Naga dari Selatan BAGIAN 27 : SI RAJA ULAR

 
BAGIAN 27 : SI RAJA ULAR

Tubuh siorang utan ter-huyung2 tak dapat berdiri tegak. Rupanya pekakas dalam tubuhnya terluka kena hantaman Kui-ing-cu itu. Melihat kesempatan itu, Yan-chiu tak mau men-sia2kan. Sekali meronta, ia enjot kakinya keatas lengan siorang utan dan melayang lepas dari cengkeraman. Baru kakinya menginjak tanah, ia segera terkejut bukan kepalang melihat keadaan disekelilingnya situ.

Kiranya sewaktu rubuh hendak meregang jiwa tadi, siorang utan yang terkena pukulan dahsyat Kui-ing-cu itu, menggaum dengan kerasnya, hingga membuat terkejut seluruh orang utan digunung situ. Entah berapa puluh ekor jumlahnya, kini mereka sama berbaris rapat mengepung beberapa manusia yang memusuhinya itu. Ada  seekor orang utan jenis betina yang segera rubuh menelungkupi orang utan yang putus jiwanya sambil ngak-nguk ngak-

nguk.... me-ngiang2 dengan pilu sekali. Kala itu Tio Jiang masih tetap dicengkeram oleh orang utan tadi, wajahnya merah padam karena dia sedang kerahkan lwekang untuk menahan cengkeraman maut itu. Melihat itu Yan-chiu bertanya, pada Kui-ing-cu, siapapun tak mempunyai daya apa2.

„Siao Chiu, kau apungkan diri menyerang sepasang mata dari binatang itu, untuk menolong siaoko. Pertama gunakanlah jurus hong-hong-sam-tiam-thau lalu song-liong- jongcu!" seru Kui-ing-cu kemudian.

”Bocah perempuan lihay, pelajaran dari Tay  Siang Siansu telah dapat dipelajarinya!" seru Kui-ing-cu memuji ketika Yan-chiu enjot tubuhnya melakukan perintahnya tadi. Buru2 dia membantunya dengan maju menyapu kaki siorang utan. 2

Sekali meloncat, Yan-chiu hindarkan tubrukan binatang buas itu, sementara itupun Kui-ing-cu cepat memburu maju buat menolong.

Yan-chiu turut nasehat Kui-ing-cu. Belum jurus hong- hong-sam-tiam-thau diserangkan tiba2 sudah terus diganti dengan jurus song-liong-jong-cu. Dua buah jarinya mengancam sepasang mata siorang utan, tapi telah meleset, mengenai pelipis keningnya karena binatang itu miringkan kepalanya menghindar. Diluar dugaan, tusukan jari yang tetap menutuk jalan darah thay-yang-hiat itu, merupakan tutukan fatal (maut). Siorang utan menggerung keras, dia lepaskan salah satu tangan yang mencengkeram Tio Jiang untuk dibuat menyawuti Yan-chiu, tapi sinona itu menekan tangannya kearah badan siorang utan, meminjam tenaga tekanan itu untuk loncat menghindar. Ketika siorang utan hendak memburu, sapuan kaki Kui-ing-cupun sudah tiba.

Sapuan kaki yang bergaya jurus te-tong-thui (menyapu ruangan bumi) adalah ilmu yang pertama kali dipelajari Kui-ing-cu sewaktu dia baru mulai belajar silat. Peyakinannya selama ber-puluh2 tahun itu, telah mencapai tingkat kesempurnaan yang tiada taranya lagi. Dalam pertemuan kaum persilatan daerah Kwiciu yang diadakan pada beberapa tahun berselang, pernah dia gunakan jurus sapuan kaki untuk menendang patah 49 batang tonggak bwe-hoa-cung. Adakah kaki siorang utan melebihi kerasnya dari tonggak kayu, rasanya tentu tidak. Maka krek. ,

sebelah kaki siorang utan  telah tertendang putus, ter- huyung2 terus rubuh ketanah. Begitu Tio Jiang meronta lepas, dia susuli dengan sebuah hantaman yang dahsyat. Kini tak ampun lagi, siorang utan itu jatuh terkulai ditanah. „Suko, kita akan binasa berempat!" seru Yan-chiu ketika menyongsong sukonya. Mendengar itu Kui-ing-cu tertawa dingin, serunya: „Kita berempat harus bertahan dengan saling merapat bahu, jangan kasih kesempatan pada mereka mendekati kita!"

Perentah itu diturut. Kini mereka merapat satu sama lain, masing2 menghadap kesatu arah mata angin ke utara selatan barat timur. Yan-chiu tepat berdiri disebelah Nyo Kong-lim. Ternyata keadaan yang  sedemikian berbahayanya itu, tak mengurangkan rasa heran sinona genit yang segera menanyakan Nyo Kong-lim mengapa masuk menjadi hweshio itu. Sudah tentu yang ditanya menjadi merah padam mukanya.

„Sumoay, awas!" tiba2 Tio Jiang berseru sembari lancarkan sebuah pukulan pada seekor orang utan  yang hendak menerkam Yan-chiu. Melihat itu, kini Yan-chiu tak berani usil mulut lagi. Seluruh perhatiannya ditumpahkan kearah musuh. Kini keadaannya berlainan. Kawanan orang Utan itu tak berani merapat dekat2 karena jeri akan pukulan biat-gong-ciang dari Kui-ing-cu yang teramat dahsyatnya. Dua jam berselang, haripun makin terang. Kalau kawanan orang utan itu makin lama tetap beringas, adalah Kui-ing-cu berempat menjadi kehabisan tenaga. Sepasang lengan masing2 sudah terasa, lemah lunglai kesemutan.

Sejak keluar dari rumah perguruan, entah  sudah beberapa banyak kaum persilatan yang pernah dijatuhkan. Tapi selama itu, belum pernah dia keluarkan tenaga habis2an seperti ketika menghadapi kawanan orang utan pada saat tersebut. Setengah jam kemudian, tampak cakrawala menjadi terang benderang menyongsong kedatangan matahari. Waktu sempat menghitung jumlahnya, ternyata kawanan orang utan tak kurang dari 190 ekor jumlahnya. Kalau pukulan Kui-ing-cu agak lemah, kawanan orang utan itu maju menghampiri dekat2. Malah ada beberapa ekor yang berada dibarisan depan sendiri, hampir dapat menyengkeram Yan-chiu. „Ah, binatang2 ini sekalipun tokoh silat yang sakti, rupanya tetap tak dapat menghadapinya. Siaoko, mengapa kau katakan pada bocah besar (Nyo Kong-lim) kalau suku Thiat-theng-biau itu tinggal ditempat ini?" tanya Kui-ing-cu dengan menghela napas.

„Yang mengatakan begitu adalah Hun-ou-tiap Lim Ciong!" sahut Tio Jiang seraya lancarkan dua buah pukulan kepada seekor orang utan yang  hendak coba mendekati rapat2.

„Kalian berdua telah ditipu oleh bangsat itu! A-thau, kau berotak cerdas, mengapa sampai kena ditipu orang?" kata Kui-ing-cu. Tapi Yan-chiu tak banyak luang untuk menyahut. Dengan mandi keringat, dia terus bertahan dengan gigih. Kui-ing-cu cukup mengetahui, bahwa sekalipun pada saat itu datang bantuan berupa tokoh silat yang sakti, tapi rasanya tak nantl dapat menolong keadaan mereka. Tapi sebagai seorang yang kenyang makan asam garam, tak mau dia unjukkan perasaannya. Mati hidup tak dipandangnya secara serious (sungguh2). Maka diapun tak henti2nya gerakkan tangannya untuk melawan. Dalam  pada itu, dia memberitahukan Tio Jiang: „Sikate tolol Sik Lo-sam ketika kurampas ularnya ceng-ong-sin, sebenarnya akan menantang 3 bulan lagi yalah setelah dia dapat memahami ajaranku ilmu sam-liong-toh-cu-kun-hwat. Tapi ah......, siaoko, apakah kita masih bernapas pada waktu itu

?"

Tio Jiang kagum kepada tokoh aneh itu. Dalam menghadapi saat2 kematian, tokoh itu masih bergurau. Diapun menaulad, sahutnya: „Pada 5 bulan yang lalu ketika Sik locianpwe sedang menangkap ceng-sin-ong di Lo- hu-san, telah kukejutkan hingga gagal" sampai disini tiba2 Tio Jiang teringat akan sesuatu, serunya. „Kui locianpwe!"

„Ho, ho, sekejab lagi binasa ditangan kawanan binatang itu, mungkin aku benar2 menjadi Kui (setan) locianpwe, ini!" Kui-ing-cu tetap ber-olok2.

„Lo-cianpwe, jangan menertawakan dulu! Ketika dibiara rusak kudengar sibangsat Lim Ciong menyebutkan nama Tok-ki-nia, saat itu akupun rasanya teringat akan kata2 yang pernah diucapkan oleh Sik Loo-cianpwe. Pernah dia, di Lo-hu-san kala itu, sayang tak berhasil menangkap ular ceng-sin-ong, coba ya, dia hendak ajak aku pesiar ke Tokki- nia.

„Ya....!, kini aku ingatlah!" kata  Tio Jiang. Adalah karena ber-cakap2 itu, Tio Jiang agak lengah, wek.     lengan

bajunya  telah  kena  dicakar robek oleh  seekor  orang utan,

sehingga lengannyapun mengucurkan darah karena turut tergurat kuku. Buru2 Tio Jiang mendak kebawah, sedang Kui-ing-cu lekas2 datang menghantam hingga binatang itu ber-teriak2 kesakitan dan mundur.

”Apa kata Sik Lo-sam lagi?" tanyanya kepada Tio Jiang, siapa menyatakan tidak ada lagi.

”Kui lo-cianpwe, bagaimana kepandaian Sik Lo-sam di banding dengan kau ?" tiba2 Yan-chiu menimbrung. Kui- ing-cu tengah meneliti maksud yang tersimbul dalam kata Sik Lo-sam itu, ketika Yan-chiu bertanya begitu, tiba2 dia tersadar. „Siao-ah-thau, rupanya Giam Ong locu (raja akherat) tak mau menerima kita!" serunya.

Yan-chiu cerdas, tapi Kui-ing-cu lebih pintar lagi. Meskipun ia tak tahu maksud yang sesungguhnya dari kata2 Kui-ing-cu itu, namun ia percaya tokoh aneh itu tentu sudah mempunyai apa2. Maka semangatnyapun timbul. lagi, Beda dengan Nyo Kong-lim dan Tio Jiang yang kasar tolol, yang masih minta keterangan lagi pada Kui-ing-cu. Tapi dari pada menjawab, tokoh aneh itu segera merampas bumbung bambu yang dicekal Nyo Kong-lim. Begitu sumbatnya ditekan jari, lalu dilemparkan ketanah, sist ,

sist......, sist......, mendesis2-lah ceng-ong-sin keluar. Tubuhnya yang hijau kemilau, bagaikan batang bambu muda yang habis disiram hujan, segar bugar menyedapkan mata. Siapakah orangnya yang menyangka kalau binatang itu merupakan ular yang Maha beracun!

Begitu ceng-ong-sin atau Malaekat Raja Hijau keluar,

Kawanan orang utan yang berjumlah banyak itu, laksana terkena sihir, sama porak poranda mundur. Malah begitu siraja ular merayap berlingkaran, barisan orang utan yang terdepan, sama menggigil.

„Siao-ceng-coa, lekas gigitlah siorang utan besar itu! Ha, kiranya makhluk yang sebegitu besarnya, takut juga kepada seekor ular kecil!" Yan-chiu berseru kegirangan. Tio Jiang dan kedua tokoh itu pun sudah beristirahat, sama menantikan perkembangan lebih jauh.

Setelah ber-putar2 beberapa kali, tiba2 ekor ular itu menekan tanah dan kepala tegak berdiri keatas, lidahnya menjulur mengeluarkan desisan. Barisan orang utan yang berada paling depan sendiri tampak menekuk lutut duduk seperti orang menjura tiada berani bergerak. Kepala siular menjulur kemuka dan memagut leher seekor orang utan, siapa lalu rubuh terjungkal. Setelah itu, siular memagut lainnya. Anehnya, korban itu tak berani bergerak sama sekali. Dalam sekejab saja, sudah ada lima enam ekor yang rubuh. Kawanan orang utan yang lain, memandang terIongong2 kearah keempat orang itu dengan sorot mata minta dikasihani. „Setiap benda atau apa saja didunia yang  tergolong pusaka, tentu mempunyai gaya kesaktian yang sedemikian hebatnya. Tapi meskipun kawanan orang utan itu sangat ganas, asal orang tak mengganggunya, merekapun tak mengganggu, jadi tak apalah, lebih baik bebaskan mereka!" akhirnya Kui-ing-cu menghela napas. Kalau Nyo Kong-lim dan Tio Jiang menyetujui, sebaliknya Yan-chiu mengajukan syarat, katanya: „Untuk mengampuni mereka sih mudah, tapi asal aku dapat membawa dua ekor untuk dipelihara! "

Dalam ber-kata2 itu , sudah ada 3 ekor orang utan lagi yang digigit mati oleh ceng-ong-sin. Pada setiap luka gigitan dileher mereka, tentu mengalirkan darah yang berwarna hitam. Suatu pertanda bagaimana hebat bisa dari ular itu.

„Dengan memiliki ceng-ong-sin, masakan mereka tak mau menurut. Kiranya Sik Lo-sam juga mempunyai rencana untuk memelihara orang utan, makanya dia begitu telaten mencari ceng-ong-sin!" kata Kui-ing-cu seraya memburu maju dan, dengan suatu gerakan yang luar biasa sebat sebatnya, dia ulurkan ketiga jari untuk memencet, bagian telinga siular dan membareng itu tangannya kiripun memijat bagian ekornya. Hanya beberapa kali ular itu tampak menggeliat, lalu tak dapat berkutik.

Begitu sang momok sudah dibelenggu, hiruk pikuklah kawanan orang utan itu berbangkit sembari berjingkrak kegirangan. Kui-ing-cu suruh Yan-chiu pilih dua ekor orang utan yang dikehendakinya. Tanpa diulang lagi, Yan-chiu memilih dua ekor yang berbulu kelabu ke-putih2an.

„Binatang, lekas ikut pada nona  itu. Kalau berani membangkang, kawan2mu akan dihabiskan!" seru Kui-ing- tiu. Anehnya, orang utan itu seperti mengerti maksud perkataan orang. Mereka mengangguk dengan patuh. Yan- chiu memberi nama „Toa-wi" (kelabu besar) kepada yang lebih besar dan „Siaowi" kepada yang kecil. ”Toa-wi, siao-wi, lekas ikut aku” serunya sembari loncat kebelakang.

Benar juga, kedua ekor orang utan itu mengikutinya dengan serta merta. Saking girangnya Yan-chiu berloncatan menari. Kui-ing-cu bertigapun ketarik juga. Sekejab kemudian, Thio Jiang mengajak lekas2 turun gunung.

„Entah bagaimanaa jadinya dengan Lian suci!" katanya.

„Uh...., lagi2 Lian suci!" seru Yan-chiu sambil jebikan bibirnya.

„Siao Chiu kau ini bagaimana? Kan kita sudah terlambat sehari semalam ini!" tanya Tio Jiang keheranan. Tapi Yan- chiu sendiri juga tak tahu sebabnya, mengapa ia kurang senang mendengar sang suko menyebut nama sucinya. Memang kata2 sukonya itu benar, namun ia tak mau mengakui kesalahannya. Adalah Kui-ing-cu yang segera tergelak2 ujarnya: „Jika melintasi gunung dan puncak2  yang tinggi, kalian bertiga, pasti menghamburkan tenaga dalam. Sekali kurang hati2, bisa kesasar tiba ditempat yang berbahaya. Lebih baik lekas jalankan semadhi, nanti 3 jam kemudian baru boleh melanjutkan perjalanan lagi! Dan lagi kita harus perlu menanyakan tempat kediaman suku Thiat- theng-biau itu pada penduduk setempat."

Tio Jiang tak berani berayal. Dengan lekas dia mencari sebuah batu besar untuk melakukan latihan bersemadi.

„Siaoko, kuucapkan selamat padamu!" se-konyong2 Kui- ing-cu berkata, demi menyaksikan cara Tio Jiang mengambil napas.

Tio Jiang hanya bersenyum saja. Tahu dia kalau tokoh lihay itu tentu sudah mengetahui bahwa ilmunya lwekang kini hebat sudah. Memang caranya dia menarik napas,  tiada sama dengan latihan lwekang yang kebanyakan. Nyo Kong-lim yang belum mencapai kesempurnaan dalam ilmu Iwekang, agak terganggu sedikit tapi akhirnya dia sudah dapat menguasai tenaganya lagi. Begitu pula karena memikirkan maksud dari pada kata2 Kui-ing-cu tadi, hatinya kacau pikirannya me-layang2. Syukur akhirnya ia dapat juga menguasai ketenangan semadhinya.

Melihat ketiga kawannya duduk melakukan gerakan napas, Kui-ing-cu cari bumbung bambu tadi untuk memasukkan ceng-sin-ong. Kui-ing-cu memikirkan bagaimana harus mengajar kedua orang utan muda itu agar kelak disertai tenaganya yang maha kuat itu, dapat kedua binatang itu menjadi pengawal yang kokoh kuat. Ah, baiklah dia kuajarkan ilmu silat „silat siorang tolol" terdiri dari 7 jurus. Setelah itu lalu dia melambai si Toa-wi supaya datang kepadanya. Setelah mengucap beberapa patah, Kui- ing-cu lalu mainkan jurus mondar-mandir. Kedua orang itu meniru gerakannya. Memang kera atau monyet itu paling gemar menaulad perbuatan orang.

Misalnya dahulu ada sebuah dongeng begini:

Adalah seorang penjual topi hendak kekota menjual barang dagangannya. Dalam perjalanannya melalui sebuah rimba, ada sekawanan kera ramai2 mengeroyok dagangannya. Setiap kera memakai sebuah topi, lalu sama memanjat puhun. Sipenjual itu mendongkol dan meringis. Tiba2 dia mendapat pikiran bahwa bangsa kera monyet itu paling suka me-niru2 perbuatan orang. Maka sipenjual itu mengambil topi yang dipakai diatas kepala, lalu dibanting ketanah. Benar juga kawanan kera itu segera sama membanting topinya kebawah dan dipungutilah lagi topi2 itu oleh sipenjual.

Orang utan itu juga sejenis bangsa monyet kera, jadi merekapun tak ubahnya dengan kelakuan bangsa kera. Dalam 3 jam kemudian, kedua orang utan piaraan Yan- chiu itu sudah dapat mempelajari habis 7 jurus ilmu silat

„pukulan orang tolol".

„Dengan mempunyai pengawal dua ekor orang utan yang dapat bersilat itu rasanya kita tak perlu kuatir lagi akan pertempuran dihari Pehcun nanti!" kata Tio Jiang.

„Suko, kalau matamu menjadi merah (iri), yang satu kuberikan padamu!" sahut Yan-chiu dengan tertawa. Tapi dengan serentak Tio Jiang menolak, katanya: „Binatang yang sedemikian buruknya, aku tak sudilah!"

„Hem....., tunggu saja beberapa, hari nanti. Kalau sudah kubuatkan pakaian, orang utan itu tentu akan kusulap menjadi seorang lelaki gagah!" Yan-chiu membantahnya.

Melihat Nyo Kong-lim juga sudah berdiri bangun, Kui- ing-cu tertawa ter-bahak2, serunya: „Nyo-heng, a-thau itu memakimu seperti binatang!"

Dengan terkejut sekali Yan-chiu berpaling. Memang perawakan Nyo Kong-lim yang tinggi besar itu menyerupai siorang utan. Teringat kata2nya tadi, iapun geli juga. Sebaliknya ketua Hoa-san itu tak marah, malah turut tertawa gelak2. Begitulah mereka berempat lalu turun kekaki bukit. Tiba2 Tio Jiang menanyakan soal ,mustika didalam batu" kepada Kui-ing-cu, siapa lalu menerangkan:

„Mustika dalam batu" itu jauh lebih hebat dari ular ceng- sin-ong. Siapa yang memakannya, badan ringan napas panjang, besar khasiatnya. Kita dapat suruh Toa-wi dan Siao-wi memanggulnya bergiliran. Hayo lekas kita kesana jangan sampai kedahuluan orang lain. Kalau didapatkan oleh orang jahat, bahayanya besar sekali!"

Walaupun Tio Jiang tak percaya ada lain orang yang mengetahui batu itu, namun dia segera ber-gegas2 ajak ketiga  kawannya  menuju  kesana.  „Itulah,  hanya " belum Tio Jiang melanjutkan kata „30-an tombak jauhnya" dia sudah berseru kaget: „Hai, mengapa ada orang?"

Mengikuti arah yang ditunjuk Tio Jiang, ketiga orang itupun melihat jelas bahwa disamping batu besar itu ada seorang lelaki tengah membacoki bagian yang disebutkan Tio Jiang itu dengan sebilah pedang yang memancarkan sinar ke-hijau2an. „Cian-bin long-kun The Go! Tentu Lian suci sudah dijualnya, kalau tidak masa dia membawa sebilah pedang pusaka macam begitu?!" Yan-chiu yang melihat jelas lebih dahulu segera berteriak. Sebagai  jawaban, Tio Jiang sudah enjot tubuhnya kemuka. Tapi karena jaraknya masih ada 30-an tombak, jadi sebelum dia berhasil menyergap, The Go sudah mendengar jeritan si Yan-chiu tadi. Dia membacok lebih gencar. Oleh karena seperti membacok kayu saja, maka dalam beberapa kejab saja batu itu sudah menjadi satu elo persegi besarnya. Cepat The Go pegang batu itu lalu mengangkatnya, tapi tepat pada saat itu Tio Jiangpun sudah tiba. „Cian-bin Long-kun, jadi kau sudah menjual Lian suci untuk sebuah  pedang? Kau takkan dapat menginjak bumi persilatan lagi!" serunya.

Memang The Go menjalankan rencana Tan It-ho dan ajak Bek Lian ke Thiat-nia, yang ternyata terletak disebelah pinggir dari puncak Tok-ki-nia. Mereka tiba ditempat itu kira2 setengah jam lebih dahulu dari tibanya Tio Jiang dan Yan-chiu di Tok-ki-nia. Dikaki puncak Thian-nia situ ternyata ada sebuah batu karang yang hitam warnanya. Diatasnya penuh ditumbuhi dengan puhun rotan yang berwarna hijau gelap.

„Engkoh Go, apakah disini Ko-to-san ?" tanya Bek Lian yang tak mengetahui akan rencana keji dari kekasihnya itu. The Go hanya menyeringai iblis. Syukur karena hari sudah gelap, jadi Bek Lian tak mengetahui akan senyum iblis sang kekasih. Tahunya, karena tak dijawab, ia menjadi heran lalu menanyakan lagi: „Engkoh Go, dimanakah gereja Ang- hun-kiong itu? Apakah Ang Hwat cinjin tak mengetahui kalau kau mau datang kemari ?"

Memang perangi Bek Lian itu sangat tinggi (sombong). Kecuali The Go, ia tak mau memandang mata pada semua orang. Sampaipun sucou (kakek guru) dari The Go, hanya dipanggil begitu saja tanpa, sebutan menghormat. The Go menjawab sekenanya saja, tapi dalam hati dia mengumpat caci nona itu. Kalau sampai didengar sucou, mungkin tubuhmu tak dapat dikubur nanti, demikian pikirnya.

Itulah mentaliteit seorang pemuda mata keranjang macam The Go. Bukan sekali dua kali saja Bek  Lian menyebut nama Ang Hwat cinji tanpa memakai embel2 gelaran- nya, tapi dahulu The Go menganggap biasa saja malah tetap sedap didengar. Tapi kini setelah rasa, cintanya hilang, berganti dengan kebencian, dia anggap ucapan sinona itu suatu kesalahan besar. Memang kalau sedang menyinta, loyang dikatakan emas, akan dianggap loyang kalau orang ysudah bosan atau benci.

Mendengar The Go memberi jawaban dengan nada yang tawar, Bek Lian berhenti. „Engkoh Go, mengapa dalam beberapa hari ini kau bersikap tawar terhadapku ?" tanyanya.

The Go merasa makin muak, sahutnya: „Lian-moay, perlu apa ucapan macam begitu? Bagaimana kau katakan aku bersikap tawar kepadamu ?"

„Tidak, engkoh Go, kau harus menerangkan yang jelas!" desak Bek Lian demi mendengar kata2 The Go itu makin, tak sedap. Sudah tentu The Go tak menghendaki rencananya yang sudah 90 persen berhasil itu akan menjadi terbengkalai oleh sebab2 kecil saja. Maka cepat dia member! kan muka tertawa seraya maju merapat, lalu merayunya: ”Lian-moay, jangan pikir yang tidak2, nanti menggannggu kesehatanmu ah!”

Julukannya adalah Cian-bin Long-kun atau Sianak muda, berwajah seribu. Jadi pandai sekali bersandiwara. Apalagi Bek Lian hanya ributi soal nada, ucapannya yang tawar, maka dalam sedetik saja hatinya, pun dapat terebut lagi. ,Engkoh Go, entah laki entah perempuan anak kita nanti itu ya?", bisiknya seraya bersandar kepada sang kekasih.

„Kalau lelaki bagaimana, kalau perempuan bagaimana?" kata The Go. Karena sudah berbadan dua, rasa keibuan sudah menyelubungi hati Bek Lian. „Entahlah, aku sendiripun tak tahu. Tapi aku mengharapkan seorang anak lelaki yang menyerupai dirimu dan kunamakan Siao Go!" ujarnya, Untuk menimbanginya agar jangan kentara, sebaliknya The Go menjawab: „Tapi aku menghendaki seorang anak perempuan saja yang menyamai kau dan kunamakan Siao Lian !"

Bek Lian tertawa puas. la anggap The Go masih tetap menyintainya. Walaupun sejak mengandung itu, tubuhnya makin kurus, namun Bek Lian tetap cantik seperti bidadari menjelma. The Go terkesiap memandangnya. Diam2 dia bersangsi mengapa harus menurutkan rencana Tan It-ho itu? Tapi setelah dipikir pula, mendapat 10 Bek Lian lebih mudah dari sebatang pedang pusaka, dia segera pimpin tangan Bek Lian untuk diajak meneruskan perjalanannya. Begitu tiba dikaki puncak, se-konyong2 sebatang anak panah. melayang kearahnya. The Go tahu bahwa panah dari suku, Thiat-theng-biau itu dicelup racun, yang luar biasa ganasnya, maka dia gunakan kipasnya untuk menyampok seraya, berseru: „Akulah!"

Sebagai sambutan disana terdengar orang bicara kak....kik-kuk...., kik-kuk...., entah berkata apa. Tapi pada lain saat segera terdengar orang berseru: „Hiante (adik), apakah kau yang datang ?"

The Go kenal, itu sebagai suara Tat It-ho, kakak angkatnya.

„Toako, kau sudah disitu? Apa kata Kit-bong-to ?" serunya dengan kegirangan. Sesosok tubuh melesat dan muncul dari balik sebuah batu.

„Bermula dia tak mau, tapi setelah kuomongi, dia mau lihat dulu barangnya!" seru orang itu yang bukan lain Tat It- ho adanya.

„Ah, bereslah!" sahut The Go.

“Siapa Kit-bong-to ? Apanya 'mau atau tidak' itu ?" tukas Bek Lian.

„Oh, It-ho-heng hendak meminjam suatu barang pada Kit-bong-to, bukan urusan apa2," sahut The Go dengan tertawa. Bek Lian tak mau menanyakan lagi, tapi, begitu ia mengawasi kemuka, kagetlah ia. Dibelakang Tan It-ho tampak tiga orang kata yang memakai pakaian rotan macam keranjang warna hitam. Juga kulitnyapun, hitam, jadi kalau malam tentu seperti bangsa setan tuyul. Cepat2 Bek Lian Menempel rapat2 pada, The Go.

“Lian-moay, usah takutlah. Kawanan orang liar itu, adalah sahabat karib It-ho-heng. Nanti kita mengunjungi kepala suku mereka. Kepala suku itu amat ramah tamah, mungkin kita nanti akan diberi barang2 yang luar biasa!"

Buru2 The Go menghibur. Bek Lian tak bercuriga lagi, hanya bertanya: „Jadi belum sampai ke Ang-hun-kiong?"

“Masih harus melintasi beberapa puncak lagi. Malam ini kita terpaksa tak dapat mencapai kesana!" sahut The Go. Tan It-ho lega hatinya, mengetahui diplomasi yang licin dari saudaranya angkat itu, Untuk tak mem-buang2 waktu dia segera2 ajak The Go naik kepuncak.

(Oo-dwkz-TAH-oO)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar