Naga dari Selatan BAGIAN 31 : YAN CHIU BERJUDI

 
BAGIAN 31 : YAN CHIU BERJUDI

Melihat wajah Sik Lo-sam sudah ke-hijau2an tapi mulutnya masih mengoceh tak keruan, Kiang Siang  Yan tak mau menghiraukannya lagi, berputar diri terus ayunkan langkah, Ternyata ilmu lwekang „cap ji si hang kang sim ciat" yang dimiliki Sik Lo-sam itu dipelajarinya dari seorang sakti yang luar biasa. Separoh tubuh bagian kiri meskipun sudah mati-rasa, tapi yang sebelah kanan masih dapat digunakan. Dia mendongkol orang tinggalkan begitu saja.

„Hai, rasakan dulu gebukanku satu kali!" serunya sembari maju menyapu. Tapi karena lukanya berat, jadi tenaganyapun berkurang. Karena tak menduga orang masih bisa bergerak, Kiang Siang Yan sudah terkena tumit kakinya.

Saking sakitnya, ia mendumprah jatuh terduduk, dua buah tulangnya kena disabet patah. Sehabis menghantam, Sik Lo-sam puas, ia mundur beberapa tindak. Tapi disitu dia tak kuat lagi, dia terduduk ditanah dan napasnya memburu keras. Sejak keluar dikalangan persilatan, Kiang Siang Yan selalu bahu membahu dengan sang suami. Selama itu,  belum pernah ia mendapat luka. Baru pertama kali ini ia rasakan bagaimana rasanya kalau tulang patah namun hal itu tak terlalu dihiraukan karena, hanya luka luar. Sekalipun begitu, ia harus beristirahat juga untuk sementara waktu.

Bermula ia kuatir jangan2 nanti orang tua kate itu jual cerita diluaran kalau berhasil melukai Kiang Siang Yan. Tapi serta dilihatnya silimbung itu duduk bersila meramkan mata, tahulah ia kalau orang itu telah termakan thay-im- ciang. Dengan kepandaian yang dipunyai orang itu, terang dia takkan dapat sembuh. Soalnya hanya tinggal tunggu saat baik saja. Yakin kalau orang limbung itu bakal binasa, Kiang Siang Yan terus hendak menghantam lagi tapi tiba2 Sik Lo-sam membuka mata berseru : „Kiang Siang Yan ! Lihay nian pukulanmu itu. Apa suka memberikan pelajaran itu padaku ?"

Kiang Siang Yan tertegun. Tangannya yang siap diayun itu, diturunkan lagi. Membunuh seorang limbung macam begitu, takkan ada faedahnya. la hanya urut2 tumitnya yang patah tadi, setelah itu lalu loncat menghilang. Sedang saat Sik Lo-sam rasakan hawa dingin itu mulai menyerang separoh tubuhnya yang kanan. Hingga sampaipun membuka mata, dia tak berani karena sedang bergulat keras untuk salurkan lwekang menahan.

--oodwkz0tahoo--

Kita tinggalkan dulu Sik Lo-sam untuk mengikuti perjalanan Kui-ing-cu dan Yan-chiu. Membiluk dibalik sebuah batu besar, tiba disebuah semak rumpucang hampir menyamai orang tingginya, mereka tertegun. Kiranya dihadapan mereka terbentang sebuah rawa2 besar. Airnya yang ke-hitam2an memberi kesan akan dalamnya yang sukar diduga. Mereka menduga, Tio Jiang dan Nyo Kong- lim pasti takkan melintasi rawa itu, jadi tentunya melanda (menasak) semak rumput itu. Tapi mengapa disitu tiada kelihatan bayangan mereka ? Sebaliknya mereka berdua masih lapat2 mendengar berisik suara pertempuran antara Sik Lo-sam dan Kiang Siang Yan.

“Huh, apa ada setan penunggunya sini ?" tanya Yan- chiu.

Tapi sebaliknya Kui-ing-cu yang menduga tentu terjadi suatu hal yang luar biasa, membantahnya. „Habis Tio suko dan Nyo cecu lari kemana? Mustika Watu itu berada dimana?" tanya Yan-chiu.

Kui-ing-cu melakukan pemeriksaan yang teliti disekeliling tempat situ. Waktu itu dilihatnya tegas2 The Go lari kearah semak2 rumput, situ. „Siapa tahu jangan2 The Go lemparkan mustika itu kedalam rawa?!" katanya.

Yan-chiu menunjang pernyataan itu. Tapi sebaliknya Kui-ing-cu nyatakan keheranannya: „Kalau begitu apa mungkin silimbung berdua itu menduga juga begitu, Ialu terjun kedalam rawa?"

Kembali Yan-chiu mengiakan, tapi berselang sejenak dia membantah sendiri: „Tidak, locianpwe. Kalau mereka terjun kedalam rawa, ini saat tentu sudah muncul keatas. Kalau tidak, tentu mendapat kecelakaan disitu!"

Kui-ing-cupun mencemaskan kemungkinan itu. Namun dia hiburi nona itu. ,Jangan kuatir,  mungkin kedua orang itu benar2 hendak gunakan kesempatan untuk lolos dari ancaman Kiang Siang Yan saja!"

Tapi Yan-chiu yang cerdas dapat mengetahui, isi hati Kui-ing-cu yang sebenarnya. Tanpa terasa air matanya membanjir turun. Tidak mungkin. Tio suko bukan orang macam begitu. Tentu dirawa ini ada siluman atau binatangnya ganas yang telah menyeret suko kedalam. ”Ah, aku telah mencelakainya!" ujarnya dengan ter-isak2.

Kui-ing-cu menanyakan maksud ucapan sinona, siapa tanpa malu2 lagi segera menerangkan: „Selama dalam perjalanan, aku senantiasa marah2 padanya karena dia tak mengerti kalau aku suka padanya. Adalah karena mulutku mengomelinya, sampai dia berhasil menemukan mustika batu itu. Kalau sekarang dia mengalami kecelakaan hingga mayatnya pun hilang, bukankah aku yang menyebabkannya?"

Bermula Kui-ing-cu hanya ganda tertawa mendengari. Tapi begitu mulut sigenit mengatakan mayatnya hilang lenyap, diapun terkesiap. Dia sayang akan sifat2 anak muda itu serta bakatnya yang bagus. Dikemudian hari, anak itu tentu menjadi seorang gagah yang luhur. Sampai sekian saat, dia ter-longong2 tak dapat ber-kata2.

Melihat Kui-ing-cu kesima, Yan-chiu makin berduka. Ter-bayang2 ia, akan kejujuran dan kebaikan sukonya itu. Entah sudah berapa banyak, ia memper-olok2 sukonya itu, sampaipun sudah berani juga membuat lelucon „tukar cincin palsu". Ia merasa berdosa, dengan seribu satu penyesalan yang tak terhingga. Air matanya makin mengucur deras bagaikan air sumber. Sembari mewek2, ia menyatakan hendak menebus dosa „Kalau benar Tio suko binasa, aku bersumpah, akan menjadi paderi, tak mau menikah seumur hidup!"

Hendak Kui-ing-cu menertawakan sigenicang masih bersifat seperti anak kecil itu. Tapi demi dilihatnya betul2 sigenit itu sangat berduka sekali, dia tak jadi  ketawa. Sampai sekian saat, baru kedengaran dia menghela napas, ujarnya menghibur: „Siao Chiu, sudah jangan menangis. Taruh kata Tio sukomu, benar binasa, kau tangisipun tiada berguna. Tapi kalau dia belum binasa, bukankah sia2 saja air matamu itu?"

Yan-chiu ternyata mau menurut. Tapi sesaat  kemudian ia menangis lagi, katanya: „Kalau Tio suko binasa, aku akan menangis terus!"

„Tio suko dan Nyo-cecu bukan orang yang lemah, mana mereka begitu gampang menyerahkan jiwanya ? Bukan mustahil saat ini dia bersembunyi disuatu tempat!" ujar Kui- ing-cu lalu berteriak keras2 sampai beberapa kali. Namun tiada berbalas. Disekeliling tempat situ hening ditelan kelelapan abadi.

Mendadak Kui-ing-cu terkejut, mengapa tiada mendengar suara pertempuran kedua tokoh tadi? Menduga mereka tentu sudah pergi, ia lantas menyelidiki lagi seluruh tempat semak2 rumput itu. Yan-chiu hanya mengikuti saja seperti orang yang kehilangan semangat. Tiba2 didekat rawa, dilihatnya air disitu berwarna hijau gelap hingga sepintas pandang seperti hitam. Kui-ing-cu pungut sebuah, batu  untuk  dilemparkan  kedalam  air,  blung         seketika

timbul busa, batu itu tenggelam kedalam dasar rawa yang sukar diketahui  dalamnya itu.  Melihacan-chiu masih  terus

menerus menangis, Kui-ing-cu menanyainya kalau2 ia pandai berenang. Yan-chiu menyahut tidak dapat.  

6

„Sudahlah, Siao Chiu, jangan menangis, bila sibuyung Tio Jiang sudah mati, percuma kau menangisinya, jika belum mati, tangismu juga sia2 ujar Kui-ing-cu.

”Sang Suhu bergelar Hay-te-kau, masa sang murid takut air? Malu ah!" Kui-ing-cu menghela napas.

Yan-chiu tertawa, tapi pada lain kali ia segera cemberut mengangkut awan kesedihan lagi, serunya: „Orang sedang susah, masa cianpwe malah membanyol begitu!"

„Siao Chiu, aku mempunyai firasat kalau Sukom tidak mati. Dia tentu disebabkan sesuatu hal, lalu menyingkir. Lebih baik kita cari suhumu untuk ber-sama2 menuju ke Ko-to-san yang tinggal 10 hari saja waktunya!" akhirnya Kui-ing-cu menyatakan pikirannya. Apa boleh buat, Yan- chiu terpaksa menurut.

Baru keluar dari tempat situ, Kui-ing-cu segera dapati Sik Lo-sam duduk bersila dengan wajah tegang dan tubuh bergemetaran. Rambut janggutnya turut bergoncangan. „Astaga! Aku telah mencelakainya!" seru Kui-ing-cu sembari menghampiri. „Sik Lo-sam kau bagaimana?" tanyanya.

Kala itu Sik Lo-sam tengah berjoang mati2an kerahkan lwekang untuk menahan hawa maut-dingin itu. Satu2nya harapan, supaya Kui-ing-cu datang kesitu. Bukan karena mengharapkan pertolongan, tapi karena hendak menyampaikan suatu omongan yang penting.

„Kui-ing-cu," serunya kegirangan demi mendengar orang yang dinantikan tiba, "wanita itu benar lihay, tapi ia telah menerima gebukanku satu kali ditumitnya, Dengan pincang sebelah kaki, ia ngacir pergi, lucu, lucu!"

Kui-ing-cu menghela napas penyesalan. Dia hanya ber- olok2 supaya mereka bertempur untuk sementara, Tahu sudah dia kalau Sik Lo-sam itu bukan lawannya, Kiang Siang Yan, tapi ternyata orang, limbung tu tak kenal bahaya malah terus menerus membayanginya ”kena satu kali gebukanmu, tapi kau sendiri?" tanyanya.

Sik Lo-sam ulurkan lengan kanannya, sembari kibas2kan dia menunjuk kearah bahu kirinya. „Pundakmu ini termakan pukulannya, lihay benar!" ujarnya.

Kui-ing-cu terperanjat, buru2 dia pinjat jalan darah leng- thay-hiat dipunggung silimbung. Jalan darah itu tembus dihati. Begitu tangannya memijat, dirasakan debur jantung Sik Lo-sam sangat lemah, sebelah kakinya sudah kaku. Dia sangsi adakah kepandaian cukup untuk menolong orang, tapi biar bagaimana dia harus memberi pertolongan sekuat usahanya.

Benar Kui-ing-cu itu seorang tokoh yang suka ber-olok2, malah kadang membohongi orang. Tapi sebenarnya dia bukan seorang jahat. Dia ambil putusan, akan menyelamatkan jiwa Sik Lo-sam. Dengan menyalurkan lwekang, dia pijat jalan darah leng-thay-hiat itu, hingga seketika Sik Lo-sam menjerit kesakitan: „Kui-ing-cu, jangan menyiksa begitu. Mati biar mati, takut apa? Jangan bikin badanku panas dingin begini, nanti belum menghadap Giam-lo, aku sudah teler2!"

Mendengar itu Kui-ing-cu makin terharu. Dia menyesal mengapa mencelakai seorang limbung yang sedemikian putih hatinya. Makin teguh niatnya hendak menebus kesalahannya, ujarnya: „Sik Lo-sam, kalau lwekang kita, berdua dipersatukan masa tak dapat menghalau thay-im- ciang. Jangan bicara lagi, kerahkan lwekangmu menolak!"

Sik Lo-sam menurut. Berkatalah Kui-ing-cu kepada Yan- chiu: „Siao Chiu, aku hendak menolong Sik Lo-sam, sebelum setengah bulan, terpaksa, aku tak dapat ke-mana2. Kalau kau mau menemani disini, boleh. Tapi kalau kau hendak menuju ke gereja Ang-hun-kiong untuk menghadiri pertempuran itu pun silahkan!" katanya dengan menghela napas, lalu melanjutkan kata2nya: „Setengah, bulan kemudian, luka Sik Lo-sam tentu sembuh.  Walaupun tenaga lwekang kita berdua tak sampai habis, tapi juga akan tinggal separoh saja. Tinggalkan Toa-wi dan  Siao-wi padaku dan kau bawalah ceng-ong-sin untuk melindungi dirimu, setuju tidak ?"

Yan-chiu mengatakan ia takut ular. Kui-ing-cu menertawainya: „Takut apa! Pijat angsangnya, tentu menurut. Tapi ingat, jangan se-kali2 sampai kena tertusuk sisik kulitnya yang tajam. Ceng-ong-sin merupakan ular berbisa yang nomor satu didunia. Menghadapi lawan tangguh, kalau kau kewalahan, lepaskan binatang itu, tentu menang tahu?"

Yan-chiu masih mengandung setitik harapan kalau2 Tio Sukonya masih hidup dan bersembunyi dilain tempat.  Kalau sedemikian halnya, nanti di gereja Ang-hun-kiong, tentu ada harapan bisa menjumpainya. Maka ia segera menyambuti lumbung bambu yang terisi ular ceng-ong-sin. Kui-ingcu pesan kalau dapat, supaya dalam perjalanan nanti Yanchiu cari katak untuk memberi makan pada ular itu. Tapi Sik Lo-sam buru2 menyelutuk: „Ceng-ong-sin paling gemar dengan kutu bambu, beri saja makanan itu!"

Sebagai seorang anak perempuan sudah tentu Yan-chiu ngeri dengan bangsa kutu. Ia tanyakan bagaimana cara untuk mencari kutu bambu itu, Sik Lo-sam hendak memberi keterangan, tapi karena hawa dingin merangsang keras, terpaksa dia tutup mulut. Kui-ing-cu memberi pesanan macam2 pada nona itu, katanya: ”Kalau ditengah jalan tak menemui halangan, nanti setiba di Ko-to-san tentu belum jatuh hari pehcun. Tunggulah dibawah gunung, jangan naik sendirian. Ditengah perjalananpun jangan cari onar, tahu ?"

Tokoh itu mempunyai persamaan perangai dengann sigenit. Dia anggap Yan-chiu tak ubahnya seperti anak perempuannya sendiri. Begitulah menerima pesanan akan beberapa hal, Yan-chiu segera minta diri.

--oodwkz0tahoo--

Menjelang tengah hari, ia sudah jauh dari pegunungan Sip-ban-taysan. Sorenya ia, sudah tiba di Ko-ciu-hu gedung thay-siu (bupati) yang terletak dikota, Bo-bing-koan. Didaerah situ merupakan dataran subur. Didalam  kota amat ramai, sana-sini rumah makan menghias sepanjang jalan. Oleh karena perutnya me-ronta2 menagih janji, buru2 Yan-chiu menghampiri kesebuah rumah makan. Melihat ada tetamu datang, buru2 sipemilik menyambutnya dengan hormat. Hal mana sebaliknya telah membuacan-tihiu tertegun. Kiranya selama dalam perjalanan dengan sukonya tempo hari, ia tak membelkal uang sepeserpun juga. Tapi oleh karena selama itu, Tio Jiang yang mengurus makan tidurnya, jadi ia tak usah sibuk2. Tapi kini berlainan halnya. Adakah sipemilik rumah makan mau tak dibayar? Maka kakinya yang sudah melangkah diambang pintu itu, segera disurutkan keluar lagi. Sipemilik menjadi heran dan mengawasi dengan tak mengerti. „Aku salah masuk!" kata Yan-chiu ter-sipu2 merah padam mukanya.

„Nona, papan merk yang tergantung dimuka rumah ini cukup besar, masakan. kau tak melihatnya?" tanya sipemilik dengan mendongkol.

„Habis kalau memang salah masuk, apa tidak boleh?!" Yan-chiu menyahut dengan ketus. Melihat sifat ke- kanak2an sigenit itu, pemilik rumah makan bergelak2. Bermula Yan-chiu hendak memberi hajaran, tapi teringat akan pesan Kui-ing-cu supaya jangan terbitkan onar, ia hanya deliki sipemilik itu lalu ngeloyor pergi.

Sekeluarnya dijalanan, Yan-chiu uring2an. Dimisalkan hendak „pinjam" uang-nya hartawan kejam, juga harus menanti sampai malam hari. Namun untuk menunggu sampai waktu itu, perutnya sudah keroncongan. Perutnya berkerucukan, sehingga orang2 yang berselisih jalan se- olah2 dapat mendengarkan. Buru2 ia menuju kesebelah gang kecil untuk menjauhkan diri dari bau masakan rumah makan yang bisa, menerbitkan air liur. Tapi perutnya tetap berontak. Teringat ia akan pembilangan orang bahwa perut kosong dapat ditahan kalau ikat pinggang dikencangkan. la lakukan itu, sembari tak henti2nya menelan ludah. Sudah dua hari satu malam ini ia tak makan apa2. Selama itu karena mengandal pada lwekangnya, masih dapat ia bertahan. Tapi pada saat itu, benar2 ia tak kuasa lagi. Selagi bingung seorang diri, tiba2 dari dalam sebuah gedung yang besar mewah, terdengar suara gelak ketawa orang.

„Aku kalah!" kedengaran suara orang mengeluh dengan putus asa dan pada lain saat ada dua orang tampak keluar. Yan-chiu menanyai orang itu: „Tolong tanya, apa kerja orang2 didalam itu?"

Kedua orang itu rupanya kalah main (judi). Sampaipun pakaiannya hampir berindil. Dengan uring2an mereka menumpahkan kemarahannya: „Ada apa? Kepa....... " baru hendak memaki, mereka mendongak. Ketika melihacang bertanya itu seorang nona cantik, mereka cengar-cengir menyahut: „Disitu tempat judi, apa nona mau kesitu ?"

Yan-chiu anggap orang yang membuka rumah perjudian itu tentu bukan orang baik2. Untuk memberi hajaran pada mereka, juga sudah sepantasnya. „Ya, aku kepingin lihat2!" sahutnya.

Kedua orang itu menjadi kegirangan. Bahwa seorang nona masuk kerumah perjudian, adalah suatu hal yang langka. Meskipun kalah, mereka berdua ingin mengikuti juga. Mereka lalu tawarkan sebagai pengantar.

Memasuki pintu, terdapat sebuah halaman kecil yang ditanami bunga dan sebatang puhun delima yang sudah berbunga. Dibelakang halaman itu terdapat sebuah ruangan besar. Kira2 ada 2 atau 30-an orang tengah berkerumun disitu. Seorang lelaki tengah memainkan dua buah mangkok, sembari ber-seru2: „Mulai lagi! Mulai lagi! Siapa mau kaya, lekas pasang!"

Melihat cecongor orang itu, Yan-chiu sudah benci. Sebaliknya kedua pengantarnya tadi buru2 ingin melihat keramaian seorang nona main judi, maka begitu masuk mereka lalu berseru: „Oey Bi-long, daganganmu bakal laris, ada pembeli besar!"

Orang2 disitu sama heran, mereka kira kedua orang yang habis2an itu bertemu dengan seorang tuan uang. Tapi sewaktu melihacang diantar itu hanya seorang nona kecil dari 16-an tahun umurnya, ada yang meludah dengan jemunya, seraya memaki: „Lo Sam, Lo Su, mengapa kau dah kalap membawa seorang budak perempuan kemari? Kalah ya sudahlah, mengapa cari lain korban ?"

Melihat semua mata ditujukan kepadapya, Yan-ciu sikap seperti penjudi ulung, iapun turut2an berseru: „Oey Bi-long, daganganmu laris benar!"

Kembali ruangan itu gempar dengan gelak tertawa, Yan- chiu tak ambil mumet, ia menghampiri meja, pertaruhan, Disitu terdapat banyak tumpukan uang perak dan beberapa barang berharga. Anggauta2 Thian Te Hui terdiri dari beberapa macam golongan, dari orang gagah sampai kaum penjudi. Pernah didengarnya dari mulut mereka,  rumah judi itu ada dua macam. Yang hanya memakai taruhan uang dan yang pakai taruhan barang. Rupanya rumah judi disitu itu tergolong yang kedua, yakni boleh majukan barang perhiasan sampaipun pakaian untuk taruhan.

Teringat akan batu giok (pualam) pemberian Tio Jiang tempo hari, ia segera merogohnya keluar dan diterimakan pada Oey Bi-long siapa telah memeriksa sejenak lalu memberi harga 5 perak. Karena hadiah itu pemberian sang suko yang dicintainya, Yan-chiu. tak mau menjuaInya. Akhirnya benda itu hanya digadai untuk 5 chi. Oey Bi-Iong lepaskan benda itu dari atas, dan borkerontanganlah mustika itu diatas meja. „Setan, hati2 kau, kalau sampai memecahkannya!" seru Yan-chiu. Namun si Bi-long itu hanya sapukan ekor mata mengejek. Sebagai seorang penjudi ulung, Oey Bi-long tahu akan adanya suatu pepatah yang berlaku dikalangan persilatan, yakni „3 jangan". Jangan menghina kaum wanita, jangan mempermainkan kaum pertapaan dan jangan main2 pada kaum Oey Poan. Yang dimaksudkan dengan Oey Poan ialah orang2 yang tubuhnya lemah kurus, tapi mempunyai kepandaian tinggi. Kalau seorang kaum wanita berani keluyuran diluaran, tentulah ia memiliki kepandaian yang lihay.

Oey Bi Long mainkan gundu (macam kelereng kecil) yang segera ditutup dengan mangkok. Ketika dibuka, ternyata, dua buah gundu terletak pada nomor 2 dan yang sebuah pada nomor 1. Orang2 yang taruhkan uangnya pada tanda besar" segera diambil oleh sang bandar. Melihat dirinya kalah, Yan-chiu marah2 serunya: ,Mustikaku itu tak boleh kau, ambiI, jangan bergerak!"

„Nona, sekalipun barang milik raja, kalau sudah dipertaruhkan kalah, juga tak boleh diambil kembali !" Oey Bi long menyeringai. Yan-chiu kalah suara, Tiba2 la memperoleh akal. Diambilnya bumbung tempat ular yang menggantung dipunggung, katanya: „Didalam bumbung ini terdapat mustika hidup yang lebih berharga, aku hendak mempertaruhkannya dengan harga besar!"

„Benda apa aku harus melihatnya dulu !" kata Oey Bi- long.

„Jangan, kau tentu takut nanti!" sahucan-chiu.

„takut apa sih ? !"

„Baik," akhirnya Yan-chiu menjentik sumbat bambu.

Melihat   hawa   terang, ceng-ong-sin   segera merayap keluar. Yan-chiu pijak angsangnya, saking sakitnya ular itu segera menyabet dengan sang ekor hingga bambu tempatnya tadi mencelat, tepat jatuh diatas kepala seorang gundul. „Aduh mak....! Mati aku.....!" orang itu menjerit. Tapi orang2 tak mempedulikan dia, melainkan mengawasi ular yang dicekal sinona dengan terperanjat, „Nona jangan bergurau. Aku membuka rumah perjudian bukan membuka rumah pergurauan!" kata Oey Bi-long dengan wajah berobah.

”Siapa Yang main2 padamu? Serapa harga ular ini, katakan!" sahucan-chiu sambil deliki mata. Baru Oey-Bi- long hendak membantah lagi, tiba2 ada seorang Yang berwajah buruk maju mendekati dan bertanya: „Nona, apa kau hendak jual ular itu ?"

Tampak wajah orang itu, diam2 Yan-chiu geli. Masa didunia terdapat orang yang berwjah sedemikian jeleknya.

Tapi oleh karena orang itu menanyakan harga, iapun seegera

Menjadi girang, sahutnya: „Sebenarnya tidak  ada ingatan akan kujual, hanya hendak kubuat taruan main seharga 500 tail perak!"

Diluar dugaan, orang itu menerima. „Oey Bi-long, jadilah. Kalau kau menang ular itu menjadi milikku, Kalau kalah, aku yang membayar 500 perak encer!"

Tapi Oey Bi-long bersangsi, karena dia belum  kenal orang itu, siapa rupanya tahu akan perasaan orang, katanya: „Kau kuatir jangan2 aku tak punya uang bukan ?" orang itu tertawa. „Inilah!" serunya sembari mengeluarkan sebuah kim-goan-po (kepingan emas) kira 20 tail lebih beratnya. Sepotong keping emas saja sudah berharga 25 tail keping perak, jadi kim-goan-po itu berharga 500 tail perak. Heran Oey Bi-long makin menjadi. Ada seorang nona datang berjudi, ada pula seorang bermuka jelek yang punya banyak uang.

Yan-chiu tak mau banyak bicara lagi, terus pasangkan uangnya dihuruf „toa" (besar). Dan klutuk2 setelah mengocok sebentar, Oey Bi-long lalu buka mangkoknya. Satu dinomor 5, satu pada nomor 6 dan satu pada nomor 3, jadi sama sekali 14 mata, tepat tiocok dengan huruf „Toa" !

„Mana berikan kim-goan-po itu!" seru Yan-chiu kegirangan. Simuka jelek memberikan sembari bertanya pula kalau2 nona itu maeih mau bertaruh lagi. Pikir punya pikir Yan-chiu terpikat. Kalau kalah, paling banyak kim- goan-po tadi kembali pada yang empunya. Tapi jika menang, berarti la, mendapat dua kim-goan-po. Yan-chiu mengiakan, tapi simuka jelek itu mengajukan syarat.

„Kalau kalah, kau harus menyerahkan ular itu padaku !" katanya.

Yan-chiu tahu kalau ceng-ong-sin itu merupakan sebuah mustika ular. Kawanan orang utan yang begitu ganas, takut kepada ular itu. Andaikata tadi kalah, iapun tak bersedia, menyerahkan ular itu. „Tidak main lagi !" sahutnya menggeleng.

Simuka jelek tak dapat berbuat apa2. Para penjudi lain yang melihat ia memperoleh kemenangan sedemikian besar, sama mengerumuni sigenit. Malah sikepala gundul yang kepalanya tertimpa bambu tempat ular tadi segera merengek :

„Nona, lihatlah! Karena ularmu menyabet, maka bambunya telah mengenai kepalaku, aduh sakitnya !"

Yan-chiu menerima bambu itu lalu memasukkan ceng- sin-ong. Diberinya orang itu sekeping perak hancur. „Kalau kau biarkan kepalamu terketuk bambu ini sampai 3 kali, akan kuberimu 50 tail perak!" sigenit hendak ber-olok2. Bukan main girangnya orang yang gundul itu. Dengan serta merta dia pasang kepalanya. „Ketuklah!" katanya.

Yan-chiu tertawa cekikikan. Ketika masih berada di Lo- hu-san, ia tak mengerti sampai dimana pengaruhnya uang itu pada manusia. Maka tadi ia anggap masa orang mau diketuk kepalanya sampai 3 kali dengan hanya diberi 50 tail perak. Pada hal 50 tail perak, merupakan jumlah yang besar bagi kaum penjudi ditempat itu. Tuk...., tuk...., tuk..., habis mengetuk 3 kali, la lalu tukarkan uangnya pada oey Bi-long, kemudian memberikan 50 tail perak pada sigundul.

„Siapa lagi yang mau ? 3 ketukan, 50 tail!"' seru sinona yang tak mengerti harganya uang. Maka berebut-rebutanlah para penjudi itu menawarkan kepalanya. Sibuk juga Yan- chiu meng-gerak2kan tangannya mengetuk. Selagi permainan itu berjalan dengan riangnya, tiba2 simuka jelek tadi berseru: „Nona, tahan dulu!"

„Mengapa ? Perakku cukup banyak!" sahucan-chiu. Simuka jelek tertawa dingin, ujarnya: „Coba nona hitung, sudah mengetuk berapa kepala ? !"

Ketika Yan-chiu menghitung, ia berseru kaget. Kiranya ia sudah mengetuk 12 kepala orang, pada hal perak hanya 500 tail, terang tak mencukupi. Kalau hendak mengurangi jumlah hadiahnya, dia sungkan. Kalau ia bingung terdiam, adalah orang2 yang kepalanya sudah diketuk tadi sama hiruk pikuk karena mengetahui uang sinona tak cukup.

„Ribut2 apa ? Nonamu mau main lagi!" bentak Yan-chiu dengan gusar. Yang 450 tail dibagikan pada 9 orang,  sisanya dua orang masih diutang 100 tail, sama mengawasi Yan-chiu dengan mata lebar.  Simuka jelek terus saja mengeluarkan kim-goan-po lagi, katanya: „Nona mau pegang „toa" atau „siao" „Yang besar !" sahucan-chiu seraya meletakkan bumbung bambu pada bagian toa (besar). Melihat peristiwa yang aneh itu, Oey Bi-long tak mau ladeni lain orang lagi melainkan khusus untuk kedua orang itu saja. Setelah mengocok 3 kali, tiba2 dia berseru: „Buka!" -

Lagi2 jumlahnya 11, jadi Yan-chiu menang pula! Hai. ,

adakah benar2 Yan-chiu sedang tangan naik (mujur dalam perjudian)? Bukan demikian. Soalnya, kalau sinona yang menang, Oey Bi-long tentu dapat persen uang. Tapi kalau simuka jelek yang menang, dia tak dapat apa2. Maka sewaktu mengopyok tadi, dia telah gunakan siasat. Bagi seorang bandar, kepandaian untuk menentukan kalah menang itu, menjadi darah daging (kebiasaan).

„Manakah uangmu itu !" seru Yan-chiu dengan girang sekali. Tapi kali ini simuka jelek itu menggebrak meja mendamprat: „Oey Bi-long, besar nyalimu berani main curang!"

„Tuan kalah, lebih baik angkat kaki saja, jangan sampai ditertawai orang!" sahut Oey Bi-long dengan ketus. Simuka jelek itu tampak gusar sekali, tapi pada lain saat tenang kembali, katsnya: „Tadi tidak terpakai, ganti lain orang yang memainkan.!!"

Sudah tentu Yan-chiu marah, dampratnya:  „Bangsat, kau mau main gila ya ?" Plak....., ia memukul meja judi, hingga sekeping perak hancur, melesek masuk didalam meja.

Melihat itu penjudi lainnya sama terkejut. Yang nyalinya kecil, siang2 Sudah angkat kaki. Juga Oey Bi-long sendiri terbeliak matanya. Tapi simuka jelek sebaliknya malah loncat keatas meja. Kini tegas dilihat oleh Yan-chiu bahwa didalam baju simuka jelek itu ada benda menonjol, terang tentu senjata tajam. Kalau bukan pedang tentu golok. Jadi dia tentu orang persilatan juga!

Begitu berada diatas meja, simuka jelek lalu ulurkan tangannya menerkam Oey Bi-long, siapa ternyata juga mengerti sedikit ilmu silat lantas hendak menyingkir. Tapi ternyata gerakan simuka jelek itu tangkas sekali. Baru Oey Bi-long gerakkan tubuhnya, dia sudah maju memburu dan dapat menerkam dengan tepatnya. Oey Bi-long rasakan bahunya seperti dijepit jepitan besi. Saking kesakitannya, jidatnya sampai mengucurkan keringat ber-ketes2 turun membasahi pakaiannya.

”Mengapa kalian diam saja tak lekas2 panggil suhu !" Oey Bi-long menereaki orangnya seraya berusaha se-

kuat2nya untuk meronta. Melihat kekacauan itu Yan-chiu tak ambil peduli. Yang penting dia segera ambil kim-goan- po, memberikan 100 tail perak pada kedua orang tadi (yang diketuk kepalanya), lalu menggerombol pada orang banyak yang tengah melihat keributan itu. Makin Oey Bi-long meronta, makin simuka jelek itu perkeras cengkeramannya sembari memaki: „Bangsat busuk!"

Baru suara itu diucapkan, Yan-chiu terkejut dan segera berseru keras: „Hai, The Go, kau juga berada disini ?"

Mendengar itu simuka jelek teramat kaget, lalu merobah nadanya: „Nona, kau panggil siapa ? jangan pergi dulu, kita main lagi sampai habis!"

Terang tadi Yan-chiu mendengar nada suara The Go, maka ia segera mencari keeekeliling tempat situ, namun tak menjumpainya. Apaboleh buat ia terpaksa kembali ketempatnya tadi lagi. Saat itu kedengaran simuka jelek masih me-maki2 dengan nada melengking: „Oey Bi-long, berani benar kau main gila dihadapan tuan besarmu ini. Kau masih sayang kulitmu yang kuning pucat itu tidak ?" Mendengar makian sang lucu itu, Yan-chiu tertawa geli.

Tapi dalam pada itu dari luar pintu terdengar suara orang menggerung dengan keras ya: „Siapa yang berani mengacau disini? Apa sudah sediakan peti mati hingga tak jeri pada nama yang menggetarkan dari Cui-kim-liong (naga emas mabuk ) ini !"

Yan-chiu mengawasi orang yang sumbar2 itu. Seorang lelaki gemuk, perutnya gendut, melangkah masuk kedalam ruangan situ. Baru dia muncul, orang banyak  segera berseru: „Simuka jelek itu tentu diremuk tulangnya oleh Cui-kim-liong!"

Tapi berbareng dengan dugaan orang banyak itu, tiba2 terdengar suara mengaduh keras dan sesosok tubuh gemuk dilemparkan keluar. Bluk..., rupanya keras yuga jatuhnya, hingga sigemuk itu tak hentinya mengerang. Menyusul dengan itu, sesoeok bayangan berkelebat. Simuka jelek tadi dengan menjinjing Oey Bi-long, loncat keluar. „Semua orang tak boleh meninggalkan tempat ini ! Biar menjadi saksi. Oey Bi-long, jawablah tadi kau bermain curang tidak

?" kata simuka jelek.

Mengetahui suhunya, Cui-kim-liong, dihajar jatuh bangun, Oey Bi-long insyaf kalau hari itu ketemu dengan jago yang lihay. Tapi untuk mengakui tuduhan simuka jelek tadi, terang dia tak mau. Karena begitu mengaku bermain curang, orang tentu tak mau datang kerumah penjudian yang diusahakannya itu. Maka biar menderita kesakitan, dia tetap menggigit gigi tak mau mengaku.

Dalam pada itu, Yan-chiu me-nimang2. Kalau si Bi-long mengaku curang, ia sendiri juga kena akibatnya harus mengembalikan kim-goan-po tadi. Di-pikir2 lari  adalah yang paling selamat. Begitu keputusan diambil, ia segera menyelinap pergi diantara orang banyak. Menyusur gang kecil, sampailah ia dijalan besar. Kini dengan mengantongi uang, sikapnya berlainan. Untuk menuruti nafsu kemengkalannya, ia kembali lagi ketempat rumah makan, dimana ia pernah diejek oleh si pemilik karena tak membawa uang tadi.

„Nona, lihatlah yang benar, jangan kesalahan masuk lagi

!" kata sipemilik demi melihat kedatangan Yan-chiu.

Yan-chiu hanya mendengus, sahutnya dengan adem:

„Suruh orangmu menyediakan meja yang bersih !"

„Begitu saja kan sudah cukup," sahut sipemilik. Tapi Yan-chiu segera deliki matanya membentak: „Bagaimana ?"

Trang......, kim-goan-po dibanting diatas meja. Saking kagetnya sipemilik rumah makan sampai berjingkrak. Seketika itu juga wajahnya berganti raut, dari kecut menjadi ber-seri2 girang. „Harap nona suka tunggu sebentar!" serunya dengan ter-sipu2, sembari memanggil pelayan untuk meladeni Yan-chiu.

Setelah menumpahkan kemengkalan hatinya tadi, Yan- chiu menjadi puas. Kim-goan-po dikantongi lagi, lalu ikut pada sipelayan. la dipersilahkan duduk disebuah tempacang bersih. „Jangan banyak cakap, lekas bawa daftar makanan kemari!" aerunya,

„Bakpao daging anjing, nona suka dahar tidak?" tanya sipelayan.

„Suka saja! Bakpao daging orangpun juga makan!" sahucan-chiu.

Siao-ji, sipelayan itu terbelalak matanya. Diam2 dia membatin, rupanya sih cantik tapi mengapa nona itu bicara tak keruan. Sekalipun berpikir begitu, pela yan itu  tak berani bercuit. Tak berapa lama, Siao-ji membawa penampan besar bak- pao daging anjing. Kata orang „kalau lapar segala apapun enak". Bagaikan macan menerkam korbannya, Yan-chiu segera menyapu bersih bakpao itu. Kini dia betul kenyang.

Diam2 dia mendongkol melihat sikap sipemilik rumah makan tadi. Melihat berkilaunya uang, sipemilik itu berminyak matanya, pertanda bagaimana rakus hatinya itu. Oleh karena kebetulan senggang, Yan-chiu hendak memberi pengsajaran pada orang itu. Otaknya bekerja untuk mencari akal.

„Jongos!" akhirnya ia berseru memanggil Siao-ji.

Kedatangan Yan-chiu kerumah makan situ, telah menarik perhatiaan orang. Pertama ia keluarkan kim-goan- po, setelah duduk lalu ber-kaok2 keras dan makan bakpao, mulutnya berkecap-kecup dengan kerasnya. Sipemilik telah memesan pada Siao-ji supaya melayani baik2 pada  nona itu. Mendengar panggilan Yan-chiu, sipelayan segera ter- sipu2 menghampiri : „Nona hendak suruh apa ?"

„Suruh sipemilik kemari !" kata Yan-chiu. Oleh karena sejak tadi sipemilik selalu taruh perhatian pada sinona, maka dengan serentak dia menyahut: „Nona ada pesanan apa memanggil aku ?" katanya sembari menghampiri.

„Apa namanya rumah makanmu ini ? Apakah yang terbesar dikota ini ?" tanya Yan-chiu.

„Diseluruh Ko-ciu-hu sini, tak nanti dapat dicari yang melebihi dari rumah makanku ini," sahut sipemilik sambil meng-urut2 janggut.

„Jadi tentunya kau bersedia segala macam masakan, bukan ?"

„Sudah tentu ! Kecuali limpa2 naga atau hati burung hong, kami bersedia lengkap. Entah apa yang nona hehdak kehendaki ? Untuk satu orang, atau mau mengadakan pesta"

Yan-chiu tertawa cekikikan, ujarnya : „Aku hendak pesan, masakan telur Ho-pau-tan (mata sapi), Telur itu harus dipilihkan yang ulam !"

„Ah, itu urusan kecil," sahut sipemilik.

„Jangan omong besar dulu. Telur bungkus itu kau iris separoh. Separoh kumakan separoh kutinggalkan. Hanya saja, Dua2nya harus tetap ada kuning telornya, Kalau sampai kurang mencocoki seleraku, kau harus ganti kerugian satu tail perak. Tapi jika mencocoki, nanti kuberi persen 2 tail perak setiap orang!"

Mendengar pesanan istimewa itu, sipemilik terkesiap kaget. Telur mata sapi itu, kalau dipotong, (karena setengah matang) kuningnya tentu turut mengalir. Melihat sipemilik rumah makan diam saja, Yan-chiu meradang: „Bagaimana

? Tadi kau telah buka suara kecuali limpa2 naga dan hati burung hong, rumah makanmu itu serba lengkap persiapannya. Masakan hanya telur mata sapi saja kau tak mampu ? Rumah makan apa ini ? Hayo, lekas turunkan papan namanya !"

Melihacan-tihiu seorang nona muda itu membawa sekian banyak uang, sipemilik mengira kalau dia sedang berhadapan dengan puteri seorang pembesar tinggi. Kala itu, suasana negara sedang dalam kekalutan. Tentara Ceng baru masuk Kwiciu sudah berhenti, disebabkan Li Seng Tong berpaling haluan, jadi daerah Kwisay tak sampai mengalami gangguan apa2. Adalah pembesar2 Beng itu sendiri yang tak tahu diri. Sedangn ya negara tengah menghadapi bencana, mereka masih berpesta pora menikmati kesenangan. Memeras rahayat guna mengisi kantongnya dewek. Anak2 didaerah situ sama ber-main2 sebuah pameo : „Baru si Biru pergi, si Hijau datang. Kasihanlah...... sang padi, kasihanlah. sang padi!"

„Sihijau" diartikan tentara pecundang kerajaan Beng.

Sedang sibiru, dimaksudkan tentara yeng. „Padi" arti kiasan bagi rahayat jelata.

Karena anggapannya tadi, sipemilik rumah  makan makin tak berani menyalahi Yan-chiu. Kuatir kalau mendapat hukuman berat, dia segera perintahkan juru masaknya untuk mengerjakan pesanan aneh dari sinona.

Habis memesan, Yan-chiu duduk dengan garangnya, Dia memandang kekanan, mengawasi kekiri, se-olah2 tak menganggap pada orang2 yang berada disitu lagi. Oleh karena cemas, sipemilik rumah makan segera pergi kedapur untuk

Menilik pekerjaan tukang masak. „Tuan, lihatlah bagai mana ini ?" kata situkang masak.

Ternyata sudah ada 18-an telur mata sapi yang digoreng, tapi begitu diiris, tentu kuningnya turut mengalir keluar. Dicobanya dengan pisau kecil, juga tetap sama. Arhirnya dia menghampiri Yan-chiu dan menghela papas, ujarnya:

„Begitu Ho-pau-tan itu diiris, kuningnya tentu ikut mengalir. Apa nona tak keberatan untuk memakannya separoh bagian saja ?"

„Tidak mau !" sahucan-chiu dengan kegirangan. Dengan meringis, pemilik itu berdiri menjublek tak dapat berbuat apa2. Para tetamu lainnya sama berisik membicarakan hal itu. Ada beberapa langganan lama yang kenal baik dengan pemilik itu coba menerangkan pada Yan-chiu: „Ho-pau-tan yang nona kehendaki itu, mungkin dalam dunia ini tiada seorangpun yang dapat mengerjakan. Jangan bergurau!"

„Kalau ada orang yang sanggup mengerjakan, lalu bagaimana?" Yan-chiu menantang.

„Papan rumah makan ini harus diturunkan !" sahut  orang itu. Yan-chiu menerima perjanjian itu, katanya:

„Baik, Iihat nanti aku yang mengerjakan. Kalian ikut kemari semua!"

Orang itu bersama sipemilik rumah makan lalu mengikucan-chiu kedapur. Didekat wajan ada setumpuk 30- an Iebih butir telur, sedang didalam wajan tampak ada sebutir.

„Tolol!" dampracan-chiu, terus memegang susuk. Ia jemput sebilah pisau dapur lalu dipanggang diatas api. Setelah panas, telur disusuk keluar lalu dipotong dengan pisau tadi. Oleh karena pisau itu masih panas habis dipanggang, kuning telur jadi mengental tak bisa mengalir keluar. Jadi dua potong Ho-pau-tan atau telur mata sapi itu sama ada kuning telurnya.

Habis mengerjakan itu tanpa menanyai apa2, ia terus melangkah keluar dan turunkan papan merknya. Walaupun si pemilik rumah makan mengeluh dalam hati, tapi dia tak berani berkata apa2.

Puas membalas pada sipemilik rumah makan, iapun lalu angkat kaki. Sekeluarnya dari rumah makan situ, haripun menjelang gelap. Ia cari rumah penginapan. Kiranya peristiwa dirumah makan dan menang judi tadi  cepat tersiar.

Begitu masuk kesebuah rumah penginapan, orang2 dirumah penginapan itu segera ter-sipu2 melayaninya. Setelah cuci muka, ia hendak masuk kedalam kamarnya, tiba2 pengurus rumah penginapan itu menghampirinya dan membisikinya:

„Nona, tadi ada seorang yang bermuka jelek menanyakan tentang kamarmu. Harap nona suka ber- hati2!"

Setelah menanyakan tentang ciri2 simuka jelek itu, di ketahui oleh Yan-chiu kalau sijelek yang kalah main tadilah. Karena itu, iapun tak ambil perhatian lagi. Bumbung yang berisi ceng-ong-sin diselipkan kebawah bantal, lalu berbaring. Oleh karena kurang tidur, baru menggeletak, dia sudah cepat menggeros. Entah berselang berapa lama Ia tidur, ketika layap2 bangun ia seperti mendengar ada sebuah Suara berkeretekan. Yan-chiu buka mata lebar2 dan mengeluarkan seruan tertahan karena melihat disela jendela kamar memancar sebuah  sinar. Begitu ia bersuara, sinar itupun lenyap. Yan-chiu terkejut karena mengira ceng-ong-sin terlepas. Tapi ketika ia mengambil bumbung dan tempelkan ditelinganya, ternyata masih terdengar ada suaranya.

7 Maksud hati hendak tidur, tapi sang pikiran justeru terbayang akan sang suko Tio Jiang, yang tak diketahui kemana perginya kini.

Tapi karena terbangun itu, ia tak dapat tidur lagi. Ingatannya me-layang2 pada Tio Jiang. Kemana suko itu ? Ia yakin suko dan Nyo-cecu itu tentu tak mau berlaku licik hendak lolos dari Kiang Siang Yan. Ia sangat harap kedua orang itu tak kurang suatu apa dan nantinya dapat datang ke Ko-to-san.

--oodwkz0tahoo--

Teringat Ko-to-san, Yan-chiu terus buru2 hendak lanjutkan perjalanannya lagi. Tapi mendadak suara tadi terdengar, disusul dengan memancarnya sinar dari sela jendela. Kini Yan-chiu sudah terjaga betul2, tidak seperti tadi masih layap2. Ternyata jelas dilihatnya bahwa sinar ke- hijau2an yang menyusup masuk itu berasal dari sebuah pedang pusaka. Dan hai....., itu kan pedang kuan-wi yang direbut oleh The Go tempo hari?!

Jelaslah kiranya kalau bukan The Go tentu juga salah satu kambratnya yang hendak bermaksud jahat terhadap dirinya itu. Yan-chiu mendapat akal. Ia pura2 menggeros lagi dengan men-dengkur keras. Tapi ternyata sitetamu malam itu juga bukan orang tolol. Baru dia hendak loncat masuk, atau dia sudah menyurut balik karena mendengar dengkuran sinona. Seorang nona dari 16-an  tahun, berbadan kurus, mana bisa  mendengkur  begitu  keras  ?  Ah. , tentulah hanya di-buat2 saja.

Yan-chiu terkesiap, ketika didengarnya suara tadi sirap. Sebenarnya ia sudah siap menerkam, begitu sipenjahat masuk. Saking tak sabarnya, dia segera timpukkan bantal ke-arah jendela. Oleh karena sekarang lweekangnya bertambah maju, maka walaupun dengan bantal namun dapat membuat daun jendela itu terbuka. Menyusul dengan itu, Yan-chiu loncat keluar jendela, ia tepat jatuh diatas wuwungan rumah karena letak kamar Yan-chiu, di loteng, namun tiada melihat seorangpun juga. Tapi ketika ia hendak balik kembali kedalam kamar, dari belakang kepalanya terasa ada angin menyamber. Buru2 ia loncat kemuka pada sebuah wuwungan. Tapi belum lagi ia sempat memutar tubuh, suara senjata sudah melayang tiba pula.

Sejak mengikut Tay Siang Siansu, ilmunya mengentengi tubuh maju pesat. Tapi sipenjahat itu sudah dapat mengikuti laksana bayangan, jadi dapat dikira2kan bagaimana lihay orang itu. Karena tak membekal senjata, terpaksa Yan-chiu mendak kebawah.

„Bagus !" serunya demi senjata itu menabas diatas kepalanya. Tanpa berayal, ia balikkan tangan mengirim sebuah hantaman.

Ternyata serangan Yan-chiu itu cepat dan tak terduga, hingga orang itu tak dapat menghindar. Prak......, sebuah genting telah terinjak remuk. Tatkala Yan-chiu berputar mengawasi, kiran ya pen yerangnya gelap itu bukan lain adalah simuka jelek yang empunya kim-goan-po tadi. Tangannya mencekal pedang kuan-wi.

„Dari mana kau peroleh pedang itu ?" bentak Yan-chiu,

Orang itu tak menyahut hanya bolang-balingkan pedangnya untuk menyerang lagi. Melihat ilmu permainan pedang simuka jelek sedemikian aneh seperti bukan ilmu permainan pedang, bermula Yan-chiu kaget, tapi pada lain saat ia segera berseru: „Bangsat, kau si The Go bukan ?!" Orang itu tetap membisu. Habis 4 kali serangan, dia kembali menyerang lagi. Kali ini ujung pedang ditusukkan kejalan darah jin-tiong-hiat. Dibawah cahaya rembulan, pedang itu ber-kilau2an menyeramkan bulu roma. Tadi saja untuk 4 buah serangan itu, Yan-chiu sudah setengah mati menghindarnya. Kini lebih runyam lagi. Pokok kelemahan Yan-chiu disebabkan karena tak membekal senjata. Paling banyak ia hanya dapat andalkan kelincahannya untuk berputar2 menghindar. Kemudian setelah berhasil menghindar, segera ia cabut bumbung bambu yang tergantung dibelakang punggungnya. Simuka jelek terkesiap.

8

"Bangsat, bukankah kau The Go adanya?" bentak Yan-chiu sembari menghindari serangan orang yang bertubi2.

„Siapa sebenarnya kau ini ? Kalau tak mau bilang, awas akan kulepaskan ceng-ong-sin ini !" Yan-chiu mengancam. Orang itupun tertegun tak berani menyerang dan menyahut dengan nada tajam : „Bagaimana kau bisa kenal si The Go?"

„Bangsat itu dibenci oleh semua orang persilatan, masa aku tak kenal ?!" kata Yan-chiu.

„Ah, The sute bukan orang jahat begitu !" kata orang itu.

„Oh, jadi kau ini sukonya ?"

Orang itu mengiakan. Tahu2 dia sudah menggeliat seperti mau rubuh kearah Yan-chiu, tapi yang sebenarnya yalah hendak menutuk jalan darah ki-bun-hiat pada dada orang.

Yan-chiu ke-merah2an muka, ta empos dadanya. Tapi tiba2 tangannya dirasakan sakit dan tangan kiri sijelek itu sudah menerkam bumbung ular yang dipegangnya. Kini baru Yan-chi insyaf, bahwa tutukan tadi hanya serangan kosong, serangan yang sebenarnya yalah hendak merebut bumbung ular. Dalam gusarnya, Yan-chiu gunakan wan- yang-lian-thui, sepasang kakinya berbareng menendang, tapi tangannya ditarik kebelakang dengan sekuat tenaga.

Ternyata orang itu membandel dan berkeras handak merebut ular ceng-ong-sin. Begitulah kedua orang itu saling membetot adu tenaga. Bumbung bambu itu sudah tentu tak tahan dibuat tarikan oleh dua orang yang mempunyai ilmu lwekang. Krek......., putuslah bambu itu. Karena keduanya saling keluarkan tenaga besar, maka masing2 sama terjerembab surut kebelakang sampai dua tindak. Tangan masing2 mencekal separoh kutungan bambu. Sedang ditanah tampak ular ceng-ong-sin melingkar sembari julangkan kepaIanya keatas. lidahnya menjulur surut diantara bunyi desisan yang keluar dari mulutnya. „Bajingan, kau tak beda dengan sutemu. Ceng-ong-sin lolos, jiwamu tentu amblas!" serunya sembari maju hendak menangkap ular itu. Tapi sebatang pedang hijau kemilau tiba2 menusuknya, hingga ia terpaksa tarik pulang tangannya. Kiranya orang Itu telah serangkan pedangnya dengan tangan kiri, sedang tangannya kanan juga akan menangkap ular ceng-ong-sin. Saking gusarnya, Yan-chiu timpukkan kutungan bambu tadi kearah siorang jelek sembari menyusuli dengan sebuah serangan. Simuka jelek mau, tak mau terpaksa mundur menghindar.

Hendak dibuat rebutan, ceng-ong-sin marah juga. Dengan buasnya binatang Itu meregangkan kepalanya, siap sedia menggigit siapa yang berani main gila padanya.

„Ceng-ong-sin, gigitlah bangsat itu !" seru Yan-chiu. Maksudnya hendak menyuruh ular itu menggigit simuka jelek. Ia yakin ular itu tentu menurut. Tapi jadinya malah kebalikannya.

KaIau tadi ia diam saja, itu sih baik. Begitu ia buka suara, ceng-ong-sin terus berputar menghadapi Yan-chiu. Kiranya ular ceng-ong-sin itu mempunyai daya ingacang kuat sekali. Selama disekap dalam bumbung yang begitu sempit, beberapa kali ia mendengar suara Yan-chiu. Begitu tadi Yan-chiu buka suara lagi, binatang itu segera mengenalnya, itulah orangnya yang menyiksa ia didalam bumbung.

Yan-chiu yang tahu akan keganasan ceng-ong-sin, sudah tentu menjadi terperanjat takut. Buru2 ia hendak bersiap Iari, tapi ular itu secepat kilat sudah merangsang memagut padanya. Yan-chiu menghindar kesamping, hingga pagutan ular itu lewat disisi tubuhnya. Sekalipun begitu saking lihaynya, lengan baju Yan-chiu yang kesrempet telah menjadi robek separoh. Luput menerjang, ular itu meluncur sampai dua meter jauhnya baru dapat berhenti dan berputar diri terus maju menyerang lagi dengan dahsyatnya, Untuk menghindar, terpaksa Yan-chiu loncat sampai 3 meter tingginya. Namun siular juga merangsang memburu keatas. Syukur Yan-chiu dapat melompat - lebih tinggi dari rangsangan siular, lalu terus melayang kesamping. Namun dengan cepat sekali, siular sudah meluncur hendak menggigit kaki sinona.

Dengan mengandal kelincahannya, lagi2 Yan-chiu loncat kesamping. Sebaliknya simuka jelek yang mengawasi kejadian itu, tak henti2nya tertawa ter-kekeh2. Yan-chiu mendongkol bukan buatan. Ia menghendaki orang itu supaya rasakan kelihayan ceng-ong-sin juga. Sekali enjot sang kaki, ia loncat kesamping simuka jelek.

Ceng-ong-sin terkenal sebagai raja sekalian ular berbisa. Kalau digunung, tak pernah ia luput menerkam, korbannya. Segala jenis binatang kalau berjumpa dengan ular itu, tentu akan sudah lemas badannya. Tapi dua kali ular itu menyerang sinona tanpa berhasil, telah menyebabkan ia (ular) marah sekali. Dengan Was dan men-desis2, ular itu kembali menyerang. Sebaliknya begitu berada disamping simuka jelek; Yan-chiu segera mengirim dua buah hantaman. Ketika orang itu hendak menangkis, cepat luar biasa Yan-chiu sudah menyelinap kebelakangnya. Inilah suatu siasat yang lihay. Biar bagaimana ular ceng-ong-sin  itu tetap seekor binatang, jadi tak dapat membedakan  orang.

Karena tak melihat Yan-chiu, binatang itu menyerang simuka jelek, siapa sudah tentu menjadi kelabakan setengah mati. Dengan. gugupnya, dia memutar pedang. Ternyata ular itu kenal lihay juga. Ia mundur menyurut. sampai dua meter. Ular dapat menghindar mundur, sungguh suatu hal yang langka. Sebenarnya hal itu disebabkan karena bagian perut ular itu tumbuh sisik yang dapat dipergunakan sebagai alat berjalan. Setelah mengundurkan ular, simuka jelek membacok Yan-chiu. Karena tak dapat menangkis, terpaksa Yan-chiu menghindar. Tapi begitu ia bergerak, ceng-ong-sin sudah maju menyerang lagi. Dan berbareng pada saat itu, pedang simuka jelekpun melayang datang. Jadi kini Yan- chiu diserang dari muka belakang.

Tadi menghadapi seekor ceng-ong-sin saja, Yan-chiu sudah amat sibuk. Apalagi kini masih ditambah dengan seorang musuh manusia yang tangguh. Dapat dibayangkan bagaimana sukar kedudukannya pada saat itu. Dengan susah payah, ia masih dapat bertahan sampai dua serangan. Tapi pada lain serangan, pakaiannya kena disambar robek oleh ceng-ong-sin lagi.

Kembali simuka jelek membacok punggung, sedang ceng-ong-sinpun menyerang dari muka pula. Yan-chiu benar2 tak dapat loncat menghindar lagi. Jalan satu2nya yalah loncat tinggi2 keatas. Diatas udara, ia pijakkan kaki kiri pada kaki kanannya untuk loncat naik lebih tinggi lagi.

Dari situ, dia terus meluncur turun kebawah tanah. Sewaktu meluncur turun, ia masih sempat memandang ketempat pertempuran tadi. Ternyata pada saat itu, ceng- ong-sin tengah menyerang simuka jelek, tapi kena didesak oleh pedang pusakanya.

Begitu tiba ditanah, Yan-chiu menjejak lagi untuk melambung keatas wuwungan. la mendekam ditempacang gelap untuk melihat jalannya pertempuran. Ceng-ong-sin menggeliat kekanan-kiri, untuk mencari kesempatan memagut korbannya, Sekalipun simuka jelek membekal sebilah pedang pusaka ditangan, namun tak mudah juga hendak menebas siular. Malah beberapa kali orang itu terpaksa harus menyingkir dari terjangan siular sangat dahsyatnya.

Yan-chiu girang dan mendongkol terhadap simuka jelek itu. la lepaskan sebuah genting, lalu dipecahnya menjadi beberapa keping. Sekali merangkum dengan 3 buah jari, Yan-chiu. segera timpukkan pecahan2 genting itu kedaerah jalan darah leng-thay-hiat dipunggung orang.

la benci sekali terhadap orang bermuka jelek itu. Maka timpukannya itu dilancarkan dengan sekuat tenaganya, KaIau orang itu tak dapat menghindar, tentu akan terluka atau tentu kena digigit siular. Dan ternyata harapannya itu nampaknya terkabul. Orang itu diam saja, hanya tumpahkan perhatian melayani terjangan siular. Dengan putar   pedang,   mendesak  ceng-ong-sin  mundur   dan bluk

........ punggungnya termakan pecahan genting. Tapi hai      ,

mengapa tak apa2 ?

Orang itu tetap menghadap kemuka, sedikitpun tak menghiraukan punggungnya yang terkena timpukan itu.

Yan-chiu tersadar. Oleh karena orang itu adalah suko dari si The Go, jadi tentu dia yuga murid Ang Hwat cinjin yang faham ilmu i-hiat-hwat (memindah jalan darah).

Hingga kalau orang biasa bagian itu merupakan jalan darah berbahaya, tapi bagi dia tidak. Namun Yan-chiu tak mau mundur putus asa. Tiga keping pecahan genting kembali ditimpukkan. Rupanya orang itu dapat juga mendengar samberan angin timpukan Yan-chiu, tapi oleh karena dari muka siular tengah merangsang lagi, terpaksa dia tak mau berpaling kebelakang.

Melihat orang itu terpaksa mandah menerima timpukan nya, Yan-chiu kegirangan sekali. Karena lwekangnya bertambah maju, sekalipun orang itu dapat menutup jalan darahnya, namun tak urung tubuhnya terasa sikit juga terkena timpukan genting itu. Lama2 orang itu mendongkol juga. Kalau -mau, sekali tabas dapat dia menguntungi kepala si ceng-ong-sin, tapi rupanya dia hendak menangkap hidup2an binatang istimewa itu. Hujan pecahan genting itu, lama2 membuatnya kesakitan juga.-Akhirnya tak dapat dia bertahan sakit lagi. Sekali enjot kakinya, dia berjumpalitan melesat kebelakang, terus menyerangnya. Kaget Yan-chiu tak terkira. Kalau hendak menyurut kebelakang, orang itu tentu tetap membayangi. Maka terpaksa la gunakan gerak tiat-pian-kio, buang dirinya kebelakang. Sewaktu pedang itu menyambar lewat diatas tubuhnya, ia rasakan ada serangkum hawa dingin menyampoknya. Dingin dan seram rasanya, hingga ada beberapa lembar rambutnya menjadi rontok. Terang suatu pusaka yang tiada taranya didunia.

Luput menabas, orang itu turunkan tangkai pedangnya kebawah untuk menutuk jalan darah ki-bun-hiat didada Yan-chiu. Cepat dan ta.n,gkss sekali gerakan itu dilakukan hingga Yan-chiu tak sempat menghindar. Terpaksa ia gunakan cian-kin-thui (tekanan 1000 kati) untuk menekankan kakin ya keatas genting, brak tubuhnya

melesak jatuhkedalam rumah!

„Maling...., maling....!" se-konyong2 seorang perempuan didalam ruangan situ menjerit. '

Yan-chiu ber-gegas2 merayap bangun. Tanpa pedulikan perempuan yang menjerit-jerit ketakutan, ia terus loncat keluar jendela, dari situ ia loncat pula keatas wuwungan. Saat itu dilihatnya simuka jelek mengulaikan tangannya kebawah, se-olah2 hendak membuka bagian dadanya. Ceng-ong-sin bagaikan sebatang anak panah, meluncur dengan pesatnya akan menggigit kening orang. Yan-chiu terperanjat girang. Terang orang itu tentu akan melayang jiwanya. Tapi se-konyong2 suatu kejadian ajaib terjadi.  Baru kepala siular merangsang maju, sebat sekali tangan orang itu sudah menyambar angsangnya dan mengibaskan kesamping dengan se-kuat2nya. Tanpa disengaja, tangannya telah menyamplok muka dan tiba2 serongsong topeng muka tersingkap jatuh, lalu disambar mulut siular yang terus menggigitnya dengan geram sekali.

Bermula Yan-chiu mengira kalau benda Itu adalah besetan kulit muka siorang jelek, tapi begitu diawasi dengan perdata, mulutnya segera ternganga kaget. Kiranya orang bermuka jelek itu bukan lain adalah si The Go! Adalah kalau Yan-chiu sudah begitu kesima, sebaliknya The Go sudah begitu kegirangan sekali. Sehabis perdengarkan tertawanya panjang, dia segera menghilang ditempat kegelapan.

Kini teringatlah Yan-chiu suasana dirumah perjudian. Pertama kali melihat gerak gerik simuka jelek itu, Yan-chiu sudah merasa pernah mengenalnya. Malah pada saat itu, dia pun mendengar suara si The Go. Tapi oleh karena kelicinan anak muda itu, jadi Yan-chiu tak berdaya membuktikan kecurigaannya,

Pedang pusaka kuan-wi, seekor ular ceng-ong-sin yang keramat, dua2nya hilang didalam tangannya.  Dua2nya kena direbut mentah2 oleh The Go. Bagaimana marah dan kebenciannya. Sekali enjot tubuh, ia lari mengejar. Tapi karena berayal sejenak tadi, sang rase sudah menghilang.

Saking bingungnya, terpaksa Yan-chiu balik kedalam biliknya. Sudah tentu ia tak dapat tidur lagi. la menduga keras, The Go tentu menuju ke Ko-to-san untuk mengadakan persiapan pertempuran hari pehcun nanti. Saat itu, Yan-chiu segera berkemas berangkat menuju ke Ko-to- san. Syukur bisa ketemu ditengah jalan, kalau tidak masih mempunyai kesempatan. lagi untuk berjumpa di Ko-to-san. Singkat ceritanya, dua hari kemudiaa tibalah Yan-chiu dikaki gunung Ko-to-san. Bulan yang lalu, dia pernah datang kesitu bereama eukon ya, jadi ia sudah faham akan jalan2nya. Setelah mencari keterangan pada penduduk disitu, diketahuinya kalau belum ada seorsng kaum persilatanpun jua yang datang digunung tersebut. Ceng Bo Siangjinpun belum nampak tiba. Yan-chiu indahkan pesanan Kui-ing-cu, yaitu menunggu kedatangan rombongan sang suhu dikaki gunung itu.

Tapi pada lain saat terkilas suatu pikiran  lain dibenaknya.

Celaka, kalau sampai rombongan suhunya mengetahui tentang peristiwa pedang Kuan-wi dan ular ceng-ong-sin yang sudah kena dirampas The Go, ia (Yan-chiu) tentu akan disesali kawan2, demikian pikirnya, Ah. , toh mereka

belum datang, kiranya tak apa kalau ia coba menyelidiki Keats gunung. Siapa tahu kalau nanti ia berhasil merebut kembali kedua benda pusaka itu. Dengan demikian, dapatlah ia mengembalikan kehilangan muka itu.

Ia hanya merasa kepandaiannya telah memperoleh kemajuan yang besar. Tapi sedikitpun ia tak mau tahu atau memang benar2 tak mengetahui bahwa orang2 gereja Ang- hun-kiong itu terlebih lihaynya! Oleh karena saat itu masih pagi, Ia mencari sebuah pandai besi minta supaya dibuatkan seperangkat rantai dan bandringan liu-ce-chui serta sebilah pedang!

--oodwkz0tahoo—
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar