Naga dari Selatan BAGIAN 26 : ORANG UTAN

 
BAGIAN 26 : ORANG UTAN

Keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan lagi. Tetapi tiada seorang manusiapun yang mereka jumpai. Puncak gunung yang didakinya itu, makin jauh makin tinggi, maka menjelang petang hari mereka baru tiba dipuncak yang ke 17. Mendongak keatas, tampak puncak gunung yang ke 17 itu sangatlah tingginya. Tio Jiang heran mengapa dipuncak situ, yang menurut anggapannya adalah puncak Tok-ki-nia, tiada terdapat seorangpun juga.

„Hayo kita naik keatas!" seru Yan-chiu setelah mengawasi sejenak.

Pada hari itu karena naik turun 7 buah gunung yang tinggi2, keduanya merasa lelah sekali. Sampai dipuncak, mereka makin lelah dan duduk disebuah batu karang besar. Angin disitu meniup kencang, sehingga, keduanya merasa agak kedinginan. „Mengapa tiada seorangpun disini, adalah kita ini tersesat ?" lagi2 Yan-chiu menggerutu.

Tapi baru saja ia ucapkan kata2 itu, dari tengah lereng gunung dibawah sana tiba2 terdengar semacam suara ketawa aneh, menyeramkan sekali. Apalagi karena seat itu sudah magrib, jadi suasananya makin menakutkan. Mendengar itu otomatis Yan-chiu duduk merapat  disisi sang suko. Keduanya saling berpandangan, tapi tak berani membuka mulut. Sesaat kemudian, suara aneh itu lenyap dan suasana kembali sunyi lelap.

„Suko, suara manusiakah itu?" bisik Yan-chiu. Tio Jiang yang pasang telinga mendengari, dapatkan kalau suara itu nyaring dan bening sekali, bukan seperti suara orang. Tapi dia sendiri tak mengetahui suara apakah itu. Sahutnya:

„Mungkin bukan suku Thiat-theng-biau, sumoay siapkanlah pedangmu untuk menghadapi segala kemungkinan!"

Kedua anak muda itu kini siap dengan pedang ditangan.

Tak berapa lama kemudian, suara ketawa itu terdengar lagi.

Tapi kali ini suara itu ber-susun2 tak kurang dari 10 tempat munculnya. Kanan kiri, muka belakang sahut menyahut. „Suko, kawanan orang itu hebat sekali ilmunya mengentengi tubuh!" kata Yan-chiu. Tio Jiang mengiakan. Sewaktu tukar bicara itu, mereka tak begitu merasa ketakutan, maka mereka lalu sambung lagi dengan beberapa pembicaraan. Lama kelamaan suara2 itu tak terasa menakutkan kedengarannya. Oleh karena keliwat lelah, Yan-chiu terus saja rebahkan diri. Tapi baru saja tubuhnya merebah, tiba2 dilihatnya sekira 3 tombak terpisah dari tempat situ, seperti tampak ada dua buah lentera hijau ber- gerak2 kian kemari, sehingga dengan serentak dia bangun lagi dan menunjukkannya kepada sang suko. Tio Jiang membungkuk kebawah dan terkejut jugalah ia.

„Sumoay, hati2lah!" bisiknya. Tapi tepat dia mengeluarkan kata2 itu, se-konyong2 dari semak2 rumput disebelah sana terdengar suara berisik dan berbareng itu tampak sesosok bayangan hitam menonjol naik, lebih dari setombak tingginya. Yan-chiu menjerit kaget dan susupkan kepalanya kedada sang suko.

„Siao Chiu, jangan takut!" kata Tio Jiang sembari mengawasi benda itu dengan perdata. Makhluk itu mirip orang bukan orang, kera bukan kera. Rambutnya terurai kacau balau, sepasang lengannya panjang hampir sampai ditanah. Tiba2 Tio Jiang teringat akan sesuatu dan dengan gugupnya segera berseru: „Siao Chiu, lekas lari! Itulah orang utan, tentu bukan hanya seekor ini. Ah, makanya sipemburu tadi tak berani menyebut nama Tok-ki-nia, kiranya karena disini terdapat orang utan. Larilah lekas, biar kuhadangnya dial"

Mendengar kata2 'orang utan' hati Yan-chiu makin gelisah. Pernah didengarnya bahwa binatang ituu termasuk binatang yang berotak terang, kulitnya keras, tenaganya bukan kepalang. Mereka paling suka bergerombol, apabila sudah menetap disebuah tempat, mereka tak mau pergi lagi. Setiap gerombol tak kurang dari tiga sampai limapuluh ekor banyaknya. Tenaga dua orang, terang tak dapat melawan. Tapi kalau disuruh lari sendirian, biar bagaimana dia tak mau. „Suko, kalau harus binasa, biarlah kita berdua bersama2!!! sahut Yan-chiu sembari mainkan pedangnya.

Melihat sinar pedang, orang utan itu perdengarkan ketawanya yang seram. Dengan pentang kedua lengannya dia maju menubruk Yan-chiu. Saking besarnya tubuh, tubrukan ituu sampai menerbitkan suara men-deru2. Tio Jiang dan Yan-chiu lekas2 berpencar menghindar. Karena tubrukannya kosong, makhluk itu mengaung keras. Tapi karena tak dapat menguasai gerakannya, binatang itu menyeruduk kemuka sampai beberapa tombak baru dapat berhenti tegak lagi. Pada saat itu, Yan-chiu tarik tangan sukonya untuk diajak bersembunyi diantara batu2 karang.

Melihat kedua anak muda itu lenyap secara tiba2, kembali orang utan ituu mengaung keras. Menyusul dari empat penjurupun segera terdengar kumandang suaranya. Dan sesaat kemudian, dari tengah lamping gunung sanapun terdengar suara macam begitu. Dari nada suaranya, jelas kalau beberapa auman itu dari bawah menuju keatas. Secepat kilat, tiga empat ekor orang utan menyusul datang. Mereka tampak men-jerit, seperti laku orang yang tengah berunding. Setelah itu, mereka pencar diri keempat penjuru, mencabuti rumput dan puhun. Dari sikapnya se-olah2 hendak mencari jejak Tio Jiang dan Yan-chiu. Dahan sebesar mangkok, dengan mudah dapat diputuskan.

Keparatlah bangsat Lim Ciong itu, dia telah menipu kita datang kemari. Kalau sampai binasa, aku hendak menjadi setan untuk mencekiknya mampus!" Yan-chiu meng gigit giginya bahna gusar.

1 Dalam keadaan kewalahan, tiba2 Tio Jiang merasa tubuhnya dipegang sepasang tangan yang kuat, ia kaget ketika melihat dihadapannya sudah berdiri seekor orang hutan raksasa.

„Celaka, jangan2 Nyo-toa-cecu itu nanti juga kesasar kesini!" sahut Tio Jiang dengan berbisik. Tengah pikirannya menimang begitu, se-konyong2 sinar hijau sebesar telur ayam tadi menyorot kearah matanya. Kiranya tahu2 seekor orang utan tampak berdiri dihadapannya. Dalam sibuknya, Tio Jiang segera serangkan pedangnya dengan jurus ,Ho Pek kuan hay", salah satu dari jurus ilmu pedang To-hay- kiam-hwat, maju menusuk. Begitu dekat sekali jaraknya ketika itu, maka bagaimanapun juga lihaynya seorang musuh, sukar kiranya untuk menghindar dari tusukan itu. Juga orang utan itu, walaupun tergolong jenis binatang yang bagus otaknya, namun binatang tetap binatang. Bet....., demikian kedengaran semacam suara dan kedua lentera tadi padam seketika. Kiranya tusukan Tio Jiang tadi telah diarahkan kearah mata. Hasilnya, sebelah mata dari orang utan itu telah kena tertusuk buta.

Melihat serangannya berhasil, Tio Jiang buru2 tarik Yan- chiu untuk diajak bersembunyi kesamping. Tertusuk buta matanya, saking kesakitan orang utan itu menjadi bluddruk (darah tinggi alias gusar). Dua buah batu yang beratnya tak kurang dari 1000 kati, dilemparkan oleh orang utan itu, sembari mulutnya menggerung keras2. Disana segera susul menyusul terdengar suara menyambut dann ber-gegas2 naik keatas. Sudah tentu Tio Jiang dan Yan-chiu makin tak berani bernapas lagi.

Siorang utan yang terbutakan matanya tadi, masih mengamuk kalang kabut. Seekor orang utan kecil yang lari paling muka dari kawanan orang utan yang datang membantu itu, telah kena disamplok oleh gontaian sepasang lengannya yang panjang itu, hingga terpental jatuh sampai kebawah lagi. Sekawan orang utan segera mengerumuni kawannya yang buta tadi. Mereka sama ber- cuwit2 dan bercoa2 seperti bicara tingkahnya. Dan nyatanya, siorang utan yang buta  tadi segera berhenti menghantam kalang kabut. Dengan ber-ingsut2 dia menghampiri sebatang puhun dan duduk dibawahnya.

Melihat kawanan orang utan itu, lupa Yan-chiu kalau ia sedang dalam suasana yang berbahaya. „Suko, orang utan itu menyerupai monyet. Kuat dan menyenangkan. Hayo, kita tangkap seekor untuk dipelihara!" ujarnya. Tapi sebaliknya sang suko malah membentaknya: „Siao Chiu, jangan bicara keras2!"

Kini kawanan orang utan yang baru datang tadi, yang jumlahnya antara 7 atau 9 ekor, segera mewakili pekerjaan kawannya yang buta tadi. Mereka mencabuti puhun2 dan membalikkan batu2, rupanya hendak mencari jejak kedua anak muda itu. Tapi sampai sekian lama, Tio Jiang dan Yan-chiu dapat lolos dari mereka. Ini berkat keduanya menggunakan ilmunya mengentengi tubuh. Dan kedua kalinya, kawanan orang utan itu mempunyai cacad yang khas. Mata mereka hanya dapat digunakan memandang kemuka, tak dapat kekanan kiri. Kalau hendak berpaling kebelakang atau kekanan kiri, tubuhnya pun harus turut diputar. Inilah keuntungan dari Tio Jiang berdua, mengapa sampai sekian lama tak dapat diketemukan.

Tak antara berapa lama, salah seekor orang utan besar dari kawanan bala bantuan tadi mengaung keras. Mungkin karena tak menjumpai kedua anak muda tadi, mereka terus hendak turun gunung lagi. Tio Jiang menghela napas lega. Tapi kelegahan itu segera berganti dengan rasa kaget yang tak terhingga, demi menoleh kesamping didapatinya Yan- chiu tiada disitu. Mengawasi keseluruh penjuru, kira2 setombak jauhnya dari situ, Yan-chiu tengah mendekap seekor anak orang utan kecil. Melihat itu Tio Jiang banting2 kaki. Mengapa dalam keadaan jiwanya sendiri masih belum berketentuan, tapi mau memelihara seekor anak orang utan!

Rupanya anak orang utan itu tak mau, lalu loncat setombak jauhnya. Dan Yan-chiu yang tak kenal bahaya, memburunya. Sudah tentu Tio Jiang makin terkejut dan terpaksa loncat memburu. Tadi sebenarnya orang utan itu sudah hendak turun gunung lagi, tapi begitu mendengar suara rintihan anaknya, mereka berpencar mencarinya lagi. Berbareng dengan tersingkap awan yang menutupi rembulan, maka suasana dipuncak situ menjadi seperti siang terangnya. Segeraa mereka selihat seorang nona tengah mengejar seekor anak orang utan. Pecahlah aum dan gerung yang hebat dan laksana barisan raksasa, kawanan orang utan itu menyerbu.

Pada saat itu, baru Yan-chiu tersadar. Hendak ia lari balik, tapi ia telah diputari oleh sekawan orang utan yang saling bercekalan tangan seperti orang mengedangkan lengan. Ber-puluh2 mata sebesar telur ayam yang me- mancar2 cahaya ke-hijau2an, diarahkan kepadanya. Benar sejak dua bulan yang lalu ini, Yan-chiu mendapat kemajuan pesat dalam kepandaiannya, tapi menghadapi kepungan orang utan yang menyerupai hantu malam itu, hatinya menjadi tercekat dan kakinya serasa lemas tak bertulang.

Pelahan tapi tentu, kawanan orang utan itu maju meng~ hampiri dan lingkungan kepungan mereka menjadi makin sempit. Biasa dalam keadaan berbahaya, orang tentu timbul dayanya. Demikian juga Yan-chiu. Setelah empos semangat, dia enjot tubuhnya melambung sampai satu tombak tingginya. Baru ia hendak berjumpalitan memblerosot keluar, tahu2 belasan ekor orang utan itu loncat keatas juga, malah lebih tinggi dari sinona. Yan-chiu mengeluh, segera, ia berdaya gunakan cian-kin-tui (tindihan seribu kati) meluncur turun. Dan ternyata berhasil baik. Sebagai bangsa monyet yang hidup dipegunungan, orang utan itu hebat sekali kepandaiannya berloncat,  jauh melebihi dari akhli mengentengi tubuh. Tapi mereka tak dapat menurun lekas2. Maka ketika Yan-chiu sudah menginjak tanah, mereka masih melayang diatas. Yan-chiu tak mau berayal, dengan. gunakan gerak ”18 kali bergelundungan ditanah", dia menggelundung setombak jauhnya. Dan tepat ketika Yan-chiu sudah lolos dari kepungan, Tio Jiangpun menghampiri datang.

Jika waktu itu, mereka terus lari, rasanya tentu akan terhindar. Tapi dasar sigenit Yan-chiu seorang anak yang nakal, maka demi dilihatnya sianak orang utan tadi berada didekat situ, ia hendak memberi hajaran. „Binatang celaka!" serunya sembari menghantam, buru2 Tio Jiang menarik sang sumoay, tapi sudah terlambat. Berbareng dengann jeritan binatang kecil itu, maka ada tiga empat ekor orang utan memburu. Malah seekor yang dimuka sendiri, sudah lantas lancarkan hantamannya kearah Yan-chiu.

Tio Jiang dan Yan-chiu segera menyambutnya masing2 dengan To-hay-kiam-hwat dan Hoan-kang-kiam-hwat. Namun siorang utan itu deliki mata dan  biarkan saja lengannya dipapas, bluk..... celaka, tidak apa2, nyata kulit mereka kebal sekali. Tio Jiang sebat sekali sudah mencari lain sasaran dibagian pantat, namun binatang itu tak menghiraukannya. Maju selangkah, kelima jari siorang utan yang hampir satu meter panjangnya itu merangsang hendak merebut pedang Tio Jiang. Dengan gugup, Tio Jiang surut kebelakang sembari mengirim pukulan yang tepat mengenai dada sibinatang. Benar kulit binatang itu tebal dan, keras, namun karena Tio Jiang, memukul se-kuat2nya, tak urung orang utan itu menggerung kesakitan. Tujuh atau, delapan ekor kawannya segera memburu datang.

„Siao Chiu, jangan berpisah lagi!" Dalam keadaan begitu, sudah tentu Yan-chiu tak berani membantah lagi.. Kini keduanya bahu membahu. Kawanan orang utan itu, kembali mengepung seperti caranya tadi, saling bercekalan tangan, sembari maju menghampiri. Tio Jiang menusuk keperut salah seekor, siapa kedengaran menjerit kesakitan. Kiranya perut adalah bagian yang lemah dari orang utan itu.. Lubang kesempatan itu digunakan se-baik2nya oleh Yan-chiu yang telah berhasil mendesak mundur pengepungnya.

Tapi begitu serangannya agak kendor sedikit saja, kawanan orang utan itu ber-teriak2 keras dan maju mengepung lagi.

Sehari menempuh perjalanan yang begitu sukar, Tio Jiang dan Yan-chiu sudah sangat letih. Baru mereka hendak tidur, atau sudah dipaksa bertempur dengan kawanan orang utan yang lihay. Maka setelah bertahan setengah jam saja, keduanya sudah kehabisan tenaga. „Suko, dalam saat2 dimana kita tentu takkan dapat lolos dari bahaya ini, aku hendak memberitahukan padamu suatu hal penting,” tiba2 Yan-chiu mengelah napas. la hendak mencurahkan, isi hatinya.

„Siao Chiu jangan pikiran yang tidak2,  hadapilah musuh, dengan sekuat tenaga!" sahut Tio Jiang yang pantang menyerah. Tapi diluar dugaan, begitu mendengarkan pembicaraan mereka, kawanan orang utan itu menjerit keras dan, dari mengepung mereka berganti menyerang. Karena dari delapan penjuru terdengar samberan deru serbuan mereka, Tio Jiang dan Yan-chiu tak dapat menghindar lagi. Dan yang lebih merepotkan Tio Jiang, waktu itu Yan-chiu sudah tak mau melawan lagi. Pedangnya dikulaikan dan orangnya menggelandot pada Tio Jiang. Tio Jiang mengira kalau sumoaynya itu ketakutan, jadi diapun tak tegah untuk memarahi atau mendorongnya.

Tiba2 ketika dalam saat2 dimana kawanan orang utan  itu sudah mengulurkan tangannya maut, mereka mundur lagi kebelakang. Sesaat kemudian, maju lagi tapi pada ketika sudah maju merapat dan hendak julurkan tangan, mereka mundur lagi. Hal itu terjadi berulang kali. Tahulah kini Tio Jiang dan Yan-chiu apa sebabnya. Disebabkan karena tubuhnya sangat besar, maka begitu mereka maju merapat, tubuhnya saling berbenturan tak dapat mendekati korbannya. Sebenarnya cukup dua ekor saja yang maju, tentu bereslah. Tapi dasar binatang, mereka, tak mempunyai pikiran begitu. Yan-chiu timbul lagi nyalinya.

Untuk keuntungan kedua anak muda itu, keadaan berobah lucu. Karena belasan kali maju mundur begitu, kawanan orang utan itu marah sendiri, bukan marah  kepada sang korban tetapi kepada kawan2nya. Bluk. ,

bluk...., bluk..., mereka berhantam sendiri, karena sama2 saling menyalahkan. Melihat kesempatan itu, Yan-chiu lekas2 ajak sukonya lolos. Dengan ber-jengket2 supaya tak menyolok, keduanya surut kebelakang dan begitu agak  jauh, mereka segera gunakan ilmu berlari cepat untuk lari kebawah gunung. Oleh karena masih saling hantam2an sendiri dengan dahsyatnya, kawanan orang utan itu tak menghiraukan sang korban lagi. Sampaipun ketika Tio Jiang dan sumoaynya sudah tiba di-tengah2 lamping gunung, masih mereka mendengar suara gemuruh dari kawanan orang utan yang berhantam diatas puncak itu.

Ketika hendak meneruskan turun gunung, Yan-chiu berpaling kebelakang sebentar dan hai sianak orang utan itu mengikutinya. Yan-chiu sudah tak berhasrat hendak memeliharanya lagi, malah kini ia memberi persen dua buah pukulan. Tio Jiang hendak mencegah, tapi sudah kasip. Anak orang utan itu melengking kesakitan dan tahu2 muncullah seekor orang utan yang lebih besar lagi dari yang dipuncak gunung tadi. Dua tiga kali berloncatan,  orang utan itu sudah menghadang dihadapan Tio Jiang dan Yanchiu serta ayunkan kedua kakinya menendang. Tio Jiang' menghindar kesamping, tapi tepat ada sebuah bafu melayang jatuh menyerempet telinganya, sehingga rasanya telinganya itu seperti pecah. Malah menyusul dengan itu, dari atas berguguran beberapa batu. Namun siorang utan tak menghiraukan hujan batu itu, dan tetap merangsang maju.

Tio Jiang dan Yan-chiu terpaksa memberi perlawanan. Tapi setiap kali ujung pedang mereka menusuk kulit sibinatang, rasanya seperti menusuk batu saja.  Dalam berapa jurus saja, tangan Yan-chiu sudah lemah lunglai, pedangnyapun dapat direbut oleh siorang utan, krek.........

putuslah pedang itu. Yan-chiu nekat, kutungan tangkai pedang yang masih dipegangi itu, ditimpukkan kearah mata siorang utan, tapi dengan sebatnya binatang itu dapat menyampoknya jatuh. Kini dengan ulurkan tangannya dia maju menerkam ..........

Tio Jiang kaget dan terus berjibaku. Dengan sepasang tangannya mencekal, dia tusuk bagian perut siorang utan. Tapi sayang karena gugup, jadi tusukan itu tak tepat mengenai bagian yang berbahaya, hanya kena dibagian atasnya. Sekalipun perut binatang itu tak sampai bobol, namun karena Tio Jiang menusuk se-kuat2nya, binatang itupun menggerang kesakitan. Serentak dengan itu Tio Jiang rasakan ada suatu tenaga pukulan-balik yang hebat sekali. Buru2 dia berjumpalitan kebelakang. Dari situ dia tarik sang sumoay untuk diajak lari. Oleh karena pedangnya kutung separoh, yang sebagianpun dibuangnya sama sekali.

Tapi orang utan itu ternyata sebat dan tangkas sekali. Cepat sekali dia sudah dapat menyusul kedua anak muda kita. Karena tak mencekal senjata, Tio Jiang dan Yan-chiu gunakan ilmu mengentengi tubuh berlincahan menghindar. Tapi lama kelamaan, saking lelahnya gerakan loncat  mereka itu makin lambat, beberapa kali mereka hampir kena diterkam siorang utan. Untuk menolong sang sumoay, terpaksa berulang kali Tio Jiang menerjang bahaya, hingga kini pakaiannya pun sudah robek dicakar siorang utan dan pahanya pun luka terkena kuku, sakitnya jangan dikata.

Untuk beberapa saat, keduanya masih kuatkan hati untuk bertahan. Sebaliknya orang utan itu makin lama makin mengganas tandangnya. Sedang sianak orang utan tadi ber-cuat-cuit mengawasi dipinggir, rupanya seperti ber- sorak2 kegirangan karena fihaknya menang.

„Bangsat kecil, hati2 kau nanti tentu kubeset kulitmu!" maki sinona. Mendengar, itu Tio Jiang terpaksa menyeringai mendelu sekali.

Sepuluh jurus kemudian, tiba2 orang utan itu tertawa. aneh macam orang menjerit. Celaka, keluh Tio Jiang., Satu saja sudah sedemikian berbahaya, kalau nanti kawan2nya datang, tentu lebih2 lagi. Dia cepat mengirim sebuah hantaman, kemudian loncat keatas untuk menutuk biji mata. Tapi siorang utan itu hanya miringkan kepala, tetap masih tertawa. Sekejab kemudian, disana sini terdengar, ketawa macam begitu sahut menyahut. Nyata itulah kawanan orang utan yang menyahuti dan menuju kesitu.

Tio Jiang cepat ambil putusan. Setelah melancarkan sebuah hantaman, secepat itu dia sawut tubuh Yan-chiu untuk dilemparkan keluar gelanggang. Jadi teranglah maksudnya. Biar dia tetap menghadang siorang utan, asal Yan-chiu bisa lolos. Tapi rencana itu telah gagal, bahkan mengalami kerugian besar. Karena tenaganya habis, lontaran yang dikiranya dapat melemparkan Yan-chiu sampai dua tombak tingginya itu ternyata hanya mencapai setombak kurang. Sekali tangan siorang utan menyambar kedua kaki Yan-chiu segera dapat dicengkeramnya.

Dengan mencengkeram kaki sinona, orang utan itu mendongak tertawa keras2. Saking terperanjatnya, Tio Jiang, menjadi ter-longong2 dan tahu2 dia telah dirangkul oleh, seekor orang utan  lain. Begitu pelukan itu terasa kencang, barulah Tio Jiang gelagapan namun tak berdaya untuk meronta lagi. Dua buah lengan besar yang penuh bulu, telah mengangkat tubuhnya keatas dibarengi dengan suara ketawa keras. Buru2 Tio Jiang kerahkan lwekang untuk bertahan dan hal ini meringankan juga kesakitannya. Bukan menghiraukan dirinya yang terancam bahaya, sebaliknya dia selalu cemaskan keselamatan sang sumoay. ”Siao Chiu, bagaimana kau."

Tapi ternyata Yan-chiupun kuatirkan keselamatan sang suko. ”Suko, kau bagaimana?" tanyanya juga. Jadi kedua anak muda itu saling pikiran keselamatan kawannya, bukan. dirinya sendiri. Hanya saja rasa kekuatiran mereka itu, berbeda. Yan-chiu mencurahkan suara kalbunya, sebaliknya, Tio Jiang hanya didorong oleh kecintaan saudara seperguruan saja.

Kawanan orang utan lainnya sama tampak ber-jingkrak2 dan ber-teriak2. Rupanya seperti hendak merayakan kemenangannya. Karena tangannya masih bebas, Yan-chiu menghantam kalang kabut kearah kepala siorang utan itu, tapi sedikitpun binatang itu tak berasa dan tetap, tertawa.

Karena tak mempunyai daya lain, Tio Jiang ikuti juga cara Yan-chiu tadi. Baru. dia hendak kerahkan tenaga untuk menendang, tiba2 telinganya mendengar semacam suara halus yang melengking sekali. „Buyung dan budak, jangan bergerak sembarangan!"

Girang Tio Jiang sukar dilukis. Itulah suara Kui-ing-cu, ya tak salah lagi. Kiranya tokoh aneh itu bersama seorang hweshio tampak bersembunyi dibalik sebuah batu besar. Ketika Tio Jiang berpaling kearah sang sumoay, dilihatnya sumoaynya pun sudah berhenti menghantam. Ah, tentu iapun mendengar juga perintah orang aneh itu. Tapi kuatir kalau belum mendengarnya, buru2 Tio Jiang menyerukan:

„Siao Chiu, jangan takut! Kui-ing-cu locianpwe dan seorang hweshio datang menolong kita!"

„Tak usah kauberitahukan, akupun sudah tahu! Huh, siapa yang kaukatakan hweshio itu! Dia kan Nyo-toa-cecu, entah bilamana dia masuk menjadi hweshio", sahut Yanchiu. Tio Jiang mengawasi dengan perdata, dan diapun heran juga.

Lagi2 pembicaraan itu menimbulkan reaksi pada beberapa orang utan itu. Orang utan adalah sejenis binatang yang cerdas otaknya. Biarpun belum pernah mendengarkan kata2 orang, tapi dari nada kedua anak muda yang begitu longgarnya, orang utan yang mencengkeram kaki Yan-chiu, cepat berhenti ketawa. Sepasang lengannya dipentang keluar, maksudnya hendak merobek tubuh shiona, siapa coba kerahkan lwekang untuk bertahan, tapi kalah kuat.

”Locianpwe, lekas tolong jiwaku!" teriaknya ketakutan. Sesuai dengan gelarannya Kui-ing-cu atau Bayangan Setan, tahu2 bagaikan bayangan Kui-ing-cu sudah muncul keluar. Dua titik bintang melayang kearah perut bagian bawah dari sibinatang, dan aaaahhhh........ menjeritlah binatang itu, terus berputar kebelakang untuk mencari penyerangnya. Kita tahu siapakah tokoh Kui-ing-cu itu. Sekalipun kulit binatang itu keras dan tebal, namun menerima timpukan batu yang dilancarkan sekuat tenaga olehnya itu, biar bagaimana binatang itu menderita kesakitan hebat juga. Tapi sekalipun seorang tokoh persilatan yang berilmu tinggi, namun terperanjat juga Kui-ing-cu menampak wajah siorang utan yang sedemikian menyeramkan itu.

„Nyo-heng, terimalah ini!" serunya lebih dahulu melemparkan bumbung bambu yang berisi ular ceng-ong- sin kearah Nyo Kong-lim. Sekali tubuhnya menjulang keatas, dia hantam dada siorang utan itu dengan sebuah pukulan ”tongcu-pay Hud" (anak menyembah Budha). Jurus ini sebenarnya termasuk jurus biasa, sehingga setiap orang yang belajar silat tentu dapat mengenalnya. Tapi dimainkan Kui-ing-cu, perbawanya begitu dahsyat sekali.

Rupanya siorang utan itu tahu selatan juga. Melihat kedahsyatan yang mengancam, dia mundur selangkah. Namun Kui-ing-cu tetap membayanginya. Belum jurus tongcu-payhud dilancarkan penuh, tubuhnya sudah ikut maju merapat musuh dan robah serangannya menjadi thian-li-san-hoa (bidadari menebarkan bunga), buk ,

buk...., buk.... siorang utan menjerit kesakitan  karena bawah perutnya kena terhantam, otomatis tangannya menurun!

(Oo-dwkz-TAH-oO)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar