Naga dari Selatan BAGIAN 24 : KETAWA MONYET

 
BAGIAN 24 : KETAWA MONYET

Tan It-ho terkesiap kaget. Diam2 dia menduga, apakah The Go itu sungguh mencintai Bek Lian dengan setulus hati

? Sampai sekian saat dia tak dapat berkata suatu apa, sedangkan dengan dada berombak-ombak The Go meneguk araknya lagi. Tiba2 terkilas dalam pikiran Tan It-ho, bagaimana pribadi The Go yang terkenal sangat licik-licin itu. Rupanya dia berlaga kaget dan marah2, agar terhindar dari kesalahan. Bermula Tan It-ho sesali dirinya mengapa mengambil resiko besar begitu, tapi pada lain saat ketika dia memikirkan betapa hebat 3 macam pelajaran Ang Hwat cinjin itu, semangatnya timbul lagi. Bukankah dengan memiliki kepandaian itu, dia akan dapat malang melintang didunia kangouw? Dia berpantang mundur, serunya: „The toako, orang  mengatakan  'dalam  kesukaran harus berdaya, ada daya tentu ada harapan'. Pertemuan pehcun, sudah didepan mata. Kalau tak memiliki pusaka, tentu tak dapat mengalahkan musuh. 'Isteri adalah ibarat pakaian' kata orang pula. Dengan puteri Hay-te-kau, kau belum tentu hitam putihnya. Masa remaja muda hanya sekali dalam hidup. Kalau hanya tergantung pada seorang perempuan saja, masakan hidup kita ini berbahagia ?"

Ucapan beracun dari Tan It-ho itu termakan betul dalam hati The Go. Setelah Bek Lian hamil, The-Go, memang agak menyesal. Kalau tanpa persetujuan fihak orang tua, dapatkah perkawinan itu berlangsung terus ? Tapi kalau melihat kecantikan yang gilang gemilang dari Bek Lian, berat rasa hati untuk meninggalkan.

Dalam hati dia mulai me-nimang2 usul It-ho tadi, namun lahirnya dia masih mengunjuk wajah gusar, katanya: „Tan-heng, aku si The Go, mana bisa berbuat tak bertanggung jawab begitu ?”

„Heh....., heh...., heh.....," Tan It-ho ter-kekeh2 demi mengetahui isi hati  The Go yang mulai goncang itu. Sembari tertawa, dia sapukan ekor mata kesekelilingnya. Sihweshio masih asyik mendengkur dengan kerasnya. Jongos sudah sama menyingkir untuk beristirahat. Hatinya makin legah, katanya: „The toako, kau kenyang dengan isi segala macam kitab, mengapa pikiranmu limbung?"

„Kalau kuturut rencanamu, lalu ?" The Go menyeringai.

„Turut pikiranku, kau ajak saja nona itu ke Ko-to-san untuk menghadap sucoumu. Mana ia tahu Ko-to-san atau Sip-ban-tay-san? Malam ini aku hendak pergi lebih dahulu menjumpai Kit-bong-to dan memberitahukan maksud kita. Simata keranjang itu mana tak terpikat melihat kecantikan nonamu? Dengan pedang pusaka kuan-wi-kiam ditanganmu, dalam pertempuran hari pehcun nanti, siapakah yang dapat menandingi kau?" Tan It-ho bentangkan tipunya.

„Sip-ban-tay-san sangat luas sekali, dimana tempat kediaman Kit-bong-to itu?" The Go mulai menurut. Hendak It-ho menerangkan, tapi tiba2 dia tak mau membuka mulut. Tangannya dicelupkan kedalam teh, lalu menulis diatas meja: „Dipuncak Thiat-nia, penuh dengan batu2 hitam, seluruhnya hanya ada satu macam tumbuhan thiat-theng (rotan besi)" Sehabis menulis, lekas2 dihapusnya bersih2. Sementara mulutnya pura2 mengatakan: „Siaote sendiripun kurang jelas, kita nanti tanya saja kalau sudah tiba disana !"

The Go puji sikap ber-hati2 dari orang itu. Setelah memiliki ilmu silat, orang yang pandai menyaru dan meniru suara orang itu, tentu akan berguna padanya. It-ho-heng, siaote ada suatu permintaan, entah Ho-heng menyetujui tidak!"

Tan It-ho terperanjat dan mempersilahkan The Go mengatakan. „Dalam soal kecerdasan, kita berdua ini tiada yang melawan didunia persilatan. Hendak siaote mengangkat persaudaraan, dengan Ho-heng, entah bagaimana pikiran saudara ?”

Bukan kepalang girang It-ho mendengar maksud The Go itu. Memang diapun butuh sekali akan bantuan orang she The itu. Begitulah kedua orang yang ganas dan licin bagai belut itu segera mengangkat saudara. Atau lebih tepat dikatakan 'si kera dan buaya' mengangkat saudara. (Dalam dongeng kanak2, kera dan buaya itu saling  bermusuhan, jadi kalau mereka mengangkat saudara, itu hanya pulasan saja).

Oleh karena Tan It-ho pernah tua, jadi dia yang menjadi toako (saudara tua). Setelah merayakan upacara itu dengan 3 tegukan arak, mereka lantas hendak masuk tidur. Tiba2 brak....., terdengar pintu terbuka dan masuklah seorang lelaki tinggi besar kedalam ruangan situ. Begitu masuk orang itu segera menghamburkan makian: „Jahanam, kakek moyanglu 18 turunan ! "

Mendengar suara orang itu, The Go tampak gugup, lalu bertanya kepada Tan It-ho: „Toako, apakah kau membawa topeng muka?" Tan It-ho mengeluarkan sebuah topeng kulit muka. Begitu dipakai, pemuda The Go yang tampan segera menjadi seorang yang buruk rupa. Setelah itu, baru The Go berani mendongak mengawasi kemuka dan tak kuat menahan gelinya lagi. Orang lelaki kasar tadi mengawasinya sejenak, lalu memaki: „Bangsat, apanya yang lucu?"

Tan It-ho hendak membalas, tapi secara diam2 dicegah The Go, hingga membuat yang tersebut duluan heran. Memang tindakan The Go itu beralasan, karena sikasar itu bukan lain adalah Nyo Kong-lim, itu pemimpin dari ke 72 Cecu Hoa-san. Entah bagaimana dia bisa datang ketempat itu. Brewok janggutnya tinggal separoh, mukanya pun belang hitam putih, rambutnya yang sebelah kiripun (separoh) sudah kelimis, sehingga kulit kepalanya tampak jelas. Barang siapa melihatnya, jangan tanya tentu akan kaku perutnya karena geli. Dari wajahnya, dia tengah dirangsang kemurkaan. The Go tahu ilmu silat ketua Hoa- san itu cukup tangguh, maka siapa yang berani mempermainkannya? Ah, jangan2 Kang Siang Yan?!

Teringat akan nama Kang Siang Yan, The Go kucurkan keringat dingin. Dia bergidik sendiri kala membayangkan apabila rencananya keji itu sampai ketahuan Kang Siang Yan, tentu mayatnya tiada tempat untuk mengubur lagi! Tapi ah...., mana Kang Siang Yan sempat untuk mem- perolok2 orang kasar itu ? Demikian karena sudah berganti rupa, maka dengan tenangnya The Go duduk mengawasi. Nyo Kong-lim kelihatan mengambil sebuah tempat duduk, lalu bung...., bung...., bung...., tinjunya berlincahan diatas meja dan mulutnya ber-kaok2: „Hayo,  lekas bawakan, arak dan daging "

Jongos yang tadinya sudah siat-siut matanya, minta ditidurkan itu, begitu melihat kedatangan sikasar dan sikapnya yang bengis itu, segera buyar rasa kantuknya. Ter- sipu2 dia membawakan barang pesanan itu.

Nyo Kong-lim usap2 kepalanya yang gundul separoh itu, lalu  meng-elus2  janggutnya  yang tinggal  separoh  itu juga.

„Jahanam  .....",  tiba2 dia berhenti  merenung  sejenak  lalu

melanjutkan lagi: „Jahanam, apakah bukan sibudak perempuan itu yang main gila padaku?" Tapi sesaat lagi, dia menyahut sendiri: „Tidak, tidak, budak itu bersama siaoko pergi ke Sip-ban-tay-san, masakan dia bisa kemari mengolok2kan aku ? !"

Berkata begitu, wajahnya tampak agak tenang, kemudian se-konyong2 dia tertawa ter-bahak2 sendiri, seperti orang setengah gila. Baru separoh ketawa, dia lantas berhenti dan berkata sendirian: „Rupanya budak itu galang-gulung rapat dengan si siaoko, biar kutanyakan pada suhunya, bilakah aku dapat minum arak kebahagiaannya (menikah) ?" Habis berkata, dia kembali ter-bahak2 seorang diri.

Bermula The Go dan Tan It-ho anggap ketua Hoasan itu tolol tapi menyenangkan. Tapi lama kelamaan didengarnya suara ketawanya itu bukan seperti orang ketawa lagi, melainkan menyerupai orang menangis. Ketika keduanya mengawasi tajam2, mereka segera merasa kaget. Walaupun Nyo Kong-lim masih tengah ketawa, tapi sepasang matanya tampak mendelik, kaki tangannya ber-jingkrak2, sikapnya kesakitan sekali. Sebagai seorang murid dari Ang Hwat cinjin, tokoh besar dalam ilmu menutuk jalan darah itu, mata The Go yang tajam segera mendapat tahu bahwa dalam sekejab waktu barusan tadi, sikasar itu telah ditutuk jalan darahnya oleh seseorang. Justeru yang diarah adalah jalan darah 'tertawa'. Maka walaupun terus menerus ketawa, tapi  nada ketawanya itu menyerupai orang merintih kesakitan.

The Go terkesiap. kaget. Didalam ruangan situ hanya terdapat 4 orang. Dia berdua dengan It-ho terang tak melakukan. Adakah sihweshio penidur itu seorang tokoh persilatan yang bersembunyi ? Tapi yang luar biasa, mengapa Nyo Kong-lim sampai tak mengetahui kalau dirinya dibokong orang, pada hal kaum persilatan mengenal dia sebagai jago silat yang mahir ilmu lwekang. Sihweshio itu masih tetap terkulai menggeros, mulutnya ngiler seperti kelebuh benar2 di dalam pulau kapuk.

„Biar kau tahu rasa sekarang!" demikian diam2 The Go girang menampak keadaan Nyo Kong-lim yang dibencinya itu. Tapi baru dia mempunyai perasaan begitu se-konyong2 pinggangnya terasa lentuk, celaka...... secepat merasa secepat itu pula dia empos semangatnya untuk kerahkan tenaga perlawanan. Tapi sudah kasip, sekali mulutnya pecah „ha...., ha..., hi..., hi...", terus menerus dia bergelak ketawa tak berkeputusan juga. Tapi  adalah  karena kelihayan pelajaran ilmu tutuk Ang Hwat cinjin, sehingga walaupun tertawa, namun The Go masih dapat berdaya untuk menyalurkan lwekang guna menindas rasa  ketawanya itu. Tepat pada saat itu, Nyo Kong-limpun sudah berhenti ketawa. Dengan melotot mata, dia mendelik gusar kearahnya.

”Hiante, apakah kau juga kena bokongan orang ?" tanya Tan It-ho ketika merasa keadaan yang tidak wajar itu. Belum The Go menyahut, Nyo Kong-lim sudah menggerung keras sembari menerjang datang. „Jahanam, kiranya kau!" sembari memaki tangannya menghantam.

Ketika dirinya diketahui, The Go tak mau menangkis serangan yang dahsyat itu. Sekali tangannya menekan meja, tubuhnya segera melambung setombak keatas. Juga Tan It- ho yang melihat gelagat jelek, segera mundur menyingkir. “Bang..., bang....! karena orangnya sudah menyingkir, maka meja itulah yang menjadi sasaran pukulan Nyo Kong- lim, sehingga hancur ber-keping2. Sikuasa hotel ketakutan seperti melihat setan. Dia ber-ingsut2 lari keluar dan ter- kencing2 mendeprok ditanah.........

Melihat pukulannya menemui tempat kosong, Nyo Kong-lim cepat mencabut ruyung sam-ciat-kun, yang terus dikibaskan lempang kemuka kearah The Go dan Tan It-ho.

„Bangsat, kau berani mempermainkan loya, mengapa sekarang takut berkelahi ? Mari, kau rasakan ruyungku ini sekali saja!" serunya sembari mengayunkan sam-ciat-kun dalam gerak “heng soh cian kun" (menyapu ribuan lasykar). Ujung ruyung bergeliatan, terpencar menutuk kedua orang itu.

Mendengar itu, tahulah The Go kalau sikasar itu sebenarnya belum mengetahui siapakah dirinya itu. Nyo Kong-lim itu kasar orangnya, seribu satu alasan dia tentu  tak mau menerima, maka lebih baik diladeni saja. Begitu ruyung tiba, The Go mendak kebawah sembari menyingkir kesamping, lalu secepat kilat dia julurkan kelima jarinya untuk menerkam dada orang. Ternyata itulah. suatu gerakan yang istimewa lihaynya. Kelima jari itu sebenarnya dipencar untuk menutuk jalan darah orang masing2 pada kiok-kwat, siangwan, ki-bun, tiong-wan dan kian-li, lima tempat.

„Lihay benar ilmu tutukanmu!" seru Nyo Kong-lim sembari menarik pulang ruyung dan mundur 3 langkah kebelakang. Tanpa disengaja, tubuhnya yang menyurut kebelakang itu telah menatap kepala sihweshio, hai  gila betul rupanya hweshio itu. Disekitarnya terjadi ribut2, malah kepalanya juga dibentur tubuh orang, tapi masa dia masih enak2 tidur seperti babi mati. Hidungnya masih tetap mendengkur keras seperti cerobong kapal.

Sebagai seorang persilatan yang sudah kenyang makan asam garam, heran Nyo Kong-lim melihat ilmu tutukan yang menyerangnya itu. Sepanjang pengetahuannya, ilmu tutukan macam itu, hanya dimiliki oleh Ang Hwat cinjin seorang saja. Oleh karena dia benci sekali kepada The Go, jadi Ang Hwat cinjinpun turut2an dibencinya. „Anak jadah (haram), kiranya kau masih sanak kadangnya Ang Hwat sikeledai gundul itu ya!" serunya sembari kibaskan sam-ciat- kun.

Kini dia lancarkan serangan istimewa. Sembari menghantamkan sam-ciat-kun tangannya kiripun ikut menebas bahu Tan It-ho, blek...... It-ho yang tak ber-jaga2 itu termakan dulu. Sekali menjerit 'aduh...., mati', separoh tubuhnya seperti mati-rasa. Melihat itu The Go sangat gugup. Dia masih perlu dengan tenaga It-ho, sedapat mungkin jangan sampai orang itu keburu kehilangan jiwa dulu. „Tan-heng lekas lari sendiri, aku setuju rencanamu, jangan sampai membikin kapiran !" serunya kepada It-ho.

Walaupun It-ho merasa aneh akan kejadian dalam ruangan penginapan situ, namun dia, turut juga perentah The Go itu. Begitu Nyo Kong-lim tengah sibuk menangkis serangan The Go yang mengarah pinggangnya, It-ho cepat menyelinap keluar meloloskan- diri.

Nyo Kong-lim terperanjat mendengar kata2 „jalankan menurut rencana" dari The Go tadi. Walaupun dia tak tahu apa maksudnya, namun karena nada suara The Go itu seperti pernah dikenalnya, ia menjadi tersentak sejenak. Keayalan ini, menyebabkan perutnya hampir dimakan tutukan tangan The Go. „Keparat....., siapa kau ini ?" serunya sembari sapukan sam-ciat-kun mundur selangkah.

Karena terpaksa tadi secara spontan The Go telah mengucapkan kata2, hal mana telah menimbulkan kecurigaan musuh terhadap dirinya. Musuh  menegas, sudah tentu dia tak mau bicara lagi. Dalam pada itu, dia ambil putusan hendak lekas2 menyelesaikan pertempuran itu. Karena kalau terlibat lama, ada kemungkinan rombongan Ceng Bo siangjin akan keburu datang disitu. Dengan kehilangan seorang tiang pengandal macam Li  Seng Tong, sudah tentu dia tak berdaya menghadapi kawanan orang gagah itu. Cepat diambilnya sepasang sumpit, menyelinap kebelakang Nyo Kong-lim  lalu menutuk dua buah jalan darah dipunggungnya.

„Ilmu tutukan yang bagus!" seru Nyo Kong-lim sembari kibaskan sam-ciat-kun keatas. Sam-ciat-kun atau tongkat 3 ros (buku), merupakan 3 batang tongkat pendek yang disambung2. Tapi dalam tangan Nyo Kong-lim senjata itu merupakan senjata yang dapat digerakkan sesuka hatinya.

Sam-ciat-kun ber-putar2 melibat Iengan The Go. The Go memuji ketua Hoasan itu yang walaupun kasar tapi ternyata mempunyai kepandaian berisi. Tanpa berayal, dia enjot kakinya untuk loncat menghindar, tapi tiba2 telapak kakinya terasa kesemutan. Serupa dengan jalan darah siauyau-hiat (tertawa) tadi, kini jalan darah hian-kia-hiat pada telapak kakinyapun kenaa ditutuk orang.

Oleh karena terperanjat, The Go jadi menurun kebawah dan berbareng pada saat itu, sam-ciat-kun menyapu datang. Terpaksa dia gunakan gerak tiat-pian-kio (jembatan gantung) lemparkan tubuhnya kebelakang, lalu menyusul dengan ilmu mengentengi tubuh i-heng-huan-wi, dia letikkan tubuhnya kesamping. Cara penghindaran itu ternyata berhasil bagus sekali didalam  menghadapi serangan sam-ciat-kun yang dilancarkan dengan jurus2 istimewa yakni „bintang pagi menjulang balik" dan diteruskan „air terjun memancar jatuh"

Untuk kegirangannya, setelah menghindar, telapak kakinyapun sudah sembuh dari rasa kesemutan. Ini disebabkan karena The Go memiliki lwekang ajaran Ang Hwat cinjin yang luar biasa. Maka ketika serangan sam-ciat- kut menyambar lagi, dia melintas maju lalu menutukkan sumpit kearah jalan darah si-tiok-hiat. Tiba2 sihweshio penidur tadi tampak bergerak pinggang, tangannya diangkat keatas dengan jari2nya ditekuk kebelakang. Tampaknya seperti orang ngolet (bergeliat), namun anehnya Nyo Kong- lim dan The Go berdua segera rasakan ada angin keras menyambar kearah mereka.

Sebagai orang persilatan, Nyo Kong-lim dan The Go segera sama terperanjat Terang oletan sihweshio itu merupakan pukulan lwekang biat-gong-ciang. Mau tak mau terpaksa keduanya sama mundur sampai 3 tindak.

„Aku hanya ingin tidur sekejab saja, mengapa kalian ribut2 tak keruan itu? Huh, kurang ajar!" tiba2 sihweshio itu mengangkat kepala berkata.

„Ho, kiranya kau! Hampir saja aku keliru memukul orang yang tak bersalah!” seru Nyo Kong-lim dengan murka, lalu menarikan sam-ciat-kun merangsang sihweshio.

Sebaliknya sihwesio tampaknya seperti tiada kejadian suatu apa, enak2 saja dia beresi jubahnya yang kucal2 itu.

Amboi, deru tarian sam-ciat-kun yang begitu dahsyat, baru sampai ditengah jalan tiba2 terkulai kebawah, hingga hampir makan kakinya, sendiri. Sudah tentu The Go yang mengawasi dengan perdata, menjadi terkejut tak terkira. Terang tadi dilihatnya hweshio itu hanya mengangkat tangannya keatas sedikit, mengapa Nyo Kong-lim yang bertenaga seperti kerbau itu, tak kuat lagi mencekal sam- ciat-kunnya?. Jadi nyata sampai dimana  kesaktian sihweshio itu. Tapi seingatnya, tokoh persilatan manakah yang memiliki kepandaian begitu itu? Rasanya tidak ada.

„Kepala gundul, aku tak mau hidup ber-sama2 dalam satu dunia dengan kau!" seru Nyo Kong-lim sambil ber- jingkrak2 untuk menghindar dari serangan sam-ciat-kunnya sendiri. Habis itu, dia lalu serangkan lagi senjatanya. Tapi dengan langkah lenggang, hweshio itu lari keluar tak mau menghiraukan.

„Ada kau tiada aku, ada, aku tiada kau, sama dengan ada rambut dikepalamu tiada rambut dikepalaku".

”Kalau kupangkas lagi rambutmu yang tinggal separoh itu, aku tentu dapat enak2 menikmati kaki-anjing panggang!" serunya ketika berlari itu.

„Anjing kepala gundul, jadi kaulah yang  memangkas rambutku ini? Hampir saja kusalah duga kalau sibudak perempuan itu!" seru Nyo Kong-lim sembari mengejar keluar. Sembari sahut2an, kedua orang tersebut sudah jauh dari rumah penginapan situ.

Melihat keduanya sudah berlalu, The Go legah hatinya. Sedangkan sipelayan tadipun berani masuk kedalam lagi. Ketika dia sedang mengomel panjang pendek karena meja kursinya hancur, tiba2 diatas meja sihweshio tadi dilihatnya ada setumpuk perak, sekira 5 tail beratnya. Wajah sipelayan yang kecut tadi, seketika berobah riang lagi. Sedang The Gopun lalu masuk kekamarnya.

Didalam kamar Bek Lian tidur dengan enak sekali. Rupanya tengah menantikan kedatangan The Go, karena lampunya masih menyala. Karena tak mau membuat terkejut, The Go mendekati pe-lahan2, tapi rupanya Bek Lian mengetahui lalu menggeliat kesamping, dan tidur lagi. Demi melihat wajah Bek Lian, berdeburlah jantung  The Go. „Didunia ini tak kurang dengan wanita cantik. Hanya dengan barter secara yang diusulkan Tan It-ho tadi, barulah aku dapat memiliki pedang pusaka itu. Aku belum resmi mengikat perkawinan dengannya, tapi sudah mempunyai anak, ah kalau hal ini sampai diketahui orang, kemana hendak kutaruh mukaku ? Kalau tidak kejam itu bukan lelaki! Persetan!" demikian pikiran jahat merangkum hati, The Go. Dan saking kerasnya getaran hati, kakinya turun dibanting, hal ini telah mengejutkan Bek Lian.  „Engkoh Go, tidurlah lekas, sudah jauh malam!" seru sinona.

Sebaliknya The Go yang sudah dirangsang racun kata2 Tan It-ho tadi segera suruh Bek  Lian bangun. Dengan alasan menghindar dari kejaran musuh yang hendak melakukan pembalasan, malam itu juga The Go ajak Bek Lian tinggalkan tempat itu untuk melanjutkan perjalanan lagi.

Kita tengok Nyo Kong-lim sisembrono itu. Ternyata dia mengalami pengalaman seperti petang hari tadi lagi. Dirinya dipermainkan oleh sihweshio, saking gusarnya dia mengejar. Tapi biar dia kencangkan larinya sedang sihweshio itu hanya enak2 saja tampaknya, namun tetap tak dapat mencandaknya. Begitu dengan keadaan pada saat itu. Setiba dihutan. yang sepi, Nyo Kong-lim kehabisan bensin.

„Anjing kepala gundul, kenapa kau tak pangkas sekali sisa rambutku ini ?'' makinya dengan keras.

Sihweshio tertawa cekikikan. „Aku bosan jadi hweshio, hendak kembali lagi menjadi orang biasa. Tapi kalau belum mencari pengganti kau, mana aku dapat lepaskan kedudukanku ?" sahutnya. „Tapi mengapa separoh kepalamu tak tumbuh rambutnya?" tanya Nyo Kong-lim.

„Kalau tumbuh, lalu bagaimana ?" sahut sihweshio. Sikasar tertegun, heran dia mengapa didunia bisa terdapat, kejadian begitu?

„Baik, kalau benar separoh bagian dari kepalamu itu bisa keluar rambutnya, rambutku yang separoh ini biar  kau cukur sekali!" serunya dengan geram.

Sihweshio tertawa, ujarnya: „Sekali taytianghu (lelaki sejati) mengeluarkan kata2. "

„Laksana kuda lari sukar diburu!" sambung Nyo Kong- lim serentak.

Sihweshio kembali tertawa. Dia ulurkan tangannya merabah keatas kepala dan se-konyong2 berseru:

„Lihatlah!"

(Oo-dwkz-TAH-oO)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar