Naga dari Selatan BAGIAN 12 : SI BONGKOK

 
BAGIAN 12 : SI BONGKOK

Diam2 The Go bersorak dalam hati. Rangka kipasnya terbuat dari lidi baja murni. Baja diadu dengan daging, terang menang. Maka dengan kerahkan seluruh tenaganya, dia tusukkan kipas se-kuat2nya. Tapi astaga, begitu ujung kipas menyentuh daging-tambahan itu, serasa seperti membentur segunduk kapas yang empuk. Dan malah rasanya, tubuhnyapun ikut kesedot menjorok kemuka. Terang kipasnya menyusup kedalam daging, mengapa dirinya yang tersedot ? Mati aku demikian dia mengeluh. Thay-san sin-tho terkenal mempunyai tho-kang, ilmu-punuk yang sakti. Segumpal daging mentah yang menemplek dipunggungnya itu telah dilatih menjadi semacam senjata yang ampuh. Dia dapat dijulur-surutkan menurut sekehendak hati, dapat berobah menjadi lunak bagaikan kapas untuk menerima setiap serangan, tapi dapat pula berobah menjadi tenaga, gempuran hebat untuk melemparkan setiap penyerang.

Cepat The Go kendorkan tangannya lalu mundur, tapi si Bongkok sudah mendahuluinya, dengan Sebuah tamparan yang dengan tepatnya mengenai sasaran. Betapapun The Go sudah bertindak dengall cepatnya, namun tak urung siku tangannya telah kena, dihantam, Syukur dia tadi memang hendak mundur, maka tak sampai menderita luka berat. Mengingat bahwa lebih banyak bahaya daripada selamatnya kalau dia terus berada diruangan situ, maka jalan satu2nya ialah meloloskan diri. Dilihatnya dijendela sana hanya terdapat seorang liaulo, maka sekali melesat dia merat kesana. Orang banyak coba menghalanginya, namun sekali hantam dapatlah The Go merobohkan liaulo itu, lalu loncat menobros keluar dari jendela.

"Jangan lepaskan dia!" teriak si Bongkok dengan geramnya.

"Jangan kuatir, dia tak mampu lari!" tiba2 terdengar suara sambutan, disusul dengan terlemparnya  sesosok tubuh dari jendela kedalam ruangan. Itulah si Cian-bin Long-kun The Go. Selagi orang2 sama ke-heran2an, tiba2 seorang nona dara masuk kedalam ruangan sembari tertawa cekikikan dan mencekal sebuah bandringan.

"Yan-chiu sumoay?" seru Tio Jiang demi melihatnya. Memang dia itu adalah Yan-chiu. "Suko, kiranya kau tak terbunuh tentara Ceng?!" sahut nona itu dengan tak kurang girangnya. Tapi demi teringat akan peristiwa "pertunangan" pada malam itu, dia ke-merah2an mukanya.

"Siao Chiu, kau sudah mendirikan pahalamu pertama!" kata si Bongkok sembari menekan jalan darah The Go. Bahwa si Bongkok gagu bekas kawannya dahulu dapat berbicara, telah membuat Yan-chiu melengak kaget. Sebelum ia tahu apa yang harus diperbuat, se-konyong2 Ceng Bo siangjinpun menobros masuk, seraya berseru pada Nyo Kong-lim:

"Nyo-heng, lekas atur siasat untuk menghadapi tentara Ceng!"

Setelah sampai ditengah jalan, Ceng Bo anggap lebih baik dia ajak Yan-chiu seorang diri untuk menyelidiki kekubu musuh. Maka disuruhnya ke 10 anak buahnya itu menunggu disitu, sedang dia sendiri bersama Yan-chiu lalu gunakan ilmunya berjalan cepat meluncur kekaki gunung. Ternyata kubu2 tentara Ceng itu sangatlah rapatnya, namun rapih sekali formasinya. Terang kalau musuh berjumlah besar, keduanyapun tak berani gegabah. Tapi yang aneh, sekalipun sudah mondar mandir beberapa kali, tetap mereka tak berhasil mendapatkan tempat persembunyian dari ke 10 pucuk meriam itu.  Begitu pula tak diketahuinya, yang manakah markas panglima. Sebagai orang yang faham ilmu perang, tahulah Ceng Bo bahwa musuh mempunyai seorang panglima perang yang pandai sekali. Jadi nyatalah Li Seng Tong itu tak bernama kosong. Karena sudah sekian lama melakukan penyelidikan itu, dikuatirkan akan diketahui jejaknya oleh fihak musuh, maka dia segera ajak Yan-chiu balik keatas gunung.

Setiba dimuka pintu markas, mereka merasa suasananya agak berlainan. Yan-chiu lari mendahului sang suhu. Tapi begitu tiba dimarkas, ia kesamplokan dengan seorang yang lari dari jendela. Cepat ia ayunkan bandringannya menurut ilmu bandringan yang diajarkan oleh Kui-eng-cu. Tapi The Go cukup lihay, dengan tipu tiat-pan-kio, yakni tubuhnya diayunkan kebelakang seperti sebuah jembatan melengkung. Tapi permainan bandringan "hong hong sam thau" (burung Kim 3 kali mengangguk) dari Yan-chiu jauh berbeda dengan dahulu. Begitu bola bandringan melayang diatas tubuh The Go, Yan-chiu cepat sentakkan tangannya kebawah sehingga bola itu dapat membal balik menghantam tubuh lawan. The Go dihadapkan dengan dua pilihan, yaitu loncat masuk kembali kedalam ruangan dan diringkus atau mandah terhantam bola bandringan yang akan menyebabkannya kalau tak mati konyol tentu luka berat. Dia memilih jalan pertama dengan berkesudahan begitu masuk kedalam ruangan, terus ditutuk jalan darahnya oleh Thay-san sin-tho. Dan begitu 'Ceng Bo muncul, nyali The Go semangkin copot. Tapi sebagai seorang yang penuh tipu muslihat, dia tetap melipur getar bibirnya mengunjuk wajah yang tenang. Kalau tak dibikin lumpuh oleh tekanan si Bongkok tadi, mungkin dia masih akan jual lagak sebagai utusan negara.

Melihat beradanya The Go disitu, menimbulkan kebimbangan Ceng Bo. Disamping dia hendak lekas2 merundingkan siasat menghadapi musuh dengan Nyo Kong-lim, juga ingin tanya peristiwa si Yau-sin ban-pian Tan It-ho pada The Go. Juga rasanya tak dapat dia menahan hatinya untuk segera monanyai Tio Jiang, bagaimana jalannya pertempuran Nyo Kong-lim dengan siwanita berambut panjang diatas geladak perahu tempo hari itu. Setelah ditimbang dengan kepala dingin, akhirnya dia hendak mendahulukan kepentingan negara dari urusan lain2nya. Musuh didepan mata, harus segera dihalau. "Nyo-heng, hasil penyelidikanku dengan Yan-chiu kemarkas musuh tadi, menyatakan bahwa disiplin mereka sangat rapi sekali. Panglimanya tentu seorang jenderal yang pandai. 3000 serdadu, sih tak perlu ditakuti. Tapi ke 10 pucuk meriam mereka itulah yang perlu kita pikirkan. Oleh karena tadi kami belum berhasil menemukan tempat persembunyiannya, maka, malam ini harus dilakukan penyelidikan lagi sampai berhasil. Ini untuk menentukan langkah kita selanjutnya."

Sebaliknya Nyo Kong-lim yang jujur itu, menyatakan isi hatinya: ,Ceng Bo siangjin, boleh dikata wilayah Kwitang kini sudah diduduki musuh. Mumpung sekalian saudara persilatan sama berada disini, maka Hay-te-kau, peganglah pucuk pimpinan Hoa-san ini, karena tempat ini merupakan kubu2 pertahanan rakyat yang terakhir, Aku, Nyo Kong- lim, senang mendengar titahmu!" Habis berkata begitu, dia mengambil sebuah lencana-baja dari dalam  baju, diserahkan kepada Ceng Bo. Lencana itu diukir bentuk gunung Hoa-san dengan ke 72- Ce. "Inilah lencana pimpinan dari ke 72 Cecu Hoasan, harap kau suka terima!"

Ceng Bo siangjin terharu. Tak disangkanya didalam semak belukar pegunungan lebat, terdapat seorang peribadi yang berwatak kuat macam Toa-cecu itu. Ia lihat bagaimana pembesar2 kerajaan saling berebut mencari pangkat dan kedudukan hingga merusak negara, tapi siorang jujur begitu tulus ikhlas menyerahkan kedudukan padanya. "Nyo-heng, saat ini bukan saat main sungkan2-an. Musuh sudah didepan mata, usah kita main mengalah. Kau lebih faham akan keadaan ke 72 ce disini, peganglah terus tampuk pimpinannya !"

Nyo Kong-lim hendak membantah, tapi Thay-san sin-tho keburu mendahului-nya: "Mengapa ini itu seperti ular kambang? Nyo-heng, ucapan Ceng Bo siangjin itu tepat. SudahIah jangan sungkan, lebih baik lekas2 jatuhkan hukuman pada bangsat ini!" katanya sembari perkeras tekanannya. The Go sudah kerahkan lwekang untuk menahan, tapi mana dia mampu menangkan kesaktian si Bongkok, apalagi memang si Bongkok itu sengaja hendak memberi pil-pahit padanya. Maka saking sakitnya, kepala The Go basah dengan kucuran keringat.

The Go sadar bahwa sekalian yang berada disitu itu adalah para orang gagah patriot dalam dunia persilatan. Meminta ampun, itu akan sia2 saja malah tentu di-maki2. Maka lebih baik dia berlaku gagah saja. Walaupun selebar mukanya pucat pasi menahan penderitaan hebat, namun, bybirnya tetap berhias senyuman.

"Ih-heng, tutuk saja nui-hiatnya (jalan darah supaya orang lemas). Tunggu nanti sampai kita selesaikan urusan penting ini," kata Ceng Bo. Ih Liok segera jalankan perintah siangjin tersebut. Sekali tutuk, maka lemah lunglailah tubuh The Go seperti tak bertulang. Terbaring ditanah, dia hanya me-ngicup2kan kedua matanya.

Kini sekalian orang sama mendengarkan penuturan Liang Pheng tentang kejadian yang dialaminya. Melihat wajah, dan sikap dari sekalian orang yang bertekad bulat melawan penjajah Ceng itu, diam2 Liang Pheng menjadi malu sendiri. Orang2 sama bersyukur, kalau terlambat sedikit saja markas ke 1 disitu tentu akan sudah jatuh ditangan The Go, dan ini membahayakan kedudukan seluruh Hoa-san. Nyo Kong-lim segera mengirim berita agar pasukan dimarkas besar lekas datang kesitu. Dalain waktu semalam itu saja, maka pertahanan markas ke 1 telah diperkuat. Balok2 dan tong2 besi di-tumpuk2 merupakan perbentengan yang kokoh.

Juga penguburan Ko Kui telah mendapat perhatian selayaknya. Semua orang turut mengucurkan air mata atas gugurnya seorang pahlawan yang berhati baja itu. "Kalau Sin-eng Ko Thay mengetahui tentang kematian saudara Ko Kui, dia pasti tak mau sudah!" kata Nyo Kong-lim. Sembari menghela napas, dia serahkan senjata sarung-tangan kulit kura2 milik Ko Kui itu kepada Tio Jiang, ujarnya: "Siaoko, sarung tangan ini tak mempan senjata tajam. Karena kini belum dapat diserahkan kepada Ko lo-tayhiap, maka untuk sementara kau pakailah!"

Maksud Nyo Kong-lim itu baik sekali. Karena diketahuinya anak muda itu hanya mempunyai sebilah pedang yang bertotolkan karatan, maka disuruhnyalah memakai. Tapi dia tak mengira, kalau hal itu kelak bakal menimbulkan bermacam2 urusan. Tio Jiang juga senang akan senjata ampuh itu, tapi dia tak berani mengambil putusan, melainkan memandang kearah gurunya. Setelah Ceng Bo mengangguk barulah dia mau menerimanya.

Nyo Kong-lim menyuruh dua orang liaulo yang berkepandaian cukup dan faham keadaan gunung Hoasan, untuk turun kekaki gunung guna menyelidiki meriam fihak tentara Ceng. Sekalipun malam itu tak terjadi apa2, tapi orang2 sama tak dapat tidur nyenyak. Dalam kesempatan itu Ceng Bo menanyakan Nyo Kong-lim perihal pertempurannya dengan siwanita berambut panjang diatas perahu tempo hari. "Huh, jangan di-ungkat2 lagi urusan itu, aku heran dengan wanita yang luar biasa ganasnya itu!" sahut Nyo Kong-lim.

"Adakah wanita itu menyebutkan namanya ?" tanya  Ceng Bo.

Setelah mengingat sebentar Nyo Kong-lim menyahut tidak. ”Karena laut keliwat dalam, terpaksa kita tak dapat melepas jangkar (sauh), maka segera kusuruh putar haluan perahu mengitari perairan karang Hay-sim-kau situ. Lewat beberapa lama, karena kau masih belum nampak muncul, aku lantas hendak menyuruh orang menyusulmu kedalam dasar laut baru menutur sampai disitu, tampak Nyo Kong- lim celingukan kian kemari, lalu tiba2 berseru: ,Hai, mana Bo-lin-hi Su Khin-ting?"

Ceng Bo cepat2 menuturkan apa yang telah dialaminya dengan Su Khin-ting dibawah laut situ. Mendengar kisah pertempuran antara dua orang manusia dan seekor gurita raksasa, semua orang sama leletkan lidah. Setelah melihat lukisan pada dinding gua dibawah laut, bermula Ceng Bo yakin bahwa siwanita berambut panjang itu tentulah sang isteri, Kiang Siang Yan In Hong. Tapi ketika didapati kotak berisi mutiara berada dalam perut sigurita, pikiran Ceng Bo agak bersangsi. Kotak berharga itu dahulu adalah pemberiannya kepada In Hong selaku tanda  pengikat kawin. Dengan beradanya barang itu didalam perut gurita, jangan2 sang isteri itu telah binasa dimangsa makhluk laut tersebut. Maka dia cenderung pada dugaan, kemungkinan besar wanita berambut panjang itu adalah kawan dari sang isteri. Tapi itu hanya dugaan, yang penting dia harus lekas dapat berjumpa, dengan wanita berambut panjang itu lagi guna ditanyai keterangan yang jelas. Maka setelah menuturkan pengalamannya dengan seringkas mungkin buru2 dia minta agar Nyo Kong-lim melanjutkan lagi penuturannya.

Nyo Kong-lim masih meng-ingat2 lagi, dan ketika dia baru hendak membuka mulut, Thay-san-sin-tho Ih Liok sudah mendahuluinya: "Nyo-heng tak pandai bercerita, biarkan aku saja yang menuturkan." Memang watak Nyo Konglim itu menyamai Tio Jiang, seorang jujur yang tak pandai berbicara. Maka dengan girang dia menyetujui. Karena para orang gagah lainnya sudah sama mengalami sendiri peristiwa diatas perahu itu, jadi mereka, tak mau mendengarkan lagi cerita itu. Ada yang masuk tidur, ada yang keluar meninjau pos penjagaan. Begitulah kini dalam ruangan situ hanya tinggal Nyo Kong-lim,  Ih Liok, Ceng Bo siangjin, Tio Jiang, Yan-chiu dan beberapa orang saja, serta si The Go yang menggeletak dilantai sana tak dapat berkutik. Karena percaya akan kelihayan si Bongkok, maka orang2 yang berada disitu tak ambil perhatian lagi kepada penghianat The itu. Betapapun lihaynya tokh se-kurang2- nya 4 atau 5 jam barulah dia akan dapat sembuh, demikian pikir mereka.

Yan-chiu, belum pernah merasakan begitu girang seperti pada malam itu. Tadi suhunya menuturkan pertempurannya dengan gurita raksasa, hatinya berdebar keras, peluhnya mengalir deras dan mulutnya meng-gigit2 kuku jarinya. la begitu tegang, se-olah2 turut ambil bagian sendiri dalam pertempuran itu. Dan kini si Bongkok bakal membawakan kisah pertempuran lain yang tak kurang serunya, ia makin terpesona. Juga Tio Jiang yang rindukan sang suhu, ikut duduk disitu menemaninya. Mulailah Thay- san-sin-tho Ih Liok menghidangkan ceritanya:

"Karena sudah menunggu sampai sekian lama, kami sekalian menjadi gelisah. Toacecu mondar mandir digeladak dengan cemas sekali. Tiba2 dari arah laut sana, terdengar suara aneh yang halus, dan nyaring sekali. Para saudara2 yang biasa hidup dilautan, menjadi heran juga. Ketika itu perahu ditengah laut besar, tiada bertepi tiada pula sebuah perahupun yang mendatangi, mengapa ada suara tersebut? Lama kelamaan nada suara aneh itu berobah menjadi semacam orang merintih, tapi lengking suaranya menusuk tajam kedalam anak telinga. Ini menandakan bahwa siorang itu tentu tinggi sekali ilmunya lwekang. Kini dari heran sekalian orang diperahu itu menjadi tegang. Terang itulah seorang kaum persilatan yang berkepandaian tinggi. Dan tepatlah dugaan itu, karena tak lama kemudian dipermukaan laut tampak mengapung sebuah benda hitam. Benda itu dengan pesatnya meluncur kearah perahu. Suara rintihan itu makin lama makin jelas juga. ”

”Apakah yang dirintihkan orang itu ?" tiba2 Ceng Bo memutus.

"Akh........., sayang kepandaianku dalam ilmu surat terbatas, namun masih dapat juga kukenal rintihan itu sebagai syair Souw Hak Su dalam kisah tragedi 'Ratapan kalbu Ong Ciau-kun' !"

Adakah syair itu berbunyi begini: 'Siapakah gerangan yang berdendang itu, sehingga. membuyarkan impian indah dibalik jendela hijau. Rembulan sisir dan asap kesedihan bertebaran memenuhi angkasa'?" tanya Ceng Bo.

"Hai, mengapa Bek-heng tahu sekali ?" tanya Ih Liok dengan terperanjat.

Tapi Ceng Bo hanya menghela napas saja. "Teruskanlah penuturan tadi!" katanya dengan rawan. Orang2 yang berada disitupun siap mendengarinya lagi dengan penuh perhatian, sebaliknya si Bongkok tak mau lekas2 mulai menutur lagi, melainkan merenung sampai sekian lama.

"Thocu, lekaslah!" tiba2 Yan-chiu yang tak sabaran mendesaknya. Karena ketika digunung Giok-li-nia dahulu ia biasa memanggilnya ,thocu" (si Bongkok), jadi otomatis iapun berseru begitu. Tapi sesaat ingat bahwa si Bongkok itu ternyata seorang cianpwe kenamaan yang menyamar, ia merasa jengah sendiri. Tapi si Bangkok rupanya tak menghiraukan hal itu. Tiba2 tangan si Bongkok menggebrak meja dan mulutnya berseru keras: "Bek-heng, bukankah ia itu ”  

5

Dengan panjang lebar si Bongkok menceritakan pertempuran diatas perahu antara Nyo Kong-lim dan wanita aneh yang berambut panjang itu.

Belum lagi dia teruskan kata2nya, atas dilantai sana The Go mendadak melesat menerobos keluar. Gerakannya amat gesit sekali. Orang2 yang mendengari cerita si  Bongkok tadi, sama duduk membelakangi The Go, jadi tak tahulah mereka akan lolosnya sibelut yang licin itu. Hanya si Bongkoklah yang tak pernah lengah sedetikpun. Walaupun sembari bercerita, tapi dia tetap dapat mengetahui lolosnya orang muda itu. Maka itu, ketika The Go baru tiba diambang pintu, ia serentak bangkit dari tempat duduknya. Ceng Bo dan Nyo Kong-lim pun cepat mengetahui hal itu. Ketiga jago lihay itu dengan serentak melesat memburu. Se- konyong2 The Go kibaskan lengan baju dan belasan siucian (passer) melayang berhamburan. Ceng Bo kebutkan lengan bajunya dan beberapa batang siucian itu segera terjemput didalam tangannya. Ketika dipereksa ternyata siucian itu adalah lidi baju rangka kipas si The Go. Jelaslah kalau rencana meloloskan diri dari orang she The itu memang sudah disiapkan dengan masak, yaitu menggunakan kesempatan selagi orang2 tengah asyik mendengarkan cerita si Bongkok. Tapi yang mengherankan orang, mengapa selekas itu The Go dapat sembuh dari tutukan si Bongkok yang teramat saktinya itu? Tapi justeru karena berayal dilamun keheranan itu, The Go sudah melesat keluar. Thay-san sin-tho coba menghalangi. Lebih dahulu dia menghantam kemuka, hingga daun pintu rubuh dan menyusul itu tubuhnya melejit keluar. Tapi disana, The Go sudah tak kelihatan bayangannya lagi. Saat itu Ceng Bo dan Nyo Kong-lim pun sudah menyusul keluar. Yan-chiu mendongkol dan me-maki2 dalam hati. Tapi ia bukan getun karena lolosnya The Go, melain marah karena The Go itu menyebabkan putusnya cerita si Bongkok yang menarik perhatiannya itu. Mereka berpencar mencarinya. Ketika menanyai saudara2 yang bertugas menjaga diluar ruangan, semua menyatakan tak nampak barang seorangpun yang loncat keluar.

Thay-san sin-tho menarik kesimpulan. Betapapun lihaynya ilmu mengentengi tubuh dari anak muda itu, tak nanti dalam sekejab itu dapat melenyapkan diri. Jadi tentunya dia masih bersembunyi disekeliling tempat situ. Setelah menyuruh Nyo Kong-lim memerintah agar para penjaga berjaga2, dia sendiri lalu mencari disekeliling gedung permusyawaratan situ. Tapi tetap sia2.

”Ah dasarnya bangsat itu masih terang bintangnya, maka aku sampai lupa bahwa dia itu memiliki kekebalan antitutuk. Karena dia itu rapat sekali hubungannya dengan Ang Hwat cinjin, maka begitu lahir, setiap hari dia tentu digosok dengan obat-istimewa-, hiat-ko buatan cinjin itu, yang khasiatnya yalah untuk menutup jalan darah dari tutukan. Ditambah pula anak itu tentu mewarisi ilmu memindah kedudukan jalan darah dari Ang Hwat. Kalau penghianat itu sampai berhasil meloloskan diri dan mengadu pada Ang Hwat cinjin, rasanya tentu  berabe juga!"

Ceng Bo sendiri yang mempunyai keperluan untuk bertanya pada The Go, terpaksa kembali kedalam ruangan lagi. Pada saat  itu, kedua liaulo yang diperintahkan menyelidiki tempat persembunyian meriam2 musuh itu sudah kembali dengan hasil nihil. Malah hampir sedikit saja, mereka dipergoki musuh. Ceng Bo sangsikan kepandaian kedua liaulo itu, makanya tak berhasil.

"Pergilah kalian berdua untuk menyelidiki,” kata Ceng Bo kepada Tio Jiang dan Yan-chiu berdua, ”kalau sampai terang tanah tak berhasil, markas ini sukar dipertahankan. Tugas kali ini berat dan penting sekali, harap kalian berhati2!"

Tio Jiang dan Yan-chiu ber-gegas2 menjalankan titah suhunya itu. Setelah itu, si Bongkok lanjutkan penuturannya lagi, sebagai berikut: "Kiranya setelah dekat benda hitam itu adalah seorang wanita berambut panjang. Karena tak mengerti bahwa wanita itu tengah merintihkan syair "Ratapan kalbu Ong Ciau Kun”, maka Nyo toa-cecu segera berseru keras2: "Ih-heng, wanita itu seorang siluman jahat!" Ih Liok yang yakin bahwa wanita itu tentu seorang tokoh persilatan lihay, buru2 hendak mencegahnya, tapi ternyata Nyo Kong-lim sudah terlanjur mengatakannya dengan kasar. Maka sahutnya: "Nyo-heng, harap jangan sembarangan mengomong! "

Namun rupanya wanita aneh berambut panjang itu telah mendengarnya. Diantara segompyok rambut panjang yang terurai kacau balau itu, tampak sepasang matanya memancarkan sorot ber-api2, sehingga walaupun ketika itu masih pada waktu siang hari, tak urung orang2 sama berdiri bulu romanya. "Kalau bukan bangsa siluman, masa sorot matanya begitu macam?" kembali Nyo Kong-lim omong seenaknya sendiri tanpa menghiraukan peringatan si Bongkok. Tapi baru kata2nya itu selesai, tanpa mengeluarkan sedikit suarapun, wanita aneh itu ayunkan tubuhnya loncat keatas haluan perahu. Yang luar biasa adalah gerakannya itu, sedikitpun tak mengeluarkan suara apa2. Orang2 yang berada didalam perahu sama mundur.

"Mengapa katakan mataku ber-api2 seperti setan api ?" tanya wanita itu dengan nada yang dingin sekali.

Nyo Kong-lim yang kasar dan sembrono itu, menjadi kurang senang. "Lantas kau mau apa ?" sahutnya. Wanita yang rambutnya hampir menutupi selebar muka itu perdengarkan suara ketawa yang dingin sekali. Rambutnya itu tiba2 berayun2 naik turun sampai 3 kali. Sebagai orang persilatan yang penuh pengalaman, si Bongkok segera tahu bahwa siwanita itu memiliki lwekang yang teramat sakti. Dalam dunia persilatan itu tak sedikit jumlahnya tokoh2 yang berilmu tinggi, dan terhadap mereka lebih baik jangan sampai kebentrok. Maka dengan ter-sipu2, dia segera menyanggapi: "Saudaraku ini memang gemar  omong, harap cunke (saudara yang terhormat), jangan ambil marah!"

”Tapi kalau mulutnya besar, tentu besar juga kepandaiannya," kata wanita aneh itu sembari menyapukan matanya kesekelilingnya. "Hiii.......," serunya sembari menghampiri kearah Tio Jiang.

Sejak siwanita berambut panjang itu naik keatas perahu, orang2 diatas situ sudah sama bersiaga. Melihat wanita  yang menghampiri itu matanya memancar sorot yang jahat, tanpa banyak omong lagi Tio Jiang lagi putar pedangnya dalam gerak "Ceng Wi mengisi laut" guna melindungi dirinya. Kalau bermula hanya berjalan pelan2, kini demi melihat jurus permainan ilmu pedang itu, se-konyong2 wanita aneh itu menerjang maju.

Bukan kepalang terkejutnya Tio Jiang. Gerakan tadi sebetulnya hanya melindungi diri, tak nyana kalau siwanita aneh itu berbalik malah menyerbunya. Walaupun masih pada jarak jauh, tapi gerakan wanita itu telah menerbitkan samberan angin. Hi........, jangan2 ia itu benar2 seorang siluman, tapi masakan pada tengah hari bolong ada setan muncul ? Ah, tentunya seorang tokoh lihay dari dunia persilatan, pikir Tio Jiang sembari robah setengah bagian yang terbelakang dari permainan pedang itu menjadi jurus menyerang. Begitu pedang menurun, dia lalu menusuk kearah siwanita.

Sejak mendapat pelajaran lwekang „Cap ji si heng kang sim ciat" dari Sik Lo-sam dipulau kosong tempo hari, kepandaian Tio Jiang bertambah pesat majunya. Apalagi selama 3 bulan sesudah itu, sering dia bertempur dengan musuh yang tangguh, jadi latihannya ilmu pedang to- haykiam-hwat, mendekati kesempurnaan. Perobahan gerak dari bertahan menjadi menyerang itu, teramat cepat dan tangkas sekali. Yakin dia, taruh kata lawan bisa xnenghindar tapi ilmu permainannya pedang itu memiliki perobahan yang sukar diduga, bagairriana.pun juga wanita aneh itu tentu sukar bertahan.

Tapi segera dugaannya itu kecele. Dia memang  gesit, tapi siwanita aneh lebih tangkas lagi. Begitu pedang membabat, siwanita sudah condongkan tubuhnya kemuka dalam kedudukan yang bagus sekali. Memang setiap jurus permainan silat dengan senjata itu, tentu masih ada lubang kekurangannya, Hanya, saja dalam ilmu permainan yang lihay, lubang kekurangan itu sedikit sekali. Atau kalau ada, tentu tak mudah orang mengetahuinya. Malah terhadap ilmu silat atau senjata yang sakti, biarpun tahu ada lubang kekurangan itu, namun orang tak berani gegabah menyerangnya.

Dalam jurus „Ceng Wi mengisi laut" yang  dimainkan Tio Jiang itu, lubang kelemahannya adalah pada bagian pundak kiri. Tapi manakah orang yang berani menyerang bagian itu ? Karena dikala tangan kanan memainkan pedang, tangan kiripun ber-gerak2 dalam jurus permainan untuk mengimbangi gerakan pedang. Apabila pundaknya kiri diserang, terang orang bakal dibabat oleh pedang ditangan kanan itu. Taruh kata hantaman pundak kiri itu dari sebelah atas, pinggang orang pasti termakan oleh tutukan Tio Jiang. Namun kenyataannya, wanita aneh itu sudah gerakan tangannya untuk menebas pundak kiri Tio Jiang. Tio Jiang buru2 mundur sembari menarik pedangnya. Adalah karena kemajuan yang didapatnya dalam waktu2 terakhir ini, maka, dia sudah dapat menghindar tabasan siwanita aneh yang luar biasa cepatnya itu. Tapi celaka, walaupun tabasan tak mengenai, namun samberan anginnya yang menyambar disisinya itu, telah membuat Tio Jiang cukup meringis kesakitan. Hal mana sangat membuat terperanjat Tio Jiang. Terang siwanita aneh itu hanya menyerang dengan seenaknya saja, tampaknya tak memakai tenaga sama sekali, tapi mengapa samberan anginnya sedemikian dahsyat? Oi, hebat..........

kalau tadi sampai kena ditabas, bukantah tulang pundaknya akan remuk luluh? Dia tak kenal dan tak bermusuhan dengan si-wanita itu, mengapa seganas itu ia menurunkan tangan jahat kepadanya ?

Dalam penghindarannya tadi, Tio Jiang mundur kesamping sampai dua tindak. Tapi bagaikan bayangan saja, siwanita aneh itu tetap mengintilnya. Dalam jarak  yang sedemikian dekatnya itu, lebih nyata pula bagaimana, hebat mengerikan orang sorot sepasang mata dari siwanita aneh itu. Tapi heran, mengapa bentuk dan gaya kicupan. mata itu menyerupai mata Bek Lian ? Demikian dalam saat2 yang berbahaya itu tiba2 Tio Jiang teringat pada sang- suci.

---oodw0tahoo---
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar