Naga dari Selatan BAGIAN 28 : ISTERI DI TUKARKAN PEDANG

 
BAGIAN 28 : ISTERI DI TUKARKAN PEDANG

Dengan diiring oleh ketiga orang Biau kate itu, The Go bertiga mendaki keatas. Sampai ditengah perjalanan, tampak pada tepi sebuah lapangan ada ber-puluh2 gua batu besar dan kecil seperti di-jajar2 merupakan sebuah lingkaran. Drum atau tambur, ramai ditabuh orang. Rupanya suku Thiat-theng-biau itu tengah mengepung sebuah api unggun sembari me-nari2.

Tan It-ho segera ajak The Go dan Bek Lian menuju 'kesalah sebuah gua yang paling besar. Gua itu berlainan dengan gua lain2nya, mulut gua ditutupi dengan sebuah kere' terbuat dari rotan besi hitam. Begitu  tiba  dimuka pintu, Tan It-ho bicara dengan bahasa Biau dan dari dalam segera terdengar suara, penyahutan. „Hayo, kita masuk!" Tan It-ho, mengajak The Go.

Waktu masuk kedalam, ternyata disitu alat2nya serba sederhana, hanya ada sebuah meja batu. Sedang. dibawahnya tampak duduk seorang suku Biauw bertubuh kate, tapi kepalanya besar. Sepasang matanya mendelik beringas, buas dan menakutkan sekali. Begitu melihat ketiga tetamunya, dia segera ber-kata2 dengan suara keras yang me-lengking2 dipendengaran orang. Rupanya dia pandai ilmu silat juga. Tan It-ho silahkan The Go dan Bek Lian duduk ditanah. Melihat wajah yang menakutkan dari kepala suku itu, Bek Lian segera ajak The Go lekas2 berlalu. Tapi The Go menghiburnya: „Kepala suku sudah begitu baik hati menjamu, masa kita menolaknya? Kita terpaksa bermalam disini." Karena tak curiga, Bek Lian menurut saja.

“Jangan takut Lian-moay, sebentar lagi kau tentu akan biasa dengan mereka," kata The Go dalam usahanya menjual" Bek Lian. Sudah tentu kepala suku Biau itu lantas kesemsem oleh kecantikan sigadis.

Orang Biau itu memang Kit-bong-to. Tan It-ho  yang lebih dahulu datang kesitu, sudah membicarakan hal itu kepada-nya. Demi menampak Bek Lian, kepala suku itu setuju sekali. Sudah tentu Tan It-ho sangat girang. „Karena jauh2, datang kemari, hiante dan nona Bek tentu lelah. Setelah minum arak, apakah tidak ingin beristirahat?" tanyanya, sembari mengangsurkan dua% cawan kecil.

Bek Lian yang tak biasa minum arak, sudah tentu menolak. Tapi The Go yang mengetahui kalau arak yang disuguhkan kepada Bek Lian itu tentu berisi obat pembius yang dapat membuat orang tak sadarkan diri sampai 3 hari, buru2 mendesaknya: „Lian-moay, arak ini teramat manis apalagi tak enaklah hati kita untuk menolak kebaikan tuan rumah. Hayo, minumlah saja!"

Bek Lian menjilat sedikit, dan memang benar arak itu semanis madu. Pikirnya, cawan yang begitu kecil masakan dapat memabukkan. Dan sekali teguk ia keringkan isi  cawan itu. The Go dan Tan It-ho saling melihat dengan wajah ber-seri2. Melihat Bek Lian sudah meminum obat pembius, Kit-bong-to berbangkit untuk mengambil sebatang pedang. Begitu dilolos dari sarungnya, pedang itu ber-sinar2 hijau kemilau. Melihat itu, Bek Lian terkesiap. Mengapa, ya, mengapa, pedang itu serupa dengan pedang milik ayahnya? Baru iaa hendak berbangkit melihati, kepalanya serasa, pening sekali. Namun masih ia, paksakan diri untuk berbangkit dan berseru: „Engko Go, badanku kurang enak!" Tapi segera ia rasakan sekelilingnya ber-putar2 dan sekali ia melihat suasana menjadi gelap, rubuhlah ia tak sadarkan diri lagi.

Cepat2 The Go hendak menghampiri untuk memeriksa pernapasan hidungnya, tapi sret........... pedang pusaka itu menusuk kearahnya. Sudah tentu dia gugup sekali menghindar.

„Kit-bong-to mengatakan, bahwa nona jelita itu sudah menjadi miliknya. Kau tak boleh sembarangan menyentuhnya!" kata Tan It-ho.

Sebaliknya dari gusar atau menyesal, The Go malah tertawa riang, sahutnya: „Toako, suruh dia serahkan pedang itu !!! "

Begitu Tan It-ho menyampaikan permintaan The Go itu, ternyata orang Biauw yang masih liar itu menjunjung kepercayaan. Pedang dan sarungnya sekalian diberikan. The Go dapatkan pedang itu aneh bentuknya. Badan pedang itu yang separoh bentuknya bulat, sedang telinga (palang tangkai) pun hanya sesisih saja. Datasnya terukir dua buah huruf „Kuan-wi". Setelah tercapai idam2annya, The Go ber-gegas2 minta diri, tapi Kit-bong-to mencegahnya, hingga kedua orang itu terpaksa bermalam disitu. Besok pagi sore, baru mereka diidinkan pergi. Ternyata Bek Lian sudah diangkut pergi kelain gua. Kepada Tan It-ho, Kit-bong-to menyampaikan undangan:  „Tiga hari kemudian setelah sicantik itu tersadar, perkawinan akan segera dilangsungkan. Harap kalian datang menyaksikan upacaranya."

Walaupun mengiakan, namun The Go dan Tan It-ho takkan sudi datang kesitu lagi. Begitulah, dengan berlari, keduanya turun kebawah gunung.

Setelah melintasi beberapa puncak, tibalah mereka didekat batu besar yang berisi mustika tadi. Sebenarnya The Go pun takkan mengetahui coba disitu tak ada bekas darah kelinci yang ditangkap Tio Jiang. Sebagai seorang durjana, sudah tentu The Go tak mau lewatkan begitu saja keanehan itu. Menghampiri kedekatnya, diapun segera mengetahui akan bagian batu yang pikisnya sudah dikupas habis oleh Tio Jiang. Oleh karena mahir dalam ilmu sastera, maka diapun pernah baca juga bagian kitab Pao-bu-cu yang mengatakan begini: „Mustika dalam batu itu, sebenarnya memang ada. Berada didalam batu  besar, yang selalu lembab tak pernah kering. Begitu batu itu dipecah, maka didalamnya akan ada sebuah benda yang macamnya seperti telur kuning. Harus lekas2 diminum, kalau tidak, akan mengeras seperti batu."

Juga diketahuinya akan khasiat benda itu bagi orang yang telah meminumnya. Banyak nian orang persilatan yang mengiler akan benda itu, tetapi tiada seorangpun yang berani mengimpikan untuk memperolehnya. Bahwa kini dirinya telah berhasil mendapatkan penemuan itu, bukankah itu suatu karunia Allah? Demikian pikir The Go sembari ter-menung2 disitu. Tan It-ho menjadi heran, serunya: „Hiante, mengapa terus berada disitu saja?"

Masih The Go me-nimang2. Syukur dia sudah berhasil memiliki sebatang pedang pusaka, kalau tidak mana dia dapat mengambil pusaka yang berada didalam batu sebesar itu? Agaknya, segala jalan telah dibuka untuknya. Tapi, hai bagaimana dengan Tan It-ho yang selalu membuntuti kemana perginya itu? Terkilas dalam ingatannya, bahwa peristiwa dirinya dengan Bek Lian dan Kit-bong-to itu, hanya Tan It-ho seorang yang mengetahuinya. Tiga hari kemudian apabila Bek Lian tersedar, ia tentu tak sudi diperisteri Kit-bong-to. Berurusan dengan seorang liar ganas macam Kit-bong-to, Bek Lian tentu akan kehilangan jiwanya. Ini berarti suatu penuduh atau saksi yang kuat, telah lenyap. Tapi masih ada seorang saksi lagi, yakni Tan It-ho. Bukankah dia bakal merupakan bahaya besar terhadap dirinya dikemudian hari?

Adanya Bek Lian sampai jatuh hati, adalah karena menampak wajah The Go itu sangat cakap. Memang benar, Cian-bin Long-kun The Go itu seorang pemuda  yang cerdik, tampan dan gagah. Tapi sayang, hatinya berlawanan dengan wajahnya: licik, culas dan ganas. Asal yang menguntungkan dirinya, apapun dia sanggup melakukan. Kini keputusan telah dijatuhkan. „Toa-ko, kemarilah, memang disini terdapat sesuatu yang luar biasal"

Tan It-ho menghampiri, bermula dengan wajah ber-seri girang, tapi pada lain saat, dia segera mengeluh dalam hati.

„Hiante, aku tak mau benda itu. Hiante boleh memakannya semua!" serunya dengan gugup. „Ah......., mengapa berkata begitu ?" The Go tertawa. Semula Tan It-ho merasa lega mendengar nada ucapan The Go, namun dia tetap mau menyingkir saja. Tapi baru tubuhnya berputar, tiba2 matanya disilaukan oleh sebuah sinar hijau kemilau. Sinar yang hijau kemilau itu ternyata adalah sinar  pedang  Kuan-wi, tanpa disangka tahu2

sudah menembus tenggorokan Tan it-ho.

4

Mendadak sinar hijau berkilau dan tembuslah tenggorokan Tan It-ho oleh pedangnya The Go yang keji. Begitu pedang itu ditarik,   kaki    The    Go    berbareng    diayunkan    kemuka, dan

...........bum tubuh Tan it-ho terhampar sampai setombak lebih

jauhnya.

Tan it-ho adalah seorang durjana yang licik sekali, tapi tokh dia harus mati ditangan durjana lainnya juga. Dan yang paling tragis, dia yang merencanakan sehingga The Go, berhasil memiliki pedang pusaka itu, tapi dia pula yang merasakan buah dari perbuatan keji itu. Memang tepat apa yang dikatakan oleh sebuah peribahasa: „Barang siapa yang memasang lubang jebakan, dia sendiri tentu akan terperosok kedalamnya." Habis menyelesaikan saudaranya angkat, dia mencoba ketajaman pedang Kuan-wi dan hai......, kiranya batu itu dapat dipapas dengan mudahnya. Dengan 3 kali bacokan, dia papas empat ujung dari batu itu. Tapi ketika dia mulai hendak membelah, disebelah sana kedengaran jeritan Yan- chiu, memberitahukan kepada Tio Jiang tadi. Malah untuk kekagetannya, Kui-ing-cu dan Nyo Kong-limpun ikut serta. Cepat2 dia kerjakan pedangnya. Berkat ketajaman pedang kuan-wi, dalam beberapa, detik saja batu itu hanya tinggal satu elo pesegi besar, tapi pada saat itu Tio Jiangpun keburu sudah datang. Saking gugupnya, The Go segera bawa batu itu bersama melarikan diri.

Tio Jiang juga tak kurang gugupnya. Celaka, kalau, mustika. itu sampai termakan The Go, dia tentu laksana harimau tumbuh sayap, makin ke-liwat2 ganasnya. Apalagi didorong oleh kemarahannya bahwa Bek Lian tentu sudah ditukar dengan pedang pusaka yang dicekal siorang muda itu, maka sekali enjot sang kaki Tio Jiang maju menerjangnya. Tapi si The Go sudah mendahuluinya lari. Selagi dia mengejar dari sisihnya terasa ada angin menderu. Ketika diperdatakan, kiranya itulah Kui-ing-cu yang hendak mendahuluinya. Sudah tentu hatinya, sangat legah.

Sebaliknya ketika The Go berpaling kebelakang, kagetnya bukan kepalang. Dia masih membawa batu besar yang tak kurang dari seratus kati beratnya. Kalau kali ini tertangkap musuh, jiwanya tentu melayang. Tiba2 dilihatnya mayat Tan It-ho membujur ditengah jalan. Cepat mayat itu disongkeInya dengan kaki, terus dilemparkan kearah Kui-ing-cu.

Kali ini Kui-ing-cu yang cerdik, terpaksa mengakui kelicinan The Go.

Pertama Kui-ing-cu mengira, kalau The Go, itu hanya seorang diri. Kedua disebabkan hari malam, jadi tak dapat melihat dengan jelas.

Maka tubuh Tan It-ho yang melayang itu dikiranya adalah si The Go yang akan menyerangnya.

„Bagus!" seru Kui-ing-cu sembari menyingkir kesamping. Sekali  berputar  dia  kirim  sebuah  hantaman,  bluk.    dada

The Go  kena terhantam  tepat  sekali,  sehingga pekakasnya

dalam menjadi porak poranda terhampar ditanah. Tapi Kui- ing-cu segera menjadi curiga. Masa orang diam saja dipukul, tiada menghindar tiada menangkis. Maka dipereksanya tubuh itu dan

”Hai, ini Tan It-ho bukan The Go!" tiba2 Tio Jiang yang itu saat sudah datang mendahuyui bertereak.

Kui-ing-cu terbelalak. Dengan banting2 kaki, dia menggeram: „Hem, mana bisa dia lolos dari tanganku? Hayo, kita berpencar mencarinya!"

Tio Jiang, Yan-chiu dan Nyo Kong-lim segera turut perentah itu.

Mereka berempat mengadakan penyelidikan yang teliti sekali diempat penjuru. Namun bagaimana juga, pegunungan Sip-ban-tay-san itu sangatlah liar, rumputnya hampir setinggi orang, apalagi diwaktu malam,  jadi sukarlah untuk mencarinya. Hampir dua jam lamanya, mereka tak memperoleh hasil suatu apa. Terpaksa mereka balik ketempatnya semula lagi. „Sungguh ku tak nyana, dikolong langit ini masih ada orang yang sedemikian cerdiknya," kata Kui-ing-cu, suatu pengakuan yang betul2 keluar dari setulus hatinya.

Karena tiada daya untuk menemukan jejak The Go, terpaksa mereka hendak mencari penduduk disitu, guna minta keterangan tempat kediaman suku Thiat-theng-biau itu. Tapi ketika berjalan baru beberapa puluh tindak, kedua ekor orang utan itu mendadak berhenti, hidungnya berkembang kempis. „Hai, mengapa kamu berdua tak mau jalan?" seru Yan-chiu terus hendak memukul kedua binatang itu.

Mendengar itu, pikiran Kui-ing-cu bekerja. Alat pembau dari binatang itu tentu jauh lebih tajam dari manusia. Biar bagaimana The Go tentu takkan dapat menyingkir jauh dari situ. Hanya karena suasana tempat itu yang sangat lebat, jadi mereka tak dapat menemukan. Tapi rasanya kedua orang utan itu tentu dapat mencium bau orang buronan tersebut.

„Bukankah kamu mencium bau orang? Dimana dia?" ujar Kui-ing-cu.

Seperti mengerti ucapan orang, Toa-wi dan Siao-wi segera lari kemuka. Hanya sebentar saja kedua binatang itu mencabuti semak2 puhun, atau dibalik sebelah sana tampak sebuah mulut goa kecil. Kui-ing-cu yakin kedua orang utan itu tentu sudah dapat mencium jejak The Go.

„Jaga mulut goa ini, jangan sampai orang itu lolos!" serunya pula kepada kedua binatang.

Tio Jiang, Yan-chiu dan Nyo Kong-lim sangat benci sehali kepada The Go. Sudah tentu mereka bertiga menjadi kegirangan sekali. Tapi ketika mereka hendak berpencar, tiba2 didengarnya Toa-wi menggerung kesakitan seraya mundur dengan lengannya kanan berlumuran darah. Berbareng itu, tampak seorang mahasiswa tengah melesat keluar sembari bolang balingkan pedang.

Bertemu dengan musuh lama, merah mata Tio Jiang,

„Tahan!" serunya dengan gusar seraya memungut dua buah batu kecil terus ditimpukkan kemuka. Mahasiswa yang bukan lain adalah si The Go menangkis dengan pedangnya, tring, tring, kedua batu itu tersampok jatuh. Tapi karena keayalannya sedikit untuk menangkis itu, maka Kui-ing-cu sudah menghadang dibelakangnya. The Go sapukan pandangan mata keempat jurusan. Tiba2 dia tertawa keras2 sambil menyarungkan pedangnya. Sikapnya berobah tenang sekali.

”Bajingan, kau ketawa apa? !" bentak Yan-chiu dengan marahnya. Namun The Go tetap ketawa tak mau menghiraukan, malah kedua tangannya digendong dipunggung, seperti orang tengah ber-jalan2 mencari angin saja.

Melihat The Go tak menyahut, Yan-chiu bertindak sebagai hakim dengan membeber panjang lebar tentang kejahatan dan kedosaan orang itu. Dengan bakat lidahnya yang tajam disertai kebenciannya kepada orang itu, maka Yan-chiu dapat menelanjangi habis2an si Cian-bin Long- kun yang dipersamakan martabatnya sebagai babi dan anjing yang hina dina. Namun wajah The Go tetap tak berobah, hanya mengulum senyum mengawasi saja. Begitu Yan-chiu sudah puas memaki, barulah dengan tenangnya dia bertanya:

„Lalu nona hendak berbuat apa kepada aku orang she The?"

Yan-chiu tertegun. Tak kira ia kalau orang muda itu sedemikian tebal kulit mukanya. „Bunuh mati sampah masyarakat macam kau ini!"

The Go tertawa gelak2, matanya ber-kilat2 melirik kearah empat orang itu. „Silahkan nona turun tangan!" sahutnya dengan tenang. Sepasang tangannya pun tetap masih digendong dipunggung, seperti orang yang sudah ikhlas menyerahkan nyawa. Yan-chiu sudah gerakkan tangan hendak menghantam, tapi demi tampak The Go diam saja, ia tertegun bentaknya:

„Bangsat, kenapa kau tak mau menangkis ?" The Go ketawa, sahutnya: „Bukankah nona tahu kalau sepasang tangan itu sukar melawan delapan tangan, bukan? Aku hanya, seorang, fihakmu ada 4 masih ditambah dengan dua ekor orang utan itu. Perlu apa aku harus lakukan kerjaan yang sia2? Lebih baik lekaslah bunuh orang she The ini, agar jangan sampai ditertawai kaum persilatan nanti!"

Yan-chiu tak dapat berkutik dengan tangkisan mulut yang tajam, itu. Sebaliknya Kui-ing-cu segera bertanya:

„Dimana kau sembunyikan mustika batu itu ?"

Cukup diketahui oleh The Go bahwa diantara keempat orang itu, hanya Kui-ing-cu ini yang paling lihay sendiri. Mendengar pertanyaan itu, pura2 dia bersikap kaget.

„Hai, jadi mustika batu itu kepunyaan lo-cianpwe ?" tanyanya. Kui-ing-cupun terbungkam dengan mulut si The Go, siapa kedengaran berkata lagi dengan tertawa:

„Testamen Tat Mo Cuncia yang mengatakan 'barang siapa berjodoh dialah yang menemukan' itu bohong belaka. Kiranya siapa yang lebih kuat, dialah yang berhak mendapatkan!"

Tu lihat ketajaman lidah Cian-bin Long-kun. Orang mengira dia sungguh2 meng-olok2 Tat Mo Cuncia, tapi maksud yang sebenarnya dia menuduh Kui-ing-cu berempat itu sudah mengandalkan kekuatannya berjumlah banyak, hendak merampas hak orang lain. Lagi2 Kui-ing-cu terkancing mulutnya.

”Kalian berempat, mengapa tak lekas2 maju mengeroyok aku?" tanyanya pula dengan sinis. The Go faham, bahwa musuhnya berempat itu adalah orang2 persilatan yang menjunjung kesusilaan adat persilatan sengaja dia keluar kata2 itu, supaya mereka janggan mengeroyok, tapi satu lawan satu saja.

„Orang she The, jangan berlagak, biarlah aku seorang yang menjadi wakil!" tiba2 Tio Jiang yang jujur, berseru. Pernyataan itu diluar persangkaan The Go, maka ia pun tak mau sia2kan ketika yang baik itu lagi, tanyanya „Siaoko, apakah ucapanmu itu boleh dipercaya?"'

„Tentu!" sahut Tio Jiang dengan kontan, tapi berbareng dengan itu Kui-ing-cu sudah memperingatnya: „Siaoko, jangan kena perangkapnya!" Tapi peringatan Kui-ing-cu itu sudah kalah dulu dengan janjinya tadi, apalagi disana The Go sudah menjurah dengan menghaturkan kemenangannya: „Sam-wi, dengarlah. Pada saat ini aku orang she The hendak bertempur satu lawan satu dengan murid Ceng Bo siangjin, mati hidup terserah pada nasib, masing2 tak boleh penasaran!"

Dengan ucapannya itu The Go hendak desak Kui-ing-cu, Nyo Kong-lim dan Yan-chiu jangan menghalangi pertandingan itu. Yan-chiu deliki mata pada sang suko, yang dianggapnya, keliwat sembrono hingga termakan tipu musuh. Tapi Tio Jiang tak menghiraukan. Biar bagaimana, dia hendak mengadu jiwa pada orang yang sangat dibencinya itu.

Tio Jiang tak mau buang banyak tempo. Begitu sepasang tangan dirangkapkan kedada, dia segera lancarkan pukulan pertama. The Go menghindar kesamping, tangan kiri mendorong maju sedang tangan kanan melolos pedang Kuan-wi. Dengan gerak heng-soh-cian-kun, menyapu ribuan lasykar, dia babat pinggang orang. Karena kepolosannya, Tio Jiang tak mengira kalau begita bergebrak musuh terus hendak gunakan senjata. Karena jaraknya begitu dekat, sudah tentu dia tak keburu menghindar. Pinggangnya serasa nyeri, ketika tangannya meraba kiranya berlumuran kena darah. Ter-sipu2 dia mundur 3 langkah untuk memereksa lukanya. Pinggang itu terluka antara 3 inci dalamnya, syukur hanya terluka luar saja.

Dengan mata menyala-nyala, Nyo Kong-lim bertiga mengawasi Tio Jiang. Tapi mereka tak dapat berbuat apa2, karena didesak oleh kata2 The Go yang tajam. Melihat serangannya pertama berhasil, The Go tak mau memberi hati. Bergerak maju, dia menusuk keulu hati. Dengan tahankan kesakitannya, Tio Jiang beralih kesamping seraya ayunkan sepasang tangan, yang kanan memukul batok kepala dengan tok-biat-Huasan, yang kiri dengan gerak siao-kin-na-chiu mencengkeram siku tangan kanan musuh. The Go tertawa, tiba2 dia rubuhkan diri kesamping untuk menusuk perut lawan.

Tio Jiang kenal jurus itu sebagai „menarik penampan mengambil poci" dari ilmusilat hong-cu-may-ciu. Setelah mempelajari ilmusilat itu, Tio Jiang bertekun mempelajari sari2 keindahannya, maka diapun tak gentar menghadapi serangan macam begitu. Bukannya menghindar, dia berbalik malah gunakan ilmu, tendangan wan-yang-lian- hoan, menendang keatas.

Selagi The Go bersorak dalam hati melihat lawan diam saja, tiba2 sepasang kaki melayang kedadanya. Benar kalau dia teruskan tusukannya, lawan pasti akan terjungkal, tapi sendiripun akan, pecah kepalanya, Sudah tentu dia  tak mau. Tangan ditarik kebelakang, terus diganti dengan jurus it-ho-jong-thian (burung ho menobros langit) untuk membabat kaki lawan. Sambil bertahan, menyerang. Demikian kegunaan jurus yang lihay itu.

Dia lihay, tapi iImu tendangan, musuh lebih lihay lagi. Tendangan tadi hanya kosong, begitu musuh robah serangan, diapun menghadapinya dengan lain gaya. Setelah dengan cian-kin-tui (tindihan seribu kati) tubuhnya menurun, lalu dilanjutkan dengan ko-chiu-poa-kin (puhun tua melingkar akar) menyapu kaki lawan, bluk........

terjungkallah The Go dengan telak sekali. Bahkan lukanya, lebih sakit dari luka pinggang Tio Jiang tadi. Memang tadi dia hanya, tumpahkan perhatiannya kearah gerakan sang pedang, jadi per-tahanan kaki kosong, ini dapat dimasuki Tio Jiang secara tepat sekali.

Tapi sesaat itu Tio Jiang rasakan lukanya gatal, tapi tidak sakit. Tapi dia tak mempunyai banyak waktu untuk memereksanya, karena kala itu The Go sudah siap menghadapi lagi. Pertempuran kali ini makin seru dalam tempo yang cepat. Sekejab saja sudah berlangsung belasan jurus. Jurus2 'an' dilancarkan oleh masing2 fihak, jurus berbahaya semua. Malah ada beberapa kali, kedua seteru  itu se-olah2 hendak mati bersama.

Serangan Tio Jiang makin lama makin dahsyat. Ilmu 1wekangnya kini sudah melebihi The Go, jadi sekalipun orang she The itu membekal pedang pusaka, namun dia tak dapat berbuat banyak. Tapi lewat beberapa saat lagi, hati Tio Jiang terasa bingung, tenaganya berkurang. Melihat  The Go hendak menyapu kakinya, dia malah menurunkan tubuh se-olah2 hendak mendekati maju. Justeru dia lewat disisi Yan-chiu siapa kedengaran berseru keras: „Suko, mengapa, luka dipinggangmu itu darahnya berwarna hitam?"

Tio Jiang terkesiap dan berbareng rasa gatalpun menyerang hebat. Habis melancarkan pukulan, tenaganya terasa habis. The Go biarkan pundaknya dihantam, tapi diapun berhasil menusuk pundak lawan.

„Bangsat, mengapa kaupolesi racun pada senjatamu?" damprat Tio Jiang sembari surut kebelakang. Apa? Baru kemaren saja senjata ini kuterima, bagaimana aku dapat memberinya racun? Jiwamu tak dapat ditolong, jangan penasaranlah!" sahut The Go.

Juga Kui-ing-cu melihat keanehan luka Tio Jiang. Demi tampak Tio Jiang tertusuk lagi, cepat sekali dia sudah ulurkan tangan untuk mencengkeram tangan The Go. Sekali pijat, The Go rasakan lengannya kesemutan dan pedangnyapun jatuh ketanah. „Ha...., ha...., memang telah kukatakan tadi, orang gagah itu paling susah menghadapi keroyokan!" The Go berbalik ketawa dengan tak gentar.

„Cuh....." Kui-ing-cu menyemburkan ludahnya kearah The Go. „Kau anggap dirimu itu orang gagah dari mana?"

The Go miringkan kepala untuk menghindar, tapi tak keburu. Mukanya serasa panas membara, nyerinya bukan alang kepalang. Benar dugaannya tadi, tokoh ini jauh lebih sakti dari Ceng Bo siangjin. Untuk menghadapinya harus gunakan diplomasi lidah yang tajam. ,Bukantah  tadi engkoh Tio itu sendiri yang mengatakan hendak bertepur satu lawan satu. Kalau sememangnya dia rendah kepandaian, memangapa aku yang dipersalahkan?"

Kui-ing-cu kendorkan cengkeramannya dan sekali dorong, The Go terlempar jatuh sampai setombak lebih jauhnya. Setelah itu dia injak pedang Kuan-wi tadi, dia mengancam: „Hai, anak muda jangan lari! Lekas ambilkan obat pemunah bisa!"

Ketika memereksa luka Tio Jiang, didapatinya sang daging sudah merekah, penuh digenangi dengan air hitam, Cepat2 Kui-ing-cu tutup jalan darah ditiga bagian. Tio Jiang rubuh ditanah tak dapat berkutik. Hati Yan-chiu serasa hancur,  sambil memereksa luka itu ia menyesali sang suko:

„Mengapa kau begitu gegabah? Kalau kita berempat maju, masa The Go akan dapat berkutik. Andaikata hendak berkelahi  satu  lawan satu,  toh  juga  harus Kui  lo-cianpwe yang maju. Kau tangan kosong, diia mempunyai pedang pusaka, kan sangat berbahaya sekali!"

Tio Jiang diam saja dilleyleri Sang sumoay itu. Karena dia merasa salah tadi sudah keliwat sembrono. Ya, maklumlah karena dia sangat benci sekali kepada orang she The All. Pada saat itu, kaki dan tangannya kiri serasa mati- rasa, jadi diet tak menghiraukannya.

”Siao-ah-thau, sudahlah. Karena siaoko sendiri yang menghendaki, jadi kalau harus binasa itupun sudah layak, tak perlu kau sesalkan!" kata Kui-ing-cu

Mendengar Kui-ing-cu mengucap begitu, Yan-chiu terbeliak matanya tak dapat ber-kata2 lagi. Sebaliknya disebelah sana, The Go yang juga dapat mendengarnya, segera menimbrung: ,Memang para cianpwe dalam dunia persilatan itu selalu menjunjung kepercayaan dan janji.  Nah, aku yang rendahpun hendak minta diri."

Habis mengucap, dia terus hendakk angkat kaki, tapi dilarang oleh Kui-ing-cu.

„Aneh, bukankah kita sudah janji? Bukankah telah dijanjikan terlebih dahulu ?" tanya The Go pura2 heran.

“Benar, memang yang telah dijanjikan tadi yalah fihak kita takkan maju 4 orang sekaligus, tapi tidak dijanjikan tentang adanya kedua ekor orang utan itu, bukan?" sahut Kui-ing-cu bergelak tawa.

The Go melirik kearah binatang yang dimaksud itu Bersoraklah dia didalam hati. Yang besar tadi, telah termakan tusukan pedangnya. Disebabkan,  karena tubuhnya kuat, jadi binatang itu masih dapat bertahan. Tapi saat bekerjanya racun itu, rasanya tak lama lagi. Masih seekor yang kecil, kiranya mudah diatasi. „Jadi binatang itupun mau coba2 juga?" tanyanya dengan sinis. „Hm.....," Kui-ing-cu perdengarkan dengus hidung karena geramnya, ”yang besar sudah kena tusukanmu, tak usah berkelahi. Cukup kau melawan yang kecil saja!" Habis itu dia lalu memberi aba2 pada Siao-wi, sikecil: „Siao-wi, robeklah orang itu!"

Melihat kakaknya terluka, Siao-wi marah. Begitu menerima perintah Kui-ing-cu dia terus melangkah dan menghantam. Tapi baru sampai ditengah jalan, dirobah menjadi sebuah tamparan kearah kepala. Itulah jurus pertama dari ilmusilat ,Mondar mandir". Sudah  tentu hilang semangat The Go dibuatnya. Karena pedang kuan- wi masih diinjak oleh Kui-ing-cu, jadi terpaksa dia menghindar kesamping.

Diluar dugaannya, walaupun tubuh orang utan itu keliwat besar, tapi gerakannya tetap lincah tangkas melebihi orang. Serangan pertama luput, serangan kedua sudah menyusul. Dua belah tangannya yang besar dipentang  untuk berbareng menghantam The Go. The Go ke- heran2an, masakan orang utan dapat bersilat. Cepat dia rogoh keluar kipas terus maju menurun untuk menutuk jalan darah ki-hay-hiat dirusuk sibinatang.

Kalau Siao-wi belum mempelajari ilmusilat „Ih-jin-kun" (Silat si Tolol), mungkin kala itu dia akan sudah dapat ditutuk. Ilmusilat itu terdiri dari 7 jurus yang dapat digunakan untuk bertahan dan menyerang. Jurus kedua tak kena, jurus ketiga sudah menyusul lagi, kini  menjotos kepala lawan. Sebelum The Go sempat melancarkan tutukannya, belakang kepalanya terasa ada angin menyambar. Saking kagetnya, dia menyelinap masuk di- sela2 kaki sibinatang untuk memberosot lari kebelakang. Kemudian disitu, dia memutar diri dan menutuk jalan darah wi-liong-hiat. Biar bagaimana, Siao-wi itu tetap seekor binatang. Begitu serangannya ketiga tak mengenai, diapun heran mengapa musuh tak kelihatan disebelah muka. Tapi secara otomatis, diapun mainkan juga jurus yang keempat dan ini sudah tentu memberi keuntungan pada The Go. Sekali menghantam dan menusuk, dapatlah The Go mencapai tujuannya..........

(Oo-dwkz-TAH-oO)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar