Naga dari Selatan BAGIAN 11 : LICIN BAGAI BELUT

 
BAGIAN 11 : LICIN BAGAI BELUT

Setelah mengantar keberangkatan mereka, Liang Pheng segera menutup rapat2 pintu markas. Dia tak berani lengah tidur. Diperintahkan supaya semua liaulo mengadakan ronda dan penjagaan yang kuat. Para thaubak berkumpul dalam gedung permusyawaratan, untuk menanti perkembangan lebih jauh. Hampir sejam lamanya, Ceng Bo dan rombongannya tak kedengaran beritanya, sedang dibawah kaki gunung sanapun sepi2 saja keadaannya. Mau tak mau, mereka, menjadi gelisah juga. Tengah mereka mondar-mandir di ombang-ambingkan kecemasan itu, tiba2 kedengaran diluar sana, ada suara gaduh. Diantaranya ada orang berseru “jangan main gila” Buru2 Liang Pheng dan kawan2-nya menuju keluar. Ternyata para liaulo sudah panik dan mundur dengan kacaunya. Malah ada beberapa, orang yang mengaduh kesakitan dan  terjungkal ditanah. Ada seorang lelaki yang hendak menerobos masuk kedalam markas situ, tapi dihadang oleh beberapa liaulo. Namun dengan memukul dan menyepak, berhasillah orang itu membubarkan penghadangnya, dan terus melangkah masuk.

Orang itu ternyata seorang pemuda, Rupanya, dia memiliki ilmu silat yang tinggi. Kalau tak menyaksikan sendiri, mungkin Liang Pheng dkk tak percaya kalau siorang yang dandanannya sebagai seorang mahasiswa itu dapat merobohkan kawanan liaulo. Dan setelah menghalau lagi ber-puluh2 liaulo orang itu akhirnya menghampiri kemuka Liang Pheng. “Adakah kau ini Cecu disini?" tanya orang muda itu setelah sejenak mengawasi tuan rumah.

Sambil mundur selangkah, Liang Pheng menyahut:

„Benar. Ada keperluan apakah maka saudara malam2 begini datang kemari?”

Mahasiswa muda itu segera mengeluarkan sebuah kipas, sambil ber-kipas2 dia berkata: “Aku yang rendah ini orang she The nama Go. Orang memberi julukan Cian-bin Long- kun. Kini menjadi kunsu (pesehat militer) dari congpeng Li Seng Tong!"

Liang Pheng melengak kaget, begitu pula seluruh liaulo. Seperti telah diterangkan diatas, walaupun ilmunya silat kurang tapi Liang Pheng itu mempunyai otak. “Oh, kiranya saudara ini adalah kunsu dari tentara Ceng, maaf kami sudah tak menyambut sepantasnya. Tapi entah ada keperluan apa kedatangan saudara ini ?"

The Go tak mau marah mendengar ucapan orang yang sinis itu. Sebaliknya dengan mendongak tertawa lebar, dia berkata: „Induk pasukan Ceng yang kuat, sudah tiba dikaki gunung. 10 kali dentuman meriam tadi, kurasa Cecu pasti sudah mendengarnya. Karena kini Nyo Kong-lim sudah binasa ditangan Ceng Bo siangjin, maka ke 72 Cecu Hoa- san ibarat ular yang tak berkepala lagi. Taruh kata Cecu tak ingin dikatakan temaha pangkat, tapi se-kurang2nya tentu mau juga memikirkan kepentingan ke 72 Cecu sekalian”

Kata2 The Go itu sudah tentu menyebabkan Liang Pheng pusing kepala. Kalau diingat tadi Ceng Bo siangjin mengatakan bertemu dengan Nyo Kong-lim dipulau Ban- san-to dan ternyata kini sebelum Toa cecu itu datang, siangjin tersebut sudah datang kesitu lebih dahulu, kemungkinan besar Toa cecu Nyo Kong-lim itu tentu sudah dibunuh oleh siimam tersebut. Tapi kalau dipikir lagi, mengapa Ceng Bo membunuh Nyo Kong-lim, tokh mereka berdua tak saling bermusuhan. Oleh karena pikiran hanya ribut mencari kesimpulan, lupalah sampai si Liang pheng itu memberitahukan pada The Go bahwa Ceng Bo siangjin tadi sudah datang kemarkas situ. Coba dia mengatakan hal itu, tak nanti The Go berani unjuk kegagahan lagi disitu. Setelah berpikir sejenak, akhirnya wakil Cecu itu berkata: “Ceng Bo siangjin dengan Toa cecu tak  mempunyai dendam permusuhan apa2, mengapa mencelakainya ?"

Kiranya The Go sudah memperhitung orang akan rnengajukan pertanyaan begitu, rnaka; diapun sudah siap dengan jawabannya :„Kata orang 'kenal orangnya  tapi sukar mcngenal hatinya'. Undangan Ceng Bo siangjin kepada sekalian orang gagah supaya datang kepulau Ban- san-to-itu, sebenarnya xnemang, suatu rencananya hendak menumpas mereka. Karena Nyo-cecu membandel, Ceng Bo siangjin telah bertindak. Lama sudah, siangjin itu mengiler akan kedudukan gunung Hoa-san dengan ke 72 markasnya, maka tak segan2 lagilah dia melakukan rencananya yang keji itu. Ah, kasihan Nyo-cecu yang mati dalam penasaran itu!," berkata sampai disini, untuk mengunjukkan kesungguhan kejadian itu, The Go pura2 bersedih.

Sebagai Cecu pertama dari Hoasan, sudah tentu Liang Pheng banyak menerima budi kebaikan dari Nyo Kong-lim. Apalagi peribadi Nyo Kong-lim yang tegas jujur itu telah dapat merebut hati sekalian anak buahnya. Sudah tentu mereka menjadi gusar mendengar berita itu. Melihat umpannya termakan, The Go maju selangkah lagi, ujarnya:

„Jalan yang terbaik, kita harus buka pintu markas ini guna menyambut kedatangan tentara Ceng. Ini untuk menghindari malapetaka yang tak diinginkan !"

Betul semula sekalian orang sama percaya atas keterangan The Go tadi. Tapi karena terlalu pagi, dia sudah membuka kartu, sebaliknya malah menerbitkan kesangsian orang. Kiranya sejak Li Seng Tong berhasil menduduki wilayah Kwiciu, Nyo Kong-lim melatih keras anak buahnya. Toa-cecu itu telah menanam kesadaran kedalam sanubari seluruh anak buah, bahwa musuh negara  itu adalah tentara penjajah asing Ceng, bahwa melawan penjajah itu adalah tugas suci dan mulia. Dan indoktrinasi kesadaran itu, termakan betul2 oleh anak buah Hoa-san. Mendengar anjuran menakluk dari The Go tadi, Liang Pheng masih berdiam merenung, tapi ada beberapa kawan yang berwatak keras, sudah tak tahan lagi. Sret. ,

sret........, mereka loncat kemuka untuk membacok pada The Go. “Kalau menyuruh kami menyambut tentara penjajah Ceng, rasakan dulu golokku ini!" seru mereka.

“Tahan!" buru2 Liang Pheng mencegahnya, tapi sudah terlambat. Hujan bacokan telah menabur The Go, siapa ternyata masih ber-kipas2 sembari tersenyum. Tapi begitu bacokan2 itu tiba, se-konyong2 dia perdengarkan tertawa keras panjang. Begitu lengan bajunya di-kibas2an, orangnya pun segera tampak melesat kesana-sini dalam ruangan itu. Dan tahu2 hanya kedengaran bunyi berkerontangan beberapa kali dari senjata yang jatuh ketanah, disusul dengan suara gedebak-gedebuk dari tubuh  yang menggelepar rubuh. Beberapa penyerang itu hanya thaubak2 kecil, maka dalam beberapa gebrak saja dengan mudahnya The Go telah dapat menutuk jalan darah mereka hingga rubuh. Sekalipun begitu, masih ada beberapa orang lagi yang hendak mengunjuk rasa setia-kawan terus hendak menerjang The Go, tapi keburu dicegah oleh Liang Pheng.

Dengan ber-kipas2 dan unjuk senyuman, berkatalah The Go: “Kutahu Cecu seorang yang mengenal gelagat. Kalau nasehatku ini diturut, bukan saja jasa besar serta kekayaan Liang Pheng tak berani bergerak karena insyaf bukan lawannya, tapi serta orang begitu rendah menganggap peribadinya, maka cepat ia memutus kata2 orang:

“Bagaimana saudara begitu yakin, kalau aku ini kemaruk akan pangkat dan harta kekayaan?"

“Ah........., tapi mati hidup saudara2 disini ini, hanya tergantung pada keputusan Cecu seorang!" The Go mengancam halus. Rupanya kata2 yang terakhir dari The Go itu, mempengaruhi pikiran Liang Pheng, yang akhirnya mengakui bahwa ada sebagian dari ucapan anak muda itu memang beralasan. Bagaimana kedahsyatan meriam tentara Ceng itu, telah disaksikannya sendiri. Kalau ke 10 buah meriam musuh itu berbareng diletuskan, dapatkah anak buah markas disitu yang hanya berjumlah lebih kurang 200 orang bertahan? Mundur salah, majupun keliru. Di-pikir2 lebih baik tarik mundur seluruh anak buahnya dari markas situ. Peribahasa 'selama gunung itu masih menghijau, masakan takut tak bakal mendapat kayu bakar'. Asalkan kekuatan masih utuh, masakan tak ada harapan untuk balas menggempur musuh.

Rupanya The Go telah dapat membaca pikiran orang. Dia biarkan saja Cecu itu berpikir sampai sekian Iama. Lewat beberapa jenak, akhirnya kedengaran juga Liang Pheng berkata: “Kalau aku disuruh ajak sekalian saudara menakluk pada tentara Ceng, itulah tak mungkin!" Pernyataan yang gagah itu, telah disambut dengan sorak gembira oleh sekalian anak buahnya, selaku pendukungnya.

“Maksud kedatanganku kemari ini, adalah demi kepentingan saudara2 sekalian, agar tak mengalami apa2!" kata The Go dengan tertawa.

Liang Pheng setengah tak percaya, tanyanya: “Habis kalau menurut pendapat saudara, sebaiknya bagaimana?"

”Rencana Li congpeng untuk menyerang markas ini, itu sudah pasti. Cecu boleh ajak sekalian saudara tinggalkan tempat ini. Tindakan ini menguntungkan kedua fihak bukan?" menerangkan The Go.

Bermula Liang Pheng pun sudah mempunyai rencana itu. Jadi kata2 sang tetamu itu, sesuai dengan pikirannya. Begitulah dia segera perentahkan pada anak buahnya supaya mundur kemarkas kedua. Bahwa tanpa mengucur darah setetespun, The Go telah dapat merebut markas kesatu yang penting sekali kedudukannya itu, telah membuatnya kegirangan sekali. Dengan mendapat kedudukan markas kesatu yang dapat dijadikan pangkalan penting itu, rasanya ke 72 markas digunung Hoasan situ tentu akan mudah direbutnya. Dalam pikirannya, dia sudah membayangkan suatu pahala besar.

Mengapa tahu2 The Go bisa muncul disitu? Baik kita mundur sedikit. Setelah bersama Bek Lian dia meninggalkan pulau kosong dulu itu, akhirnya berhasillah dia tiba di Kwiciu. Sebagai jenderal yang pandai, Li Seng Tong tak hanya mengandalkan pada The Go seorang. Kwiciu sangat penting artinya, dan tempat ituu harus dapat direbutnya untuk memberi pukulan terakhir dari sisa kerajaan Lam Beng. Mata2-nya melapor, bahwa ditengah perjalanan romhongan The Go telah mengalami halangan. Kuatir kalau kabar itu bocor sehingga, musuh siap mengadakan penjagaan, Li Seng Tong segera pimpin sendiri 3000 tentara pilihan, menyerang Kwiciu. Ternyata gerakan itu telah mendapat hasil gilang gemilang, karena boleh dibilang tanpa, perlawanan suatu apa. Pembesar2 militer Lam Beng kalau tidak lari tunggang langgang, tentu menyerah tanpa bersyarat. Maka pada keesokan harinya, tatkala penduduk Kwiciu membuka pintu, mereka dapati jalan2 dikotanya sudah penuh dengan serdadu2 Ceng yang mondar-mandir kian kemari.

Setelah menduduki Kwiciu, pertama hal yang dikerjakan Li Seng Tong ialah mengirimm pasukan besar untuk mengurung gunung Gwat-siu-san, tempat dimana, seluruh anggota Thian Te Hui dan tokoh2 persilatan sama berkumpul mendirikan pertandingan luitay. Li Seng Tong cukup menginsyafi, sumber perlawanan terhadap fihak Ceng itu, pertama bersumber pada rakyat, ini harus selekasnya ditindas. Hal kedua, ialah membunuh kaisar Siau Bu yang berkedudukan di Siau Ging segera ter-birit2 lari ke Ngo-ciu di Kwisay.

Tengah Li Seng Tong sibuk mencari tenaga yang cakap, datanglah The Go. Anak muda itu terus saja diberi kedudukan penting. Rencana menggunakan nama Ceng Bo siangjin untuk mengundang para orang gagah kepulau Ban- san-to itu, adalah The Go yang mengusulkan. Siapa tahu, rencananya yang mendapat pujian dan persetujuan penuh dari Li Seng Tong, telah gagal.

Malah kalau tak lekas2 lolos, dia tentu akan-celaka ditangan Thay-san sin-tho Ih Liok.

Dengan bermuram durja, dia menghadap Li Seng Tong lagi. Dalam pembicaraan selanjutnya, The Go, mengusulkan untuk menduduki gunung Hoa-san. Lagi2 usul itu mendapat persetujan Li Seng Tong. The Go tahu bahwa untuk menyerang Hoa-san yang mempunyai 72 markas itu, terang sukar sekali. Maka dia gunakan siasat gertakan. Dengan membawa sejumlah besar tentara Ceng, dan membawa 10 pucuk meriam, dia bermarkas dikaki gunung tersebut. Secara demonstratif, dia perentahkan 10 kali tembakan. Setelah itu baru dia datangi kemarkas kesatu tadi seorang diri. Kalau orang macam Ceng Bo  siangjin atau lain2 tokoh yang bernyali besar, tak nanti kena digertak. Tapi Liang Pheng bukan tokoh yang berkaliber begitu. Maka dengan mudahnya did digertak mundur dari markas situ. Tapi, dari pengalaman pertama itu, tahulah The Go bahwa semangat anak buah sudah digembleng kokoh. Andaikata Liang Pheng tadi tak kena dipengaruhi, rasanya tak semudah itu dia dapat merebut markas no. 1 dari Hoa-san tersebut. Pada saat itu The Go ber-kipas2 dengan puas sekali. Lewat setengah jam lamanya datang seorang liaulo melapor pada Liang Pheng bahwa semua persiapan untuk mundur sudah siap, tinggal menunggu perintah saja.  Dengan batuk2, Liang Pheng segera berbangkit. Tapi tepat pada saat itu diluar sana terdengar ramai2 para liaulo berseru

“Cecu!."

Kemudian terdengar seseorang berkata dengan suara keras: “Hai, tentara Ceng sudah berada dikaki gunung, mengapa kalian tak bersiap. Pintu markas tak dijaga barang seorang penjagapun juga? Mana Liang-cecu?"

Mendengar suara itu, serasa longgarlah kesesakan dada Liang Pheng. Buru2 dia lari keluar menyambutnya. Sebaliknya The Go mengeluh dalam hati. Diapun ikut keluar. Seorang lelaki gagah berumur 30-an yang berwajah kuning langsap dan memiliki sepasang alis bagus, tengah naik keatas markas situ.

“Ko-heng, syukur kau sudah datang. Sungguh berat masalah ini, aku tak sanggup memutuskan!" seru Liang Pheng kepada orang itu yang bukan lain adalah Ko Kui, Cecu dari markas ke 1 yang ikut menyertai kepergian Nyo Kong-lim ke Ban-san-to.

Belum lagi menyahut seruan wakilnya itu, demi melihat The Go berada disitu, alis Ko Kui segera tampak menjungkat, lalu berkata dengan suara dingin: “Hm, bangsat, mengapa, kau berada disini ?"

Kiranya waktu dipuncak gunung Ban-san-to The Go memberi perintah pada barisan panah supaya menyerang para orang gagah tempo hari, telah dapat dilihat jelas oleh orang banyak. Sebagai seorang yang terang otaknya,  Ko Kui tentu masih ingat akan wajah The Go. Sebaliknya dari marah, The Go segera menyahut dengan tenangnya: “Tadi Liang cecu telah menurut anjuran siaote untuk tinggalkan markas ini dari serbuan musuh. Ini demi mengingat keselamatan para saudara2 sekalian. Adakah Ko-cecu bermaksud hendak menghalanginya?"

“Liang-heng, apakah keterangan orang itu benar?" tanya Ko Kui setengah tak percaya.

“Benar!" sahut Liang Pheng. Serentak murkalah Ko Kui, katanya dengan pedas: “Liang-heng, apakah pesan Toa- cecu kita sewaktu hendak pergi tempo hari? Tentara Ceng itu amat ganasnya. Kalau markas pertama ini jatuh, ke 72 markas yang lain, sukar dipertahankan. Kekuatan untuk melawan penjajah, akan patah. Apakah kau tak menyadari hal itu?"

Liang Pheng bungkam dalam seribu bahasa. Sebenarnya tahu juga dia akan hal itu. Soalnya dia itu kurang tegas dan kedua kalinya karena memikiri nasib anak buahnya.

“Karena toako sudah kembali, kami semua tentu tunduk pada perintahmu," akhirnya dia berkata.

Ko Kui menghela, napas, ujarnya: “Saudaraku  yang baik, mengapa kau sampai gelap pikiran begitu? Sedetik saja aku terlambat datang, bukankah markas ini akan jatuh ketangan musuh?"

Liang Pheng mengunjuk penyesalannya. Sebaliknya The Go segera menyela dengan tertawa tawar: „Ucapan  Ko cecu itu kurang tepat!"

„Apa?" sahut Ko Kui sembari deliki mata.

“Sekalipun sejam tadi kau sudah datang kemari, markasmu ini tetap akan jatuh kedalam tanganku!"

Ko Kui tahu apa artinya kata2 orang she The itu. Sekalipun ilmunya silat Iihay tapi masakan dia dapat tahan dikeroyok sekian banyak orang. Ah.........., kalau tak dihajar, belum tahu rasa rupanya bangsat itu, demikian  pikir Ko Kui. “Lama nian kudengar cerita dikalangan persilatan, bahwa Cian-bin Long-kun dan ibunya telah mendapat gemblengan dari Ang Hwat cinjin, maka ingin sekali aku meminta barang sedikit pengajaran !" katanya sembari tanggalkan pakaiannya luar yang sudah compang camping tak keruan itu. Dengan pakai baju dan celana pendek dia tampil kemuka menghadapi lawan.

Yang paling dibenci The Go ialah apabila ada orang berani menyindir „anak dan ibu sama mendapat pelajaran dari Ang Hwat cinjin." Perkelahiannya dengan Kiau To ketika dipuncak Giok-li-nya tempo hari, adalah karena kata2 itu juga. Dengan wajah pucat ke-hijau2an karena menahan murka, dia tantang lawan : “Jadi Ko-cecu ini hendak ajak berkelahi ?”

Sebagai jawaban, Ko Kui segera cabut sepasang senjata yang aneh bentuknya. Bermula kelihatannya hanya seperti dua lembar kain hitam. Tapi begitu dikibaskan, kiranya merupakan sepasang sarung tangan yang selengan panjangnya. Jari-jari dari sarung tangan itu, panjangnya ada 1/2 meter. Mau tak mau ter-kesiap juga The Go. Teringat dia akan pembilangan orang bahwa senjata itu disebut „ing jia thao" sarung cakar garuda. Ujung jari2 yang lancip itu, dapat dipergunakan untuk menutuk jalan darah orang. Jurus permainan hampir menyerupai dengan permainan

„Toa lat Ing jiao chiu hwat" (ilmu cakar, garuda yang bertenaga besar) ciptaan Tat Mo loco, itu cikal bakal dari Siao-lim-pay.  

4

Dengan senjatanya yang berupa sarung tangan berjari sepanjang hampir setengah meter, segera Ko Kui melancarkan serangan ber-tubi2 pada The Go.

Tapi The Go tak gentar. Dia yakin, dalam dunia persilatan tiada ilmu tutukan yang dapat menandingi kesaktian Ang Hwat cinjin. Cepat dia pun tebarkan kipasnya, lalu berputar2 sejenak. Ko Kui tertawa dingin, tanpa menunggu orang berdiri tegak, dia segera menyerang dengan sepasang sarung tangan itu, yang satu dihantamkan keatas yang lain kebawah. Melihat serunya serangan itu, The Go melejit menghindar. Agar jangan sampai terlibat lama2 dengan sigapnya dia maju menutuk jalan darah tay- meh-hiat dipinggang lawan. Ko Kui tak mau menyingkir, melainkan gerakkan senjata ditangan kiri untuk mencakar kipas musuh. Kelima jari dari sarung tangan itu bermula lemas2 saja tampaknya. Tapi begitu berada ditangan Ko Kui, jari2 itu segera menjulur kaku bagai baja kerasnya.

Tampak orang begitu sembrono itu, The Go balikkan tangkai kipas untuk menutuk jalan darah disiku tangan lawan. Tapi lagi Cecu itu tak mau menyingkir, malah maju selangkah untuk mengemplang kepala orang dengan senjatanya yang kanan. The Go heran. Separoh tubuhnya bagian atas dia surutkan kebelakang untuk menghindar, namun tutukan2-nya tadi tetap dilangsungkan, dan berhasil mengenai sasarannya. Menurut dugaan, tangan Ko Kui pasti akan lumpuh, tapi kenyataan tidak apa2. Dan berbareng pada saat itu, jari2 sarung tangan itu malah merangsang kemukanya. Dalam gugupnya, terpaksa The Go gunakan jurus permainan “hong cu may ciu" (sigila menjual arak). Begitu tubuhnya mendak, dia segera melesat kebelakang lawan. Disitu dengan sebat dia tutuk jalan darah sin-to-hiat dipunggung orang.

Lagi2 Ko Kui unjuk permainan yang aneh. Terang hendak ditutuk punggungnya, dia tak mau berpaling kebelakang, melainkan ayunkan sepasang sarung tangannya kebelakang. Kesepuluh jari2 sarung tangan itu me-nari2 dengan lincahnya. Sebentar lemas, sebentar kaku.

Otak The Go bekerja keras. Tadi terang dia sudah berhasil menutuk tangan lawan, tapi lawan tak kena apa2 berkat memakai sarung tangan itu. Ditilik dari situ terang sarung tangan itu merupakan suatu senjata yang kebal dengan segala tabasan senjata tajam. Teringat dia akan suatu tokoh persilatan yang kenamaan, Sin Eng Ko Thay atau Ko Thay si Garuda Sakti, yang telah gunakan waktu 3 tahun lamanya untuk mencari kulit kura2 hitam dari dasar Laut. Secara istimewa kulit (bukan batoknya yang tebal) itu telah dibuatnya menjadi semacam sarung tangan. Kalau benar Ko Kui itu turunan Sin Eng Ko Thay, terang dia mempunyai senjata yang ampuh sekali. Jangankan ditutuk, sedang ditabas dengan pedang yang bagaimana tajamnyapun takkan mempan. Memikir sampai disini, tercekat juga hati The Go. Tapi pada lain saat terkilaslah suatu pikiran bagus dalam otaknya. Karena  memiliki senjata kebal itu, lawan tentuu bernyali besar tak menghiraukan setiap serangan. Andalan lawan itu, hendak dia gunakan sebagai siasat untuk merebut kemenangan.

Se-konyong2 dia miringkan tubuh kekiri tapi lalu menjatuh kekanan, tingkahnya macam orang mabuk yang terhuyung2 hendak jatuh. Begitu jatuh, sebelah tangannya bertahan ketanah, lalu kakinya kanan menendang kearah jalan darah ci-ceng-hiat dilengan orang. Ko Kui tertawa dingin. Tanpa menghindar, dengan “gerakan garuda lapar menerkam mangsa" kedua tangannya menyawut betis lawan. Karena dugaannya, benar, The Go girang sekali. Begitu tubuhnya membalik, dia bergelundungan sampai 2 meter jauhnya. Dan setelah dapat menghindar  dari sergapan lawan tadi, tiba2 dia loncat bangun. Laksana kilat, dia menerjang kemuka untuk menutuk jalan darah leng-to- hiat disiku tangan lawan.

Melihat lagi2 orang hendak mengarah jalan darah dibagian lengannya, Ko Kui tak ambil mumet lagi. Dia tokh mempunyai senjata kebal, mengapa takuti tutukan itu? Maka demi serangan The Go tiba, dia malah menyambutnya dengan hantaman kearah kepala  lawan. The Go telah memperhitungkan hal itu. Serangannya kearah siku tadi hanyalah serangan kosong. Dia tahu  musuh tentu tak menghiraukan dan tentu akan menerkam kepalanya. Ini berarti dadanya terbuka, tak terlindung lagi. Secepat tubuhnya mendak sembari condong kemuka, ujung kipas yang sedianya ditutukkan pada lengan tadi, lekas ditarik untuk ditutukkan kedada orang pada bagian jalan darah hoa-kay-hiat. “Rubuhlah, jangan membandel!" serunya.

Karena terlalu mengandalkan pada-sarung tangannya yang kebal, tadi Ko Kui biarkan saja lengannya ditutuk. Dan untuk merebut kemenangan dia menghantam kepala lawan. Maka atas perobahan serangan orang yang sedemikian cepat dan dekat sekali, sudah tentu dia tak berdaya menghindar lagi. Jalan darah hoa-kay-hiat, merupakan jalan darah utama dari tubuh manusia. Begitu kena ditutuk, maka tangan dan kaki Ko Kui serasa lemah lunglai, matanya ber-kunang2 dan kepalanya  pening. Dalam keadaan antara sadar tak sadar itu, terdengar suara ketawa panjang dari The Go, dan pada lain saat tak kuasa lagi Ko Kui untuk berdiri tegak, Bumi dirasakan seperti ber- putar dan sekali mulutnya memuntahkan darah segar, rubuhlah dia ketanah.

Liang Pheng pucat seperti mayat wajahnya. Sebaliknya sembari ber-kipas2 The Go mengejek: “Bukankah telah kukatakan tadi, walaupun kau datang sejam lebih pagi, namun markas ini tetap akan jatuh ketanganku ?"

Setelah rubuh ditanah, Ko Kui coba  empos semangatnya. Tapi karena hoa-kay-hiat terluka, seluruh kepandaiannya pun punah. Sekalipun dia sembuh, namun dia bakal menjadi seorang invalid. Terdengar dia menghela napas, sekalipun didengarnya ejekan The Go tadi, namun dia tetap meramkan mata tak menghiraukan. The Go sudah merasa pasti, dengan menundukkan Ko Kui itu, berarti sudah mengukup kemenangan total, maka dia segera ulangi permintaannya kepada Liang Pheng agar lekas memerentahkan pengunduran anak-buahnya. Namun Liang Pheng masih bersangsi. “Liang-heng," tiba2 dengan suara sember tak lampias Ko Kui berseru, ”tak lama Toa-cecu pasti datang, jangan sampai terperangkap tipu muslihat bangsat itu!"

The Go murka sekali. Segera dia maju menghamperi Ko Kui tahu bahwa jiwanya terancam, maka dia tetap meramkan mata menunggu sang ajal. Sekali The Go mendupak, maka Ko Kui, salah seorang pendekar, perwira perserekatan orang gagah dari Hoasan telah binasa secara mengenaskan dikaki The Go! Melihat kekejaman itu, Marahlah seluruh anak buah markas disitu. Namun karena merasa bukan tandingannya, mereka tak dapat berbuat apa2.

Yang paling sulit sendiri kedudukannya, adalah Liang Pheng. “Liang-cecu kau tak lekas memberi  perintah, akupun tak sungkan lagi!" ancam The Go pada wakil Cecu itu.

Liang Pheng memandang kearah anak buahnya. Dari sorot mata dan wajah mereka, mengunjuk kemarahan. Jalan satu2nya ialah mengulur waktu, demikian pikir Liang Pheng, siapa sembari batuk2 segera berkata: “Cian-bin Longkun ”

“Liang-cecu, bukankah kau hendak main ulur waktu? Kukuatir sebelum balabantuanmu datang, jiwamu sudah melayang!" tukas The Go dengan tertawa dingin.

Karena siasatnya ditelanjangi, wajah Liang Pheng pucat lesi sehingga ter-huyung2 mundur sampai  beberapa langkah. Tiba2 dari arah belakang terasa ada angin menyambar. Coba dia tak lekas2 menyingkir, pasti akan sudah tertumbuk oleh seseorang yang menobros datang. Begitu orang itu muncul, maka gegap gempitalah sorak sorai dari sekalian anak buah markas. Begitupun Liang Pheng yang mengetahui siapa yang datang itu segera bertereak girang:

“Toa-cecu!"

Orang bertubuh tinggi besar yang muncul itu, memang adalah Nyo Kong-lim sendiri. Mengikut dibelakangnya adalah rombongan tokoh2 kaum persilatan. Begitu tampil kemuka segera toa-saycu dari Hoasan itu berseru lantang2: “Hola, kiranya kutu busuk ini!"

Melihat kedatangan Nyo Kong-lim diiringi oleh tokoh2 persilatan yang mengunjukkan kemurkaan kepadanya, The Go telah memikirkan suatu siasat. Maka dengan berlaku tenang sedapat mungkin, dia bersenyum menyambutnya: “Bagus, Nyo-toa-cecu sudah datang. Aku datang kemari untuk menyerahkan surat permakluman perang. Besok terang tanah fihak kami akan menyerang markas ini, harap Toa-cecu bersiap, agar jangan menuduh fihak kami main curang! "

Sebenarnya begitu tampak The Go, Nyo Kong-lim sudah siapkan sam-ciat-kun untuk menghantamnya. Tapi demi mendengar mulut orang mengatakan begitu, dia tertegun sejenak karena mengingat bahwa tak selayaknya seorang utusan musuh yang menyampaikan surat tantangan itu dibunuh. The Go yang licin segera gunakan kesempatan itu untuk melangkah keluar pintu markas. Dan rupanya karena melihat Nyo Kong-lim diam saja, orang2pun tak mau menghalangi.

The Go tahu kalau semua mata memandang kearahnya dengan penuh kebencian, namun kesemuanya itu dianggap sepi saja. Dengan langkah lebar dia menuju kepintu. Adalah pada saat sang rase hendak berhasil lolos, tiba2 terdengarlah suara jeritan yang seram. Dengan berlagak ke-gagah2an, The Go berpaling. kebelakang, seraya siap dengan kipasnya. “Bagus, mengapa tak berani tampil ber- terang2an?" serunya dengan garang.

Tantangan itu sudah bersambut dengan cepatnya. Dari dalam rombongan para orang gagah, tampillah seorang bongkok. “Orang she The, lain orang rela melepasmu, tapi aku si Bongkok tetap hendak menahanmu beberapa hari disini!" seru orang bongkok itu yang bukan lain. Thay-san sin-tho Ih Liok.

Wajah The Go pucat seketika. “Toa-cecu, bagaimana ini?" tanyanya kepada Nyo Kong-lim yang kebetulan pada saat itu justeru sedang berjongkok untuk memereksa mayat Ko Kui. Mendapatkan salah seorang saudara seperjoangannya mati secara begitu mengenaskan, bukan kepalang kemurkaan Nyo Kong-lim. Maka atas pertanyaan The Go tadi, dia segera berbangkit. “Apa kataku? Hutang jiwa bayar jiwa!" serunya dengan kalap sembari melangkah maju terus hantamkan sam-ciat-kun kepundak orang untuk mengarah jalan darah keng-thian-hiat.

Dengan tertawa mengejek, The Go menghindar kesamping. Tapi se-konyong2 dari arah belakang ada samberan angin dingin, tahu2 rambutnya telah rompal kena dibabat senjata tajam. Ketika dia buru2 menyingkir, Nyo Kong-lim kedengaran berseru: “Siaoko, tunggu, aku hendak balaskan sakit hati Ko-cecu!"

Orang yang menyerang dari belakang tadi, adalah Tio Jiang, itu murid kesayangan Ceng Bo siangjin. “Toa-cecu, biarkan kutanyakan dia dimana adanya suci-ku dulu!" sahutnya dengan geram.

Pada saat itu, seluruh orang yang hadir disitu sama bersiap dengan senjata masing2. The Go terkepung di- tengah2. Sekalipun dia mempunyai kepandaian untuk menobros langit mebyelusup kebumi, namun sukar juga rasanya dia lolos dari kepungan terapat itu. Tahu The Go bahwa jiwanya berada ditangan sekalian patriot penentang penjajah Ceng. Kesemuanya itu harus dilawan dengan akal, se-kali2 tak boleh dengan kekerasan. Setelah menetapkan haluannya, dia segera menertawai Tio Jiang, serunya: “Siaoko, taruh kata benar kau hendak menanyakan soal suci-mu, apakah pantas membokong orang ?”

Seorang jujur macam Tio Jiang, terpaksa mengakui bahwa serangannya dari belakang tadi memang tak layak, karena itu dia tak mampu berbantah, kecuali mukanya menjadi merah padam. Setelah memukul knock-out Tio Jiang dengan kata2 yang tajam, The Go mendongak ketawa ter-bahak2, lalu berseru dengan nyaring: “Nyo toa-cecu, dengan setulusnya hati aku datang menyampaikan surat tantangan. Tapi aku dikepung begini rupa. Apakah kau tak takut diketawai oleh kaum persilatan ?"

Kembali seorang jujur hampir menjadi korban lidah The Go yang tajam. Menilik pertanyaan itu memang beralasan, maka Nyo Kong-lim sudah ambil keputusan untuk melepas sirase yang licin. Dan keputusan itu segera hendak dia keluarkan coba tidak si Bongkok keburu maju kemuka dan menuding pada The Go, dampratnya: “Orang she The, jangan kau mimpi bisa bersilat lidah. Karena kejujurannya, saudara2 yang hadir disini pasti akan tertipu dengan kata2- mu yang penuh muslihat itu. Tapi bagi si Bongkok ini, sudah kenyang dengan segala macam permainan bangsat itu. Persetan dengan kata2mu yang indah itu. Kalau kau, hendak berlalu dari sini, kau harus minta idin dulu padaku si Bongkok ini!"

Selama pertempuran dipulau Ban-san-to tempo hari, tahulah sudah The Go bahwa diantara sekian tokoh yang berada dimarkas situ, hanyalah si Bongkok itu yang paling lihay sendiri. Entah dapatkah dia mengatasi, itu tak diketahuinya. Tapi baiklah dicobanya dulu, untuk menguji sampai dimana kesaktian si Bongkok. “Silahkan cuwi sekalian memberi tempat yang lebih longgar, agar aku dapat meminta pengajaran barang sejurus dua dari Thay-san sin- tho yang termasyhur ini” serunya sembari mengangkat tangan memberi hormat.

Mengira kalau orang hendak menantang berkelahi, maka sekalian orang sama mundur kedekat tembok ruangan disitu. Dengan laku tenang sembari menyungging senyuman, The Go lalu mulai berputar dalam sebuah lingkaran kecil, serunya: “Nah, Bongkok, kalau tak biarkan aku berlalu, habis kau. Mau apa?"

Bongkok hanya perdengarkan ketawa dingin. Tiba2 The Go menerjang kemuka terus menutukkan kipasnya kepada orang. Gerakan itu sangat cepat dan secara tak terduga sekali. Tapi Ih Liok bukan si Bongkok sakti dari gunung Thay-san kalau dia kaget dengan serangan mendadak itu. Dengan tertawa menghina, dia balikkan tubuhnya kebelakang. Tutukan kipas The Go tadi, tepat membentur punuk daging dipunggung si Bongkok ....................

---oodw0tahoo---
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar