BAGIAN 15 : LUPA DARATAN
"Nona kecil, besar sekali nyalimu berani masuk kedalam sarang macan sini!" sahut mereka dengan tertawa dingin.
"Huh, apanya yang perlu ditakuti ?" ujar Yan-chiu. Ucapan itu yang sebenarnya karena kegenitan sinona, ternyata, diterima lain oleh kedua hweshio. Kalau sinona sudah begitu tabah, tenang tentu mempunyai pelindung yang sakti. Dan ini makin membuat mereka tak berani gegabah turun tangan. Sebaliknya sigenit makin melonjak. Mengira orang jeri, ia makin garang. Tapi justeru itu telah membuka kedoknya sendiri, dan menyebabkan urusan jadi runyam. Yan, chiu menggunakan kesempatan bagus itu untuk mengunjukkan kecakapannya bermain lidah, mencuci maki orang sampai meringis seperti monyet kena terasi. Antara lain dikatakan kedua hweshio itu adalah bangsa hweshio cabul yang suka menodai kehormatan kaum wanita.
Sam-tianglo dari Ci Hun Si namanya cukup bersemarak didunia persilatan. Sudah tentu lama2 panas juga telinga mereka dikocok begitu macam oleh seorang nona. Begitu sang mata gelap, To Ceng sudah menerjang maju mencengkeram. Karena tak keburu berkelit, Yan-chiu sudah kena dicengkeram. Masih untung To Ceng berlaku murah karena jeri akan menerbitkan kemarahan siorang sakti yang dikiranya melindungi sinona. Kalau tidak begitu, tentu jiwa Yan-chiu sudah amblas.
Yan-chiu diam2 mengeluh celaka. Untuk melawan, terang ia tak ungkulan. Satu2nya daya yalah menghadapinya dengan siasat tipuan. Maka dengan wajah tenang menyungging senyum, ia menghardik: "Bagus, hweshio kurus, jadi betul2 kau tak takut?"
"Takut apa?" tanya To Ceng coba memancing keterangan dari sinona, karena sebenarnya diapun gelisah ragu2.
Yan-chiu ketawa cekikikan, serunya: "Ho...., jadi kalian sudah lupa akan kejadian diluitay tempo hari ? " To Ceng melengak. Baru dia hendak membuka mulut atau Yan-chiu sudah berpaling kebelakang seraya berseru keras: "Cianpwee, silahkan kemari lekas!"
Seruan itu sudah tentu membuat kedua hweshio itu terbang semangatnya. To Ceng agak menyurut kebelakang dan Yan-chiu segera meronta. Sekali 'bergerak, " berhasillah ia lepas dari cengkeram To Ceng. Andaikata saat itu ia terus lari, belum tentu To Ceng dan To Kong berani mengejarnya. Tapi dasar nona nakal, ia hendak bikin pembalasan pada To Ceng yang menyakiti lengannya tadi. Sekali loncat kesamping, ia hantam pundak To Ceng. Karena tak mencluga, bahu To Ceng kena dihantam telak. Walaupun lwekang sinona belum tinggi begitu pula tenaganya tak seberapa kuat, tapi karena pukulan itu tepat sekali jatuhnya, mau tak mau To Ceng meringis kesakitan juga. Habis memukul, Yanchiu hendak lari, tapi To Ceng yang sudah murka itu segera mencengkeram lengannya: lagi, sehingga kini Yan-chiu harus meringis kesakitan pula.
Kini tahulah sudah hweshio itu, bahwa seruan sinona tadi hanyalah tipu muslihat untuk menyiasatinya saja. Yan- chiu segera didorong kemuka disuruh masuk kedalam sebuah tenda. Karena kerasnya dorongan itu, Yan-chiu terjerembab jatuh kedalam tenda. Tapi begitu ia mendongak, girangnya bukan kepalang. "Lian suci !" teriaknya.
Dibelakang meja tulis besar yang berada didalam kubu itu, duduklah seorang lelaki setengah tua. Wajahnya keren, mengenakan pakaian pembesar kerajaan Ceng. Berdiri disebelahnya, adalah seorang wanita muda yang sangat cantik. Wanita yang ter-iba2 dihadapan sinar lampu, bukan lain ialah Bek Lian.
Mendengar seruan Yan-chiu, Bek Lian berpaling kebelakang dan menyahut dengan enggan sekali, se-olah2 menganggap pertemuan dengan sang sumoay yang telah lama berpisah itu tiada berarti apa2. Hal mana sudah tentu membuat Yan-chiu heran,
”Li congpeng, sebernarnya kemanakah perginya engkoh Go? Mengapa sampai sekarang belum, pulang?" kedengaran Bek Lian bertanya kepada si pembesar itu.
Belum sipembesar yang disebut "Li congpeng" itu menyahut, Yan-chiu yang sudah tak sabar lagi segera berseru: "Lian suci, mengapa kau berada disini? Apakah juga ditangkap oleh kedua keledai.......eh, kedua hweshio itu ?"
Semula Yan-chiu hendak mengatakan "keledai gundul", tapi mengingat dirinya masih dalam tawanan orang, jadi terpaksa dia robah perkataannya seperti diatas.
"Siao-Chiu, jangan mengganggu aku dulu, karena aku masih mempunyai urusan," sahut Bek Lian dengan kurang puas, lalu ulangi lagi pertanyaannya kepada sipembesar: "Li Congpeng, kalau kau tak mengatakan, akupun tak mau menurut lagi. !"
Sipembesar kedengaran batuk2. Yan-chiu yang cerdas segera memastikan bahwa pembesar itu tentu Li Seng Tong, itu panglima besar dari tentara Ceng. Mengira sang suci mengancam hendak membuka rahasia militer, buru2 Yan- chiu menyeletuk: "Bagus, Lian suci, kalau dia berani rnembandel, bongkar saja rahasianya!"
"Siao Chiu, apa kau tahu dimana engkoh Go?" tanya Bek Lian seraya berpaling. Sudah tentu Yan-chiu heran dan menegas. "Sore tadi engkoh Go keluar, tapi sampai sekarang belurn pulang, ah......aku cemas setengah mati!" kata Bek Lian, gelisah. Mendengar itu Yan-chiu menghela napas. Kiranya sang suci itu sudah begitu ter-gila2 pada kekasihnya. Bagaimana The Go ditangkap oleh Thay-san sin-tho dimarkas ke 1, telah diketahui Yan-chiu. Namun bagaimana akhirnya pemuda itu telah berhasil melarikan diri, Yanchiu sudah tak tahu, maka ia mengatakan seenaknya saja: "Manusia rendah macam begitu, biarkan saja digebuki orang, perlu apa kau tanyakan?"
Bek Lian meradang. Dengan sorot mata murka, dia melejit kehadapan Yan-chiu. "Siao Chiu, mengapa kau berani omong tak keruan ?" bentaknya dengan sengit. Yan- chiu heran atas sikap sang suci itu. la tak tahu, bahwa sejak Bek Lian serahkan hatinya kepada The Go, ia sudah buta segala apa. Apapun tak peduli baginya, kecuali keselamatan diri orang yang dicintainya itu. Sebaliknya Yan-chiupun tak kurang sengitnya. Masa dibilangi baik2 malah kurang senang. "Siapa yang ngaco belo? Cian-bin Long-kun sudah didalam tangan suhu dan Thay-san sin-tho, mana dia bisa lari ?"
Kiranya Bek Lian tak kenal siapakah Thay-san sin-tho itu. Namun demi didengarnya nama sang ayah, terbanglah semangatnya. Cepat berpaling kearah sipembesar, ia berseru: "Li Congpeng, mengapa kau biarkan engkoh Go jatuh ketangan musuh ?"
"Cian-bin Long-kun pergi menyelidiki keadaan markas ke 1 di Hoasan, mana aku tahu keadaannya waktu ini?" Li Seng Tong balas bertanya dengan nada berat. Hati Bek Lian serasa hancur, butir2an air mata mengucur turun dari kelopak matanya. Melihat sang suci begitu dekat hubungannya dengan sipembesar, lekas2 Yan-chiu minta sang suci mendesak sipembesar agar membebaskan dirinya. Tapi dalam hati Bek Lian, hanya ada seorang Cian-bin Long-kun, mana ia mau menggubris sang sumoay lagi. Sekali bergerak, melesatlah Bek Lian keluar dari tenda situ. Hal mana membuat Yan-chiu gusar bukan kepalang. Mulutnya segera me-maki2 kalang kabut. "Jiwi taysu, jebeloskan budak perempuan itu kedalam sumur kering sana!" perintah Li Seng Tong pada kedua hweshio tadi.
Bercerita sampai disini, tiba2 Yan-chiu bertepuk tangan kegirangan, serunya: "Suko, ya benar, inilah sebuah sumur kering!"
Tapi Tio Jiang diam saja tak mau menyahut.
"Suko, kau dimana?" seru sigadis heran. Namun sampai dua kali ia ulangi pertanyaannya itu, tetap Tio Jiang tak menyahut. Karena tempat mereka berdua situ adalah didasar sebuah sumur kering, jadi gelapnya bukan main. Yan-chiu ulurkan tangan me-raba2, astaga, itulah lengan sang suko, siapa terus ditariknya keras2: "Suko, apa kau sudah gagu,?"
Disentak begitu, baru Tio Jiang gelagapan. Kiranya sewaktu mendengar cerita "Yan-chiu, bagaimana sikap Bek Lian yang begitu mesranya kepada The Go itu, hati Tio Jiang seperti dibanting hancur. Dan sampai sekian lama dia ter-longong2 diam seperti kehilangan semangat. Seruan Yan-chiu sampai dua kali tadi, sampai tak didengarkannya. Kasihan anak itu. Gadis yang siang malam dirinduinya itu, ternyata menyintai lain orang. Dan kalau Tio Jiang berlaku begitu, sebenarnya adalah gara2 sinona genit Yan-chiu. Memang Bek Lian sedari dulu tak mempunyai hati kepada sang sute. Hanya karena permainan Yan-chiu yang sudah memberikan sebuah peniti kupu2, maka Tio Jiang mengira kalau sucinya itu mau membalas cintanya. Memang cinta itu buta. Mendadak dia tersadar. Bek Lian tentu menyusul The Go keatas Hoasan dan dengan begitu bukankah akan celaka dibombader oleh meriam2 tentara Ceng tadi? Sukar mencari seorang lelaki seperti Tio Jiang. Tahu sang suci tak menyintainya, namun dia tetap tak berobah hatinya. "Siao Chiu, hayo lekas keluar dari tempat ini. Lian suci tentu menyusul The Go keatas gunung, jangan2 ia nanti mendapat kecelakaan kalau kita tak keburu menolongnya!"
"Lian suci sudah tak menghiraukan kita, mengapa kau mau menolongnya?" seru Yan-chiu dengan uring2an demi diketahui sang suko itu masih mabuk cinta.
Tio Jiang tak pandai main lidah, jadi apa-yang dikandung dalam hati terus dinyatakan saja, ujarnya: "Siao Chiu, Lian suci dengan aku mempunyai ikatan janji seumur hidup bagaimana aku bisa tinggal diam saja ?"
Mendengar itu, pecahlah ringkik tertawa sinona genit.
Sudah tentu Tio Jiang melongo. "Sumoay, kau ketawai apa?" tanyanya.
Bermula Yan-chiu segera akan menceritakan saja duduk perkara yang sebenarnya. Tapi terkilas pada pikirannya, lebih baik jangan sekarang, karena siapa tahu nanti Tio Jiang akan kalap benturkan kepala didinding sumur situ. "Jiang suko, aku ewah dengan pikiranmu yang buta itu !"
"Kan sudah selayaknya berbuat begitu, karena hati kami sudah terikat cinta" tanpa ragu2 lagi Tio Jiang membela diri. Diam2 Yan-chiu sangat kagumi kejujuran sang suko. Rasa sympathinya makin besar. Dahulu ia anggap Tio Jiang itu hanya sebagai saudara seperguruan saja. Kini melihat isi hati Tio Jiang itu, ia menganggap itulah seorang pemuda yang di-idam2kan oleh setiap gadis, mencinta setulus hati dan rela berkorban untuk orang yang dicintainya itu. Memikir sampai disitu, mau tak mau berobahlah wajah Yanchiu ke-merah2an karena jengah.
"Suko, marilah kita cari jalan keluar dari sini!" akhirnya ia terima ajakan sang suko. Begitulah mereka berunding cara bagaimana dapat keluar dari dasar sumur kering itu. Tengah mereka asyik begitu, se-konyong2 disebelah atas sana tampak ada sinar terang memancar kebawah. Buru2 Yan-chiu tarik sukonya kesamping. ,Mungkin ada orang turun kemari, jangan sampai kelihatan" bisiknya. Begitulah keduanya segera tempelkan tubuh rapat2 kedinding sumur. Benar juga tak antara lama, terdengar ada orang berkata: "Hi........, mengapa tak kelihatan? Jangan sampai kedua anak kurang ajar itu lolos!"
"Jangan ngoceh tak keruan! Mereka diikat dengan tali urat kerbau, mulutnya disumpal buah besi, sekalipun seorang anak dewa tak nanti dapat lolos juga!" sahut kawannya. Jadi terang yang disebelah atas itu ada dua orang. Habis berkata begitu, terdengarlah salah secrang dari mereka tertawa, serunya: "Oi, budak perempuan itu boleh juga dah ! Lauko, bukankah kau bermaksud turun kebawah untuk bercumbu2an dengan ia?" Kawannya itu menyambutnya dengan suara ter-kekeh2, ujar: "Lauhia, jangan kasih tahu siapapun juga. Memang anak perempuan itu cukup cantik; Memikat hati orang !"
Kalau kedua orang disebelah atas itu bercanda dengan girangnya, adalah Tio Jiang menjadi murka sekali. Tapi bagaimana lagi, dia tak dapat berbuat apa2. Yan-chiu sembari jinjit, berbisik kedekat telinga sang suko: "Suko, kata mereka aku ini cantik, bagaimana pendapatmu?"
"Sumoay, dalam keadaan begini kau masih suka ber- olok2 ?" sahut Tio Jiang.
"Hayo bilang tidak, apakah aku ini buruk rupa?" Yan- chiu sudah mulai meradang.
Tio Jiang yang tak bisa berbohong itu segera menyahut: "Sudah tentu tak buruk dan emangnya cantik sekali !" Yan-chiu tertawa puas dan sembari makin menempel rapat ia bertanya pula: "Kalau melihat aku, kau tergerak hatimu tidak, suko?"
Bohwat alias kewalahan betul2 Tio Jiang saat itu. Dengan deliki mata ia memandang Yan-chiu. Justeru pada saat itu, sorot dari atas itu makin menerangi dasar sumur situ. Niatnya dia hendak damprat sang sumoay, tapi demi matanya tertumbuk akan wajah sinona yang tampaknya makin cantik dalam keadaan tak berhias serta rambut terurai itu, mau tak mau tergeraklah hati Tio Jiang. Darahnya tersirap, ingin sekali dia makin merapat kepada sinona nakal itu untuk menciumnya.
"Tergerak!" akhirnya meluncurlah kata2 dari mulutnya. Tapi pada lain saat, dia merasa ucapannya itu keterlaluan, maka buru2 menyusulinya: "Ah, bukan, Siao Chiu. Kau tahu aku sudah mencintai Lian suci, maka sudah tentu tak dapat "
Geli Yan-chiu bukan terkira. Tapi menjaga tak sampai suara ketawanya kedengaran, ia tahan se-dapat2nya hingga tubuhnya saja yang menggigil seperti orang kedinginan. Tio Jiang makin ke-heran2an.
"Engkoh tolol, siapakah yang ingin kau peristerikan! Tak usah kau katakan yang bukan2 !" akhirnya Yan-chiu berkata, sehingga wajah Tio Jiang merah padam ke- malu2an. Diam2 Yan-chiu melamun jauh.
Begitu murni cinta Tio Jiang pada sang suci, walaupun pada hakekatnya sang suko itu hanya menjadi korban perolokannya. Kelak kalau hal itu diketahuinya dan suko itu tak memarahi bahkan mau memperisterikan ia (Yan- chiu), bagaimanakah perasaannya? Ah, Liau Yan-chiu, Liau Yanchiu, apakah kau suka terima peminangan Tio Jiang itu? Atau kau tolak dia? Demikian Yan-chiu ber- tanya2 dalam lamunannya. Dan tak dapat ia memberi jawaban pada pertanyaan yang dikhayalkan itu.
Itulah dara Lo-hu-san yang genit lincah! Umurnya sih baru lebih kurang 16 tahun, dan ketika berada di Lo-hu-san ia selalu jengah memikirkan soal hubungan wanita dengan pria itu. Tapi mengapa pada saat itu ia melamunkan yang tidak2, bertanya pada hatinya sendiri bagaimana jika kelak dipinang oleh sang suko? Itulah pembaca, tanpa disadari nona genit itu telah terpanah asmara, Orang yang menjadi tambatan idam2annya, bukan lain adalah sukonya sendiri, Tio Jiang, jejaka bodoh yang polos itu.
Saat itu dari sebelah atas meluncurlah seutus tali besar hingga sampai kedasar sumur. Setelah itu lalu ada dua orang serdadu Ceng melorot turun dari tali itu. Begitu Mereka sudah berada di-tengah2, Tio Jiang melesat maju untuk, menarik tali itu.
"Lauko, jangan bergurau. Sumur ini sangat dalam, kalau sampai jatuh, wah, jangan main2!" seru salah seorang pada kawannya ketika tali ber-gerak2. Dan sekali Tio Jiang menyentak, maka buyarlah impian yang indah dari kedua serdadu Ceng tadi. Tubuhnya serasa dihantam oleh suatu tenaga besar dan saking sakitnya mereka dipaksa untuk lepaskan cekalannya ...... bum, ....... bum, segera kedengaran suara dua sosok tubuh jatuh dari atas sekira satu tombak tingginya. Jatuhnya begitu payah hingga lebih banyak matinya daripada hidup.
"Lekas-naik keatas!" seru Tio Jiang seraya melambaikan tangan pada sumoaynya. Sekejab saja, keduanya sudah berada diatas. Saat itu sudah hampir sore. Entah sudah berapa hari mereka dikurung dalam sumur kering itu. Ketika melihat kesekelilingnya, ternyata kubu2 tentara, Ceng tadi sudah tak kelihatan disitu, entah pindah kemana. Sedang dimarkas no. 1 gunung Hoasan sana tampak menjulang gulungan asap. Teringat Tio Jiang sewaktu berkelahi dengan To Ceng dan To Kong, memang dimarkas ke 1 sana mendadak timbul kebakaran. Adakah markas itu kini sudah terbakar habis ?
"Siao Chiu, hayo lekas keatas gunung!" serunya dengan gugup. Tapi Yan-chiu lebih terliti. Ketika habis mendengarkan keterangan Tio Jiang tadi, segera ia menyatakan pendapatnya: "Suko, kalau memang tentara Ceng menang dan markas Hoasan no. 1 itu sudah terbakar, sukar untuk kita naik kesana. Taruh kata kita dapat sampai kesana, toh sama artinya dengan mengantar jiwa saja!"
Tio Jiang tak dapat membantah. Sampai sekian saat dia diam saja. Tiba2 dia banting2 kaki berseru: "Waktu Lian suci naik keatas gunung, tentara Ceng tengah melancarkan serangan meriam2-nya, jangan2 ia mendapat kecelakaan. Biar bagaimana aku harus kesana!"
Yan-chiu tak dapat mencegah kemauan, sang suko itu. Apa boleh buat iapun lari mengikutnya naik keatas gunung. Disepanjang jalan ternyata tak menemui halangan suatu apa, karena dimarkas ke 1 itu sudah menjadi rata dengan tanah. Mayat2 bergelimpangan disana-sini, gedung permusyarahan sudah menjadi tumpukan puing, Hanya ada sisa2 bangunan yang masih menyala lelatu apinya.
Tio Jiang dan Yan-chiu heran melihat pemandangan itu. Baru semalam dia tinggalkan markas itu, mengapa, kini menjadi tumpukan puing? Kemana perginya tentara Ceng itu? Kemana pulakah beradanya rombongan orang gagah gunung Hoasan serta suhunya? Keduanya kesima dihadapan tumpukan puing2 dan sisa api unggun yang membisu dihadapannya.
Tiba2 Yan-chiu mendapat pikiran. Diantara sekian mayat yang bergelimpangan itu, masakan tiada seorang yang masih bernyawa, dan ini bisa ditanyai keterangan. Setelah disetujui Tio Jiang, keduanya segera melakukan pemeriksaan pada korban2 disitu. Keduanya adalah orang2 persilatan, jadi nyalinya cukup besar. Tapi walaupun sampai sekian saat meriksa kesana-sini, ternyata semua korban2 yang bergelimpangan disitu sudah menjadi mayat. Kalau tidak kepalanya hangus, mukanya hancur atau dadanya tertusuk senjata tentu tulang belulangnya remuk. Betul diantaranya beberapa serdadu Ceng, tapi sebagian besar adalah anak buah dari gunung Hoa-san. Dari keadaannya, mereka itu sudah lama menjadi mayat.
"Hai .....mayat2! Mengapa kamu membisu saja!, hayo lekas bersuara!" mendadak Yan-chiu berseru nyaring. Mendengar sang sumoay unjuk ugal2an lagi, walaupun sedang resah hati, Mau tak mau Tio Jiang tertawa kecut juga. Tapi diluar dugaan seruan Yan-chiu tadi sudah bersambut dengan suara rintihan. Mendengar itu segera Tio Jiang dan Yan-chiu menghampiri kearah datangnya rintihan itu. Segera Yan-chiu mengenali orang itu sebagai anak buahnya sendiri. Dengan napas ter-engah2 orang itu berkata: "Li-tayong ......meriam, lihay sekali sekalian
saudara sama melarikan diri"
"Ceng Bo siangjinn berada dimana?" tanya Yan-chiu.
Orang itu ulurkan tangannya menunjuk kearah barat daya (barat selatan). Hendak dia mengatakan sesuatu, tapi tiba2 kepalanya terkulai kedada dan putuslah jiwanya. Yanchiu segera ajak sang suko untuk mencari suhu mereka. Setelah mengawasi sekeliling tempat itu dengan elahan napas terharu, segera keduanya ayunkan langkahnya kearah barat. Namun dalam hati Tio Jiang tetap mengandung pertanyaan yang tak dapat dijawabnya. Terang semalam dia telah rusakkan 10 pucuk meriam musuh, mengapa meriam2 itu masih bisa muntahkan pelurunya. Adakah meriam2 yang dirusakkannya itu palsu dan yang tulen masih disembunyikan mereka?
Keduanya tak faham akan jalanan digunung Hoa-san situ. Mereka kira ke 72 markas itu terletak dibelakang satu dengan yang lain. Mereka tak mengetahui bahwa- pegunungan Hoa-san itu luas sekali sampai beberapa ratus Ii kelilingnya. Benar pegunungan itu disebut Hoa-san, tapi sebenarnya entah berapa jumlahnya puncak2 dari pegunungan itu. Hampir sejam lebih mengitari gunung itu, tapi makin lama makin tersesat jalan. Bukan jalanan yang ditemuinya, tapi, padang belantara daerah pegunungan yang sunyi senyap. Tiba2 Yan-chiu yang berjalan dimuka, berhenti. Tio Jiang buru2 menghampirinya. Kiranya dibawah kaki tempat mereka berdiri itu, adalah sebuah lembah yang tak terkira dalamnya. Begitu curam lembah itu, hingga keduanya tak dapat melihat jelas dasarnya. Ketika terasa ada angin menyambar, maka dibawah lembah sana segera terdengar suara menderu2. Ketika itu adalah permulaan musim semi, hawa udarapun masih dingin.
Puncak karang dimana keduanya berada itu, kira2 ada 5 atau 6 tombak luasnya. Lembah yang memisahkan puncak itu dengan puncak karang yang disebelah sana, mirip dengan bentuk sebuah mulut yang aneh. Yan-chiu hendak kembali kebelakang, tapi tiba2 Tio Jiang mengeluarkan seruan tertahan: "Hai, lihatlah sumoay, siapakah yang berada dipuncak karang sebelah muka itu?"
Yan-chiu mengawasi kemuka. Disebelah sebuah puhun siong tua yang tumbuh diatas puncak karang sana, tampak ada seorang wanita berdiri tegak. Sambil menutupkan sepasang tangannya pada kedua belah pipi, wanita muda itu memandang kesebelah utara. Benar karena menghadap kesebelah sana maka mukanya tak tertampak, namun dari bentuk tubuhnya yang molek langsing itu, tentulah ia itu seorang wanita yang cantik. Dan dari potongan tubuhnya itu, kedua suko dan sumoay itu segera dapat mengenalinya. Ya, tak salah lagi, itulah Bek Lian, suci mereka yang manis itu.
"Lian suci, kau disitu ....... mengapa?" Yan-chiu segera meneriakinya. Diulangnya sekali lagi teriakan itu, namun rupanya Bek Lian tak mau mendengari serta masih tetap berdiri membelakangi. Kuatir kalau teriakan sumoaynya itu kurang keras, make Tio Jiang segera empos lwekangnya "cap ji si heng kang sim ciat" dan berseru lantang sekali: "Lian,-suci!"
Karena ilmu lwekangnya maju pesat sekali, maka teriakan Tio Jiang itu menggelegar berkumandang jauh sekali. Disana sini segera riuh, sambut menyambut kumandang suara "Lian-suci"..., "Lian-suci"...... wanita itu benar2 tergetar dan berpaling kebelakang. Kini walaupun terpisah dengan jurang yang lebarnya 6 atau 7 tombak, tapi satu sama lain dapat melihat dengan jelas, memang wanita itu benar Bek Lian adanya. Hanya saja wajahnya tampak sayu muram, air matanya ber-linang2.
Berjumpa dengan orang yang dirindukan, Tio Jiang ingin menumpahkan seluruh isi hatinya, tapi entah bagaimana, makin bernapsu menyatakan makin mulutnya berat sehingga akhirnya tak dapat die bicara same sekali. Setelah sejenak memandang kepada kedua saudara seperguruannya itu, tanpa mengucap apa2, Bek Lian berpaling kebelakang pula. Ia tampak memandang kearah utara lagi. "Lian-suci!" teriak Tio Jiang dengan se-kuat2nya. Mestinya Bek Lian mendengar seruan itu, tapi ternyata ia tetap berdiam diri saja.
"Hai....., Lian-suci yang manis, apakah yang kau pandang itu ?" tanya Yan-chiu Sembari menyengir kurang senang, lalu berjengket dengan ujung kaki untuk melihat kesebelah utara. Tapi disana ia tak melihat sesuatu yang aneh.
Buru2 ia panjat sebuah puhun yang tumbuh didekat situ untuk melongok kearah tempat Bek Lian berdiri. Begitu mengawasi, saking terkejutnya hampir saja ia jatuh dari pohon. Melihat tingkah Yan-chiu yang mencurigakan itu, Tio Jiang pun segera loncat keatas puhun. Kejutnya, malah melebihi Yan-chiu tadi. Dengan gigi bercakrukan berserulah dia ter-putus2: "Lian-suci! Jangan. loncat,
jangan Ioncat !"
Kiranya puncak karang tempat Bek Lian berdiri itu hanya satu tombak luasnya. Disebelah depan pun terdapat sebuah lembah yang teramat curamnya. Dari atas pohon situ, dapatlah dilihatnya apa yang terjadi dengan Bek Lian. Bek Lian tengah mondar mandir ditepi puncak, sedang ketika itu angin berembus dengan kuatnya. Pakaiannya yang bergontaian tertiup angin itu, sepintas pandang seperti orangnya sudah tengah ayunkan tubuh loncat kebawah Iembah. Sekali loncat tentu tamatlah riwayatnya. Maka tak heranlah ketika Yan-chiu dan Tio Jiang melihat hal itu, mereka sama berdiri bulu romanya. Tio Jiang ulangi lagi seruannya beberapa kali, namun Bek Lian tetap tak mengacuhkan. la memandang jauh kebawah lembah, air matanya bercucuran turun seperti hujan dicurahkan.
Tio Jiang seperti semut diatas kuali panas. Hendak dia loncat kesana, tapi apa, daya untuk melintasi jarak pemisah yang antara 6 tombak jauhnya itu. Sekalipun ilmunya mengentengi tubuh lihay, namun tak nanti dia dapat meloncati jarak itu, kecuali dia bisa tumbuh sayap. Tiba2 terkilas dalam pikiran Tio Jiang, mengapa sang suci yang kepandaiannya masih kalah dengan dia itu, dapat naik kepuncak itu terpisah lima enam-tombak jaraknya, jangan2 sang suci itu pergi kesana dengan jalan melompati selat lembah itu. Dan kalau sang suci bisa, mengapa dia tidak? Memikir sampai disini, tanpa terasa dia meniru tingkah Sik Lo sam, menampar mukanya sendiri sembari memaki:
"Huh, Tio Jiang....., Tio Jiang....... Macammu mana berharga mencintai Bek Lian. Masa selat lembah begitu saja kau sudah jeri melompatinya ?"
Melihat kelakuan sang suko yang menampar muka dan bicara sendiri itu, Yan-chiu heran juga. Tapi Tio Jiang tak ambil peduli lagi. Loncat turun dari atas puhun, segera dia mundur kebelakang sampai belasan langkah. Sekali enjot. dia terus berjumpalitan sampai 3 kali kemuka. Dan begitu tiba ditepi puncak dia menjejak se-kuat2nya. Tubuhnya segera melayang diudara. Apa yang didengarnya hanyalah deru angin menyambar disisi telinganya dan jeritan Yan- chiu dari arah belakang. Begitu memandang kesebelah bawah, bulu romanya berdiri tegak. Dan tepat pada saat itu, dirasanya sang tubuh melayang turun kebawah. Buru2 dia empos semangatnya. Tapi tepat pada detik itu, tiba2 terdengarlah suara auman senjata rahasia. Lima bintik sinar perak, menyambar kearahnya.
Ketika hendak menurun tadi, buru2 Tio Jiang pijakkan kaki kiri nya keatas kaki kanan. Dan sekali, enjot, dia melambung lagi keatas. Tapi samberan kelima biji senjata rahasia itu luar biasa cepatnya. Malah ketika sampai ditengah jalan, senjata2 rahasia itu sama berpencaran sendiri, menghantam bagian kepala, tubuh dan kaki.
Sesaat itu tahulah Tio Jiang, bahwa senjata rahasia itu adalah Bek Lian yang menyabitkan. Itulah yang disebut liuyap-piau (piau yang bentuknya seperti daun puhun liu), permainan yang diyakinkan dengan tekun oleh Bek Lian sewaktu masih digunung Giok-li-nia. Dalam gugupnya, Tio Jiang segera berjumpalitan. Tapi sayang karena latihannya ilmu mengentengi tubuh masih belum sempurna, maka walaupun kelima biji liu-yap-piau itu dapat dihindari, namun tubuhnya meluncur turun kebawah lembah.
Lembah itu tak terukur dalamnya. Dalam sekejab saja, lenyaplah sudah bayangan Tio Jiang.
Sewaktu Tio Jiang hendak loncat tadi, Yan-chiu sudah akan turun dari puhun untuk mencegahnya. Tapi ia kalah cepat dengan sang suko yang sudah loncat kemuka itu.
Dengan menjerit kaget, dia awasi tubuh sukonya. Dalam hati, ia mendoa mudah2an sukonya dapat berhasil melintasi lembah yang berbahaya itu. Tapi bukan kepalang kagetnya demi dilihatnya Bek Lian dengan geram sekali sudah menaburkan liu-yap-piau. Liu-yap-piau itu terbuat dari baja lemas pilihan. Jumlahnya hanya belasan saja. Jadi kalau tak bertemu dengan musuh tangguh, Bek Lian tak sembarangan mau menggunakannya. Dan rasa kagetnya makin men-jadi2 demi setelah berjumpalitan tubuh Tio Jiang lalu meluncur kebawah lembah. Nona yang biasa lincah tangkas itu, pada itu tak dapat berbuat apa kecuali ter-longong2 sambil mengucurkan air mata, kesedihan.
Tiba2 disebelah muka sana didengarnya Bek Lian juga ter-isak2 menangis pe-lahan2. Kiranya nona itu juga menangis tersedu sedan. Sebenarnya Yan-chiu tak mau mengadu biru dalam hubungan Tio Jiang dengan Bek Lian. Tapi dalam beberapa hari ini, demi difahaminya betapa kesungguhan hati sang suko mencintai sucinya itu, iapun tergerak perasaannya. Pula menilik kelakuan yang tak selayaknya dari sang suci itu, sympathi Yan-chiu terhadap sukonya, makin tebal. Maka tanpa disadari, timbullah rasa bencinya terhadap Bek Lian. "Orangnya kan sudah jatuh kebawah, masa ber-pura2 menangis seperti sang kucing menangisi sitikus saja!" serunya dengan sinis. Saat itu angin reda, jadi Bek Lian dapat mendengar jelas apa yang dikatakan sang sumoay itu. „Kalian tak usah pedulikan aku!" sahutnya seraya mendongak.
„Apa ?" menegas Yan-chiu karena tak mengerti ucapan orang. Bek Lian gentakkan kepalanya tertawa dingin :
„Siapa yang mengurusi aku, tentu akan turun kebawah lembah sana. Kalau seorang ayah boleh tak mengakui anaknya, mengapa seorang suci tak boleh mengusir sutenya
?"
Mendengar sang suci mengoceh tak keruan, Yan-chiu maju selangkah seraya berseru: „Mana suhu ?"
Bek Lian menangis. „Entah, tak tahulah !" sahutnya kemudian.
Yan-chiu makin gusar, tanyanya pula: „Dan mana Cian- bin long-kun-mu itu ?"
Mendengar nama itu disebut, serentak majulah Bek Lian menghampiri ketepian puncak. "Jadi kau tahu tentang engkoh Go?" tanyanya sembari menangis. Kini Yan-chiu timbul rasa kasihannya. Bek Lian menyintai The Go sebenarnyapun bukan suatu kesalahan. Mungkin sang suhu menentangnya, jadi sucinya itu. lalu mengambil putusan pendek begitu. „Lian suci, bagaimana kau bisa berada disitu
? Sukalah memberitahukan agar aku bisa menyusul ketempatmu situ," katanya dengan lemah lembut.
Tapi diluar dugaan, Bek Lian segera menyahut dengan gugup : „Jangan datang kemari !" ,
„Mengapa ?"
„Ya, tak perlu kemari. Kalau kau berani datang sini, aku tentu tak sungkan lagi !" kata Bek Lian. Tapi dasarnya bengal, Yan-chiu menantangnya: „Tapi aku justeru hendak kesitu !" katanya sembari mengambil sikap seperti hendak melompat. Hal itu sebenarnya hanya untuk mengetahui bagaimana reaksi sang suci. Biasanya Bek Lian cukup faham akan sifat2 yang nakal dari sumoaynya itu. Tapi karena semalam ia menderita goncangan bathin hebat, pikirannyapun menjadi kalut. Demi dilihatnya Yan-chiu hendak melompat, ia terus taburkan 5 biji liu-yap-piau.
Tadi memang sebelah kaki Yan-chiu sudah sengaja diacungkan kemuka, jadi bergelantungan diatas lembah. Begitu liu-yap-piau menyambar, cepat2 ia dongakkan tubuhnya kebelakang. Benar liu-yap-piau dapat dihindari, tapi batu ditepian puncak yang diinjak dengan sebelah kaki itu tiba2 sol alias longsor. Sudah tentu tubuhnya terhuyung dan jatuh kebawah lembah. Dalam lain kejab, ia tentu akan mengalami nasib serupa dengan Tio Jiang. Untunglah dalam detik2 berbahaya itu, matanya dapat melihat serumpun puhun rotan yang tumbuh ditepi puncak situ. Secepat kilat tangannya menyawut dua batang rotan yang tumbuh bergelantungan didinding bagian bawah samping karang itu. Tapi mana dua batang rotan dapat menahan berat tubuh seorang yang menggandulinya? Akar dari rotan itu, segera ber-gerak2 tercabut keatas.
Dalam keadaan yang berbahaya itu, Yan-chiu berusaha untuk menguasai ketenangannya, Sedianya ia hendak gunakan gerakan „tho cu boan sim" si bongkok balikkan tubuh. Dengan meminjam kekuatan rotan, ia akan apungkan tubuh keatas puncak lagi. Tapi baru ia hendak kerahkan tenaga kearah tangan, tiba2 terdengarlah suara angin menderu. Sebuah liu-yap-to (golok bentuk daun liu) yang besarnya hanya lebih kurang 5 dim menyambar diatas kepalanya. Beberapa butir batu segera berhamburan jatuh dari atas puncak. Karena dirinya sedang bergelantungan, jadi Yan-chiu tak dapat berkelit, maka ada beberapa butir batu yang jatuh menimpa kepalanya, sakitnya lumayan juga. Dan yang lebih hebat dari itu, salah sebatang dari 3 batang rotan yang dicekalnya itu menjadi putus terpapas liu-yap-to tadi.
Berpaling mengawasi kearah sang suci, didapatinya dalam tangan sang suci itu masih menggenggam, 3 batang liuyap-to. Dengan wajah dingin tak kenal kasihan lagi, Bek Lian menatap tajam2 kearah Yan-chiu. Keadaan Bek Lian pada saat itu, mirip dengan sebuah patung ukiran kayu dari seorang wanita ayu, Yan-chiu mengeluh dalam hati. Kalau Bek Lian timpukkan dua buah liu-yap-tonya lagi, maka ia tentu akan kecemplung kedalam dasar lembah.
Ilmu menimpuk dengan liu-yap-to termasuk salah satu macam kepandaian yang luar biasa dari Ceng Bo siangjin. Siangjin itu telah memberi pelajaran ilmu itu. pada Bek Lian dan Yan-chiu. Tapi disebabkan sifat Yan-chiu yang kurang sabar, setelah belajar beberapa bulan, akhirnya dia menyerah. Pilihannya jatuh pada senjata bandringan liu- singcui yang hampir setombak panjangnya. Kalau ilmu permainan itu diyakinkan dengan sempurna, rasanya dapat menyamai semacam senjata rahasia kegunaannya. Maka sejak itu, ia tak lanjutkan latihanya lagi. Sebaliknya Bek Lian siang-malam berlatih dengan tekun sekali, sehingga akhirnya ia mahir sekali dalam permainan itu. Seratus kali timpuk, seratus kali tentu mengenai sasarannya. „Lian- suci!"seru Yan-chiu dengan cemasnya.
Seruan Yan-chiu itu sedemikian rawan menghibakan hati. Betapun keras hati seseorang, tak urung tentu tergerak juga. Tapi bagi Bek Lian yang sudah menderita siksaan batin itu, perasaannya sudah mati. Kalau Yan-chiu jatuh kedalam lembah, paling banyak ia tentu mati. Dan ini akan himpaslah sudah segala beban kuajibannya sebagai manusia. Tidak demikian dengan dirinya. Hidup tidak matipun bukan. „Kau suruh aku bagaimana lagi ? Paling2 kau nanti mati didasar lembah, dan kematianmu itu tentu memuaskan, jauh lebih baik dari diriku ini!" sahutnya dengan nada dingin. Masih Yan-chiu tak tahu mengapa Bek Lian sampai berubah sedemikian tak berperasaan itu. Rencananya, begitu sang suci agak lengah, hendak ia apungkan tubuhnya melayang keatas puncak karang.
„Lian........ su.........", mulut berseru tangannya segera siap melakukan rencananya itu. Tapi ternyata Bek Lian tetap mengawasi gerak geriknya. „Wut", sebuah liu-yap-to melayang pula dan sesaat Yan-chiu rasakan cekalannya agak kendor lagi. Kiranya sebatang rotan yang dicekalinya itu, putus pula.
"Aku hendak naik kesorga tapi tiada mendapat jalan, mau masuk ke neraka tiada mendapat pintu. Maka takkan kubiarkan kau menyiarkan hal ini pada lain orang. Aku tak suka dikasihani oleh siapapun juga!" seru Bek Lian disebelah sana.
---oodw0tahoo---