Naga dari Selatan BAGIAN 25 : BATU MUSTIK A

 
BAGIAN 25 : BATU MUSTIK A

Waktu mengawasi, Nyo Kong-lim berjingkrak kaget. Begitu diusap, separoh bagian dari kepala gundul sihweshio itu, sudah tumbuh rambutnya. „Setan atau manusia kau ini

? Lekas katakan!" tanya Nyo Kong-lim dengan menjerit.

„Kau sudah berjanji bukan? Setelah kucukur rambutmu baru nanti kuterangkan!" kata sihweshio.

Nyo Kong-lim adalah seorang lelaki yang tegas. “Bilang hitam....... ya hitam, bilang putih....... ya putih. Sini, cukurlah !"

Sihweshiopun tampaknya tak sungkan2an. Dengan beringsut2 memakai sepatu rumput, dia menghampiri lantas cekal kepala Nyo Kong-lim. Tapi sikasar itu segera marah2

: „Mau memangkas, mengapa mencabuti ?"

„Habis kalau tak mencekal kepala, bagaimana bisa memangkas ?" sahut sihweshio.

Nyo Kong-lim bohwat tak dapat cari alasan lagi, kecuali meringis.   Sihweshio   keluarkan   pisau   cukur   dan   srit  ,

srit....,  sekejab saja  kepala  sikasar menjadi  kelimis. Terasa

silir, Nyo Kong-lim merabah kepala, hai...... lagi2 dia meringis monyet. Rambucang dipegang dalam tangan kiri sihweshio, lalu dilontarkan keatas di-iringi dengan tiupan angin, ribuan lembar rambut itu bertebaran ke-mana2. Tapi seperti disulap, tiba2 separoh bagian kepala sihweshio yang masih gundul itu, tumbuh lagi rambutnya!

Bahna herannya Nyo Kong-lim segera berseru: „Bangsat gundul,......" tapi tiba2 dia batalkan kata2nya itu. Makian, itu tidak mengenai sihweshio tapi kena dia sendiri.

„Hweshio, kau ini sebenarnya manusia atau setan?" cepat dia alihkan pertanyaannya.

„Bukan orang, bukan setanI" sahut sihweshio dengan tertawa. Tiba2 Nyo Kong-lim tersentak kaget sendiri. Dia teringat dalam dunia persilatan ada seorang tokoh luar biasa yang bergelar Kui-ing-cu (bayangan setan). Wataknya keliwat eksentrik, suka ber-olok2. „Adakah kau ini Kui-ing- cu?" akhirnya dia bertanya.

Sihweshio bergelak-gelak, sahutnya: „Benar, aku memang si Kui-ing-cu yang kau suruh mencukur kelimis kepalamu menjadi hweshio!”

Mendengar itu, diam2 Nyo Kong-lim rnengeluh: „Mati aku"

Petang tadi Nyo Kong-lim berpapasan dengan Tio Jiang dan Yan-chiu yang hendak menuju kegunung Sip-ban-tay- san. Tampak sikap kedua anak, itu begitu mesra, tanpa tedeng aling2 lagi, dia segera bertanya: „Siao-a-thau (anak perempuan kecil) dengan siaoko (engkoh kecil) begini mesranya, apa sudah memilih hari baik ya?"

Bagi Nyo Kong-lim yang polos blak2an itu, apa yang sang hati memikir mulutnya segera mengatakan. Tapi dalam penerimaan Yan-tihiu yang genit lincah bicara itu, sudah tentu tak mau mandah dibegitukan saja. „Toacecu, mengapa kau tak mencari seorang wanita kawan ber- cumbu2an?"

„Setan! Mulutmu benar2 tipis, macam Kui-ing-cu. Tapi biar Kui-ing-cu, kalau benar2 bermulut tipis, nanti pada suatu hari aku tentu akan mencukur kelimis batok kepalanya, biar dia menjadi bangsat gundul. Coba biar kulihat, kau masih berani bermulut tipis lagi tidak!" kata Nyo Kong-lim tertawa.

„Kalau aku tetap tipis mulut bagaimana?" menantang Yan-chiu.

„Juga kucukurl rambutmu, supaya menjadl nikoh (paderi wanita) !" dengan cepat Nyo Kong-lim memberi keputusan. Mereka bertiga, tertawa geli.

Celaka! Kui-ing-cu yang muncul perginya tak berketentuan itu, kebetulan pada saat itu berada ditempat situ, tapi menyembunyikan diri. Apa yang  diperolokkan oleh Kong-lim, didengarnya semua. Dia tahu Nyo Kong- lim itu seorang kasar sembrono, tapipun seorang yang suka bergurau. Maka diam2 diikutinya ketua Hoa-san itu. Untuk meramaikan „permainannya", dia tutupi kepalanya dengan semacam sarung kepala, hingga kepalanya gundul seperti seorang hweshio. Selagi Nyo Kong-lim tidur disebuah hutan, dicukurnya kepala dan janggut ketua Hoa-san itu. Tapi, tidak semua, hanya separoh bagian. Jadi  setelah itu, Nyo Kong-lim hanya mempunyai sesisi rambut disebelah kanan dan sesisi janggut disebelah kiri. Habis itu, sengaja dia bangunkan sisembrono, kemudian dia sendiri lalu ber-lari2 menuju kedalam rumah makan penginapan tadi. Justeru pada saat itu, The Go dan Tan It-ho tengah rnerundingkan rencananya. Tahu kalau kedua orang itu juga kaum persilatan, Kui-ing-cupun hendak mempermainkannya. Dia pura2 tidur mendengkur dan karena itu tanpa disengaja dia telah dapat mencuri dengar apa yang dibicarakan oleh The Go dan Tan It-ho itu.

Ceng Bo siangjin bukan melainkan termasyhur karena ilmu kepandalannya, tapi juga karena perilakunya yang luhur budiman. Kaum persilatan sangat mengindahkan akan peribadi siangjin itu. Kui-ing-cupun tak terkecuali. Mendengar anak perempuan dari siangjin itu menghadapi bahaya, dia menjadi sibuk. Pada saat itu juga sebenarnya dia sudah hendak turun tangan, tapi telah dirusak oleh kedatangan sisembrono Nyo Kong-lim. Segera dia robah rencananya, lebih dulu mengocok sisembrono, baru nanti memberesi kedua orang busuk itu. Pikirnya, masakan kedua orang itu dapat lolos dari tangannya. Tapi siapa tahu, karena terlibat oleh Nyo Kong-lim, rencananya kedua betul2 menjadi kapiran.

Tapi hal itu termasuk dibagian belakang dari cerita ini. Sekarang mari kita ikuti bagaimana sisembrono Nyo Kong- lim menghadapi Kui-ing-cu. Tahu dengan siapa dia berhadapan, ketua Hoa-san itu tak berani memaki lagi. Tapi sebaliknya Kui-ing-cu malah menagih, ujarnya: ,Bocah gede, mengapa kau tak jadi memaki keledai gundul ?"

Nyo Kong-lim usap2 kepalanya yang kelimis, lalu meringis: “Bagaimana aku ini, kalau nanti ketemu orang?" “Jangan kuatir," sahut Kui-ing-cu sembari lolos jubahnya, „pakailah ini, setengah atau satu tahun menjadi hweshio apa keberatannya?"

Sisembrono terpaksa menurut lalu tukar2an pakaian dengan Kui-ing-cu. Tapi oleh karena tubuhnya tinggi besar, maka jubah itu hanya sampai kebatas lutut saja. Sudah tentu hal ini makin mengocok perut siapa yang melihatnya.

„Bocah gede, siapakah panggilanmu ?" tanya Kui-ing-cu setelah itu,

”Aku yang kasar ini orang she Nyo nama Kong-lim, orang menggelari Thiat-kim-kong (sibesi keras)!"

Mendengar nama itu, Kui-ing-cu agak terkesiap. Kaum persilatan menyohorkan sisembrono itu seorang lelaki yang perwira dan jujur. Diam2 diapun taruh perindahan dan sesalkan perbuatannya tadi. Tapi karena olok2 tetap olok2 atau nasi sudah menjadi bubur, jadi sukar untuk menarik kembali. Syukurlah, dia hanya mencukur rambut kepala dan separoh rambut janggutnya serta tak keliwat merugikan orang. Nyo-heng, tadi aku keliwat kurang adat, harap suka maafkan!"

Melihat perobahan sikap orang, Nyo Kong-lim pun sesali dirinya sendiri. Kalau tadi dia tak begitu sembrono mengoceh, tentu takkan mengalami pengalaman pahit seperti itu. “Cianpwe mengapa begitu merendah!" sahutnya ter-sipu2.

Tu lihat! Baru beberapa detik yang lalu, keduanya masib bersitegang leher pukul2an, kini sudah saling begitu mengindahkan. Kui-ing-cu tertawa, ujarnya: ,Jangan Nyo- heng merendah juga, tadi permainanmu ruyung, sudah cukup sempurna. Keras dan dahsyat sudah cukup memenuhi syarat, tapi dalam soal kelemasan dan ketenangan masih kurang. Bagaimana pendapat Nyo heng sendiri ?"

Nyo Kong-lim penasaran hatinya. Tapi terkilas pula lain pikiran dalam hatinya, turut anggapan kaum persilatan ilmu kepandaian dari Kui-ing-cu itu telah mencapai batas yang sukar diukur. Dia sendiripun pernah mendengar bagaimana dengan dibantu dari jauh oleh tokoh itu, Yan-chiu telah berhasil mengalah ketiga tianglo dari Ci-hun-si. Dia merasa bakatnya terbatas, jadi sukar untuk memperoleh kemajuan lagi dalam ilmu lwekang, maka bukankah itu suatu keberuntungan besar kalau dia sampai bisa mendapat pengajaran beharga dari tokoh lihay itu? Dengan kesimpulan itu, buru2 dia menyahut: ”Kiranya sukalah cianpwe memberi petunjuk yang berharga."

Habis berkata, dengan tanpa diminta lagi dia terus menyerahkan sam-ciat-kun pada Kui-ing-cu, siapa tampak tertawa saja dan berkata: „Orang katakan kau ini limbung, tapi ternyata tidak!"

”Harap cianpwe jangan menertawakan!" kata Nyo Kong- lim dengan merah kemaIu2an. Tiba2 wajah Kui-ing cu berobah sungguh2 dan berkata: „iImu sam-ciat-kun itu, berasal dari pengajaran Cin Siok Po itu orang gagah no. 7 pada jaman ahala Tong. Orang hanya mengetahui kalau Cin Siok Po itu hanya pandai menggunakan tombak, tapi siapapun tak mengetahui kalau pada waktu dia belajar ilmu silat, per-tama2 adalah belajar ilmu sam-ciat-kun ini. Ilmu permainan itu, disebuat „sam liong toh cu" (3 naga berebut mustika). Keindahannya terletak pada perbawa kekerasannya yang mengandung gaya kelemasan juga. Sebatang sam-ciat-kun dapat dipergunakan menjadi 3 batang tongkat pendek. „Kau lihatlah!"

Nyo Kong-lim seperti orang mengimpi kala mendengarkan uraian itu. Diapun segera pasang mata mengawasi betul2. Begitu Kui-ing-cu tegak, sam-ciat-kun itu segera pe-lahan2 naik keatas, tampaknya lemah tak bertenaga. Tapi sekali tangan Kui-ing-cu diturunkan, Nyo Kong-lim terbelalak kesima. Biasanya kalau orang dapat menggunakan dua batang kun dari sam-ciat-kun itu untuk menyerang lawan, itu sudah tergolong lihay sekali. Tapi gerakan Kui-ing-cu itu, dapat membuat batang kun yang ditengah, bergerak menjulur juga. Kalau dijulurkan sampai jauh, dapat mengundurkan 3 orang musuh. Kalau hanya dekat saja dapat menyerang sekali gus 3 bagian tubuh lawan. Kesaktiannya bukan alang kepalang.

Oleh karena Nyo Kong-lim sudah mempunyai dasar kokoh dalam ilmu sam-ciat-kun itu, jadi sekali lihat, dia dapat mencatatnya dalam hati. Habis itu, Kui-ing-cu mainkan jurus kedua, begitulah dalam sesingkat waktu, 14 jurus telah dia mainkan semua. Setiap jurus mengandung kesaktian2 yang sukar dilukis. Nyo Kong-lim juga seorang yang gemar mati2an pada ilmu silat, maka apa yang dipertunjukkan Kui-ing-cu itu telah membuatnya kegirangan setengah mati. Dia tumplek betul2 seluruh perhatiannya untuk mengingat setiap gerak dari permainan yang gayanya lain dari yang lain. Begitu selesai, dia terus hendak meminta sam-ciat-kun itu guna berlatih satu kall, 'tapi tiba2 ada seseorang berteriak keras: „Kui-ing-cu, berikan sam-ciat-kun itu, Sam-thay-ya mau berlatih sebentar!" 

Nyo Kong-lim terperanjat sekali. Dikiran ya kalau mulutnya yang mengucap perkataan itu tanpa disadarinya. Karena memang dalam kebatinan dia memikir hendak mengatakan begitu. Tiba2 terdengar suara menderu dan muncullah seorang tua kate. Rambut janggutnya, menjulai panjang sampai ketanah, tangannya mencekal sehelai sabuk hijau yang dijulur surutkan. Entah benda apa yang dibuat main2 itu !

Tapi Kui-ing-cu segera „memberikan" sam-ciat-kun itu kepada siorang kate dengan sebuah serangan sam-liong-toh- cu jurus pertama, yakni yang disebut cu-kong-theng-yau (sinar mustika menjulang keatas) „Sik Lo-sam, apa hukumannya orang yang mencuri lihat pelajaran lain - orang!" serunya.

Wut......, tiba2 tubuh sikate melambung keatas menghindar.

„Kui-ing-cu, bilamanakah kau menerima murid seorang- hweshio ? Mengapa tak mengundang Sam-thay-ya ?" gelak tertawa sikate membatu roboh. Wajah Nyo  Kong-lim merah padam, sebaliknya Kui-ing-cu tanpa menyahut sepatahpun, lalu jolokkan sam-ciat-kun keatas.

“Celaka pantatku ! Kui-ing-cu, kalau kau tak hentikan seranganmu, akan kulepas ceng-ong-sin untuk menggigitmu

!" Sik Lo-sam ber-kaok2 gugup. Dan ternyata ancamannya itu berhasil.

„Sik Lo-sam, dari mana kauperoleh ular sakti itu ?" seru Kui-ing-cu sembari hentikan serangan.

Sik Lo-sam ter-kekeh2 girang, sahutnya: „Sudah tentu Sam-thay-ya punya akal!"

„Katakan dulu, hukuman apa karena kau mencuri lihat permainanku sam-ciat-kun tadi ?" tanya pula Kui-ing-cu.

Seperti telah diterangkan dibagian muka, sikate Sik Lo- sam itu, sangat senang ilmu silat seperti jiwanya. Seperti tempo dipulau kosong tempo hari, dia paksa Tio Jiang mengajarkan ilmu pedang „to-hay-kiam-hwat." Kebetulan tadi dia bersemburnyi disekitar situ dan dapat mencuri lihat permainan sam-ciat-kun yang luar biasa dari Kui-ing-cu, hal mana telah membuat girang aetengah mati. „Sam-thay-ya tak dapat memikir, kau katakanlah !" sahutnya.

„Kalau suruh aku yang mengatakan, dikuatirkan kau tak mau menuruti !" kata Kui-ing-cu pula. Tapi Sik Lo-sam itu lebih linglung lagi dari Nyo Kong-lim. Dibikin panas oleh Kui-ing-cu tanpa banyak pikir serentak dia berseru dengan geram: „Siapa katakan Sam-thay-ya bermulut lancang (palau) ?"

„Bagus, memang siapakah yang tak tahu kalau Sik Lo- sam itu seorang lelaki sejati, bilang satu tetap satu. Kini terimalah hukumanmu: serahkan ceng-ong-sin itu kepadaku!!!"

„Kentut !" menjerit Sik Lo-sam serentak.

“Ha...., ha. , benar tidak kalau kau ini seorang bermulut

lancang !" Kui-ing-cu menertawainya.

“Baik, mari ambillah!" Sik Lo-sam menjerit seraya ayunkan tangan. Ditimpah cahaya rembulan, seutas sinar hijau melayang kearah Kui-ing-cu. Orang aneh ini letakkan sam-ciat-kun, lalu tegak berdiri memandang kemuka deagan penuh perhatian. Sebelum sinar hijau itu melayang tiba, dia sudah maju menyongsong untuk julurkan kelima jarinya tangan kiri dan tali hijau itu segera terjepit, lalu melingkar2 dijari, tapi secepat itu tangannya kanan segera memijat sebelah ujung tali itu. Tali itu ternyata adalah seekor ular tiok-yap-ceng yang besarnya hanya sama dengan sebuah jari tangan tapi panjangnya hampir dua meter !

Pada lazimnya ular tiok-yap-ceng itu hanya 7 atau 8 dim panjangnya, itu saja kalau menggigit tentu membinasakan orang. Tapi siraja tiok-yap-ceng itu begitu panjang, kepalanya berbentuk segi tiga, lidahnya semerah darah, jadi bagaimana ganasnya dapat di-kira2kan sendiri. Setelah memereksa sejenak, berkatalah Kui-ing-cu: „Sik Lo-sam, dengan meminta ceng-ong-sin darimu, kau tentu penasaran..."

„Sudah tentu penasaran !" tukas Sik Lo-sam dengan kontan.

Kui-ing-cu tertawa, ujarnya: „Tentu merugikan jerih payahmu mencarinya!"

„Jangan pura2 jadi orang baik ! Setengah tahun  yang lalu, sebenarnya sudah dapat kutangkapnya, tapi telah diganggu oleh sitengeng Tio Jiang. Coba kala itu aku sudah berhasil menangkapnya, tentu tak kan kau hukum begini. Biar kucari anak tengeng itu nanti!" sahut Sik Lo-sam. Diam2 Kui-ing-cu mengeluh, kalau benar orang kate limbung itu mencari Tio Jiang, anak itu tentu bukan lawannya. „Kau sendiri yang bersalah, mengapa timpahkan lain orang? Lekas fahamkan ilmu kun-hwat!" serunya.

Sik Lo-sam buru2 memungut sam-ciat-kun, lalu mulai berlatih. Dari samping Kui-ing-cu memberi petunjuk mana2 yang kurang benar, hal mana membantu banyak bagi Nyo Kong-lim juga untuk memahami ilmu permainan kun tersebut. Haripun sudah terang tanah dan tiba2 teringat Kui-ing-cu akan The Go, katanya: „Sik Lo-sam, ilmu kun- hwat ini sangat sakti. Kau harus mencari tempat yang sunyi untuk menyakinkannya lagi, baru dapat kau fahami benar2. Hayo! lekas pergi sana!"

Sik Lo-sam yoing sangat linglung itu, mengira kalau ucapan  Kui-ing-cu itu  sesungguhnya,  maka  sekali berseru

„Ha-ya, Sam-thay-ya akan pergi!", dia cepat angkat kaki. Setelah itu, baru Kui-ing-cu memberitahukan kepada Nyo Kong-lim tentang yang didengarnya dirumah penginapan tadi. „Hai, kemarin ketika berjumpa dengan siaoko dan siao-ahthau,   merekapun   mengatakan   begitu.   Hayo, kita harus lekas2 cari si The Go!" seru Nyo Kong-lim dengan kaget. Bergegas2 keduanya balik kerumah penginapan.

Siapa nyana, ketika ditanya sikuasa penginapan hanya a- u a-u tak dapat ber-kata2 demi nampak kedatangan kedua orang itu. Ya, mengapa kini siorang tinggi besar (Nyo Kong-lim) berobah menjadi hweshio, sebaliknya siorang kurus (Kui-ing-cu) dari hweshio berganti menjadi orang preman? Setelah pulih kejutnya, barulah sikuasa itu menerangkan bahwa orang she The itu sudah meninggalkan tempat itu. Kui-ing-cu dan Nyo Kong-lim melakukan pengejaran sampai berpuluh li, tapi tak berhasil.

”Anak itu licin benar” akhirnya Kui-ing-cu terpaksa mengakui. Nyo Kong-lim tuturkan juga bagaimana Thay- san sin-tho Ih Liok, Ceng Bo siangjin dan dia sendiri pernah merasakan muslihat orany, she The itu. „Sayang, anak muda yang secerdik itu, telah memilih jalan sesat!" Kui-ing- cu memberi komentar. Nyo Kong-lim usulkan supaya menuju kegunung Sip-ban-tay-san.

„Apakah Nyo-heng mengetahui tempat kediaman suku Thiat-theng-biau itu?" tanya Kui-ing-cu. Atas pertanyaan itu Nyo Kong-lim menerangkan, turut keterangan Tio Jiang, suku Biau itu bertempat tinggal dipuncak Tok-ki-nia. Kui- ing-cu terperanjat dan menegaskan.

„Ya, memang Tok-ki-nia, apakah cianpwe mengetahuinya?" sahut Nyo Kong-lim. Kui-ing-cu menggeleng kepala, ujarnya: „Hanya pernah mendengar cerita orang saja yang mengatakan bahwa Tok-ki-nia (puncak tunggal) itu sebenarnya disebut Bu-ki-nia (tanpa puncak). Tiada yang berani menghuni tempat itu. Jangan2 hal itu disebabkan karena disitu ditinggali suku Thiat-theng- biau itu !" Nyo Kong-lim menyatakan tak jelas, lalu ulangi usulnya supaya menuju kesana saja. Kui-ing-cu sayang akan kecerdikan The Go. Mungkin kalau diinsyafkan anak muda itu akan dapat kembali kejalan yang benar. Maka diapun setuju. Ketika lewat disebuah hutan bambu, Kui-ing-cu mengambil sebatang bambu untuk memasukkan ular cen sin-ong kedalamnya. Setelah itu mereka lanjutkan perjalanan lagi kegunung Sip-ban-tay-san.

Kini kita ikuti perjalanan Tio Jiang dan sumoaynya. Ketika itu mereka berpapasan dengan Nyo Kong-lim, lalu menceritakan peristiwa The Go. Setelah itu mereka lanjutkan perjalanan lagi ke Sip-ban-tay-san, sedang Nyo Kong-lim hendak mencari Ceng Bo.

Tak antara berapa lama kemudian, karena hari sudah mulai gelap, bermula Yan-chiu mau mengajak cari rumah penginapan, tapi Tio Jiang menolak karena harus lekas sampai ditempat tujuan. „Apakah perut kita ini juga tak perlu diisi ?" bantah Yan-chiu dengan mulut menjebir, Tio Jiang lekas2 mengeluarkan dua potong roti kering dan menyuruh Yan-chiu mendaharnya.

„Siapa suruh makan roti yang sedemikian kering dan keras itu. Aku ingin dahar daging yang empuk lezat!" Yan- chiu marah2.

”Adikku yang baik setelah selesai urusan ini, nanti aku tentu menemanimu makan. Karena urusan ini sangat penting, kita harus lekas2 lanjutkan perjalanan ?"

Tio Jiang coba menjelaskan.

„Urusan apa yang kau anggap sedemikian penting itu ?"

„Siao Chiu, kau ini bagaimana ? Lian suci kena halangan, mengapa tak mau lekas2 menolong ?" seru Tio Jiang sambil hentikan langkah. Dulu kalau didengarnya sang suko menggigau nama „Lian suci", Yan-chiu hanya anggap dia itu ter-gila2, pantas diketawai. Tapi kini serta ia sendiri terjerat asmara kepada sang suko, sudah tentu hatinya menjadi tertusuk. Tapi karena memang sifatnya suka mengolok orang, maka iapun berlaga pilon, tanyanya :

„Halangan apa sih ?"

„The Go tentu setuju usul Tan It-ho untuk menyerahkan Lian Suci kepada Kit-bong-to!" sahut Tio Jiang seraya mem-banting2 kaki. Yan-chiu tetap mau menggodanya:

„Bagaimana kau tahu kalau The Go tentu menuruti usul Tan It-ho? Taruh kata menurut, diapun tak nanti dapat datang lebih dahulu dari kita! Dan andaikata mereka ternyata telah mendahului kita pun Lian suci itu bukan seorang anak kecil, masa menuruti saja segala kehendaknya?"

Dibombardeer oleh Yan-chiu, sesaat Tio Jiang melongo karena tak dapat ber-kata2. „Tapi biar bagaimana juga, kalau belum tiba di Tok-ki-nia, rasanya aku tak dapat makan enak, tidur pulas!" akhirnya Tio Jiang meradang. Tapi si genit tak ambil pusing, malah senang melihat sukonya mulai uring2an itu. „Suko, dalam lubuk hati Lian suci hanya di tempati oleh The Go seorang. Dimisalkan kau berhasil menolong, iapun tak mau menjadi isterimu, mengapa kau begitu ngotot ?"

Lagi2 Tio Jiang knock-out. Tapi sekilas berpikir, dia segera menyahut: „Siao Chiu, omonganmu itu salah. Lian suci adalah saudara seperguruan kita, apalagi puterinya subo. Suhu telah melimpahkan budi sebesar gunung pada kits, masa kita hanya berpeluk tangan saja ? Kau sangka, karena cinta saja maka aku begini ter-buru2 ? Aku tak bermaksud menikah padamu, tapi mengapa aku menolongmu didasar lembah tempo hari ?" Kini giliran Yan-chiu yang terpukul kena, hatinya seperti disiram es. „Suko, mengapa kau berkata sembarangan begitu ? Siapakah yang mempunyai hasrat menjadi isterimu

?" katanya. dengan wajah ke-merah2an. Karena Tio Jiang mengatakan kata2nya yang menusuk tadi, terpaksa untuk menutup malu, Yan-chiu juga balas mengejeknya, walaupun itu berlawanan dengan suara hatinya. Tapi setelah mengucap begitu, dia terdiam lalu berjalan lagi. Sampai sekian besarnya, baru saat itu dia merasa berkenalan dengan apa yang dikatakan 'derita kalbu'.

Tio Jiang terkejut, dia merasa tak mengatakan apa2 yang kurang  sedap  didengar, mengapa  sumoaynya marah begitu

?  Ketika  menyusul   langkah  sang  sumoay,   tampak  pada

sepasang mata sigenit itu ber-linang2 air mata, tampaknya seperti orang yang menderita. Pikir Tio Jiang, mengapa tadi sangat       menyakiti       hatinya       ?       Jangan2     apakah

...........apakah.......

Bagaimana tololnya seorang pemuda, tapi dalam keadaan seperti itu, dapat juga Tio Jiang menarik kesimpulan.

„Adakah Siao Chiu itu diam2 menaruh hati padaku ? Kalau tidak, masa mendengar kata2ku 'tak bermaksud menikahnya', dia lantas begitu murung tampaknya ?" demikian sesaat Tio Jiang berpikir, tapi pada lain saat, dia membantah sendiri: „Ah, tidak. Bagaimana bisa begitu ? Jangan2 dia sendiri yang melamun tak keruan, salah2 bisa menerbitkan buah ketawaan !"

Dengan pikiran begitu, Tio Jiang tak terlalu menaruh dihati terhadap kejadian itu. Ah, Tio Jiang, Tio Jiang, mengapa kau tak mengerti hati seorang dara ?

Saat itu Yan-chiu kencangkan larinya. Dua tetes air  mata, tak dapat dicegah mengalir dari kelopak matanya. Diam2 ia bersyukur bahwa ketika didalam bio tadi dia tak jadi membuka rahasia 'memalsu jadi Bek Lian'. Teranglah sukonya itu tak menaruh hati padanya, kalau sampai mengetahui rahasia itu, dia tentu akan gusar. Tanpa terasa tangannya merogoh kedalam baju untuk meraba butir mustika batu puayam (giok) yang pada malam itu Tio Jiang memberikannya karena menganggap dirinya (Yan-chiu) itu adalah Bek Lian sesungguhnya. Setelah meraba, ia menarik napas panjang.

Selama ber-tahun2 berkumpul dengan Yan-chiu diatas gunung, sumoaynya itu adalah seorang gadis periang yang lincah. Dimana Yan-chiu tampak, disitulah la tentu membawakan tertawa. Maka betapa herannya ketika dilihat sang sumoay itu mengucurkan air mata dan menghela napas panjang. Tapi sedikitpun Tio Jiang tak menduga kalau sang sumoay itu telah kucurkan air mata jeritan kalbu!

Singkatnya setelah beberapa hari menempuh perjalanan, sampailah mereka dikaki gunung Sip-ban-tay-san. Dinamakan Sip-ban-tay-san atau selaksa gunung, karena pegunungan itu mempunyai puncak yang tak terhitung jumlahnya, dihias dengan hutan belantara yang membujur dari Kwitang sampai ke Kwisay.

Ketika mendongak mengawasi keatas, puncak2 dari pegunungan itu sama menjulang dengan megah dan angker. Dikaki gunung situ tiada perdesaan sama sekali, jadi masih tetap belantara yang belum dihuni orang. Yang ada hanya beberapa rumah kediaman pemburu, dengan didekatnya ada sebuah saluran air kecil. Setelah memutari sekali namun tak berhasil menemukan jalanan, berkatalah Tio Jiang „Siao Chiu, mari kita tanya pada penduduk disini saja!" Dalam beberapa hari ini, Yan-chiu telah mengambill putusan untuk mengikis bibit asmara yang bersemi dalam hatinya. Namun 'Amour vincit omnia' atau Cinta menangkan segala', demikian kata sebuah peribahasa. Jangan lagi hanya seorang Yan-chiu, sedangkan seorang dewa atau maha wiku yang salehpun, masih sering sukar untuk menangkis serangan panah asmara. Makin ingin melupakan, makin keras sang hati meronta.

„Mengapa aku harus mengalami penderitaan, ini?  Terang dia hanya menyintai Lian suci, mengapa aku tak dapat melupakannya?" demikian pertentangan yang terdapat dalam hati Yan-chiu selama beberapa hari dalam perjalanan itu. Oleh karena keras memikiri, dalam beberapa hari ituu saja, tubuhnya bertambah kurus. Tio Jiang mau menanyakan jalanan, hanya dijawab dengan tawar saja.

”Apakah didalam rumah ini ada penghuninya? Tolong tanya sebentar!" seru Tio Jiang ketika sudah berdiri dimuka pintu sebuah pondok. Seorang muncuI dari dalam pondok itu. Setelah sekian jenak Mengawasi Tio Jiang, orang itu menyahut: „Siaoko, kau hendak perlu apa?"

Melihat dandanan orang itu sebagai seorang pemburu, Tio Jiang terangkan maksud keperluannya: „Tolong tanya, apakah To k-ki-nia masih jauh dari sini?"

Orang yang memakai celana kulit macan tutul, tangannya mencekal sepasang senjata garu untuk berburu dan wajahnya jujur, tiba2 berobah wajahnya, sahutnya:

„Siaoko, apa kau hendak ber-olok2 dengan aku ?"

„Tidak!" serentak Tio Jiang menyahut ter-sipu2. Tapi sipemburu hanya tertawa tawar, lalu merogoh keluar selembar kulit kelinci untuk menggosok senjatanya. Tio Jiang tertumbuk, fahamnya, tak tahu harus bagaimana. Adakah penduduk disitu itu sedemikian koukati (egois) wataknya, hingga sampai jalanan saja tak mau menunjukkan? Demikian pikir Tio Jiang. „Berhubung laoko lama menetap disini, rasanya tentu mengetahui  letak puncak Tok-ki-nia itu, maka dapatkah sekiranya laoko memberitahukan padaku ?" Tio Jiang terpaksa ulangi lagi permintaannya.

„Siaoko! Jika kau terus ngaco belo, aku tak mau sungkan lagi," bentak sipemburu sambil deliki mata. Sampai disitu, Yan-chiu tak kuat hatinya lagi. „Suka tidak memberitahukan jalan, itu terserah padamu. Jangan jual gertak! Apa kau kira tiada lain, orang kecuali kau yang dapat memberitahukan?" sahut Yan-chiu.

Sipemburtu tertawa dingin, sahutnya: ”ya, memang silahkan saja tanya pada lain rumah!"

Tengah mereka ribut2 itu, tiba2 dari dalam rumah terdengar suara orang batuk2. ”A-ji, siapa yang kau ajak ribut2 itu?” menyusul suatu suara orang tua berseru. Sipemburu yang ternyata bernama A-ji itu segera menyahut: „Ayah ada dua orang hendak menanyakan Tok

........ " baru sampai disitu, tiba2 dia berhenti, tak mau melanjutkan nama Tok-ki-nia itu selengkapnya.

Melihat gelagat itu, timbul kecurigaan Yan-chiu. Tapi ia segera mendapat kesan lain, mungkin karena suku Thiat- theng-biau itu keliwat ganas, maka rakyat setempat menjadi ketakutan. Memang mana ia bisa mengetahui akan bom waktu yang dipasang oleh Lim Ciong yang sudah sekarat  itu ?

Pada saat itu, dari dalam ruangan tengah, muncul seorang tua dengan mencekal sebatang tongkat. Menurut taksiran, dia sudah berumur 80-an tahun. „Ada apa dengan kedua tetamu itu ?" tanyanya. Sipemburu muda menyilahkan supaya orang tua itu, menanyakan sendiri. „Lo-yacu (pak tua), mohon tanya dimanakah ke Tok-ki- nia itu.?" buru2 Tio Jiang maju menghampiri. Ternyata pendengaran orang tua itu masih tajam, diapun tampaknya terkesiap. „Apakah kalian ini sudah bosan mempunyai nyawa ?" katanya balas bertanya.

„Lo-yacu, Iekaslah beritahukan, kami mempunyai urusan penting!" menyela Yan-chiu dengan tak sabar. Mata siorang tua menyapu sejenak kearah sinona, ujarnya: „Oh, kiranya nona ini ahli dalam ilmu  silat, 'tu pinggangnya menyelip pedang. Tigapuluh tahun berselang, pernah aku bertemu dengan seorang anak muda yang membawa pedang, hebat nian kepandaiannya "

„Mengambil jalan dari mana, harap kau lekas katakan!" tukas Yan-chiu demi mengira orang tua itu melantur tak keruan. Tapi siorang tua itu tampak geleng2kan kepala, tiada mau menyahut. Sebaliknya sipemburu muda tadi tak kurang sengitnya segera menjawab: „Kalau kamu berkeras hendak pergi, setelah melintasi gunung ini kemudian 17 buah puncak lagi,  barulah kau sampai ke Tok ah,

tapi kita pun hanya menurut keterangan orang saja, dan belum pernah kesana sendiri."

Tio Jiang tak mau membuang tempo lagi. Begitu mengucapkan terima kasih, dia terus ajak sumoaynya berlalu.

Masih terdengar siorang tua itu berkata sendiri kepada anaknya itu: „Tempat itu, tiada seorang yang berani mendatangi. Tigapuluh tahun yang lalu, anak muda yang pergi kesana itu belum tampak kembali lagi !" Mau tak mau Tio Jiang menanyakan pikiran sang sumoay, tapi nona genit yang tak kenal takut itu hanya menyahut bahwa mungkin penduduk disitu takut akan keganasan suku Thiat- theng-biau. Begitulah dalam waktu tak lama saja, keduanya sudah melintasi 5 buah puncak. Kala. itu sudah tengah hari, untuk melepaskan lapar dan dahaga. Mereka makan ransum kering dan minum air mata air. Keadaan ditempat situ, lelap sekali. Sana-sini penuh ditumbuhi dengann ber-macam2 puhun aneh yang diramaikan oleh kicauan kawanan burung. Puncak yang menjulang dihadapan mereka sana, tampak dibungkus dengan kabut yang tebal, hingga memberi kesan yang seram. „Siao Chiu, dalam menghadapi perjalanan selanjutnya, kita harus hati2, kata Tio Jiang sehabis mengawasi pemandangan dipuncak itu.

”Mati ada lebih baik!" sahut sinona.

Mendengar itu Tio Jiang terkesiap, tanyanya: „Sumoay, mengapa kau berkata begitu?"

Tapi Yan-chiu ibarat orang yang sudah sunyi hatinya, maka dengan segan ia menyahut: „Kalau tetap kukatakan begitu, habis mau apa?"

Tio Jiang terbentur batu, cep kelakep tak bisa berkata apa2. Demikianlah keduanya lalu melanjutkan perjalanannya lagi. Menurut perhitungan rnereka kini sudah medaki 10 buah puncak dan haripun sudah gelap. Oleh karena sangat berbahaya melakukan perjalanan malam, terpaksa mereka mencari sebuah gua untuk ternpat beristirahat. Setelah mencari ranting2 kayu untuk dijadikan alas pembaringan, begitu menggeletak. Yan-chiu terus menggeros.

Melihat beberapa hari ini Yan-chiu selalu kurang senang, Tio Jiang mengira kalau disebabkan setiap hari hanya makan roti kering saja. Maka dia tak mau turut tidur, melainkan hendak mencari beberapaa ekor binatang yang hendak dibakarnya untuk Yan-chiu. Tak seberapa jauh dari situ, dia berhasil menangkap dua ekor kelinci. Laksana seorang pahlawan pulang membawa kemenangan, dia ber- gegas2 pulang. Tiba2 ketika sampai ditengah perjalanan dilihatnya ada sebuah batu besar yang berbeda dengan lain2nya. Batu itu tampaknya licin bersih, seperti dipangkas orang. Dengan keheranan, dia maju menghampiri. Kiranya batu itu empat pesegi bentuknya, penuh ditumbuhi pakis (lumut). Karena tak ada lain2 keistimewaan pada batu itu, maka Tio Jiang segera hendak berjalan lagi. Tapi selagi dia memutar tubuh, tiba2 matanya tertumbuk akan sesuatu yang aneh. Ternyata salah satu ujung batu tersebut yang menempel pada gunung, berlainan dengan ketiga ujung' lainnya. Tampaknya seperti tak rata, macam pahatan huruf. Maka dihampiri pula dan dari dekat memang bagian yang legak-leguk itu mirip benar dengan huruf. Karena ditutupi oleh pakis yang tumbuh tebal2 diatasnya, jadi tak kelihatan jelas. Saking ketarik, Tio Jiang letakkan kelinci lalu meng- usap2 pakis dan kiranya memang disitu tampak ada duapuluh huruf yang berbunyi: „Biji kuning didalam batu, seribu tahun kemudian boleh dimakan, benda itu jarang terdapat, membuat tubuh enteng umur panjang, siapa yang berjodoh pasti dapat menemukannya." Sedang pada bagian bawah terdapat dua buah tanda tangan Tat Mo.

Bermula Tio Jiang tak mengerti apa yang disebut biji kuning itu. Tapi demi dilihatnya tulisan itu ditulis dengan guratan jari, dia sangat terperanjat. Suatu ilmu lwekang yang belum pernah didengar seumur hidupnya. Dan ketika melihat nama dari tanda tangan itu, dia berjingkrat kaget. Teringat dia apa yang pernah dikatakan sang suhu. Tat Mo Cuncia itu orang dari Thian-tiok (India) yang datang ke Tiongkok pada ahala Tang Cin. Dia pernah menjadi paderi digereja Kong-hau-si di Kwiciu, kemudian dengan gunakan kepandaian ilmu mengentengi tubuh yang tinggi dia dapat melintasi sungai menetap digereja Siao Lim Si Hokkian. Sembilan tahun lamanya dia bertekun menghadapi tembok, akhirnya berhasil memiliki suatu ilmu lwekang yang sakti. Sejak itu, entah tiada ketahuan rimbanya. Adakah benar2 dia Pernah bertamasya kegunung Sip-ban-tay-san situ dan tinggalkan tulisan itu?

Tanpa menghiraukan kelincinya lagi, Tio Jiang serentak ber-lari2 kegua untuk mendapatkan Yan-chiu. „Siao Chiu, lekas ikut aku, ada sebuah benda mustika!" serunya sambil mlengguncang lengan sumoaynya. Tapi sinona itu hanya sekali buka matanya dengan kurang senang, lalu tidur lagi. Tio Jiang meng-guncang2kannya lagi. „Ada apa sih?" tanyanya dengan acuh tak acuh. Tapi demi Tio Jiang tuturkan apa yang dilihatnya tadi, Yan-chiu terbeliak kaget.

„Jadi diatasnya tertulis 'biji kuning dalam batu' ?" tanyanya menegas. Tio Jiang mengiakan.

Dalam soal ilmu surat, Yan-chiu lebih pandai. Dia banyak membaca buku2. „Dalam kitab Poa-bu-cu ada tertulis, biji kuning dalam batu itu hanya terdapat didalam batu besar. Kalau batu itu dipecah, maka akan tampak sebuah benda merah ke-kuning2an, mirip dengan kuning didalam telur. Kalau tak lekas2 disantap, benda itu akan keras menjadi batu," akhirnya Yan-chiu berkata. Atas pertanyaan sang suko tentang khasiat makan biji kuning itu, Yanchiu menerangkan bahwa benda itu merupakan suatu mustika yang jarang terdapat didunia. Barang siapa yang menyantapnya akan bertambah panjang usianya serta tubuhnya akan menjadi enteng sekali.

„Bagus, Siao Chiu, lekas mari ikut aku, biar kau yang memakannya!" seru Tio Jiang dengan gembira. Melihat kebaikan budi sang suko yang sedemikian besar itu, tergeraklah hati Yan-chiu, pikirnya mengeluh: „Huh, tolol lu. Apakah kau kira dengan memperoleh mustika itu hatiku menjadi gembira? Hem....., hanya kalau kau ucapkan sepatah kata 'aku cinta padamul kepadaku, barulah hatiku benar2 menjadi gembira!" Demi tiba disana, Yan-chiu menyatakan sukarnya untuk memecah batu sebesar itu. Tio Jiang coba gunakan lwekang untuk menghantam, namun batu itu sedikitpun tak bergeming. „Percuma saja, kurasa diatas bumi ini  hanya ada sepasang pedang dari suhu dan subo yang dapat digunakan untuk membelahnya. Ilmu lwekang yang bagaimana lihaynya tetap tak dapat mengerjakannya," akhirnya Yan-chiu menyatakan pendapat. „Benar, kita, harus cari suku Thiat-theng-biau itu, kalau si The Go belum keburu datang, kita rebut juga pedang itu dari Kit-bong-to!" kata Tio Jiang.

Begitulah kedua suko dan sumoay itu lalu kembali lagi kedalam goanya.

(Oo-dwkz-TAH-oO)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar