sampai disitu, Ko Thay sudah menyela: "Apakah bukan yang digelari "Swat Bwe Hwat Siau (hantu salju siluman api ) berdua itu ?"

"Benar, apakah Ko-heng pernah juga mendengar nama mereka ?" tanya Kui-ing-cu.

Ko Thay mengertak gigi, ujarnya: "Susiok-ku ketika di Hopak telah binasa ditangan mereka. Jadi aku mempunyai dendam kaum-perguruan pada mereka !"

Ketika rombongan orang gagah itu sedang berunding, Toa-mo Ciang Tay-bing kembali keluar dan mempersilahkan tetamunya: "Suhu mengundang para tetamu sekalian supaya masuk kedalam. Oleh karena kebetulan saat ini kami sedang kedatangan tetamu lainnya, terpaksa pertandingan dipertangguhkan sampai besok. Apabila sekalian tak memandang rendah, sudilah beristirahat kedalam."

"Jangan terkena tipu muslihat!" cepat Kui-ing-cu menukas. Sudah tentu sekalian orang sama terkesiap dan menanyakan keterangan. Kui-ing-cu menerangkan lebih lanjut:

"Konon kabarnya didalam Ang-hun-kiong itu banyak sekali dipasangi alat2 jebakan. Boleh dikata setiap ruangan, merupakan semacam barisan ‘seng si hui beng tin’ (barisan mati hidup gelap-terang), yang lihaynya bukan kepalang. Sekali masuk kita tentu terlibat dalam kesukaran !".

Yan-chiu ketarik, sedangkan Kiau To segera berkata: "Kalau tak memasuki sarang harimau, bagaimana dapat memperolen anak harimau?"

"Kiau-loji, lakukanlah rencanamu, tadi. Kalau dapat menemukan Tay Siang Siansu itulah paling baik. Kalau tidak, minta pada Li Seng Tong supaya mengirim tentara kemari, juga baik!" kata Kui-ing cu.

Ceng Bo siangjinpun menyetujui, maka Kiau Topun mengiakan.

"Apakah kalian memang tak suka masuk kedalam ?" rupanya Toa-mo Ciang Tay-bing tak sabar lagi.

Kui-ing-cu mendongkol dan menyemprotnya: "Siaocu (anak kecil), kau mau jual lagak ? Kami masih hendak tunggu beberapa sahabat yang belum datang!"

Ciang Ta-bing mendongok tertawa keras. Dia sudah berusia 50-an tahun. Wajahnya keren, didalam Ang-hun- kiong selain Ang Hwat cinjin sendiri, dialah orang nomor dua.

Nada ketawanya tadi, mengunjuk bahwa ilmunya cukup tinggi. Habis ketawa, dia berkata: "Oh, kiranya hanya- hohan palsu, enghiong gadungan. Sampai ditempat ini, masuk saja tidak berani, ha...., ha...., ha. , orang bisa mati

karena geli!"

Ejekan itu keliwat takeran. Sekalipun golongan pou-sat (dewa) tak nanti tahan mendengar itu. Sekali enjot kakinya, Ko Thay melayang kemuka, berbareng itu Kui-ing-cu dan si Bongkokpun dengan gunakan ilmu mengentengi tubuh, tahu2 sudah meluncur maju. Tio Jiang dan Yan-chiu juga tak mau ketinggalan menyusul. Hanyalah Ceng Bo dan Ki Ce Tiong yang melangkah masuk kedalam gereja dengan ayunan kakinya. Sementara Mau To, begitu tadi telah mendapat persetujuan orang banyak, sudah turun gunung. Berkat ejekan tawa Ciang Tay-bing, ketujuh orang gagah itu menobros masuk kedalam halaman gereja. Tekad mereka, sekalipun memasuki sarang harimau, kubangan naga, mereka tetap tak gentar. Setiba diambang pintu, mereka berhenti sejenak kemudian terus hendak melangkah masuk.

Se-konyong2 dari arah belakang terdengar sebuah lengking makian yang nyaring sekali : "Minggir ! Mengapa berkerumun didepan pintu ?"

Ceng Bo lah yang terlebih dahulu berpaling kebelakang dan : "Hong-moay, kau juga turut kemari ?" katanya dengan kaget demi dilihatnya sang isterilah yang berseru itu. Tapi rupanya Kang Siang Yan tak mau menghiraukannya. Selebar mukanya penuh dengan hawa kemurkaan.

Semua orang gagah tahu betapa eksentrik adat wanita aneh itu. Mereka tak berani buka suara menanyakan. Sepasang biji mata Kiang Siang Yan menyoroti ke-orang2 itu, lalu tiba2 menuding kearah Ciang Tay-bing, serunya: "Apakah kau ini orang Ang-hun-kiong? Dimana Ang Hwat loto dan The Go?"

Ciang Tay-bing tak kenal siapa Kiang Siang Yan itu. Datang2 terus mendamprat begitu kasar menyebut

Suhunya sebagai "Ang Hwat loto (iman tua bangka)" sudah tentu dia sangat marah. Dia juga seorang yang mabuk kehormatan, kecuali terhadap Ang Hwat cinjin, tiada lain orang yang diindahkan.

"Perempuan busuk, kau ngoceh......." belum ucapan itu diselesaikan dengan kata "apa", Kiang Siang Yan sudah ayunkan tangannya, tar....... tahu2 Ciang Tay-bing rasakan selebar wajahnya geriming2 panas sekali. Itu saja Kiang Siang Yan hanya ringan2 saja menampar, tidak gunakan pukulan thay-im-ciang. Sekalipun begitu, Ciang Tay-bing, sudah tak tahan, separoh mukanya degap, mulutnya serasa mengunyah sesuatu benda dan ketika dimuntahkan, kiranya dua buah gigi mukanya, telah copot !

Toa-mo atau Iblis kesatu dari Ang-hun-kiong itu ganas dan kejam. Menderita kesakitan semacam itu, sudah tentu dia seperti kerangsokan setan. Tangan diangkat akan diayun, tiba2 terdengar seruan The Go: "Supeh, tahan dulu, orang sendiri !" Sembari berseru, The Go ber-lari2 menghampiri Kiang Siang Yan dan menjura dihadapannya secara khidmat sekali seraya, berkata: "Gak-bo (mertua perempuan) yang mulia, siao-say (menantu menghaturkan sembah !"

Sehabis melakukan upacara itu, dengan serta The Go memegang tangan Bek Lian, dengan ter-iba2 mencumbu rayu, berkatalah dia : "Lian-moay, oh kau pun datang. Aku tahu bahwa gakbo tentu dapat menolongmu dari sarang macan, sungguh hampir mati aku memikirkan dirimu !"

Bagaikan tersapu angin, awan "kesangsian yang merundung hati Bek Lian, seketika lenyap. Lupa sudah bagaimana ia mengalami pederitaan selama pergi dari Thiat nia (tempat kediaman suku Thiat-theng-biau) itu, tanpa menghiraukan sekian banyak orang yang hadir disitu, pecahlah tangisnya ketika ia lari jatuhkan diri  kedalam pelukan The Go.

"Lian-ji, bukankah kau mengatakan kalau dia itu kau curigai ?" tanya Kang Siang Yan. Tapi bagaikan musafir di padang pasir yang dirangsang dahaga, ia telah dapat menemukan "sumber air" didalam rayuan si Cian-bin Long- kun. Hilang lenyap semua kesangsian terhadap sang  kekasih yang "bergas" itu. "Ma, itulah karena aku dipengaruhi oleh orang2 yang membencinya. Nyata2 engkoh Go bukan orang semacam begitu !" kata Bek Lian.

Diam2 The Go bercekat dalam hati. Dia cukup tahu, kunci "kemenangannya", terletak pada Bek Lian, maka dengan membawa sikap terkejut, dia bertanya: "Lian-moay, kau sangsikan aku dalam soal apa ? Siapakah yang 'memancing di-air keruh' dalam peristiwa yang kita, alami itu ?"

"Ada orang mengatakan, kau telah tukarkan Lian-ji dengan pedang kuan-wi-kiam pada suku Thiat-theng-biau digunung Sip-ban-tay-ban, benarkah itu ?" tanya Kiang Siang Yan. Jantung The Go bergoncang keras, tapi wajahnya tetap membawa ketenangan yang mengagumkan. Dengan tertawa gelak2, dia menjawab lantang2: "Hatiku terhadap Lian-ji, hanya Tuhan yang tahu. Kalau ada sedikit perasaanku yang nyeleweng, biarlah aku, binasa hancur lebur didasar lembah yang dalam dengan tak menginjak bumi!"

Mendengar orang telah mengucapkan sumpah yang sedemikian beratnya, Kiang-Siang Yan percaya. Mana dia tahu akan kelicinan sang menantu yang manis itu ? Jatuh binasa didasar lembah tanpa menginjak bumi, sungguh mustahil akan terjadi ! Tapi anehnya semua orang yang hadir disitu, tiada yang dapat memikir dalam2 akan "sumpah istimewa" dari The Go itu. Kui-ing-cu, Tio Jiang dan Yari-chiu saking gusarnya menampak ketengikan The Go, sampai tak dapat mengucap apa2. Lebih2 Ceng Bo siangjin, wajahnya berobah keren. Dengan menerima hormat-sembah dari The Go tadi berarti secara de facto isterinya menerima The Go sebagai menantu, Ko Thaypun diam. The Go cukup menginsyafi kalau Kiang Siang Yan terlalu lama dibiarkan berkumpul dengan fihak lawan, tentu terjadi sesuatu yang tak menguntungkan dirinya. "Gak-bo, siaosay telah menyimpan kuan-wi-kiam itu yang hendak kuserahkan pada gak-bo. Sucou sedang menerima dua  orang tetamu yang ternama, silahkan gak-bo beristirahat didalam, biarlah siao-say mendapat kesempatan untuk melayani gak- bo !"

Sejak perangai Kiang Siang Yan berobah aneh, dia mudah diselomoti orang. Disuguhi permainan dari seorang aktor besar macam The Go, dia menjadi terpikat. Ia masih mendendam untuk hantaman sam-ciat-kun dari Sik Lo-sam yang mengenai kakinya itu, hingga untuk luka tersebut ia harus beristirahat sampai beberapa hari. Tampak sang  suami berada dengan orang yang dibencinya itu (Kui-ing- cu), ia menjadi kurang senang. Tanpa menghiraukan kecintaan suami isteri lagi, Kiang Siang Yan ikut mengikuti The Go masuk kedalam. Dengan adanya peristiwa  itu, fihak Ceng Bo siangjin dan kawan2 bertambah berat bebannya.

Sebenarnya Ciang Tay-bing mendongkol sekali terhadap The Go yang sudah tak memandang mata terhadap dirinya itu. Tapi dia tak berani melanggar perentah Ang Hwat cinjin, lalu ajak ketujuh tetamunya itu kedalam sebuah rumah yang terletak disamping. "Disinilah tempat ruangan para tetamu yang terhormat, sebaiknya jangan melarikan diri!"

"Lekas bikin rata mukamu yang benjal-benjul itu, jangan urusi yang tidak2!" sahut Kui-ing-cu. Sudah tentu Ciang Tay-bing segera angkat kaki dengan ke-malu2an. Tadi Yan- chiu mendengarkan keterangan Kui-ing-cu bahwa gereja Ang-hun-kiong itu diatur menurut barisan seng-si hui-beng- tin yang lihay, maka sewaktu masuk, Yan-chiu telah memperhatikan dengan seksama keadaan dalam gereja ini. la masih ingat akan keterangan kedua to-thong Kuan hong dan Wan Gwat bahwa setelah tiba pada tiang kuning dan membiluk tentu akan sampai keruangan besar.

Yan-chiu mendengarkan keterangan Kul-ing-cu bahwa gereja Ang-hun-kiong itu diatur menurut barisan seng-si hui-beng-tin yang lihay, maka sewaktu masuk, Yan-chiu telah memperhatikan dengan seksama keadaan  dalam gereja ltu. Ia masih ingat akan keterangan kedua to-thong Kuan Hong dan Wan Gwat bahwa setelah tiba pada tiang kuningan dan membiluk tentu akan sampai keruangan besar.

Tapi ia segera menjadi terkejut kerna diantara ke 10 tiang digereja situ, tidak ada sebuahpun yang terbuat dari pada kuningan. Kesemuanya bercat merah. Diam2 ia menarik kesimpulan, jangan2 fihak Ang-hun-kiong telah mengetahui perbuatan kedua to-thong itu dan lalu mencat kedua tiang kuningan itu dengan warna merah juga. Jadi percuma sajalah informasi (keterangan) yang diperolehnya dulu itu.

Rumah atau pavilyun untuk tetamu itu, terdiri dart 3 ruangan, perabotannya serba bagus. Meja dan kursi terbuat daripada kayu puhun li. Tak antara berapa lama, datanglah seorang to-thong kecil untuk melayani tetamu2 itu. Yan- chiu buru2 mencekal to-thong itu dan menanyainya: "Kuang Hong dan Wan Gwat berdua itu, sekarang berada dimana?"

Si to-thong tak menyahut. Orang2 sama heran dan menanyakan siapakah Kuan Hong dan Wan Gwat itu: "Tempo aku masuk kegereja ini, aku telah berjumpa dengan kedua to thong itu!" sahut Yan-chiu.

Tio Jiang terkejut dan buru2 menepis: "Jadi kau pernah datang kemari?" "Ya," sahut Yan-chiu Ke-bangga2an, "seorang diri!" Ia lalu menceritakan pengalamannya tempo hari. Dan sejak lobs dari gereja itu, ia tak berani bikin onar lagi. Tak berapa hari kemudian, Ceng Bo dan Ko Thay tiba, kemudian tanggal 5 bulan 5 sore, baru Kisau To, Thaysan sin-tho Ih Liok dan Ki Ce-tiong muncul. Kala itu Ki  Ce-tiong bertanya pada Ceng Bo apakah Siangjin itu mengetahui bahwa kawanan kaki tangan pemerintah Ceng telah datang digereja Ang-hun-kiong untuk menggabungkan diri dengan Ang Hwat cinjin dan sam-tianglo dari Ci-hun-si.

Ceng Bo yang kesamplokan dengan ketiga tianglo Cihun- si, disungai tempo hari, percayan akan berita yang dibawa oleh Ki Ce-tiong itu. Mengingat bahwa didalam flhaknya, dia sendiri, Kui-ing-cu dan Ko Thay, telah kehilangan banak tenaga lwekang karena menolong Sik Lo-sam, maka dia kemukakan hendaknya dalam pertempuran besok harus berlaku hati2. Setelah hari pertempuran Itu, akan ada lagi kaum hohan sahabat persilatan yang menggabungkan diri. Mereka adalah pejuang2 yang anti penjajah Ceng. Karena inilah, maka fihak pemerintah Ceng telah mengirim benggolan2 kaki tangan untuk menumpas kawanan orang gagah anti penjajah itu.

Begitulah keesokan harinya, mereka bertujuh naik ke Ko- to-san. Tiba digereja Ang-hun-kiong, matahari baru saja naik. Dimuka pintu gereja itu tampak ada 4 orang sudah menunggu. Yang dimuka sendiri, ternyata adalah The Go. Mata sekalian orang menjadi merah melihat penghianat licin itu. Sekali enjot, si Bongkok Thaysan sin-tho sudah melesat maju seraya menghantam. The Go menghindar kesamping, sedang salah seorang dari 3 kawannya yang berada dibelakangnya, yakni yang bertubuh gemuk pendek, terus akanmaju: "Ih-heng, tahan dulu!" Ceng Bo Siangjin yang tak ingin melihat kegaduhan buru2 mencegahnya. Mendengar Itu The Go tertawa dingin, serunya mengejek: "Ceng Bo Siangjin ternyata masih menjunjung tatasusila persilatan, tak seperti itu bangsa bebodoran dunia persilatan!"

Ucapan itu telah membuat si Bongkok mengeluarkan hawa uap di-umbun2 kepalanya, tapi Kiau To sudah menghadang dimukanya. "Ih-heng, jangan turuti hawa amarah. Ang Hwat cinjin masih belum keluar. Mereka diperkuat oleh kawanan kaki tangan pemerintah Ceng. Kalau sekarang belum2 sudah kena dipropokasi, kita akan rugi!" katanya. Si Bongkok terpaksa tahan hatinya dan melainkan deliki matanya kepada The Go. Kemaren malam The Go telah diberitahukan oleh sucounya tentang kekuatan masing2 pihak, jadi dia tahu kalau fihak Ang-hun- kiong akan mendapat tambahan dua tenaga yang tangguh. Sekalipun dia belum mengetahui akan kelemahan Ceng Bo Siangjin, Kui-ing-cu dan Ko Thay bertiga disebabkan menolong Sik Lo-sam itu, namun dia sudah yakin kemenangan tentu berada difihaknya. Jadi dia kini umbar kecongkakannya. "Kalau Thaysan sin-tho masih penasaran, baiklah kita berdua main2 beberapa juruse dulu!" dia tantang si Bongkok.

Sampat disini, seluruh anggauta rombongan Ceng Bo tak dapat mengendalikan kesabarannya lagi. Walaupun dalam rombongannya, Ceng Bo bukan terhitung yang paling lihay sendiri, namun dia adalah seorang lelaki jantan yang penuh dengan sifat2 kesatryaan, jadi dengan sendirinya se-olah2 dia itu menjadi pemimpin rombongannya. Maju selangkah dia membentak dengan bengis: "The Go, kau mau berlagak ya?"

Nada seruan Siangjin itu sangat berwihawa. Tapi kali ini ibarat seekor ikan dalam air, The Go tak jeri berulang kali dia menerlma pil pahit dan bahkan dua. kali hampir dibunuh oleh siangjin itu, maka kali ini dia hendak tumpahkan dendamnya. Dengan mendongak tertawa ter- bahak2 dia menuding kearah ketiga orang yang berada dibelakang seraya berseru: "Ceng Bo Siangjin, sam-wi (bertiga orang) ini adalah Susiok dan supehku, orang menggelari tiga serangkai dari Hong-hun su-mo. Sucou kebenaran masih mempunyai urusan, jadi belum dapat keluar. Mau berkelahi sekarang apa masih tunggu bantuan lagi, bilanglah yang tegas. Atau kalau mau adu suara besar pun boleh!"

Wajah Ceng Bo berobah keren, tapi dia tetap mempertahankan gengsitnya. Dihadapan Hong-hun su-mo itu, tak mau dia adu lidah dengan The Go. Maka sembari memberi salam kepada ketiga imam Ang-hun-kiong itu dia betrkata: "Lama sudah aku mendengar nama besar dari su- mo. Leng-su (gurumu) sedang mempunyai urusan lain belum dapat keluar, sehingga memberi kesempatan pada bangsa siaojin (orang rendah) untuk mengubar kecangkakan, sungguh harus disayangkan karena hal itu merugikan kebesaran nama Ang-hun-kiong!"

Dalam kebatinan mereka bertigapun tak puas dengan The Go. Tapi oleh karena sutit (keponakan murid). itu telah dlmanjakan oleh Ang Hwat cinjin dengan pelajaran yang sakti, jadi mereka tak betani berbuat apa2.

Mendengar itu yapan Ceng Bo Siangjin itu, tanpa merasa mereka telah nyatakan suara hatinya. "Ya, benar!" tapi baru saja mengucap begitu mereka sudah insyaf akan kesalahan lidahnya dan buru2 menyusuli kata2: "suhu kami sedang turun gunung untuk menyambut kedatangan dua orang sehabat, tapi hari ini akan sudah pulang!"

Mendengar jawaban pertama dari ketiga supehnya itu, The Go murka sekali. Namun lahirnya, dia tak mengunjuk Perubahan air muka. Ceng Bo anggap pertandingan boleh segera dilangsungkan, maka dia segera memberi isyarat kepada Kiau To, siapa tanpa berayal lagi segera tampil kemuka dan berseru: "Pertempuran hari ini, kaulah yang menantangnya. Hendaknya jangaen kau melarikan diri nanti"

Habis berkata Itu, Kiau To kibaskan jwan-pian lurus kemuka. Melangkah beberapa tindak kesamping, dia berputar tubuh sembari ayunkan jwan-piannya keatas itulah jurus pembukaan dari ilmu ruyung Liok-kin-pian-hwat. Gayanya memang lain dari yang lain. Sebaliknya The Go malah tertawa keras dan berseru: "Empat penjuru dari Anghun-kiong sini tiada dapat menyembunyikan orang, berlainan dengan puncak Giok-li-nia di Lo-hu-san. Hati2lah, Kiau-loji!"

Dengan ucapan itu The Go hendak menyindir Iawan, yang setengah tahun yang lalu telah berhasil menjatuhkan dirinya (The Go) dl Lo-hu-san berkat adanya bantuan orang orang lain (Tio Jiang). Meskipun Kiau To murka, tapi dia cukup tahu bahwa pertempuran hari itu jiwa pertaruhannya. Siapa yang kena dibikin panas, tenaga murninya akan buyar, akibatnya tentu akan kalah. Oleh karena itu, tak mau adu mulut lagi. Dengan kerahkan seluruh tenaganya, dia beberapa kali mengibaskan jwan- piannya.

The Go tenang2 saja sikapnya. Maju selangkah, tangannya  mencabut  kearah   punggung  dan  sring  ..........

bagaikan   ringkikan   naga,   sebuah   pedang   pusaka  yang

memancarkan sinar ke-hijauaan tampak berada didalam tangannya. Munculnya senjata itu, telah membuat Ceng Bo siangjin terkeslap melongo. Juga Kian Topun bercekat. Rupanya The Go tahu akan perasaan fihak lawan, maka dengan   tertawa   dingin   dia   segera   ber-putar2   dua  kali lingkaran. Sedang Kiau To memakukan pandangan matanya kearah gerak gerik lawan.

Adalah pada saast itulah tadi, Tio Jiang tiba disitu. Ketiga sosok orang yang secepat angin lewat digelanggeng situ terus masuk kedalam gereja adalah Ang Hwat dan sepasang suami isteri Swat-bwe Hwat-Sisu. Menyusul dengan itu ketiga tianglo dari Ci-hun-si. Demikianlah kejadian2 sebelum Tio Jiang datang kepuncak Ko-to-san situ. Bagaiamana achirnya pertempuran itu, telah kami tuturkan disebelah atas tadi.

--oodwkz0TAHoo--

Sekarang marilah kita ikuti lagi perkembangan ketika Ceng Bo dan kawan2 beristirahat dalam ruangan gereja Ang-hun-kiong yang chusus disediakan untuk para tetamu.

Disitu mereka sangat perihatin. Menilik perkembangannya, terang keadaan sudah tak menguntungkan bagi fihaknya. Ketambahan lagi kini rupanya Kiang Slang Yan telah terpikat dalam perangkap dan persentasinya tentu membantu fihak The Go. Jadi dalam pertempuran nanti fihak Ceng Bo dan kawan2 itu tentu kalah. Kalau semua orang berdiam diri karena perihatin, adalah Yan-chiu sendiri yang tetap dengan kelincahannya. Ia selalu. menatapkan pandangan matanya kearah sang suko saja. Banyak nian kata2 yang hendak diucapkan kepada sukonya itu, tapi dihadapan sedan banyak orang, ia merasa likat juga. Sampai sekian lama ias berhasil juga untuk menguasai perasaannya, tapi achirnya lama2 tak kuat juga dan mulutnyapun segera berseru memanggil: "Jiang suko!"

Karena orang memanggil secara tiba2, Tio Jiang menjadi kaget. Oleh karena dihadapan sang suhu, Tio Jiang ber- hati2 sekali membawa tingkah lakunya. "Ada apa?" sahutnya dengan berbisik.

Yan-chiu ter-sipu2 merah mukanya, tapi dengan tangkas ia sudah mengalihkan pembicaraan: "Berdiam diri didalam ruangan sini, bukan suatu penyelesaian yang baik. Hayo, kita keluar cari anginlah!" .

Tio Jiang tak berani segera menyahut tapi lebih dahulu melirik pada sang suhu, slapapun menyetujui pendapat Yanchiu tadi. "Ya, kalian berdua boleh makan angin diluar sana. Tapi Ingat, jangan terbitkan onar dan lekas kembali lagi," ujar Ceng Bo.

Dengan kegirangan sekali Yan-chiu segera tarik tangan sukonya terus diajak keluar. Keadaan diluar situ  sunyi2 saja. Setelah membiluk disebuah ujung tembok, Yan-chiu hentikan langkahnya dan bertanya: "Suko, sewaktu kau sendirian tersesat dalam perut gunung, apa saja yang kau pikirkan kala Itu?"

Tio Jiang tak mengerti kalau pertanyaan sumoaynya itu mengandung maksud tertentu, maka dengan seenaknya saja ia menjawab: "Tidak memikirkan apa2, kecuali bagaimana dapat keluar dari penjara alam itu untuk menghaturkan mustika itu pada suhu."

Yan-chiu menghela napas. "Ah, jadi dia  tak mengimbangi perasaan hatiku yang selalu memikirkan dirinya," pikirnya. Dengan berdiam diri ia ayunkan langkah kemuka. Hati Tio Jiang kosong, dia tak memikirkan yang tidak2. Maka dia anggap sumoaynya itu tengah perithatin keras menghadapi fihak Ang-hun-kiong yang tangguh.

Yan-chiu begitu terbenam dalam lamunan sang dara dihempas asmara. Ya, siapakah yang tak lara kalau  cintanya hanya dibalas dengan rasa kecintaan sebagai saudara seperguruan saja? Dia berjalan sambil tundukkan kepala, sehingga tak tahu sama sekali ketika ditikungan, tiba2 muncul sebatang pedang menghadang. Coba Tio Jiang tak segera lekas2 menereaki pasti ia masih tak mengetahui akan adanya ujung pedang yang terpisah hanya setengah setengah meteran dimukanya itu.

"Siapa? !" serunya dengan kaget. Seruan itu disambut dengan munculnya dua orang imam yang beroman bengis. Yang satu membawa pedang dan seorang mencekal kapak besar. "Sejak bilamana Ang-hun-kiong mengidinkan kalian berjalan seenaknya sendiri itu? Apa masih tak lekas2 kembali?" seru mereka.

"Ang Hwat cinjin telah menerima kami sebagai tetamu, mengapa kau berani kurang ajar?" balas Yan-chiu dengan gusarnya.

Kedua imam itu tertawa keras, serunya:  "Sebagai tetamu? Ha......., ha........! Ibarat kura2 dalam jaring, masih menjual lagak!"

Tio Jiang terkesiap mendengar ucapan yang diserukan dalam lafal utara oleh kedua imam itu. Terang mereka itu bukan orang daerah selatan sini. Dia ajak sumoaynya cepat kembali melapor pada suhunya. Tapi baru saja mulutnya hendak menyatakan, atau Yan-chiu sudah loncat kemuka dan menghantam dengan bandringan kearah kedua imam itu. Yan-chiu mengira kalau kedua orang itu, hanyalah imam kecil dari gereja situ, sekali hantam sedlkitnya tentu dapat merubuhkan mereka. Trang...... tiba2 Yan-chiu merasa lengannya kesemutan ketika salah seorang imam itu menangkis dengan kapaknya. Bandringanpun mencelat keatas. Buru2 ia tekan bandringannya itu kebawah.

"Hu, kembali tidak?" kata mereka dengan tertawa dingin. Mereka tak mau menyerang pada Yan-chiu yang ter- longong2 kesima itu. Tio Jiang kenal gelagat. Dia tahu kedua orang itu tentu bukan imam gereja situ. "Kembali ya kembali !" serunya keras sembari memberi isyarat dengan ekor mata kepada sang sumoay, siapa terpaksa menurut.

9

Karena kebebasannya dirintangi, dengan gusar Yan-chiu hantamkan banderingannya kearah orang itu yang cepat ditangkis olehnya dengan senjata kapak yang besar.

Tiba dimuka pintu ruangan tetamu, Tio Jiang dan Yan- chiu tak mau masuk, tapi sengaja terus berjalan kesebelah muka. Kembali dibagian sana juga ada dua penghadang. Yang satu mempunyai lafal suara orang Suchwan, yang lain me-maki2 dalam bahasa Boan-ciu. Karena sudah banyak pengalamannya bertempur dengan serdadu Ceng, jadi Tio Jiang dan sumoaynya segera mengetahui bahwa kedua pencegatnya Itu adalah kaki tangan pemerintah Ceng yang menyaru sebagal imam.

Kini tanpa diberitahukan oleh sukonya, Yan-chiu sudah mengetahui sendiri dan memutar tubuhnya kembali kedalam ruangan tetamu. Baru melangkah masuk, Yan- chiu sudah berseru: "Suhu, Ang Hwat telah mempersiapkan entah berapa, banyak kaki tangan pemerintah Ceng yang menyaru jadi imam gadungan, untuk menumpas kita!"

Tio Jiang tuturkan apa yang telah dijumpainya tadi. Ceng Bo dan Kui-ing-cu serta lain2 orang,  saling mengawasi satu sama lain. "Oleh karena yang akan datang ini bukan kebahagiaan melainkan kecelekaan, maka kita harus tenang2 mempersiapkan kewaspadaan. Dalam hal tenaga, Siaoko dan Siao Chio tergolong, yang terlemah diantara kita, maka sebaiknya mustika dalam batu itu berikan saja kepada mereka separoh2, siapa tahu akan menambah kekuatan mereka!" Hui-ing-cu menyatakan pendapatnya.

Ternyata semua orang setuju. Bermula Tio Jiang menolak tapi diperingatkan oleh suhunya. Malah Ceng Bo Siangjin segera mencabut pedang yap-kun-kiam yang terselip dipinggang Tio Jiang. Yan-chiu disuruh memegangi batu itu, lalu Ceng Bo pe-lahan2 membelahnya. Tak antara lama tampak sebuah lubang dan menghempuslah keluar suatu hawa yang luar biasa wanginya. "Lekas tuangkanlah kedalam mulutmu!" buru2 Ceng Bo menyuruh sigenit meminumnya.

Yan-chiu cepat tempelkan bagian lubang ltu kemulut dan sekali menyedot se-kuat2nya berkerucukanlah tenggorokannya menelan suatu-benda cair. Seketika dirasakan tulang belulang seluruh tubuhnya menjadi sedemikian nyaman dan ringan sekali. Buru2 ia kerahkan cin-wan (tenaga murni) dan cin-khi (hawa murni), setelah itu lalu berikan batu kapada sang suko. Begitu Tio Jiang menyambutnya, terus ditempelkan kemulut dan disedotnya. Tapi hanya angin saja yang didapatinya. Dengan keheranan, dia turunkan batu itu. Kui-ing-cu dengan segera dapat mengetahui apa yang terjadi, katanya: "Siaoko, mungkin sudah suratan nasib, bukankah air mustika itu sudah dihirup habis oleh kui-ahthau (dara jelek) itu ? Kau tidak kecewa, bukan ?”

Tlo Jiang tak pernah mempunyai perasaan iri. Dia  adalah seorang suko dan sute yang pengalah. ”Seharusnyalah diberikan pada sumoay, karena dia lebih lemah!” sahutnya dengan setulus hatitnya.

Mendengar itu, semua orang mengagumi ketulusan hati pemuda itu. Ketika sama mengawasi Yan-chiu tampak selebar wajah nona itu ke-merah2an memancarkan cahaya gemilang. Seperti keringat bukan keringat, sehabis menyalurkan perdarahannya, ia rasakan seluruh tubuhnya mengalirkan hawa panas, hingga untuk setengah jam ia tampak seperti dalam keadaan samar2 ingat. Baru setelah perasaan menyalur rata keeseluruh tubuh, ia tampak berloncat bangun seraya berseeru: "Amboi.......! nyaman sekali seperti orang mati rasanya. Suko, kau. minum sedikit tadi, apa tak berasa apa2?"

Nona itu tak mengetahui kalau Tio Jiang tak kebagian setetespun jua. Air mustika yang jarang terdapat didunia  itu, telah habis dihirupnya semua. Baru setelah sang suko menjelaskan, ia ke-merah2an mukanya dan menyatakan penyesalannya: "Maaf, aku tak sengaja berbuat begitu!"

"Ho, sungkan juga sih? Asal kau berjanji kelak tak menghina sukomu seperti yang dilakukan oleh sucimu, itu sudah cukup!" seru Kui-ing-cu. Kembali wajah Yan-chiu merah padam ke-malu2an, diperolok Kui-ing-cu itu. Kini ia merasa tubuhnya sangat enteng sekali. Apabfla menyalurkan darah atau pernapasan, juga sangat mudah dengan leluasanya. Rupanya lwekangnya dalam sekejab waktu saja teIah maju pesat, suatu hal yang membuatnya girang bukan kepalang. "Suko, kau sungguh baik sekali kepadaku!" diam2 hatinya berterima kasih. --oodwkz0tahoo--

Kala itu sudah sore hari. Genta gereja kedengaran bertalu 3 kali. Anehnya keadaan disitu tak nampak seperti sedang kumpulan-malam (sembahyang malam). Ketika semua rombongan fihak tetamu keheranan, tiba2 dari arah luar ter-dengar ada orang berseru: "Suhu mengundang tamu sekalian supaya datang kepaseban belakang!"

Kui-ing-cu tahan napas, dengan gunakan ilmu menyusupkan suara "thoan im jip bi" dia berseru kepada kawan2nya: "Kartu segera akan terbuka, entah lo-tosu itu hendak main apa?"

Sekalian orang mengerti maksud peringatan itu. Ceng Bo segera berseru keras: "Silahkan saudara mengantar!" Walaupun lwekangnya berkurang banyak, namun suara yang diserukan oleh hawa napas itu, cukup nyaring. Begitu pintu dibuka, ternyata disitu sudah menunggu ketiga Ang- hun su-mo. Ji-mo atau iblis kedua (ayah The Go?) sudah meninggal, namun gelaran mereka masih tetap menggunakan Ang-hun su-mo (4 iblis dari Ang hun-kiong), walaupun seebenarnya mereka itu hanya berjumlah 3 orang.

Dengan Ceng Bo siangjin berjalan dimuka dan Kui-ing- cu, yang paling belakang sendiri, ketujuh rombongan tetamu itu segera berjalan menurutkan Ang-hun su-mo. Sepanjang lorong yang dilalui itu, mereka dapat memperhatikan. Tapi setelah dua kali membiluk, hilanglah pengetahuan mereka akan arah mata angin. Semua yang tampak disitu, dari ruangan, lorong serambi, tiang dan lankan, sama semuanya, sukar dibedakan.

Setelah setengah jam lama berbilak biluk, mereka melalui sebuah ruangan kecil dan se-konyong2 terbentanglah sebuah lapangan luas yang berlantai batu marmar hijau. Luas lapangan itu tak kurang 10-an tombak pesegi. Pada ujung lapangan itu tampak sebuah meja pat-sian (8 segi), dengan dikitari oleh 8 orang, yakni Ang Hwat cinjin, Kiang Siang Yan, Bek Lian, The Go, dan sam-tianglo dari Ci-hun- si. Mereka rupanya tengah menghadapi hidangan. Tapi sekalipun melihat kedatangan rombongan Ceng Bo Siangjin, mereka bersikap acuh tak acuh. Yang diherankan Ceng Bo bukan sikap mereka yang mengejek secara begitu menyolok, tapi adalah Itu kedua benggolan kaki tangan Pemerintah Ceng, yakni sepasang suami-isteri Swat Bwe dan Hwat Kuay, mengapa tak hadir disitu.

Ketiga Ang-hun su-mo menghampiri Ang Hwat cinjin dan berbicara beberapa patah kata. Mungkin orang mengira tadi Ang Hwat cinjin benar2 tak mengetahui kedatangan rombongan Ceng Bo itu. Tapi kini setelah mendapat, laporan dari Ciang Tay-bing, dia tentu sudah mengetahui. Namun dia masih enak2 duduk saja. Malah mengangkat cawan arak dan berkata kepada Kiang Siang Yan: "In lihiap, untuk merayakan pertemuan yang jarang terjadi ini, marilah kita keringkan cawan!"

Orang2 yang mengitari meja itu sama  menyambut dengan gembira. Ciang Tay-bing masih tegak terpaku disitu. Kui-ing-cu dan kawan2, adalah tokoh2 persilatan yang bernama, sudah tentu mereka mendongkol sekali diperlakukan begitu. Sin-eng Ho Thay tertawa dingin, tangannya mencekal pada lankan, krek ...... tahu2 saja sudah memutuskan patah sebuah terali kayu lankan itu, lalu ditimpukkan kearah meja pat-kwa mereka. Juga Kui-ing-cu dan si Bongkok tanpa ajak2an, membarengi  dengan saebuah biat-gong-ciang (pukulan lwekang) kearah kutungan kayu tadi. Dengan mendapat dorongan dari lwekang ketiga tokoh Iihay itu, kutungan kayu meluncur dengan pesatnya. Kalau saja kayu itu menimpa meja, hidangan disitu tentu akan porak poranda. Tapi baik Ang Hwat cinjin maupun Kiang Siang Yan rupanya tak mengacuhkan ancaman itu. Sambil mengangkat cawan, mereka berdua segera menyiramkan arak keudara yang  tepat mengenai kutungan kayu tadi.

(Oo-dwkz-tah-oO)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar