Naga dari Selatan BAGIAN 18 : TELUR DIUjUNG TANDUK

 
BAGIAN 18 : TELUR DIUjUNG TANDUK

Adalah karena menganggap kedua anak muda itu sepasang kekasih, maka Kang Siang Yan tergetar hatinya, maka dia tak mau balas menyerang sianak muda. Pikirannya terkenang akan sang suami yang begitu mesra sekali kasih sayangnya, namun dalam saat2 berbahaya, dia telah berlaku begitu pengecut. la menghela napas dalam. Sepasang tangannya yang sedianya sudah siap dilancarkan kepada sepasang gadis dan jejaka itu, diturunkan pula.

Melihat kesempatan itu, Tio Jiang melesat kearah Yan- chiu. Betapa tajam biasanya mulut Yan-chiu itu, namun dalam saat2 yang mengharukan itu, ia segera menyongsong kedatangan Tio Jiang itu dengan getaran jiwa raganya.

Kepalanya disusupkan kedada sang suko, air matanya membanjir dengan suara sedu-sedan.

Kang Slang Yan termenung melihatnya. Pertama, waktu nampak pemuda itu maju kehadapan untuk melindungi Yan-chiu, ia sudah symphati. Kemudian, waktu menyaksikan pemandangan yang tragis romantis itu, hatinyapun mengiri. Turut perasaannya dia tak mau melukai nona itu, tapi sang napsu amarah tetap mengatakan bahwa biar bagaimana nona yang sudah berani menipu pelajarannya itu, harus dihukum. „A-thau, apa kau masih membangkan tak mau melakukan perentahku tadi ?" tanyanya kemudian. Tapi berbareng itu, disebelah sana tampak Kui-ing-cu sudah berbangkit bangun. Kecuali wajahnya yang agak pucat, nampaknya dia tak kena apa2.

Kang Siang Yan yakin bahwa ilmunya thay-im-ciang tadi, walaupun hanya mengenai separoh, tapi biar bagaimana lihaynya orang tentu harus memerlukan 7 hari untuk bisa sembuh kembali. „Kui-ing-cu, apakah kau hendak membantu lagi pada, kedua bocah itu?" tanyanya dengan sinis.

Kui-ing-cu tertawa, sahutnya: „Kang Siang Yan, benar2 lihay ilmu thay-im-ciang mu itu! Mungkin yang menjagoi dalam dunia. Rupanya seluruh kepandaian dari Hu Liong Po, telah kau warisi semua. Sayang seorang sakti seperti Hu Liong Po itu tiada meninggalkan. keharuman nama, oleh karena perjalanan hidupnya. Kang Siang Yan, renungkanlah!"

Seharusnya orang akan tergerak hatinya mendengar nasehat mas dari Kui-ing-cu itu, namun Kang Siang Yan tetap berhati batu. „Perlu apa dengan etiket kosong itu ?" sahutnya dengan mengejek.

„Baik, kalau kau turut kemauanmu dewek, asal kami bertiga tua-muda ini bersatu, kaupun takkan berbuat banyak

!" kata Kui-ing-cu dengan nada berat. Tapi belum Kang Siang Yan menyahut, dari balik gunung sana kedengaran suara orang bersenandung: „Mengapa bersitegang leher mencari menang, damai adalah jembatan menuju kebahagiaan!"

Nampaknya senandung itu lelah dan lamban, tapi setiap patah kata me-lengking2 bagaikan martil memukul batu. Tio Jiang dan Yan-chiu heran, tapi tak mengetahui letak keistimewaan suara itu. Lain halnya dengan Kang Siang Yan dan Kui-ing-cu yang segera sama2 terperanjat, karena suara itu diucapkan oleh seorang ahli lwekang yang tinggi sekali tingkatannya. Kalau ditilik dari tingkat kepandaiannya, mungkin orang itu adalah Ang Hwat cinjin dari gunung Ko-to-san. Tapi kalau ditinjau dari senanjung itu, terang bukan. Ah, entah kawan entah lawan. Begitulah kedua tokoh lihay itu me-nimang2 sembari ber-siap2. Seorang hweshio tua yang wajahnya bercahaya merah, tubuhnya tinggi besar, mengenakan jubah pertapaan kain macao kasar, telanjang kaki dan mencekal sebatang tongkat timah yang melebihi tinggi orangnya, nampak berjalan pe- lahan2 keluar dari balik gunung. Setindak demi - setindak ia melangkah dengan tenang tapi kokoh laksana sebuah gunung. Waktu sudah dekat, nampak bagaimana sepasang alisnya yang sudah putih semua itu menjulai panjang sampai tiga dim. Rambut janggutnya jarang, hingga kelihatan tegas daging janggutnya. Per-tama dia memandang kearah Tio Jiang dan Yan-chiu, habis itu lalu berputar diri menghadap Kang Siang Yan, ujarnya: „Sian- cay...., siancay....! Sepuluh tahun tak berjumpa, kiranya li- tham (anda) sudah berubah banyak !"

Sewaktu hweshio itu tadi muncul dari balik gunung, agaknya ingat2 lupa Kang Siang Yan sudah pernah mengenalnya. Kini demi mendengar kata2nya, ia tak merasa sangsi lagi. Itulah suhu dari ketua kedua Thian Te Hui Kiau To yang disebut Tay Siang Siansu dari gereja Liok-yong-si di Kwiciu. „Bagus, toa-hweshio !" seru Kui- ing-cu. Tay Siang Siansu berpaling, setelah mengawasi sejenak, dia berkata: ”Andapun sudah terluka, apakah tak tahu ?"

„Benar, toa-hweshio, adakah kau mempunyai daya ?" tanyanya seraya diam2 mengagumi kepandaian sihweshio tua itu.

Tay Siang merogoh kedalam baju dan menyerahkan sebutir pil pada Kui-ing-cu, siapa dengan kegirangan sekali sudah lantas menelannya.

„Tay Siang Siansu, orang agama mengapa suka usilan ? Lekas menyingkir, jangan mengganggu aku!" bentak Kang Siang Yan dengan murka. Kembali sihweshio rangkapkan kedua tangannya, menyahut dengan tenang: „Siancay......! Sepuluh tahun yang lalu pinceng pernah menerima ajaran dari kalian. Ketika menderita kekalahan, bermula pinceng menyiksa diri untuk berlatih lagi guna membalas sakit hati. Tapi ternyata pelajaran Hud (Budha) itu tiada batasnya. Nyonya, sekalipun kau sekarang tusuk tubuhku beberapa kali, akupun tak nanti membalasnya !"

Ucapan itu merupakan sumber air dingin yang mengguyur tubuh Kang Siang Yan. Heran ia mengapa orang begitu meremehkan akan dendam kesumat ? Jadi terang ilmu lwekang thay-im-lian-seng itu berlawanan dengan ilmu lwekang kaum Hud dari Tay Siang Siansu. Cara jalan pikirannyapun, berbeda sekali. Petuah dari hweshio tua itu, menggetarkan sanubari orang, tapi sayang jiwa Kang Siang Yan telah keliwat mendalam diracuni dengan thay-im-lian-seng yang jahat itu.

„Kau tak menyalahi padaku, mengapa aku harus mengusikmu ? Budak ini telah menipu pelajaranku, maka akan kumintanya mengembalikan!" serunya sembari terus enjot diri kearah Yan-chiu.

Kui-ing-cu cepat2 hadangkan lengannya. Tapi gerakan Kang Siang Yan sebat, sekali. Luput yang pertama, ia melejit lagi kesamping sinona terus mencengkeram jalan darah tay-tong-hiat dipunggungnya.

Yan-Chiu rasakan tubuhnya kedinginan sekali, sehingga giginya kedengaran gemerutuk. Buru2 ia loncat kemuka, tapi Kang Siang Yan tetap membayangi. Kemana Yan-chiu hendak menghindar, kesitu punggungnya selalu masih dilekati tangan Kang Siang Yan. „A-thau, jadi kau minta aku turun tangan ?" serunya. Yan-chiu tak dapat berkutik lagi, hanya sepasang matanya mengawasi kearah Kui-ing- cu. Kui-ing-cu hilang akal. Tadi bermula dengan munculnya Tay Siang hweshio yang pernah terikat permusuhan dengan suami isteri Kang Siang Yan - Bek Ing itu, dia kira bakal terjadi perobahan. Tiada kira setelah 10 tahun mengisap pelajaran Hud itu, Tay Siang telah berobah menjadi seorang yang tawar akan segala dendam kesumat. Dia sendiri merasa belum sembuh sama sekali. Benar tadi  telah menelan pil sam-kong-tan dari Tay Siang Siansu, tapi juga masih memerlukan suatu waktu yang tertentu, baru dapat pulih betul2. Atas pandangan minta dikasihani dari Yan- chiu tadi, dia terpaksa tak dapat berbuat apa kecuali tertawa kecut.

Ternyata Kang Siang Yan telah gunakan thay-im-ciang untuk menekan punggung Yan-chiu, siapa sudah tentu tak kuat menahannya. Tubuhnya serasa demam, giginya menggigil bergemerutukan. Wajahnya berobah menjadi ke- hijau2an. Beberapa kali Tio Jiang hendak maju menerjang, tapi setiap kali dengan hanya mengebutkan lengan baju Kang Siang Yan telah dapat menggebahnya.  Beberapa jenak kemudian, tampak Yan-chiu sudah kepayahan, serunya: „Kaum agama mengagungkan welas asih, tapi kau hweshio, apakah benar2 tegah melihati aku mati ?"

Tay Siang Siansu mengawasi sejenak, lalu menghela napas, ujarnya: „Sian-cay........, nona kecil itu benar2 tak kuat menahannya, harap nyonya suka sudahi hukuman itu'."

”Kalau aku tak melepaskannya, habis mau apa?" Kang Siang Yan tertawa dingin. Adalah karena tanya jawab itu, Yan-chiu makin bertambah kesakitan. Melihat itu Tay Siang segera ulurkan tongkatnya kepada Yan-chiu: „Nona kecil, peganglah ini "  

1

„Pegang ini !" mendadak Tay Siang Siansu mengulurkan tongkatnya kepada Yan-chiu hingga anak dara itu mendadak merasa semacam tenaga hangat mengalir ketubuhnya melalui tongkat itu.

Yan-chiu menurut. Dari tongkat timah itu dirasanya ada. Hawa hawa hangat mengalir kelengannya lalu menjalar keseluruh tubuh. Melihat datang bintang penolong yang berupa penyaluran lwekang melalui tongkat, Yan-chiu makin memegang erat2 tongkat itu. Wajahnyapun tampak agak tenang. Melihat itu, Kui-ing-cu menjadi girang, tapi sebaliknya Kang Siang Yan murka sekali. Sebenarnya tadi ia tak ingatan hendak melukai sungguh2, tapi kini berobahlah pendiriannya.

„Kepala  gundul, jadi  kau mau menolong jiwa budak ini

?" tanyanya dengan bersenyum iblis. Dan sesaat itu Yan- chiu  rasakan  hawa  dingin  tadi  merangsang  lagi.  Tahu ia kalau Kang Siang Yan perhebat tenaga lwekangnya. „Toa- hweshio, aku merasa dingin lagi": serunya dengan gugup.

Tay Siang Siansu kedengaran menghafal ayat kitab Hud (Buddha) dan Yan-chiu segera rasakan hawa hangat pula. Tapi tak lama kemudian, tekanan  thay-im-ciang merangsang hebat lagi. Dengan begitu Yan-chiu telah menjadi „medan pertarungan" lwekang yang hebat.

Tay Siang tak menduga kalau Kang Siang Yan berhati seganas itu. Kini urusan sudah runyam betul, ibarat orang naik kepunggung harimau, maju mundur serba salah. Kalau dia tak perhebat saluran lwekangnya, Yan-chiu tentu tak kuat. Tapi kalau dia perhebat salurannya, Kang Siang Yan pun tentu memperhebat tekanannya juga. Dengan dirangsang hawa panas dingin begitu, wajah Yan-chiu pun sebentar merah sebentar pucat. Darahnya serasa bergolak kencang sedang pekakas dalamnya serasa bergoncang  hebat.

Tahu juga Tay Siang Siansu, dalam beberapa saat  kemudian  tentu  Yan-chiu  akan  tak  kuat  menderita   lagi.

„Nyonya,  mengapa harus merusakkan tubuh  nona kecil ini

?" katanya demi kasihan atas keadaan Yan-chiu. Tapi Kang Siang Yan sudah dirangsang kemarahan, tak  mau menyahut omongan orang. Tay Siang Siansu tak gentar menghadapi lwekang Kang Siang Yan, tapi yang  jadi korban adalah Yan-chiu sendiri nanti. Begitupun pikiran Kui-ing-cu, dan Tio Jiang yang sibuk tak keruan sendiri itu. Kalau keduanya turut mencekali tongkat itu, tentu dapat menambah tekanan fihak Tay Siang, tapi jiwa Yan-chiu pasti akan melayang! Tio Jiang putar otaknya keras2, akhirnya dia menemui jalan, serunya dengan pilu: „Lian suci....., Lian suci......! Siao Chiu mendapat kesukaran dan aku tak dapat tinggal diam. Kalau aku sampai binasa,  jangan persalahkan aku !" Sehabis berseru itu, dia merogoh keluar peniti kupu2  lalu, disisipkan ketangan Kui-ing-cu,, katanya: „Lo- cianpwe, peniti ini adalah milik seorang nona bernama Bek Lian. Apabila jiwaku melayang didasar lembah ini, tolong cianpwe serahkan benda itu padanya serta sukalah sampaikan pesanku terakhir kepadanya: „Sekalipun dalam kehidupan sekarang tak beruntung terangkap menjadi suami-isteri, tapi pada penjelmaan kemudian, kita berdua tentu akan tetap berdampingan."

Habis meninggalkan pesan, dia menerjang dengan sepasang tangan menyerang Kang Siang Yan. Belum orangnya tiba, angin pukulannya sudah men-deru2. Begitu merangsang maju, dia tutuk jalan darah wi-tiong-hiat sang subo. Karena kaget Tio Jiang meneriaki nama Lian suci, Kang Siang Yan berpaling kebelakang. Dan melihat Tio Jiang mengeluarkan peniti kupu2, wajahnya terkesiap. Hendak ia mengucap sesuatu, tapi Tio Jiang telah merangsangnya begitu kalap, sehingga terpaksa ia menggeser setengah tindak, lalu hantamkan sebelah tangannya, bum............. dalam jarak hanya 3 tindak jauhnya mendapat pukulan thay-im-lian-seng, Tio Jiang mengira kalau jiwanya pasti melayang. Tapi aneh, ketika dia menarik napas, ternyata tak merasa sakit apa2.  Tapi oleh karena dia sudah mengambil keputusan nekad untuk mengadu jiwa, maka dengan kalap dia ulangi. lagi serangannya. „Budak, dari mana kauperoleh peniti kupu2 itu ?" bentak Kang Siang Yan.

Atas bentakan itu, Tio Jiang merandek, sahutnya:

„Pemberian Lian suci !"

„Ngaco belo!" bentak Kang Siang Yan pula.

”Lian suci telah mengikat jodoh denganku, peniti kupu2 ini sebagai panjarnya, mengapa ngaco belo?" tanya Tio Jiang dengan ke-malu2an. Mendengar itu, hati Kang Siang Yan tergetar dan karena itu, tekanannya agak  kendor. Sekali didesak oleh lwekang Tay Siang Siansu akhirnya tangan itu terlepas dari punggung Yan-chiu.

Walaupun keadaannya sudah antara, sadar dengan tiada, namun pikiran Yan-chiu masih agak terang. Demi punggungnya dirasakan longgar, cepat2 ia loncat kemuka, terus berdiri diantara sihweshio dan Kui-ing-cu. Dipalu lwekang panas-dingin tadi, sebenarnya Yan-chiu sudah mendapat luka dalam. Maka ketika ia loncat kemuka, serasa bumi yang dipijaknya itu ber-putar2, wajahnya pun kelihatan pucat lesi. Sekali menjerit keras, rubuhlah ia tak ingat orang.

„Siancay....., siancay........! Karena loceng keliwat usil nona kecil ini sampai terluka, loceng tak boleh berpeluk tangan!" kedengaran Tay Siang Siansu menghela napas seraya melangkah maju mengangkat tubuh Yan-chiu lalu dibawa pergi. Kang Siang Yan hendak mengejar, tapi ia berpaling kebelakang mengawasi Tio Jiang tanyanya:

„Lian-ji terang ber-kasih2an dengan seorang pelajar ganteng, masa bertungangan padamu ? Lekas katakan !"

Setelah Yan-chiu terlepas dari bahaya, hati Tio Jiang legah sekali. Kini tak gentar lagi dia  menghadapi pertanyaan Kang Siang Yan, maka soal pertungangan itu dituturkannya, begitu pula semua pengalamannya dengan Bek Lian. Sewaktu mendengar Bek  Lian lepas hui-to sehingga Tio Jiang sampai jatuh kedalam lembah situ, murkalah Kang Siang Yan. „Jadi kau maksudkan puteriku itu seorang yang boceng, tak kenal cinta tak tahu membalas budi ?"

(Oo-dwkz-TAH-oO) 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar