Naga dari Selatan BAGIAN 17 : ADU JAGO

 
BAGIAN 17 : ADU JAGO

Ilmu “Thay-im-lian-seng" telah merobah seorang jago wanita yang berhati mulia seperti Kang Siang Yan, menjadi seorang eksentrik atau yang beradat aneh. Tiada barang sekejabpun dia melupakan peristiwa 10 tahun dipondok kaki gunung Lo-hu-san. Khusus itu adegan  dimana Ceng Bo siangjin, sang suami, serta merta bertekuk lutut meratap pengampunan pada musuh. Kenangan itu menggores dalam didalam sanubarinya, dan ini membuat ia benci sekali kepada sang suami itu.

Ikatan cinta selama 20 tahun terangkap menjadi suami isteri, telah dikikis habis oleh thay-im-lian-seng. Hilang kepercayaannya mengapa seorang jantan perwira macam sang suami dapat bertekuk lutut terhadap beberapa musuh saja. Maka dengan me-nyala2 rasa kebencian, tempo hari ia telah selulup kedalam air untuk mencari suami itu. Tapi setelah tiada berjumpa, ia naik pula kedaratan.

Ketika digoa gunung Hoasan ia menjumpai Bek Lian, timbullah kenangannya. Sepuluh tahun yang lalu, Bek Lian hanya seorang gadis kecil yang rambutnya dikepang dua. Kini sepuluh tahun kemudian ia sudah berobah menjadi seorang nona yang cantik bagaikan bidadari hidup. Rasa kecintaan seorang ibu terhadap anak, meletik pula. Dan ketika melihat sang puteri itu ber-sama2 dengan seorang pemuda ganteng, secara diam2 ia lalu mengikuti mereka ke Hokciu.

Kang Siang Yan sudah meliliki dasar ilmu kepandaian yang cukup tinggi. Ditambah 10 tahun ia berlatih keras, kini sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Keistimewaan dari ilmu lwekang thay-im-lian-seng, yalah baik memukul, menendang, bergerak maju mundur, sedikitpun tak mengeluarkan desis suara. Oleh karena itulah maka The Go dan Bek Lian tiada mengerti kalau dikuntit. Ketika ia tiba didaratan, didengarnya pasukan Ceng sudah mengepung Hoasan, malah dari seorang persilatan ia mendapat tahu, bahwa The Go juga ikut dalam pasukan Ceng itu. Terdorong hendak bertemu dengan puterinya, ia cepat2 menuju kesana.

Tiada disangka, begitu menginjak gunung ia berjumpa dengan Kui-ing-cu, siorang kurus yang tak kurang anehnya itu. Entah apa sebabnya, orang itu menghambur- hamburkan olok dan makian, kemudian memikatnya datang kedasar lembah itu. Pada pokoknya, Kui-ing-cu mengejek kepandaian dari Kang Siang Yan, sehingga keduanya bersepakat untuk adu kepandaian sampai 300 jurus, adalah karena itu, tanpa sengaja mereka dapat menolong jiwa Tio Jiang dan Yan-Chiu.

Kui-ing-cu pernah sekali berjumpa dengan Ceng Bo siangjin. Dia suka sekali akan kenakalan dan kegenitan dari Yan-chiu, yang dalam banyak hal menyerupai wataknya. Maka dia lalu merancangkan suatu akal, agar Yan-chiu bisa diterima menjadi murid-darurat dari Kang Siang Yan. Secara rahasia dia kisiki sinona supaya memakinya, dan ketika hal itu dilakukan, diapun pura2 murka lalu hendak menyerang. Untuk „membeli" kepercayaan Kang Siang Yan, dia mendampracan-chiu: „Apa katamu, budak edan ? Tadi aku hendak mengajarmu beberapa macam kepandaian supaya dapat mengalahkan anak itu, tapi kini huh, persetan! Biar kau dipukul mampus olehnya!"

„Uiii, siapa sudi kau ajari?" Yan-chiu jebikan bibir.........., „bibi ini lebih jempol dari kau,  aku sudah melihat sendiri. Kalau kau tak jeri, tentu tak minta berhenti setengah jalan begini! Bukankah kau hendak ulur waktu untuk cari kesempatan kabur ? Kalau bibi ini mau memberi sedikit pelajaran padaku, tak nanti kau dapat lolos!"

Sahut menyahut semacam ber-olok2 itu, telah membuat Tio Jiang bersimbah peluh. Kalau saja orang aneh itu keluar tanduk, tentu Yan-chiu akan celaka. Beberapa kali, dia gentak2kan kakinya untuk mencegah sang sumoay, namun tak digubris. Sebaliknya Kang Siang Yan terpikat. la, benci sekali orang kurus itu, tapi mulutnya kaku tak dapat berdebat, Bahwa Yan-chiu telah nerocos dengan mulutnya yang tajam itu, telah membuatnya tertawa puas. Se-olah2 seluruh isi hatinya untuk mendamprat siorang aneh itu, telah diwaklli Yan-chiu.

„Kui-ing-cu, dengar tidak kau ? Seorang anak saja tahu slapa yang lebih lihay, masa kau masih keras kepala?" ia menyeletuk. Melihat orang termakan jerat, Kui-ing-cu dan Yan-chiu gembira benar. Masing2 mengunjuk muka-setan dan berkatalah Kui-ing-cu: „Siapa sudi percaya kata2 seorang budak perempuan? Sudahlah, kau berani tidak terima tantanganku tadi?"

Belum Kang Siang Yan menyahut, Yan-chiu sudah mengipasi. „Mengapa bibi takut? Cukup satu macam ilmu pukulan saja, anak itu tentu kujatuhkan !"

Mendengar dirinya disebut „anak itu" dan hendak diajak berkelahi, Tio Jiang yang tak tahu akan sandiwara itu, kelabakan setengah mati, seru ya: „Yan ''

„Huh, telur busuk macam kau, siapa kesudian kau panggil ?" bentak Yan-chiu memutus kata2 Tio Jiang, siapa menjadi cep kelakep tak dapat berkata. Kui-ing-cu kenal watak Tio Jiang yang jujur, besok saja dia jelaskan hal itu, tapi sekarang agar tidak pecah rahasia, dia segera tarik lengan TIo Jiang, serunya: „Anak, ikut aku. Biar kuajarimu sebuah ilmu pukulan untuk melabrak anak perempuan kurang ajar itu !"

Tio Jiang hendak bicara tapi  tiada kesempatan lagi, karena tubuhnya terasa diseret oleh Kui-ing-cu menuju kebawah sebatang puhun.

Didesak begitu, Kang Siang Yan terpaksa menyerah.

„Baik, Kui-ing-cu, 3 jam kemudian kita suruh mereka bertempur!" serunya dengan nyaring yang  dijawab oleh Kui-ing-cu dengan kata „baik". Ilmu lwekang kedua tokoh itu sangatlah tingginya, jadi suara seruan mereka melengking tajam sekali kedengarannya.

Yan-chiu bukan kepalang girangnya, tak henti2nya ia menyebut bibi kepada Kang Siang Yan yang sudah tentu menjadi senang juga. „A-thau (budak perempuan), tunjukkan barang sejurus kebisaanmu!" katanya. „Celaka, masa belum diajari, malah disuruh mengunjukhan kepandaian," demikian Yan-chiu mengeluh. Tapi ia tak berani membantah. Untuk jangan diketahui aselinya, baiklah ia keluarkan salah satu ajaran Ceng Bo siangjin yang disebut ilmu silat Leng-wan-kun.

Sebenarnya Leng-wan-kun itu, adalah pelajaran pertama yang diterima oleh Ceng Bosiangjin ketika diwaktu muda dia belajar silat. Ketika guru Ceng Bo tengah pesiar kegunung Ngo-bi-san, dilihatnya kawanan orang utan ber- main2 loncat naik turun diantara puhun dengan tangkas sekali. Diperhatikan cara2 binatang itu bergerak, dan achirnya diciptakannyalah sebuah ilmu silacang berdasarkan gerak orang utan yang tangkas itu. Maka ilmu silat itu dinamakan Leng-wan-kun, atau silat orang utan yang tangkas. Dan ketika Yan-chiu melihat Ceng Bo siangjin memainkan ilmu itu, ia ketarik sekali dan mohon suhunya mengajarkan. Berkat bakat pembawaannya yang lincah tangkas, Yan-chiu telah dapat mempelajari ilmu itu dengan mahir sekali.

Leng-wan-kun terdiri dari 32 jurus. Setiap jurus merupakan jurus serangan. Begitu dimainkan, maka ber- tubi2lah serangan menjatuhi fihak lawan, sehingga lawan tak mempunyai. kesempatan untuk balas menyerang lagi!. Demikian setelah mengambil keputusan, Yan-chiu terus mengambil sikap hendak memulai. Tapi se-konyong2 Kui- ing-cu kedengaran berseru: „Kang Siang Yan, jauh sedikitlah, jangan mencuri lihat kepandaianku !"

Saking menahan kemarahannya tapi tak dapat mengeluarkan, Kang Siang Yan mendongak, seluruh rambutnya menjingrak kebawah dengan kencangnya. Yan- chiu dapatkan bahwa paras dari subonya (ibu guru) itu mirip sekali dengan Bek Lian.. Ah, kiranya sedemikian cantik subonya itu, tapi mengapa sepasang matanya sedemikian menakutkan ? „Bibi, bolehkah aku mewakilimu mendamperatnya ?" tanyanya.

Kang Siang Yan mengangguk.

„Biarpun kau tak menyuruh, kamipun juga pergi, karena kuatir kau curi lihat nanti bisa dibuat menjagoi dunia persilatan!" segera Yan-chiu berseru keras. Disebelah sana terdengar orang tertawa membatu roboh, diantaranya terdapat nada ketawa Tio Jiang. Diam2 Yan-chiu menduga kalau Kokonya sudah diberitahu.

Yan-chiu mengikut Kang Siang Yan menuju kebalik sebuah batu gunung. „Bibi, kepandaianku jelek harap kau suka memberi petunjuk!" katanya setelah berada disitu dan lalu bersyiap dalam gaya „kun wan kuan thian" (kawanan kera memandang langit), sepasang kaki disurutkan, tangan kiri menutup dahi dan tangan kanan mengepal. Diluar dugaan, waktu melihat itu, wajah Kang Siang Yan berobah, tanyanya „A-thau, dari mana kau pelajari ilmu silat itu ?"

Pertanyaan itu diajukan dengan nada, geram, terbukti dart suaranya yang tajam. Karena hebatnya lwekang Kang Siang Yan maka anak telinga Yan-chiu seperti ditusuk jarum, sehingga saking kagetnya ia lompat berjingkrak. Tak tahu ia apa sebabnya, tapi yang nyata dilihatnya wajah Kang Siang Yan berobah bengis. Sekilas teringatlah akan kecerobohannya. Ilmu silat Leng-wan-kun adalah pelajaran yang paling dibanggakan oleh sucouwnya (kakek guru), tentulah subonya itu mengetahui. Tolol...., tolol. ,

mengapa pertama kali ia sudah keluarkan ilmu silat itu ?! Tapi ia bukan Liau Yan-chiu kalau dalam menghadapi hal itu sudah mundur teratur. Cepat ia sudah mendapat akal, serunya: „Adalah suhuku Ma Bu Tek yang mengajarkan !"

Kang Siang Yan perdengarkan suara ter-kekeh2 yang seram, lalu setindak demi setindak maju menghampiri Yan- chiu. Sepasang matanya pencarkan sorot ber-kilau2an, sehingga hati Yan-chiu kebat kebit. Namun ia masih pura2 tenang.

„Teruskan lagi" achirnya Kang Siang Yan memberi perentah. Kini Yan-chiu sudah mendusin. Jurus pertama kun wan-kuan-hay tadi dilakukan dengan genah. Tapi jurus ke dua Yang seharus „Leng wan hi kou" (orang utan mempersembahkan buah), telah diganti begitu rupa seperti orang main pencak cakalele, tubuhnya menurun sedikit lalu kakinya bergantian menendang kesana-sini, Sembari main pencak itu, ia melirik kearah Kang Siang Yan, wajah siapa tampak berobah tenang. Heh, demikian Yan-chiu dapat bernapas legah - lagi. 

„Stop, berhentilah! Apa nama jurusmu itu?" tanya Kang Siang Yan. Sambil menarik pulang tangannya, Yan-chiu menyahut dengan tangkasnya: „Kata suhuku, itulah jurus 'Thian-he-bu-tek-kun'."

Dalam sepuluh tahun kemari, hati Kang Siang  Yan selalu direndam oleh kebencian, sehingga perangainyapun berobah eksentrik. Wajahnya sedingin es, tak pernah bersenyum. Tapi pada saat itu demi mendengar jurus

„thian-he-bu-tekkun" atau ilmu silat tiada tandingannya didunia, pecahlah mulut Kang Siang Yan menghamburkan tawa. „A-thau, kau dibohongi suhumu, mana didunia ada ilmu silat macam begitu ?"

Hati Yan-chiu serasa terlepas dari tindihan sebuah batu besar. Menuruti lagu orang, la, menyahut: „Bibi, sukalah kau mengajari barang sejurus saja yang genah!"

Kata orang „segala apa dapat diterebos, melainkan pantat kuda saja yang tidak". Ujar2 itu berlaku juga pada para   maha   wiku  dan   dewa,   apalagi   Kang   Siang Yan.

„Athau,     anggap    saja    peruntunganmu    bagus.    Untuk memenangkan pertaruhan tadi, kau bakal mendapat keuntungan besar!" katanya. Sudah tentu Yan-chiu ter-sipu2 mengiakan. Kata Kang Siang Yan pula: „Anak itu adalah murid Hayte-kau Bek Ing, sudah tentu menjadi kebanggaan Hay-te-kau. Meskipun anaknya lolok (sedikit tolol), tapi ilmu silatnya boleh juga!"

Yan-chiu heran mengapa subonya itu begitu membenci sang suhu. Namun tak berani ia bertanya.

„Untung kepandaian dari Hay-te-kau itu, dapat kufahami semua......" baru saja Kang Siang Yan bicara sampai disini, Yan-chiu memberanikan diri memutusnya: „Bibi, pernah apa kau dengan Hay-te-kau ?"

„A-thau, apa katamu ?" bentak Kang Siang Yan dengan mata beringas. Yan-chiu leletkan lidah, menyahut: “Oh, kutahu bibi ini tentu susiok (paman guru) dari dia, kalau tidak masa mengetahui kepandaiannya ?”

Kang Siang Yan menghela napas panjang „Sekarang hendak kuajarmu sebuah ihnu silacang disebut Ngo-hok- kun. Kulihat ilmu mengentengi tubuhnya cukup baik, tentu lekas dapat. Nah, lihatlah dengan perdata!" habis berkata, tiba2 meloncat keudara, bum....... tangannya menghantam kebawah, puhun2 siong didekat iitu sama bergoncang dan daunnya rontok. Kini tubuhnya me-layang2 diudara diikuti oleh samberan angin yang men-deru2. Gayanya tak ubah seperti seekor kelelawar yang me-nyambar2 diudara, penuh padat dengan kelincahan dan keindahan.

Ngo-hok-kun atau silat lima ekor kelelawar terdiri dari 26 jurus. Dengan penuh perhatian Yan-chiu mencatat semuanya itu dalam hati. Boleh dikata lebih dari separoh bagian dia telah dapat menghafalnya. Berulang kali ia mainkan iImu silat itu, dengan Kang Siang Yan tak putus2nya memberi petunjuk. Tak sampai dua jam, meskipun belum seluruhnya dapat memahami intisari kesaktiannya, namun ia mendapatkan ilmu silat itu jauh lebih hebat dari Leng-wan-kun. Didalam girangnya  ia segera berseru keras2: „Telur busuk”

Tio Jiang menyahut seraya keluar, disusul oleh Yan- chiu, siapa tanpa tanya ini itu terus saja lancarkan serangannya Ngo-hok-kun yang habis dipelajari itu. Tio Jiang memendak untuk menghindar. Demikianlah kedua

„jago" itu bersabung dengan seru. Disebelah sana sang botoh, Kui-ing-cu dan Kang Siang Yan, melihati dengan penuh perhatian.

Yan-chiu tahu kalau sukonya itu tak nanti akan melukainya, maka sembari bertempur ia memikat sukonya berada lebih jauh dari kedua tokoh aneh itu. „Suko, bikin serie saya agar kita dapat mengeduk pelajaran mereka!" bisik sinona.

„Siao - Ciu, Lian suci masih berada diatas karang!" sahut Tio Jiang. Penyahutan itu telah membuat Yan-chiu mendongkol benar, dampratnya: „Kau ini sungguh gila basa! Mengapa otakmu penuh dengan Lian suci, saja ? Apakah aku ini bukan seorang anak perempuan ? Mengapa kau tak pikiri aku ?" Tapi seketika itu Yan-chiu  meram, telah keterlaluan bicara, wajahnya menjadi merah padam. Untuk menutupi malu, dia perhebat serangannya kepada sang suko.

Melihat perobahan itu, Tio Jiang terkesiap. Dilihatnya gerak sang sumoay itu luar biasa juga. Selama dua jam dengan Kui-ing-cu tadi, dia tak diajari apa2, kecuali sedikit penjelasan tentang ilmu lwekang. Tapi ini saja cukup membuat Tio Jiang girang bukan buatan, karena kini pengetahuannya tambah maju, Maka diapun tak berani mohon pengajaran lainlnya dari orang aneh itu. Karena itu, dalam menghadapi serangan Ngo-hok-kun, dia telah menjadi kelabakan juga. Akhirnya setelah dapat meloloskan diri dengan susah payah, dia keluarkan ilmu silat ajaran Sik Lo-sam. Berkat kini ilmunya lwekang sudah dalam, jadi dapatlah dia memaksakan suatu pertandingan seri. Sampai 3 kali Yan-chiu ulangi penyerangannya Ngo- hok-kun itu, namun tetap seri. Akhirnya dia terpaksa loncat keluar gelanggang, serunya: „Pertandingan seri, nanti kita bertemu lagi!" Habis berkata begitu. ia lari menghampiri Kang Siang Yan, lapornya: „Bibi, anak itu benar lihay, aku belum dapat menjatuhkan!"

Tadi diperhatikan oleh Kang Siang Yan bahwa anak perempuan itu benar bertempur secara mati2an. Kini demi dilihatnya wajah Yan-chiu ke-merah2an, ia menduga tentu penasaran, maka iapun menghiburinya: „Sememangnya, anak itu mempunyai dasar latihan yang lebih tinggi dari kau. Kalau kini kau sudah dapat bertanding seri, itu menandakan bagaimana hebatnya Ngo-hok-kun. Jangan takut, kuajari lagi lain macam!"

Difihak lain, Kui-ing-cupun tampak mengajak Tio Jiang masuk kedalam rimba lagi. Ketika kedua „jago" itu hendak berkelahi lagi!, haripun sudah menjelang malam. Kuying-cu memotes dua buah dahan pohon siong yang  besar, lalu disulut untuk penerangan. Lagi2 dalam pertempuran yang kedua kali itu, keduanya tetap main seri, Kui-ing-cu keluarkan olok2nya, yang dibalas dengan tepat oleh Yan- chiu. Dalam kesempatan yang luang, Kui-ing-cu telah menyusupkan kata2nya kepada Yan-chiu: „Budak, ilmu lwekang dari wanita Itu tinggi sekali, dalam waktu sesingkat ini tak nanti kau, dapat mempelajarinya, Tapi ia mempunyai sebuah ilmu pedang yang sakti yalah yang disebut Hoan-kang-kiam-hwat, (ilmu pedang membalikkan sungai), Besok pagi hendak ku usulkan pertandingan dengan senjata. Kau harus pura2 kalah, agar ia suka mengajarkan ilmu pedang itu !"

Dalam dua kali bertempur itu, Yan-chiu telah memperoleh kemajuan yang pesat sekali. Sudah tentu ia ingin mendapat pelajaran lebih banyak lagi, maka iapun mengangguk. Malam itu Yan-chiu diajak Kang Siang Yan berburu kelinci hutan, yang dipanggangnya untuk dahar malam. Untuk tempat tidur, mereka menumpuk daun puhun. siong buat sebagai pengganti kasur.

Keesokan harinya pagi2 sekali, Yan-chiu sudah dibangunkan Kang Siang Yan. Saat itu kedengaran Kui-ing- cu berkaok2: „Kang Siang Yan, lekas suruh jagomu keluar menerima hajaran !"

Yan-chiu terus saja hendak maju, tapi dicegah oleh kang Siang Yan, serunya: „Kui-ing-cu, hari ini aku belum mengajarinya, kau mau bertanding apa ?"

„Ya, ya, benar. Dengan tangan kosong kurang menarik, apa kau berani bertanding dengan senjata ?" balas Kui- ingcu.

„Hm, mengapa tidak ?" sahut Kiang Siang Yan, tapi sesaat itu dia teringat kalau Tio Jiang adalah murid kesayangan Hay-te-kau. Sudah tentu anak itu faham ilmu pedang to-hay-kiam-hwat (menjungkirkan laut).  Dalam ilmu thay-im-lian-seng, tiada terdapat pelajaran menggunakan senjata. Untuk memenangkan pertandingan, ia harus mengajarkan ilmu pedang Hoan-kang-kiam-hwat pada Yan-chiu. Setelah menentukan langkah, berkatalah ia kepada Yan-chiu: „A-thau, ambillah setangkai dahan !"

Yan-chiu girang sekali. Perintah itu berarti ia akan diajari ilmu pedang. Maka dengan cepatnya diapun sudah memutus setangkai dahan puhun siong. Kang Siang Yan beberapa kali tebaskan tangannya, hingga dahan itu kini menjadi runcing seperti pedang. „A-thau, ilmu pedang ini, lain dari yang lain. Aku akan memainkan lambat2, supaya kau dapat mengerti jelas !"

Habis itu, Kang Siang Yan pindahkan dahan itu  ditangan kiri, sedang tangan kanan lalu ber-gerak2 ngimbangl. „Bibi, mengapa pedang itu dimainkan dengan tangan kiri ?" tanya Yan-chiu.

„Benar, ilmu pedang ini memang khusus diperuntukkan kaum wanita, gerakannya sangat halus tangkas dan harus, dimainkan dengan tangan kiri. Sudahlah, jangan banyak bertanya, perhatikan saja !" jawab Kang Siang Yan. Yan- chiu tak berani bertanya lagi. Tampak Kang Siang Yan ber- putar2 diri, ujung pedang mengacung keatas. Tiba2 sekali berputar, ujung itu diguratkan dalam bentuk sebuah lingkaran kecil, kemudian tak hentinya di-kibas2kan achirnya ditusukkan kemuka. Gerakan ilmu pedang itu memang luar biasa, maka Yan-chiupun memperhatikan sepenuhnya.

„Jurus ini dinamakan „Pah-ong oh-kang" (baginda Pahong. melintasi sungai Hitam). Coba kau lakukan!" kata Kang Siang, Yan sembari berikan dahan itu kepada Yanchiu. Setelah menirukan hampir sejam lamanya, baru Kang Siang Yan mengajari lagi jurus kedua.

Ilmu pedang Hoan-kang-kiam-hwat dan To-hay-kiam- hwat, adalah sepasang. Sama2 terdiri dari 7 bagian jurus. Seperti jurus2 pada To-hay-kiam-hwat, pun jurus2 dari Boan-kang-kiam-hwat itu mempunyai nama2 aneh, yakni: Pah-ong-oh-kang, Kut-ji-tho-kang, It-wi-tok-kang, Kang- sim-poh-lo, Kang-cui-kiu-jiok, Kang-te-yong-cwan dan Kang-cui-kui-tang. Baru mempelajari jurus kelima, Yan- chiu sudah setengah mati girangnya. Melihat anak itu lekas sekali menangkap pelajaran, Kang Slang Yanpun girang. Setelah ke 7 jurus itu diajarkan semua, disuruhnya Yan-chiu mengulang. lagi seluruhnya. Pada ketika Kang Siang Yan anggap permainan Yan-chiu sudah cukup, haripun sudah dekat tengah hari. Mereka dahar lagi santapan hasil hutan situ. Lupa Yan-chiu akan rencananya semula. Dengan memiliki ilmu pedang yang lihay itu nanti hendak unjuk gigi membuat kaget sang suko. Biarkan suko itu mendapat tanda mata berupa lubang tusukan pada bajunya. Hm. , garangnya! Kuatir waktunya

tak mengidinkan, setelah meruncingkan dahan itu lagi, Yan-chiu loncat keluar dan berseru: „Keluarlah hai, bujang! Biar kukirim kau ke Se-thian (akherat) !"

Biasanya ia selalu membahasakan „suko" pada  Tio Jiang, kini mendapat keaempatan bagus, berulang kali dia memanggil „bujang atau telur busuk" sampai puas. Dalam setengah harian itu, lagi2 Kui-ing-cu hanya memberi penjelasan mendalam tentang ilmu lwekang, hingga makin sempurnalah pengertian Tio Jiang akan ilmu itu. Mendengar tantangan sinona, Tio Jiangpun lalu memotes setangkai dahan. Tanpa sungkan lagi. Yan-chiu segera buka serangan dengan jurus pertama „Pah-ong-oh-kang", dan untuk itu Tio Jiang gunakan jurus „Tio Ik cu-hay" (Tio Ik memasak laut). Sewaktu menyerang itu, tubuh keduanya mendorong maju, tapi anehnya, kedua dahan masing2 melayang kesamping, sehingga kini mereka saling berhadapan muka sedemikian rapatnya, se-olah2 orang membisiki kawan seperti orang bertempur.

Yan-chiu terperanjat dan kuatir kalau2 diketahui rahasianya oleh Kang Siang Yan. Kini buru2 dia berganti dengan jurus Kut-ji-tho-kang (Kut Gwan mencebur kesungai). Tapi astagafirullah! Lagi2 kedua dahan itu masing2 lewat disisinya, bahkan kini lengan keduanya seperti orang saling merangkul.

Yan-chiu makin heran. Jurus ketiga ia lancarkan, pun mengalami nasib serupa saja. Demikan-jurus kelima dan keenam. Tatkala menginjak jurus ke 7, atau jurus yang terakhir yang semestinya merupakan jurus yang terlihay, senjata keduanya saling berbentur. Tubuh Yan-chiu menjorok kebelakang, sedang tangan kiri Tio Jiang tepat menjulur kemuka dan dengan tepatnya merangkul pinggang sumoay itu. Merah padam wajah kedua anak muda itu. Cepat2 keduanya loncat menyingkir. „Bibi, runyam ni!" seru Yan-chiu.

Kang Siang Yan sendiripun tak mengerti. Kang Siang Yan mengasah otak dan tiba2 tersedarlah ia. Ternyata sepasang ilmu pedang itu, harus dimainkan oleh pasangan pria-wanita untuk menghadapi musuh. Dan ini baru mengunjukkan kesaktiannya. Tapi kalau pria dan  wanita Itu saling bertempur sendiri, tiada seorangpun yang akan dapat melukai kawannya. Sewaktu Kang Siang Yan dan Hay-te-kau masing2 mempelajari ilmu pedang itu,. mereka masih ber-kasih2an, jadi tak pernah terlintas dalam pikirannya untuk bertempur sendiri. Apa lagi peraturan perguruan menetapkan, siapa pun juga tidak boleh mencuri lihat kepandaian saudara seperguruannya, Jadi keduanya tak mengerti akan keindahan dari ilmupedang masing2. Setelah menyelesaikan pelajarannya, mereka terangkap menjadi suami isteri, jadi tak pernah bertempur. Oleh  karena itu, mereka gelap akan inti kebagusan kedua ilmu pedang itu. Baru kini Kang Siang Yan terbuka matanya.

Memikir sampai disitu, terdengar ia menghela napas. la, menduga, pencipta dari sepasang ilmu pedang itu, tentu sudah mengerti akan kehidupan sepasang suami isteri atau sepasang kekasih. Bagaimanapun juga, tetap ada kemungkinan bahwa suami isteri itu akan timbul perpecahan atau percekcokan. Bermula bibit itu kecil saja, tapi jurang salah paham itu makin lama makin lebar dan achirnya jadilah suatu pertentangan hebat. Apabila kedua suami isteri itu sampai bertempur, masing2 tiada dapat tercelaka. Malah kedua ilmupedang itu digubah sedemikian rupa, sebingga dapatlah pasangan yang sedang menuruti kemarahan hati masing2 itu, akan tersedar dan berakhir dengan suatu perdamaian dan kerukunan kembali. Ah, tentulah pencptanya itu seorang yang pernah mengalami badai gelombang penghidupan didalam melayari bahtera hidupnya.

Pikiran Kang Siang Yan melayang jauh akan masa kehidupan suami-isteri dengan Bek Ing. Adakah disitu terselip suatu kesalahan faham ? Ah, ia menyaksikan hal itu dengan mata kepala sendiri, masa bisa keliru! Maka dalam sekejab saja kenangan Itupun lenyap dalam pikirannya.

„Kang Siang Yan, bukantah kita serie namanya ? Maaf, aku tak dapat menemani lama2 !" seru Kui-ing-cu.

„Jangan kesusu pergi dulu! Masa hanya sekali bertanding senjata, lantas sudah!" cepat Kang Siang Yan mencegahnya, sembari merebut dahan kayu yang dicekal Yan-chiu turut tertarik kemuka dan jatuh, cring.........sebuah benda jatuh keluar dari dalam bajunya. Yan-chiu menjadi pucat dan buru2 hendak mengambilnya, tapi kalah cepat dengan Kang Siang Yan yang sudah menyambarnya. Melihat rahasia telah pecah, dengan gugupnya Yan-chiu mundur hampai 10 tindak seraya melambaikan tangan pada Kui-ing-cu.

Begitu melihat benda itu, wajah Kang Siang  Yan berobah murka besar. Kiranya benda itu adalah thiat-hoan (gelang besi) pemberian Kui-ing-cu ! Gelang yang melingkar macam ular itu, adalah ciri peribadi dari Kui-ing-cu. Setiap orang persilatan sama memakluminya. Misalnya ketika pertempuran diluitay gunung Gwat-siu-san tempo hari, toa- ah-ko Thian Te Hwe yani Ki Ce-tiong pun mengenali benda itu sebagai milik Kui-ing-cu, apalagi seorang tokoh macam Kang Siang Yan.

Kini jelaslah Kang Siang Yan akan persoalannya, Dirinya dijadikan, bulan2 sandiwara kedua orang itu, yang maksudnya supaya ia menurunkan pelajaran silat pada sinona. Sudah tentu marahnya bukan kepalang, sehingga seluruh rambut kepalanya sama menjingkrak lempang. Dalam wajahnya yang cantik itu, terlihat juga raut muka yang menyeremkan orang. „Setan cilik, besar  sekali nyalimu ya ?!"

Yan-chiu mundur lagi sampai sepuluhan. tindak, namun Kang Siang Yan menyeringai seram: „Setan cilik, kau naik kelangit, aku susul kelangit. Kau masuk kebumi aku kejar kesana. Apa abamu ?"

Kini Yan-chiu yang main mundur itu sudah. tiba disamping Kui-ing-ciu. „Lo-cianpwe, tolonglah aku!" serunya dengan meratap. Tapi Kui-ing-cu siorang aneh itu malah terkekeh-kekeh, sahutnya: „Apa bukan 'telur busuk' lagi ?"

Melihat sorot mata Kang Siang Yan memancar buas dan sikapnya sudah siap menyerang, wajah Yan-chiu menjadi pucat, dia meratap gugup sekali: „Lo-cianpwe, jangan bergurau lagi!" ,

“A-thau, kemana larinya kecerdasanmu biasanya itu ?" balas Kui-ing-cu dengan tenang2. Memang karena jeri akan kesaktian Kang Siang Yan, Yan-chiu sudah menjadi ketakutan sedemikian rupa. Sepatah kata darl Kui-ing-cu itu telah menyadarkannya. Resiko itu, dia sendiri yang harus menghadapinya, karena toh ia sendiri yang berbuat. Sesaat itu timbullah nyali ya. Dengan mendapat ketenangannya lagi, ia berseru, kepada Kang Siang Yan: „Subo, lain kali  aku sungguh tak berani lagi!" ,

Mendengar dirinya disebut „subo" (ibu guru),  Kang Siang Yan termangu. Diam2 dia anggap gadis itu keliwat cerdik sehingga dirinya, sampai kena dikelabui mentah2. Pertama kali sewaktu mempertunjukkan ilmu silat Lang- wan-kun, memang ia sudah curiga, Tapi karena pandainya gadis itu mainkan rolnya, sehingga kini dengan serta merta ia telah turunkan pelajaran yang sakti2. Kalau dulu, mungkin Kang Siang Yan akan menyudahi begitu saja urusan itu, tapi kini setelah kemasukan hawa jahat dari ilmu thay-im-lian-seng, sudah menjadi kerangsokan setan. Sekali bergerak tampak dia melesat kearah Yan-chiu, Kui Ing-cu dan Tio Jiang. Melihat sikapnya, ia tentu akan menyerang. Tapi entah bagaimana, terpisah tujuh delapan tindak jauhnya, tiba2 ia berhenti dengan serentak. Benar2 ia telah menguasai puncak kesempurnaan ilmunya, sehingga

„kalau bergerak seperti kelinci, jika diam bagaikan gunung", artinya ia dapat menguasai gerak-geriknya dengan tepat. Yan-chiu bertiga kagum sekali atas gerakan wanita tersebut yang mengunjuk sampai dibatas mana ilmu lwekangnya.

Kui-ing-cu tahu kalau wanita itu amat murka, sehingga wajahnya sedemikian pucat. Sahutnya: „Kedua anak ini mengakui kau sebagai subo. Dalam pertemuan pertama, seharusnyalah kalau memberi sedikit hadiah, mengapa kau begitu pelit ?"

Kang Siang Yan termenung diam. Memang peristiwa pertengkarannya dengan sang suami, sudah menjadi buah tutur orang persilatan. Walaupun begltu, tak mau ia menerangkan kepada Kui-ing-cu. Dalam keheningan suasana itu, tiba2 Kui-ing-cu ulurkan tangan mencubit lengan Yan-chiu, sehingga nona itu menjerit kesakitan. Kang Siang Yan terkesiap, adalah detik2 kesiap itu, secepat kilat Kui-ing-cu melesat kearahnya dan tahu2 Kang Siang Yan rasakan matanya ber-kunang2. Tahu ia kalau orang telah menyerang dengan tiba2, hal mana telah menimbulkan kegusarannya. Tak kurang sebatnya, ia menebas dengan thay-im-ciang yang tak bersuara itu. 

Kui-ing-cu takut kalau Kang Siang Yan menghancurkan gelang besinya itu. Gelang besi itu merupakan ciri peribadinya, dengan dirusak orang, hilanglah mukanya. Maka tadi dia telah nekad untuk merebutnya. Tapi perbuatan itu telah menimbulkan kemarahan Kang Siang Yan. Kalau kepandaian Kang Siang Yan lemah, tentu. Kui- ing-cu akan dapat mencapai maksudnya, tapi wanita itu setingkat kepandaiannya dengan dia, malah ilmunya thay- im-ciang luar biasa berbahayanya karena tidak mengeluarkan suara hingga orang sukar untuk menolaknya.

Baru tubuh keduanya berbentur sejenak, atau secepat itu pula sudah saling berpencar lagi. Benar gelang telah terampas oleh Kui-ing-cu, tapi pundaknyapun kena terbentur dengan samberan pukulan thay-im-ciang. Bagaimana lihaynya, terpaksa dia menggigil juga tubuhnya. Itu saja dia hanya terkena separoh bagian dari  pukulan maut tersebut. „A-thau, sambutilah ini !" serunya melemparkan gelang besi kepada Yan-chiu. Habis itu, dia lalu duduk bersila mengambil napas. Kang Siang Yan memandangnya dengan menyeringai, ujarnya : „Kui-ing-cu, kau telah termakan thay-im-ciangku, kalau kuhajar lagi dirimu, adalah semudah orang membalik telapak tangan. Tapi kau tentu tak mau mengaku kalah. Kalau kau masih mau mengukur kepandaian, tunggulah sampai 7 hari, lagi!" Kata2 itu ditutup dengan,sebuah tawa dingin.

Melihat tiang-pelindungnya terluka, Tio Jiang dan Yan- chiu sangat terperanjat. Tio Jiang menyembat sebatang dahan puhun sebesar lengan, melangkah kehadapan sumoaynya, hal mana telah membuat sinona sangat berterima kasih.

Biasanya ia sangat cerdas, tapi entah bagaimana pada saat itu otaknya macet, tak dapat memikir jalan lolos. Tampak ia kepalkan kedua tangannya sendiri yang basah dengan keringat itu.

Kang Siang Yan perdengarkan suara ketawa, yang kumandangnya makin dekat. Dan berbareng dengan itu Kang Siang Yan loncat - merangsangnya. Tio Jiang menyambut dengan sebuah tusukan dahan kayu tadi, tapi sesaat itu Juga sikunya terasa dipijat keras dan tahu2 dahan itu sudali pindah ketangan Kang Sang Yan, siapa sudah loncat beberapa tindak kebelakang. „Kalian berdua ini, tidak berharga membikin kotor tanganku! A-thau, lekas kembalikan kepandaianku tadi. baru nanti kuampuni!" serunya kepada Yan-chiu, lalu gerakkan. dahan kayu tadi yang secepat kilat sudah lantas melayang kearah Yan-chiu. Yan-chiu mau menghindar, tapi sudah tak keburu lagi, sret

.......dahan kayu itu menancap masuk kedalam sebuah batu karang yang berada beberapa centi dimukanya. Tangkainya tak henti2nya bergoncang !

Saking takutnya, Yan-chiu mengucurkan keringat dingin.

„Lekas lakukan sendiri!" kembali Kang Siang Yan membentak yang dimaksud dengan „mengembalikan Ilmu" yalah suruh Yan-chiu mengutungi sendiri kaki tangannya, sehingga menjadi seorang invalid. Kui-ing-cu terluka, sedang ia dan sukonya bukan lawan wanita itu. Saking bingungnya, ia lalu menangis, ratapnya : „Subo, aku berjanji tak gunakan kepandaian dari ajaranmu tadi. Kalau harus mengutungi kaki tangan, artinya pelajaranku sendiri dulu juga turut hilang, bukantah ini tak adil !"

Yan-chiu masih berusia muda, jadi lugu pembicaraannya itu pun masih mengunjuk sifat kanak2. Dalam menghadapi ancaman sehebat itu, kata2nya masih lucu kedengarannya. Juga Tio Jiang tak kurang kagetnya. Dia menghampiri dan dengan kerahkan tenaganya, cabut dahan kayu yang menancap pada karang tadi. Kala mendengar ratapan Yan- chiu, diapun tergetar hatinya. Dipandangnya wajah Kang Siang Yan untuk mengharap kemurahan hatinya, namun agaknya hati Kang Siang Yan sudah membatu. „A-thau, berani berbuat berani menanggung resiko. Kalau berayal dan sampai aku terpaksa turun tangan, akibatnya akan lebih hebat !" serunya.

Kali ini Tio Jiang tak kuasa menahan perasaannya lagi!. Mulutnya menyatakan apa yang dirasa oleh sang hati, ”Subo, Siao Chiu sudah berjanji tak akan menggunakan pelajaran darimu, mengapa kau mendesaknya ? Masakan orang tak dapat menerima perasaan orang ?" serunya dengan tabah. Mendengar itu, Kang Siang Yan mendongak tertawa, rambutnya menjigrak kencang, lalu dengan suara yang bagaikan guntur menyambar, berkata: „Kalau aku tak mau menerima, habis kau mau apa ? A-thau, lekas kerjakan sendiri!"

Tio Jiang segera angsurkan dahan kayu tadi pada Yan- chiu, siapa kedengaran bertanya dengan heran: „Suko, adakah kau juga maukan aku melakukan perentah itu ?"

Tio Jiang membungkuk untuk mengambil sebatang ranting kecil sera ya berbisik: „Siao Chiu, sedikitnya kita berharap dapat bertahan sampai beberapa jurus!"

„Suko, mana kita bisa menandinginya ?" ,

„Itu bukan soal, asal kita tak mati sia2!"

Tanya jawab itu didengar juga oleh Kang Siang Yan. Dia benci kepada sang suami karena suaminya itu dianggap berlaku pengecut. Bahwa TIo Jiang telah berlaku gagah untuk melindungi sumoaynya, ia terpikat Juga. „Baiklah, biar aku mengalah sampai 3 jurus!" serunya dengan tertawa dingin.

Tiga jurus, mungkin ada perobahan, demikian pikir Yan- chiu siapa terus pindahkan „pedang" ketangan kiri, lalu membuat sebuah gerakan hingga menerbitkan lingkaran sinar. Habis itu, maju selangkah ia menusuk dengan gerak jurus Hoan-kang-kiam-hwacang pertama yakni Pah-ong-oh- kang. Ilmu pedang itu baru saja ia pelajari dari Kang Siang Yan. Melihat sumoaynya sudah bertindak, Tio Jiang pun maju dengan serangannya Thio-Ik cu-hay. Sepasang ilmu pedang yang sakti, saling bertemu pula dalam menghadapi bahaya. Yang satu dari kanan dan yang lain dari kiri, berbareng menyerang dengan serentak.

Untuk serangan pertama itu Kang Siang Yan sesuai dengan janjinya, hanya menghindar kesamping, sehingga serangan kedua anak muda tadi menemui tempat kosong. Tio Jiang tak mau buang tempo, secepat kilat merobah gerakannya dengan jurus Boan-thian-ko-hay, ujung kayu menuju kearah tenggorokan Kang Siang Yan, sedang berbareng itu Yan-chiupun lancarkan jurus kedua Khut-ji- tho-kang. Dua buah serangan itu merupakan pasangan yang tiada bandingannya lagi, yang satu menyerang yang lain bertahan.

Tapi kepandaian Kang Siang Yan sudah mencapai tingkat yang sukar diukur. Dengan hanya melangkah setindak, dapatlah ia menghindar. Tapi Tio Jiang tetap membayangi, dengan sebuah serangan lagi. Sedang disana Yan-chiupun sudah memutar tubuh lalu menyerang dari belakang Kang Siang Yan. Satu dimuka satu dibelakang. Sinar pedang me-lingkar2, perbawanya hebat benar. Sekali kurang cepat, lengan baju Kang Siang Yan telah kena tertusuk oleh dahan Tio Jiang, baru ia enjot tubuhnya loncat melewati kedua samberan pedang lawan. Pengalaman itu telah memaksanya berpikir dan mengakui betapa kehebatannya sepasang ilmu pedang. itu, Misalnya kedua anak muda itu yang dalam tingkat kepandaian masih kalah beberapa kali lipat ganda darinya, namun sekali kurang hati2, hampir saja tadi ia terluka. Terkenang ia akan mesa kejayaannya ber-sama2 sang suami menjagoi dunia persilatan. Selama itu belum pernah ia mendapat tandingan. Tapi kini hanya tinggal ia seorang diri dan memikir sampai disini, kemarahannya berkobar lagi, serunya: „Tiga jurus sudah lampau, aku yang turun tangan atau kau mengerjakan sendiri'"

Waktu ujung dahannya menusuk lengan baju  Kang Siang Yan, Tio Jiang rasakan ada suatu tenaga dahsyat menyampoknya. Mau tak mau Tio Jiang harus mengakui betapa hebat ilmu lwekang sang subo itu. Jangankan hanya dia dan Yan-chiu, sekalipun ditambah 20 orang lagi, rasanya masih belum mampu melawannya. Tapi karena urusan sudah sampai sekian macam, lebih baik terus menggempur daripada melihat sang sumoay kutung kaki tangannya, Maka iapun segera memberi isyarat Yan-chiu untuk menyerang lagi.

Dengan perdengarkan suara tawa dingin, lengan baju Kang Siang Yan mengibas kemuka Yan-chiu dan tahu2 tangannya sudah mencekal dahan Yan-chiu, terus hendak menariknya. Tapi berbareng itu, Tio Jiang sudah menusukkan dahannya kejalan darah thian-tho-hiat ditenggorokannya, sehingga terpaksa Kang Siang Yan memutar balik tubuhnya. Kesempatan itu digunakan Yan- chiu untuk menarik kembali dahannya, inilah kesaktian dari sepasang ilmu pedang itu.

Tapi kini Kang Siang Yan tak mau memberi kesempatan kedua anak muda itu untuk melancarkan jurus ke 5. Sang tangan baju mengebut, dan Yan-chiu rasakan dirinya tertindih oleh sebuah tenaga dahsyat, sehingga dadanya hampir susah untuk bernapas. Tak berani ia menangkis, melainkan buru2 mundur. Tio Jiang buru2 maju menolong, tapi jarak keduanya agak jauh, sehingga sepasang ilmu pedang itu hilang daya gunanya. Kang Siang Yan tiba2 berputar kebelakang, kelima jarinya yang bagai kait besi itu menerkam dan Tio Jiang rasakan tangannya sakit, lalu buru2 mundur kebelakang. Tapi dahannya sudah berpindah ditangan Kang Siang Yan, siapa dengan melintir beberapa kali saja telah membuat dahan sebesar lengan itu hancur lebur seperti bubuk. Sekali menekan, dahan itu patah menjadi beberapa kutung kecil.

Melihat yan-chiu terpisah jauh dari Kang Siang Yan, Tio Jiang menereakinya: „Siao Chiu, lekas, lekas lari!" Yan- chiu tak mengerti apa maksud sang suko, tapi sekonyong2 Tio Jiang menyerang Kang Siang Yan dengan nekadnya. Kini baru Yan-chiu tersadar akan maksud yang mulia dari sukonya itu. Dia rela berkorban supaya  sumoaynya selamat.

Adakah seorang lelaki yang berhati lebih mulia dari itu ? Dia rela binasa, untukku, mengapa aku berlaku pengecut ? Demikian Yan-chiu mengambil keputusan. „Jiang suko, biarlah kita mati ber-sama2!"

Sahut menyahut itu terdengar oleh Kang Siang Yan, siapa menduga kalau kedua anak muda itu adalah sepasang kekasih. Waktu Tio Jiang merangsang maju, ia kebutkan lengan baju dan se-olah2 ada sebuah dinding tembok kuat menghadang, hingga Tio Jiang tak dapat menobros dekat. Waktu melihat sang sumoay tak mau lari, hati Tio Jiang makin gelisah. Ber-ketes2 peluh mengucur dari kepalanya, urat2 didahinya pada menonjol.

(Oo-dwkz-TAH-oO) 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar