Naga dari Selatan BAGIAN 19 : IBU DAN ANAK

 
BAGIAN 19 : IBU DAN ANAK

”Bukan, kukira Lian suci tentu kena ditipu oleh orang she The itu, yang berusaha hendak memikatnya. Lian suci bukan seorang yang tak tahu budi !" sahut Tio Jiang dengan sejujurnya. Kang Siang Yan mengawasi tajam2 pada anak muda yang tampaknya ke-tolol2an itu. Pikirnya, ketika didalam goa tempo hari dengan mata kepala sendiri ia saksikan Bek Lian bersama-sama dengan The Go, mereka sangat berkasih2an nampaknya. Mengapa kini anak  itu menggigau begitu ? Tapi kalau tidak, mengapa anak itu menyimpan peniti kupu2, yang terang adalah miliknya (Kang Siang Yan) yang diserahkan pada Bek Lian? Sikap dan wajah anak itu, menunjukkan seorang yang jujur, jadi tentu tak berbohong. Akhirnya ia menarik kesimpulan, disitu tentu ada persoalannya. „Dimana sekarang Lian-ji ?"

„Diatas puncak karang lembah ini," sahut Tio Jiang seraya menuding keatas, ”karena melihat ia hendak bunuh diri loncat kebawah lembah, maka aku buru2 loncat hendak mencegah, tapi telah diserang jatuh olehnya dengan timpukan hui-to."

„Hem........." kedengaran Kang Siang Yan menggerutu terus menarik lengan Tio Jiang diajak keatas gunung, tanpa menghiraukan Kui-ing-cu lagi.

Lembah itu ternyata curam dan gundul, hanya tumbuh beberapa tanaman kecil dan sedikit rotan. Tiba2 Kang Siang Yan mengangkat tubuh Tio Jiang lalu dengan secara mengagumkan sekali bagai seekor cecak merayap, ia merayap naik keatas. Tio Jiang merasa seperti melayang diudara, angin dan kabut silih berganti lalu disisihnya. Tak antara lama kemudian, sinar matahari makin terang benderang, jadi tentu sudah hampir tiba diatas puncak lembah. Tiba2 serasa dia dilemparkan oleh Kang Siang Yan keatas, maka buru2 ia gunakan gerak „burung merpati membalik badan" dan tepat jatuh berdiri diatas tanah. Menyusul Kang Siang Yan pun tampak melayang naik.

Tio Jiang dapatkan tempat itu adalah karang yang kemarin ditempati oleh Bek Lian. Tapi heran, mengapa kini sucinya itu tiada tampak disitu ?

„Lian suci......! Lian suci......!" dia segera berteriak dengan cemas. Tiba2 didengarnya dari balik sebuah batu besar, ada suara orang menangis. Setelah memandang sejenak pada Kang Siang Yan, dia bergegas menghampiri kesana. Ha. !, kiranya disitu terdapat seorang nona cantik

tengah menangis sembari separoh ber-jongkok. „Lian suci......, aku datang, subopun juga!" serunya dengan kegirangan.

Pe-lahan2 Bek Lian mendongak, ah , mungkin sehari

semalam ini ia terus menerus menangis sehingga sepasang biji matanya benjul begap.

„Lian suci.....," bisik Tio Jiang sambil berjongkok,

„apakah Cian-bin Long-kun menghinamu ?"

„Plak......!" tepat kata2 itu berhenti, tepat mukanya ditampar Bek Lian, sudah tentu Tio Jiang ke-heran2an.

„Sudahku, katakan jangan datang kemari, mengapa kau berani datang ?" bentak Bek Lian. Tapi sembari mengusap mukanya, Tio Jiang menyahut dengan sabar: „Subo juga kemari !"

„Subo apa, kalau aku mempunyai ibu tentu tak nanti bernasib begini!" damprat sinona. Pada saat itu Kang Siang Yan tepat menghampiri, kesitu, jadi ia mendengar juga, kata2 Bek Lian itu. Kasih seorang ibu, menangkan segala. Hatinya seperti disayat sembilu, serunya: „Bek Lian, biji mataku!" Mendengar itu, Bek Lian mendongak mengawasi. Dihadapannya tampak berdiri seorang wanita yang walaupun rambutnya terurai panjang tapi wajahnya menyerupai dirinya. Wajahnya yang mengunjuk rasa kasih sayang, serta kedua matanya yang memancarkan sumber kecintaan seorang ibu, adalah yang ia cari dalam impian selama 10 tahun ini. Tanpa dapat dicegah lagi, menjeritlah ia lalu menubruk kedalam pelukan sang ibu. „Ma. ,

ma ! Anakmu ini bernasib malang!"

Ucapan itu bagaikan sembilu menyayat hati Kang Siang Yan. Sepuluh tahun mengingkari kewajibannya sebagai seorang ibu, entah bagaimana penderitaan dari sang anak yang haus dengan kecintaan ibunya itu. „Lian-ji......,  A Lian , jangan bersedih, ibumu disini !"

Bek Lian tumpahkan kesedihannya didalam dekapan dada sang ibu. Tak henti2nya tangis isaknya mengiring sang, air mata. Sepuluh tahun keduanya kehilangan satu sama lain, kini pertemuan itu menjadi curahan haru dan sesai. masing2. Sampaipun Tio Jiang yang menyaksikan, turut kucurkan air mata.

Entah sampai berapa lama kedua ibu dan anak itu menumpahkan perasaannya masing2. Tapi setelah sekian lama, menangis, kini longgarlah perasaan Bek - Lian dan akhirnya berhentilah ia menangis. „Ma......,  kemanakah kau pergi selama ini ? Mengapa begitu tega meninggalkan aku ?"

”A Lian, tambatan hatiku, ibu takkan meninggalkan kau lagi!," sahut Kang Siang Yan sambil mem-belai2  rambut Bek Lian. Adalah setelah mendengar keduanya bicara, Tio Jiang lalu menyela: „Subo, suhu masih berada di Hoasan bersama2 ke 72 Cecu mengadakan perlawanan pada tentara Ceng. Apakah subo tak hendak, menjumpainya?" Diluar dugaan, Kang Siang Yan dan Bek Lian deliki mata kepadanya, sehingga dia kembali merasa heran. Karena tak tahu bagaimana harus berbuat, dengan ter- longong2 memandang Bek Lian, dia bertanya: „Lian suci, apakah kau tak kurang suatu apa ?"

Kang Siang Yan memandang Bek Lian sebentar, lalu mengawasi Tio Jiang, tanyanya: „A Lian, sitolol itu mengatakan padaku bahwa kau telah mengikat pertunangan padanya, benarkah itu ?''

„Fui! Apa2an itu ?" sahut Bek Lian dengan jemu.

”Lian suci, malam itu bukankah kau telah memberikan persetujuan ?" tanya Tio Jiang dengan gugup.

Bek Lian melangkah setindak membentak: „Kau gila!

Malam yang mana'"

Bagi Tio Jiang malam bahagia itu diukir betul2 dalam lubuk ingatannya. „Bulan 12 tanggal 6!" sahutnya dengan tanpa ragu2.

„Edan kau!" tiba2 Kang Siang Yan membentaknya.

Wajah Tio Jiang merah padam, ujarnya; „Kalau ada sepatah kata2ku yang bohong, biarlah aku tak dapat mati dengan aman !"

”Siapa peduli dengan sumpahmu itu ?" seru Bek Lian dengan mengejek. Tiba2 Kang Siang Yan loncat maju menerkam bahu Tio Jiang yang tak keburu untuk menghindar lagi. Sesaat itu pundaknya terasa seperti dijepit oleh kait baja. „Tolol, bulan 12 tanggal 6 malam, Lian-ji tak berada di Kwiciu!" seru Kang Siang Yan.

„Ma, mengapa kau tahu ?" tanya Bek  Lian dengan kagetnya. „Kujumpai kau ber-sama2 seorang pelajar ganteng ber- gegas2 melakukan perjalanan. Bukantah dia itu murid Ang Hwat cinjin yang disebut Cian-bin long-kun The Go?" kata Kang Siang Yan dengan tertawa.

„Benar, itulah engkoh Go. Ma, aku......., aku "

„A Lian, kutahu isi hatimu. Jangan kuatir, aku dibelakangmu!" tukas Kang Siang Yan.

„Ma, tapi kini engkoh Go berada dalam tangan ayah, dikuatirkan dia tentu mendapat kecelakaan."

„Mengapa begitu ?" tanya Kang Siang Yan. Tapi belum Bek Lian menutur, Tio Jiang yang sedari tadi tak dibawa ber-cakap2, tak dapat menahan sabar lagi. „Lian suci, kalau kau benar tak memberi persetujuan pada malam itu, mengapa barang ini bisa jatuh kedalam tanganku ?" sembari menunjukkan peniti kupu2 dia berseru. Bek Lian agak kesima melihat itu, tapi ia sendiri tak tahu sebabnya. Tapi oleh karena pikirannya hanya pada The Go yang itu waktu berada dalam tahanan sang ayah, maka tak mau lagi ia hiraukan Tio Jiang.

„Tatkala aku berada diperkemahan tentara Ceng, kudengar Siao Chiu mengatakan bahwa engkoh Go sudah jatuh ditangan ayah. Ma, ketika dilautan tempo hari ayah telah memaksa kami berdua bunuh diri, kaupun tahu sendiri. Maka begitu mendengar berita itu, aku ber-gegas2 naik kegunung sana," Bek Lian mulai mengadu.

Lucu adalah tingkah Tio Jiang yang digilakan asmara itu. Waktu Bek Lian dan Kang Siang Yan hanya uplek bicara sendiri tak menghiraukannya; iapun sudah tak enak. Apalagi setelah Bek Lian menyangkal soal pertunangan itu, hati Tio Jiang remuk rendam seperti gelas dibanting diatas batu. Tanpa disadari dia berlutut sembari memandang peniti kupu2nya itu. Sikapnya seperti orang yang sudah berobah pikiran.

Kiranya sewaktu Bek Lian hendak menyusul ke Hoasan, tiba2 ditengah, jalan peluru meriam jatuh tak jauh dari situ. Bummm           bunyi menggelegar bagai halilintar memecah

bumi itu, disusul dengan terbakarnya hutan digunung situ. Puhun2 sama-ber-derak2 roboh dan apipun berkobar dengan cepatnya. Pucatlah wajah Bek Lian. Hendak kembali, ia tak tega memikirkan nasib The Go. Maka dengan gunakan ilmu berjalan cepat, ia teruskan mendaki keatas.  Tapi  berselang  berapa  lama  lagi,  bum.....,  bum. ,

bum....., bum....., kembali 4 kali dentuman menggelegar, jatuh dibelakangnya. Bek Lian makin gugup. Hari masih remang2, belum terang tanah. Ia terus mendaki keatas, tapi karena tak kenal jalanan, tiada berapa, lama ia mendengar disebelah depan sana ada suara hiruk pikuk.

Didalam tirai asap yang membungkus tempat itu, tanpa, disadari Bek Lian telah tiba dimuka sebuah Soache (markas). Orang2 dalam markas itu kedengaran ramai2 menunjuk pada bola-api (peluru) yang jatuh dilamping gunung. Diantara orang2 itu, terdapat Tieng Bo  siangjin dan si Bongkok. Maka tanpa pedulikan apa2 lagi, Bek Lian segera berteriak seperti orang gila: „Yah, dimana engkoh Go? Jangan mencelakai dia. "

Sewaktu mendengar dentuman meriam musuh, Ceng Bo, siangjin tengah memberi perintah pada anak buah markas bagaimana untuk mempersiapkan penjagaan. Demi mendengar teriakan Bek Lian tadi, bukan kepalang terkejutnya. Melihat keadaan anaknya itu sedemikian rupa, pakaiannya tak keruan, rambutnya terurai kacau dan wajahnya cemas ketakutan, buru2 Ceng Bo menobros  keluar markas. Begitu menjamret tubuh Bek Lian, terus dia enjot lagi tubuhnya melayang keatas pintu markas. Gerakan yang mengagumkan dari siangjin itu, telah mendapat sambutan tepuk sorak yang hangat dari Nyo Kong-Iim dan lain2nya.

”Dari mana kau?" tanya Ceng Bo setelah membawa Bek Lian masuk. Tapi Bek Lian tak lekas2 menjawab hanya, menyapukan matanya mencari The Go kesekeliling tempat situ. Dalam kalbunya hanya terukir seorang The Go. Tidak menjawab pertanyaan sang ayah, sebaliknya ia malah balas bertanya: „Mana engkoh Go ?" dan tanpa tunggu penyahutan sang ayah ia sudah berteriak keras2: „Engkoh Go.....! Engkoh Go ! "

Kali ini Ceng Bo siangjin betul2 hilang kesabarannya lagi.

„Budak hina, kau panggil siapa?" bentaknya dengan murka.

Bek Lian menyeringai, sahutnya: „Aku mencari engkoh Go."

Ceng Bo melangkah setindak, sekali tangan mengayun, dia tampar muka Bek Lian, plak didorong oleh amarah,

Ceng Bo telah menampar keras hingga pipi Bek Lian yang halus bagaikan bunga melati itu, menjadi benjul ke-biru2an.  

2

„Cinta itu buta,", demikian kata pepatah. Mungkin begitulah Bek Lian menjadi buta dimabuk cinta kepada The Go, sehingga ketika berhadapan dengan sang ayah, masih dia tidak sadar. Saking gusarnya, „plak", Ceng Bo Siangjin memberi tempililigan sekali kepada gadisnya itu.

„yah, pukullah aku, tapi jangan mencelakai engkoh Go!" kata Bek Lian seperti orang linglung. Melihat Ceng Bo siangjin marah, orang2 sama tak berani buka suara. Syukur si Bongkok Ih Liok yang tak tega melihat Bek Lian dihajar, lekas2 menyela: ”Nona Lian, The Go sudah lolos dari sini tak kurang suatu apa. Kami sekalian disini sedang sibuk, kau beristirahat dululah kedalam markas sana !"

Serasa longgarlah dada Bek Lian mendengar hal itu. Tanpa menghiraukan lagi mengapa si Bongkok yang biasa gagu itu bisa mendadak sontak bicara, ia serentak menyahut lega

”Ya, syukurlah kalau begitu” „Nanti masih hendak kutanya lagi, sana lekas masuk!" bentak Ceng Bo siangjin. Bek Lian menurut. Saat itu seluruh anak buah dalam markas sama keluar semua. Bek Lian men-cari2 barangkali dapat melihat sang kekasih dan benar juga tiba2 dia berteriak keras: „Engkoh Go!"

Teriakan itu telah membikin terkejut semua orang. Mereka sama mengawasi kearah yang diteriakkan  Bek  Lian. Ada seorang liaulo (anak buah) menyusup kedalam rombongan orang banyak. Hanya saja gerakan liaulo itu tangkas sekali. Terang itulah suatu ilmu mengentengi tubuh yang lihay. Sampaipun Nyo Kong-lim terbelalak kaget. Seingatnya, dalam kalangan liaulo tiada seorang yang setangkas itu.

Tapi si Bongkok sudah bertindak sebat. Sembari perdengarkan suitan, dia loncat melalui serombongan  orang, terus mengudaknya. Tapi kala itu hari masih remang2, tambahan pula markas sangat luas, untuk mencari seorang yang dandanan semacam liaulo yang berjumlah sekian banyak, bukan pekerjaan mudah. Tak lama kemudian tampak dia muncul lagi, tanyanya: „Nona Lian, benarkah tadi kau melihat The Go?"

„Ih-thocu, kenapa kini kau dapat bicara? Benar dia engkoh Go, tak nanti aku salah lihat," sahut Bek Lian. Si Bongkok dan Nyo Kong-lim saling bertukar pandangan dan pada banting2 kaki.

Memang Cian-bin Long-kun The Go itu seorang anak muda yang cerdas, penuh akal. Untuk menjaga kemungkinan yang tak diinginkan, ketika dia naik keatas Hoasan, dia mengenakan dua macam pakaian. Yang didalam pakaian liaulo, luarnya pakaiannya sendiri. Ketika dia berhasil sembuh dari tutukan, dia segera enjot kakinya melesat keluar dan diburu oleh si Bongkok. Begitu membiluk pada sebuah tikungan, cepat dia buang pakaiannya luar dan kini dengan berpakaian liaulo, dia menobros masuk kedalam rombongan liaulo. Itulah sebabnya maka si Bongkok telah kembali dengan tangan hampa.

Itu waktu Nyo Kong-lim telah mendatangkan bala bantuan dari markas yang terdekat, ditambah Yan-chiu dengan 100-an orang anak buah, maka banyaklah wajah2 baru yang satu sama lain tak saling kenal. Keadaan ini sangat menguntungkan The Go. Jika kala itu dia lantas turun gunung, tentu mudah. Tapi dia seorang yang bernyali besar. Sudah diketahui bahwa nanti terang tanah Li Seng Tong tentu akan membombarder markas itu, maka lebih baik dia menjadi colok dari dalam. Dentuman pertama, sangat menggirangkan hatinya. Tapi kegirangan itu segera tersapu seketika dengan munculnya Bek Lian.

Heran dia melihatnya, tapi demi diketahuinya Bek Lian hendak mencarinya, dia merasa puas, lalu hendak lanjutkan rencananya. Tak terduga mata Bek  Lian yang selalu terbayang wajahnya itu, telah dapat melihatnya bahkan malah meneriaki namanya. Saking gugupnya, dia terus menyusup masuk kedalam rombongan liaulo. Bek Lianpun tersadar akan kekhilafannya. Tak seharusnya ia membuka rahasia sang kekasih.

Suasana menjadi panik. Ceng Bo siangjin cepat loncat kebawah menghampiri Bek Lian. Dalam pandangan imam patriot itu, Bek Lian kini bukan anaknya, melainkan seorang kaki tangan musuh. Bek Lian segera rasakan lengannya sakit sekali sehingga menjerit: „Ayah !"

Ceng Bo tak kenal kasihan lagi. Bermula  dicengkeramnya lengan sang anak, lalu ditutuk jalan darah yang-ko, dan -ki-ti-hiat. Habis itu dipeluntirnya lengan Bek Lian, hingga nona itu sampai terputar tubuhnya, lalu ditutuk bahunya. Sekali didorong kemuka maka Bek Lian ter-huyung2 kemuka. „Ringkus gadis hina ini!" seru Ceng Bo pada kawanan liaulo.

Jiwa patriot yang perwira dari Ceng Bo siangjin itu, telah disambut dengan puji-sorak oleh semua orang. Tapi tiba2 ada orang berteriak keras2: „Api.....! Api..... !" Dan  memang dibelakang istal kuda api menjilat keatas. Kembali orang2 menjadi panik ber-gegas2 memadamkan kebakaran itu. Tapi karena dimarkas itu kekurangan air, jadi  kebakaran itu tak dapat ditolong. Si Bongkok cepat dapat menduga bahwa yang melepas api itu tentulah The Go, maka. dengan gagahnya dia menobros kesana. Adalah Nyo Kong-lim yang per-tama2 melihat ada seseorang tengah berloncatan diantara api dengan membawa sebatang obor. Dengan menggerung keras, dia maju menerjang dengan sam-ciat-kun. Memang orang itu bukan lain adalah The Go, siapa dengan sebat sekali sudah berputar badan lalu Iontarkan obor itu kearah Nyo Kong-lim.

Nyo Kong-lim seorang lurus, akalnya sederhana. Dia tak sangka kalau bakal dilontari obor. Dia cepat2 miringkan kepala menghindar, tapi kalah cepat. Separoh mukanya telah kena dicium api hingga janggut brewoknya terbakar. Dia ber-jingkrak2 murka, tapi karena keayalan itu, The Go sudah melesat kesamping untuk secepat kilat memberi tutukan pada jalan darah jip-tong-hiat didada ketua Hoasan itu. Dengan surutkan dada, Nyo Kong-lim mundur selangkah sembari hantamkan sam-ciat-kun kepinggang orang. Tapi dengan tangkasnya The Go loncat sampai 2 meter keatas. Ketika terapung diatas, dia gerakkan sepasang kakinya untuk mendupak jalan darah jin-tiong-hiat dikepala Nyo Kong-lim, siapa terpaksa harus mundur beberapa langkah  lagi.  Syukur  saat  itu  si  Bongkok  datang dan wut

.......angin pukulannya menyingkap pergi asap yang menyelimuti tempat itu. Melihat dirinya terkepung oleh dua musuh tangguh, The Go copot nyalinya. Sekali enjot sang kaki dia melesat kembali kedalam orang banyak.

Saking murkanya, Nyo Kong-lim dan Ih Liok berdua rasakan dadanya seperti mau meledak. Mereka memburu maju tapi tepat pada saat itu sebuah bola-api jatuh tepat ditengah2 markas situ. Itulah jasa The Go. Sebenarnya pasukan meriam Ceng kehilangan sasaran, tapi begitu melihat The Go memberi kode dengan lambaian obor, mereka segera lepaskan dua kali tembakan yang  tepat mengenai.

Hiruk pikuk dalam markas situ tak dapat dicegah lagi. Orang2 sama ber-teriak2 minta tolong. Kegagahan mereka copot seketika demi menyaksikan kedahsyatan peluru meriam itu. Tunggang langgang mereka hendak tinggalkan markas situ. Ceng Bo siangjin serta Nyo Kong-lim dan kawan2 hendak mencegah, tapi tiada kuasa lagi.

„Keparat! Hay-te-kau, apa daya kita?" tanyanya kepada Ceng Bo.

Siapapun tiada pilihan lagi kecuali memerintahkan:

„Mundur! Toa-cecu, mundur kemarkas ke-5 !"

Lwekang Ceng Bo siangjin sangat tinggi. Walaupun dalam kumandang dahsyat dari letusan peluru dan suasana hiruk pikuk, namun semua orang dapat mendengarnya. Nyo Kong-lim segera pimpin pengunduran. „Ih-heng, markas ini sukar dipertahankan. Mari kita berpencar mencari si Cianbin Long-kun. Kalau sampai tak dapat meringkusnya, kita tak enak hati terhadap saudara2 Hoa- san," kata Ceng Bo siangjin kepada si Bongkok, yang tampak mengiakan. Begitulah dalam, suasana yang kacau balau itu, keduanya mulai mencari.

Ternyata itu waktu The Go berada didalam ruangan paseban. Sedianya dia hendak mengumpat disitu sampai orang2 Hoasan sudah menyingkir semua. Benar dipaseban itu sudah dimakan api, tapi lebih aman rasanya daripada kalau diluar dengan resiko dapat dipergoki si Bongkok, Ceng Bo siangjin atau lain2nya. Siasatnya itu memang lihay, karena siapakah yang menduga kalau tempat yang tengah dimakan api itu dijadikan tempat bersembunyi?

Namun dia boleh mengelabuhi semua orang tapi tidak sibongkok Thay-san-sin-tho Ih Liok. Setelah sekian  lama tak dapat menemukan jejaknya, Ih Liok yakin The Go tentu bersembunyi didalam paseban. Maka tanpa hiraukan api yang men-jilat2 dia menobros masuk. Aha. , itulah dia si

Cianbin Long-kun dengan ter-tawa2 telah „bercanda" dengan letikan api yang menyerang tubuhnya. Oleh karena letikan api riuh ber-derak2, maka The Go sudah tak mengetahui kalau si Bongkok berada disitu.

Berhadapan dengan musuh lama, merahlah biji mata si Bongkok. Pertama kali The Go dapat lolos, si Bongkok sudah menganggap hal itu sebagai suatu hinaan. Maka kali ini tak mau dia lepaskan sang burung lagi. Sekali melesat maju, tangan dan kakinya berbareng menyerang. Tapi karena mendengar ada samberan angin dari samping, The Go lekas2 menghindar. Hanya saja paseban itu sudah banyak dimakan api, jadi tempat yang masih luang, tinggal tak seberapa banyak. Baru dia loncat dua tindak kesamping, disitu api sudah mengulurkan lidahnya, hingga terpaksa dia balik lagi. Kini apa boleh buat, dia undang seluruh tenaganya untuk menangkis serangan si Bongkok. Masih untung dia berkepandaian tinggi, jadi meskipun separoh tubuh menjadi kesemutan karena menerima hantaman si Bongkok, namun dia masih bisa melejit kesamping orang dan bahkan memperoleh kesempatan juga untuk menutuk jalan darah siau-yau-hiat dipinggang lawan. Si Bongkok hanya tertawa dingin. Begitu tutukan The  Go datang, cepat sekali dia putar tubuhnya hingga ujung jari sianak muda menutuk tepat pada punuk atau segumpal daging yang menonjol dipunggungnya itu. Astaga, mengapa selunak kapas? Saking terperanjat, The Go terus hendak menarik balik tangannya tapi mana dapat semudah itu! Dengan ter-kekeh2, Ih Liok berpaling sembari menerkam. Masih The Go dengan goyangkan pundaknya bisa menghindar, tapi serangan kedua dari si Bongkok sudah menyusul tiba.

„Celaka,” The Go mengeluh. Se-konyong2 „Bumm

.......", peluru tepat jatuh dipaseban itu; Dua buah tiang besar pada paseban yang sudah tengah dimakan  api, ambruk menjatuhi kepala Ih Liok siapa dengan sebatnya segera mundur.

3

Dalam keadaan kacau balau, asap tebal dan api men-jilat2 hebat. Ih Liok,si Bongkok dari Thay-san, masih terus mencecar The Go mati2an. Kala itu dia tengah „menangkap" jari The Go dengan tho-kang atau ilmu lwekang punuk. Karena kejadian tadi, perhatiannya terganggu dan ini dapat digunakan se- baik2nya oleh The Go untuk menarik keluar jarinya. Dua buah jari itu menjadi merah bengap, sakitnya bukan kepalang. Diam2 The Go menyumpahi si Bongkok yang hendak dibalasnya apa bila kelak dapat kesempatan. Begitu terlepas, The Go terus hendak lolos dari pintu, tapi mana pintu itu masih ada?

Berpaling kebelakang The Go dapati wajahnya si Bongkok itu sudah beringas seperti orang gila. Apa boleh buat, dia terpaksa menutupi mukanya dengan lengan baju, lalu menobros, dan berhasil. Tapi begitu berada diluar, segera kedengaran ada orang memanggilnya: „Engkoh Go!"

Itulah Bek Lian, dia tahu. Tapi karena sampai sekian lama matanya dihadapkan dengan api besar, jadi sesaat itu dia silau tak dapat melihat jelas keadaan disekelilingnya. Tanpa menyahut, dia membabi buta maju kemuka. Tapi baru melangkah dua tindak, ada sebuah suitan berbunyi. Ketika diawasinya, Ceng Bo siangjin tampak menghadang dimuka. Wajah siangjin itu mengunjuk kemurkaan hebat. Jeri melihat itu, The Go hendak balik saja kebelakang, tapi baru tubuhnya berputar, disana sudah kedengaran suara orang ketawa ter-kekeh2 Thay-san sin-tho Ih Liok dengan baju hangus dimakan api dan biji matanya melotot, menghampiri datang.

Dalam jepitan kedua tokoh sakti itu, The. Go merasa harinya sudah dekat. Tapi sebelum mati dia hendak berpantang ajal dahulu. Tiba2 matanya tertumbuk pada, tubuh Bek Lian yang menggeletak ditanah dengan diikat. Hatinya memaki benci, tapi lahirnya mengunjuk tawa mesra. „Lian-moay, apa kau tak terluka?" tegurnya dengan tenang. Sudah tentu Bek Lian tak tahu kebatinan orang yang dikasihinya. „Engkoh Go, aku tak kena apa2," sahutnya dengan serta merta. Bermula The Go hendak membuka mulut lagi, tapi lengan kiri-kanannya telah dicekal masing2 oleh Ceng Bo siangjin dan Ih Liok. Karena tahu akan sia2 saja, The Gopun, tak mau meronta. Malah dengan menyungging senyum dia berkata: „Jiwi locianpwe, cayhe (aku) tentu tak mungkin lolos, mengapa jiwi gunakan tenaga kuat2 begini ?"

Mendengar orang, masih bermaksud mengejek, Ih Liok murka sekali, cuh........, segumpal ludahnya menyemprot muka The Go, siapa tak dapat menghindar lagi. Sesaat itu dirasakan mukanya sakit sekali. Memang semburan ludah si Bangkok itu disertai lwekang, jadi pipi The Go seperti dihantam palu besi, rasanya. Tapi sebagai Cian-bin Long- kun atau si Wajah Seribu, benar dalam hati gusar sekali namun mukanya masih mengunjuk senyum.

”Terima kasih atas pengajaran Iocianpwe ini!" ujarnya, Mendengar itu, Ceng Bo segera, membentaknya:

„Bangsat, jangan main lidah tajam lagi ! "

Nada suara Ceng Bo sangat berwibawa, hingga tak berani lagi The Go bercuit. Dengan urat kerbau yang direndam minyak, kini The Go diikat kencang2 dan diletakkan didekat Bek Lian. Ceng Bo mencari dua batang pikulan, lalu bersama Ih Liok segera membawa mereka pergi.

Kala itu boleh dibilang seluruh anak buah sudah tinggalkan markas itu. Malah dibawah sana ada sebuah regu pasukan Ceng mulai menyerang naik. Setelab lepaskan pandangan sebentar pada keadaan markas yang mengharukan itu, Ceng Bo dan si Bongkok segera tinggalkan tempat itu menuju kebelakang gunung. Tentara Ceng pun segera membongkar kubu2 untuk lakukan pengejaran. Adalah pada saat itu, Tio Jiang dan Yan-chiu berhasil keluar dari sumur kering kemudian menuju kemarkas situ. Jadi mereka hanya menemui markas No -1 itu sudah menjadi tumpukan puing tak keruan.

Tahu kalau bakal celaka, Bek Lian tak bersedih. Mati hidup asal berdampingan dengan orang yang dikasihinya, puaslah ia. Maka selama dalam perjalanan itu, tak putus2nya ia mengajak The Go bicara. Juga The Go tak mau unjuk kecemasannya, dia tetap menyahuti dengan asyik gembiranya. Satu2nya harapan, mudah2an nanti muncul suatu pertolongan yang tak di-sangka2. Ceng Bo sudah mengambil keputusan, hendak mencari sebuah tempat sunyii lalu menghabisi jiwa kedua anak muda itu. Jadi dia antapkan saja mereka bergurau. Tidak demikian dengan si Bongkok yang tak putus2nya me-maki2.

4

Alangkah gusarnya Ceng Bo Siangjin melihat gadisnya rela menyerahkan diri kepada pemuda penghianat bangsa itu, sekali angkat tangannya, segera ia hendak gablok batok kepala kedua muda-mudi itu. Tak lama kemudian, Ceng Bo tiba2 berhenti, katanya ”Ih-heng, aku hendak melakukan sesuatu, harap Ih-heng menjadi saksi agar kaum persilatan tak mengatakan bahwa aku seorang ayah yang kurang keras, sehingga anakku perempuan melakukan perbuatan yang memalukan!"

Ih Liok cukup kenal akan perangai siangjin itu, jadi hanya mengiakan saja. Tapi tiba2 The Go tertawa menyindir: „Untuk mengejar nama kosong telah tega membunuh darah daging sendiri, itu namanya tak kenal perikemanusiaan tak tahu kebajikan."

Ceng Bo terkesiap. Diam! dia mengakui ucapan itu memang tepat. Tapi kalau teringat akan perbuatan Bek Lian dan The Go yang telah menjual bangsanya itu, hatinya keras lagi, lalu teruskan perjalanannya. Tak antara berapa lama kemudian, tibalah merelka disebuah puncak karang dimana dahulu Tio Jiang dan Yan-chiu pernah kesasar datang disitu. Setelah menurunkan kedua orang yang dipikulnya, maka dengan menghela napas panjang bertanyalah Ceng Bo

”Ih-heng, kau atau aku yang turun tangan?"

„Bek-heng, aku ada sedikit omongan, entah kau suka mendengari tidak ?" sahut Ih Liok. Ceng Bo menyuruhnya mengatakan. ,Nona Lian masih muda jadi tak tahu akan persoalan, tak selayaknya dihukum seperti bajingan ini !"

„Hati orang bisa memaafkan, tapi hukum tak boleh dilanggar!' sahut Ceng Bo setelah merenung sejenak, kemudian menghela napas lagi.

„Thocu, jangan usil. Aku tetap mau sehidup semati dengan engkoh Go, apa pedulimu ?" tiba2 Bek Lian berseru, lalu berpaling kepada The Go: „Engkoh Go, kini kita berdua sudah diambang pintu kematian, biar kuberitahu padamu, aku aku sudah berbadan dua!"

Girang The Go bukan kepalang. Tapi bukan karena sang isteri tak resmi itu sudah hamil, melainkan karena mempunyai jalan untuk lolos. Sebaliknya Ceng Bo makin meluap kemurkaannya. Dia benci anaknya yang sudah begitu memalukan itu. Tangan segera diangkat dan .........

”Jangan,” tiba2 The Go berteriak "taruh kata kedosaan Lian-moay itu pantas menerima hukuman mati, orok dalam kandungannya itu masa juga berdosa! Mengapa kau hendak lakukan perbuatan yang tak kenal peri-kemanusiaan itu !"

Benar juga Ceng Bo menjadi tertegun dan batal turun tangan. ”Ih thocu, dengarkanlah. Kalau sampai, Ceng Bo siangjin tak mengampuni pada seorang orok yang tak berdosa, apa katamu terhadap kaum persilatan ?" seru The Go.

Ceng Bo perdengarkan ketawa dingin. Begitu menjambret tubuh Bek Lian, dia segera membawanya keatas puncak karang buntu. Setelah memutuskan beberapa tali pengikat tubuh Bek Lian, dia berkata: „Disini cukup dengan puhun buah2an yang dapat kau makan sampai 7 atau 8 bulan. Sepuluh bulan kemudian, aku nanti datang kemari, mencari-mu!" Habis itu, lalu turun! lalu memikul The Go dibawa pergi.

”Bek-heng, mengapa kau tak selesaikan bangsat ini?” tanya Ih Liok

„Tak nanti dia bisa lari keatas langit. Sepuluh bulan lagi, sekalian dihukum ber-sama2. Kalau sekarang dibunuh dia tentu penasaran!" sahut Ceng Bo. Diatas puncak karang buntung itu, Bek Lian hanya dapat mengawasi kekasihnya dibawa pergi oleh sang ayah. Karena hatinya berduka, tadi Bek Lian telah tak dapat mendengar kata2 ayahnya yang mengatakan kalau The Go akan dibunuh 10 bulan kernudian. Begitu ayahnya dan si Bongkok lenyap dari pemandangan, dia makin berduka tak keruan. Sebentar nekad hendak bunuh diri loncat kebawah, sebentar merasa kasihan akan orok yang dikandungnya. Pikirannya yang sudah buta dengan cinta dan gelap dengan kedukaan tak dapat mernikir mengapa sang ayah begitu membenci sekali kepada The Go. Yang dirasakan hanya kedukaan yang kemudian berobah menjadi rasa benci. Munculnya Tio Jiang dan Yan-chiu disebelah puncak sana, telah dijadikan tumpuan arus atau bulan2 kesalahan. Baru setelah kini berjumpa dengan ibunya, ia menjadi longgar perasaannya. „Ma, berilah pertimbangan!" katanya setelah menutur, habis semua pengalamannya.

Melihat anak kesayangannya disiksa begitu macam oleh suaminya yang dalam pandangannya tetap merupakan seorang pengecut yang sangat dibencinya, maka makin menjadi2lah kemurkaan Kang Siang Yan. Ia melangkah maju menghampiri sebuah batu besar dan wut .................

tangannya menempel pada batu itu. Lama kemudian baru  ia tarik kembali tangannya itu. Sewaktu tangannya melekat, batu itu biasa saja, tak kena apa2. Tapi tangannya ditarik, maka ber-derai2lah batu itu menggemuruh rontok menjadi beberapa potongan kecil. Tapi Kang Siang Yan, tak menganggap hal itu aneh, katanya: „A Lian, mari kita pergi!"

Dengan kata2 itu, ia tampak memimpin tangan Bek Lian. Sekali mengenjot kaki, Bek Lian rasakan dirinya terbang diantara deru angin dan tahu2 kakinya menginjak dipuncak karang sebelah sana. Jadi tadi dia sudah dibawa terbang melompati jarak pemisah lembah yang lebar itu. Girang benar hati Bek Lian. Terang kepandaian ibunya itu diatas ayahnya. Oleh karena takut kalau sampai terlambat menolong sang kekasih, maka Bek Lian terus ajak ibunya lekas2 tinggalkan tempat itu.

Kebencian lama masih belum dilampiaskan kini datang lagi yang baru. Bagi Kang Siang Yan tiada kecintaan suami isteri lagi dengan Ceng Bo. Tujuan telah tetap, hendak mencari suami yang dianggap pengecut itu. Maka dengan gunakan ilmu berlari cepat, kedua ibu, anak itu segera melesat kemuka dengan pesatnya.

(Oo-dwkz-TAH-oO)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar