Naga dari Selatan BAGIAN 23 : KERA BERSAUDARA BUAYA

 
BAGIAN 23 : KERA BERSAUDARA BUAYA

Diam2 Yan-chiu geli melihat keadaan Lim Ciong itu.

„Mana tempatnya Thi-theng-biau yang kau ceritakan tadi !" tanyanya.

Biji mata Lim Ciong tampak berkicup. Diam2 dia telah memasang perangkap, sahutnya: „Lihiap, kalau kukatakan apakah kau sudi memberi ampun ?"

Baik Tio Jiang maupun Yan-chiu, adalah anak yang berhati welas asih. Seorang yang kedua lengannya sudah patah, biar bagaimana tentu tak dapat melakukan kejahatan lagi Apalagi wajah Lim Ciong yang me-ratap2 belas kasihan itu, menyebabkan kedua anak muda itu mengiakan. „Baik, lekas katakan. Kalau dikemudian hari kau sudah kapok, tentu, kuampuni jiwamu !"

Lim Ciong menghela napas longgar. Sebentar matanya menatap kearah ujung pedang yang melekat ditenggorokannya itu, lalu berkata: „Suku, Thiat-theng-biau itu tinggal dipuncak Tok-ki-nia dari pegunungan Sip-ban- tay-san. Anak buahnya hanya berjumlah 200-an orang."

Mendengar kata2 „Tok-ki-nia", Tio Jiang terkesiap. Ra- sanya dia sudah pernah mendengar nama itu. Mungkin Sik Lo-sam yang menceritakan hal itu, tapi entah lupalah dia.

„Tok-ki-nia?" dia menegas pula. Mendengar pertanyaan itu, tiba2 wajah Lim Ciong,berobah seketika. Sampai sekian jenak, baru tampak tenang lagi. Tapi mata Yan-chiu yang celi segera mengetahui hal itu, bentaknya: „Bangsat, kau masih berani menipu orang lagi ya?"

„Tidak, tidak! Kalau ada sepatah saja perkataanku yang bohong, biarlah aku mati didalam hujan panah!" buru2 Lim Ciong memberi jaminan. Yan-chiu leletkan lidah mendengar sumpah orang seberat itu. Juga Tio Jiang menaruh kepercayaan. Oleh karena tak suka melihat cecongor Lim Ciong lebih lama, maka Tio Jiang segera tarik tangan sumoaynya diajak keluar. Dengan berkutetan susah payah Lim Ciong paksakan dirinya untuk berdiri. Dia iringkan bayangan kedua anak muda itu dengan tersenyum iblis.

Kalau benar The Go masih berada di Kwiciu, Bek Lianpun tentu berada dengannya. Kalau Tan It-ho keburu menjumpai The Go, dikuatirkan The Go yang tak cinta setulus hati pada Bek Lian itu, tentu akan menyetujui usul Tan It-ho: tukarkan Bek Lian dengan pedang kuan-wi pada Kit-bong-to. Maka ayun langkah Tio Jiang dan Yan-chiu itu ditujukan untuk mengejar Tan It-ho, atau palirIg tidak harus dapat mendahului manusia seribu muka itu. Maka sampai petang hari, keduanya masih pesatkan larinya, menuju ke Kwiciu. Juga malamnya mereka tetap lanjutkan perjalanannya.

Keesokan harinya, mereka menjumpai orang2 yang dijumpai dijalan itu, sikapnya aneh. Dan yang terlebih mengherankan lagi, sejumlah besar serdadu Ceng sama berbondong2 keluar dari kota Kwiciu. Mereka ber- kelompok2, ada yang terdiri dari 10 orang, ada tujuh atau delapan orang. Selama berjalan itu, mereka hiruk-pikuk tak keruan macamnya. Ada sementara rombongan anak2 nakal yang melempari batu kearah kawanan serdadu2 Ceng itu. Melihat itu Tio Jiang dan Yan-chiu menjadi heran. Bukankah Kwitang dan Kwisay sudah diduduki tentara Ceng, mengapa rahayat masih begitu bernyali besar?

Dalam men-duga2 itu, keduanya sudah mendekati kota. Tiba2 ada seorang pembesar tentara Ceng, dengan terhuyung2 tak tetap jalannya, keluar dari pintu kota. Dia tak membekal senjata. Kepada kawanan serdadu itu, dia meneriaki keras2, entah apa yang diteriakan itu. Tio Jiang dan Yan-chiu tak mengerti akan bahasa mereka, tapi jelas dilihatnya bahwa serdadu2 itu semuanya adalah bangsa Boan.

Sedari tentara Ceng menduduki kota Kwiciu, mereka: segera memaksa orang2 Han untuk menjadi serdadu guna menambah angkatan perangnya. Dan orang2 Boan itu diangkat menjadi opsir dan pembesar militer, Tapi mengapa kini keadaan mereka tak - keruan macamnya? Sampai sekian lama, Yan-chiu tetap tak memperoleh jawaban pendugaannya itu. Tapi dalam pada itu, jelas didengarnya baik didalam maupun diluar kota, rahayat sama ber-sorak2 gempar, sana sini orang memasang petasan. Suasananya lebih ramai dari Tahun Baru.

Oleh karena didalam sekian banyak orang yang sama berbondong2 entah apa maksudnya itu, Yan-chiu tak dapat memperoleh keterangan jelas, dia menjadi tak sabar lagi. Sekali enjot sang kaki, dia segera melayang menyerang seorang opsir Ceng. Ternyata opsir itu mengerti ilmu silat juga. Dia miringkan tubuh menghindar lalu mengirim hantaman. Melihat itu, Yan-chiu berbalik girang. Sudah lama ia merasa keisengan tak berkelahi. Kini dapat sparring partner (lawan bertanding). Dengan gunakan cian-kin-tui atau tenaga tindihan 1000 kati, dia meluncur turun. Begitu turun, dia segera kerjakan kakinya untuk mengait dengan gerak kau-theng-thui. Bum, tak ampun lagi opsir itu tergelincir jatuh !

Yan-chiu ter-bahak2, sementara opsir itu dengan merangkang bangun lalu berteriak keras menyerangnya. Yan-chiu melejit kesamping, sekali ulurkan tangan, kembali opsir itu terjerembab jatuh. Bahkan kali ini Yan-chiu gunakan tenaga, sehingga opsir itu keras sekali terbantingnya. Hidung pencet, mata bendul, mulutnya meng-erang2 kesakitan.

,,Aku hanya hendak bertanya sepatah kata, mengapa kau memukul?" seru Yan-chiu. Terang dirinya diserang lebih dulu dan dibanting sampai dua kali, masa masih dipersalahkan. Sudah tentu opsir itu meringis seperti monyet kena terasi. Akhirnya terpaksa dia menyahut: „Apa yang hendak kau tanyakan itu?"

,,Mengapa kamu tak berpesta pora didalam kota, sebaliknya malah seperti anjing digebuk lari pontang, panting keluar kota ?" tanya Yan-chiu. Opsir itu deliki. Berputar kebelakang dia berteriak beberapa kali dan berbarislah beratus serdadu Ceng itu lalu menuju kebarat. Opsir itu mengikuti dibelakang. Mendongkol tak dijawab pertanyaannya, Yan-chiu mengejar lalu menangkap kuncir orang. Baru ia hendak memaksanya berkata, tiba2 dari samping melesat sesosok bayangan. „Nona, lepaskanlah dia. Bangsat macam begitu, sudah tiada berharga lagi!" kata orang itu.

Tio Jiangpun sudah mendatangi. Kuatir sang sumoay berlaku kasar, lekas2 dia menjurah, ujarnya: „Lotio, apa maksudmu ?"

Orang tua itu terkekeh-kekeh, sahutnya: „Ini artinya Allah tiada mau membasmi bangsa Han. Sikuncir Boan, selekasnya akan angkat kaki dari Kwitang dan Kwisay !"

„Jangan2 kaisar kantong nasi itu akan kembali lagi ?" Yan-chiu menyela. Tapi sebaliknya Tio Jiang bertanya :

„Adakah saudara2 dari Thian Te Hui muncul lagi ?"

„Salah semua," sahut siorang tua.

„Habis bagaimana ?" tanya kedua anak muda itu dengan heran. Wajah siorang tua berseri girang, serunya: „Kemaren tanggal 10 bulan 4, Li congpeng telah membawa anak buahnya dari kedua propinsi Kwi, menakluk pada Beng!"

„Adakah keteranganmu itu benar, Lotio ?" Tio Jiang dan Yan-chiu serentak bertanya dengan girang.

„Aku seorang tua, masa masih suka bergurau? Kawanan serdadu Ceng itu digebah pergi oleh anak buah Li Seng Tong tayjin. Tak lama lagi kaisar Ing Lek akan kembali ke Kwiciu sini!" sahut siorang tua dengan tegas.

Yan-chiu tak bersangsi lagi. Ia segera tarik tangan sukonya diajak masuk kedalam kota. Seluruh penduduk tua muda besar kecil, sama2 bersuka ria. Kini kedua anak muda itu percaya penuh. Kalau tadi saja mereka masih memaki Li Seng Tong, kini berbalik memujinya setinggi langit. Keduanya ambil putusan menuju kekantor congpeng. Para pengawal digedung situ, ternyata sudah berganti uniformnya (pakaian seragam). „Apakah Li congpeng ada

?" tanya Tio Jiang.

Penjaga itu tak memandang mata pada kedua anak muda kita. „Li congpeng masih sibuk!" sahutnya ringkas. Saking gusar, Yan-chiu segera ayun tangannya. Ada 4 atau 5 orang serdadu pengawal menjerit jatuh. Yan-chiu tarik sukonya menobros masuk. Tanpa ada yang berani menghadang, mereka berdua langsung masuk keruangan besar dibelakang. Disitu kedengaran ada orang berkata: „Kalau sekarang kuturut permintaanmu, lantas kau bagaimana?"

„Sudah tentu aku taat janjiku!" sahut sebuah suara lagi yang nadanya seperti orang perempuan. Tio Jiang dan Yan- chiu terperanjat. Yang pertama tadi, mereka kenal sebagai suara Li Seng Tong, sedang suara wanita itu adalah suara Lam-hay-hi-li Ciok Siao-lan!

„Ciok Siao-lan, kaukah?" tiba2 Yan-chiu menegur. Kedengaran suara berkerontangan, seorang gadis cantik yang berkulit hitam, tampak menyongsong keluar dengan senjatanya hi-jat. Memang ia adalah Ciok Siao-lan adanya, siapapun tercengang melihat kedatangan kedua anak muda itu.

”Mengapa-kalian,datang kemari ?" tegurnya.

„Mencari Cian-bin Long-kun!" sahut Tio Jiang dengan tegas. Lagi2 Siao-lan terkesiap, menggetarkan senj atanya, berkata: „Perlu apa cari dia? Akupun juga sedang mencarinya !"

”Dan kau perlu apa padanya?" Yan-chiu membalas. Tiba2 Siao-lan menghela napas panjang, ujarnya:

„Mencarinya atau tidak, sebenarnya sama saja !"

Selagi Tio Jiang dan Yan-chiu hendak menegas, dibalik ruangan besar muncul seorang lelaki yang berwajah keren, mengenakan pakaian luar biasa, bukan Ceng bukan Beng, tapi lebih banyak menyerupai pakaian pembesar dalam sandiwara.

„Li congpeng, kau tak kecewa sebagai seorang pahlawan besar!" Yan-chiu segera memujinya. Memang orang itu adalah Li Seng Tong sendiri, siapa hanya ganda tertawa saja, tak mau menyahut sebaliknya malah berkata kepada Siaolan: „Siao-lan, kau beristirahat dulu kedalam. Sakitmu masih belum sembuh, jangan keliwat ngotot !"

Dari nada suaranya, mengunjuk perhatian sekali, diucapkan dengan ramah tamah tak memadai ucapan seorang pembesar agung. Sudah tentu Tio Jiang dan Yan- chiu heran dibuatnya.

„Apa maksud kedatangan kalian ini?" tegur Li  Seng Tong kemudian pada Tio Jiang dan sumoaynya.

„Dimanakah sekarang Cian-bin Long-kun itu?" ujar Tio Jiang. Li Seng Tong melirik pada Siao-lan sejenak, lalu menyahut: „Entahlah, punkoan sedang sibuk, harap jiwi keluar dulu !"

Yan-chiu melangkah maju setindak, katanya: „Kami mencarinya karena ada urusan penting !"

„Sst, jangan sampai Siao-lan mendengarnya. Kemaren sore, The Go telah membawa gadis she Bek itu, entah kemana!" Li Seng Tong menyahut dengan suara berbisik.

„Mengapa?" tanya Tio Jiang dan Yan-chiu serentak.

„Karena punkoan sudah kembali kepada Tay Beng, mungkin merasa berdosa besar dia lalu ketakutan sendiri!" sahut Li Seng Tong. Mendengar itu Tio Jiang segera ajak sumoaynya berlalu, karena turut gelagatnya The Go pasti sangat membutuhkan pedang pusaka kuan-wi itu. Begitu ketemu dengan Tan It-ho dia tentu jalankan usul keji itu. Yan-chiu berpaling kearah Li Seng Tong sebentar, sahutnya

: „Tunggu sebentar dulu. Li congpeng, mengapa kau sekonyong2 membaliki diri, kepada pemerintah Boan Ceng?"

Li Seng Tong menghela napas dalam. Sampai sekian lama baru dia mengucap: „Kemauan alam !"

„Huh, doa sajak apa itu ?" kata Yan-chiu seraya melangkah keluar diikuti sukonya. Ketika dijalan besar, didapati orang2 sama mengerumuni sebuah rumah cat merah dan melontari batu. Ternyata, rumah itu adalah gedung kediaman pembesar Beng yang menakluk pada Ceng. Bermula Yan-chiu juga hendak ikut2an, tapi keburu digelandang oleh sang suko. (Catatan: Peristiwa setelah berhasil menduduki Kwitang dan Kwisay lalu tiba2-Li Seng Tong berbalik menakluk pada pemerintah Beng itu, tercatat dalam buku sejarah. „Sejarah ringkas kerajaan Lam, Beng" dan „Peristiwa Kwiciu". Mengapa jenderal itu berbuat demikian, merupakan teka-teki sejarah. Yang diketahui orang, dia dipengaruhi oleh seorang wanita).

„Siao Chiu, dahulu rahayat mengutuk Li Seng Tong sebagai penghianat bangsa, tapi kini dia disanjung-puji. Jadi segala apa itu tergantun dari perbuatan orang sendiri," kata Tio Jiang ditengah perjalanan. „Ah lihat2 dulu orangnya. Kalau orang macam The Go tiba2 berobah baik, rasa2nya setanpun takkan mempercayainya!" bantah Yan-chiu. Tio Jiang terdiam. Lewat sekian lama tiba2 dia berkata:

„Jangan2 The Go kembali kegereja Ang-hun-kiong."

„Tepat, hayo kita ke Ko-to-san saja!" sahut Yan-chiu.

Begitulah keduanya segera berputar balik arah, menuju kegunung Ko-to-san.

Ko-to-san terletak disebelah selatan dari propinsi Kwiciu. Berita Li Seng Tong menakluk pada kerajaan Beng, sudah pecah diseluruh negeri. Maka disepanjang kota kecil yang dilaluinya, tampak suasana penuh dengan kawanan serdadu Ceng yang ber-bondong2 menuju kebarat. Beberapa kali mereka berjumpa dengan serdadu2 Ceng itu, setiap kali Yan-chiu tentu memberi hajaran. Tiga hari kemudian menjelang sore hari, keduanya sudah tiba dikaki gunung Ko-to-san.

„Siao Chiu, apa kita langsung menuju keatas gunung?" tanya Tio Jiang agak bersangsi. Yan-chiu leletkan lidah berkata: „Mungkin kita tak kuat melawan Ang Hwat cinjin.”

Tapi Tio Jiang berkeras: „The Go tentu sudah berada disana, kalau tak menyusul, kesana, bagaimana kita bisa mencari -Lian suci ?"

„Jadi kalau demikian, kita harus pergi?"

„Tentu !" „Ya, kalau nanti The Go tak ada kita bilang saja datang hendak mengunjuk hormat pada Ang Hwat cinjin. Sebagai seorang locianpwe, dirasa Ang Hwat cinjin tentu takkan sampai memperlakukan keras kepada kita !"

„Tapi kalau The Go ada?" tanya Tio Jiang.

Yan-chiu mengecupkan biji matanya, menjawab: ”Masakan dia bisa lari kemana?"

Begitulah setelah menanyakan letak gereja itu pada seorang penduduk, keduanya mulai mendaki keatas. Kala itu matahari menjelang turun memancarkan sinar ke- emasan. Dari jauh sudah kelihatan dinding gereja yang berwarna merah diatas puncak gunung sana. Sepintas pandang, mirip dengan segumpal awan merah. Lapat2 terdengar suara genta gereja ber-talu2 dibunyikan. Diam2 kedua anak muda itu mendapat kesan, bahwa kiranya tak kecewa gereja Ang-hun-kiong itu menjadi tempat kediaman seorang guru besar dari kalangan persilatan yang begitu dimalui orang.

Tak lama kemudian, tibalah sudah mereka disebuah lapangan diluar gereja itu. Temboknya yang menjulang tinggi, nampak megah dan perkasa. Sehingga seorang anak peremuan yang genit macam Yan-chiu, tak urung merasa tercekat hatinya. Baru mereka mendekati pintu besar, dari sebuah thing (pagoda kecil) yang terletak dimuka pintu itu, muncul dua orang to-thong kecil dengan pertanyaannya :

„Ada keperluan apa jiwi datang kemari ?"

„Siao-totiang, tolong tanya adakah Cian-bin Long-kun The Go yang termasyhur didunia persilatan itu berada disini?" tanya Yan-chiu cepat2 mendahului sukonya, karena kuatir sang suko yang tak pandai bicara itu nanti plegak- pleguk tak tegas. Sudah tentu Tio Jiang mendongkol dan deliki mata, tapi Yan-chiu menganggap sepi saja. „0oo..., kiranya jiwi hendak mencari The suko. Sejak musim rontok tahun yang lalu dia turun gunung, sampai sekarang belum pulang kemari," menerangkan kedua to- thong kecil itu.

„Masa" tiba2 Tio Jiang menyeletuk.

Kedua   to-thong  itu  kiblatkan   biji   matanya  menukas:

„Apa mungkin kau lebih tahu dari  kita yang berada disini ?"

Tio Jiang terbentur dan menyeringai. Sedang Yan-chiu yang mendongkol terpaksa tahan perasaannya, karena kuatir kesalahan dengan Ang Hwat cinjin. „Harap jiwi siaototiang jangan marah. Sukoku sebenarnya orang baik2, tapi ada sedikit cacad, yaitu agak dogol," kata Yan-chiu sambil tertawa.

”Rupanya kau ini lebih baik!" kedua to-thong itu turut tersenyum riang. Yan-chiu merasa suka dengan kedua anak gereja yang wajahnya terang berseri dan bibirnya ke- merah2an itu. „Ya, memang aku ini suka bicara. Tapi siapakah nama yang mulia dari jiwi ini ?"

Anak gereja itu hanya kurang lebih berumur dua tigabelas. Di-junjung2 dengan sebutan „siao-totiang" oleh sumoay Tio Jiang, girangnya setengah mati.  „Kami bernama Kuan Gwat dan Siang Hong, termasuk murid angkatan ke 3 dari sucou. The Go adalah suko kami," sahut mereka.

„Ai....., ai......, makanya dalam usia semuda ini sudah begitu lihay. Sungguh mengagumkan!" Yan-chiu mengobral sanjung pujian, walaupun sebenarnya kepandaian kedua anak gereja itu tak seberapa. Dasar anak2, kedua to-thong itu menganggap Yan-chiu seorang nona yang baik hati. Dan tanpa disadari, kelak Yan-chiu akan memperoleh bantuan besar ketika ia mendapat kesusahan digereja itu. Oleh karena The Go tak ada, Tio Jiang menyatakan hendak mencari suhunya saja, tapi Yan-chiu berkeras hendak menuju kegunung Sip-ban-tay-san, minta rotan besi pada suku Thiat-theng-biau. Syukur kalau The Go disana, bolehlah diberesi. Tio Jiang terpaksa menurut.

Kini kita tinggalkan dulu perjalanan kedua anak muda itu ke Sip-ban-tay-san. Mari kita jenguk keadaan The Go. Setelah dilukai Tio Jiang, dia ber-gegas2 membawa Bek Lian ke Kwiciu. Sesudah beristirahat semalam, lukanya banyak baikan. Tiba2 didengar diluar gedung ada suara hiruk-pikuk. Setelah dicari keterangan, ternyata Li Seng Tong berontak terhadap pemerintah Ceng. Sudah tentu terkejutnya bukan kepalang, karena besok paginya dia bermaksud hendak menghadap congpeng itu. Keluar dijalanan, disana sini rakyat sama ber-jubal2 ber-sorak2 dengan gempar, sedang serdadu2 Ceng sama kalut tak keruan keadaannya. Buru2 dia potong kuncirnya, lalu berganti pakaian. „Lian-moay, Li Seng Tong orang yang suka bolak balik pikirannya. Lebih baik kita pergi ketempat sucou sana saja !"

„Aku tak hiraukan kepada Ceng atau Beng dia memberontak, asal aku tetap didampingmu!" sahut  Bek Lian dihiring senyum tawanya. Tapi karena hati The Go kala itu sangat kalut, dia anggap sepi saja cinta kasih isterinya itu. Sejak mengandung, beberapa hari ini Bek Lian suka muntah2, tak suka makan. Tubuhnya makin kurus wajahnya pucat lesi. Melihat itu, rasa cinta The Go makin hari makin luntur. Adalah,karena takut terhadap Kang Siang Yan, dia terpaksa belum berani bertindak.

Begitulah dengan ber-gegas2 The Go segera ajak Bek Lian angkat kaki. Begitu tiba diluar kota, dia tepat berpapasan dengan Tan It-ho. „The-heng, wah, berbahaya sekali!" seru It-ho dengan ter-engah2. „Apanya?" The Go tak mengerti maksud kata2 orang. Tan It-ho segera tuturkan pengalamannya berjumpa dengan kedua anak murid Ceng Bo siangjin dibio kecil itu. The Go benci tujuh turunan terhadap kedua anak muda itu.

„Tanheng, bagaimana kabarnya pedang itu ?" tanyanya.

Tan It-ho lirikkan ekor mata kearah Bek Lian. Rupanya itu sebagai suatu isyarat rahasia, dan The Gopun tak mau bertanya lagi. The Go ajak Tan It-ho menginap dihotel. Malamnya mereka bertiga pesan hidangan lengkap, tapi ternyata Bek Lian tak suka makan, lalu masuk tidur lebih dulu. Melihat Bek Lian sudah pergi, baru Tan It-ho mulai membentangkan siasatnya: „Cian-bin Long-kun, siaote ada merencanakan sebuah siasat, apabila sampai menyalahi sukalah kau memaafkan !"

Sejak dijatuhkan Tio Jiang, The Go perihatin sekali. Ang Hwat cinjin mempunyai ilmu pedang Chit-sat-kiam-hwat yang saktinya bukan kepalang. Terdiri dari 49 jurus. Beberapa kali dia pernah minta ajaran itu, tetapi suhunya selalu memberi alasan, ilmu itu akan hilang kesaktiannya kalau tiada memiliki pedang pusaka yang tajam. Maka terhadap pedang pusaka kuan-wi-kiam, The Go mau mempertaruhkan segala apa asal bisa memiliki. Dengan pedang kuanwi-kiam dan ilmu pedang Chit-sat-kiam-hwat, hendak dia cuci bersih hinaan dari orang2 yang dibencinya, pada nanti pertempuran dihari pehcun. Sewaktu It-ho menerangkan bahwa pedang pusaka itu berada ditangan suku Thiat-thengbiau, perasaannya sudah longgar. Apalagi ketika It-ho mengatakan mempunyai daya, hatinya segera me-lonjak2.

Sebagai seorang durjana, Tan It-ho ber-hati2. Sebelum mengatakan lebih jauh dia celingukan kian-kemari dulu adakah ada lain orang yang mencurigakan. Ternyata disitu sepi orang, kecuali ada seorang hweshio yang sedang menjalankan tugas berkelana, tengah mengantuk dan letakkan kepalanya diatas meja. Dihadapannya tertumpuk beberapa bak-pao, sedang orangnya mendengkur keras. Tidur mendengkur atau ngorok, belum berarti orang tidur pulas betul2, bisa juga orang itu ber-pura2 saja. Ini dapat diketahui dari cara dengkuran orang itu. Sebagai seorang durjana, It-hopun dapat mempelajari adakah orang itu sungguh tidur atau  pura2. Setelah didengarnya dengan perdata, hweshio itu memang tidur sesungguhnya, barulah It-ho legah, katanya: „Thiat-theng-biau itu sangat gagah perkasa dan kebal segala macam senjata.  Dengan kekerasan, rasanya sukar memperoleh hasil.”

”Lekas katakan siasatmu itu saja. Kang Siang Yan sudah bersumpah hendak mendapatkan lagi pedang itu, kalau sampai keduluan, tentu lebih sukar lagi!" The Go - mendesak dengan tak sabar. Tan It-ho terperanjat, serunya:

„Kang Siang Yan ? Benarkah ucapanmu itu ?"

„Tan It-ho, jangan ngaco belo yang tidak2! Kalau kau dapat membantu aku sampai mendapatkan pedang itu, nanti aku ajarkan padamu 3 macam kepandaian sakti dari gereja Ang-hun-kiong menurut sesuka pilihanmu, puas ?"

Tan It-ho teramat sukanya, lalu duduk merapat pada The Go, katanya: „Tapi kepala suku Thiat-theng-biau yang bernama Kit-bong-to itu gemar sekali akan paras cantik "

„Susah...., susah...., kalau kita antar beberapa wanita cantik, masakan dia lantas menerimanya saja?" tukas The Go. Tan It-ho mendekati tujuannya: „The toako, Kit-bong- to banyak pengalamannya, terhadap wanita biasa tentu dia tak memandang mata !"

„Habis, bagaimana kemauanmu ?"

Diam2 Tan It-ho mengejek sang kawan yang biasanya membanggakan diri sebagai gudang otak, mengapa kini sedemikian tololnya. Tapi dia beranggapan lain, mungkin The Go sudah dapat menebak, tapi tak enak untuk mengatakan sendiri. „Siaote hendak mempersembahkan kata2, mohon toako jangan marah!" katanya.

The Go bersikap tenang saja. Setelah menuangkan arak dan meneguknya habis, dia berkata: „Tak apa, bilanglah!"

Lagi2 Tan It-ho celingukan keempat penjuru, setelah disitu makin sepi orang kecuali sihwesio yang masih menggeros tadi, segera dia berkata: „Puteri dari Hay-te-kau itu laksana bidadari menjelma, Kit-bong-to pasti jatuh hati!"

Mendengar itu wajah The Go berobah  seketika,  brak.    ,

brak.....dia menggebrak meja: „Tan It-ho, selama ini kuanggap kau sebagai sahabatku yang  sejati, mengapa berani mengucapkan kata2 itu?"

(Oo-dwkz-TAH-oO)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar