Naga dari Selatan BAGIAN 16 : SETAN LAWAN IBLIS

 
BAGIAN 16 : SETAN LAWAN IBLIS

Yan-chiu tak pedulikan ocehan orang, tetap ia hendak lanjutkan rencananya. Tapi se-konyong2 terdengarlah wut...., wut....., suara samberan dua kali dan batang rotan yang dicekalinya itu putus semua, tubuhnyapun melayang turun kebawah. Samar2 masih didengarnya sang suci melengking seperti orang gila: „Siao Chiu, segera kau dapat mati, wah senangnya! Ha...., ha.......ha..., ha. " Pada lain saat, dilihatnya suasana makin gelap gelita, angin menderu-deru disisi telinganya, kepalanya terasa pening. dan matanya ber-kunang2. Yan-chiu yang masih belum tinggi kepandaiannya itu, segera pingsan tak  sadarkan diri

Entah sudah berapa lama ia dalam keadaan begitu, tapi ketika tersadar didengarnya ada suara orang ber-kata2. Yang seorang sembari berkata sembari ketawa  dengan keras, sedang yang lain nada suaran ya kecil halus macam orang perempuan. Lapat2 didengarnya juga deru samberan angin pukulan, sepertinya kedua orang itu tengah berkelahi. Tapi ditilik dari lagu pembicaraannya, kedua orang itu tak mirip dengan orang yang sedang tantang2an.

Dalam pada itu, tak habis keheranan Yan-chiu, Terang tadi ia telah jatuh kedalam lembah, tapi mengapa dirinya tak kurang suatu apa. Salah seorang dari kedua orang yang tengah adu mulut dan adu kepandaiannya itu, nada suaranya tak sedap dipendengaran telinga. Jangan2~  bangsa siluman mereka itu ?! Tapi biarlah kunantikan saja, demikian keputusan Yan-chiu lalu meramkan matanya lagi.

„Ha...., ha...... jurus keberapakah ini, apa masih ada lainnya lagi ?" kata yang seorang sembari tertawa mengejek.

„Kau sambut saja, jangan banyak omong!" sahut yang lain dengan marahnya. Nada suaranya melengking sedemikian tajam, sehingga mau tak mau Yan-chiu membuka matanya lagi.

Dan ketika membuka mata lebar2, bukan kepalang kejut dan girangnya. Kiranya terpisah hanya berapa meter dari tempatnya situ, tampak Tio Jiang tengah berdiri. Malah tampak sang suko itu mengawasi kearahnya. Tapi ketika ia hendak meneriaki, Tio Jiang cepat2 menggoyangkan tangan, menyuruhnya diam. Setelah itu sang suko menunjuk kemuka. Yan-chiu memandang kearah yang ditunjuk itu, dan amboi........, hampir saja dia berjingkrak bangun.

Kiranya disana, tampak ada seorang lelaki dan seorang perempuan tengah ber-putar2 dalam lingkaran. Ternyata didasar lembah itu tak segelap yang diduganya. Sinar matahari dapat menyinari masuk, maka walaupun menjelang magrib, namun masih tampak terang benderang. Dasar lembah itu penuh ditumbuhi tanam2an. Cuma saja disekitar tempat silelaki dan siwanita ber-putar2 itu, puhun2 yang tumbuh disekelilingnya sama tumbuh. Wanita itu berambut panjang terurai menutupi mukanya. Sepasang matanya memancarkan sorot ke-hijau2an warnanya.  Barang siapa yang mengawasinya, tentu akan bergidik. Sedang silelaki itu pakaiannya luar biasa anehnya. Dia seperti memakai sarung dari kulit rase, tapi kakinya tak memakai sepatu. Gerak kakinya mantep, jauh berlainan dengan gerak kaki siwanita yang se-olah2 terapung diatas tak menyentuh tanah itu.

Begitu mereka berputar tubuh, Yan-chiu melengak. Rasanya ia sudah pernah kenal dengan silelaki itu. Ya,  benar ia sudah kenal baik dengan orang itu, tapi ah. ,

lupalah siapa dianya itu. Setelah saling berhadapan, siwanita itu berseru : “Jurus ini disebut ce-gwat-bu-kong (rembulan dan bintang tiada bercahaya). Hati2lah !"

Habis berkata, terus menerjang. Gerakannya itu luar biasa cepatnya. Yan-chiu tak terpisah jauh dari kedua orang yang tengah bertempur itu. Semestinya, ia tentu rasakan samberan angin dari gerakan siwanita itu. Tapi nyatanya, baik suara maupun anginnya, tiada terasa sama sekali. Yan- chiu kesima kaget, masa didunia terdapat manusia macam begitu. Jangan2 ia itu berada diakherat ini ?! Teringat ia akan penuturan orang, bahwa bangsa setan hantu itu tiada mempunyai bayangan, maka serentaklah ia berbangkit untuk mengawasi. Oho......., mereka masing2 mempunyai bayangan, jadi bukan bangsa lelembut. Waktu mengawasi jalannya pertempuran, kiranya silelaki dan siwanita itu sudah merapat satu mama lain hingga merupakan sebuah lingkaran bayangan. Tapi pada lain saat, keduanya saling berpencar lagi.

“Bagus, bagus, lihay amat kau! Didunia jarang mendapat tandingan tentu !" seru silelaki dengan tertawa keras. Dan serta tampak Yan-chiu sudah berdiri, silelaki aneh itu segera unjuk muka-setan, serunya: „Ho, kau sudah bangun?"

Melihat tingkah silelaki aneh itu, tersadarlah ingatan Yan-chiu. Tak salah lagi, dia yalah sipengemis lucu yang tempo diluitay telah membantunya merobohkan salah seorang samtianglo dari Ci Hun Si. Tempo hari sih pakaian dan mukanya kotor kumal, tapi kini dengan mukanya yang bersih, janggut bercabang tiga serta jubah kulit rase itu, mirip sudah dia dengan seorang pedagang kaya dari daerah utara. Malah sesaat itu teringatlah Yan-chiu bahwa ia masih menyimpan sebuah gelang besi dari orang aneh itu. Saking girangnya, Yan-chiu bertepuk tangan berseru: „Oi ,

kiranya kau "

Tapi baru dia berseru begitu, siwanita tadipun memandang kearahnya. Bulu roma Yan-chiu seketika berdiri, perasaannya tak enak, maka buru2 ia memalingkan kepalanya. Tapi disana dilihatnya sang suko mengawasi tajam2 pada siwanita itu, rupanya tengah bersiaga keras. Tiba2 ia teringat akan cerita Nyo Kong-lim tentang seorang wanita berambut panjang. Jangan2 inilah wanita itu. Dengan sigap, ia berpaling lagi kemuka; justeru kala itu mata siwanita aneh itu tengah menatapnya. Begitu saling bentrok pandangan mata, menggigillah Yan-chiu. Kalau pada tengah malam ia menjumpai wanita itu, mungkin ia kira tentu berhadapan dengan sesosok hantu !

Melihat Yan-chiu tak berani memandangnya, tertawalah siwanita itu ter-kekeh2, ujarnya: “Kui Ing-cu, apakah budak perempuan itu juga muridnya Ceng Bo siangjin ?"

„Ceng Bo siangjin juga seorang pemimpin ternama dalam jaman ini, masakan dia mau mempunyai seorang murid kantong kosong seperti dianya itu!" sahut silelaki aneh dengan tertawa meringis. Yan-chiu tak marah dikatakan begitu, melainkan deliki mata saja. Mencuri kesempatan selagi siwanita itu tak mengawasinya, silelaki aneh itu kembali unjuk muka-setan pada Yan-chiu. Matanya dimerem-melekkan beberapa kali.

Sebagai gadis yang cerdas, segera Yan-chiu dapat menangkap, maksud isyarat orang.

„Macam Ceng Bo siangjin, mana layak menjadi suhuku?" ia mendamperat. Tapi segera ia jeri sendiri. Sungguh keterlaluan sekali ucapannya tadi. Kalau sampai didengar sang suhu, jangan tanya dosa lagi. la celingukan kesana-sini, lalu tertawa sendiri. Masakan sang suhu bisa datang ketempat macam begitu ?

“Siao Chiu, jangan kurang ajar!" tiba2 seorang lelaki membentak. Semangat Yan-chiu serasa terbang. Kedua tangannya didekapkan kekepala, „Celaka!" serunya dengan ketakutan. Tapi demi ia berpaling dan melihat yang membentak tadi hanya sang suko, kontan ia menyahut:

„Fui, siapa yang kurang ajar?"

Kui Ing-cu tertawa ter-kakah2, sebaliknya siwanita aneh segera memujinya: „Bagus! Macam apakah Ceng Bo siangjin itu. Budak, siapakah suhumu ?" Mendengar itu Yan-chiu kemekmek. la kerlingkan ekor mata kearah silelaki aneh, siapa ternyata tengah memandang kelangit. „Suhu wanpwe ialah Ma Bu-tek!" sahutnya se-kena2nya.

Ma Bu-tek, artinya „kuda tiada terlawan."

“Ma Bu-tek ?" menegas siwanita setelah merenung sejenak, „rasanya seorang yang tiada terkenal itu." Kemudian ia berpaling kearah Kui Ing-cu, serunya: „Mari mulai lagi, sudah janji 300 jurus, mengapa baru 70 saja sudah berhenti ?

Kui Ing-cu ter-bahak2. „Kiang Siang Yan, kau anggap 'thay im lian sing kang" mu itu tiada lawannya dikolong langit, maka setelah bertempur seri dengan aku, kau lantas kurang terima bukan ?"

Mendengar nama „Kiang Siang Yan", Tio Jiang dan Yan-chiu sama terperanjat. Kiranya wanita itu adalah isteri suhunya atau subo mereka juga!

“Ya, memang. Apa kau berani lanjutkan pertempuran lagi ?" tanya Kiang Siang Yan dengan tertawa  dingin, seraya ber-putar2 mendekati Kui Ing-cu. Bermula  Tio Diang dan Yan-chiu yang berdiri dekat sekali  tak merasakan samberaan apa2, tapi tahu2..... terasa ada dorongan suatu tenaga yang maha kuat.

Buru2 kedua anak muda itu gunakan cian-kin-tui agar tak jatuh. Tio Jang yang yang kepandaiannya tinggi, hanya ter-huyung2 sedikit. Tapi Yan-chiu sudah sempoyongan sampai empat-lima tindak kebelakang baru kemudian dapat tegak lagi. Diam2 ia leletkan lidah. Belum Pernah  ia melihat atau mendengar ilmu kepandaian macam begitu.

Kiang Siang Yan pun sudah bertempur lagi dengan Kui Ing-cu. Baru Kiang Sian Yan menghampiri, Kui Ing-cu sudah segera menyambutnya dengan sebuah hantaman keras, hingga terpaksa. Kiang Siang Yan  melambung keatas. Rambutnya kejur menjulai kebawah, begitu ulurkan jari2 tangan kanannya yang keras bagai kait itu, ia melayang kearah kepala lawan, serunya: „Inilah yang disebut 'peh hun kam kau' (mega putih mengejar anjing!" -

Yan-chiu melengak, masa ada jurus silat Yang namanya begitu aneh ? Tiba2 Kui Ing-cu miringkan tubuh, sepasang tangannya digerak2kan terus dihantamkan kearah Kiang Siang Yan serunya: „Jurusku ini, juga disebut Peh-hun- kam-kau."

Baru Yan-chiu ketahui bahwa kedua orang aneh itu. tengah adu lidah (bersitegang leher ngotot). Dalam Pertempuran sedahsyat itu, keduanya tetap dapat bergurau suatu, suatu pertanda bagaimana lihay mereka itu. Yan- chiu makin ketarik. Tadi Kian Siang Yan masih melayang diatas dan Kui Ing-cu telah menyambutnya dengan tebasan dua belah tangannya, tapi entah bagai mana, tahu2 Kiang Siang Yan sudah meluncur turun dibelakang lawannya. Karena hantamannya menemui tempat kosong, maka terdenrlah bunyi krek-bum....... dari puhun tua yang tumbang kena hantaman Kui Ing-cu itu. Cepat2 Kui Ing-cu berpaling kebelakang seraya berseru: „Huh, sial, sial, kepalaku dilangkahi oleh bibi itu!" Mendengar kata2 itu, pecahlah ketawa Yan-chiu.

„Budak perempuan, kau tertawai apa" tiba2 Kui Ing-cu deliki mata terus mirngkan tubuh dan menampar Yan-chiu, sudah tentu bukan kepalang, kejut Yan-chiu, hendak menghindar sudah tak keburu. Se-konyong2 dilihatnya ada sesosok bayangan berkelebat dihadapannya, dan menampar juga, plak ........ bukan Yan-thiu yang kena ketampar, tapi kedua tenaga hantaman dari Kui Ing-cu dan sibayangan yang bukan lain adalah Kiang Siang Yan itu yang saling berbentur. Entah berapa jurus lagi pertempuran akan berlangsung setelah itu. Tapi tahu2 Kui Ing-cu loncat kesamping dan berseru keras: „Kiang Siang Yan, aku punya usul baru!" “Kui Ing-cu, kaupun terhitung dalam golongan datuk jaman ini. Mengapa kau lepaskan tangan jahat pada  seorang budak perempuan yang masih bau pupuk ?!" jawab Kiang Sian Yan dengan ejekan dingin.

Kui Ing-cu tertawa panjang, serunya: “Tapi bagaimana kau perlakukan bocah lelaki itu tadi?" Yang dimaksud dengan bocah lelaki ialah Tio Jiang, siapa waktu jatuh kedasar lembah situ justeru tepat Kui Ing-cu tengah mengukur kepandaian dengan Kiang Siang Yan. Demi  tampak ada sesosok tubuh meluncur turun, dengan segera Kui Ing-cu melesat untuk menyanggapinya, sehingga Tio Jiang tak kurang suatu apa dan dapat berdiri tegak  lagi. Tapi begitu Kiang Siang Yan mengetahui Tio Jiang itu adalah murid Ceng Bo siangjin yang dibencinya itu, terus saja menghantamnya, sukur keburu dihadang oleh Kui Ing- cu. Maka demi Kui Ing-cu menyebut2 hal itu, Kiang Siang Yan tak dapat menyahut, lalu berganti haluan, tanyanya:

„Lekas katakan apa usulmu itu !"

„Naga2nya kita berdua ini, sekalipun bertempur sampai 300 jurus, pun bakal tiada yang menang atau kalah "

Baru Kui Ing -cu berkata begitu, Kiang Siang Yan terus menukasnya; „Rasanya tak sampai begitu lama."

„Maka aku.. mempunyal usul entah bagaimana Pendapatmu," teruskan Kui Ing-cu tanpa pedulikan ejekan orang.

„He, apa2an begitu sopan santun?"

„Lekas katakan" seru Kiang Siang Yan.

Kui Ing-cu cekikikan seraya menunjuk pada Tio Jiang dan Yan-chiu. „Kedua bocah itu, kepandaiannya  tak terpaut banyak satu sama lain. Kita masing2 mengambil seorang untuk memberinya pelajaran silat. Setelah itu kita adu mereka, bermula dengan tangan kosong lalu dengan senjata. Siapa yang lebih pandai mengajar, dialah yang menang. Setuju tidak kau ?" tanyanya.

”Hm........, kaum persilatan menyohorkan kau seorang yang kaya muslihat. Nyatanya memang begitulah! Bocah lanang itu terang lebih lihay dari sibudak perempuan, jadi kau hendak cari enak sendiri bukan ?" jawab Kiang Siang Yan dengan tertawa mengejek. Kui Ing-cu balas tertawa, ujarnya: “Kiang Siang Yan, kalau kau takut kalah, ambil saja bocah lanang itu !"

Seketika marahlah Kiang Siang Yan. Rambutnya yang terurai itu serentak menjulur dengan kaku, serunya: „Kui Ing-cu, sambutlah seranganku ini !" Begitu kakinya bergerak, tahu2 tubuhnya sudah melesat kesamping Kui Ing-cu. Begitu sepasang tangan diangkat, plak. bukan

untuk menampar Kui Ing-cu tapi untuk saling ditepukkan sendiri. Tapi begitu kedua tangan itu bercerai, tahu2 mendorong kearah Kui Ing-cu.

Kui Ing-cu pun aneh. Ketika Kiang Siang-Yan bertepuk tangan, dia diam saja. Tapi sewaktu tangan Kiang Siang Yan hendak mendorongnya, se-konyong2 dia memutar tubuh, hingga jubahnya yang terbuat dari kulit rase itu bertebar keatas. Sambil berseru: „Pukulan thay-im-ciang yang lihay", orangnyapun sudah menyingkir pergi.

Tio Jiang dan Yan-chiu yang mengawasi pakaian Kui Ing-cu, serentak menjadi terkejut. Baju yang terbuat dari kulit rase itu, begitu terbentur dengan tangan Kiang Siang Yan tadi, telah berlubang sebesar mangkok. Jeri,  kagum dan heran, demikian perasaan Tio Jiang dan Yan-chiu terhadap kedua cianpwe persilatan itu.

Sewaktu menyingkir tadi, Kui Ing-cu telah lewat disisi Yan-chiu, slapa tahu2 telinganya seperti tersusup dengan perkataan: „Budak perempuan, makilah aku lekas. Kalau berhasil memikat wanita itu, seumur hidupmu kau tak menyesal !"

Yan-chiu yang cerdas segera mengetahui bahwa rencana Kui Ing-cu untuk mengusulkan mengambil jago itu, dimaksud agar ia dan sukonya dapat menerima pelajaran yang sakti. Ia mengangguk mengiakan. Begitu Kui Ing-cu sudah berada, disebelah sana, mulut Yan-chiupun segera mulai berkicau: „Setua itu umurmu, mengapa hendak menghina seorang muda seperti nonamu ini. Apakah itu bukan perbuatan seorang ..........” sampai disini Yan-chiu merandek. Ia tak boleh memaki keliwat kurang ajar, jangan2 nanti bisa menimbulkan kemarahan siorang aneh yang bermaksud baik terhadap dirinya itu. Sebenarnya ia hendak mengatakan „seorang bajingan besar", tapi tak jadi dan berganti dengan lain istilah: „Kau ini benar2 seorang telur busuk !"

(Oo-dwkz-TAH-oO)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar