Naga dari Selatan BAGIAN 22 : TIGA ORANG HWESHIO DAN SEORANG PEMALSU

 
BAGIAN 22 : TIGA ORANG HWESHIO DAN SEORANG PEMALSU

Sebat luar biasa, terpaksa Tio Jiang menekankan kutungan tangkai toya itu ketanah tubuhnya segera melambung setombak tingginya. Tapi ketiga paderi itu merangsang lagi keatas. Namun murid kesayangan Ceng Bo itu tak gugup. Kutungan toya dijadikan semacam pedang, diobat-abitkan ditengah udara. Sambil meluncur turun dia mainkan jurus boan-thian-kok-hay. Memang hebat nian ilmupedang tohay-kiam-hwat itu. Ketiga tianglo itu menyingkir mundur, hingga Tio Jiang leluasa turun ketanah. Dan sekali injak tanah, dia mainkan lagi jurus hay- lwe-sip-ciu.

Hay-lwe-sip-ciu atau 10 benua didalam laut, merupakan jurus terakhir dari ilmupedang to-hay-kiam-hwat. Perbawanya dahsyat sekali. Sekalipun hanya dengan kutungan toya, namun karena lwekangnya kini maju pesat, Tio Jiang tetap membahayakan lawan, sehingga ketiga tianglo itu tak berani merapat dekat2 dan mundur lagi dua langkah. Mendapat hasil, Tio Jiang makin bersemangat. Kutungan toya, dimainkan selebat hujan. Begitulah pertandingan satu lawan tiga itu berjalan dengan seru dalam tempo yang cepat.

Se-konyong2 ketiga tianglo itu bersuit dan sama menyingkir mundur Wut....., wut....., ujung toya kutung menghantam beberapa kali kearah dampar mereka, tapi sedikitpun tidak pecah atau hancur karena dampar itu terbuat dari bahan bulu suri kera putih dari gunung Sip-ban- tay-san. Tio Jiang heran mengapa, ketiga tianglo itu main mundur bertahan diri. Padahal terang, setiap kalau ujung toya kutung menghantam dampar, tentu se-olah2 terbentur dengan suatu „tembok keras", sehingga, setiap kali itu juga Tio Jiang harus gunakan tangkisan lwekang untuk menghalau pukulan balik dari dampar itu. Baru setelah berjalan 50-an jurus, kagetlah Tio Jiang. Kedua lengannya kini terasa lemah lunglai kesemutan.

Ketiga tianglo Ci-hun-si itu adalah jago2 kawakan. Ketika didapatinya perobahan besar yang luar biasa dari perbawa permainan Tio Jiang, mereka mengatur siasat. Tak mau menyerang, melainkan bertahan, tapi tetap mengepung rapat. Senjata dampar itu, memang tepat sekali untuk menjalankan siasat bikin lemah lawan itu. Setiap kali Tio Jiang menggempur, merekapun menggunakan lwekang untuk menangkis, alhasil, lama kelamaan habislah tenaga Tio Jiang.

Tio Jiang tersadar tapi agak teriambat. Sekali lagi dia coba kerahkan tenaga, wut...., wut...., hay-li-long-hoan disusul dengan hay-lwe-sip-ciu dilancarkan, dan berhasil membuat ketiga paderi itu menyingkir mundur.  Tapi dengan serangan yang diforser itu, napas ter-sengal2, tenaga habis dan terlongong2lah dia.

„He...., he...., he....," ketiga paderi itu tertawa ter- kekeh2, „bocah, serahkan diri agar tak mengalami sakit!" Sembari mengejek, sembari mereka bertiga menghampiri maju. Dampar menggelimpang dan 3 buah thiat-sat-ciang berbareng menghantam.

Tio Jiang merasa masih ada sisa tenaga untuk melawan, tapi karena dirasakan sia2 saja, tak mau dia menangkis. Begitu ketiga tangan hitam itu melayang datang, buru2 Tio Jiang gunakan jurus terakhir dari hong-cu-may-ciu yakni yang disebut ciu-seng-hin-lan (bau arak membangunkan bunga). Begitu tubuhnya turun sampai menempel tanah, dia telah memberosot keluar dari sela2 ketiga tangan dan dampar............

„Hebat!" diam2 ketiga tianglo itu memuji dalam hati. Sukur disana pagar barisan serdadu sudah menghadang Tio Jiang yang rupanya hendak lolos itu. Tio Jiang berhasil merubuhkan beberapa serdadu, tapi belum sempat lolos ketiga tianglo itu sudah memburu datang lagi. Tio Jiang sudah mandi keringat. Kini dia kalap sudah. Tangan kiri menghantam dan tangan kanan mengayun toya kutung. Tanpa hiraukan To Ceng dan To Bu yang, sudah menghampiri didekatnya, dia menghantam se-kuat2nya pada To Kong.

Semasa kecil ketiga tianglo itu sebetulnya adalah 3 kawan yang karib. Mereka ber-sama2 menjadi paderi dan ber-sama2 pula meyakinkan ilmu silat. Persahabatan yang sudah dipupuk puluhan tahun itu sudah mendarah daging bagai saudara putusan perut. Demi melihat sahabatnya terancam bahaya besar itu, To Ceng dan To Bu batal menyerang Tio Jian, tapi segera datang menolong To Kong.

Sebenarnya karena kalap, maka Tio Jiang telah lancarkan serangan nekad tadi. Bahwa ternyata serangan itu menimbullkan reaksi lain berhubung kedua hweshio lainnya sibuk menolong, telah menyebabkan kegirangan Tio Jiang. sekali toya kutung diturunkan, dia menyapu kearah kaki ketiga paderi itu. Sapuan itu disebut tipu ngo-hou-tuan-kun- hwat, ilmu toya dari 5 harimau menerkam nyawa. Dan ketika ketiga, tianglo itu loncat keatas, Tio Jiang menyusuli lagi dengan serangan to-hay-kiam-hwat. Ketiga tianglo itu sibuk benar2 , bluk...., bluk ..... mereka menangkis dengan dampar.

Tio Jiang terperanjat, karena didapatinya toya itu hampir tetlepas dari cekalannya, suatu pertanda, kalau tenaganya mendekati habis. Buru2 dia lempar toya kutung itu dan berbareng itu loncat melejit kesamping  menyambar sebatang golok dari seorang serdadu Ceng.

Begitu ketiga paderi itu memburu, Tio Jiang menimpuk dengan golok. Dan selagi ketiga lawannya itu sibuk menangkis, dia sudah balikkan tangan kiri menghantam rubuh seorang serdadu lagi. Rupanya serdadu itu remuk tulang belulangnya. Cepat Tio Jiang mengangkat kaki serdadu itu, lalu di-putar2 terus dilemparkan kearah ketiga hweshio tadi. Ketiga tianglo itu menjadi melongo, karena selama ini belum pernah dijumpai orang berkelahi macam cara sianak muda itu. Tapi Tio Jiang tak mau ambil pusing. Susul me,nyusul dia lemparkan lagi dua orang mayat serdadu kepada ketiga lawannya itu.

Kawanan serdadu Ceng itu hanya kantong2 nasi yang tiada berguna. Menghadapi jago silat macam Tio Jiang, mereka merupakan anak kambing yang dibuat mainan oleh harimau. Dalam sekejab waktu saja, Tio Jiang telah menimpukkan 30-an serdadu. Ketiga tianglo itu terhalang dalam jarak seta tombak lebih. Mereka tak berdaya mendekati jago muda itu. Sebaliknya karena memberi basil, Tio Jiang terus gunakan cara itu.

Tapi fihak serdadu Ceng menjadi panik. Bermula mereka tampak garang hendak membunuh „seekor harimau", tapi kini ternyata harimau itu hendak menerkam mereka. Hampir 35 serdadu telah melayang jiwanya. Namun lapisan serdadu pengepung itu tak mau bubar. Sedang barisan yang terdekat dengan Tio Jiang sudah merinding dan ber- desak2an mundur, hingga saling pijak2an sendiri. Melihat itu Tio Jiang lari menghampiri dan meloncati mereka. Menghadapi tembok lapisan serdadu yang mengepung dibagian luar, bermula Tio Jiang tak mau  segera menyerang. Tapi melihat kesaktian anak muda itu, walaupun andaikata mau, mereka dapat menyerangkan senjatanya, tapi mereka lebih suka mundur menyingkir untuk memberi jalan. Tio Jiang sudah diambang pintu kebebasan.

Pada seat itu, tersadarlah ketiga tianglo tadi. Tanpa hiraukan entah mati atau masih hidupkah kawanan serdadu yang bergelimpangan desak mendesak itu, mereka loncat memburu. Belum orangnya tiba, sebuah dampar telah melayang kearah punggung Tio Jiang. Tio Jiang berputar tubuh sembari menangkap dampar itu. Namun dampar itu telah dilontarkan dengan tenaga lwekang oleh To Ceng. Benar Tio Jiang dapat menyanggapi dengan tepat, tapi begitu jarinya kendor sedikit, dampar itu jatuh ketanah.

To Ceng tianglo perdengarkan tertawa seram sembari melesat kesamping Tio Jiang, wut....., wut......, sepasang tangannya berbareng menghantam. Tio Jiang tak berdaya menangkis, dia hanya dapat miringkan tubuh kesamping menghindar. Tapi keayalan itu telah menyebabkan To Bu dan To Kong sudah tiba. To Bu mengait dengan ujung kaki dan dampar itu melayang kearah To Ceng yang segera menyambutinya. Kini tiga serangkai hweshio lihay itu kembali mengeroyok To Jiang.

Kini Tio Jiang tak mencekal senjata apa2. Bertempur - mati2an sekian lama, tenaganya sudah habis, sedang pada saat itu dia masih harus menghadapi keroyokkan dari 3 hweshio yang berilmu tinggi. Jadi kans untuk meloloskan diri, kecil atau boleh dibilang tiada sama sekali. Namun menyerah, Tio Jiang tetap berpantang. Kalau dapat membunuh seorang lawan, serie namanya. Tapi kalau dapat membunuh artinya masih untung karena dia hanya kehilangan sesosok jiwa. Demikian keputusan Tio Jiang yang sembari empos semangatnya tampak memandang tak berkesiap pada To Ceng. Tiba2 dia merangsangnya. To Ceng melejit kesamping, sedang To Bu menyerang dari kiri, brettt...... karena tak keburu menghindar separoh baju Tio Jiang telah robek !

Tio Jiang merasa terhina dan hinaan itu mendesaknya kesudut tekad: bertempur sampai mati! Dia menjemput sebuah golok lalu melancarkan 3 kali serangan gencar berturut2, menyerang kepala, perut dan kaki To  Ceng. Benar dampar dapat digunakan untuk menangkis, tapi dalam menghadapi serangan berantai yang disebut sam-ce- lian-hoan (3 bintang merangkai untai) itu, terpaksa To Ceng mundur. Serangan dibagian kepala. dan perut dapat dihindarinya, tapi karena kurang sebat kakinya telah terpapas, darahnya menyembur keluar

Tapi berbareng pada saat itu, dari belakang terasa ada angin menyamber. Cepat Tio Jiang berputar tubuh untuk mengiringi dua buah serangan. To Kong dan To Bu terpaksa mundur. Melihat caranya anak muda  itu bertempur seperti orang kerangsokan setan, ketiga tianglo itu jalankan lagi siasat. „membikin lelah" orang. Tak rnau menyerang, tapi tetap mengurungnya.

„Mengapa tak mau menyerang?" tegur Tio Jiang dengan ter-engah2. To Kong tertawa meringkik, sahutnya: „Kini walaupun Hay-te-kau sendiri yang datang, juga diharuskan menghadap Giam-lo (raja akherat) !" -

Tio Jiang menghela napas, hendak balas mendamprat tapi sayang mulutnya tak lincah. Maka tanpa mengatakan apa2, dia maju selangkah dan ayunkan goloknya. Tiba2 pada saat itu dari atas sebatang puhun terdengar suara melengking memaki : „Kepala gundul yang tak tahu malu! Kamu bertiga ekor keledai gundul tak mampu mengalahkan seorang murid Hay-to-kau saja, masa berani umbar suara menantang Hay-te-kau! Cis!, kalau Hay-te-kau  berada disini, dikuatirkan kau menjadi setan tak berkepala lagi !" Tio Jiang tertegun, lalu berseru keras: „Siao Chiu, kaukah?"

„Hi...., hi....., ya....! benar akulah, suko!" suara diatas puhun itu menyahut, „hebat benar kau tadi suko, lama sudah aku disini menyaksikan !"

Tio Jiang mendongkol, masa orang hampir melayang jiwanya......kok, malah enak2 menonton. Terlalu benar sigenit itu ! Ketika mengawasi kearah puhun, sinona itu masih tetap selincah dahulu. Dengan gerakan yang enteng, ia loncat turun ketengah gelanggang. Tapi, hai, mengapa gerakannya itu sedikitpun tak mengeluarkan suara? Ah, tentulah dara nakal itu selama dua bulan berada  dengan Tay Siang Tansu, telah berhasil „memeras" kepandaian dari hweshio besar itu. Mendadak sontak semangat Tio Jiang naik seratus derajat. Kini keduanya berdiri bahu membahu.

”Siao Chiu, apa kau sudah lama disitu tadi?"

„Belum, hanya sudah hampir dua jam!"

„Mengapa tak lekas2 membantu aku?" tegur Tio Jiang dengan mendongkol. Sebaliknya sigenit itu hanya ganda tertawa, sahutnya: „Suko, kau memiliki beberapa macam kepandaian yang istimewa. Kalau tak melihat kau satu per- satu mengeluarkan tentu aku tak dapat memintamu mengajari. Nah, kau mau mengajari aku tidak ?"

„Hayo kita lolos lulu dari sini, baru nanti bicara lagi” sahut Tio Jiang geli berbareng mendongkol. Yan-chiu mengiakan, tapi segera dia bertanya: „Suko, ape kau tidak membekal pedang? Hayo kita mainkan Hoan-kang-kiam- hwat dan to-hay-kiam-hwat."

Belum Tio Jiang menyahut, disebelah sana ketiga tianglo tadi sudah membentak: „Budak Hina, dineraka sini tiada pintu untuk keluar, masa kau ngimpi hendak lolos?! " Tatkala Yan-chiu melayang turun masuk ketengah gelanggang tadi, ketiga tianglo itu tak mau  menghadangnya. Mereka sudah merasakan pil-pahit dari sigenit, baik berupa hajaran (ketika diluitay) maupun kocokan mulutnya yang tajam. Tanya jawab antara kedua anak muda tadi yang se-olah2 menganggap sepi adanya ketiga hweshio itu disitu, telah menimbulkan kemurkaan mereka bertiga. Maka sembari membentak, mereka segera serentak maju kedekat.

„Tahan!" seru Yan-chiu sembari cabut pedangnya. Ketiga tianglo itu terkesiap, heran hendak mengapa gadis nakal itu. „Didunia persilatan ketiga tianglo dari gereja Ci- hun-si itu juga merupakan tokoh2 ternama. Tapi masa kini mengeroyok dua bocah kemaren sore saja, tak, mau memberikan senjata apa2 pada lawan!" sambil ketawa dingin Yan-chiu mengocok, sehingga saking  gusarnya ketiga tianglo itu tak dapat mengucapkan apa2 sampai sekian saat.

„Kau minta senjata apa?", tanya mereka kemudian.

Yan-chiu cekikikan girang, sahutnya: „Kamsia, kurang sebilah pedang saja!"

To Kong hweshio segera mengambil sebatang pedang dari seorang opsir. Kemarahannya tadi disalurkan kearah tangannya yang sekali menyelentik, pedang itu segera melayang kearah Yan-chiu. Tio Jiang terkejut, buru2 dia hendak maju menyanggapi, tapi telah kalah dulu dengan Yan-chiu, yang tampak menguratkan pedang pusakanya dalam separoh lingkaran, tring...... selentikan Iwekang To Kong tadi telah digurat buyar, dan jatuhlah pedang itu kebawah disambuti dengan manis oleh Yan-chiu lalu diberikan pada sukonya. Bagi Tio Jiang yang kini sudah memiliki pelbagai ragam ilmu silat itu, segera dapat mengenal gerakan tangan Yanchiu menggurat tadi adalah termasuk ilmu lwekang yang tinggi, yakni cara untuk  menyambut  ancaman lwekang berat atau yang disebut „4 tail menyambut ribuan kati". Diam2 Tio Jiang girang. Tak tahu dia cara bagaimana sumoaynya yang nakal itu, telah dapat mengeduk ilmu lwekang tinggi dari Tay Siang Siansu. Begitu menyambuti pedang Tio Jiang lalu berseru: „Jurus pertama!"

Dia mainkan jurus „Tio Ik cu hay", sementara Yan-chiu segera mainkan „Khut cu tho kang." Sepasang ilmu pedang mengalami „reuni" (pertemuan kembali) lagi dengan sasaran pertama To Kong tianglo!

Rupanya To Kong belum kenal kelihayan pasangan ilmu pedang yang termasyhur itu. Melihat orang menusuk dada, dia hanya, gunakan damparnya untuk menangkis. Mimpipi pun tidak dia kalau begitu menusuk, se-konyong2 kedua pedang itu berpencar, satu menyerang paha satu memangkas betis, Begitu tangkisan menemui tempat kosong, To Kong terperanjat. Masih untung dia  mempunyai dasar latihan selama berpuluh tahun, hingga dalam saat berbahaya itu dia masih dapat loncat mundur.

Tio Jiang dan Yan-chiu berhenti sebentar untuk menghalau, To Ceng dan To Bu yang menyerang dari samping. Begitu mereka mundur, kedua anak murid Ceng Bo itu segera merangsang To Kong lagi. Malah kali ini luar biasa sebatnya. Belum To Kong berdiri jejak, sepasang pedang itu dengan rukun sekali sudah menyongsongnya. Jurus kedua, boan-thian-kok-hay dan Pah-ong-oh-kang, dengan manis hendak „memeluk" dada, hingga saking gugupnya To Kong buang dirinya kebelakang berjumpalitan sampai 3 kali baru dapat menghindar........... Tio Jiang dan Yan-chiu tak mau kasih hati. Dengan enjot sang kaki, mereka maju mengejar sembari lancarkan jurus ketiga: „cing-wi-tian-hay" dan „it-wi-to-kang". Dalam paniknya, To Kong gunakan dampar untuk menangkis. Tapi dengan sebatnya, kedua anak muda itu berpencar. Begitu dampar lewat disisinya, tiba2 Yan-chiu bertereak:

„Kena!" ujung pedang sinona, telah masuk dua dim kedalam bahu To Kong. Untung ketika ia akan susuli lagi dengan lain tusukan, To Ceng dan To Bu keburu datang. Melihat paduan itu telah memberi hasil, yang luar biasa, Yan-chiu sangat girang sekali. „Karena Allah bersifat murah, maka untuk sementara kutitipkan dulu kepalamu itu!" damprat Yan-chiu. Lihay benar lidah nona genit itu. Sebetulnya karena diserang oleh To Ceng dan To Bu, ia terpaksa repot melayani, tapi tokh dengan garang ia masih dapat mendamprat si To Kong.

Juga Tio Jiang tak kurang girangnya atas hasil luar biasa dari sepasang ilmu pedang itu. Dia pun segera berpaling kebelakang untuk menghadapi kedua lawannya itu. Selama 7 jurus itu dilancarkan, sam-tianglo dari, gereja Ci-hun-si yang termasyhur itu tak dapat berbuat apa2. Mereka hanya bertahan tak mampu balas menyerang.

„Siao Chiu, kita harus lekas2 keluar dari kepungan ini!" dia menyerukan sang sumoay, tapi rupanya sigenit itu  masih belum puas.

”Biar kita tinggalkan dulu tanda mata pada kedua keledai gundul ini" sahutnya dan sret...... ia lancarkan jurus kang-sim-bo-lo. Karena tak keburu menghindar, empat, buah jari tangan To Ceng terpapas kutung, sehingga saking sakitnya dia meng-erang2 sambil mundur. Yan-chiu  dan Tio Jiang maju memburu, saking ketakutan To Ceng enjot kakinya   loncat  melewati   pagar   barisan   serdadu.   Ah. ,

masa  dia  dapat  loncat  jauh melalui  lapisan  serdadu yang begitu banyak, bluk....... beberapa serdadu telah keinjak jatuh. Namun tianglo gereja Ci-hun-si yang berhati kejam itu, tak ambil pusing adakah serdadu2 itu mati atau hidup, pokok asal dia sendiri bisa selamat. Begitupun To Kong dan To Bu mengikuti tindakan kawannya, menyusup masuk kedalam barisan serdadu. Oleh karena kepalanya sudah begitu, maka barisan serdadu itupun juga ikut bubar.

Sedari mendapat luka tadi, The Go ajak Bek Lian berlalu dan main pasrah saja pada anak buahnya. Sudah tentu opsir2 bawahannya itu buyar nyalinya. Kemana Tio Jiang dan Yan-chiu menerjang, disitu tentu terbit kekalutan.

„Suko ketiga keledai gundul itu sudah lari, kita balik saja untuk mengejarnya !"

Sudah sejak tadi, Tio Jiang lampiaskan kemarahannya mengamuk tentara musuh, rasanya puaslah sudah dia.

„Siao Clihi, sudahlah. Lebih baik kita lekas2 mencari suhu dan para cianpwe yang entah kemana larinya itu!" cegahnya. Yan-chiu jebikan bibir, rasanya masih belum puas.

„Baiklah, kuajarkan kau sebuah ilmu pedang  yang sakti!", buru2 Tio Jiang menghibur ketika ditengah jalan. Baru setelah mendengar itu, wajah Yan-chiu tampak berseri gembira.

Setelah melalui sebuah tikungan gunung, mereka mentiari sebuah tempat yang sepi dan melepaskan dahaga derigan, air sebuah sumber. Untuk pengisi perut, dicarinya buah2an. Sembari beristirahat itu, Tio Jiang tuturkan pengalaman selama berpisah. Ketika sampai bagian tentang kesaktian Kang Siang Yan, Siao Chiu leletkan lidahnya. Tapi ketika diceritakan soal kejahatan The Go, mulut Yan- chiu tak putus2nya menghambur makian. Malah lebih banyak makiannya daripada Tio Jiang yang menuturkan. Habis itu, kini giliran Yan-chiu yang bercerita. Ternyata ia dibawa kegunung Hoa-san oleh Tay Siang Siansu. Disitu setelah diberi pil sam-kong-tan, dalam beberapa hari saja, ia sudah sembuh kembali. „Siao Chiu, tapi dalam 2 bulan ini, kepandaianmu maju pesat sekali!" Tio Jiang menyela.

Sigenit hanya cekikikan saja, tangan dan kakinya membuat gerakan seperti hendak menerangkan sesuatu, tapi karena masih cekikikan jadi Tio Jiang tak jelas apa yang dikatakan itu. „Lucu...., lucu.... sekali! Begitu tinggi kepandaian hweshio tua itu, tapi begitu jujur juga hatinya!" seru Yan-chiu sembari mendekap pinggang untuk menahan gelaknya.

„Bagaimana?" tanya Tio Jiang melongo keheranan. Yan- chiu malah makin keras gelaknya. Setelah puas  ketawa, baru dia menyahut: „Tiga hari saja, lukaku sudah sembuh, tapi aku pura2 me-rengek2 kesakitan. Setiap hari ber-ganti2 saja yang kukatakan, kalau tidak jantungku lemah atau

pinggang pegal.... tentu..... kepala pening,....ya pendeknya ada2 saja yang kurengekkan itu. Tak henti2nya mulutku menyesali hweshio tua itu yang sudah berani menyalahi subo, sehingga akibatnya aku menderita luka berat. Karena percaya, hweshio tua itu gugup dan lalu menurunkan pelajaran ilmu lwekang kalangan Hud yang disebut 'Tay- siang Iwekang'. Ha. , senang sekali bukan, suko?"

Diam2 Tio Jiang memaki sumoaynya yang nakal itu, masa seorang Siansu atau hweshio besar berani mempermainkannya! „Siao Chiu, Tay Siang Siansu adalah seorang hweshio agung yang saleh, jadi dia tak mau membikin malu kau. Coba kau pikir, masakan tokoh semacam dia tak mengerti kalau kau pura2 sakit? Hanya karena melihat bakatmu yang bagus, maka dia tak pelit menurunkan pelajaran yang sakti itu. Selanjutnya kau harus berlaku hormat pada golongan cianpwe ya !" Dalam hati Yan-chiu mengindahkan nasehat sang suko itu, namun mulutnya tetap tak mau mengalah. „Suko, siapa yang sudi mendengari wejanganmu itu.? Kalau aku tak pura2 sakit, masakan bisa mendapat pelajaran sakti itu?"

Tio Jiang sampai beberapa saat tak dapat menjawab, akhirnya...... baru dia mengatakan: „Ya,  sudahlah, aku hanya bermaksud baik untuk kepentinganmu."

„Nah, akupun mengerti," ketawa Yan-chiu, hingga membuat Tio Jiang meringis, sambil ter-longong2 memandang sang sumoay. Ada pepatah mengatakan

„wajah seorang perawan itu berobah 18 kali". Dua bulan saja tak melihat, kini dalam pandangan Tio Jiang,  sigenit itu telah berobah Iebih cantik dan menarik.

„Suko, apakah Lian suci tak mengakui kalau sudah bertunangan padamu?" Yan-chiu alihkan pembicaraan karena jengah diawasi sang suko itu, sahut Tio  Jiang dengan suara sember. Mendengar itu Yan-chiu  menjadi geli, tanyanya pula: „Suko, apakah kau sedih ?"

Tio Jiang melengak, katanya dengan sungguh2:

„Bermula memang begitu, tapi setelah menyaksikan ia menyintai The Go dan tak cinta lagi pada bangsa Han, hatiku sembuh lagi."

Yan-chiu mendengari dengan tekun. Sambil terdiam ia tundukkan kepala memain ujung baju, wajahnya kemerah2an memancarkan sinar harapan. Tapi karena Tio Jiang tengah memikirkan persoalan Bek Lian dan The Go, jadi dia tak memperhatikan. Sampai sekian lama, baru Yan- chiu kedengaran bertanya: „Suko, aku hendak tanya padamu sepatah kata."

Kali ini Tio Jiang heran. Biasanya sumoay itu selalu tangkas bicara, mengapa kini plegak-pleguk ke-malu2an begitu. „Katakanlah!" Tio, Jiang menyuruhnya sambil mengawasi kearah sang sumoay, siapa kebetulan itu waktupun memandangnya dengan ke-malu2an. Heran Tio Jiang, mengapa mata Yan-chiu ke-merah2an seperti orang habis menegak arak.

„Tak jadi, mari kita lanjutkan perjalanan saja lagi” tiba2 Yan-chiu tundukkan kepala berseru. Dasar hatinya tak isi, maka Tio Jiang pun diam saja tak mau menanyai  lebih jauh. Dia hanya menanyakan hendak pergi kemana.

„Terserah kemana sajalah!" sahut Yan-chiu sembari melirik pula.

Karena tak mempunyai tujuan tertentu, mereka lalu jadi berangkat menurut sepembawa kakinya.

Tak berapa lama kemudian, hujan turun. Semula karena hujannya hanya rintik2, kedua anak muda itu tak menghiraukan. Setelah melewati sebuah hutan, mereka tetap berjalan. Lama kelamaan, hujan makin lebat, pada hal keduanya kini tiada tempat untuk meneduh lagi. Buru2 mereka gunakan kepandaian berlari cepat. Tak berselang berapa lama kemudian, disebelah muka tampak ada sebuah bio (biara) kecil, kedalam mana keduanya segera menyusup masuk.

Bio itu tiada palangnya pintu, juga tiada patung pemujaannya. Hujan lebat yang didera oleh angin kencang itu, masuk juga kedalamm bio tersebut, sehingga lantainya basah, Saking kecilnya tho-te-bio atau bio untuk menuju penunggu bumi (bau rekso), mereka berdua tak dapat duduk.

„Suko, hayo kita menyusup kebawah meja sembahyang itu!" seru Yan-chiu sewaktu dilihatnya dibawah meja itu kering saja, Tapi karena tempat itu sempit sekali, Tio Jiang enggan. „Mengapa diam saja, apa mau terus2an berdiri disini?" Yan-chiu ulangi ajakannya. Kali ini Tio Jiang terpaksa menurut.

Karena keliwat sempit, begitu anak muda itu masuk kebawah meja, maka sesaklah tempat itu. Apalagi karena pakaian mereka basah kuyup, jadi makin tak enak lagi. Keadaan ini berlangsung sampai beberapa saat.

„Suko, setelah Lian suci tak menyintai kau, apakah kau tak mau jatuh cinta pada lain gadis lagi?" tiba2 Yan-chiu memecah kesunyian. Bagi seorang gadis seperti Yan-chiu, sudah tentu merasa kalau pertanyaannya itu keliwat batas. Tapi apa daya? la ketarik sekali akan peribadi sang suko yang sederhana jujur dan setia dalam percintaan. Ia sendiri tak tahu entah apa sebabnya, tapi berada disamping Tio Jiang, hatinya merasa girang sekali. Sebenarnya kalau mau, ia masih boleh tinggal bersama Tay Siang Siansu untuk meyakinkan lain2 ilmu yang lebih sakti, tapi ia tak mau.  Hal ini disebabkan rasa rindunya hendak berjumpa dengan sang suko. Berkat pembawaannya yang lincah tangkas, dapat juga mulutnya mengeluarkan pertanyaan semacam itu.

9 Suko, apa selain Lian-suci, tiada orang kedua yang bisa kau cintai lagi ?" tanya Yan-chiu tiba2. Tio Jiang melengak, sampai lama sekali baru jawab: „Entahlah, aku sendiri tidak tahu."

Tio Jiang menghela napas, sahutnya: „Siao Chiu, aku sendiri tak tahu." Kata2 itu memang keluar dari isi hatinya. Setelah kehilangan gadis pujaannya, dia telah mengalami ketawaran hati jadi tak tahulah bagaimana hendak menjawab pertanyaan sumoaynya itu. Mendengar itu, sampai beberapa saat Yan-chiu terdiam, kemudian katanya

„Tio suko, aku telah ber-olok2 keterlaluan padamu. Kalau kuberitahukan apakah kau marah ?"

Huh, entah berapa kali sudah kau meng-olok2 aku, tapi aku tetap bersabar. Demikian pikirnya dan demikian pula sahutnya: „Sudah tentu tidak !"

„Malam itu. "

„Sst, diam!" tiba2 Tio Jiang mencegahnya. Sebenarnya Yan-chiu sudah ambil putusan hendak menceritakan olok2nya memberi peniti kupu2 pada itu malam. Hendak ia menerangkan, bahwa hal itu se-mata2 hanya bergurau saja disamping hendak menghibur sang suko agar lekas sembuh dari penyakitnya. Tapi baru mulai sudah terganggu dengan cegahan sang suko. Dan memang berbareng itu terdengar derap kaki orang menghampiri kebio situ. Nyata derap kaki itu menyatakan siorang tengah ber-gegas2. Maka Tio Jiang dan Yan-chiu segera menahan napas seraya saling berjabatan tangan dengan erat sekali.

„Blak!" demikian bunyi daun pintu bio ketika didorong oleh sipendatang, siapa masuk2 terus memaki: „Setan alas, hujan lebat ini !" „Memang beginilah keadaan rumah yang atapnya tiris," sahut seorang lagi. Jadi rupanya mereka itu ada dua orang. Makin lama rupanya mereka itu masuk kedalam dan menghampiri meja sembahyangan. Tio Jiang sudah terus hendak menobros keluar untuk menemui orang2 itu, tapi buru2 dicegah Yan-chiu. „Jangan, suko, lebih baik kita sembunyi disini mendengari pembicaraan mereka. Mungkin ada apa2nya yang menarik!" bisik Yan-chiu.

„Keparat, mengapa didalam bio juga basah begini!" kembali siorang Yang rupanya gemar memaki tadi keluarkan makiannya lagi. „Dibawah kolong meja sembahyangan tentu kering, hayo kita menyusup kesitu!" ajak kawannya.

Kaget Tio Jiang bukan kepalang. Buru2 dia siapkan senjatanya, siapa tahu mereka adalah lawan.

”Ah, kan kita tak lama meneduh disini, lebih baik kita duduk diatas meja itu saja!" sahut yang satu. Dan bluk. ,

bluk. , keduanya segera sudah loncat keatas meja.

„Kurang ajar!" bisik Yan-chiu dengan mengkal. Sebaliknya Tio Jiang berusaha keras untuk menahan gelinya. Tiba2 wajahnya berobah ketika mendengar salah seorang ada yang menyebut nama kawannya.  

0

Cepat Tio Jiang dan Yan-chiu menyelusup kebawah meja sembahyang ketika tiba2 mendengar suara tindakan orang mendatangi. Benar juga, dua orang telah masuk kelenteng itu dan duduk diatas meja sembayang untuk pasang omong.

„Saudara It-ho, ada urusan apa Cian-bin Long-kun mencarimu?" demikian salah seorang.

Sedang yang ditanya kedengaran menghela napas menyahut: „Dia telah mengikat tantangan dengan ketua Thian Te Hui untuk adu kepandaian digereja Ang-hun- kiong gunung Ko-to-san pada nanti pesta air (pehcun). Benar dengan Ang Hwat Cinjin sebagai andalan, dia tak jerikan lawan, namun sedikitnya diapun harus unjuk kepandaian juga. Tahu kalau akulah yang mencuri pedang Kang Siang Yan pada 10 tahun yang lalu dia hendak membelinya.”

Kata2 itu membikin terkejut Yan-chiu, siapa lalu menyikut sukonya. Tapi Tio Jiang diam saja. Dia tengah pasang telinga benar2. „Memang benar, kaum persilatan manakah yang tak mengakui bahwa Yau-sim-ban-pian Tan It-ho itu mempunyai kepandaian untuk menembus langit? Sampai pedang pusaka dari Kang Siang Yan, diapun berani mencurinya. Kabarnya pedang itu terdiri dari sepasang, laki dan perempuan. Milik Kang Siang Yan itu tentulah yang perempuan!" kedengaran pula suara dari atas meja.

„Benar, saudara Lim, pedangi itu dinamakan „kuan wi", dapat memapas logam seperti memapas lumpur. Merupakan pedang nomor satu tajamnya didunia," sahut Tan It-ho.

„Saudara It-ho, rasanya kau belum pernah mengunjukkan pedang itu diluaran, dapat siaote (aku) melihatnya barang Sejenak?" tanya yang disebut si Lim tadi. Tan It-ho kedengaran menghela napas panjang, sahutnya:

„lama pusaka itu tak berada padaku !"

„Saudara Tan, aku Hun-ou-tiap Lim Ciong, bukan yang kemaruk untung melupakan budi, mengapa kau, begitu pelit

?" kata si Lim dengann kurang senang.

Mendengar orang menyebutkan namanya sendiri itu, Yan-chiu segera membisiki sukonya: „Suko, si Hun-ou-tiap Lim Ciong itu, adalah orang yang ketika dalam pertandingan luitay di Gwat-siu-san telah dikutungi sebelah tangannya oleh Lian suci "

Kuatir kalau ketahuan orang, maka dalam membisiki sukonya itu, begitu rapat Yan-chiu tempelkan bibirnya ketelinga Tio Jiang, hingga yang tersebut belakangan itu mendapat perasaan aneh yang sukar dikatakan, sampai dia ter-longong2 tak dapat bicara.

„Janganlah saudara Lim curiga padaku, kalau benar pedang itu masih ditanganku, masa, terhadap The Go yang sudah mengurukku dengan budi besar itu, aku dapat menolaknya?" kata Tan It-ho pula.

Mendengar itu Lim Ciong mendesak dimana adanya pedang pusaka, itu. Terpaksa Tan It-ho menerangkan:

„Setelah mendapat pedang itu, karena  merasa kepandaianku tak cukup, maka aku bermaksud hendak mempersembahkannya kepada Ang Hwat cinjin dengan syarat agar cinjin itu suka mengajari aku barang satu dua macam ilmu kepandaian untuk menjaga diri. Tapi tiba2 ada seorang sahabat dari, Kwisay berkeras hendak meminjamnya, hingga terpaksa aku kesana sendiri untuk mengantarkan. Tapi sepulangnya dari, sana ketika melalui pegunungan Sip-ban-tay-san, pedang itu telah disamun oleh suku bangsa Biau ! "

„Apakah kau juga mengatakan begitu kepada Cian-bin Long-kun?" tanya Lim Ciong.

„Benar, maka dia suruh aku menuju ke Sip-ban-tay-san, mencari orang yang merampas pedang itu!" sahut Tan It- Ho.

„Suku bangsa Biau digunung Sip-ban-tay-san itu keliwat banyak jumlahnya, mana kau dapat mencarinya?"

„Orang Biau itu dari suku Thiat-theng-biau"

„Astaga, mengapa berurusan dengan suku itu?" seru Lim Ciong dengan kaget.

Mendengar itu Tan It-hoo segera menegas: „Adakah saudara Lim mengetahui tentang suku itu?"

„Tidak begitu jelas. Hanya turut pembicaraan seorang sahabat persilatan Hek-to (golongan hitam), suku Thiat- theng-biau mempunyai senjata pelindung diri yang sakti. Mereka mencari semacam rotan hutan, dijemur kering lalu dianyam menjadi sematiam perisai yang dikenakan Sebagai baju yang menutup kepala sampai ujung kaki. Rotan hutan itu disebut thiat-theng (rotan besi), kebal terhadap tusukan segala senjata tajam. Maka suku itu disebut Thiat-theng- biau, atau suku Biau daerah thiat-theng. Kepala suku dinamakan Kit-bong-to, orangnya gagah berani pandai berperang, bukan?"

Mendengar itu se-konyong2 Tan It-ho menggebrak meja, sehingga, debu yang melekat dibawahnya sama rontok  jatuh kebawah. Bukan kepalang mendongkolnya Yan-chiu, hatinya penuh dengan umpat caci tapi sang mulut  tak berani mengeluarkan.

„Saudara Lim, cerita sahabatmu itu tentu masih ada lanjutannya lagi. Kalau dapat memberikan pengunjukan jelas, kelak tentu akan kubalas budi itu!" kata Tan It-ho lagi.

Hun-ou-tiap  Lim  Ciong tertawa menyeringai, sahutnya:

„Kit-bong-to itu gemar paras elok, memang setiap orang tentu mempunyai cacad. Turut omongan sahabatku itu, Kit- bong-to mempunyai semacam obat racun yang luar biasa lihaynya. Pernah ketika disungai Cu-kang, dia mengantar dua orang gadis nelayan yang cantik. Sebagai gantinya, Kit- bong-to memberi beberapa obat racun istimewa kepada sahabatku itu."

„Hai, kalau begitu sahabatmu itu bukankah Can Bik-san yang digelari kaum Hek-to sebagai Ngo-tok-lian-cu-piau (senjata rahasia lian-cu-piau 5 racun) ?"

„Benar! Dua gadis nelayan itu cukup membuatnya mengangkat nama didunia persilatan," kata Lim Ciong. Selesai pembicaraan itu, hujanpun sudah reda. „Aku mempunyai suatu usul, entah Cian-bin Long-kun menyetujui tidak ya ?" kata Tan It-ho.

„Usul apa ?" tanya Lim Ciong. „Baru2 ini Cian-bin Long-kun telah dapat memikat seorang anak perawan bernama Bek Lian, yang cantiknya bagai bidadari turun dari kahyangan. Kalau dia mau serahkan gadis itu, kutanggung Kit-bong-to tentu akan terbang ke Nirwana!"

Baru Tan It-ho jelaskan usulnya itu, Tio Jiang sudah tak kuat menahan hatinya lagi. „Kawanan tikus, jangan lari!" serunya seraya menyundul meja itu dengan kepalanya, hingga Tan It-ho dan Lim Ciong menjadi gelagapan seperti disamber halilintar. Oleh karena ilmu silat mereka hanya biasa saja, begitu meja terbalik, merekapun jumpalitan jatuh kebawah.

Saking kesusunya, begitu meja terangkat, Tio Jiang tak dapat segera memberosot keluar, maka dia hantam saja meja itu hingga berlubang besar. Hun-ou-tiap yang sedikit lambat, telah kena dipegang kakinya oleh Tio Jiang terus dibanting ketanah. Hanya sekali Lim Ciong menjerit ngeri, dan begitu jatuh ditanah tubuhnya terkulai tak dapat berkutik lagi. Habis itu; Tio Jiang menghantamkan kedua lengannya keatas, hingga meja itu kini hancur separoh, baru dia dapat keluar. Tapi si Yau-sim-ban-pian Tan It-ho sudah tak kelihatan bayangannya.

„Siao Chiu, apa kau mengetahui bangsat she Tan itu ?"

Serunya pada Yan-chiu siapa kedengaran menyahut dari ujung tembok sebelah utara: „Aku juga sedang mencarinya disini !"

Mendengar Yan-chiu berada disebelah utara, Tio Jiang lalu memburu kesebelah barat. Tapi baru dia tiba disitu, tiba2 ada sesosok tubuh melesat keluar dan itu bukan lain Yan-chiu adanya. Tio Jiang heran dibuatnya. Terang tadi sumoay itu berada disebelah timur utara, masa kini berada disebelah barat? „Suko, kau bilang bangsat itu bersembunyi dibawah patung malaekat yang berada disebelah barat selatan sana, tapi mana buktinya?" belum Tio Jiang menanyakan, Yan- chiu sudah mendahului. Kembali Tio Jiang tertegun, karena dia tak merasa pernah mengatakan begitu. „Siao Chiu, kau sendiri tadi mengatakan sedang mencari bangsat itu disebelah utara, bukan?" kini dia balas menanya. Tak dapat membekuk Tan It-ho, Yan-chiu sudah mendongkol. Maka demi mendengar pertanyaan sukonya itu, dia segera menyahut dengan geram :

„Rupanya kau ketemu setan tadi, siapa yang berkata begitu padamu ?"

Tiba2 Tio Jiang teringat sesuatu. Sekali melesat, dia loncati tubuh Lim Ciong, terus memburu kesebelah utara timur. Kiranya dibelakang patung malaekat disitu, ada sebuah gang kecil. Dia lari menyusur gang itu, namun tetap tiada ketemu sebuah bayanganpun juga. Masih belum puas ia mencari dibelakang bio itu. Baru setelah tak mendapat hasil suatu apa, dia terpaksa balik masuk.

„Aku tak percaya kalau bangsat itu dapat lolos!" kata Yan-chiu.

„Kita diselomoti !" sahut Tio Jiang. Habis itu, dia bertanya kepada Yan-chiu lagi : „Tadi kau sangka aku mengatakan padamu kalau bangsat itu berada disebelah barat utara sini, bukan ? "

Yan-chlu mengiakan. „Itu si Tan It-ho yang mengatakan!" kata Tio Jiang. Yan-chiu terbelalak matanya, membantah :

„Ngaco belo ! Masa suaramu aku tak kenal ?"

„Memang dalam hal ilmu silat Tan It-ho itu biasa saja. Tapi dia mempunyai dua macam kepandaian yang istimewa. Kesatu, dia pandal menyaru sehingga orang tentu kena dikelabui. Kedua, dia pandai menirukan suara orang sampai persis sekali. Aku pernah menyaksikan sendiri kala dipulau Ban-san-to dia menyaru jadi suhu, sampai aku sendiri kena di selomoti! Tadi diapun tentu gunakan kepandaiannya meniru suaraku dan suaramu untuk mengacaukan kita berdua!"

Yan-chiu banting2 kaki. Tapi dibalik itu, diam2 ia kepingin juga mempelajari seni kepandaian itu. Kini mereka memeriksa Lim Ciong yang ternyata terluka parah. Lengannya yang tinggal satu itu, pun kini sudah patah. Wajahnya mengunjuk kesakitan. hebat. „Dimana si The Go sekarang, hayo lekas bilang!" bentak Tio Jiang.

„Hohan, ampunilah jiwaku!" meratap Lim Ciong ketakutan.

„The Go masih berada digedung congpeng Kwiciu sana

!"

„Huh, kau ini memang manusia jahat, sudah kutung

sebelah lengan masih, belum kapok "

„Suko, tak usah marah2 padanya!" tukas  Yan-chiu seraya angkat pedangnya.

"Lihiap, ampunilah diriku!" seru Lim Ciong ketakutan. Sekilas Yan-chiu mendapat lain pikiran.  Pedang diturunkan, hanya ujungnya saja kini ditempelkan kearah tenggorokan Lim Ciong. Dilekati alat maut  yang  sedingin es itu, Lim Ciong tegang kaku tak berani bergerak sedikitpun juga. Karena sedikit saja bergerak, tenggorokannya pasti tertutuk tembus.

(Oo-dwkz-TAH-oO) 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar