Naga dari Selatan BAGIAN 34 : SETAN BERKEPALA DUA

 
BAGIAN 34 : SETAN BERKEPALA DUA

Seperti telah diterangkan dibagian atas, dengan angkuh dan getasnya Bek Lian tak mau ikut dengan rombongan Kui-ing-cu. Begitu tinggalkan puncak Thiat-nia, ia segera keluar masuk menyusup hutan pegunungan situ. Karena tak kenal jalanan, ia ke-sasar2 tak karuan. Setengah harian berjalan itu, ia merasa lelah dan lapar. Duduklah ia diatas sebuah batu, sambil memakan biji buah siong untuk penahan lapar. Sambil duduk melepaskan lelah, pikirannya melayang akan diri Cian-bin Long-kun. Teringat ia akan sikap dan perbuatan kekasihnya itu selama mengajaknya keatas gunung. Aneh, mengapa tahu kalau ia (Bek Lian) tak pernah minum, tapi kekasih itu memaksanya? Aneh-pula mengapa setelah ia tersadar sang kekasih itu sudah tak nampak disitu ?

Sesudah ubek2an kian kemari, achirnya Bek Lian merasa letih, ia daduk ter-menung2 diatas sebuah batu memikirkan kelakuan kekasihnya yang aneh

Bagi orang yang sadar, tentu segera, dapat menarik kesimpulan apa yang telah terjadi. Tapi karena perangainya yang angkuh, sombong itu, tambahan pula ia sudah buta dengan asmara, maka biar bagaimana juga tak mau ia menuduh sang kekasih itu sebagai orang jahat! Sekalipun begitu, hatinya mulai bersangsi juga. Pada waktu itu ia sudah hamil, 4 bulan lebih, jadi mulai malas2an. Dihempas oleh siliran angin yang nyaman ditengah pegunungan sunyi itu, ia merasa tenteram. Ia rebahkan diri dan tertidurlah ia dengan pulasnya. Keesokan harinya ketika hari sudah tinggi, barulah ia terjaga. Baru ia hendak lanjutkan perjalanannya lagi, se- konyong2 dari sebelah muka sana tampak ada dua orang mendatangi. Salah seorang yang memakai pakaian pertapaan itu, adalah ayahnya sendiri. Sudah tentu ia menjadi ketakutan dan lekas2 menyelinap kesamping untuk bersembunyi.

Tak jauh dari situ dilihatnya ada sebuah sela2  lubang batu yang tiba cukup untuk dimasuki satu orang. Disekitar sela batu itu, penuh ditumbuhi dengan semak2 rumput, sedang disana sini akar2 rotan me-lingkar2 menutupinya. Kalau orang tak memperhatikan dengan perdata, tentu tak mengetahui adanya sebuah sela sempit itu. Karena tak mempunyai lain pilihan lagi, Bek Lian segera lari masuk kesitu.

Tepat ia menyelinap masuk, tepat terdengar seruan Ceng Bo yang menggetarkan empat penjuru itu. Ternyata sela sempit itu merupakan pintu masuk dari sebuah lorong gua yang dalam sekali. Dengan ber-ingsut2, ia masuk agak kedalam.

„Hai, kemana budak hina itu bersembunyi ?" tiba2 kedengaran Ceng Bo berseru. Dan sret, kedengaran sesosok tubuh loncat keatas sebuah puhun. Rupanya seseorang hendak meninjau kesekeliling tempat itu dari atas.

Bek Lian makin ketakutan dan ber-ingsut2 makin kedalam. Heran, lorong yang bermula sedemikian sempitnya itu, makin kedalam makin lebar. Ia terus masuk makin jauh dan suara Ceng Bopun makin tak kedengaran jelas. Nyata ayahnya sudah tak berhasil menemukan tempat persembunyiannya itu. Legalah hati Bek Lian.

Bek-heng, tak jauh dari sini, ada seorang wanita ber-urai rambut tampak sedang berjalan dengan ilmu mengentengi tubuh yang niengagumkan sekali!" seru Ko Thay dari atas sebatang puhun. Kiranya yang kedengaran loncat kepuhun tadi, dialah. Ceng Bo segera dapat menduga, wanita itu tentulah isterinya, Kang Siang Yan. Sejak berpisah di Hoasan, dia belum berjumpa lagi dengan sang isteri itu.

Entah sudah dapatkah ia mencari pedang pusakanya itu?

Diapun menduga kalau Bek Lian tentu bersama dengan ibunya itu. Biar bagaimana dia tak suka melihat wajah puterinya itu. „Ko-heng, mari kita lanjutkan perjalanan lagi!" dengan menghela napas, ia segera ajak sahabatnya itu berlalu.

Pernah juga Ko Thay mendengar tentang peristiwa perpecahan suami isteri Hay-te-kau dan Kiang Siang Yan, maka tanyanya: „Bek-heng, apakah jangan2 wanita itu Kiang Siang Yan adanya?"

Benar, 10 tahun lamanya ia meyakinkan ilmu Thay-im- lian-seng dari Lam-hay Hu Liong Po. Kini ia lebih  lihay dari kita berdua, hanya sayang perangainya berobah aneh, ah.       " Ceng Bo menghela napas, lalu menuturkan tentang

kelakuan puterinya yang telah tersesat jatuh cinta pada The Go, serta bagaimana isternya itu (Kiang Siang Yan) memihak puterinya. Ko Thay pun seorang jantan yang berhati   blak2an,   kontan   dia  menge-luarkan  isi  hatinya:

„Amboi, ah..... kalau begitu aku harus lekas2 mencari anak itu. Kalau dia, sudah terlanjur menjadi menantumu, tentu aku tak dapat melampiaskan dendam puteraku!"

Ceng Bo siangjin tertawa kecut. „Harap Ko-heng lapangkan dada, aku tentu akan membantumu!" Ceng Bo memberikan janjinya. Baru kurang lebih setengah bulan kedua orang itu saling berkenalan, tapi Ko Thay cukup mengetahui peribadi tokoh siangjin yang berbudi luhur itu, ujarnya: „Bagus, itulah laku seorang sahabat sejati!" --oodakzOTAHoo--

Mereka tak lanjutkan pengejarannya lagi kepada Bek Lian, Setelah melintasi sebuah puncak, didengarnya dari hutan yang disebelah muka sana ada suara auman binatang buas. Bagi kedua orang, hal itu tak dihiraukan. Tapi baru berjalan beberapa langkah, se-konyong2 terdengar sebuah suara jeritan aneh, menyusul seekor orang utan  besar menyerang keluar.

Ceng Bo yang luas pengalamannya, segera tahu makhluk itu tak boleh dibuat main2. Secepat mencabutt pedang yap kunnya, ia melesat menyongsong maju. Kiranya orang utan itu adalah si Toa-wi, itu binatang piaraan Yan-chiu. Rupanya binatang itu tahu juga akan kelihayan pedang pusaka yap-kun. Dengan menguak2, dia segera berputar kebelakang melarikan diri. Sewaktu Ceng Bo dan Ko Thay mengejar, mereka segera terperanjat melihat tak jauh disebelah muka sana, tampak Sik Lo-sam dan Kui-ing-cu duduk bersila. Wajah Sik Lo-sam, tampak mengerut dahinya yang penuh becucuran butir2 keringatnya sebesar biji kacang. Sedang Kui-ing-cu tampak meram  melek, ubun2 kepalanya mengeluarkan segumpal hawa panas.

Ceng Bo dan Ko Thay adalah tokoh persilatan yang berilmu tinggi. Sekali melihat tahulah mereka kalau Sik- Losam itu sedang menderita luka dalam yang parah. Sementara Kui-ing-cu tengah bantu mengobati dengan cara penyaluran tenaga lwekang. Benar cara itu dapat memberi hasil bagus, tapi orang yang mengobati itu tentu menderita sendiri, tenaga-murninya banyak hilang dan salah2 bisa menjadi seorang yang tanpaguna lagi.

Ceng Bo pernah berjumpa dengan Kui-ing-cu ketika diluitay gunung Gwat-siu-san, Sebaliknya Ko Thay tak kenal sama sekali akan kedua tokoh itu. Tapi keduanya (Ceng Bo dan Ko Thay) adalah tokoh2 persilatan  yang luhur budi, menampak ada lain kaum persilatan yang mendapat kesusahan, tanpa diminta lagi mereka ulurkan bantuannya, Ceng Bo menghampiri dan ulurkan tangannya, hingga tangan Kui-ing-cu tadi tergeser kesamping sedikit. Kini kedua orang itu bersama meletakkan telapak tangannya dipunggung Sik Lo-sam bagian jalan darah leng- thay-hiatnya.

Ko Thay tak mau ketinggalan. Diapun lalu menempelkan tangannya kearah jalan darah ban-kay-hiat didada, Sik Losam. Kini ketiga tokoh itu salurkan lwekangnya untuk bantu mengobati luka Sik Lo-sam. Segera Ceng Bom engetahui kalau sikate limbung itu terkena pukulan lwekang thay-im-ciang yang lihay. Tanpa terasa dia menghela napas. Sebaliknya setelah mendapat bantuan kedua tokoh lihay itu, Kui-ing-cu merasa enakan, ujarnya dengan riang: „Hayte-kau, aneh juga mengapa kalian sepasang suami isteri itu, berlainan perangai!"

Ceng Bo tertawa kecut, sahutnya: „Harap Kui-heng jangan menertawainya!"

Mendengar disebutnya nama itu, Ko Thay sangat terperanjat, tanyanya: „Jadi kau ini orang she Kui ?"

„She apa aku ini sebenarnya, lupalah aku sudah. Tapi orang hanya menyebutku si Kui-ing-cu saja!" sahut Kuiing- cu dengan tertawa.

„Ah, lama nian aku mengagumimu!" kata Ko Thay. Sebaliknya Kui-ing-cupun segera balas menanya:

„Bukankah cunke (anda) ini Sin-eng Ko Thay?"

Ko Thay gembira sekali mendapatkan orang yang dikagumi itu, ternyata juga seorang jantan yang jujur suka berterus terang. Maka dengan serta merta dia mengiakan. Mendengar itu, segera Kui-ing-cu berkata: „Ko-heng tentu juga akan hadir dalam pertemuan di Ko-tosan. Dengan adanya gangguan ini, walaupun tak sampai terlambat datang kesana, tapi sangat merugikan tenaga Ko-heng! Menjengkelkan adalah tua bangka kate ini, kepandaiannya kecil, tapi merugikan besar pada lain orang !"

Sejak mendengar ketiga orang itu berbicara, Sik Lo-sam sudah kepingin turut omong. Maka begitu Kui-ing-cu memakinya, segera tak tahan lagi dia. „Kui~ing-cu, mungkin saja kau bisa memberi sebuah gebukan pada wanita itu, tapi aku sudah menggebuknya satu kali!" dia menjerit.

„Sik Lo-sam, bagaimana kalau kau kancing dulu mulutmu itu.?" sahut Kui-ing-cu sambil tertawa. Sik Lo-sam menurut. Memang setelah mendapat penyaluran lwekang dari ketiga tokoh lihay itu, hawa dingin yang menyerang tubuhnya mulai berkurang, berganti dengan hawa hangat. Ketika malam tiba, dia sudah separoh bagian baik, terus mengorak sila hendak berdiri. Melihat kalau sikate limbung itu belum sembuh betul, ketiga orang itu-memaksanya supaya duduk bersila lagi, Keesokan harinya, barulah ketiga orang itu lepaskan tangannya dan menghela napas legah.

Sehari semalam menyalurkan lwekang itu, mereka bertiga menjadi lelah sekali, karena hal itu sama dengan bertempur ma'Li2an. Betul tenaga mereka tak hilang sama sekali, tapi toh separoh bagian lenyap. Kepulihannya memerlukan waktu ber-bulan2.

Se-malam2an itu, Kui-ing-cu telah menuturkan pengalamannya memasuki daerah suku Thiat-theng-biau digunung Sip-ban-tay-san situ. Setelah itu, dia bertanya bagaimana Ceng Bo juga datang kesitu. Mendengar keterangan bahwa Ceng Bo telah ditipu oleh To Ceng, Kui- ing-cu tertawa gelak2. Keesokan harinya dapatlah Sik Lo- sam bebas dari hawa maut-yang merangsang tubuhnya itu.

„Aku diberi mata, kalau sampai tak dapat melihat keramaian di Ang-hun-kiong itu, bukantah penasaran sekali?!" seru silimbung seenaknya sendiri.

Setelah beristirahat sebentar, mereka menuju kerawa Hek-cui-than. Tapi sampai sekian lama menyelidiki, mereka tak berhasil menemukan jejak Tio Jiang dan Nyo Kong-lim. Menduga kalau mereka berdua sudah tinggalkan gunung itu menuju ke Ko-to-san, ke-empat tokoh itu segera tinggalkan pegunungan Sip-ban-tay-san berangkat ke Ko-to-san.

--oodwkzOTAHoo--

Sekarang Mari kami ajak pembaca menengok keadaan Bek Lian. Makin masuk kedalam gua, makin ia tak mendengar lagi suara ayahnya. Ternyata jalanan disitu, lebar sempit tak berketentuan, ber-liku2 bahkan ada persimpangannya juga. Merasa sudah cukup lama bersembunyi, ia yakin ayahnya tentu sudah pergi. Tapi ketika ia berjalan balik ternyata ia tak dapat menemukan lubang pintu tadi. Bek Lian makin gelisah, Diketahuinya tempat itu adalah lamping dari sebuah puncak gunung yang tinggi. Kalau ia sampal tak berhasil menemukan pintu keluar tadi, bukankah akan celaka nanti? la  percepat kakinya menyusuri lorong jalan itu, tapi ber-jam2 lamanya, ia tetap tak berhasil. Malah pada saat itu ia berada disebuah tempat yang gelap. Disekelilingnya merupakan batu karang, agaknya seperti berada disebuah gua. Jalanan disitu  sebentar agak lebar, tapi ada kalanya, hanya tiba cukup untuk dilalui oleh seorang saja.

Saking putus asa, Bek  Lian mendumprah ditanah, menangis ter-sedu2. Entah sudah berapa, lama ia menangis Aitu. Ketika didengarnya disana sini riuh rendah dengan kumandang suara tangisannya, ia menjadi ketakutan sendiri lalu berhenti menangis. Kini ia berbangkit untuk berjalan lagi. la telah menetapkan arah jalannya, yaitu terus berjalan lempang takk mau mem-biluk2 lagi. Tak berapa lama kemudian, ia mendengar ada suara air mengalir.

Maju lagi beberapa meter, kakinya terasa dingin, ketika dirabanya, ternyata, tanah disitu becek berair, kiranya ada beberapa inci tingginya. Rupanya air itu berasal dari tengah gunung yang tak dapat mengalir keluar sampai ber-tahun2. Karena sangat haus, tanpa hiraukan bersih tidaknya, Bek Lian segera merangkumnya sepasang lengan mengambil air, lalu diminumnya. Nyaman juga air itu rasanya, sehingga tubuhnya terasa segar. Disebelah  muka sana dilihatnya air makin banyak. Dan ketika dihampirinya, air sampai merendam betis tingginya.

Makin melangkah kemuka, Bek  Lian rasakan tanah rendah, jadi makin dalam airnya. la sudah segera akan  balik. ketika samar2 dilihatnya disebelah muka sana seperti ada. bagian permukaan air yang kilau kemilau tertimpa sinar.

Diam-diam, ia menjadi girang. Kalau tiada lubang menembus keluar, Masakan ada sinar matahari dapat menemblis kesitu? Ah, siapa tahu kalau2 disana ia akan berhasil menemukan jalan keluar. Dengan tangan menempel pada dinding gua itu, ia maju kemuka.

Kira2 3 - 4 tindak jauhnya air sudah sampai kebatas perut, Bek Lian bersangsi, baik teruskan atau tidak. Kalau surut balik, terang ia bakal terkurung disitu seumur hidup, ah......, lebih baik ia maju saja, siapa tahu mungkin ada harapan. Ternyata setelah itu, tanah yang terendam air itu agak rata. Baru ia tersadar kalau dirinya berada di-tengah2 sebuah gua berair. Oleh karena sekian lama berada ditempat gelap, lama2 ia sudah biasa dengan keadaan dan samar2 dapat juga melihat keadaan disekelilingnya. Entah berapa dalam air disebelah muka nanti, karena pada saat itu air sudah sampai dibatas dada dalamnya.

Lama kelamaan Bek Lian merasa lelah juga. Ia berhenti sejenak, bersandar pada dinding gua sembari meramkan mata. Ketika ia hendak mengheningkan pikiran memulang, semangat, tiba2 didengarnya disebelah muka sana ada suara air beriak beberapa kali. Waktu membuka mata mengawasi, kagetnya bukan alang kepalang.

Kiranya dimulut gua sana, terpisah kira2 3 tombak jaraknya dari tempat Bek Lian, ada semacam makhluk aneh sedang mondar mandir. Dikatakan aneh karena walaupun ditilik dari bentuknya makhluk itu adalah seorang manusia, tapi sebatas pundaknya kebawah terendam air. Tapi diatas pundaknya itu terdapat dua buah kepala!

Bermula Bek Lian mengira kalau matanya yang ber- kunang2, maka lalu di-sapu2 dengan tangannya.  Tapi ketika diawasinya dengan perdata lagi, ah..., benar2 orang itu mempunyai dua buah kepala........ Saking, takutnya, jantung Bek Lian terasa berdetakan keras.

Barang siapa masuk kedalam perut gunung yang mysterius (pelik) itu tentu takkan hidup lama. Kalau toh disana ada makhluk manusia yang sedemikian anehnya, tak salah lagi tentu bangsa, siluman, demikian pikir Bek Lian. Dengan ber-ingsut2 ia segera balik mundur ketempatnya tadi. Yakni dibagian yang dangkal airnya. Sekalipun sudah jauh, masih juga ia kuatir jangan2 siluman itu akan mengejarnya. Maka ia diam menahan nafas untuk mencari akal. Namun sampai sekian lama, tiada tampak ada kejadian apa2. Achirnya Bek Lian menyangsikan. dirinya, jangai2 tadi ia sudah salah melihat Bangsa siluman apapun juga, tiada ada yang berkepala dua.

Mundur kembali, hanya gelap gulita yang dijumpainya. Sebaliknya disebelah muka sana, tampak ada cahaya penerangan. la putuskan, maju lagi. Lebih baik bila perlu bertempur dengan siluman, dari pada mati konyol diperut gua.

Tiba ditempat tadi, kembali ia melihat bayangan makhluk aneh itu, masih mondar mandir dimulut gua, Sebatang kepalanya berada ditengah pundak, sedang yang sebuah lagi melekat dipundak kirinya. Tapi anehnya, pada lain saat kepala dipundak kiri itu bisa beralih kepundak kanan. Setelah lama mengawasi dengan seksama, ketakutan Bek Lian berkurang. Ia menyusur maju. Syukur air disitu hanya sebatas dada saja tingginya.

Rupanya makhluk aneh itu mendengar juga suara riak air yang diterjang Bek Lian. Tiba2 dia berpaIing kearahnya. Jelas tampak oleh Bek Lian, bahwa mata dari makhluk itu- ber-kilat2 memancarkan cahaya, banyak menyerupai mata dari seorang yang memiliki lwekang tinggi dari pada suatu siluman. Kalau saja makhluk itu tidak, mempunyai dua buah kepala, siang2 Bek Lian tentu sudah berseru memanggilnya. Untuk keheranannya, makhluk itu hanya mengawasi kearahnya, tapi tak mau mengeluarkan suara. Malah pada lain saat, makhluk aneh itu mundur dan lenyap dari pemandangan.

Hai, kiranya makhluk itu takut juga pada manusia. Nyali Bek Lian menjadi besar, lalu terus menyeberang mengejarnya. Air disitu ternyata hanya sampai sebatas janggutnya saja. Kira2 setengah jam kemudian, tibalah ia dimulut gua. Begitu memandang keluar, mulut Bek Lian segera mengeluh: „Ah, celaka!"

Kiranya dimuka mulut gua situ, terbentang tujuh atau delapan jalanan, yang kesemuanya gelap gulita  keadaannya. Adanya dimulut gua itu agak terang tadi, adalah karena disebelah atasnya ada sedikit celah lubang. Tapi tinggi celah itu beberapa tombak, jadi sukar untuk dicapai.

Bermula Bek Lian mengira, begitu mencapai mulut gua, ia tentu akan tertolong dari penjara alam itu. Tapi ternyata harapannya itu hanya suatu chayal kosong belaka. Ceng Bo menumpahkan seluruh kasihnya kepada puterinya tunggal itu. Jadi sewaktu digunung Giok-li-nia, Bek Lian sangat manja sekali, segala kehendaknya harus diluluskan. Ketika turun gunung dan berjumpa dengan The Go, iapun dimanjakan dengan sanjung rayuan mulut si Cian-bin Long- kun yang ter-gila2 akan kecantikannya itu. Jadi boleh dikata sampai sebesar itu, Bek Lian belum pernah merasakan apa yang dinamakan kepahitan hidup itu. Maka pada saat menghadapi kesukaran itu, hancur luluhlah keangkuhannya, dihanyutkan oleh sang air mata yang membanjir turun. Untuk menumpahkan kekesalan hati, ia menangis gerung2. Tapi berbareng dengan pecah tangisnya itu, disebelah muka sana terdengar benda kecemplung didalam air dan menyusul dengan suara bergerutukan, macam benda tenggelam didasar air.

Bek Lian serentak tersadar dari tangisnya. la berada di tempat terang sedang simakhluk aneh ditempat gelap, sudah tentu celaka ia, kalau tak lekas2 berpindah tempat. Cepat2  ia melangkah kesalah sebuah lorong jalan yang airnya hanya sampai sebatas betis. Tertiup oleh hembusan angin gunung, ia rasakan tubuhnya dingin sekali. Dilihatnya simakhluk aneh itu berenang lagi kedalam gua, tapi pada lain saat sudah berenang balik lagi.

Bek Lian putus asa. Ia merasa kali ini ajalnya tentu datang. Teringat akan orok yang dikandungnya itupun akan turut meninggal sebelum sempat melihat sinar matahari, ia, mengeluh dengan duka-citanya. Tapi suara keluhan itu, telah menarik perhatian simakhluk aneh yang segera menuju kearahnya. Kali ini Bek Lian berada ditempat gelap, mengawasi kearah tempat yang terang. Jadi penglihatannya jauh lebih jelas. Begitu mengawasi, mulutnya terpecah tawa.

Kiranya makhluk itu bukan bangsa siluman yang mempunyai dua buah kepala, tetapi melainkan hanya seorang manusia biasa. Hanya saja orang itu tengah menyanjung sebuah batu sebesar kepala orang, diatas kepalanya. Orang baikkah atau orang jahatkah dia itu, bukan soal. Yang penting nyata2 mereka itu senasib, jadi harus kerja sama. Baru ia hendak membuka mulut  menegur, orang itu sudah mendahuluinya bersuara: „Siapa yang disitu itu? Setan atau manusia atau bahurekso (malaekat penunggu) disini ?"

Dalam tempat yang mirip dengan sebuah penjara alam, Bek Lian dapat berjumpa dengan seorang lain yang senasib, itu sudah cukup membesarkan hati. Apalagi ketika mendengar nada suara yang tak asing lagi baginya itu, ia lalu berjingkrak kegirangan, serunya: „Sute, kaukah? Ini aku, bukan setan bukan bahurekso!"

Ya, memang benar, orang itu bukan lain adalah Tio Jiang, siapa segera berseru dengan kaget sekali: „Suci, ah....... kiranya benar kau! Tak heran tadi aku agak mengenal suara tarikan napasmu. Tapi mengapa kau bisa berada disini?" Bek Lian tak mau mengatakan kalau beradanya disitu itu disebabkan lari bersembunyi melihat ayahnya, maka ia segera berbalik bertanya: „Kau beritahukan dulu, mengapa kau bisa berada disini, apakah namanya tempat ini? Mengapa diperut gunung ini banyak sekali jalan tembusannya begitu ? Hayo, kita lekas keluar dari sini dulu, baru nanti bercerita!"

Tio Jiang kedengaran menghela napas. „Suci, apakah tempatmu disitu airnya tak dalam ? Terendam air sedingin itu, tentu sangat kedinginan," tanya Tio Jiang tak mau menyahut pertanyaan yang ber-tubi2 dari sucinya tadi.

„Memang disini airnya dangkal, tapi cukup dinginlah, karena ada hembusan angin!"

„Ada angin menghembus?" seru Tio Jiang dengan terkejut kegirangan.

--oodwkzOTAHoo--
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar