Naga dari Selatan BAGIAN 10 : GURITA RAKSASA

 
BAGIAN 10 : GURITA RAKSASA

Baru saja muncul dipermukaan air, kedengaran Ceng Bo menghela napas, ujarnya: „Saudara Su, apa yang kau ketahui dalam gua karang tadi, harap saudara suka merahasiakan." Su Khing-ting mengangguk. Tampak oleh kedua orang itu, perahu yang ditumpangi Nyo Kong-lim dan kawan2 berada tak jauh disebelah muka. Tapi anehnya perahu itu kelihatan terombang-ambing keras sekali, dan kedengaran pula Nyo Kong-lim ber-tereak2 dengan nyaringnya.

Ber-gegas2 Ceng Bo sianjin dan Su Khin-ting berenang menghampiri. Kiranya orang2 sama berkumpul ditepian badan perahu. Terdengar angin pukulan men-deru2, rupanya Nyo Kong-lim tengah berkelahi. Dengan terkejut, Ceng Bo segera meluncur pesat untuk mendekati perahu. Tampak dengan jelas tubuh Nyo Kong-Iim, yang tinggi besar itu berloncatan kian kemari berkelahi dengan seorang wanita, yang bukan lain adalah siwanita berambut panjang tempo hari dan yang kini dia yakin itu adalah isterinya sendiri Kiang Siang Yan In Hong. Sudah tentu bukan kepalang girangnya.

Gerakan dari wanita itu cukup lincah dengan serunya, namun sedikitpun tak mengeluarkan suara apa2. Benar tampaknya sam-ciat-kun dari ketua Hoa-san itu dimainkan dengan gencar sekali, tapi dalam pandangan seorang akhli, itu sia2 saja. Nyata2 dia bukan tandingan siwarita ltu. Di bawah serangan siwanita yang ber-tubi2 itu, permainan sam-ciat-kun sudah kacau balau. Hanya karena mengandalkan tenaga besar dan perawakannya yang kuat, barulah orang she Nyo itu dapat bertempur dengan gigih, walaupun dengan susah payah sekali.

Melihat itu, Ceng Bo meluncur cepat. Baru dia hendak ayunkan tubuhnya keatas perahu, tiba,2 didengarnya disebelah sana Su Khing-ting menjerit ngeri. Cepat Ceng Bo mengawasi. Kiranya orang she Su itu tampak membelalakkan mata, kedua tangannya diacungkan keatas, macamnya seperti orang dicengkeram setan.

”Sdr. Su!, kau kenapa?" Ceng Bo berseru, tanya. Su Khin-ting dengan napas ter-engah2 menyahut ter- putus2: „Siangjin......lekas tinggalkan....... jangan sampai terlambat....... biar aku saja........ yang korban ” Nada

suaranya sedih memilukan.

Ceng Bo heran. Su Khin-ting, dialah yang mengajaknya kedalam laut. Kalau ada bahaya apa2, masa dia berpeluk tangan saja?

”Saudara Su, apakah kau mendapat kejang urat (kram)?" tanyanya sembari berenang menghampiri. Memang bagi seorang perenang, kejang urat dikaki, adalah suatu hal yang membahayakan jiwa. Begitu urat kaki kejang, orangnyapun tentu akan tenggelam binasa.

„Hai ........!, hai........!" tiba2 Su Khing-ting berteriak kalang kabut demi dilihatnya Ceng Bo hendak menghampari. Dan, sehabis itu, dia bergerak me-regang2 tangan dan tubuh, kemudian tenggelam kedalam air. Sudah tentu Ceng Bo teramat kagetnya. Dengan mengempos semangat, dia selulup kedalam air untuk memeriksanya. Tapi baru saja selulup, atau pahanya terasa dilibat kencang2 oleh semacam benda, sehingga dia tak kuasa lagi bertahan dan kena diseret masuk kedalam laut.

Dalam gugupnya, Ceng Bo masih sempat mengawasi keadaan Su Khin-ting. Kiranya kawannya itu juga mengalami nasib serupa, dilibat oleh semacam  benda hitam. Karena air laut bergelombang keras, jadi tak dapat Ceng Bo me-lihat jelas. Samar2 seperti dilihatnya orang she Su itu tengah digubat oleh semacam tali jaring yang berwarna putih. Tengah Ceng Bo hendak mengawasi dengan perdata, tiba2 kakinya terasa, sakit sekali. Buru2 dia kerahkan lwekang untuk meronta se-kuat2nya, namun tak berhasil. Hal itu makin membuatnya terkejut. Tenaga yang digunakan tadi, bukan kepalang dahsyatnya. Ibarat bisa digunakan untuk menghancurkan gunung, tapi mengapa tak mampu lepas dari libatan benda putih itu. Tambahan pula, rasa nyeri pada kakinya itu, tetap tak berkurang. Hendak dia memeriksanya, atau tiba2 tampak sebuah benda macam sutera putih ber-gerak2 dari dalam laut. Dan pada lain saat, Ceng Bo melihat dari dasar laut disebelah muka sana ada dua buah lentera besar yang memancarkan cahaya warna hijau gelap. Benda putih macam selendang sutera itu, kiranya berasal dari lentera hijau itu.

Kini jelaslah sudah Ceng Bo siangjin apa artinya itu. Diam2 dia mengeluh dalam hati. Baru saja hatinya merasa girang bakal berjumpa dengan isteri yang dicintainya itu, atau kini dia sudah ditimpaa bahaya besar. Dengan ilmunya kepandaian, tidaklah sukar untuk melepaskan diri dari genggaman makhluk laut itu. Tapi biar bagaimana  dia harus menolong juga Su Khin-ting. Tak mau dia cari selamat dewek. Ketika, dipereksanya, ternyata benda yang melibat kakinya itu, pada bagian atas terdapat banyak sekali lubang2 penyedot. Kulitnya licin dan kusam. Tenaganya maha kuat. Terang itulah salah sebuah tangan dari seekor ikan gurita, raksasa. Sama sekali gurita raksasa itu mempunyai 8 tangan. Maka disebut juga ikan pat-jiao-hi atau delapan cakar. Binatang itu dapat hidup lama sekali. Yang tergolong raksasa, benar hanya lebih kurang 3 meter besarnya, namun kedelapan tangannya itu dapat dijulurkan sejauh tiga empat tombak. Ada kalanya binatang itu menghampiri ketepi laut, untuk mencari mangsa berupa binatang kerbau atau kambing yang kebetulan berada ditepi situ. Korban itu disergap dengan gubatan tangannya yang kuat dan panjang, terus diseret masuk kedalam laut. Setiap pelaut kenal apa artinya bahaya yang dihadapi bila berpapasan dengan makhluk jahat itu ditengah laut. Maka sedapat mungkin, mereka menjauhi binatang itu. Sekali kena digubat, jangan harap dapat lolos lagi. Mengetahui kelihayan musuhnya itu, Ceng Bo kerahkan seluruh tenaganya untuk meronta. Saking kerasnya tenaga ronta itu, air sampai muncrat ber-gulung2 keatas. Namun libatan pat-jiao-hi itu tetap tak terlepas bagaikan terpateri. Tapi dalam pada itu, dia mendengar suara berkeretakan beberapa kali. Benar genggaman tak lepas, tapi tangan itu menjadi rowak, hingga libatan pada kaki Ceng Bo pun tak sekencang tadi lagi. Saking kesakitan, tangan yang melibat itu segera, dikendorkan lalu di-kibas2kan sedemikian hebatnya, sehingga air muncrat seperti ditiup badai yang dahsyat. Tapi berbareng itu, tangannya yang lain segera menyambar untuk menggubat pinggang Ceng Bo. Betapapun saktinya siangjin itu, namun tak dapat dia menghadapi kekuatan makhluk laut raksasa itu. Cepat dia merabah kepinggang, pikirnya hendak mencabut pedangnya pusaka, yang ketajamannya dapat digunakan untuk memotong segala macam logam. Tapi pada lain saat, dia segera mengeluh hebat. Kiranya pedang itu masih terselip pada jubah pertapaan yang ketika hendak masuk menyelidiki gunung karang didasar laut tadi, telah ditanggalkan dan ditinggalkan diatas perahu. Baru2 dia meluncur jauh untuk menghindar. Kemudian setelah ber- putar2, dia berenang menghampiri pula. 3

Mendadak Ceng Bo Siangjin merasa kakinya digubat oleh sesuatu, lalu badannya terseret kedasar laut. Waktu ia tegasi, ternyata seekor gurita raksasa dengan delapan kakinya yang panjang telah menggubat badannya.

Setelah sekali mengungkap balik tubuhnya, makhluk raksasa itu kelihatan berdiam tenang. Untuk mencari tahu keadaan Su Khing-ting, Ceng Bo tak jeri lagi berenang mendekati. Amboi, kiranya Su Khing-ting sudah tak berdaya diringkus gurita itu, siapa tengah mengangkat tubuh orang Su itu untuk dimasukkan kedalam mulutnya. Tapi serta dilihatnya orang she Su itu masih me-ronta2 kaki tangannya, timbullah harapan Ceng Bo. Terang sang kawan itu masih belum binasa. Sekali kedua kakinya menjejak, Ceng Bo melesat maju, lalu menghantam tangan sigurita. Untuk melancarkan hantaman didalam air, berbeda dengan diatas daratan. Karena terhalang oleh desakan air, jadi tenaga hantaman itu agak berkurang dayanya. Tapi karena didalam air, tambahan lagi tangan sigurita itu licin luar biasa, jadi tak memberi hasil apa2. Malah pada saat itu, sigurita sudah kibaskan kedua tangannya yang lain untuk menyerang. Tapi kini Ceng Bo sudah tak menghiraukan suatu apa lagi. Seluruh perhatiannya hanya ditimpahkan untuk menolong Su Khing-ting saja. Cepat dia cengkeram tangan sigurita yang tengah melibat Su Khing-ting itu. Kalau diatas daratan, cengkeram Ceng Bo itu pasti akan menghancur remukkan benda yang dicengkeramnya. Tapi karena didalam air, cengkeram itu hanya berhasil menguntungkan tangan sigurita. Walaupun kutungannya masih tetap melibat Su Khin-ting, namun dengan sekali meronta saja dapatlah orang she Su itu terlepas, terus berenang melambung keatas permukaan air. Tapi tatkala Ceng Bo hendak mengikuti, tiba2 pinggang dan pahanya terasa dilibat kencang sekali. Kiranya kedua tangan sigurita tadi, sudah berhasil melibat Ceng Bo siangjin.

Dua kali kedua tangan sigurita itu putus, maka saking marahnya kali ini binatang itu melibat se-kuat2nya. Kalau Ceng Bo pada saat itu tak lekas2 kerahkan lwekangnya untuk melawan, tentu dia akan sudah binasa. Setelah berhasil melibat Ceng Bo, binatang itu segera membawanya kedasar laut. Dalam pada itu, Ceng Bo menghantam lagi dan berhasil memutuskan salah sebuah tangan sigurita. Namun dua tangannya yang lain, dengan cepat sekali sudah bergerak melibat tubuhnya. Bagaikan sebuah karung yang melembung kempes, gurita itu masuk kedalam dasar laut sembari menyeret sang korban. Saking pesatnya sigurita itu berjalan didalam air, hidung Ceng Bo serasa dituangi air. Buru2 Ceng Bo menutup napasnya. Tapi karena begitu, gerakannyapun agak lambat. Baru setelah kedua tangan sigurita yang hendak melibat tadi dapat dibikin putus, Ceng Bo jejakkan kakinya kepada kutungan tangan-gurita tadi, lalu bagaikan anak panah dia melesat 3 tombak jauhnya, pikirnya hendak muncul kepermukaan air. Tapi meskipun dari 8 tangan sudah 7 yang putus, namun gurita itu masih tetap mengejarnya. Dalam kecepatan berenang, sudah tentu orang tak bisa menang dengan binatang itu. Pikir Ceng Bo, sekalipun semua tangan sigurita itu dibikin putus, namun binatang itu tetap mengejar dan menggubatnya. Maka jalan satu2nya ialah membunuhnya saja. Tapi untuk melakukan hal itu, tak semudah seperti kehendaknya, karena dia tak membekal senjata apa2. Tiba2 terkilaslah suatu pikiran bagus. Ketika digubat lagi, dia tak mau melawan dan biarkan dirinya diseret kedasar laut. Begitu melalui pegunungan karang Hay-sim-kau tadi, dia hantam sebuah batu karang yang panjangnya hampir 2 meter. Potongan batu itu ujungnya tajam, dan kini segera dicekalnya untuk dijadikan senjata. Pada saat itu, sigurita sudah menyeret tubuh Ceng Bo untuk dimasukkan kedalam mulut. Malah karena tadi ke 7 tangannya diputuskan, dengan marahnya binatang itu hendak lekas2 menelan sang korban. Ceng Bo kerahkan tenaganya, batu lancip itu dihantamkan se- kuat2nya kedalam mulut sibinatang, dan setelah itu, dengan tangannya kiri dia hantam putus tangan yang melibat tubuhnya itu, lalu tubuhnya membarengi melesat kebelakang.

Karena hantaman Ceng Bo itu keras sekali, maka batu sepanjang 2 meter tadi dengan cepatnya masuk kedalam mulut sigurita, terus meluncur kedalam perut. Begitu perutnya kemasukan benda keras itu, tubuh sigurita, seketika. Menjadi surut kecil dan pada lain saat melembung besar.

Oleh karena gerak surut-melembung itu dilakukan ber- ulang2, maka air disekitar situ menjadi berombak keras, bertaburan buih. Saat itu Ceng Bo sudah menyingkir beberapa tombak jauhnya. Sembari melepaskan kutungan tangan-gurita yang melibat tubuhnya tadi, dia menunggu kesudahan dari sigurita. Rupanya binatang itu tengah menderita kesakitan hebat. Tubuhnya berkembang kempis beberapa kali, lama kelamaan tenaganya makin berkurang, dan akhirnya bagaikan sebuah kantong, gurita itu silam kedasar laut tiada berkutik lagi.

Secepat terlepas dari bahaya itu, Ceng Bo ber-gegas2 naik kepermukaan air. Tapi se-konyong2 matanya tertumbuk pada sebuah benda mencorong berkilauan ditempat sigurita jatuh itu. Ketika diawasi dengan seksama kiranya perut sigurita tadi sudah pecah dan, batu karang tadi menonjol keluar. Tapi benda tadi tetap ber-kilau2an memancarkan cahaya. Rupanya benda itu keluar dari dalam perut sigurita. Karena binatang itu sudah mati, tanpa ragu2 lagi Ceng Bo menyelam menghampiri. Ketika benda itu dijemputnya, ternyata sebuah kotak dan terbungkus dengan lemak yang licin sekali. Rupanya saking keliwat lama berada didalam perut sigurita, benda itu terbungkus dengan ludah  atau getah perut. Oleh karena, didalam air tak dapat  melihat jelas apakah adanya benda itu, maka setelah diselipkan dalam baju, dia meluncur naik kepermukaan air.

Begitu berada dipermukaan air, ternyata matahari sudah condong disebelah barat. Entah sampai kemana, tadi dia diseret oleh gurita itu. Tapi yang nyata baik laut perairan, Hay-sim-kau maupun perahu Nyo Kong-lim dan kawan2, sudah tak nampak lagi disitu. Dia mendongkol sekali kepada gurita tadi. Coba kalau tidak terganggu sibinatang itu, tentu tadi dia sudah dapat bertemu dengan isterinya. Kini dia ter-katung2 ditengah lautan.

Dan karena sudah keliwat menggunakan tenaga, walaupun kepandaiannya tinggi, namun tak urung dia merasaa cape juga. Apa boleh buat kini dia apungkan diri, biarkan kemana ombak hendak mendamparnya. Jaraknya, dengan daratan tak jauh, bila air pasang datang tentu dalam setengah malam saja dia akan sudah dibawa ketepi pantai. Tapi kalau jauh dengan daratan, satu2nya harapan yalah kalau ada perahu berlayar lewat disitu. Jika tiada perahu yang lalu disitu, terpaksa dia harus ter-apung2 dilaut sampai entah berapa lama.

Se-konyong2 dia teringat akan benda yang keluar dari perut gurita tadi. Ketika benda itu diambil dan dipereksanya, hatinya ber-debar2 keras. Begitu kotoran dan lendir gurita yang melekat dibersihkan, Ceng Bo segera berseru kaget. Kiranya benda itu adalah sebuah peti kecil berbentuk, persegi, terbuat dari emas. Kunci daripada kotak kecil itu, merupakan dua batang pedang2an kecil, yang halus sekali buatannya. Tangan Ceng Bo serasa gemetar. Walaupun dia sudah mengetahui akan isinya, namun dibukanya juga tutup kotak itu. Benar seperti apa, yang diduganya, kotak emas itu berisi sebutir beng-cu (mutiara mustika) yang luar biasa bagusnya.

Sampai sekian saat baru Ceng Bo menutup kotak emas itu lagi. Pikirannya me-layang2. Kotak emas berisi beng-cu adalah miliknya sendiri yang telah diberikan kepada sang isteri. Kiang Siang Yan pernah bersumpah, bahwa dalam hidupnya, ia takkan berpisah dengan mustika itu. Tapi mengapa kotak itu berada didalam perut gurita? Adakah isterinya itu sudah mengingkari sumpah kesetiaannya? Lagi2 pikirannya melayang kepada, siwanita berambut panjang. Siapakah gerangan ia itu? Dari sikap dan nada suaranya, wanita itu tak mirip dengan sang isteri. Rambut sang isteri dahulu hitam mengkilap bagus sekali. Sedang rambut wanita, aneh itu berwarna kelabu serta morat-marit tak karuan.

Entah berapa lama Ceng Bo ter-menung2  dalam lamunan kenangannya itu, tapi tahu2 dia sudah terdampar kedekat pantai. Baru pada saat itu, dia tersadar lagi. Kepentingan negara dan rakyat, diatas kepentingan peribadi. Biarlah dia kubur dulu kenangannya tentang sang isteri itu, karena negara sedang dalam bahaya.

Demikian pikirannya tergugah dan semangatnya timbul lagi. Kini dia silam kedalam air terus berenang se-kuat2nya. Begitu sampai ditepi pantai, dia lalu loncat keatas daratan. Kalau menilik keadaannya, tempat itu terang bukan sebuah pulau, namun keadaan disitu sunyi sekali, tiada tampak barang seorang manusiapun jua. Untuk sesaat tak dapat dia mengenal nama tempat itu. Maka lebih dahulu dia jemur pakaiannya yang basah kuyup itu, lalu mengobati luka2nya. Setelah itu dia teruskan perjalanannya. Menjelang magrib, dia tiba ditepi sebuah hutan. Dibelakang hutan itu rupanya terdapat sebuah  gunung. Tapi oleh karena hari petang, jadi tak dapat melihatnya dengan jelas. Baru dia hendak ayunkan langkahnya masuk kedalam hutan, tiba2 didengarnya ada beberapa puluh anak panah melayang kearahnya. Mengira kalau disebelah muka ada bayhok (barisan pendam) tentara Ceng, maka dia maju memapaki. Dalam beberapa gerakan saja, dia  sudah berhasil menghalau anak panah itu. Setelah itu dia hendak menyerbu maju, pikirnya hendak menanyakan jalan pada si penyerang. Tapi se-konyong2 terdengar suara orang perempuan berseru nyaring: “Gunung ini milikku, jalan ini aku yang membuat, kalau hendak lalu disini, tinggalkanlah uang sewanya !”

Suara itu melengking bening. Nadanya mirip dengan suara kanak2, tapi sengaja di-buat2 agar kedengaran garang. Ceng Bo cepat mengenali suara itu. Dia mendongkol dan geli. Dan habis mengeluarkan gertakan tadi, melesatlah sesosok tubuh keluar, dibarengi dengan gertak ancaman yang garang: “Saudara2, ada seekor kambing gemuk datang

!" Berbareng mulut berseru, begal perempuan itu terus memutar liu-sing-tui (bandringan) menghantam dada Ceng Bo.

“Berani mati kau!" bentak Ceng Bo seraya menangkap bandringan itu.

“Makanan keras, angin kencang, lari!" teriak begal perempuan, itu dengan kagetnya, sambil terus lari kedalam rimba lagi.

“Siao Chiu, apa2an kau!" seru Ceng Bo. Atas seruan itu sibegal perempuan merandek kesima. Begitu maju mengawasi, selebar mukanya merah padam. Kiranya begal perempuan yang garang itu, bukan lain adalah Liau Yan- chiu, sumoay Tio Jiang atau murid buncit dari Ceng Bo siangjin yang genit nakal itu. Sesaat itu, dari dalam rimba, muncul tiga atau empat puluh lelaki yang bertubuh kuat serta masing2 mencekal senjata. Tampak bandringan dari pemimpinnya kena direbut musuh, mereka berteriak gempar. Tapi hanya berteriak saja, tak berani maju menyerang.

Takut digegeri suhunya, Yan-chiu segera timpahkan kemarahannya pada kawanan anak buahnya itu, serunya lantang2: “Manusia tak punya guna, apa tak tahu  siapa yang datang ini. Mengapa berani ribut tak  keruan dihadapan suhuku?”

Aneh sekali begitu sinona mendamprat, ber-puluh2 lelaki yang gagah itu segera mengiakan dengan serta merta. Setelah itu, Yan-chiu segera memberi hormat pada suhunya. Dengan mata merah dan seperti mewek ia memberi keterangan: “Suhu, sepergi suhu tempo hari, tentara Ceng dalam jumlah yang besar telah menyerbu. Ki dan Kiau susiok serta suko kukuatir sudah dibinasakan musuh. Murid yang berhasil lolos kemari ini, segera mengumpulkan ratusan orang, tetap melanjutkan perlawanan kepada tentara Ceng !"

Ceng Bo tergerak hatinya melihat jiwa patriot dari muridnya itu. Tapi demi teringat akan tingkah laku Yan- chiu tadi, dia geli juga. Sampai sekian saat, baru dia menghela napas berkata: “Siao Chiu, sukomu tak kurang suatu apa. Aku sudah berjumpa dengannya."

“Benarkah itu, suhu? Tapi Lian suci kemana?" tanya Yan-chiu sambil berjingkrak kegirangan.

Demi mendengar pertanyaan itu, wajah Ceng Bo tambah keren, hingga Yan-chiu tak berani mendesak lagi, katanya : “Suhu, kedatanganmu kemari ini sungguh kebetulan sekali. Kita dapat kumpulkan anak buah, beli  kuda dan bikin pembalasan pada musuh!"

Oleh karena banyak sekali yang hendak ditanyakan, maka Ceng Bo segera ikut sang murid menuju ke “soache" (markas diatas gunung). Apa yang disebut “soache" itu ternyata adalah sebuah biara gunung, yang pada kedua sampingnya dialingi oleh beberapa buah pondok gubuk. Ketika Ceng Bo masuk, per-tama2 yang dilihatnya yalah tho-te-ya (patung penunggu bumi) sudah dihancurkan. Di- tengah2 ruangan tergantung sebuah papan yang bertuliskan “tiong gi tong" atau paseban setia luhur. Dari coretannya, terang tulisan itu ditulis oleh Yan-chiu sendiri. ,Suhu, lihatlah. Disitu aku telah mencontoh perilaku kaum gagah dari gunung Liang-san dahulu!" kata Yan-chiu dengan bangga.

Atas keterangan itu, walaupun biasanya Ceng Bo mahal senyuman, kini terpaksa tertawa juga. Yan-chiu dapat hati. Dituturkannya bagaimana tempo hari dia telah lolos dari kepungan tentara Ceng. Waktu menceritakan tentang keganasan tentara Ceng yang mem-bunuh2i rakyat tak berdosa wajah Yan-chiu merah padam murka sekali. Dalam markasnya situ, Yan-chiu mempunyai anak buah sebanyak 30 orang lebih. Pemimpinnya bernama Siao-pah-ong Tan Jiang. Bermula pada waktu mendapatkan Yan-chiu, Tan Jiang hendak mengambilnya menjadi isteri. Tapi dalam dua tiga gebrak saja, Yan-chiu telah berhasil merobohkan. Sejak itu, si genit tersebut diangkat menjadi pemimpin mereka. Yan-chiu telah mengadakan reorganisasi dalam rombongannya. Banyak juga ia menerima tambahan tenaga dari pelarian2 yang singkirkan diri dari tindasan tentara Ceng. Sehingga kini jumlahnya menjadi 100 orang lebih. Dengan melakukan taktik gerilya, Yan-chiu dan rombongannya berhasil menerbitkan gangguan besar pada pasukan2 Ceng yang lalu didaerah tersebut.

“Siao-chiu, apakah namanya tempat ini? Berapa jauhnya dari Hoa-san ?" tanya Ceng Bo kemudian segera setelah Yan-chiu menutur habis. Tapi Yan-chiu hanya membelakakkan mata, karena ia sendiri tak mengetahui juga. Saking mabuk “naik pangkat" menjadi pemimpin rombongan, ia sudah tak pusing2 lagi mencari tahu apakah namanya, gunung situ. “Hayo, salah seorang maju kemari!" serunya setelah dia tak dapat menjawab pertanyaan sang suhu.

Seorang liaulo (anak buah) masuk kedalam. “Li-tay-ong ada perentah apa ?" katanya dengan memberi hormat. Mendengar liaulo itu menyebut li-tay-ong (ratu begal) pada Yanchiu, gelilah Ceng Bo. Dia, duga tentang si Yan-chiu sendiri yang meng-ada2kan. Begitu siliaulo masuk, Yan- chiu mulai beraksi. Dengan dehem2 dahulu, ia berkata: “Lekas katakan apakah namanya tempat ini! Dari Hoasan masih berapa jauhnya? Kalau tak dapat memberi keterangan, akan kupersen 20 gebukan!"

“Li-tayong, gunung ini disebut Yan-san, kalau menuju kebarat sampailah ke Hoasan," sahut siliaulo ter-sipu2.

Mendengar itu, Ceng Bo segera bertanya kepada sang murid: “Siao-chiu, bukankah tadi kau mengatakan kemaren ada sepasukan tentara Ceng menuju kearah barat?"

“Benar, mereka keliwat besar jumlahnya, sedang fihak kami hanya 100-an orang, maka terpaksa dengan mata merah kami awasi mereka berjalan. Syukur aku berhasil membekuk seorang ordonan (pemberita). Setelah kusuruh orangku memotong kuncirnya, orang itu kumasukkan dalam perapian!" sahut Yan-chiu. Girang hati Ceng Bo mengetahui bahwa, sang murid ternyata tak men-sia2kan harapannya. Sekalipun gadis itu genit nakal, namun dapat menjalankann tugas se-baik2nya. Bermula Yan-chiu sudah segera akan menghabisi jiwa ordonan itu, tapi karena siordonan tersebut ber-ulang2 menyebutnya “li-tay-ong" untuk minta ampun, saking senangnya disebut begitu, Yan- chiu tak jadi membunuhnya. Coba jangan Yan-chiu dimabuk sebutan itu, walaupun ia tak turun tangan tapi anakbuahnya yang sebagian besar terdiri dari pemuda2 atau orang2 lelaki yang telah kehilangan rumah tangga anak isteri serta ayah bunda, tentu segera mencingcang serdadu musuh tersebut.

Ceng Bo minta supaya ordonan itu dibawa menghadap, siapa segera ditanyainya:

”Mengapa tentara Ceng setelah berhasil menduduki Kwitang tak sekalian menyerbu Kwisay, sebaliknya menuju kearah barat laut?"

“Li congpeng mengatakan ........” belum ordonan tersebut menghabiskan kata2nya, Yan-chiu sudah cepat2 memutusnya: ”Li Seng Tong!"

“Ya, ya, ya......, Li Seng Tong mengatakan, salah seorang dari kedua kaisar Lam Beng sudah dibinasakan, tinggal satu masih bersemayam di Kwisay. Kaisar itu sudah seumpama kura2 dalam jambangan. Tapi yang paling menjengkelkannya yalah orang2 Hoa-san yang berkeras kepala itu”

„Hohan," lagi2 Yan-chiu menukas omongan orang. Saking takutnya ordonan itu terpaksa mengulangi lagi kata2nya: “Ya......., terhadap para hohan (orang gagah) Hoa-san itu. Maka dia lalu mengirim sejumlah besar pasukan !"

“Berapakah jumlahnya tentara ltu ?" tanya Ceng Bo dengan terperanjat. „3000 orang tentara pilihan dan 10 pucuk meriam besar", sahut siordonan.

Atas pertanyaan Ceng Bo, siapa yang memimpin pasukan itu, siordonan menerangkan : „Li cong ..........

Seng Tong sendiri." Diam2 Ceng Bo mengeluh dalam hati. Sudah lama dia mendengar bahwa Li Seng Tong itu seorang panglima perang yang pandai. Benar pertahanan ke 72 markas digunung Hoa-san itu cukup kokoh, tapi mana bisa tahan dibombarder dengan meriam ? Karena baru kemaren hari pasukan Ceng itu menuju ke Hoa-san, terang akan dapat mempergoki rombongan Nyo Hong-lim. Teringat nasib apa yang bakal menimpa ke 72 markas Hoa- san itu, Ceng Bo menjadi gelisah sekali. Ular tanpa kepala, tentu tak dapat berjalan. Pasukan tanpa pemimpin, pasti akan kalut. Begitu pula nasib ke 72 markas di Hoa-san yang tanpa Cecu (pemimpin markas ) masing2.

Terkilas dalam hati Ceng Bo, bahwa kini mencari sang isteri untuk menjelaskan kesalahan paham itu, makin penting artinya. Karena dengan tambahan seorang tenaga macam sang isteri itu, kubu2 pertahanan melawan tentara Ceng, pasti bertambah kokoh lagi. Maka dengan serentak berbangkitlah dia dari tempat duduknya, sehingga membikin siordonan tadi gemetar ketakutan. „Siao-chiu, lekas kumpulkan anak buahmu disini. Pilih salah seorang yang faham jalanan menjadi pengunjuk jalan ke Hoasan. Jangan berayal, lekas!" serunya pada Yan-chiu, siapa segera melakukan perentah itu.

Dari mulut li-tay-ong Yan-chiu, anak buah sekalian sama mengetahui bahwa guru dari li-tayongnya itu adalah Hate- kau Bek Ing, tokoh yang termasyhur didunia persilatan itu. Kedatangan Ceng Bo kesitu, telah mengobarkan semangat keberanian mereka. Begitulah dengan dua, orang pencari kayu dan, Yan-chiu berangkat menuju Hoa-san. Dengan mengambil jalan-singkat, yang ber-belit2 melalui tebing dan naik turun gunung, keesokan harinya saja mereka tiba, pada sebuah soache (markas). Dimuka itu sudah telah ditumpuki kayu2, rupanya mereka, bersiap. Begitu Ceng Bo melesat maju menghampiri, dan orang membentak keras:

“Siapa yang berani mengadu biru kemarkas ini ?!"

„Adakah Nyo-toa cecu sudah kembali?" sahut Ceng Bo dengan pertanyaan.

Sampai sekian saat tiada penyahutan dari sebelah dalam.

Baru setelah itu ada seseorang menonjolkan kepalanya keluar seraya bertanya: „Siapakah yang datang ini? Mengapa menanyakan, Nyo-toa cecu? Toa cecu memenuhi undangan Ceng Do siangjin datang kepulau Ban-san-to, sampai saat ini belum pulang."

Ceng Bo telah menduga akan adanya keterangan itu, maka dengan cepatnya dia segera memberi perintah: „Lekas buka pintu markas, aku ini adalah Ceng Bo siangjin sendiri

!"

Orang itu melihat bahwa rombongan tamu diluar markas itu, terdiri dari 100 orang. Kuatir mereka adalah kaki  tangan pemerintah Ceng, orang tadi tak  membukakan pintu, serunya: ”Sebelum mendapat perintah dari Toa cecu, harap anda pulang dahulu !”

Yan-chiu sangat murka. Sekali enjot kaki, tubuhnya melayang melalui pagar tumpukan kayu itu. Dan pada lain saat terdengar suara „plak" maka, orang yang munculkan kepalanya tadi, segera terbanting meloso. Dan berbareng itu, pintu markaspun terpentang lebar !

Tieng Bo siangjin tak keburu mencegah perbuatan muridnya itu. Dia menghampiri dan menolong orang itu. Melihat siangjin itu berwajah agung, walaupun pakainnya sudah kumal2 tak keruan, orang tadi buru2 hendak berbangkit. Tapi ternyata bantingan Yan-chiu tadi cukup hebat, hingga dia tak kuasa untuk bangun. Ceng Bo menerangkan bahwa dia telah bertemu dengan pemimpin mereka, Nyo Kong-lim dipulau Ban-san-to, Kedatangannya kemari itu. Ialah hendak merundingkan cara perlawanan terhadap tentara Ceng yang kini sudah menyusun barisannya dikaki gunung situ.

Seluruh thaubak (kepala liaulo) dan anak buah dari markas itu segera berkumpul untuk mendengarkan amanat Ceng Bo. Kiranya markas itu adalah markas pertama dari ke 72 markas gunung Hoasan. Yang menjadi Cecu bernama Ko Kui, seorang bun-bu coan-cay (pandai sastera dan iimu silat), disamping memiliki kecerdasan otak , yang luar biasa. Tapi itu waktu diapun ikut pada Nyo Kong-iim kepulau Ban-san-to, jadi belum pulang juga. Ceng Bo terperanjat. Terlambat sedikit saja dia datang kesitu markas no. 1 itu tentu akan jatuh ketangan musuh. Dan kalau markas kesatu jatuh, ke 71 markas lainnya sukar dipertahankan. Tengah berunding itu, tiba2 terdengarlah suara ledakan dahsyat. Sebuah bola api, jatuh diluar markas.

Ledakan itu men-denging2 ditelinga. Disusul lagi dengan beberapa kali dentuman menggelegar, maka kapur dinding ruangan situ menjadi rontok, bumipun bergoncang. Sampai2 ”raja gunung dua bulan” Yan-chiu, ciut nyalinya, Wakil Cecu bernama Liang Pheng, bergelar Ban Li Hui (terbang selaksa Ii). Oleh karena iImunya silat biasa saja, jadi belum2 dia sudah pucat wajahnya. Lebih2 para anak buahnya. Melihat kepanikan suasana para anak buah dimarkas situ, Ceng Bo membesarkan semangat mereka: “10 kali dentuman tadi, hanya suatu percobaan menyulut meriam dari fihak tentara Ceng. Malam ini mereka baru tiba, jadi tentunya belum menyerang sungguh2, harap saudara2 tenang."

Tapi wakilnya Ko Kui tadi menyatakan, bahwa lebih baik segera mundur kemarkas pusat saja, karena walaupun bagaimana juga, markas disitu yang hanya terbuat dari bahan balok kayu, mana bisa tahan serangan meriam. Pernyataan itu rupanya didukung oleh seluruh anak buahnya

Kalau menurut disiplin tentara, wakil Cecu tadi harus segera dibunuh agar disiplin anak buah dapat dipulihkan. Tapi di-pikir lagi untuk merebut hati anak tentara, tak se- mata2 mengandallkan cara tersebut. Ceng Bo sudah mendapat cara lain, yakni mengadakan serbuan pada fihak musuh. Menghasilkan kemenangan sedikit saja, cukup sudah untuk memulihkan semangat para anak buah. „Siao- chiu, ada berapa orang dari anak buahmu yang bernyali besar?" tanyanya kepada sang murid.

Yan-chiu terkejut girang. Tak disangkanya kalau sang suhu memandang mata pada anak buahnya. Dengan berlagak geleng2 kepala, dia menyahut: „Pun-tayong

.........” baru dia mengucap kata2nya yang berarti „aku siraja gunung" itu, sang suhu telah deliki mata kepadanya, hingga semangatnya buyar, mulutnya terkancing rapat. Karena selama 2 bulan ini ia biasa menyebut dirinya sebagai „pun-tayong", maka sampai2 ia lupa dengan siapa ia berhadapan ketika itu.

“Ada berapa?" Ceng Bo ulangi lagi pertanyaannya tadi.

Kini baru Yan-chiu berani menyahut: ”Kalau disorter, 8 atau 10 orang rasanya, ada."

“Saudara Liang supaya berjaga disini. Biar aku bersama muridku dan anak buahnya melakukan penyelidikan kefihak musuh!" kata Ceng Bo kepada si Liang Pheng. “Apa maksud suhu itu?!" tanya Yan-chiu dengan kagetnya. ,Aku hendak ajak kau bersama beberapa anak buahmu untuk menyelidiki markas besar tentara Ceng sana," sahut Ceng Bo dengan tegasnya.

Betapapun, centil dan lincahnya nona itu, namun pada saat mendengar ucapan itu, tak urung bercekat juga hatinya. Mengapa tidak? Tentara Ceng yang bermarkas dikaki gunung, tidak kurang 3000 jiwa, jumlahnya.  Mereka, adalah tentara pilihan. Untuk melakukan penyelidikan kesana terang sukar, tapi lelah sukar lagi kalau dengan rencana merebut kemenangan kecil. Tapi sebagai nona yang berotak, cerdas, tahulah ia bahwa gerakan itu hanya dimaksud untuk mempertinggi moreel anak buah markas disitu. Dan ini memang penting. „Baik, mengapa mesti takuti orang2 yang bukan laki bukan perempuan memakai kuncir itu? Lihatlah pun-tay................... eh, aku turun gunung nanti, tentu akan kuangkut meriam2 mereka itu kemari” sahutnya dengan garang.

Liang Pheng tak berani buka mulut, tapi hatinya  tetap tak percaya kepada si nona. Memang dia seorang yang ber- hati2. Tak temaha jasa, tapi jangan sampai kesalahan. Terpaksa dia menyangupi permintaan Ceng Bo untuk berjaga markas situ. Ceng Bo siangjin segera perentah Yan- chiu supaya memilih 10 orang anak buahnya yang berani serta sedikit2 mengerti ilmu silat. Demikian Suhu dan murid beserta 10 orang itu segera turun gunung.

---oodw0tahoo---
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar