Naga dari Selatan BAGIAN 13 : MASUK SARANG MACAN

 
BAGIAN 13 : MASUK SARANG MACAN

Karena mengenang sang suci itu, Tio Jiang tertegun. Tahu2 kelima, jari siwanita yang bagaikan kait besi itu menerkam dadanya. Baru kini Tio Jiang gelagapan. Hendak menyingkir, terang tak keburu. Maka cepat dia hendak kerahkan lwekang untuk melindungi dada supaya jangan terluka. Tapi pada saat2 yang berbahaya itu, untung Nyo Kong-lim keburu bertindak memberi pertolongan. Tanpa menghiraukan peraturan apa2 lagi, dia menyapu dengan sam-ciat-kun.

Nyo Kong-lim suka akan pemuda yang jujur itu, maka tak segan dia memberi pertolongan seperlunya. Selagi cengkeram siwanita hendak mencapai sasarannya sapuan sam-ciat-kun menyambar datang. Siwanita perdengarkan sebuah ketawa seram. Batal menerkam, ia gunakan tangannya kiri untuk menampar. Benar Tio Jiang lolos dari bahaya besar, tapi tak urung dadanya terasa sesak, sehingga dia harus mundur sampai beberapa langkah. Karena perahu itu tak berapa besar, hampir saja dia kecebur kelaut.

Siwanita melihati Tio Jiang dengan tertawa dingin, sembari sedikit loncat kesamping, hingga hantaman Nyo Kong-lim tadi menemui tempat kosong. Kong-lim hendak tarik pulang sam-ciat-kun tapi karena tadi dihantamkan dengan keras, jadi agak ayal sedikit. Dan lubang kesempatan sedikit itu, telah digunakan secara mengagumkan sekali oleh siwanita, yang secara tiba2 dan cepat luar biasa apungkan diri menginjak ujung sam-ciat- kun yang diatas. Nyo Kong-lim diam2 memaki wanita yang dianggapnya gila itu, dia balikkan tangannya hendak membetot, tapi dengan berjumpalitan wanita itu sudah menginjak kegeladak, krek..... , krek...... , sam-ciat-kun itu terinjak melesek masuk kedalam papan geladak.

Kalau sekalian orang berseru kaget, adalah Nyo Kong- lim yang ber-kaok2 seperti orang kalap. Dengan undang seluruh kekuatannya, dia sentakkan sam-ciat-kun keatas. Nyo Kong-lim dikaruniai tenaga kekuatan besar. Tatkala. berumur 8 tahun, dia sudah dapat mengangkat lumpang batu seberat ber-puluh2 kati, untuk dinaik turunkan. Apalagi kini setelah dewasa dan belajar silat. Sekalipun sam-ciat-kun itu ditindih oleh batu besar ribuan kati, tentu dapat juga dia, menariknya. Apalagi hanya diinjak oleh seorang wanita kurus.

Ak..... , ak...... , ak...... , 3 kali sudah mulut Nyo Kong- lim menggeram dan 3 kali pula dia kerahkan tenaganya menarik. Tapi wanita aneh itu tetap tegak seperti gunung, sedikitpun tak bergeming. Malah bukan begitu saja. Melalui sam-ciat-kun. yang dicekalnya itu, rasanya ada semacam tenaga yang menyerang ketangannya hingga tangannya serasa sakit kesemutan, dan akhirnya lengannya berasa lemas sekali. Celaka aku, keluhnya. Terang wanita aneh itu sudah salurkan lwekang untuk menyerangnya. Tapi entah macam lwekang apa yang sedemikian lihaynya itu. Tahu gelagat jelek, buru2 Nyo Kong-lim lepaskan sam-ciat-kun, kemudian loncat mundur. Yakin dia, kalau berkeras adu tenaga, terang dia bakal menderita.  

6

Se-konyong2 bagian toya Nyo Kong-lim kena diinjak wanita aneh yang rambutnya hampir menutupi seluruh wajahnya.

Kejadian itu telah membuat sekalian orang menjadi pucat terperanjat. Kalau orang macam Nyo Kong-lim dengan mudah dapat ditindas, habis siapa lagi yang berani menandingi? Sesudah mundur itu, Nyo Kong-lim tak henti2nya obat-abitkan lengannya kanan. Pikirnya karena tadi keliwat banyak menggunakan tenaga, maka lengannya menjadi lemah lunglai.

"Huh, kalau tak mengingat karena kau hendak menolong seorang sahabat, tentu takkan kuampuni perbuatanmu menyerang secara gelap itu!" seru siwanita aneh sembari ketawa mengejek. Napas Nyo Kong-lim ter-engah2, tak dapat dia menyahut. Tiba2 Thay-san sin-tho yang sejak tadi menyelip diantara awak kapal, kini tampil kemuka, ujarnya: "Cunkeh tak kenal kami, entah apa maksud kedatangan cunkeh kemari ini?" Jelek rupanya, bongkok punggungnya, tapi Ih Liok itu cukup cerdas pikirannya. Ucapannya itu tak dapat dianggap menyalahi orang, tapi mengandung maksud mendamprat orang yang dikatakan cari perkara. Mendengar itu sepasang mata siwanita yang memancarkan sorot ke-hijau2an itu memandang kearah si Bongkok. Si Bongkok seorang yang bernyali besar, tinggi pula ilmu kepandaiannya. Benar tampaknya dia tenang2 saja, tapi diam2 hatinyapun bercekat dan bersiaga.

"Benar, dengan orang2 diperahu aku tak kenal mengenal. Tapi ada seorang yang mempunyai hubungan rapat dengan orang yang paling kubenci. Bangsa manusia begitu kalau  tak dibasmi tentu menimbulkan bahaya bagi dunia!" kata siwanita dengan nada. yang dingin,

"Siapakah dianya?" tanya si Bongkok.

"Dia!" sahut siwanita sembari menuding pada Tio Jiang. Karuan Tio Jiang menjadi terperanjat disamping heran,

Dia seorang anak yatim piatu tiada sanak kadang lagi, mengapa dikatakan mempunyai hubungan rapat dengan seseorang. "Cianpwe, jangan salah faham!" serunya serentak. Tapi sembari perdengarkan suara ketawa yang seram, siwanita sudah segera menerjangnya. Apa boleh buat, untuk menjaga, diri, Tio Jiang sambut kedatangan wanita itu dengan serangan to-hay-kiam-hwat.

Sedang Nyo Kong-limpun sudah berhasil membetot keluar sam-ciat-kun dari lantai geladak, terus dihantamkan pada siwanita. Meskipun diserang dari muka dan belakang, siwanita aneh itu bagaikan sesosok bayangan berlincahan diantara sabetan pedang dan hantaman sam-ciat-kun. Gerak tubuh siwanita itu tak mengeluarkan suara apa2, tapi baik Tio Jiang maupun Nyo Kong-lim merasa dikelilingi oleh samberan angin yang keras. Malah seorang tokoh persilatan macam si Bongkok yang faham akan aliran cabang persilatan didaerah utara maupun diselatan, tak mampu mengenali aliran cabang dari siwanita aneh itu.

Dalam beberapa jurus saja, Tio, Jiang dan Nyo Kong-lim sudah keripuhan. Mereka kini hanya difihak membela diri, tak dapat balas menyerang. Sampai pada saat itu, apa boleh buat si Bongkok hendak turun tangan. Tapi belum lagi dia bergerak, atau se-konyong2 kedengaran orang berseru:

”Ceng Bo siangjin!"

Memang pada saat itu tampak Ceng Bo siangjin dan Su Khin-ting muncul dipermukaan air. Dan salah seorang awak perahu telah menereakinya. Juga si Bongkok melihat hal itu, pikirnya kalau siangjin itu sudah datang, tak perlu jerikan siwanita itu lagi.

”Ceng....... " baru dia hendak turut meneriaki, Ceng Bo sudah selulup lagi untuk menolong Su Khin-ting. Sudah tentu siangjin itu tak mendengar teriakannya, dan si Bongkokpun tak berdaya apa2.

Tapi anehnya begitu mendengar nama Ceng Bo diteriakkan, wanita aneh itu mendorongkan kedua tangannya hingga Tio Jiang dan Nyo Kong-lim mundur kebelakang. Kemudian dengan gerak "han te pat jong", wanita tersebut apungkan diri kedekat rombongan awak perahu seraya berseru dengan nyaring: "Siapa yang meneriakkan Ceng Bo siangjin tadi ?

Bagi orang yang kepandaiannya masih dangkal, nyalinya sudah copot mendengar suara siwanita, yang mengandung getaran lwekang itu. Yang menereaki Ceng Bo siangjin tadi, kiranya adalah salah seorang thaubak (kepala liaulo) Hoasan. Diapun seorang yang keras wataknya. "Akulah!" sahutnya sembari tampil kemuka. Siwanita aneh perdengarkan ketawa seram, wajahnya berobah, menyeramkan orang. la singkap rambutnya yang terurai menutupi muka, dengan tajam menatap Go Tiong, thaubak itu. Tapi Go Tiong yang tak kenal kelihayan orang, tetap tegak disitu. Semua, orang, kagum atas  keberanian dan kejujuran Go Tiong, maka mereka serentak maju mendampinginya guna. memberi pertolongan apabila sampai thaubak itu diserang. Betapapun lihaynya siwanita, namun kalau dikeroyok orang banyak, tentu akan kewalahan juga. Wanita itu maju selangkah, hal mana makin membuat darah orang2 tersirap. Tapi ternyata ia tak menyerang, melainkan bertanya: "Mengapa tadi kau meneriaki Ceng Bo siangjin?”

"Oleh karena Ceng Bo siangjin tadi muncul dipermukaan air,!" sahut Go Tiong.

"Apa katamu?" tanya siwanita itu dengan setengah tak percaya. Kini tahulah si-Bongkok bahwa siwanita itu mempunyai hubungan dengan Ceng Bo siangjin, mungkin suatu dendam kesumat yang hebat. Maka diapun segera memberi penjelasan: "Memang Ceng Bo siangjin turun naik dalam perahu ini. Oleh karena hendak melakukan penyelidikan didasar laut Hay-sim-kau, dia selulup kesana. Tapi dia sudah muncul dipermukaan air, tapi entah bagaimana, kembali silam lagi.”

"Hm, mengapa dia berani menjumpai aku ?" siwanita perdengarkan ketawa-nya yang sinis.

Heran si Bongkok dibuatnya, tapi dia tak berani menegas. Siwanita tampak merenung. Tiba2 dengan gerak "yi hi ta ting" ikan lehi meletik, ia loncat kedalam laut. Adalah pada saat ia masuk kedalam laut, Ceng Bo siangjin telah diseret oleh sigurita kedasar laut, maka keduanyapun tak dapat bertemu. Mungkin karena mempunyai perasaan lain, siwanita itu tak kembali keatas perahu dan terus menuju kedalam gua karang didasar laut Hay-sim-kau.

Oleh karena sampai sekian lama Ceng Bo tak kunjung datang, akhirnya Nyo Kong-lim perentahkan berlayar. Dia kuatir karena waktunya mendesak kalau tak cepat2 kembali ke Hoasan mungkin nanti The Go dan Tan It-ho mengadu biru dimarkas itu, dan ini membahayakan kedudukan ke 72 Cecu Hoasan.

Tiba dipantai utara, benar juga hari sudah malam. Begitulah langsung mereka menuju ke Hoasan. Sewaktu dilihat disekeliling kaki gunung Hoasan tampak banyak kubu2 tentara, Ko Kui (cecu markas ke 1) menjadi heran, dia segera minta idin pada Nyo Kong-lim, untuk mendahului pergi kemarkas dengan mengambil jalan singkat.

Ketika dia tiba dimarkas, tepat kala itu wakilnya (Liang Pheng) tengah hendak memberi perintah menarik mundur anak buah kemarkas no. 2. Kemudian bertempur dengan The Go, akhirnya wakil Cecu itu telah menemui ajalnya secara mengenaskan. Demikian si Bongkok mengakhiri kissah penuturannya. Entah bagaimana perasaan Ceng Bo siangjin setelah habis mendengar itu, tapi sebagai seorang yang kuat perasaannya, dia tetap berusaha menahannya. Andaikata dia seorang diri, tentulah akan sudah mengucurkan air mata karena terharu melihat nasib sang isteri yang sangat dikasihinya itu.

Hari sudah menjelang pukul 3 malam, turut kata The Go, begitu terang tanah tentara Ceng pasti akan sudah bergerak menyerang. Suasana sudah tentu menjadi tegang. Hanya sebentar2 terdengar Nyo Kong-lim ber-teriak2 memberi perintah pada anak buahnya. "Terkaan Ih-heng itu memang benar. Wanita itu adalah isteriku yang kasar!" tak lama kemudian Ceng Bo berkata, kepada si Bongkok, siapa tampaknya tak heran atas keterangan itu, sahutnya: "Kalau benar ia itu Kiang Siang Yan, mengapa ilmu kepandaiannya tak sama dengan Bek- heng?"

Ceng Bo tuturkan apa yang telah disaksikan digua dasar laut Hay-sim-kau. "Dalam 10 tahun ini, dengan tekun ia telah meyakinkan ilmu lwekang sakti thay-im-lian-sing. Dengan begitu, kini aku bukan tandingannya lagi!" katanya pula.

"Haya, celaka ni!” seru si Bongkok, ”ketika lolos dari, pondok, Kiang Siang Yan telah membawa dendam penasaran sedalam laut. Konon kabarnya, thay-im-lian-sing itu akan merobah orang menjadi seorang yang ganas ke- liwat2. Kalau lain2 ilmu lwekang akan menjadi seorang lebih tenang dan sabar, sebaliknya ilmu thay-im-lian-sing itu kebalikannya! "

"Benar, karena dengan kebencian dia meyakinkan ilmu itu, maka sudah tentu dendamnya makin menyusup kedalam tulangnya. Ia tentu akan memakan dagingku, merobek kulitku. Ah, meskipun kesalahan itu akibat perbuatan manusia terkutuk, tapi untuk menjelaskan bukanlah mudah. Makanya ia selalu  menentang tindakanku, sengaja menyuruh Lian-ji ikut pada The Go!" kata Ceng Bo.

”Apa katamu itu, Bek-heng?" tanya si Bongkok dengan terperanjat sekali

Apa boleh buat, Ceng Bo tuturkan juga  kejadian diperahu dengan Bek Lian dan The Go,

”Habis kemana nona Lian sekarang?" tanya si Bongkok sembari banting2 kaki. Ceng Bo sendiri kacau balau hatinya. Isteri yang dicintainya, lolos tak ketahuan rimbanya, disusul dengan puteri biji matanya, menyintai seorang penghianat bangsa. Betapapun juga, imam itu tetap seorang yang terdiri dari darah dan daging, maka, bagaimana hancurnya sang hati, tentu dapat dimaklumi.

”Kalau si The Go masih disini, kita bisa menanyainya!" katanya sembari menghela napas panjang.

"Ah, kalau tahu begitu, kita tentu tak membiarkan dia lolos, ai.... , ai....!" seru si Bongkok sembari ber-kuik2 dengan gusar. Karena sudah terlanjur, kedua orang itu tak dapat bicara apa2. Tiba2 datanglah Nyo Kong-lim menanyakan mengapa Tio Jiang dan Yan-chiu belum datang. Ceng Bo terperanjat. Memang kedua anak muridnya itu cukup lama perginya. Si Bongkok tawarkan diri untuk menyusul. Tapi belum setengah jam dia turun gunung, dengan cepat sudah balik melapor: "Aneh, mengapa, siaoko dan nona Liau tak kelihatan jejaknya? Tentara Ceng masih menggeros, semua, jadi terang keterangan The Go itu bohong. Tapi yang memgherankan mengapa tak dapat kuketemukan letak markas besar panglima mereka. Juga tempat persembunyian meriam2 mereka, itu entah dimana!"

Ceng Bo makin resah, ujarnya: ”Li Seng Tong benar seorang panglima perang yang pandai, tapi menghadapi orang2 persilatan dia tentu tak dapat berbuat banyak. Turut pendapatku, tentu disana bersembunyi seorang juru pemikir yang lihay."

"Ah, tentunya si Cian-bin Long-kun The Go lah!" sahut si Bongkok serentak.

Ceng Bo anggukkan kepalanya, ujarnya: "Memang dia cukup hebat. Walaupun ustanya masih muda, tapi sudah begitu pandai, Sayang dia terjun kejaIan yang sesat" Dalam hati, si Bongkok sendiri juga mengagumi kecerdikan The Go. Dalam riwayat perkelanaannya didunia persilatan, belum pernah diingusi macam yang terjadi dengan diri The Go tadi. Begitulah persiapan dalam markas kesatu itu, terus diatur dengan tak henti2nya. Sekarang marilah kita tengok keadaan Tio Jiang dan Yan-chiu.

Begitu keluar dari pintu gerbang markas, dilihatnya udara mendung sekali. Takut kalau saling berpencar, keduanya lalu bergandengan tangan. Selama dalam perjalanan turun gunung itu tak putus2nya Yan-chiu menuturkan pengalamannya selama berpisah itu. Dengan genit dan lucunya, ia ceritakan bagaimana rasanya menjadi raja gunung selama dua bulan. Bermula dibiarkan saja sumoay itu bercerita sembari bergelak tawa, tapi setelah hampir dekat kemarkas musuh, dia lalu melarangnya. Tapi Yan-chiu sudah salah mengerti, dikiranya sang suko jemu mendengar ceritanya, maka dengan ketus ia berseru: ”ya sudah...., tak boleh bicara ya sudah. !"

Tahu akan perangai sang sumoay, Tio Jiang hanya  ganda tertawa saja. Dengan begitu habislah perselisihan kecil itu.

Begitu mendekati kubu musuh, Yan-chiu sembari berjinjit kaki, membisiki kedekat telinga sang suko: "Suko, aku hendak tanya padamu sebuah lagi, boleh tidak?"

Tio Jiang sijejaka bodoh, kuatir kalau membuat sang sumoay marah lagi, terpaksa mengiakan. "Suko, mana peniti kupu2 yang Lian suci berikan padamu tempo hari?" katanya sembari ketawa cekikikan.

Tio Jiang seperti disengat kalajengking saking kagetnya. Tukar menukar tanda pengikat kawin itu dilakukan hanya berdua orang saja, mengapa Yan-chiu dapat mengetahui? Tapi dasarnya bodoh, dia hanya mengira kalau Yan-chiu tentu mengintip, maka rahasia itu sampal bocor. Dengan suara ter-putus2 gemetar, dia sagera menyahut: "Masih padaku. Sumoay ......... se-kali2 jangan bilang pada Suhu, agar dia orang tua tidak marah !"

Sudah tentu Yan-chiu geli, jawabnya ter-sipu2: "Ya. ,

ya...., ya. , aku tak akan bilang!"

Dalam pikiran sinona yang nakal itu hanya terlintas suatu rencana memperolokkan suko dan sucinya. Apabila kedua orang itu berjumpa satu sama  lain hendak ia pertunjukkan barang panjer masing2 dan mengocok keduanya sampai puas betul. Hanya begitulah maksudnya, jadi bersifat hati kanak2. Sedikitpun ia tak sadar bahwa hal itu telah menyiksa Tio Jiang setengah mati, dan akhirnya putus asa. Tapi biarlah jangan kita ungkap dahulu kejadian yang belum datang itu.

Karena ceriwis dan cekikikan, Tio Jiang mengira kalau sang sumoay menggodanya soal perjodohan itu, maka diapun tak marah. Demikianlah kini keduanya sudah hampir mendekati kubu2 musuh. Sebagai seorang anak perempuan, Yan-chiu lebih teliti. Dilihatnya diatas tanah hutan situ banyak sekali terdapat bekas tapak kuda dan roda2 kereta. Yan-chiu me-raba2 tengkuk leher Tio Jiang, hingga saking kagetnya Tio Jiang sampai lompat berjingkrak. Ketika diketahuinya bahwa itulah sang sumoay yang sengaja hendak mempermainkan, Tio Jiang mendongkol sekali. Tapi hendak mendamprat, dia tak berani kuatir menerbitkan suara yang dapat didengar oleh serdadu2 Ceng. Maka apaboleh buat dia hanya deliki mata saja kepada gadis nakal itu. Tahu, sang suko marah tapi tak dapat berbuat apa2, Yan-chiu makin gembira Tio Jiang mendelik, ia balas unjuk muka-setan sembari me-lelet2-kan lidah. Tio Jiang meringis betul2. Puas menggoda, baru Yan- chiu berbisik kedekat telinga sukonya, suruh dia melihat apa yang terlihat ditanah situ. Saking girangnya, Tio Jiang sampai berjingkrak2: "Sumoay, bukankah itu bekas roda2 meriam ?"

"80 persen, ya!" sahut Yan-chiu.

"Suhu suruh aku menebus dosa dengan jasa. Kalau aku dapat merusakkan ke 10 pucuk meriam itu, tentu akan berjasa besar," kata Tio Jiang dengan girang. Yan-chiu menanyakan dengan heran. Tapi Tio Jiang membantah, masa ditempat macam begitu dia disuruh menceritakan.

"Kalau tak mau memberi tahu, aku tak mau menemani mu suko!" Yan-chiu unjuk gertakannya. Tahu akan tabiat sang sumoay, terpaksa Tio Jiang bercerita. Berulang kah Yan-chiu leletkan lidah saking kagum, dan ketika mengetahui sang suko telah mempelajari sekian banyak ilmu silat yang luar biasa, Yan-chiu segera minta diajari. Untuk jangan melenyapkan kegembiraan sinona, Tio Jiang menyanggupi: "Baik, tapi mari lebih dahulu kita cari tempat meriam2 itu! "

Keduanya segera berjalan menurut bekas roda itu. Tak berapa jauh, bekas2 roda itu tampak saling bersilang. Kini makin teguhlah dugaan mereka akan  tempat persembunyian meriam2 itu. Setelah berunding, keduanya memutuskan untuk tetap bersama2 mencarinya, tak usah berpencar. Benar juga tak berapa jauh, mereka tampak ada dua orang serdadu mondar-mandir didepan sebuah kubu. Bekas roda, itu menjurus kesana. Dilihat bentuknya, kubu itu menyerupai tempat tinggal orang.

Setelah saling memberi isyarat mata, keduanya segera menyelinap pe-lahan2. Yan-chiu berhasil mendekati dibelakang, salah seorang serdadu, siapa ternyata tak mengetahuinya. Sekali menarik kuncir orang, serdadu itu segera terjengkang jatuh kebelakang. Begitu mulutnya hendak berteriak, buru2 Yan-chiu menutuk jalan darah thian-tho-hiat ditenggorokan, hingga tamatlah riwayatnya. Sedang yang seorang lagi pun kena ditutuk pingsan oleh Tio Jiang. Dengan tak menerbitkan barang suatu suara, keduanya ber-jengket2 menghamperi kubu. Tapi begitu Yan-chiu susupkan kepalanya kedalam tenda kubu, segera ia-lekas2 tarik keluar seraya memaki sukonya: "Suko, mengapa kau begitu kurang ajar, suruh aku tonton pemandangan macam. begitu?!"

Tio Jiang segera susupkan kepala dan diapun menjadi menyeringai juga. Kiranya didalam kubu situ bukannya meriam yang ada, tapi 7 atau 8 orang serdadu Ceng sama terlentang tidur. Serdadu2 itu berasal dari daerah utara yang dingin. Meskipun didaerah selatan itu waktu dalam bulan 11, dan 12, tapi mereka tak merasa kedinginan. Dan memang sudah menjadi adat kebiasaan orang utara, kalau tidur tentu lepas pakaian. Sudah tentu pemandangan itu sangat "mengerikan" Yan-chiu. Tapi sebagai anak laki, sudah tentu Tio Jiang tak menjadi jengah. Dia heran mengapa bekas tapak roda tadi terang masuk kedalam kubu situ, tapi mengapa kawanan serdadu yang ada?. Diawasinya lagi dengan perdata dan akhirnya tampak juga diujung sana ada sebuah benda warna hitam, berbentuk bulat, menggeletak ditanah. Karena tak mengetahui benda apa itu, buru2 dia memberi isyarat agar Yan-chiu datang kesitu. Sudah tentu Yanchiu tak mau, kapok ia. Apa boleh buat, Tio Jiang terpaksa menghampiri sang sumoay, ujarnya:

”Sumoay, mengapa pada saat2 yang penting, kau mundur teratur?"

"Suko, kalau kau menghina, tentu kubilangkan pada suhu!" sahut Yan-chiu dengan uring2an.

"Diujung kubu itu ada sebuah benda yang hitam gelap warnanya. Kupikir hendak menobros masuk untuk memeriksanya, harap kau berjaga diluar, sumoay," kata Tio Jiang.

7

Dengan batang kayu itu, Tio Jiang menyusup kedalam kemah musuh, ia gunakan ilmu menutup yang di pelajarinya dari Sih Lo-sam, dengan gerak cepat, sekejap saja ia telah tutuk jalan darah lumpuh tujuh perajurit penjaga.

Setelah sumoaynya setuju, bermula Tio Jiang hendak gunakan pedangnya tapi tak jadi. Dia memotes sebatang ranting puhun, lalu menyusuk kedalam tenda. Menurutkan ajaran Sik Lo-sam, dalam sekejab saja dia sudah dapat menutuk jalan darah ke-8 serdadu itu. Setelah itu dia menghampiri kesudut tenda. Ah......., makanya tak dapat kawan2nya yang dahulu mencari tempat persembunyian meriam, karena senjata itu disembunyikan didalam tanah. Permukaan lubang itu, ditutup dengan sebuah papan. Waktu papan itu diangkat, terdapatlah sebuah lubang gua dibawah tanah dengan diterangi oleh beberapa batang lilin. Disitu terdapat dua orang serdadu tengah duduk mengantuk. Tio Jiang berkerja sebat. Meriam digulingkan, isinya dibuang, sementara sipenjagapun ditutuk pingsan. Setelah merusakkan beberapa barang dalam kubu tersebut, Tio Jiang lalu menyusup keluar lagi. Tapi disitu Yan-chiu tak nampak bayanganya. Berulang kali Tio Jiang memanggilnya tapi senantiasa tak berbalas.

Tio Jiang makin gelisah. Taruh kata dia berhasil merusakkan ke 10 pucuk meriam musuh, namun kalau Yan-chiu sampai ada apa2, artinya dia itu tetap berdosa. Apa boleh buat dia terpaksa menyelidiki berpuluh kubu yang berada disitu. Pada sebuah kubu, didapatinya ada seorang serdadu Ceng rubuh binasa. Hal mana membuat Tio Jiang girang, karena dia dapat mengetahui jejak lari sang sumoay. Dengan menurutkan arah pengunjukan itu, akhirnya berhasillah dia keluar dari barisan kubu2 musuh, tapi sampai berapa kali dia berseru keras, tetap tiada berbalas.

Ketika itu Tio Jiang mendongkol dan gelisah. Mendongkol karena mengira sumoaynya lagi2 hendak main ugal2an. Gelisah karena memikiri penemuannya tadi. Meriam sudah diketahui, tapi kalau tak lekas2 dihancurkan, nanti terang tanah tentu akan digunakan menyerang Hoa- san. Maka Tio Jiang mondar mandir saja disekitar kaki gunung situ, belum dapat mengambil keputusan. Adalah pada saat itu, si Bongkok sebenarnya juga sudah datang untuk mencari dia dan Yan-chiu, tapi karena kebetulan Tio Jiang baru mengitari bagian sana, jadi tak dapat dilihat si Bongkok.

”Tio Jiang, Tio Jiang! Mengapa dikau begitu tolol? Biar tak menjumpai jejak Yan-chiu, tapi seharusnya kau lekas2 menghancurkan senjata2 maut itu dulu. Apakah kau tak mengerti bahwa keayalanmu itu berarti maut bagi sekian banyak orang2 gagah yang berada digunung Hoasan?" tiba2 dia bertanya seorang diri. Memikir sampai disitu, peluh membasahi sekujur tubuhnya. Buru2 dia kembali kedaerah perkubuan musuh lagi. Menyusur bekas roda2 meriam, dia memasuki kubu demi kubu. Untungnya para serdadu yang bertugas dalam setiap kubu itu sama menggeros seperti babi, jadi mudahlah dia hancurkan meriam2 itu satu per satu. Dan dalam waktu tak berapa lama saja, berhasillah dia menghancurkan 9 pucuk meriam. Meriam ke 10, atau meriam yang penghabisan setelah agak lama dicarinya barulah dapat diketemukan tempat persembunyiannya.

Segera ia menyusup kedalam kubu itu, ia dapatkan suasana didalam situ agak lain. Baru dia merandek sejenak, atau tiba2 dia rasa ada serangkum angin menyambar dari muka. Karena tak keburu berkelit, maka Tio Jiang cukup gunakan jurus "hong cu may ciu" melejit kesamping. Dengan ujung ranting puhun tadi, dia segera tutuk jalan darah orang dibagian betis pada jalan darah wi-tiong-hiat. Orang itu bergelundungan ditanah untuk menghindar, kemudian berseru melengking: "The toako, akulah! Ini benar2 'istana raja laut kebanjiran air' (artinya orang sendiri hantam orang sendiri) !"

Tio Jiang rasanya faham akan suara itu. Ah, benar dialah! Itulah Chi Sim, salah seorang dari persaudaraan Chi. Sewaktu pertempuran luitay di gunung Gwat-siu-san tempo hari, hanya dia seorang yang tak mendapat luka. Tentu kini dia mengikut The Go. Tapi mengapa orang she Chi itu mengira kalau dia itu si The Go? Oho, mungkin orang mengambil kesimpulan begitu itu karena, tampak dia (Tio Jiang) tadi gunakan jurus hong-cu-may-cu, itu ilmu silat warisan Ang Hwat cinjin yang diturunkan pada The Go. Ah, biar bagaimana meriam yang no. 10 itu harus dihancurkan agar tak menerbitkan bahaya bagi Hoa-san.

Memang penjaga dalam buku itu adalah si Chi  Sim, siapa tak mengira kalau yang hendak masuk kedalam kubu situ adalah The Go. Malah ketika si The Go palsu diam saja, Chi Sim mengira kalau orang menjadi kurang senang. "The toako, seranganmu tadi laksana kilat cepatnya. Kalau aku tidak lekas2 menyingkir, tentu habislah riwayatku!" kata Thyi Sim sembari ketawa ingin mengambil hati orang.

Tio Jiang geli tapi tak mau menyahut. Belum lagi dia mengambil putusan, diam saja atau menyahut, sudah kedengaran lagi si Chi Sim mengoceh: "Tadi aku telah menjambangi nona Bek. Semalam ia tak tidur karena kau tak pulang. Kemana saja pergimu tadi malam itu toako ?"

Kaget Tio Jiang sukar dilukiskan. Apakah betul2 Bek Lian tak mau pada dirinya dan mati hidup hendak  ikut pada The Go? Kalau tidak, mengapa suci itu tetap mengintil orang kemana The Go pergi? Gusar dan pedih, Tio Jiang cepat melesat maju untuk menampar muka Chi Sim, plak.............

Karena sedang berusaha untuk mengambil hati "The Go", maka Chi Sim sudah tak ber-jaga2 akan datangnya serangan yang begitu mendadak itu. Saking keras tamparan si Tio Jiang, maka gigi Chi Sim telah copot sampai dua biji. Dia ber-kuik2 kesakitan, serunya ter-putus2: "The toako, mengapa kau ”

Belum kata2 itu diselesaikan, tiba2 jalan darah dibelakang batok kepalanya dipijat keras2 oleh orang (Tio Jiang). Chi Sim coba meronta dari cengkeraman itu, tapi bukan saja tak dapat lolos malah dirasakan ada semacam tenaga yang panas, menyalur pada kepalanya. "The toako, jangan bersenda-gurau" serunya. Mana Tio Jiang mau meladeni, dengan bengis dia menggertak: "Siapa yang sudi jadi The toako-mu? Dimana nona Bek, lekas bilang!"

"Siapa .......kau .......kau ini?" tanya Chi Sim dengan ketakutan. Tio Jiang makin perkeras tekanannya dan paksa orang menunjukkan tempat persembunyian Bek Lian. Apa boleh buat Chi Sim terpaksa menurut, tapi lebih dahulu dia minta orang kendorkan cengkeramannya. Tapi Tio Jiang sudah ketelanjur gusar melihat orang berayal, dampratnya: "Sampai ditempatnya, tentu kukendorkan. Kalau berani main gila, tentu kukirim kau keakherat !"

Begitulah dengan serta merta Chi Sim bawa Tio Jiang ber-biluk2 diantara kubu2, sehingga sampai membingungkan Tio Jiang. Yang diketahuinya, kubu2 itu diatur dengan rapi sekali, mirip dengan formasi sebuah barisan. Maka tak heranlah kalau orang tak dapat mengetahui tempat markas panglima. Untung tadi Yan- chiu dapat melihat bekas tapak roda, hingga dapat mengetahui tempat persembunyian meriam2. itu. Jadi kalau menurut cengli (nalar) Yan-chiulah yang harus diberi ganjaran jasa. Ini telah menjadi keputusan Tio Jiang juga, apabila kelak berhadapan dengan suhunya. Memikirkan hal itu, tiba2 dia teringat bahwa masih ada sepucuk meriam yang belum dihancurkan. "Kembali" bentaknya dengan suara tertahan.

"Kemana?" tanya Chi Sim dengan heran. Tio Jiang menyuruh kembali ketempat tadi. Terpaksa, Chi Sim menurut. Begitu sampai dikubu tadi, segera Tio Jiang tutuk jalan darah pemingsan Chi Sim, kemudian menghancurkan meriam disitu. Selesai tugasnya, baru dia buka jalan darah  si Chi Sim lagi dan suruh dia membawanya ketempat Bek Lian. Sepanjang jalan, mereka tak berjumpa barang seorang serdadupun juga. Hal mana membuat Tio Jiang heran. "Mengapa tiada seorangpun serdadu penjaga?" tanyanya.

"Kubu2 disini diatur menurut susunan barisan yang ditentukan Ang Hwat cinjin. Kalau orang luar sampai masuk kemari, mereka akan ber-putar2 kesana-sini namun tetap, berada diluar. Bagi tokoh yang tinggi ilmunya, paling2 hanya, dapat mencapai susun yang ketiga," menerangkan Chi Sim, Tio Jiang terperanjat. Tapi pada lain saat Chi Sim mengatakan sudah sampai dikubu Bek Lian,

Tio Jiang belum mau kendorkan cengkeramannya. Dia, susupkan kepalanya melongok kedalam, tapi disitu tiada seorangpun juga. Dengan geramnya Tio Jiang cekik  tengkuk Chi Sim. Cekikan itu dipelajarinya dari Sik Lo- sam, maka keadaan. Chi Simpun persis seperti ketika dia (Tio Jiang) dicekik Sik Lo-sam di Giok-li-nia tempo hari. Dengan meng-uak2 kesakitan, Chi Sim diseretnya masuk kedalam kubu. Tio Jiang curiga mengapa didalamm kubu situ kosong tiada orangnya, kecuali sebuah meja hijau dengan 3 batang lilin, sebuah tempat tidur dengan selambu sulaman. Sama sekali tak mirip dengan kubu  tentara. Diam2 Tio Jiang berpendapat, mungkin disitulah tempat tinggal Bek Lian. Ketika memandang kearah tempat tidur, dilihat selimut dan bantal agak berserakan dan tatkala tangannya meraba keatasnya, masih terasa hangat. Terang orang baru saja habis menidurinya

"Orang she Chi, lekas katakan, adakah benar2 nona Bek berada disini ?" tanyanya. Dicekik tengkuknya itu, Chi Sim ketakutan setengah mati. Buru2 dia pegangi tangan pencekiknya itu. Bukan hendak melawannya, tapi hendak berjaga2 kalau orang perkeras cekikannya, dapatlah dia berusaha untuk meringankan kesakitannya. Kini kalau dia, menerangkan dengan terus terang, tentulah Tio Jiang mau mengampuninya. Maka, tanpa ragu2 lagi, diapun segera menyahut: "Kedatangan nona Bek ke Kwiciu sini adalah bersama dengan The toako. Sudah dua hari ini The toako pergi belum pulang, sehingga membuat nona Bek bersedih sampai tak mau makan, karena selalu mengenangkan The toako"

"Ngelantur!" bentak Tio Jiang demi mendengar keterangan orang yang menyayat hatinya itu. Hal itu telah membuat kaget Chi Sim. Coba dia itu orangnya bisa berpikir, tentulah akah segera mendapat kesan bahwa tentu ada apa2 antara pemuda itu dengan nona Bek, makanya dia begitu tanya melilit tentang sinona, Dan dengan pengertian itu, dapatlah dia merangkai kebohongan. Tapi Chi Sim sih orangnya kasar. Dia keliwat takut mati, maka teruskan lagi keterangannya:

"Aku omong hal yang sebenarnya. Nona Bek memang rindu pada The toako. Beberapa kali dia mengunjungi kemarkas congpeng untuk menanyakan diri The toako, mengapa sampai sekian lama belum pulang serta pergi kemana saja agar ia dapat menyusul. Oleh karena kepergian The toako kali ini bersifat rahasia, jadi Li congpeng tak mau memberitahukannya. Nona Bek marah dan membuat gaduh dimarkas congpeng!"

Tio Jiang memang kenal akan adat perangai sang suci. Kalau sudah marah sucinya itu tentu takkan peduli segala apa. Kalau ditilik dari tingkah laku Bek Lian terhadap The Go ketika dipulau kosong tempo hari, keterangan Chi Sim itu memang tak bohong. "Setiap orang telah mengetahui rencana keji dari The Go dipulau Ban-san-to!" kata Tio Jiang sambil menghela napas.

Atas penyelaan Tio Jiang itu, Chi Sim berhenti sejenak.

Tapi dia. segera lanjutkan keterangannya lagi: "Sedatangnya dari Ban-san-to, The toako kembali majukan sebuah rencana untuk menyerang Hoa-san. Kali itu Bek Lian berkata ikut pada The toako. Melihat ia itu seorang gadis, semula Li congpeng tak memberi idin. Nona Bek minta diadu dengan dua orang perwira. Akhirnya, kedua perwira itu telah dikalahkannya dan barulah Li congpeng mengidinkan."

Tio Jiang percaya penuh keterangan itu. Makin keras niatnya untuk menemui sang suci. Hendak dia tanyakan, mengapa malam itu sudah memberikan panjer nikah kemudian tak menyintai dia (Tio Jiang). Dengan ketetapan itu, segera dia tutuk jalan darah pemingsan Chi Sim, hingga orang itu rubuh tak berkutik dilantai, melainkan sepasang matanya saja yang masih bisa mengawasi Tio Jiang.

"Dalam waktu empat, kau akan pulih sendiri!" kata Tio Jiang, terus keluar. Diluar kubu penuh dengan kabut. Hari sudah menjelang terang tanah. Dia mulai lakukan penyelidikan, tapi kabut makin tebal sehmgga dalam jarak beberapa meter saja sudah tak dapat melihat apa2. Tiba2 Tio Jiang teringat bahwa kubu2 itu disusun menurut ajaran Ang Hwat cinjin yang disebut barisan Ko-cut-tin. Hendak dia balik saja mencari pada Chi Sim, tapi matanya sudah kehilangan penglihatan karena tebalnya sang kabut. Apa boleh buat, Tio Jiang segera mengambil sebuah arah, terus lari kemuka. Hari makin terang. Oleh karena semalam tak, tidur, maka sekalipun Tio Jiang seorang sehat  kuat, terpaksa merasa letih juga. Pada kala itu, kira2 dia sudah berlari sejauh 30-an li jauhnya. Tapi anehnya, masih ubek2an berada di-tengah2 barisan kubu situ. Kemana dia lari, kesitu dia selalu tak menjumpai seorangpun juga.

Lama2 mendongkol juga Tio Jiang. Sekali berbuat, tak mau kepalang tanggung lagi. Dia menobros kedalam sebuah kubu, pikirnya hendak menyeret seorang serdadu untuk dipaksanya menjadi pengunjuk jalan. Tapi untuk kekagetannya, begitu masuk begitu disambut dengan beberapa senjata rahasia. Dalam gugupnya, segera dia gunakan jurus thiat-pian-kio, lengkungkan tubuhnya kebelakang. Ber-puluh2 senjata rahasia men-desing2 diatas tubuhnya. Diam2 Tio Jiang bersyukur didalam hati. Tapi ketika dia hendak bangun, tiba2 melayang sebuah hantaman. Oleh karena tubuh Tio Jiang masih melengkung kebelakang, tambahan pula tak membekal senjata apa2, terpaksa dia buang dirinya untuk bergelundungan kesamping. Tapi tanpa disengaja, gerakannya itu sesuai dengan jurus hong-cu-may-ciu atau sigila menjual arak, itu ilmu pusaka dari Ang Hwat cinjin.

---oodw0tahoo---
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar