Postingan

 
BAGIAN 08 : SI TENGENG

Bukan kepalang kaget Tio Jiang. Se-kuat2-nya  dia hendak memutar sang kepala, namun tetap masih berpaling kesamping saja. Karena tadi dia berpaling kesamping mengawasi peniti kupu2 itu, jadi sebelah pipinya bagian bawah hampir menempel dipundak dan tak dapat diputar lagi. „Sam-thay-ya !" serunya dengan gugup, karena mengira siorang tua aneh itu tengah mempermainkannya.

Tapi wut, Sik Lo-sam loncat menyingkir, serunya:

„Buyung, jangan sesalkan aku. Tadi kalau aku tak menutuk jalan darahmu thian-tho-hiat, kau tentu sudah binasa. Kini meskipun kau menjadi pemuda tengeng, tapi nyawamu masih ada, mengapa susah hati ?"

Mendengar dirinya bakal menjadi seorang tengeng yang tak sedap dipandang, buru2 Tio Jiang berseru : „Sam-thay- ya, kau bisa menuntuk mengapa tak mampu mengembalikan?"

Sik Lo-sam menggeleng kepala. Tio Jiang seperti putus asa, berdiam diri.

„Buyung, kepala tengeng apa halangannya ?" tanya Sik Lo-sam. Kesedihan Tio Jiang sukar dilukiskan. Kalau Bek Lian nanti makin tak sudi padanya,   itu sih dapat dimengerti.

Tapi dengan cacadnya tengeng itu, kelak tentu dia tak dapat belajar silat lagi. Memikir sampai disini, pecahlah tangis Tio Jiang tersedu-sedan.

Ketika tahu2 kepala berubah menjadi tengeng, Tio Jiang bingung dan gugup, akhirnya la menangis ter-guguk2.

Melihat sianak muda menangis, Sik Lo-sam menjadi seperti semut diatas kuali panas. Tangannya sebentar menampar2 kepala, sebentar2 meng-usap2 matanya. Setelah sekian saat, tiba2 dia berseru :„Buyung, lukamu masih belum sembuh betul, kalau terus menangis, tentu membahayakan jiwamu." Hati Tio Jiang tergetar. Teringat ia akan pesan suhunya, bahwa mati dan mati itu ada dua. Mati yang sepele seperti rontoknya bulu angsa, dengan mati berharga seperti megahnya gunung Thaysan. Kalau karena tengeng, dia kepingin mati, bukankah itu sama  halnya dengan mati sepele seperti rontokannya bulu angsa? Kini tentara, Ceng sudah menduduki Kwiciu. Tunggu nanti kalau lukanya sudah sembuh betul, dia hendak adu jiwa dengan pasukan asing itu. Kematian itu, rasanya jauh lebih berharga. Setelah hatinya tetap, dia tak mau menangis lagi.

Melihat omongannya diturut, Sik Lo-sam sangat girang. Diambilkannya pedang yang jatuh ditanah itu, lalu berkata kepada Tio Jiang: „Buyung, kau tadi sudah menyanggupi, lekas ajarkan aku ilmu pedang!"

Tio Jiang terkesiap. Bilakah dia memberi kesanggupan itu? Tapi serta terkilas dalam pikirannya, jangan lagi hanya ilmu pedang nyawanya sendiripun belum ketentuan kalau bisa selamat, maka apa jeleknya kalau mengajarinya jurus pertama dari ilmu pedang to-hay-kiam-hwat yakni „Thio Ik cu hay" (Thio Ik membakar lautan). Setelah melakukan gerak jurus itu beberapa kali, Sik Lo-sam  kegirangan, karena menganggap jurus itu betul lihay sekali. „Buyung, kau ajari aku ilmu pedang, apa aku harus menyebutmu suhu? Salah, kau ini hendak mempermainkan Sam-thay-ya. Pantasnya aku juga harus mengajari sebuah ilmu silat padamu, kau minta padaku pelajaran apa? Harus dijelaskan dulu, meskipun kita saling mengajari, kau tetap menjadi muridku!"

Pikir Tio Jiang, toh dia sudah bulat tekadnya untuk mati sahid, maka makin tambah ilmu kepandaian lagi makin baik. Teringat dia, ketika menyaksikan Kiau susiok bertempur lawan The Go di Giok-li-nia tempo hari, Sik Lo- sam itu telah dapat mengatakan jurus ilmu tutukan ”orang gila menjual arak" dari The Go, maka tanpa ragu2, dia membuka mulut: „Sam-thay-ya, aku mau belajar jurus tipu Hong-cu-may-ciu !"

„Aduh mak!" tiba2 Sik Lo-sam menjerit kaget, „sewaktu Ang Hwat cinjin menurunkan pelajaran itu padaku, aku telah memukul tanganku selaku sumpah, tak boleh mengajarkan pada lain orang!"

Apa boleh buat, Tio Jiang menurut saja apa yang hendak diajarkan siorang tua aneh itu, tapi tiba2 Sik Lo-sam itu menampar kepalanya sendiri, berseru: „Tak apa, kalau Ang Hwat cinjin menegur, jawab saja kalau Sam-thay-ya lupa peristiwa sumpah menabok tangan itu, boleh dah!"

Meskipun hatinya berduka, namun melihat cara siorang tua linglung itu mengoceh sendirian begitu lucu, tak urung Tio Jiang tertawa geli juga. Begitulah ringkasnya saja, Tio Jiang dan Sik Lo-sam sudah hampir dua bulan lamanya tinggal dipulau kosong itu. Dalam dua bulan itu, setiap 10 hari sekali, Tio Jiang tentu menurunkan satu jurus dari ilmu pedang to-hay-kiam-hwat. Saking ketariknya, Sik Lo-sam pun menurunkan seluruh ilmunya yang beraneka ragam itu kepada Tio Jiang. Akhirnya luka Tio Jiangpun sembuh sama sekali. Untuk itu Sik Lo-sam teramat girang-nya. Malah saking kegirangannya me-luap2, dia turunkan juga ilmu sakti „cap-sah-sik-heng-kang-sim-coat" atau 13 cara untuk menyalurkan tenaga dalam dengan kekuatan hati.

Ilmu tersebut adalah sebuah ilmu lwekang yang sakti sekali. Pokoknya adalah begini: „dengan hati menyalurkan hawa, empos semangat masuk ketulang, dengan hawa menggerakkan tubuh, tentu leluasa menurut kemauan hati. Menjalankan hawa, seperti kiu-kiok-t yu (mutiara 9 lekukan), tentu takkan terhalang. Bergerak laksana baja putih, tiada benda yang tak dapat dihancurkan. Tenang laksana gunung, bergerak seperti sungai bengawan."  

6

Selama dua bulan tinggal dlpulau karang itu setiap hari Tio Jiang saling, barter" llmu silat dengan Sik Lo-sam.

Semasa masih kecil, ternyata Sik Lo-sam itu seorang anak yang berbakat jelek. Tapi pada suatu hari secara tak disengaja, dia telah membantu kerepotan seorang lihay, siapa untuk membalas terima kasihnya telah menurunkan ilmu lwekang „cap-sah-sik-heng-kang-sim-coat" yang sakti itu. Hampir separoh dari hidupnya, Sik Lo-sam telah gunakan untuk meyakinkan ilmu itu, barulah dia, berhasil. Beda halnya dengan Tio Jiang yang berbakat bagus, apalagi sudah digembleng oleh Ceng Bo siangjin. Begitu mendengarkan, wejangan ilmu sakti, itu, hampir separoh bagian dia sudah jelas. Sehingga waktu dipraktekkan, seluruh tenaga dan tulang2nya bebas lepas, tepat seperti yang     dimaksudkan,     dalam     salah     satu    kalimatnya

„menyalurkan hawa seperti „kiu-kiok-cu" Sudah tentu bukan alang-girangnya Tio Jiang. Selama dua bulan itu, dia telah belajar ber-macam2 ilmusilat yang aneh2 dan sakti, sehingga kelihayannya bertambah pesat sekali.

Pada hari itu, Tio Jiang sedang mengajarkan jurus ke-7 dari to-hay-kiam-hwat yakni jurus hay-lwe-sip-ciu (10 benua dalam laut ). Dengan pe-lahan2 dia menjelaskan jurus itu kepada Sik Lo-sam. Setelah itu, dia kembali lanjutkan pekerjaannya membuat rakit yang telah dimulainya sejak dua bulan yang lalu. Kebetulan hari itu, rakit tersebut sudah selesai. „Sam-thay-ya, aku hendak menuju ke Kwiciu, kau ikut tidak ?" tanyanya.

Sik Lo-sam yang tengah asyik meyakinkan jurus hay-lwe- sip-ciu yang baru dipelajarinya itu, menjadi marah, serunya:

„Buyung,    kau    mau    pergi    lekas    pergi    sana,  jangan

mengganggu Sam-thay-ya berlatih silat!"

Selama berkumpul dalam dua bulan itu, Tio Jiang sudah kenal betul akan watak perangai siorang tua aneh itu. Maka dengan tertawa, dia segera luncurkan rakitnya kedalam laut dan tak berapa lama kemudian, sudah ter-apung2 ditengah laut.

Sewaktu terapung-apung seorang diri ditengah laut itu, pikiran Tio Jiang dilamun oleh pelbagai kenangan. Benar kini kepandaiannya jauh lebih tinggi dari dulu, tapi kini dirinya telah menjadi seorang pemuda tengeng, ia menghela napas sedih. Apakah sucinya akan dapat menyintainya lagi? Ingin benar dia lekas sampai di Kwiciu, namun rakit itu sedemikian pelannya. Apa boleh buat, untuk mengisi kekosongan waktu, dia tenang diri berlatih ilmu „cap-sah- sik-heng-kang-sim-coat" yang baru dipelajarinya itu. Sampai setengah harian dia berada dalam keadaan begitu, lewat tengah hari samar2 seperti terdengar suara mengaung yang lemah. Tapi ketika dia membuka mata, ternyata tak ada apa2, kecuali laut yang lepas. Tapi karena kini dia seorang tengeng, maka dia terpaksa harus berputar tubuh kalau hendak melihat kesebelah samping dan belakang.  Benar juga ketika berputar kesebelah belakang, tampak jauh disebelah muka sana ada sebuah perahu kecil berjalan laju sekali. Tio Jiang terperanjat dan girang. Terperanjat melihat kecepatan luar biasa dari sampan kecil itu. Girang karena kalau dia bisa menggabungkan diri, tentu akan dapat mencapai daratan dengan lekas.

7

Sedang Tio Jiang ter-menung2 sendirian diatas rakit, tiba2 dilihatnya jauh dibelakang sana ada sebuah perahu sedang meluncur datang dengan pesatnya.

Tio Jiang segera berteriak se-kuat2-nya. Tapi begitu suaranya keluar, dia segera menjadi kaget sendiri, karena teriakannya itu hampir menyerupai guntur dahsyatnya. Kiranya tanpa disadari, kini lwekangnya bertambah maju sekali. Sudah tentu orang2 dari perahu kecil itu dapat mendengarnya, dan makin cepat menghampiri. Ketika dekat, salah seorang dari perahu itu tampak melontarkan sebuah tali yang ujungnya diberi jangkar kecil kearah rakit Tio Jiang.

„Adakah saudara ini hendak menghadiri undangan rapat

?" tanya orang itu.

Tio Jiang melengak, sahutnya: „Tidak !"

Dari perahu itu loncat 3 orang kerakit Tio Jiang. Salah seorang setelah mengawasi Tio Jiang dan berkata: „Bukan, Ceng Bo sianjin hanya mengundang para enghiong dan hohan dari seluruh penjuru, mana bisa mengundang seorang anak tengeng begini !"

Hati Tio Jiang sakit sekali, ketika disebut anak tengeng itu. Tapi demi didengarnya sang suhu mengirim undangan pada seluruh orang gagah, dia girang sekali, tanyanya:

„Sam-wi toako (engkoh bertiga), Ceng Bo siangjin adalah guruku. Dimanakah beliau sekarang ini, harap suka membawa aku kesana."

Ketiga orang itu mengawasi sampai sekian lama kepada Tio Jiang. „Siaoko, mengapa kau bisa ngelantur begitu ?" kata salah seorang dengan tertawa.

Tio Jiang tidak pernah berbohong, maka merahlah selebar wajahnya demi dituduh begitu, sehingga tak dapat berkata apa2.

„Ceng Bo siangjin mempunyai murid, itu belum pernah terdengar. Tapi kalau dia mempunyai dua tiga orang gundik, itu memang nyata!" kata yang seorang lagi.

„Mengapa kau berani menghina suhuku ?" bentak Tio Jiang dengan marahnya.

„Siaoko, apakah kau ini benar muridnya Ceng Bo siangjin ?" kata siorang tadi dengan masih bergelak tawa.

„Benar !" „Mengapa kau tak tahu suhumu mempunyai gundik ?" tanya orang itu.

Sudah tentu Tio Jiang tak percaya. Suhunya seorang lelaki yang berpambek luhur, masakan dia mau berbuat hal begitu? „Apakah saudara tahu untuk maksud apa suhu mengundang para orang gagah itu ?"

Menyahutlah ketiga orang itu dengan berbareng :

„Tentara Ceng sudah menduduki Kwitang. Bahwa masih ada setengah orang2 didunia persilatan yang tak kenal selatan hendak mengadakan perlawanan itu, kan berarti hanya ibarat 'telur diadu dengan batu' saja. Maka Ceng Bo siangjin mengirim undangan pada sekalian hohan untuk menganjurkan supaya mereka jangan mengadakan gerakan yang sia2 itu. "

Tio Jiang ter-longong2 mendengarinya. ,Ah, tidak, tidak, mana suhu mau berbuat begitu?" katanya pada lain saat. Terkilas dalam ingatannya, bahwa baik dalam ucapan maupun dalam perbuatan, suhunya itu bukan tergolong orang yang sudi melakukan hal yang merosotkan moral itu. ”Dimanakah pertemuan itu akan diadakan?" tanyanya pula.

„Apa? Kau mengaku sebagai muridnya, tapi mengapa tak tahu? Ha, Ha!" sahut mereka bertiga.

Tio Jiang tak ambil mumet disangka me-ngaku2 murid Ceng Bo siangjin itu. Dia ulangi lagi pertanyaan tentang tempat pertemuan itu. Maka menyahutlah ketiga orang itu : "Kami bertiga ini ditugaskan untuk menyambut tetamu yang naik perahu. Jika siaoko benar2 ingin mengunjungi pertemuan itu, mari ikut pada kami menuju kepulau Ban- san-to disana itu. Tapi sesampainya disana, siaoko jangan mengatakan ini itu. Ceng Bo siangjin adalah seorang tokoh silat kenamaan, mana bisa dia mempunyai seorang anak murid yang tengeng? Jangan sampai membuat dia gusar, awas bisa dikemplang mati nanti !"

Tio Jiang makin curiga., Mengapa Ceng Bo siangjin  yang dikatakan oleh ketiga orang itu, jauh bedanya dengan Ceng Bo siangjin yang menjadi suhunya? Ah, biar dia ikut ke pulau Ban-san-to itu, guna menyaksikan sendiri. Begitulah dia lalu berpindah keatas perahu. Benar juga tak berapa lama, mereka menghampiri kesekelompok pulau2. Salah seorang dari ketiga orang tadi meniup terompet terbuat dari keong laut, dan dari arah muka sana terdengarlah penyahutan bunyi macam begitu juga.

Tahu gelagatnya mencurigakan, Tio Jiang ber-siap2 dengan pedangnya. Tatkala perahu mendekat pantai, kiranya yang disebut Ban-san-to atau pulau selaksa gunung itu, yalah pulau yang separoh terdiri dari gunung dan separoh daratan. Karena letaknya dilaut selatan, jadi meskipun kala itu dalam musim dingin, namun didaerah situ tanam2an masih tetap menghijau. Ketika hampir berlabuh kepantai, tiba2 dari salah satu muara tampak keluar sebuah perahu. Orang yang berdiri diburitan perahu itu kedengaran berseru :

„Siapakah yang datang ini kali?"

„Hanya seorang anak muda yang mengaku murid Ceng Bo siangjin," sahut ketiga orang tadi, lalu serentak tertawa gelak2. Tapi Tio Jiang tak menghiraukan. Jauh disebelah depan sana, dilihatnya banyak sudah orang berkumpul disebuah tanah lapang.

„Rasanya sudah tak ada orang yang datang lagi. Tadi Toa cecu (pemimpin) dari gunung Hoasan yakni Nyo Kong Lim baru saja datang. Rupanya dia tak puas dengan siangjin, maka sudah membawa beberapa kawan2nya kemari," kata orang yang baru datang itu. Dan ketiga orang tadipun mengiakan.

Sebaliknya Tio Jiang terkejut mendengar hal itu. Teringat ia bahwa sering kali suhunya me-muji2 Nyo Konglim itu sebagai seorang persilatan yang berpambek perwira, semestinya kedua orang itu akan merasa girang dapat bertemu, masakan bisa bentrok. Ah, lupa dia, bukankah tadi ketiga orang itu mengatakan bahwa, Ceng Bo siangjin hendak mencegah supaya orang2 persilatan jangan melanjutkan perlawanannya kepada, pemerintah Ceng Sudah tentu dalam hal ini, Nyo Kong-lim pasti akan menentangnya.

Selama berjalan dan berpikir itu, tahu2 sampai dia ketempat berkumpulnya orang banyak itu. Ternyata orang2 gagah yang berkumpul disitu, tak dikenalnya semua. Pada 3 deret bangku pat-sian yang berada disebelah timur sana, semua sudah penuh diduduki orang. Salah seorang dari mereka itu, tinggi besar badannya. Kalau bicara, orang itu suaranya seperti genta dipalu. Orang2 yang disekitarnya tampak sangat menghormat sekali padanya. Selain 3 buah meja pat-sian besar itu, orang2 lainnya sama duduk dibawah tanah. Tio Jiang memilih tempat kosong lalu ikut duduk dibawah. Tapi se-konyong2 dia berbangkit lagi, demi dilihatnya pada saat itu Ceng Bo siangjin berjalan mendatangi dari balik gunung.

Tio Jiang anak yang berwatak polos jujur. Hampir 3 bulan tak berjumpa dengar sang suhu, dia sangat rindu, itu nampak sang suhu, terus saja mulutnya hendak berseru memanggil. Tapi tiba2 dia mempunyai pikiran lain dan terpaksa bersabar diri, demi tampak pemandangan yang aneh. Kiranya begitu Ceng Bo siangjin muncul, dibelakangnya mengikut 2 orang wanita muda, yang berparas cantik. Dilihat dandananya, wanita muda itu juga seperti orang persilatan. Yang satu disebelah kanan, yang lain disebelah kiri, keduanya seperti menggelandotkan, tubuhnya pada Ceng Bo dengan sikap yang aleman, sekali, namun Ceng Bo tak marah sebaliknya malah memegangi pinggang keduanya.

Tio Jiang hampir tak percaya pada apa yang dilihatnya itu. Enam tahun lamanya dia berguru pada siangjin itu, baik sikap maupun bicaranya, siangjin itu sangat correct (tepat), dapat menjaga harga diri. Sungguh tak mengira dia, kalau siangjin itu berlaku begitu, gila2an, bercanda dengan orang perempuann dihadapan umum, apalagi dihadapan sekian banyak tokoh2 persilatan !

8

Mendadak siorang tinggi besar tadi berdiri dengan kerennya dan menegur Ceng Bo Siangjin.

Ternyata bukan melainkan Tio Jiang seorang yang mempunyai perasaan begitu. Semua orang yang hadir disitu sarna ber-bisik2 satu sama lain. Dalam hati mereka sama sangsi mengapa, Ceng Bo siangjin yang namanya begitu termasyhur ternyata, seorang yang bermoral serendah itu. Malah siorang gagah bertubuh tinggi besar tadi, segera berbangkit dari tempat duduknya dengan kurang senang. Karena orang itu mengenakan pakaian warna hitam, maka begitu berdiri se-olah2 merupakan sebuah menara tinggi, sehingga orang! sama terkesiap. Namun sikap Ceng Bo siangjin itu tetap tenang2 saja. Dengan membawa sikapnya seperti tadi, dia menuju meja pat-sian itu dan mengambil tempat duduk disitu.

Begitu Ceng Bo siangjin sudah duduk,  maka terdengarlah siorang gagah tadi berseru keras: „Siangjin, apakah maksud tujuan dari undangan pertemuan paraa hohan harini? 72 orang saudara2 dari Hoasan hadir disini untuk bersedia mendengarkannya! Siangjin kiranya tentu sudah mengetahui bagaimana nasibnya ribuan saudara2 Thian Te Hui yang telah dihancurkan oleh tentara penjajah itu. Adakah siangjin bermaksud hendak mengadakan, perserekatan dengan seluruh enghiong dunia persilatan guna melakukan pembalasan ?"

Mendengar itu, semangat Tio Jiang me-nyala2 lagi. Teringat dia bagaimana nasib Kiau To, Ki Ce-tiong dan Yan-chiu yang tiada kabar beritanya itu. Li Seng Tong dengan 30.000 tentara Ceng telah mengurung gunung Gwat-siu-san, Setelah mengadakan perlawanan sehari semalam, barulah dia (Tio Jiang) dapat membuka jalan lolos. Kiranya peristiwa itu telah diketahui oleh seluruh orang persilatan. Tiada korban yang jatuh sia2, Thian Te Hui pecah sebagai ratna dimedan bhakti.

Maka pada saat itu, ingin sekali dia lekas2 mendengarkan bagaimana penyahutan dari sang suhu yang sudah berobah perangainya itu. Habis mengajukan pertanyaan, orang gagah itu lalu berdiri dengan dada berkembang-kempis karena menahan kemarahannya.

"Nyo-toa-cecu," Ceng Bo siangjin menyahut dengan bergelak tawa, tolong tanya mengapa ribuan saudara2 Thian Te Hui tiada bernyawa lagi? Mengapa toa-ah-ko Ki Ce-tiong dan ji-ah-ko Kiau To tiada berkubur mayatnya lagi

?"

Tanpa menunggu sedetikpun, siorang gagah itu cepat menyahuti dengan suaranya yang mengguntur: „Seorang taytianghu (laki2 sejati), mengapa jerikan soal mati hidup?! Benar dengan toa dan ji-ah-ko dari Thian Te Hui aku, Nyo Kong-lim, belum pernah berkenalan, namun aku sungguh2 kagum pada mereka!"

Ceng Bo siangjin menyeringai, ujarnya dengan sinis:

„Jadi Nyo-toa-cecu juga siap hendak menyuruh 72 saudara dari Hoasan bernasib seperti Thian Te Hui?"

Kini tahulah Tio Jiang bahwa orang tinggi besar itu adalah Toa-cecu atau pemimpin besar dari ke 72 Cecu (kepala begal) gunung Hoasan. Dibalik ituu dia merasa heran atas jawaban sang suhu itu. Mengapa kini sikap suhunya itu berbalik 100 derajat? Bukannya dia mengobarkan semangat perjoangan pemimpin besar perserekatan begal dari gunung Hoasan itu, sebaliknya memadamkan api perjoangan mereka. Aneh, sungguh aneh......

Setelah sampai sekian saat Nyo Kong-lim diam saja, Ceng Bo siangjin bergelak tawa, ujarnya:  „Toa-cecu, apakah tahu alam ini mempunyai hukum? Dengan telur hendak memukul batu, hanya seperti anai-anai (laron) menghantarkan jiwa kedalam api! Kiranya lebih baik dengarkan nasehat pinto, bekerjalah pada kerajaan Tay Ceng!" Bukan olah2 kaget Tio Jiang mendengar mulut  sang suhu mengucapkan kata2 itu, saking tak kuat menahan perasaannya, tanpa disadari dia berbangkit seraya mengeluh keras : „ai........ " sehingga semua orang terkejut dan sama, mengawasi kearahnya. Ceng Bo siangjin jua memalingkan mukanya, seraya berkata dengan nada menghina: „Ho, siaoko itu rupanya berani membangkangkah?"

Tio Jiang makin men-jadi2 terperanjatnya. Mengapa sang suhu menyebutnya siaoko (engkoh kecil) ? Adalah karena kejujuran Tio Jiang yang selalu ingat akan  budi kebaikan suhunya, sehingga dia tak mempunyai kecurigaan apa2 kecuali, perasaan mengindahkan. Mengapa suhu berbuat begitu, tentu ada sebabnya. Mungkin dia hendak menyuruh aku mempelopori setuju akan anjurannya itu, hingga nanti semua hohan pun ikut2an setuju. Biar bagaimana juga, budi suhunya itu adalah sedalam lautan, rasanya seluruh pengabdian hidupku saja masih belum cukup untuk membalas budi suhunya itu, pikir Tio Jiang. Dan sehabis mantep berpikir, segera dia melangkah maju seraya berseru: „Suhu!"

Lagi2 suasana, persidangan itu menjadi gempar. Ceng Bo siangjin sendiripun menjadi melengak, tapi pada lain saat dia sudah dapat menguasai perasaannya. „Duduklah, tunggu sehabis kuselesai berunding dengan Toa-the-cu Nyo Kong-lim"

Tio Jiang tak berani membantah, dan lalu duduk dimeja pat-sian situ. Karena kepala tengeng, maka  ketika tubuhnya, mengambil tempat duduk, kepalanya bukan menghadap kemuka melainkan kesamping. Baru  dia hendak mengalih tubuhnya, tiba2 dilihatnya disebelah samping situ berkelebat sesosok bayangan orang. Dilihat dari dandanannya, orang itu seperti Cian-bin Long-kun The Go. Karena kini lehernya kaku melekat pada pundaknya, jadi tak leluasa diputar2. Begitu dia memutar tubuhnya agar kepalanya menghadap kearah tadi, ternyata bayangan orang itu sudah lenyap.

---oodw0tahoo---

Halo Cianpwee semuanya, kali ini siawte Akan open donasi kembali untuk operasi pencakokan sumsum tulang belakang salah satu admin cerita silat IndoMandarin (Fauzan) yang menderita Kanker Darah

Sebelumnya saya mewakili keluarga dan selaku rekan beliau sangat berterima kasih atas donasinya beberapa bulan yang lalu untuk biaya kemoterapi beliau

Dalam kesempatan ini saya juga minta maaf karena ada beberapa cersil yang terhide karena ketidakmampuan saya maintenance web ini, sebelumnya yang bertugas untuk maintenance web dan server adalah saudara fauzan, saya sendiri jujur kurang ahli dalam hal itu, ditambah lagi saya sementara kerja jadi saya kurang bisa fokus untuk update web cerita silat indomandarin🙏.

Bagi Cianpwee Yang ingin donasi bisa melalui rekening berikut: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan), mari kita doakan sama-sama agar operasi beliau lancar. Atas perhatian dan bantuannya saya mewakili Cerita Silat IndoMandarin mengucapkan Terima Kasih🙏🙏

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar