Naga dari Selatan BAGIAN 36 : TULISAN DI BATU HITAM

 
BAGIAN 36 : TULISAN DI BATU HITAM

Oleh karena masih cukup temponya, Tio Jiang terima baik tawaran itu.. Tiga hari lamanya dia menetap dipuncak Thiat-nia situ. Siang malam, baik makan maupun mau tidur, ya pendek kata setiap saat, dia selalu merenung untuk memecahkan intisari daripada pelajaran yang tertulis diatas batu itu. Tapi ternyata dia selalu gagal. Akhirnya karena hari pehcun sudah mendekat, maka dia segera minta diri pada kepala suku Biau itu.

„Kit yu-tio, aku telah mengadakan janji adu kepandaian dengan seseorang pada nanti hari pehcun digereja Ang-hun- kiong. Sudah tentu aku tak dapat mengingkari janji itu. Setelah dapat kupecahkan rahasia tulisan dibatu itu, aku tentu akan datang kemari lagi," katanya.

„Pergilah, tapi ingat akan sumpahmu !" Kit-bong-to berkata dengan dingin didahului dengan sebuah helaan napas.

Tio Jiang memberi jaminan takkan membocorkan rahasia selama 10 hari ini kepada lain orang. Kit-bong-to lalu suruh dua orangnya untuk mengantar dia turun gunung.

Ternyata kala itu hari pesta air (pehcun)  sudah menjelang tiba. Tio Jiang ber-gegas menuju ke Ko-to-san, tapi oleh karena dia kelamaan tinggal di Thiat-nia, jadi hampir saja dia terlambat datangnya. Tiba dikaki gunung Ko-to-san haripun sudah terang tanah. Dia coba bertanya pada beberapa penduduk kota kecil situ, tapi mereka seperti menutup rapat2 mulutnya, tak mau memberi keterangan suatu apa. Dia mondar mandir bertanya kebeberapa. tempat, pun idem. Akhirnya dia tiba pada kesimpulan bahwa rombongan suhunya, tentu sudah naik keatas gunung. Penduduk itu tentu mengetahui hal itu, hanya disebabkan karena mereka jeri akan keganasan orang2 Ang- hun-kiong, jadi mereka tak berani memberitahukan. Maka setelah mengisi perut, ber-gegas2 dia mendaki keatas.

Dia pernah sekali mengunjungi Ang-hun-kiong, maka belum tengah hari disebelah muka sana segera kelihatan tembok merah dari gereja itu. Kemudian setelah mengitari sebuah gunung, tibalah dia dimuka pintu dari Ang-hun- kiong. Disitu ternyata tampak banyak orang berkerumun.

Begitu menghampiri dekat, didengarnya Yan-chiu berteriak keras2: „Kiau susiok, jangan terkena tipunya!"

Dia tahu pertempuran sudah dimulai, maka dia segera lari cepat2. Mata Yan-chiu yang tajam segera dapat melihat bayangan sukonya itu. Saking girangnya, selebar mukanya menjadi ke-merah2an. Lupa kalau disitu ada banyak orang, lupa kalau antara kaum hawa dan adam itu masih terhalang dengan dinding adat istiadat, sigenit itu segera mencekal tangan sukonya. Dari kaki sampai keujung rambut, sigenit meng-amat2i sang suko sedemikian rupa, hingga membuat Tio Jiang kikuk sendiri. „Siao Chiu, jangan membuat gaduh!" akhirnya dia memberi peringatan. „Orang begitu kegirangan akan kedatanganmu, masa kau malah mengatakan begitu! Kemana saja kau selama ini, hingga baru sekarang datang ? Ah, betul2 kau tak mau mengerti kesibukan orang memikirkan dirimu!" mulut Yan- chiu berhamburan dengan kata2.

Tio Jiang cukup mengenal watak sumoaynya itu. Kalau berterus terang, tentu sumoay itu menanyakan ini itu tak habis2nya, maka sembari tertawa dia hanya menyahut ringkas saja: „Lewat beberapa hari lagi, nanti kuceritakan padamu!"

7

Melihat kedatangan sang Suheng, saking girangnya Yan-chiu ber-lari2 memapaki.

Habis itu Tio Jiang segera menghampiri suhunya. Disitu ternyata tampak hadir Kui-ing-cu, Ki Ce-tiong, Thaysan sin-tho Ih Liok dan masih ada seorang tua bertubuh kate yang belum dikenalnya. Setelah suhunya mengenalkan, barulah diketahui kalau orang tua itu adalah Sin-eng Ko Thay adanya. Kiau To dan The Go sudah tampak ber-putar2 ditengah sebuah lapangan. Sedang difihak sana, tampak ada 3 orang Ang-hun-kiong. Ang Hwat cinjin tak kelihatan. Rupanya dia masih memegang teguh derajatnya sebagai cianpwe persilatan.

Tio Jiang menganggap Ceng Bo siangjin itu bukan melainkan sebagai suhu saja, tapi juga sebagai seorang bapak kandungnya sendiri. Dia girang sekali bertemu dengan sang suhu yang dihormatinya itu. Setelah memberi hormat kepada sekalian orang, dia lalu menghaturkan batu yang berisi mustika itu seraya berkata: „Murid telah menemukan sebuah batu yang terisi mustika, mohon suhu memberi keputusan bagaimana hendak memperbuatnya."

Tio Jiang yakin suhunya tentu bergirang hati, tapi diluar dugaan, siangjin itu hanya mendengus „hem" sekali,  lalu tak mengacuhkan. Kini baru Tio Jiang sempat memper hatikan bagaimana air muka suhunya, Kui-ing-cu, Thaysan sin-tho, Ko Thay dan lain2 sama mengunjuk kegelisahan.

Heran dia dibuatnya. Kepandaian The Go toh hanya setingkat dengan Kiau To dan andaikata Kiau susiok itu kalah, toh masih ada dia yang menurut keyakinannya tentu dapat menundukkan The Go. Taruh kata menguatirkan Ang Hwat cinjin akan muncul kegelanggang, toh keempat tokoh lihay itu, akan dapat menghadapi juga, mengapa begitu diresahkan? Karena tak berani langsung menanyakan pada suhunya, dia lalu mendekati sang sumoay dan bertanya dengan bisik2 : „Siao Chiu, ada apa dengan suhu itu ? Apakah fihak lawan keliwat lihay ?"

„Entahlah, kalau aku bicara nanti dikatakan ceriwis, buat apa membuka mulut dengan sia2" sahut Yan-chiu dengan mengkal. „Siao Chiu, kau ini kenapa ?" Tio Jiang makin kebingungan.

Rupanya kasak kusuk kedua anak muda itu telah diketahui Kui-ing-cu siapa segera bertanya: „Siaoko, mana Nyo-cecu ?"

„Nyo-cecu ?" sahut Tio Jiang dengan kaget, „entahlah aku tak tahu !"

„Tak lama setelah kau mencari mustika batu itu, diapun lalu menyusulmu, mengapa bisa tak bertemu ?" menerangkan Kui-ing-cu.

Teringat akan keadaannya selama diperut gunung itu, dia menduga keras Nyo Kong-lim tentu juga terkurung disitu.

„Aya, celaka!" serunya tak tertahan lagi. Kui-ing-cu buru2 menanyakan dan Tio Jiang segera menuturkan pengalamannya diperut gunung itu. Rupanya Ceng Bo siangjin dan beberapa tokoh lainnya sama terperanjat juga. Mereka saling melihati satu sama lain.

„Biarkan kita rundingkan lagi nanti. Saat ini kita tak sempat untuk mengurusi," akhirnya Kui-ing-cu menyatakan

Oleh karena terlambat datang, jadi Tio Jiang tak mengetahui apa yang telah terjadi dalam pertempuran itu.

Baru dia hendak bertanya, atau tiba2 terdengar Yan-chiu menjerit, hingga terpaksa dia berpaling kebelakang. Kiranya ketika Tio Jiang datang, Kiau To dan The Go sudah bertempur. Pada saat itu The Go tampak menusuk kearah tenggorokan Kiau To. Oleh karena Yan-chiu  kenal serangan The Go itu menggunakan ilmupedang Chit-sat- kiam-hwat, maka tadi ia menjerit kaget. Dalam beberapa bulan ini, Kiau To berusaha untuk menjumpai Tay Siang Siansu. Tapi oleh karena Siansu itu sukar dicari. jejaknya, jadi dia tak berhasil. Berhubung hari pertempuran sudah dekat, terpaksa dia menuju ke Ko-to-san untuk menggabungkan diri dengan rombongan orang gagah lainnya. Pertempuran itu, menurut tantangan yang telah disetujui, adalah antara The Go melawan Kiau To dan Tio Jiang. Tadi karena Tio Jiang terlambat, jadi Kiau To lah yang maju lebih dahulu. Kiau To cukup mengetahui, bahwa pertempuran hari itu, penting sekali artinya. Maka dalam pertempuran, dia berlaku hati2 sekali. Tampak ilmu permainan pedang lawan luar biasa, ditambah pula menggunakan pedang pusaka kuan-wi, dia tak berani menangkis dengan jawan-piannya. Dengan gunakan gerak tiat-pian-kio dia buang tubuhnya kesamping, kemudian secepat kilat menyabet betis lawan.

The Go bersenyum ewa, sikapnya sangat yakin sekali. Begitu tusukannya luput, cepat dia balikkan pedang membabat pinggang Kiau To, sedang kakinya melangkah kesamping untuk menghindar jwan-pian Kiau To. Gerakannya begitu lemah gemelai, laksana seorang mahasiswa mengayun langkah. Dalam pandangan tokoh2 yang menyaksikan pertempuran itu, Kiau To sukar mencapai kemenangan. Hal inipun diinsyafi juga oleh Kiau To. Kelemahannya adalah terletak dalam  senjatanya ruyung lemas (jwan pian) itu.

Untunglah ruyung itu cukup panjang serta ilmu ruyung Liok-kin-pian-hwat itu cukup kaya dengan  gerak perobahan.

Jadi dapatlah dia memaksa lawan tertahan dalam jarak satu tombak. Mengetahui lawan hendak maju merapat, dia segera melesat kebelakang. Pian di-kibas2kan, tidak untuk menyerang tapi untuk melindungi diri. The Go bukan tak mengetahui kalau lawan hendak merebut kemenangan dengan ketenangan. Dia lemparkan pedangnya keudara, begitu tangannya menyambuti, mulutnya tertawa mengejek: „Kiau loji, mengapa tak maju menyerang lagi ?"

Habis berkata itu dia maju kemuka, tapi cepat mundur lagi. Sikapnya congkak sekali. Kiau To tak mau hiraukan propokasi orang. Tanpa membalas sepatah pun, dia putar jwan-pian, orang bersama senjata berbareng maju menyerang. Itulah salah satu jurus istimewa dari permainan Liok-kin-pian-hwat, orang dan pian dapat menunggal jadi satu. Tapi kini The Go telah berhasil memiliki ilmu pedang Chit-sat-kiam-hwat yang amat ganas aekali. Ditambah dengan mencekal sebuah pedang pusaka macam pedang kuan-wi-kiam, dia tak jerikan segala apa. Begitu Kiau To dan jwan-piannya merangsang datang, dia menyabet kalang kabut. Sepintas pandang, gerakannya itu kacau balau tak keruan, tapi pada hakekatnya itulah salah sebuah jurus Chit-sat-kiam-hwat yang paling istimewa, yakni yang disebut chit-che-tay-hwe (7 bintang saling bertemu). Didalam kegencarannya, mengandung seribu satu gerak perobahan yang berbahaya.

Melihat orang menyambut dengan pedang, Kiau To buru2 tarik pulang serangannya. Kalau pedang lawan itu pedang yang kebanyakan, seratus persen tentu dapat dia hantam jatuh. Tapi pedang kuan-wi-kiam, bukan pedang sembarang pedang. Pedang itu dapat menabas segala mat yam logam, semudah menabas tanah liat. Sudah terang jwan-pian akan terbabat kutung. Begitu tarik pulang tangannya, dia pun loncat kesamping, sembari mengancamkan jwan-pian.

Ancaman itu kosong, hanya diperuntukkan melindungi diri saja. The Go tak mau melepaskan lawan. Dia bolang balingkan pedang untuk di-main2kan sebentar diatas, kemudian secepat kilat ditusukkan kedada orang. Dibawah ancaman pedang kuan-wi-kiam yang sakti itu, terpaksa  Kiau To main mundur terus. Tio Jiang yang menyaksikan pertempuran itu berkerut kening, sebaliknya Yan-chiu mendongkol bukan kepalang.

„Hanya mengandalkan sebatang pedang tajam saja, apanya sih yang harus dibuat bangga!" serunya mengumpat. Tapi pada lain saat, dia teringat bahwa pedang itu adalah milik subonya yang telah berpuluh tahun mengangkat nama didunia persilatan. Dengan umpatannya tadi, bukantah juga berarti mengatakan suhu dan subonya tak mempunyai kepandaian yang berarti kecuali mengandalkan pedang pusakanya itu ? Memikir sampai disini, Yan-chiu bercekat sendiri. Untunglah semua orang tengah memusatkan perhatian pada jalannya pertempuran itu.

Dalam pada itu, The Go sudah kembangkan permainan pedang Chit-sat-kiam-hwat. Pedangnya tampak berkelebat kesana sini dengan gencarnya; makin lama makin rapat mengepung lawan. Betapapun Kiau To hendak merebut inisiatip, tapi tetap gagal. Jalan satu2nya, dia hanya dapat memainkan jwan-pian dengan lebih seru, agar jangan sampai kena diberobosi senjata lawan. Sekalipun begitu, keadaan tetap genting. The Go mempunyai pedang pusaka, dia tak jerikan jwan-pian, malah berulang kali sengaja hendak adu senjata. Kiau To terdesak dalam dua kesukaran menjaga serangan, menghindar bentrokan senjata. Dia selalu main mundur saja. Begitu seru pergumulan itu berlangsung, hingga yang tertampak hanya sebuah lingkaran sinar hijau merangsang sinar kuning. Dalam sekejab saja, mereka sudah bertempur lima enampuluh jurus. The Go semakin garang, mulutnya tak putus2nya mengejek, sedang Kiau To hanya diam saja. Sebenarnya saat itu sudah ketahuan kekuatan masing2. Tapi sebagai seorang jantan, Kiau To pantang menyerah. Lebih2 dia penasaran sekali karena kekalahan itu tak sewajarnya, hanyalah karena lawan memiliki senjata ampuh saja. Kembali 3 jurus sudah berlangsung, Kiau To berlaku nekad. Maju selangkah, begitu mementang tangan kiri, tangan kanannya menghantamkan jwan-pian. Dia tak menghiraukan lagi pertahanan-nya bagian dadanya terbuka.

The Go bersorak dalam hati. Tak mau dia menusuk, melainkan membabat jwan-pian orang. Disini dapat diketahui betapa kecerdikan orang she The itu. Dia cukup tahu Kiau To itu bukan jago sembarangan, sedikitnya juga mempunyai nama besar didunia persilatan. Kalau dada sengaja dibuka, tentu disitu ada apa2nya. Dia kendalikan diri, sembari mundur sembari membabat dulu  senjata lawan. Dan perhitungannya itu tern yata tepat sekali. Siasat Kiau To telah kena disiasati. Dalam kedudukan kala itu, tak mungkin Kiau To menarik lagi jwan-piannya dan terpapaslah oleh pedang si The Go hingga kutung menjadi dua, Kiau To makin kalap. Kutungan tangkai jwan-pian yang dipegangnya itu segera dilingkarkan kebawah untuk menutuk jalan darah peh-hui-hiat dikepala orang. Tapi The Go lebih cepat lagi. Ujung pedangnya ditekuk kebawah dan tahu2 Kiau To rasakan pahanya sakit, hingga buru2 dia surut kebelakang. Kiranya pahanya telah ketusuk, sedang jwan-piannya belum sempat ditutukkan.

„Kiau-heng, mundurlah!" Ceng Bo siangjin dengan gugup menereaki. Sedangkan Tio Jiang dengan sebatnya sudah loncat kehadapan Kiau To sembari gerakkan tangannya. The Go rasakan ada samberan angin yang berat menyerangnya, tapi dengan tertawa dingin dia menyabet tangan orang. Tio Jiang cepat tarik tangannya, diganti dengan sebuah tendangan kaki kanan kearah siku tangan orang.

8

Dengan pedang pusaka lawan pedang wasiat, Tio Jiang menggantikan Kiau To menempur The Go dengan senjatanya dalam pertandingan di Ang-hun-kiong itu.

The Go kaget dan ter-sipu2 mundur selangkah. Diam2 dia merasa heran, mengapa dalam beberapa waktu yang begitu singkat, saingannya itu mencapai kemajuan yang begitu pesat.

Juga Ceng Bo menjadi girang melihat kemajuan sang murid itu. Dalam dua jurus tadi, walaupun hanya dengan tangan kosong tapi Tio Jiang dapat mendesak mundur lawannya, pedang pusaka yap-kun-kiam dilolos dari sarungnya. „Jiang-ji, pedang ini untukmu!" serunya sembari angsurkan pedang itu kepada Tio Jiang, siapa sangatlah girangnya:

„Terima kasih suhu!" Pedang dibuat mainan sebentar, lalu berseru: „Cian-bin Long-kun, hati2lah !" Itulah watak ksatrya muda dari Lo- hu-san. Dia sangat benci kepada The Go, namun tak mau dia tinggalkan tata kesopanan pertempuran.

„Kita telah saling berjanji, hanya akan adu kepandaian, bukan adu mulut. Kalau mau menyerang, seranglah ! Apa itu 'hati2' sih ?" sebaliknya The Go malah mengejek kejujuran orang.

Tio Jiang tak mau berbantah, begitu maju selangkah, ia rangkapkan kedua tangannya kemuka dada macam seorang imam berdoa. Kemudian pedang diturunkan lalu secepat kilat dikibaskan keatas diimbangi oleh gerak tangan kirinya.

Itulah salah satu jurus dari ilmupedang to-hay-kiam-hwat yang disebut boan-thian-kok-hay. Sinar pedang yap-kun- kiam beda sedikit dari Kuan-wi-kiam, yalah sinar hijau itu mengandung sedikit warna bianglala. Tusukan yang diarahkan ketenggorokan The Go itu necis dan berwibawa sekali, karena kedudukan orangnya tegak kokoh. bagaikan gunung.

Sampaipun The Go sendiri, menjadi terkesiap. Sambil miringkan kepala, dia gerakkan pedangnya untuk membacok bahu lawan.

Luput menusuk, segera Tio Jiang turunkan pedangnya, trang ..... sepasang pedang saling beradu, deringnya sedemikian gemerencing bening. Keduanya loncat mundur, untuk memeriksa senjata masing2. Ternyata sepasang pedang itu sama ampuh, sama kokohnya. Kini keduanya saling berhadapan lagi. Anehnya, The Go tidak maju kemuka, tapi malah mundur. Sedang Tio Jiang tetap tegak laksana sebuah gunung.

Sekalian yang hadir, sama menahan napas untuk menantikan pertempuran itu. Sedang Ceng Bo diam2 puas akan kemajuan muridnya yang ternyata kini sudah dapat menyingkap intisari dari pelajaran ilmupedang to-hay-kiam- hwat. Tenang laksana gunung, bergerak laksaria kelinci lincah. Demikian pokok2 dari ilmupedang itu.

Tak berapa saat kemudian, tiba2 The Go menyerang maju. Sampai ditengah jalan, pedang baru  dimainkan dengan gencar, sehingga tampaknya orangnya telah bersatu kedalam lingkaran sinair pedangnya, Namun. Tio Jiang hanya mengawasi sembari palangkan pedangnya kemuka, saja, ia masih tegak-tenang. Kira2 beberapa depa jaraknya dengan Tio Jiang, se-konyong2 The Go hentikan permainan pedangnya secara mengagumkan sekali.

Tio Jiang terkesiap: Tapi dalam detik itu, The Go sudah lancarkan serangan Chit-sat-kiam-hwat tiga kali ber-turut2, menyerang atas, tengah dan bagian bawah dari orang.

Adalah Yan-chiu sigenit itu yang lagi2 tersentak kaget.

Waktu dalam gebrak permulaan tadi, kedua seteru itu sudah beradu senjata, tahulah ia bahwa mereka bertempur mati2an. Sudah tentu ia mend yadi kebat kebit juga hatin ya.

Kelima jari tangannya bergiliran digigiti, sedang matanya terpaku ketengah gelanggang. Kala dilihatnya sdng suko se- olah2 tak menginsyafi akan maut yang dibawakan serangan The Go itu, tanpa terasa ia telah menjerit.

Tio Jiang menangkis keatas, tapi secepat itu pedang The Go sudah beralih menyerang kearah perut, hingga terpaksa Tio Jiang mundur selangkah. Berbicara tentang nilai kedua ilmu pedang yang - dimiliki oleh kedua anak muda itu dapatlah secara ringkas diterangkan begini:

Dalam hal kebagusannya, Chit-san-kiam-hwat tak dapat menandingi To-hay-kiam-hwat. Tapi Chit-sat-kiam-hwat itu jauh lebih mudah dipelajari. Apalagi otak The Go memang cerdas. Dalam 7 atau 8-hari saja dia sudah hampir seluruhnya mengerti. To-hay-kiam-hwat hanya terdiri dari 7 jurus. Sebenarnya baik dalam ilmu silat maupun ilmupedang, makin sedikit jurusnya, makin  banyaklah gerak perobahan didalamnya. Dan disitulah letak intisari yang sukar dipelajari. To-hay-kiam-hwat dengan ke 7 jurusnya itu mudah dipelajari, yang sukar adalah gerak perobahannya itu. Apakah serangannya itu kosong atau sesungguhnya, harus disesuaikan dengan keadaan.

Sewaktu masih di Lo-hu-san, Tio Jiang belum pernah bertemu dengan musuh yang tangguh. Setelah turun gunung, walaupun pernah mengalami berulang kali pertempuran, tapi sebagian besar hanya berhadapan dengan kawanan tentara Ceng yang tak mempunyai kepandaian berarti. Pertempuran dengan pedang satu lawan satu, baru pertama kali dengan The Go itu. Sebaliknya The Go sejak kecil boleh dikata sudah berkecimpung didunia persilatan, jadi dia sudah banyak pengalaman berkelahi.

Dengan mundurnya Tio Jiang kebelakang itu, The Go sudah dapat mengambil inisiatip pertempuran. Kuan-wi- kiam dibolang-balingkan, tahu2 tham-tiong, ji-hiat, ki-kwat, siang wan dan ki-bun, lima buah jalan darah didada Tio Jiang telah diancam akan ditutuk. Tio Jiang baru saja dapat memperbaiki posisi kakinya, tapi sebelum sempat melancarkan jurus cing-wi-tiam-hay, sudah dirangsang begitu rupa oleh ceceran senjata The Go tadi, hingga terpaksa Tio Jiang putar pedang untuk melindungi dadanya.

The Go menggereng dengan geramnya. Rangsangannya yang selebat hujan dalam jurus ngo-lo-jay-kiau tadi, hanya dengan perobahan secara mendadak saja Tio Jiang sudah dapat menutup rapat2 dirinya, Dalam kemarahannya itu, tak urung  dia kagumi  jua kepandaian  lawan.  Tapi  dia tak mau berhenti sampai disitu saja. Begitu ber-gerak2, dia sudah melejit kebelakang lawan, disitu tanpa berayal Iagi dia segera menusuk punggung orang. Tio Jiang tak mau memutar tubuh, karena kalau berbuat begitu tentu kena didahului musuh. Dia hanya menjerumus kemuka sedikit, sembari hantamkan pedangnya kebelakang melalui sisi pinggangnya.

Kiranya serangan The Go itu walaupun tampaknya biasa saja, tapi sebenarnya mempunyai gerak perobahan yang sukar diduga. Jurus itu disebut „cong hong poan sat" (berlaku gila pura2 tolol). Kala itu dia berada dibelakang lawan jadi kedudukannya lebih menguntungkan. Untuk tabasan kebelakang dari Tio Jiang tadi, sengaja dia menangkis.

Tio Jiang terperanjat dan  buru2 kerahkan lwekang kearah pedangnya, sebaliknya tangkisan, The Go tadi hanya suatu pancingan aaja, karena selekas itu juga dia tarik, puIang pedangnya. Oleh karena tak menyangka musuh berbuat begitu, Tio Jiang tak sempat menarik lwekangnya, hingga dia terjerembab kebelakang. Jadi keadaannya adalah begini, bukan The Go yang perlu cape2 menusuk tapi Tio Jiang sendiri yang, hendak menjatuhi pedang Iawan !

Menilai, kepandaian mereka berdua, sebenarnya kini Tio Jiang lebih unggul setingkat. Hanya sayang sebelum dia dapat memperkembangkan permainan pedang To-hay- kiam-hwat, telah didesak begitu rupa oleh lawan. Sekali ada bagian tubuh yang kena diancam lawan, berarti seluruh tubuhnya kena dikuasai ancaman itu. Sekali sebuah serangan kena ditindas, maka jurus2 selanjutnya pasti akan dikuasai lawan. Begitulah dalil2 yang berlaku dalam ilmu silat. Tahu bakal celaka, buru2 Tio Jiang tekankan ujung kakinya kemuka, lalu ayunkan keras2 tubuhnya kemuka. Tapi The Go tak mau melepaskan sang korban. Pedangnya dijujukan kemuka, terpisah hanya dua dim dari punggung orang.

Suatu jarak yang laksana seperti selembar rambut digantungi dengan ribuan kait bahayanya. Sampai Yan-chiu yang melihatnya, kucurkan keririgat dingin.

Tio Jiang ayunkan tubuhnya sampai setombak kemuka, tapi belum sempat dia membalik tubuh, The Go sudah mengikutinya seperti sesosok bayangan. Pedangnya tetap mengiring kemana punggung Tio Jiang bergerak. Tio Jiang tak berdaya membalik badan, juga tak dapat balas menyerang. Dia rasakan hawa dingin dari pedang kuan-wi- kiam itu ber-putar2 dipunggung. Tak berani dia  berayal, lalu enjot lagi tubuhnya loncat kemuka, tapi The Go tetap membayanginya.

Begitulah dalam gelanggang itu segera terjadi permainan berloncatan saling mengudak. Lima kali Tio Jiang memutari gelanggang itu, namun tetap tak berdaya untuk menghindari ancaman musuh. Memang jurus cong-hong- poan-sat yang digunakan The Go itu, lihaynya bukan kepalang.

Seluruh jalan darah berbahaya dipunggung Tio Jiang se- olah2 tercengkeram dalam ancaman ujung pedangnya.

Asal sedikit berayal,  habislah riwayat Tio Jiang. Diantara   orang2   yang   menyaksikan  pertempuran itu,

Yan-chiulah  yang  paling  gelisah  sendiri.  Diam2  ia sudah

siapkan bandringannya dan terus hendak loncat ketengah gelanggang, tapi dicegah oleh suhunya. Walaupun menurut tapi bibir sigenit menyeringai geram. Dalam anggapannya terhadap  orang  macam  The  Go,  mengapa  harus  berlaku sungkan menetapi tata-susila kaum persilatan. Dia  sih belum cukup menyelami peribadi suhunya. Ceng Bo siangjin memang senantiasa berpegang pada garis kelurusan. Jangan sampai dia menyalahi orang, sebaliknya dia lebih suka memaafkan orang. Inipun berlaku terhadap seorang yang tak kenal kesopanan persilatan macam The Go.

Ketiga orang yang berdiri disebelah sana itu, adalah murid2 Ang Hwat cinjin yaitu ketiga Ang-hun su-mo  (4 Iblis dari Ang-hun-kiong), Toa-mo Ciang Tay-bing, Sam- mo Long Tek-san dan Su-mo Im thian-kui. Melihat bagaimana keangkeran The Go sewaktu memainkan ilmupedang Chit-sat-kiam-hwat itu, bukannya mereka bertiga menjadi girang tapi sebaliknya malah mendongkol. Toa-mo Ciang Tay-bing paling kentara perasaannya, karena mimik wajahnya mengunjuk kemarahan besar. Tapi oleh karena tak mengetahui persoalannya, maka rombongan fihak Ceng Bo hanya menganggap mereka bertiga itu separtai dengan The Go, jadi tentunya turut perihatin akan kemenangan The Go.

Beberapa kali, gagal untuk melepaskan diri itu, tiba2 Tio Jiang memaki dirinya sendiri yang sudah berlaku begitu goblok itu. Mengapa dia hanya terus menerus loncat kemuka saja...... ya. , mengapa tak mau loncat kesamping?

Bukantah dia mengerti juga akan ilmusilat hong-cu-may-ciu (sigila menjual arak), itu ilmu pusaaka dari kaum Ang-hun- kiong ?

Mengapa dia tak menggunakannya ? Secepat mendapat keputusan, setelah loncat lagi sekali kemuka, dia terus miringkan tubuhnya kesamping, dari situ lalu  buang dirinya. kemuka. Begitu tangannya kiri dibuat menekan tanah, sepasang kakinya bergerak dalam ilmu tendangan wan-yang-lian-thui, menjejak kaki The Go. The Go kaget juga, lalu buru2 papaskan pedangnya kebawah untuk menyambut tendangan orang, tapi  kali Ini dia tertipu. Tendangan Tio Jiang tadi hanya ancaman kosong, begitu dilihatnya pedang musuh menurun, dia tekankan tangannya kiri. keras2 pada tanah dan sepasang kakinya segera melayang keatas lalu berjumpalitan kebelakang,  terus berdiri tegak berhadapan muka dengan lawan.

Disebelah sana terdengarlah siulan kagum dari ketiga sam-mo Ang-hun-kiong, disebelah sini terdengar helaan napas longgar dari rombongan Ceng Bo, bahkan Yan-chiu malah bertepuk tangan seraya berseru memuji kepandaian yang diunjuk oleh sukonya itu.

Tapi Tio Jiang tak sempat menghiraukan segala sorak pujian itu. Begitu terlepas dari ancaman, begitu pedangnya sudah bergerak dalam jurus „Tio Ik cu hay", dan sebelum lawan menangkis dia sudah robah gerakannya, dalam jurus boan-thian-kok-hay. Sekali gerak, dua buah serangan susul menyusul, sehingga dari menyerang kini The Go ber-balik diserang tanpa mempunyai kesempatan untuk balas menyerang lagi. Tio Jiang tak mau memberi hati. Ceng-wi- tiam-hay dan Ho-pak-kuan-hay, susul menyusul dirangsangkan pada musuh.

Keistimewaan daripada, ilmupedang To-hay-kiam-hwat yalah jurus yang menyusul selalu lebih hebat dari, jurus yang dimukanya. Sempat memperkembangkan permainan ilmupedang ajaran sang suhu, Tio Jiang susuli lagi dengan jurus hay-siang-tiau-go, ujung pedang membacok  kaki lawan tapi se-konyong2 dihentikan. The Go mengira terbuka lubang kesempatan, kuan-wi-kiam hendak dijungkatkan ke-atas. Tapi ternyata berhentinya gerak Tio Jiang tadi hanya dalam sekejapan mata saja. Belum The Go sempat menggerakkah pedangnya, Tio Jiang sudah menusuk tenggorokannya. Dalam kagetnya, dengan gugup The Go mendak kebawah, srat yap-kun-kiam Tio Jiang

telah menusuk kain kepala The Go hingga berlubang besar. Tio Jiang jungkatkan ujung pedangnya keatas hingga kain kepala lawan terjumput lepas, lalu lanjutkan dengan jurus hay-li-long-huan. Disinilah Tio Jiang membuat blunder (kesalahan besar). Dengan jurus hay-li-long-huan yang sedianya hendak dipapaskan kerusuk lawan itu, terpaksa Tio Jiang harus berhenti setengah jalan, karena pedangnya harus memakan sedikit waktu untuk melingkar turun, The Go sudah loncat kebelakang untuk menghindar. Andaikata Tio Jiang tadi gunakan jurus hay-lwe-sip-ciu untuk memotong turun, dapat dipastikan The Go akan sudah terbelah kepalanya atau bahunya. Walaupun mengucurkan keringat dingin, namun The Go dapat lolos dari maut.

Melihat musuh loncat kebelakang, Tio Jiang tak mau mengejar. Lagi2 jago muda dari Lo-hu-san itu unjuk sifat ksatryaannya. Lupa sudah dia bahwa tadi musuh telah berlaku begitu ganas, meng-ubar2 punggungnya. „Biarkan dia mengambil napas, merebut kemenangan secara jujur adalah lebih ksatrya," demikian pikirnya.

Sebaliknya The Go girang karena musuh tak mengejar. Tangannya meraba kebelakang lehernya dan mencabut sebatang bambu kira2 satu meter panjangnya. Kalau Tio Jiang tak mengerti gerak gerik orang, adalah Yan-chiu dan Kui-ing-cu dengan segera dapat mengetahuinya.

„Ceng-ong-sin!" teriak sigenit. Tio Jiang terkesiap, heran dia mengapa ceng-ong-sin sampai jatuh ketangan The Go.

„Siaoko, hebat nian ilmupedangmu itu, mari maju lagi lah!" seru The Go dengan mengejek riang.

„Baik," sahut Tio Jiang. Tapi baru mulutnya mengucap begitu, tiba2 terdengar suara angin men-deru2, menyusul ada 3 sosok tubuh lewat ditempat situ. terus masuk kedalam gereja. Yang dimuka sendiri mengenakan pakaian jubah imam berwarna merah, gerakannya pesat laksana sebuah bola api ditiup angin. Dua orang yang mengikuti, walaupun tak selihay yang dimuka tadi, tapi juga tak lemah ilmunya. Mereka berdua mengenakan pakaian yang aneh coraknya, bukan jenis paderi bukan macam imam.

Tio Jiang berpaling mengawasi kearah suhunya dan Kui- ing-cu. Tampak kedua tokoh itu berkerut kening, se-olah2 ada peristiwa genting. Sebaliknya ketika mengawasi kemuka, dilihatnya The Go tertawa ber-seri2. Tak berapa lama kemudian, kembali ada 3 orang yang naik kepuncak situ. Tio Jiang kenal mereka sebagai sam-tianglo dari gereja Ci-hun-si di Lam-kun-san, yalah To Ceng, To Kong dan To Bu hweshio. Ketiga hweshio itu deliki mata kearah Ceng Bo dan Ko Thay. Rupanya mereka masih mendendam akan peristiwa ditengah sungai itu. Kedatangan ketiga hweshio itu segera disambut oleh Ang-hun sam-mo yang mengantar mereka masuk kedalam gereja.

Tak berapa lama, tampak Toa-mo Ciang Tay-bing keluar lagi dan berkata kepada The Go: „Go-tit, sucou titahkan supaya pertempuran ini dihentikan dahulu, karena dia orang tua ada omongan penting padamu !"

The Go mengiakan, sembari masukkan bumbung bambu kedalam leher baju, dia memberi hormat kepada rombongan tetamu seraya berkata: „Harap jangan pergi dulu, sebentar lagi siaoya akan datang lagi untuk menyelesaikan pertempuran ini!"

Tio Jiang terlalu jujur untuk balas mengejek. Sedangkan Ceng Bo dan Ko Thay, tetap mau pegang gengsinya, jadi mereka pun tak mau mengurusi soal kecil itu, dan melainkan hanya tertawa dingin saja. Hanya si Bongkok Ih Liok dan Kui-ing-cu yang tak mau tinggal diam untuk menyemprot The Go, serunya: „Kami tak pergi,  tapi kaupun jangan ngacir!"

Dan tanpa ajak2an lebih dahulu, kedua tokoh kukway  itu segera enjot tubuhnya loncat kemuka. Yang satu dari sebelah kiri dan yang lain dari sebelah kanan, dan sama ulurkan tangan untuk mencengkeram The Go. The Go pernah rasakan tangan si Bongkok, maka dia sesali mulutnya tadi yang sudah begitu lancang, hingga sampai menimbulkan kemarahan kedua tokoh lihay itu. Sekalipun Ang Hwat cinjin nanti keluar, dia tentu akan sudah disiksa oleh kedua momok itu. Maka seperti diuber setan, dia bolang balingkan pedangnya, lari tunggang langgang kedalam gereja. Tiba diambang pintu, didengarnya dari arah belakang ada, suara orang ketawa ter-bahak2. Ketika dia beranikan diri berpaling, mendongkolnya bukan alang kepalang. Kiranya cengkeram Kui-ing-cu dan si Bongkok tadi, hanya ancaman kosong belaka. Nyatanya kini mereka masih berdiri tegak ditempat masing2 sembari tekan perutnya karena geli melihat The Go lari ter-kencing2.

Lebih2 sigenit Yan-chiu. Saking gelinya tubuh nona itu sampai ter-huyung2 maju mundur. Sembari menekan perut, ia berseru mengejek: „Cian-bin Long-kun, hebat sekali ilmu mengentengi tubuhmu sekarang ini ya!"

The Go meringis geram. „Awas, nanti tentu kuhajar kau setengah mampus," pikirnya sembari rnelangkah masuk kedalam. Sebaliknya dengan masih tertawa, Yan-chiu kedengaran mengomeli sang suko: „Suko, mengapa terang2an tadi kau mempunyai kesempatan untuk menghajarnya, tapi membiarkan dia lari begitu saja ?"

Belum Tio Jiang menyahut, Kui-ing-cu sudah mendahului: „Siaoko sih orangnya jujur, tidak seperti kau budak perempuan yang segenit itu, segala apa tiada takut !" Yan-chiu mengunjukkan „muka setan" kepada tokoh aneh itu, siapa hanya menyeringai saja, karena merasa diapun serasi perangainya dengan anak perempuan itu.

„Persoalan hari ini, berkembang begini jauh, tidak melulu berkisar pada diri The Go seorang. Bek-heng dan Kui-heng serta Ko enghiong karena menolong Sik Lo-sam, kini masih belum pulih dari kehilangan tenaga. Tay Siang Siansu belum dapat diketemukan, sedang kaki tangan pemerintah Ceng sudah berkumpul disini. Rasanya kita bakal menghadapi kesukaran besar nanti!" akhirnya si Bongkok berkata.

Tio Jiang seperti diguyur air dingin waktu, mendengar ucapan itu. Bukantah Li Seng Tong sudah berpaling haluan melawan pemerintah Ceng, hingga didaerah Kwitang sini tiada terdapat pengaruh Ceng, lagi, tapi mengapa masih ada kaki tangan mereka ? Sungguh Tio Jiang tak habis mengerti persoalannya. Adalah Kiau To yang ternyata tak terluka berat itu, segera menyatakan pendapatnya: „Bek-heng, turut pendapatku, lebih baik aku turun gunung mencari suhuku. Kalau tak berhasil menjumpainya, aku hendak menuju ke Kwiciu untuk meminta agar Li Seng Tong suka mengirimkan pasukan kemari!"

(Oo-dwkz-TAH-oO)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar