Postingan

 
BAGIAN 32 : MASUK SARANG HARIMAU

Setelah selesai, dicobanya kedua alat itu oleh Yan-chiu. Setelah memuaskan, ia lalu berangkat ke Ko-to-san. Menjelang magrib, nun jauh disebelah muka, tampak tembok merah dari gereja itu merebut pandangan mata. Mata Yanchiu yang tajam segera dapat melihat bahwa dipintu dari gereja itu banyak sekali orang2 yang 'keluar masuk. Oleh karena itu waktu, masih terang hari, terpaksa Yan-chiu mencari sebuah puhun rindang untuk beristirahat. Untuk jangan diketahui orang, ia panjat keatas bersembunyi, nanti setelah hari gelap, baru ia memasuki gereja itu.

Selagi ia me-nimang2 tentang keadaan gereja Ang- hunkiong yang begitu besarnya, se-konyong2 terdengar dahan dibawah berkerotakan dan batang puhun itu ber- goyang2. Cepat2 ia siapkan bandringan, tapi mendadak sebuah nada suara yang kasar terdengar berkata: „Sam- suheng, rupanya gereja Ang-hun-kiong itu. kelak tentu jatuh pada The Go. Kau dan aku, meskipun tergolong supehnya (paman guru), tapi tak dapat menyamai-nya!"

Yan-chiu terkesiap, batal menggerakkan tangannya.

„Lo Su, apa kau penasaran ? Orang kan punya tiang andalan! Kali ini biar kita. lihat, kalau kita berempat tampil, bagaimana suhu akan memutuskan ? Hem......, kemaren Kuan Hong dan Wan Gwat mengatakan, suhu telah memutuskan hendak menurunkan ilmu pedang Khit-sat- kiam-hwat padanya!" kata pula seorang. Terang dua orang yang dibagian bawah dahan itu adalah orang2 Ang-hun- kiong.

„Apa benar begitu? Rasanya tidak, ah! Kita yang sudah ber-tahun2 mengikut suhu, belum juga menerima pelajaran itu." sahut kawannya. Tapi orang tadi menetapkan kebenaran keterangannya, katanya: „Sudah tentu benar! Suhu rupanya berat sebelah. Kali ini entah dari mana anak itu berhasil membawa sebuah pedang pusaka. Sekali meminta, suhu terus meluluskan!"

Yan-chiu yang cerdas segera dapat menduga siapakah kedua orang itu. Mereka tentulah supeh dari The Go, juga muridnya Ang Hwat cinjin. Kalau mereka tak puas terhadap The Go, terang menandakan bahwa anak itu memang jahat benar2. Dari sebutan yang diucapkannya yakni „samsuheng" (kakak seperguruan ketiga) dan „Lo Su" (nomor 4), adalah salah seorang Su Mo (empat iblis) Ang- hun-kiong yang bernama Sam-mo Long Tek-san dan Su-mo Im Thian-kui. Yang tak dimengerti Yan-chiu yalah kata2 mereka yang mengatakan bahwa The Go mempunyai tiang andalan itu. Untuk mengetahui lebih jauh, ia pasang telinga dengan penuh perhatian.

Lewat sejenak, Sam-mo (iblis ke 3) Long Tek-san berkata pula: „Entah apa sebabnya, sumoay sudah meninggal, namun suhu masih begitu sayang sekali terhadap anak itu!"

Su-mo atau Iblis ke-4 Im Thian-kui tertawa, ujarnya :

„Ah, si 'kuda binal', punya gara2, kalau tidak masa jisuheng sedemikian cepat meninggal dunia dan suhu lalu melanggar pantangan menerimanya (sumoay) sebagai murid !"

„Lo Su, hati2lah bicara! Suhu tak senang orang mengungkat sebab2 kematian The suheng. Jangan sampai didengarnya, celaka nanti!" Long Tek-san buru2 memperingatkan.

Tapi Im Thian-kui tertawa sinis, ujarnya pula: „Kalau sudah melarang begitu, apakah dikira tiada orang yang mengetahuinya? Masa apa ada perempuan yang tidak menangis waktu suaminya meninggal? Setelah suaminya meninggal 11 bulan, kemudian ia malah melahirkan anak. Huh, siapa yang mau mempercayai kalau anak itu bibit tinggalan sang suami ? Orang jangan hanya memandang suhu itu seorang saleh yang berilmu tinggi. Orang gagah paling sukar kalau menghadapi wanita cantik. Namanya saja The Go itu cucu murid, tapi sebenarnya dia itu entah apanya suhu!"

Merah padam muka Yan-chiu mendengari pembayaraan yang agak cabul itu. Namun karena mengenai persoalan The Go, jadi iapun terpaksa mendengarinya juga. Tiba2 ia teringat akan kejadian di Lo-hu-san setengah tahun yang lalu. Itu waktu Kiau To telah mengejek The Go dengan kata2 „ibu dan anak ber-sama2 belajar", yang menyebabkan si The Go berobah wajahnya dan lalu menantangnya. Pertempuran hari pehcun nanti itu, adalah gara2  ejekan Kiau To itu. Diam2 Yan-chiu mendapat kesan, diantara The Go dan Ang Hwat cinjin itu tentu ada hubungan luar biasa. Kalau tidak, masa murid yang sudah 20-an tahun belajar tidak diberi pelajaran ilmupedang Khit-sat-kiam- hwat, sebaliknya The Go diberi? Ji-mo atau iblis ke 2 dari Ang-hun-kiong itu bernama The Ban-li, sudah lama meninggal. Sedang iblis pertama bernama Wi Tay-bing kini sudah berusia 50-an tahun. Tapi entah siapa nama dari si

„kuda binal" yang di-sebut2 tadi. Jangan2 ibu dari The Go, tapi masa begitu tak sedap didengar julukannya, demikian Yanchiu berpikir.

Pada lain saat, terdengar genta gereja Ang-hun-kiong ber- talu2. Kedengaran Im Thian-kui mengajak suhengnya menghadiri pelajaran malam. Ketika Yan-chiu mengintip di-sela2 daun, kedua orang itu ternyata berdandan seperti tosu. Yang seorang bertubuh tinggi besar, yang satunya pendek bermuka bersih. Ketika talu genta gereja itu sirap, lampu2nya pun mulai dipadamkan. Itu waktu kira2 pukul 10 malam, Yan-chiu anggap sudah waktunya untuk mulai bekerja. Dengan hati2 ia menghampiri pintu gereja. Kira2 pada jarak 4 tombak dari pintu itu, ia mengumpat disalah sebuah tempat yang agak gelap. Dua buah thing (pavilyun) tampak sepi" saja. Pada saat itu, Yan-chiu agak menyesal. Kalau jauh2 hari tahu hari itu hendak menyelidiki, tentu dulu tempo datang kegereja situ ia perhatikan betul keadaan disitu. Teringat juga ia tempo hari, begitu datang dipintu sudah disambut oleh kedua anak-murid gereja yakni Kuan Hong dan Wan Gwat, jadi terang kalau penjagaan disitu teramat kerasnya. Tak mau ia keluar pintu besar, tapi mengambil jalan mengitari tembok.

Tembok gereja itu lebih dari satu tombak tingginya. Semuanya terbuat dari batu merah yang mengkilap, jadi sukar untuk dipanjat. Setelah tempelkan telinga ketembok dan dapatkan didalam tiada kedengaran suara orang, baru Yan-chiu enjot tubuhnya loncat keatas. Ia gunakan ilmu loncat dari Tay Siang Siansu. Ketika berada diatas tembok, ia berjumpalitan melayang turun kedalam.

Tatkala berada didalam tembok, Yan-chiu agak terkesiap heran. Boleh dikata ruangan2 disitu hampir sama satu dengan yang lain. Sampaipun lankan terali pagar modelnya sama semua. Kemana ia hendak mencari The Go? Tengah Yan-chiu ter-mangu2, dilihatnya disebelah muka sana ada sebuah cahaya penerangan. Kalau tak masuk sarangnya, tentu tak bisa mendapatkan anak harimau, Yan-ciu mengambil keputusan.

Kesanalah ia ayunkan langkahnya. Tapi setelah melewati dua buah kamar, ia menjadi bingung dibuatnya, kepalanya terasa pening. Tak dapat ia membedakan arah mata angin lagi. Diempat penjuru, semuanya kamar dan lorong serambi. Diam2' terbitlah sesalnya, mengapa tak mau mendengarkan nasehat Kui-ing-cu. Kalau malam itu tak dapat lolos, terang ia tentu akan menghadapi bahaya.

Hendak ia balik lagi ketempat tadi, tapi ber-putar2 sampai sekian lama tetap ia tak dapat menemukan jalannya. Cahaya lampu yang dilihatnya, pun tiada tampak lagi. Selagi ia mengeluh, se-konyong2 dari arah belakang terasa ada orang menyerang. Buru2 ia hendak maju selangkah, tapi untuk kekagetannya, sebilah pedang telah menghadangnya. Yang mengacungkan pedang itu ternyata seorang anak kecil. Yan-chiu tak gentar, terus ia dorongkan tangannya untuk menangkap anak itu. Gerakan itu disebut

„gong chiu toh peh jim", dengan tangan kosong merebut senjata musuh. Duapuluh tahun lamanya setelah menderita kekalahan dari suami isteri Hay-te-kau dan Kiang Siang Yan, Tay Siang Siansu bersembunyi digunung Hoa-san untuk menciptakan ilmu tersebut yang kelak sedianya hendak digunakan merebut pedang sepasang suami isteri itu. Tapi akhirnya, dengan bertambah dalamnya kebatinan Siansu itu, dia telah kikis habis rasa dendam itu. Oleh karena tak jadi melakukan pembalasan, jadi ilmu itu belum pernah digunakan. Yanchiulah yang beruntung mempraktekkan.

Bermula Yan-chiu yakin tentu akan dapat merampas senjata anak itu, tapi diluar dugaan anak itu tangkas sekali. Sekali surut kebelakang, anak itu menghilang. Yan-chiu hendak memburu, tapi tiba2 dibelakangnya ada sesosok tubuh kecil menusuk dengan pedang. Yan-chiu terperanjat. Ketika ia hendak ulurkan tangan merampas, dari arah belakang punggungnya kembali sudah terdengar suara senjata melayang. Tak mau ditelan mentah2 disamping jangan sampai menerbitkan suara gaduh, Yan-chiu enjot tubuhnya naik keatas genteng. Tapi baru sang kaki menginjak genteng, tiba2 serasa genteng itu longsor kebawah dan sudah tentu iapun ikut terperosok jatuh kebawah, bum....... Tapi anehnya, genteng itu tampak secara otomatis menyerampang lagi.

Yan-chiu leletkan lidah mengagumi kelihayan Ang Hwat cinjin. Sampaipun genteng atau atap rumah juga berupa alat jebakan. Tempat dimana ia jatuh itu, ternyata merupakan sebuah kamar kecil yang tiada jendelanya sama sekali. Yan chiu coba mendorong dindingnya, tapi sedikitpun tak bergeming. Yan-chiu makin gelisah. Dengan se-kuat2-nya ia hantam dinding itu dengan bandringan, bang. dinding itu

hanya berkerontang macam besi terpukul tapi  tak kena apa2.

Yan-chiu mulai kalap. Ia putar bandringan menghantam keseluruh ruangan itu, tapi setiap bagian yang terkena bandringan, tentu berbunyi keras dan bandringannya pun terpental balik. Jadi terang ruangan itu terbuat daripada besi yang kokoh. Setengah jam kemudian, Yan-chiu rasakan tangannya capai kesemutan. Akhirnya ia hanya dapat menghela napas panjang dan berhenti menghantam.

Baru dia berbuat begitu, atau dari atas tembok segera terbuka sebuah pintu kecil. Lekas2 Yan-chiu mengumpat dipojok kamar sambil siapkan bandringannya. Tak peduli siapa yang kelihatan masuk, tentu dibunuhnya. Tapi sampai sekian saat tak ada sebuah bayanganpun yang masuk, kecuali sebuah ketawa dari anak kecil. Yan-chiu terkesiap heran. Berselang beberapa saat lagi, kedengaran ada suara orang ber-kata2: „Kau masuk dulu!"

„Ditilik dari potongan tubuhnya, dia tadi seperti seorang wanita. Huh, aku takut, jangan2 setan!"

„Fui, kau saja yang masuk dulu. Masa akupun tak takut juga!" sahut yang seorang. Nada kedua orang itu bening nyaring macam suara kanak2. Yan-chiu tergerak hatinya dan kedengaran suara ketawa cekikikan lagi. „Lekaslah masuk, jangan sampai digegeri sucou yang tentu mendamprat kita ini hanya tahu ber-main2 saja, tapi disuruh tangkap pencuri tak mampu!" kata salah seorang.

Yan-chiu agaknya pernah mengenal suara orang itu. Tiba2 ia teringat dan menjadi girang bukan  buatan, serunya:

„Bukantah disitu Kuan Hong dan Wan Gwat berdua siaototiang?, Mengapa masukkan aku disini, kemarilah lekas!"

Begitu ia bersuara, disana orang diam tak menyahut. Yan-chiu ulangi lagi seruannya dan barulah tampak ada sebuah kepala menongol kedalam. Hai, itulah kepala seorang anak berumur 14-an tahun, wajahnya terang, bibirnya ke-merah2an. Ya, tak salah lagi, itulah to-thong (murid imam) yang dijumpai tempo ia datang kesitu dahulu. Setelah masuk, anak gereja itu segera menyulut lampu dengan korek. „Siao-totiang, mengapa aku dijebluskan disini?" pura2 Yan-chiu menegur dengan marah.

Dasar anak2, to-thong itu menjadi ke-merah2-an mukanya, lalu berseru kesebelah atas: „Wan Gwat, mengapa tak lekas datang kemari. Kita telah kesalahan menangkap orang baik2, inilah cici yang tempo hari datang kemari hendak mencari The suko!"

Selamanya Yan-chiu hanya memanggil suko atau suci. Belum pernah ia dipanggil cici oleh orang. Maka dipanggil taci, saat itu girang Yan-chiu tak terkira. „Wan Gwat totiang, apa benar kau tak mau turun kemari ?" katanya.

Sebagai jawaban, seorang tothong kecil  menobros masuk, siapa dengan ke-merah2-an wajah segera membuka mulut: „Cici hendak cari The suko, mengapa datang pada waktu begini malam? Untung berjumpa dengan kami berdua, kalau lain orang tentu repot!"

Yan-chiu biarkan saja kedua anak itu menganggap begitu. Malah menurutkan lagu mereka, ia segera menyahut: „Ya, aku cari Cian-bin Long-kun karena ada urusan penting. Kukira begitu datang kemari, tentu bakal ada orang yang memberitahukan. Siapa tahu, kalian berdua telah menyambutku dengan serangan, malah genteng diatas rumah ini juga dipasangi perangkap!"

Tu lihat bagaimana pintarnya sigenit. Ia yang salah, tapi dengan cerdiknya ia timpahkan kesalahan itu pada kedua anak tersebut.

„Cici jangan heran. Peraturan digereja sini memang demikian. Bila ada orang yang berani datang menggelap, tentu akan diringkus dan dimasukkan dalam  kamar tahanan. Hukumannya menunggu keputusan toa-supeh. Atap gereja ini asal yang berwarna hijau tentu merupakan alat jebakan. Hanya yang berwarna merahlah yang tidak dipasangi perangkap!" menerangkan kedua tothong itu. Takut kalau Yan-chiu marah, kedua anak itu tanpa diminta telah membuka rahasia alat jebakan digereja situ.

Walaupun hatinya girang, tapi Yan-chiu tentu membuat wajahnya bengis, ujarnya: „Kalau begitu, lekas antarkan aku ketempat Cian-bin Long-kun! Jangan menelantarkan urusan penting ini. Apa kalian tak mengetahui tentang pertempuran dihari pehcun nanti?"

Digertak begitu, kedua tothong itu ter-sipu2 menyahut:

„The suko saat ini masih berada ditempat sucou sana untuk meyakinkan ilmupedang Khit-sat-kiam-hwat. Dia pesan, siapa saja tak boleh menemuinya. Maafkan, harap cici jangan sesalkan kami berdua !" ”Huh, kalian tahu apa? Urusan ini teramat penting  sekali! Kalah atau menang fihak Ang-hun-kiong, tergantung pada urusan ini, jangan kau main percaya kalau sucoumu itu tak bisa terkalahkan. Ketahuilah, bahwa tokoh2 macam Hay-te-kau, Kang Siang Yan, Siang Siansu, Kui-ing-cu dan beberapa tokoh lainnya akan datang kemari. Masa fihak gereja sini takkan kelabakan nantinya. Huh, kalian ini tahu apa!" Yan-chiu menyomel. Karena mengira benar2 begitu, kedua tothong itu tak berani berayal lagi. Cepat2 mereka ajak Yan-chiu memanjat keluar dari lubang pintu  diatas tadi.

„Cici, kalau tiba pada tiang kuningan sana, kau biluk kesebelah kiri, nanti tentu sampai disebuah paseban besar. Disamping paseban itu, ada sebuah ruangan kamar. disitulah The suko dan sucou sedang berlatih. Kami sedang bertugas jaga malam, maaf tak dapat menemani. Ini kuberi sebuah tong-pay (pertandaan), kalau ada orang yang menghadang, tunjukkan saja tong-pay ini, tentu beres kata kedua anak itu demi sudah keluar.

Kuan Hong dan Wan Gwat adalah murid dari Sam-mo Long Tek-san. Biasanya kedua anak itu amat cermat sekali dan ilmu silatnya pun lumayan. Oleh karena tempo pertama kali Yan-chiu berkunjung kegereja itu telah meninggalkan kesan yang baik pada mereka, maka itu dengan mudah sekali ia dapat membuat kedua to-thong itu percaya keterangannya. Bahkan telah memberinya tong-pay atau pertandaan jaga malam dari gereja Ang-hun-kiong itu.

Tong-pay itu hanya sebesar telapak tangan orang saja. Dipermukaannya diukir dengan lukisan beberapa gumpal awan merah (ang hun), sedang disebaliknya terdapat tulisan

„Ang Hun Kiong" „Nanti bila berjumpa dengan Cian-bin Long-kun      aku      tentu      akan      mengemukakan   budi pertolonganmu ini. Bukankah kalian mengagumi ilmu kepandaian-nya?" tanya Yan-chiu.

„Ya, kami ingin sekali mendapatkan pelajarannya ilmu silat hong-cu-may-ciu itu!" dasar anak2, kedua to-thong itu menyatakan apa yang dikandung dalam hati.

Yan-chiu menyanggupi, lalu ayunkan langkah kemuka. Memang setelah diamat2i dengan perdata, pada setiap dua atau tiga buah kamar, tentu ada sebuah tiang yang terbuat daripada kuningan. Dari situ, ia membiluk kekiri dan terdengar seseorang menegurnya. Yan-chiu terperanjat. Ada suaranya, tapi mengapa tak tampak orangnya. Yan-chiu tak tampak orangnya. Yan-chiu tak mau menyahut, melainkan tunjukkan tong-pay keatas di-goyang2kan beberapa kali, tapi sembari teruskan langkahnya. Kira2 berjalan beberapa meter jauhnya, didengarnya dari arah belakang ada dua orang ber-cakap2. Kata yang seorang: „Huh, mengapa seorang anak perempuan? Aneh sekali ni!"

Yang-chiu terkesiap, tapi ada seorang lain kedengaran berkata: „Peduli apa denganmu ? Ia membawa lengpay, itu sudah cukup. Kalau banyak usil, kau tentu dibenci orang. Sucoupun tentu tak mau turunkan pelajaran Khit-sat-kiam- hwat padamu!"

Diam2 Yan-chiu mendapat kesan, bahwa Ang Hwat cinjin itu berat sebelah. Dia keliwat manjakan The Go, sehingga menimbulkan ketidak-puasan anak murid Ang- hunkiong lainnya. Setelah melalui penjagaan yang sangat gawat itu, dengan legahnya Yan-chiu terus menuju kemuka. Beberapa kali ia kesamplokan dengan penjaga2, tapi berkat tongpay yang berpengaruh besar itu, dapatlah ia tiba dipaseban besar.

Dipaseban itu terdapat sebuah patung, dimukanya ada 3 batang lilin sebesar lengan orang. Tiada seorang yang tampak disitu. Kuatir kalau dipergoki orang, buru2 Yan- chiu melintasi paseban itu. Benar juga disebelah muka sana terdapat sebuah ruangan yang tampak ada penerangannya. Lapat2 terdengar suara orang bermain pedang. Menduga kalau The Go tentu berada disitu, ia dengan ber-jengket2 menghampiri. Ruangan rumah itu empat kelilingnya mempunyai pintu. Tapi semuanya ditutup rapat. Yan-chiu tempelkan mukanya kejendela dan mengintip dari sela2nya. Tapi seperti orang dipagut ular, ia segera menyurut kebelakang.

Kiranya sewaktu ia mengintip kedalam itu, ia belum sempat melihat apa2. Yang tampak, hanya ada sepasang mata ber-kilau2-an, ber-api2 memandangnya. Ia kira kalau perbuatannya itu telah diketahui orang, maka buru2 ia menyurut tadi. Itulah karena ia keliwat ber-hati2, jadi menyangka yang tidak2. Sebenarnya, mata itu tak memandang padanya, hanya karena keluar-biasanya, jadi se-olah2 seluruh ruangan itu tercangkum dalam sorotannya.

Tiba2 dari  sebelah  dalam  kedengaran The Go bertanya:

„Sucou, apakah gerakan jurus yang tadi sudah benar?" Anehnya, pertanyaan itu tiada orang yang  menyahut, hanya lagi2 kedengaran suara samberan pedang.

Yan-chiu tak dapat bersabar lagi, lalu mengintip disela jendela. Yang pertama tampak padanya, lagi adalah sorot sepasang mata yang berapi luar biasa itu. Kali ini Yan-chiu tak menghiraukan dan mengawasi dengan perdata keadaan didalam situ. Kini tegas dilihatnya The Go sedang memainkan pedang kuan-wi. Ilmu pedang yang dimainkan itu aneh sekali gerakannya. Disudut ruangan sana, ada sebuah kursi thay-su (guru besar) yang diduduki oleh seorang yang bermuka jelek sekali. Mulut lebar, hidung pisek, rambut kepalanya ke-merah2an, mengenakan jubah pertapaan berwarna merah. Yang luar biasa pada orang itu, adalah sepasang matanya yang ber-kilat2 laksana memancarkan api.

Yan-chiu menduga, imam itu tentulah Ang Hwat cinjin, kepala gereja Ang-hun-kiong, yang sangat termasyhur didunia persilatan. Dari sorot matanya yang sedemikian hebatn ya, terang kalau lwekang dari imam itu telah mencapai tingkat kesempurnaan.

„Go-ji, dalam pertemuan hari pehcun nanti, harus menang tak boleh kalah. Kau mengerti ?" tiba2 Ang Hwat cinjin kedengaran berkata dengan pelahan, namun lengking suaranya menusuk kedalam telinga, terus menggetarkan hati.

„Cucu murid mengerti," sahut The Go.

Ang Hwat ciinjin menghela napas, ujarnya pula: „Go-ji, setelah dapat memahamkan Khit-sat-kiam-hwat itu, kepandaianmu lebih tinggi dari ketiga supehmu. Pesan dari marhum ayahmu, kiranya tak sampai kuabaikan!"

Mendengar itu, The Go kedengaran berhenti bermain pedang, katanya: „Su-cou, kuingat kaupernah mengatakan bahwa menggunakan ular sebagai jwan-pian (ruyung lemas) saktinya bahkan terkira. Adakah ular ceng-ong-sin itu tak memenuhi sarat?"

Ang Hwat mengiakan, sahutnya: „Memang tepat sekali. Tapi dalam pertempuran nanti, apabila fihak musuh terdapat tokoh yang tangguh, sudah tentu aku tak dapat berpeluk tangan. Ilmu itu, kelak saja masih belum terlambat kuajarkan. Sekarang rasanya mustika dalam batu itu yang lebih penting, harus kau cari dulu!"

The Go memberi jaminan bahwa tempat dia sembunyikan mustika itu, tiada seorangpun yang dapat mengetahuinya. Ang Hwat menyatakan syukur, kemudian menerangkan: „Rawa2 yang kau sebutkan itu, namanya Hek-cui-tham (rawa air hitam). Dahulu aku pernah datang kesana, ya memang sangat aneh sekali!"

Yan-chiu terpikat sekali perhatiannya hendak mendengarkan keterangan Ang Hwat tentang keadaan rawa itu lebih jauh, tapi untuk kemengkalannya, Ang Hwat tak membicarakan lagi hal itu, melainkan suruh The Go  berlatih lagi. Demi sangat memikirkan diri Tio Jiang dan Nyoo Kong-lim yang hilang lenyap dirawa itu, Yan-chiu lupa diri, lupa untuk menahan napasnya. Memang bagi seorang biasa, tarikan napas lain orang tentu tak dapat terdengar. Tapi tidak demikian dengan Ang Hwat cinjin. Se-konyong2 cinjin itu tampak kerutkan sepasang alisnya yang menjulai panjang itu, sehingga bengis sekali tampaknya. Yan-chiu masih enak2 mengintip, ketika sepasang mata cinjin itu lekat2 memandang kearahnya.

Rasanya tidak kecewa Yan-chiu dianggap seorang nona yang cerdas. la mendapat firasat, ada sesuatu yang kurang beres. Menduga keras kalau Ang Hwat cinjin telah mengetahui dirinya, secepat itu juga ia terus enjot kakinya loncat keatas. Tapi tepat ketika tubuhnya tengah melambung itu, sebuah titik putih melayang keluar dari jendela, tepat mengenai zool sepatu Yan-ciu,  terus meluncur masuk kedalam dinding.  

9

Sekali Ang Hwat Cinjin membusungkan dadanya, tiba2 Yan- chiu merasa suatu tenaga maha besar menumbuk kearahnya, tanpa kuasa lagi tubuhnya me-layang2 jauh

Yan-chiu makin gugup. Ia menginsyafi dirinya telah dipergoki. Seperti dikejar setan, ia segera lari keluar. Saat itu cuaca sangat gelap. Tahu2 ia merasa seperti membentur benda yang sangat lunak. Ketika mendongak mengawasi kemuka, hai..., hai..., itulah rambut gimbal dari Ang Hwat cinjin! Saking terkejutnya, Yan-chiu seperti melihat momok disiang hari dengan gugup ia hendak lari kebelakang tapi Ang Hwat cinjin sudah dongakkan kepala tertawa. Anehnya, walaupun mulutnya menganga, tapi tak kedengaran suara ketawanya, hanya perutnya yang tampak mengial-ngial. Yan-chiu segera rasakan ada sebuah tenaga dahsyat menggempurnya. Buru2 Yan-chiu loncat keatas, namun ketika berada diatas udara, ia sudah menjadi seperti sebuah layang2 putus. Andaikata tiada ada pagar tembok tentu ia sudah melayang jauh entah jatuh dimana. Terbentur dengan tembok itu, sakitnya bukan kepalang. Cepat2 ia empos semangatnya untuk menahan kesakitannya. Begitu jatuh ketanah, diantara pandangan matanya yang ber-kunang2 itu, tampak Cian-bin Long-kun sudah menghampirinya. „Oh, kiranya nona Liau!" serunya.

Walaupun dalam hati sangat membenci sekali, namun lahirnya    terpaksa   Yan-chiu   memain   senyum   diwajah.

„Cian-bin long-kun, apakah kau baik2 saja selama ini?" tanyanya.   The   Go   tertawa   iblis,   sahutnya   mengejek:

„Syukurlah tak sampai digigit mati oleh ceng-ong-sin!"

Yan-chiu terpepet ditembok, jadi tak dapat lolos. Ang Hwat cinjin kembali masuk kedalam ruangan belajar silat tadi, sembari memerintah: „Go-ji, ringkus dia lebih dulu!"

Sembari mengiakan, The Go sudah  lantas memampaskan pedangnya kelengan Yan-chiu, siapa walaupun tampak tak mau melawan, tapi diam2 nona itu telah mengatur siasat. Dilihatnya Ang Hwat sudah masuk kedalam, selagi The Go menduga, ia hendak menerjangnya.

„Nona Liau, berikan tanganmu untuk diikat!" kata The Go. Yan-chiu ulurkan kedua tangannya lurus kemuka. Walaupun tidak secantik Bek Lian, namun paras Yan-chiu cukup menggiurkan. Biasanya nona itu genit dan tajam mulut, maka saat itu The Go hendak balas mempermainkan. Pedang dipindah ketangan kiri, lalu ulurkan tangan kanan untuk men-jawil2. Saking murkanya Yan-chiu hampir mati dibuatnya. Tapi ia tak mau lewatkan ketika sebagus itu. Baru tangan The Go merabah tangan kiri Yan-chiu, nona itu segera balikkan tangannya kanan kemuka. Gayanya aneh, mendorong bukan mendorong, menebas tidak. Itulah ilmu ajaran Tay Siang Siansu yang diciptakan sendiri. Yakni salah satu jurus dari „gong chiu toh peh jim" yang disebut „merogoh kantong mengambil barang".  Siku  kiri  The  Go  tepat  dapat   dicengkeramnya. Ilmu ciptaan Tay Siang Siansu itu, ternyata tak bernama kosong. Dahsyatnya tak terkira. Tangan The Go dirasakan lemas lunglai, mau tak mau kelima jarinya terbuka dan tahu2 pedang kuan-wi telah berpindah ketangan Yan- chiu.............

Dalam kegirangannya, Yan-chiu sudah terus hendak gerakkan pedang, tapi pergelangan tangannya kiri terasa sakit lemas lunglai. Demi merasa diakali sinona, cepat  sekali The Go pijat se-keras2 pergelangan tangan orang. Sudah tentu gerakan Yan-chiu sangat terganggu. „Kalau tak kau lepaskan cekalanmu itu, tentu akan kutabas!" Yan-chiu mengancam dengan pelahan.

0

Sambil masih mencengkeram tangan kiri sigadis, dengan geramnya The Go berusaha, merebut kembali Kuan-wi-kiam, tapi Yan-chiu tidak kalah tangkasnya, cepat ia tarik pedang itu terus menusuk

Biasanya The Go selalu mempedaya orang, sudah tentu kali ini dia marah sekali. Diancam begitu, dia malah perkeras pijatannya, sembari gunakan ilmu siao-kin-na-chiu untuk merebut pedang. Juga Yan-chiu tak mau begitu gampang2 menyerahkan pedang pusaka itu.

Dengan gunakan jurus Kut-cu-tho-kang dari ilmupedang Hoan-kang-kiamhwat ajaran Kang Siang Yan, ia babat jari orang. The Go kaget dan buru2 tarik pulang tangannya, tapi Yan-chiu mengejarnya dengan jurus kiang-sim-poh-lo, menusuk kaki.

Jarak begitu dekat sekali, terpaksa The Go harus memilih satu diantara dua. Biarkan kakinya terbatas, atau lepaskan cengkeramnya pada pergelangan tangan sinona. Sebenarnya The Go boleh memilih jalan kedua, toh disitu masih ada Ang Hwat cinjin. Sekalipun ada 10 Yan-chiu, tetap takkan dapat lolos. Tapi dasar orang ganas, sembari loncat menghindar sabetan pedang, dia gunakan jari kelingking untuk menutuk pergelangan tangan sinona. Tutukan itu hebat akibatnya, dapat menembus sampai keurat jantung dan orangnya tentu menjadi limbung pikirannya.

Yan-chiu segera merasa separoh tubuhnya menjadi mati rasa, jantungnya berdebur keras. Ia menjadi kalap. Dengan sisa tenaganya yang masih, ia menusuk. The Go miringkan tubuh, tapi lengan bajunya kena tertusuk pecah, malah lengannyapun kena tertusuk sedikit hingga mengucurkan darah. Tapi dalam pada itu, dia menusuk lagi lebih keras. Jantung Yan-ciu seperti me-lonjak2 mau loncat keluar. Dadanya serasa manis. Yan-chiu membuladkan tekad. Kalau tak mengadu jiwa, sukarlah rasanya untuk lolos. Dengan tahan rasa sakitnya, Yan-chiu menabas tangan si The Go yang mencengkeram pergelangannya itu. Gerak tabasan itu tak menurut gerakan ilmu silat lagi, pokok asal dapat mengenai saja. The Go terkejut, Kalau hendak menghindar, dia harus lepaskan cengkeramannya. Tapi dia tak kurang akal. Sebat sekali tangan Yan-chiu itu ditariknya kemuka. Kalau Yan-chiu teruskan babatannya, bukan The Go yang kena, tapi tangan Yan-chiu sendirilah. Yanchiu tahu akan hal itu, maka lekas2 ia balikkan siku untuk menahan pedangnya, kemudian dari situ ia babatkan kemuka.

--oodwkzOTAHoo--

Halo Cianpwee semuanya, kali ini siawte Akan open donasi kembali untuk operasi pencakokan sumsum tulang belakang salah satu admin cerita silat IndoMandarin (Fauzan) yang menderita Kanker Darah

Sebelumnya saya mewakili keluarga dan selaku rekan beliau sangat berterima kasih atas donasinya beberapa bulan yang lalu untuk biaya kemoterapi beliau

Dalam kesempatan ini saya juga minta maaf karena ada beberapa cersil yang terhide karena ketidakmampuan saya maintenance web ini, sebelumnya yang bertugas untuk maintenance web dan server adalah saudara fauzan, saya sendiri jujur kurang ahli dalam hal itu, ditambah lagi saya sementara kerja jadi saya kurang bisa fokus untuk update web cerita silat indomandarin🙏.

Bagi Cianpwee Yang ingin donasi bisa melalui rekening berikut: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan), mari kita doakan sama-sama agar operasi beliau lancar. Atas perhatian dan bantuannya saya mewakili Cerita Silat IndoMandarin mengucapkan Terima Kasih🙏🙏

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar