Naga dari Selatan BAGIAN 04 : PERTEMPURAN DIATAS LUITAY

 
BAGIAN 04 : PERTEMPURAN DIATAS LUITAY

„Mengapa disana ?" tanya pula Ceng Bo siangjin dengan heran.

Rupanya kedua orang itu adalah golongan orang2 kasar, dengan menggebrak meja mereka berseru: „Bukankah kau ini hendak memungut derma? Kesanalah, tanggung dalam satu bulan kau takkan kelaparan?"

Merasa bahwa didalam kata2 orang itu terselip sesuatu hal, apalagi mereka dalam keadaan mabuk mengoceh tak keruan, Ceng Bo tak mau cari urusan. Tanpa banyak bicara dia terus keluar dari situ untuk menuju kegunung Gwat-siu- san.

Belum lagi tiba digunung tersebut, Ceng Bo sudah melihat disepanjang jalan banyak orang2 yang berjalan, malah dikedua tepi jalan banyak didirikan warung2 darurat serta penjual2 sama menjajakan dasarannya. Dengan rasa heran, Ceng Bo siangjin lanjutkan perjalanannya. Tapi makin dekat kegunung itu makin ramai pula orang. Lagi maju sedikit, segera dia tampak ada dua buah luitay (panggung untuk bertempur) yang besar. Di-tengah2 dari salah satu panggung luitay itu, digantungi sebuah lencana besar, berbentuk bulan, sebelah atas hitam dan sebelah bawahnya putih. Sementara yang sebuah, tiada ada pertandaan apa2. Disekeliling luitay itu didirikan panggung penonton yang penuh sesak dengan manusia. Melihat lencana hitam putih itu, tahulah Ceng Bo siangjin bahwa Thian Tee Hui tengah membuka luitay ditempat itu. Diam2 dia mengeluh. Suasana negara begini suram, mengapa main dirikan luitay mencari permusuhan? Orang2 sama ber-bondong2 kesitu, kota Kwiciu kosong, kalau se-waktu2 pasukan Ceng menyerang, bukankah celaka? Ceng Bo siangjin ambil putusan untuk menemui Ki Cee-tiong dan Kiau To, tapi karena orang2 disekitar luitay itu penuh sesak ber-jubel2, sukarlah dia mendapatkannya. Malah ketiga anak muridnya, Tio Jiang, Bek Lien dan Yan- chiu, pun tak kelihatan batang hidungnya.

Satu2nya jalan untuk menemui pemimpin2 Thian Tee Hui itu ialah loncat keatas luitay, tapi Ceng Bo tak mau berbuat begitu. Dia cukup tahu, memang2 orang2 yang berjejal itu sebagian besar adalah penonton biasa, tapi tentu tidak sedikit jumlahnya tokoh2 persilatan yang turut hadir juga. Dia membiluk, singgah pada sebuah warung dan memesan minuman.

Belum berapa lama dia duduk, dari arah belakang terdengar ada dua orang tengah ber-cakap2. „Toako, kali ini bakal ada pertunjukkan yang bagus benar2. Sejak beberapa tahun ini, dikalangan persilatan sepi dengan keramaian macam begini," kata salah seorang. Sementara kawannya dengan menghirup tehnya kedengaran berkata dengan suara sember: „Benar, Thian Tee Hui itu sudah mempunyai nama dikalangan persilatan!" Orang yang pertama terdengar berkata pula: „Ya, aku merasa heran mengapa Thian Tee Hui sampai terlibat permusuhan dengan Hay-siang su-kee  (4 keluarga dari Laut selatan)?"

„Akupun baru lusa datang dari Go-ciu. Konon kabarnya ji-ah-ko (pemimpin kedua) Thian Tee Hui telah membinasakan salah seorang dari bajak Laut itu, yaitu si Ti Gong hweeshio!" sahut kawannya. „Astaga, dua tahun yang lalu aku pernah berjumpa dengan Ti Gong hweeshio, kepandaiannya sih tak seberapa. Mungkin karena peraturan perguruannya yang menetapkan 'dendam harus dibalas', maka kali ini kalau tiada suhunya tentu susiok  (paman guru) yang mempelopori pertandingan luitay ini!" kata yang seorang pula.

Mendengar itu, Ceng Bo siangjin terkesiap. Heran dia, mengapa Kiau To tertuduh membunuh Ti Gong? Dia yakin disitu tentu terselip sesuatu yang tak beres. Maka dia Ianjutkan mendengari lagi. Kata salah seorang dari orang itu pula: „Benar, tokoh yang  angker macam Sam Tay tianglo dari gereja Ci Hun Si digunung Lam-kun-san itu, mana mau menerima hinaan begitu? Karena anak muridnya terbinasa, dia tentu mencari balas pada Thian Tee Hui, dan mengirim surat tantangan. Karena Thian-Te-Hui pun sedang jaya, sudah tentu terima juga tantangan  itu. Menurut berita2 yang kudengar sampai siang ini, orang2 dari kedua fihak semua sudah hadir disini!"

Ceng Bo siangjin makin mengeluh. Yang dimaksud dengan Sam Tay tianglo (tiga serangkai imam) gereja Ci Hun Si itu ialah: To Kong, To Ceng dan To Bu. Meskipun dia sendiri belum pernah bertemu muka, namun nama ketiga hweeshio besar itu sangatlah terkenal didunia persilatan. Kalau kali ini mereka berserekat dengan keempat bajak dari Laut Selatan itu, urusan tentu makin besar. Ang- hwat cinjin (suhu dari The Go) dari Ang-hun-kiong di Ko- to-san, tentu akan keluar kandang juga. Sekali bertempur, mungkin setengah bulan atau bisa juga setengah tahun belum habis. Dengan begitu bukankah akan  membikin kapiran urusan besar? Kini tentara Ceng sudah berada ditapal batas, rakyat hanya mengharap akan usaha Thian Tee Hui, dengan berserekat pada seluruh tokoh persilatan, untuk melawannya. Adakah Ki Cee-Tiong dan Kiau To, kedua pemimpin Thian Tee Hui itu tak menginsyafi hal itu?

Selagi dia me-nimang2 dalam pikirannya, tiba2 dari tengah2 kedua luitay itu, terdengar bunyi genderang ber- talu2, dibunyikan 3 kali. Ceng Bo mendongak kemuka dan dapatkan matahari sudah hampir ditengah, jadi  luitay segera akan dimulaikan. Sesaat itu hiruk pikuk suara orang menjadi sirap hening. Pada lain saat dari belakang luitay tampak muncul 3 orang paderi yang bertubuh kurus2. Yang dua orang memanggul sebuah bok-pay (papan) sekira 3 kaki panjangnya. Yang seorang tidak membawa apa2. Begitu keluar kedua paderi yang membawa bokpay tadi segera lontarkan bokpaynya keatas udara. Dengan lurus dan tepat, bokpay itu melayang kearah tiang penglari yang paling tinggi dari luitay itu. Ketika hampir dekat dengan penglari, tiba2 paderi yang tak membawa apa2 tadi tampak gerakkan tangannya keatas dan tik, tik, dua buah benda, hitam kecil panjang melayang menyusup kedalam bok-pay yang segera menempel lekat pada tiang penglari.

Kiranya yang dilepaskan itu adalah dua  buah paku, untuk memaku bok-pay itu. 4

Mendadak paderi ketiga itu ayun tangannya, dan„tak-tak" dua kali, dua papan kecil yang kedua kawannya telah terpaku diatas penglari.

Demonstrasi kepandaian yang ditunjukkan ketiga paderi itu, sungguh menakjubkan. Benar papan bok-pay itu dilontarkan oleh dua orang, tapi kalau kepandaian sipelontar itu tak tinggi, pasti tak nanti dapat melayang begitu necis dan tepat sekali. Lebih2 kepandaian melemparkan paku dari sihweeshio yang bertangan kosong tadi. Maka tak heranlah kalau para penonton baik didalam bangsal maupun yang dibawah luitay, sama bersorak sorai dengan gemuruh sekali. Ceng Bo siangjin mendongak mengawasi kearah bok-pay itu dan dapatkan pada papan itu ada 3 buah gambar roda. Seketika tahulah Ceng Bo, bahwa ketiga hweeshio itu adalah 3 paderi pemuka dari Ci Hun Si, To Kong, To Ceng dan To Bu.

Setelah mengunjuk demonstrasi, ketiga hweeshio itu segera meleset naik keatas luitay. Begitu menghadap kemuka, para penonton melihat wajah mereka itu pucat lesi bagaikan mayat hidup. Mereka tampak duduk bersila diatas luitay. Tapi baru ketiganya duduk tenang, dari arah timur terdengar gemuruh suara penonton. Kiranya para penonton itu tengah menyambut dengan hangat atas kedatangan kedua pemimpin Thian Tee Hui, Ki Cee-tiong dan Kiau To, siapa terus loncat keatas luitay.

Tegas dilihat oleh Ceng Bo, sewaktu melompat itu Kiau To pakai tangannya kiri memimpin tangan kanan Ki Ceetiong untuk diangkat keatas. Diam2 Ceng Bo siangjin  itu kerutkan keningnya. Dari tempat duduknya situ dengan luitay walaupun hanya terpisah 4 atau 5 tombak jauhnya, namun dipagari oleh lautan manusia. Dia dapat enjot tubuhnya kesana, tapi tak mau dia buru2 unjukkan diri. Tapi kalau berdiam diri saja, tentu takkan dilihat oleh Kiau To. Tiba2 dia mendapat akal bagus. Dengan sebuah jarinya dia tekan pecah cawan teh dan sentikkan pecahan cawan itu kearah Kiau To. Sudah tentu pecahan cangkir itu menerbitkan suara angin melengking.

Saat itu Ki Cee-tiong dan Kiau To hendak membuka mulut, tapi begitu tampak ada sinar putih melayang keatas luitay. Kiau To mengira kalau sebuah senjata rahasia, maka dengan sebatnya dia melangkah kehadapan tao-ah-ko untuk melindunginya. Tapi begitu dia dapat menyambuti benda putih itu, ternyata adalah sebuah pecahan cawan. Dengan keheranan, dia sapukan pandangan matanya kesekeliling penjuru. Buru2 Ceng Bo siangjin lambai2kan  tangannya, hal mana dapat dilihat juga oleh Kiau To. Segera pemimpin kedua Thian Tee Hui berpaling kebelakang luitay serta mengucapkan sesuatu. Saat itu segera tampak Bek Lian dan Yan-chiu muncul dari belakang lui-tay. Dengan gunakan gerak „yan cu sam jo cui" (burung walet 3 kali menyentuh air) kedua gadis itu loncat turun.

Kedua gadis dari Lo-hou-san itu sememangnya berparas cantik. Lebih2 Bek Lian yang laksana seorang bidadari itu. Maka kali ini hiruk pikuk makin bergemuruh lagi. Melihat kedua anak muridnya itu unjukkan kepandaian, Ceng Bo siangjin menghela napas. Namun kenyataan memang begitu. Malah itu waktu Bek Lian sudah berseru memanggil

„Tia" (ayah) dan Yan-chiu berseru „Suhu" kepadanya. Dasarnya genit lincah, tanpa menghiraukan sekalian orang lagi, Yan-chiu terus ceriwis menuturkan pengalamannya pada sang suhu.

„Suhu, wah ramai sekali," kata siceriwis itu dengan lincahnya, "baru kita bertiga datang di Thian Tee Hui, entah bagaimana ada orang mengantar surat yang menuduh bahwa Kiau susiok telah membunuh Ti Gong sihweeshio gemuk itu ah jangan2 sibongkok yang melakukannya. Eh, surat itu menantang pibu (adu silat) pada Kiau susiok, yang sudah tentu terpaksa menerimanya. Suhu, kebenaran kau sudah tiba, apa nanti akan turut naik kelui-tay?"

Biasanya Yan-chiu takut dan menghormat  pada suhunya. Tapi karena pertama kali turun gunung, ia sudah menghadapi peristiwa begitu, maka saking girangnya, dia bicara dengan cerocos sekali. Apalagi ketika nampak suhunya datang kesitu itu, menurut anggapannya, tentu akan turun tangan juga. Tapi diluar dugaan sinona genit, dengan perdengarkan dengusan hidung, Ceng  Bo berbangkit mengangkat bahu. Demi tampak suhunya tak senang, Yan-chiu seperti ditapuk setan, cap kelakep tak berani bercuit lagi. Tapi dasarnya dara nakal, ia segera unjuk muka-setan kepada sang suci Bek Lian, sehingga dua orang yang ber-cakap2 dibelakang Ceng Bo tadi tertawa ter- bahak2 saking gelinya. Tapi Yan-chiu segera deliki mata kepada kedua orang itu.

„Mana Jiang-ji?" tanya Ceng Bo.

„Dia berada dibelakang lui-tay," sahut Yan-chiu.

Masih Ceng Bo hendak bertanya lagi, tapi ketika itu dilihatnya Kiau To sudah tegak berdiri ditengah luitay, seraya berseru dengan nyaring: „Para enghiong dan hoohan sekalian, para saudara2 Thian Tee Hui, disini Kiau To, ji- ah-ko dari Thian Tee Hui. Sam Tay tianglo dari Ci Hun Si berkeras menuduh bahwa salah seorang muridnya yang bernama Ti Gong hweshio telah dibinasakan oleh orang Thian Te Hui. Bukannya mempersalahkan muridnya sendiri yang tak punya guna sehingga sampai dibunuh orang, sebaliknya menimpahkan kesalahan itu pada Thian Tee Hui serta menantang di luitay. Saudara2 sekalian, apakah Thian Te Hui itu mandah dihina orang?"

„Tidak, tidak!" terdengar tereakan bergemuruh dari sebelah timur. Rupanya mereka itu adalah rombongan orang2 Thian Tee Hui. Kiau To rangkap tangan memberi hormat seraya lanjutkan kata2nya lagi: „Karena Thian Tee Hui tak boleh diperhina orang, dan karena Ci Hun Si sam tianglo itu tetap berkeras dengan tuduhannya, maka terpaksa diadakan luitay ini. Kalau bahasa mulut tak dapat diterima, maka kepelanlah yang memutuskan. Para sahabat persilatan sekalian, barang siapa yang hendak berminat membantu kedua fihak silahkan naik kemari untuk mengeluarkan kepandaian masing2. Mati atau hidup itu tergantung dari kepandaian kita sendiri!"

Bermula Ceng Bo siangjin mengira kalau urusan masih bisa diselesaikan dengan damai. Tapi serta didengarnya Kiau To mengucapkan begitu, terang sudah jalan buntu. Diam2 siangjin itu menarik napas dalam2 lagi. Dia pun lalu memberi isyarat tangan kepada Bek Lian dan Yan-chiu, suruh mereka jangan mengajak bicara lagi. Dia tampak duduk lagi, untuk mencari pikiran. Jalan satu2nya ialah tunggu setelah pertempuran bubar, dia hendak meminta agar kedua pemimpin Tian Tee Hui bubarkan saja luitay itu, jangan cari setori pada orang lain.

---oo0-dwkz-TAH-0oo---

Tepat disaat dia mendapat pikiran itu, disebelah luitay yang satunya sana, salah seorang hweeshio yang yang duduk di-tengah2 segera tampil kemuka. Dan setelah memberi hormat pada para penonton, dia berseru suara tajam: „Memang kepandaian dari murid pinceng (hweeshio membahasai dirinya) kurang tinggi, itu benar. Tapi menggunal kesempatan sebagus ini, pin-ceng hendak memohon pelajaran yang sakti dari para enghiong hoohan (orang gagah) Thian Tee Hui!"

Dari ucapan itu, terang dia tetap menghendaki pertempuran. Tapi baru tantangan itu disampaikan, dari bawah luitay sudah terdengar seorang berseru keras megyambutinya: „To Kong tianglo, potong ayam mengapa memakai pisau pemotong sapi, biarlah kami ketiga saudara ini menjadi pelopor pihak barisanmu, yang tampil pertama kali!" Berbareng dengan seruan itu, loncatlah 3 orang lelaki bermuka brewok, keatas luitay.

Sekali lihat, Yan-chiu segera mengenali mereka itu sebagai ketiga saudara Chi, yakni Chi Beng, Chi Kwi dan Sim. Saking senang bakal menyaksikan pertempuran, Yan chiu seperti me-nari2. Namun karena suhunya berada disebelah situ, tak berani ia unjuk tingkah. Diam2 ia kutik2 Bek Lian serta membisikinya: „Suci, lebih baik kebelakang luitay saja, supaya bisa nonton dengan jelas!"

„Huh, untuk menghadapi bangsa begitu masa kami layak maju ke luitay!" Bek Lian tertawa, tapi cepat ayahnya mendenguskan hidung sambil tertawa dingin, Ketiganya segera bangkit untuk mengawasi kesekeliling penjuru. Kiranya sekalian penonton tampak curahkan perhatian kearah luitay. Sam Tay tianglo sudah turun dari luitay dan kini ketiga saudara Chi yang menggantikan naik. Babak pertama dari pertempuran diluitay itu, Ceng Bo siangjinpun tak mau menghiraukan lagi. Sementara Bek Than dan Yan- chiu sudah menyusup masuk diantar penonton yang ber- jubal2 itu, untuk menuju kebelakang luitay. Begitu tiba disana, kedengaran Kiau To berkata-kata: „Mengapa untuk babak pertama mereka menyuruh ketiga saudara Chi yang maju? Aneh juga!" „Entah apa maksud mereka itu!" sahut Ki Ce-tiong. Justeru dia berkata begitu, Bek Lian dan Yan-chiu muncul, maka buru2 toa-ah-ko itu bertanya: „Apa Bek-heng belum datang?"

„Entah apa sebabnya, kelihatannya suhu tak senang hati!" jawab Yan-chiu.

„Sudah tentu karena adanya luitay ini. Akupun kuatir juga, jangan2 membikin kapiran urusan besar. Tapi karena orang mencari urusan, apa kita tinggal diam saja?"

„Looji, mengapa kau begitu ngotot. Sebaiknya lekas tunjuk siapa yang harus tampil kedepan. Ketiga bajak dari keluarga Chi itu, tak boleh dipandang ringan. Masakan dalam babak pertama, mereka buru2 hendak menang angin," kata Ki Ce-tiong.

Dalam kedua pemimpin Thian Te Hui itu berunding, memang ada sementara anggauta2 Thian Te Hui berpangkat thau-bak yang tawarkan diri untuk maju kegelanggang luitay, namun mata Kiau To tertuju kearah Tio Jiang yang sejak tadi berdiam diri saja itu. Waktu Bek Lian masuk kesitu, Tio Jiang memaku (terus menerus memandang) sang suci saja, maka dia sampai tak mengetahui akan isyarat Kiau To itu. Adalah Yan-chiu yang tahu akan isyarat itu, terus mengutik sukonya, hingga Tio Jiang gelagapan. Sewaktu dia mendongak mengawasi kemuka, dilihatnya ada seseorang yang memakai sepasang sepatu jo-eh (sepatu rumput), mengenakan sehelai baju (pada hal itu waktu adalah bulan sebelas yang hawanya dingin) tengah setindak demi setindak menyeret kakinya menghampiri kearah ketiga saudara Chi sana. Sambil jalan beringsut-ingsut itu, mulutnya berseru: „Hai, adakah kalian bertiga ini orang she Chi?" Ketiga saudara Chi itu terkesiap. Dengan perlahan diamat-amati orang yang berpakaian mesum itu, tapi mereka tak mengenalnya. „Benar, apakah loheng  ini hendak membantu fihak Thian Te Hui?" sahut mereka serempak.

Sembari beringsut jalan menghampirl kedekat, orang itu menyahut: „Apa itu sih  Thian Te Hui, Jin Kau Hui (perkumpulan orang anjing)? Locu (membahasai dirinya sendiri) tak kenal semua. Yang kuketahui dilaut selatan ada

3 ekor belut she Chi, ganas tak kenal kasihan. Justeru kebenaran hari ini aku sempat, hendak kutangkapnya !"

Sekalian orang yang mendengar keterangan itu, sama terperanjat kaget. Terang luitay itu diperuntukkan pertandingan antara Thian Te Hui melawan Sam-tianglo dari Ci Hun Si. Ketiga saudara Chi itu adalah salah seorang Empat Sekawan bajak Laut Selatan. Kalau mereka berkelahi untuk fihak Sam-tianglo (tiga paderi besar) itu dapat dimengerti. Tapi masa tahu2 muncul orang lain yang hendak mencari ketiga saudara Chi itu! Perawakan orang itu sedang. Cara berjalannya yang diseret setindak demi setindak itu sih tak mengherankan, tapi yang mengherankan adalah caranya membawakan kata2nya yang begitu tajam itu. Selagi orang masih men-duga2, orang aneh itu sudah tiba dimuka luitay, lalu berseru kearah samping luitay:

„Ambilkan tangga, supaya locu bisa naik keatas !"

Ketiga saudara Chi itu tertawa mengejek: „Loheng tokh hendak pi-bu, mengapa keatas luitay saja tak mampu?"

Sembari memanjat ketangga, orang itu menyahut: „Locu hanya pandai menangkap belut, baik dimana saja, didarat maupun dilaut. Tapi memang locu tak bisa main loncat !" Setelah berada diatas papan luitay, orang itu menuding kepada ketiga saudara Chi, serunya: „Bagaimana, kamu bertiga maju serempak atau satu per satu?"

„Kami bertiga saudara ini, selama maju berbareng.

Kalau kau jeri, lekas enyah sana!" sahut Chi Kwi.

Orang itu memutar tubuh, menghadap kearah penonton dia beraeru nyaring: „Para enghiong hohan dari seluruh penjuru, dengarlah! Mereka bertiga hendak mengerubuti aku seorang, kalau mereka mampus rasanyapun sudah cukup pantas!"

,,Jangan jual omongan tak berguna! Siapa namamu?" bentak ketiga saudara Chi itu.

„Aku orang she „Si!"

„Si" artinya „ya". Sudah tentu ketiga saudara itu melengak seraya menegas: „She Si?"

„Tidak salah," sahut orang itu dengan tertawa, „namaku yang lengkap ialah Si Li Tia (ialah ayah-mu)!"

Baru kini ketiga saudara itu sadar bahwa orang berniat mem-per-olok2kan. Cepat mereka berjajar rapi, lalu siap menghunus golok kui-thau-to (kepala setan) masing2. Melihat itu, Ki Ce-tiong berkata kepada Kiau To: „Loji, ilmu golok dari persaudaraan Chi itu memang dimainkan oleh bertiga orang. Dan itu merupakan suatu ilmu permainan yang sukar dilayani. Kukira lebih baik kau panggil orang itu, agar publik tak menyangka kalau Thian Te Hui tiada mempunyai orangI"

Dipikir omongan toa-ah-konya itu memang tepat, maka berbangkitlah Kiau To terus berseru keras2: „Sahabat,  harap berhenti dulu!" lalu lolos jwan-pian (ruyung lemas semacam cambuk) dipinggangnya. Begitu dikebutkan sehingga lempang seperti sebatang pit (pena Tiongkok), dia terus melesat ketengah luitay. Selagi masih melayang diatas udara itu, piannya dimainkan dengan gencar sekali  sehingga menderu merupakan sebuah lingkaran sinar, atau mirip dengan sekuntum bunga yang tengahnya berisi bayangan orang. Cara pemimpin kedua dari Thian Te Hui itu naik keatas luitay, memang indah dan istimewa sekali.

Ketiga saudara Chi itu telah bertindak menurut rencana yang telah ditetapkan. Rencana itu menghendaki agar pertempuran luitay itu bisa berlangsung sampai beberapa hari lamanya, agar mereka dapat melaksanakan rencana itu lebih ianjut. Mengapa dalam babak pertama ketiga saudara itu yang maju, adalah karena pada pikiran  mereka, masakan dalam hari pertama fihak musuh akan mengeluarkan jago2nya yang lihay. Dengan begitu, tentu mereka bertiga akan dapat merebut kemenangan. Pemimpin kedua dari Thian Te Hui, Kiau To itu, wataknya berangasan. Menghadapi setiap persoalan, tak mau dia berbanyak pikir untuk menelitinya. Lain halnya dengan Ki Cee-tiong yang cermat teliti. Nampak ketiga saudara Chi yang pertama turun kegelanggang, dia menduga, tentu ada sebabnya, maka disuruhnya Kiau To lah yang menghadapinya. Loncatan Kiau To ketengah luitay itu tepat jatuh di-tengah2 ketiga saudara Chi dan siorang kurus tadi. Per-tama2 Kiau To memberi hormat kepada orang itu seraya berkata: „Sahabat, aku yang rendah atas nama Thian Te Hui haturkan terima kasih atas bantuanmu. Hanya saja kali ini adalah menyangkut urusan Thian Tee Hui, apabila sahabat memang sungguh berhasrat membantu, sukalah kiranya pada nanti giliran yang kedua saja."

Ucapan Kiau To Itu disusun dalam bahasa tata kesopanan dunia persilatan yang sopan sekali. Sekalipun orang itu datang bukan karena hendak membantu Thian Tee Hui tapi karena hendak membereskan permusuhannya sendiri, namun turut aturan, dia harus mengalah. Tapi ternyata tidak demikian. Kelopak matanya membeliak, mulutnya berseru aneh: „Bagaimana? Bukankah luitay ini diperuntukkan berkelahi? Apa hakmu untuk melarang aku, hayo menyingkir sana!"

Orang itu berkata dengan suara keras, hingga para pera penonton dapat mendengar dengan jelas. Tapi Kiau To masih menahan hatinya serta masih hendak menyahutinya. Tapi dia agak dikejutkan dengan derap kaki dari belakang luitay. Begitu berpaling kebelakang, kiranya Yan-chiulah yang ber-lari2 mendatangi terus loncat keatas luitay. Begilu menginjak dllantai dia terus menuding pada orang jembel itu: „Kau mau berkelahi sih boleh saja, tapi satu melawan tiga, itu tidak seimbang. Begini saja, kita bertiga ini melawan mereka bertiga, jadi satu melayani satu!"

Dan tanpa tunggu jawaban orang lagi, sigenit itu mengeluarkan bandringannya, terus dihantamkan kepada Chi Beng. Sudah tentu si Chi Beng itu buru2 menangkis dengan goloknya. Yan-chiu tarik kebelakang tangannya seraya memutar tubuh untuk melancarkan lagi serangannya yang kedua. Melihat kegarangan nona itu, Chi Beng murka. Masa seorang lelaki gagah tak bisa menangkan seorang gadis kecil, bukankah dia nanti akan kehilangan muka dikalangan persilatan? Dengan menggerung keras, dia segera mainkan ilmu golok keluarga Chi yani yang disebut

„Sam Kek To Hwat". Dengan gencar dan serunya, dia merangsang nona itu. Yan-chiu andalkan kelincahannya, sedang senjatanya rantai bandringan Itu merupakan senjata yang lemas dan panjang, maka dapatlah dia loncat kian kemari sambil memberi pukulan pada setiap ada kesempatan. Dalam beberapa saat saja, pertempuran sudah berlangsung 10-an jurus. Melihat sikap sinona yang tegas dan garang itu, siorang aneh tadi tertawa riang, serunya: „Bagus, nona kecil, dengan memandang mukamu locu serahkan kedua ekor belut itu kepada kalian!" Setelah mengucap begitu, dengan jarinya yang kotor penuh dangkal itu, dia tuding Chi Kwi:

„He, majulah, apa takut mati?"

Saking marahnya, dada Chi Kwi hampir meledak. Serentak dia maju membacok dengan goloknya, tapi orang itu hanya miringkan tubuhnya. Rantai bandringan si Yan- chiu panjangnya hampir 4 meter. Oleh karena luitay itu memang tak sebrapa luas, jadi sewaktu Yan-chiu mainkan baderingannya itu, boleh dikata telah memakan lebih dari separoh panggung luitay itu. Seperti telah dikatakan tadi, atas bacokan Chi Kwi, orang itu miringkan tubuhnya. Justeru pada saat itu bandringan Yan-chiu tepat melayang kearah mukanya. Sedang pada saat itu, karena bacokan yang pertama gagal, Chi Kwi mengirim lagi bacokannya yang kedua kearah kepala orang itu. Namun orang itu tinggal diam saja. Untuk bandringan Yan-chiu yang datangnya lebih dahulu, dia tampar bola besi diujung rantai itu, sehingga sesaat itu Yan-chiu seperti terjorok kemuka. Dengan begitu bola besi itu berganti arah layangnya, wung terus menghantam Chi Kwi.

Mimpipun tidak Chi Kwi kalau bola bandringan Yan- chiu itu akan menghantam kearahnya. Dengan gugup dia menangkiskan goloknya, trang, golok dan bola besi saling berbentur. Yan-chiu sih tak merasakan apa2, tapi Chi Kwi kesemutan tangannya sehingga goloknya hampir terlepas

„Nona kecil, sungguh kuat sekali tanganmu!" serunya memuji.

Tapi sebenarnya Yan-chiu sendiri ketika bola bandringannya di tampar oleh tangan siorang aneh, hampir saja juga tak dapat menguasai pegangannya. Diam2 ia puji siorang aneh itu bukan seorang tokoh sembarangan.  Namun tak mau Ia pedulikan hal itu, serta balas membentak si Chi Kwi : „Nonamu ini bertenaga besar, tak perlu dengan pujianmu!”

Dari berhadapan dengan Chi Beng kini  Yan-chiu berganti melawan Chi Kwi. Sebaliknya karena mendapat kesempatan, tiba2 Chi Beng membacok Yan-chiu.

Untuk menyerang Chi Kwi yang berada disebelah muka, tapi dari belakang diserang oleh Chi Beng, Yan-chiu menjadi kelabakan. Se-konyong2 orang aneh  itu kedengaran berseru: „Nona kecil, kita saling tukar musuh!", terus melesat kehadapan Chi Beng, ulurkan tangannya hendak menampar. Buru2 Chi Beng angkat goloknya memapas lengan orang. Tapi secepat kilat tangan orang itu ditarik kebelakang dan „plak", tahu2 menampar muka lawan. Hebat kiranya tamparan itu, karena seketika itu Chi Beng ter-huyung2 mundur sampai 3 langkah, malah hampir terjungkal kebawah luitay. Separoh mukanya menjadi bengkak kebiru2an.

Setelah menampar muka, orang aneh itupun tak mau mengejar. Dengan berdiri tegak, dia mengawasi Chi Beng seraya tertawa cekikikan, sepertinya tak memandang mata pada lawan.

„Locianpwe, bagus sekali pukulanmu tadi," seru Yan- chiu dari samping.

„Hai, kiranya manja juga nona kecil ber-kata2," sahut orang aneh itu.

Tadi bertempur dengan Chi Kwi, Yan-chiu sudah merasa berat, apalagi kini ia pecah perhatiannya untuk memuji siorang aneh, maka hampir saja golok lawan membabatnya. Kini tak berani lagi dia bicara dengan siorang aneh, lalu menumplek perhatiannya untuk menghadapi lawan. Disamping sana, Kiau  To mengawasi dengan penuh perhatian akan jalannya pertempuran itu. Yan-chiu keripuhan, mungkin kehabisan napas. Tapi siorang aneh itu ternyata seorang ko-chiu (jago kelas tinggi), hingga dapat mempermainkan lawannya. Dengan begitu pertandingan seri. Setelah jelas, dia segera menuding pada Chi Sim, bajak yang ketiga: „Mari, kita naik keluitay yang sana itu !"

Diantara ketiga saudaranya, Chi Sim lah yang paling rendah kepandaiannya. Tapi biarpun kalah lihay, dia menang cerdik dari kedua kakaknya itu. Kiranya ilmu golok

„sam kek to hwat" dari keluarga Chi itu terdiri dari 3 pokok dasar: thian (langit), tee (bumi) dan jin (orang). Ketiga saudara itu masing2 mempelajari satu macam jurus. Maka untuk menghadapi lawan, mereka bertiga harus maju berbareng, baru kelihatan lihaynya. Sam-kek-to-hwat ternyata berdasarkan sebuah ucapan dalam kitab I-keng yang mengatakan: „gerakan dari ke 6 garis, adalah jalanan dari ke 3 kek (batas)”. Oleh karena itu, letak keindahan dari perobahan ilmu golok itu, ialah harus dimainkan oleh 3 orang itu, barulah hidup.

Chi Sim tak mau ladeni tantangan Kiau To, karena itu berarti terpecah kekuatannya. Cepat dia maju setindak untuk berjajar dengan kakaknya, Chi Kwi yang tengah  bertempur dengan Yan-chiu itu, lalu berseru menantang Kiau To: „Disini, kalau berani majulah, kalau takut mati, sana mundur saja !"

„Bangsat yang tak tahu mati!" damprat Kiau To seraya ayunkan tiang-pian menyabet kaki orang.

„Toako, jiko, pundak rata!" Chi Sim meneriaki kedua kakaknya. Pundak rata, berarti bertempur bahu membahu. Chi Kwi dan Chi Beng tersadar dari kekliruannya yang sudah tak mau bertempur secara berbareng itu. Maka tanpa hiraukan sakitnya dibagian muka, Chi Beng maju dua langkah kemuka. Tapi tepat pada saat itu siorang aneh tadipun melangkah maju, hingga saling berhadapan.

„Bagaimana? Hendak mati bersama disatu tempat?" kata orang mesum itu dengan cekikikan.

Karena pernah merasakan tangannya, tak berani Chi Beng menerjangnya. Dan karena merandek itu, kini Chi Beng terpencil dihadang oleh siorang aneh itu. Apa boleh buat, Chi Beng segera ayunkan golok kui-thao-tonya untuk menerjang. Namun dengan ke-tawa2, siorang aneh itu berlincahan diantara samberan golok, setempo loncat keatas setempo membungkuk kebawah. Kalau tidak menggaplok pantat, tentu me-ngitik2 iga orang, hingga dalam melancarkan serangannya yang hebat itu, mau tak mau si Chi Beng geli karena ngeri. Mungkin karena belum pernah menyaksikan pertempuran selucu itu, para anak2 Thian Te Hui dan penonton sama ketawa ter-bahak2. Tapi  ketiga Sam Tay tianglo dari Ci Hun Si itu tetap sedingin es wajahnya.

Sementara diluitay yang satunya, Chi Kwi dan Chi Sim dapat bahu membahu bertempur. Yang satu khusus menyerang tubuh, sedang yang lain melulu mengarah kaki. Baik menyerang maupun menangkis, kedua orang itu tentu ajak-ajakan. Benar ilmu permainan pian dari Kiau  To cukup lihay, namun dalam waktu singkat tak dapatlah dia merebut kemenangan. Kini dia keluarkan jurus permainan

„liok kin pian hwat", sehingga gerakannya berobah menjadi gencar bagaikan angin puyuh.

Juga Yan-chiu tak kurang garangnya dengan senjata bola bandringannya. Sebenarnya Kiau To seorang saja sudah cukup untuk menghadapi kedua saudara itu. Maka Yan- chiu hanyalah bergerak untuk menghantam, se-waktu2 ada lubang kesempatan. Berkelahi cara begitu, sungguh enak bagi sinona nakal. Karena dia ber-putar2 untuk mencari kesempatan, maka gerakannyapun bagaikan seekor kupu2 me-nari2 diantara kuntum bunga. Malah sigenit itu me- niru2 perbuatan siorang aneh tadi ialah dengan tangannya kiri menggablok pantat kedua lawannya itu. Dan itu dapat dia lakukan se-puas2nya karena kedua saudara Chi itu tengah tumplek perhatiannya untuk melayani serangan Kiau To. Juga pemandangan diatas luitay yang ini, tak kurang menariknya. Para penonton sama  ter-pingkal2, sampai orangnya fihak keempat bajak itu sendiri, tak kuat menahan gelinya.

Dalam waktu sesingkat saja, pertempuran itu sudah berjalan belasan jurus. Kini Chi Kwi dan Thyi Sim tampak sudah kepayahan didesak pian Kiau To, sehingga pada lain saat saking gugupnya mereka ber-jingkrak2 seperti monyet kena api. Dan berbareng dengan itu pantat mereka habis digaploki Yan-chiu.

Diluitay yang sebelah sana, Chi Beng anggap bahwa orang aneh yang menjadi lawannya itu sebenarnya tak seberapa lihaynya. satu2nya kepandaian yang paling diandalkan ialah ilmun ya mengentengi tubuh yang hebat. Ini terbukti beberapa kali sudah dia menerima tamparan siorang aneh itu, bermula memang kaget, tapi ternyata rasa sakitnya itu hanya sebentar saja terus sembuh kembali. Dengan anggapan itu, timbullah nyali Chi Beng. Sret, aret, sret, 3 kali dia maju membabat dan berhasil mendesak lawan mundur selangkah. Benar dalam mundurnya itu, siorang aneh dapat memberi tamparan, namun sekali enjot, dia terus hendak melesat kearah kedua saudaranya sana. Tapi hai, gila betul siorang aneh itu, ilmumengentengi tubuhnya sungguh sakti benar. Sekali bergerak tahu2 dia sudah menghadang dihadapan Chi Beng lagi, bluk ……dia meninju dada Chi Beng seraya berseru: „Tubuhmukan besar, mengapa takut ditinju!" Mendengar itu, sudah tentu Yan-chiu ketawa meringkik. Saking gemasnya. Chi Beng menabas, tapi siorang itu terus menghindar. Dalam kesempatan itu, dapatlah sekarang Chi Beng bersatu dengan kedua saudaranya, sehingga kini permainan mereka menjadi hidup.

5

Mendadak banderingan Yan-chiu terpental dari tangan, berbareng bebokongnya kena digablok siorang aneh hingga tubuhnya terapung keatas.

Memang dengan tergabungnya menjadi satu, permainan golok ketiga saudara Chi tampak bersemangat. Yang pertama menderita pengaruhnya adalah Kiau To, siapa tampak terdesak mundur selangkah. Yan-chiu masih mengimpi hendak mengocok mereka, dengan coba2 menyodok ketiak Chi Sim. Tapi untuk kekagetannya, Chi Kwi menabas dengan goloknya, hingga saking gugupnya sinona segera tangkis dengan bandringannya. Tapi sekali Chi Kwi putar goloknya, bandringan itu telah kena digubatnya. „Lepas!" bentak orang she Chi itu sembari mendorongkan golok keluar.

Yan-chiu rasakan tangannya kesemutan, saking kagetnya bandringan terlepas terus dilontarkan oleh Chi Kwi. Baru Yan-chiu hendak mundur, Chi Sim sudah membarengi menusuknya. Yan-chiu mengeluarkan keluhan tertahan, tapi sekonyong2 orang aneh itu mengulurkan tangannya yang kotor berdaki, secepat kilat telah menggaplok pantatnya sehingga selebar muka Yan-chiu ke-merah2an. Serasa didorong oleh suatu tenaga besar, diluar kemauannya, Yan-chiu telah terangkat naik sampai satu tombak keatas. Sebenarnya nona itu gugup sekali, tapi karena waktu melambung keatas, bandringannya tadi justeru melayang jatuh kebawah, make sebat sekali dia menjambretnya lalu ikut melayang turun bersama bandringan itu. Ketika melayang turun, jatuhnya tepat ditepian luitay.

Setelah terhuyung sebentar, sekarang ia sudah berdirik tegak lagi.

Saking cepatnya siorang aneh itu menggerakkan tangannya tadi, maka para penonton dibawah luitay sampai tak mengetahui kalau sebenarnya Yan-chiu telah didorongnya keatas. Mereka mengira, karena bandringannya terpental keudara, nona itu segera enjot tubuhnya mengejar. Seorang nona semuda itu umurnya, kalau kalah kuat dengan 3 orang lelaki yang bertenaga besar sehingga senjatanya sampai kena dilemparkan keatas,  itu sih sudah jamak. Tapi bahwasannya dalam keadaan yang membahayakan jiwanya itu, sinona masih dapat mengelakkan bacokan yang gencar dari Chi Sim dan malah dapat enjot tubuhnya setinggi itu untuk menyusul senjatanya yang terlepas tadi, adalah suatu kepandaian yang luar biasa. Jadi dapatlah dianggap bahwa nona itu dapat merobah kekalahannya dengan suatu kemenangan yang mengagumkan. Demikian penilaian para penonton yang segera memberi pujian tepuk tangan yang meriah sekali.

Malah disana, Tio Jiang dan Bek Lianpun sama terperanjat. Bek Lian leletkan lidah mengeluarkan seruan tertahan. Tio Jiang yang dalam beberapa hari ini tak mempunyai kesempatan (alasan) untuk bicara dengan sucinya itu, buru2 menggunakan kesempatan baik itu, katanya: „Suci, ilmu mengentengi tubuh sumoay mendapat kemajuan pesat sekali."

Bek Lian hanya mengiakan dengan dingin, tapi itu sudah membuat Tio Jiang girang setengah mati, maka dengan wajah ber-seri2 dia mengawasi lagi keadaan diluitay. Hanya Ceng Bo siangjin yang mendongkol, karena melihat muridnya itu tak mengindahkan nasehat untuk tidak turun kegelanggang. Tapi demi menampak permainan bandringan sinona nakal itu bertambah maju, dia terhibur hatinya. Tentang gaplokan siorang aneh pada Yan-chiu tadi, Ceng Bopun dapat melihatnya dengan jelas, tapi dia malah bersyukur, karena kalau tidak tentu muridnya yang masih hijau dan baru pertama kali turun dalam pertempuran itu tentu tak dapat mengelakkan tabasan Chi Sim.

Seperti telah diterangkan diatas, tergabungnya ketiga saudara Chi itu dalam permainannya sam-kek-to, telah melahirkan suatu gaya permainan yang lihay. Kalau tidak dua menyerang satu menjaga, tentu yang satu menyerang yang dua menjaga. Ilmu permainan golok itu, penuh dengan ragam perobahan, sehingga ketiga golok kui-thau-to itu merupakan ribuan sinar golok yang berkelebatan dengan derasnya. Dalam hati, Kiau To mengagumi permainan itu, maka diapun lalu mainkan piannya dengan se-hebat2nya.

Setelah mendapat pengalaman pahit bandringannya terlepas tadi, sekarang Yan-chiu tak berani gegabah lagi. Dia andalkan kelincahannya saja. Tapi siorang aneh yang mesum Itu dengan sepasang sepatunya rumput yang mengeluarkan bunyi tik-tak tik-tak, ber-ingsut2 kian kemari, sepertinya tak menurut gerak permainan silat. Namun betapa deras dan serunya samberan ketiga golok lawan itu, tetap tak dapat mengenainya. Keadaan itu berjalan sampai belasan jurus.

Sebaliknya karena sampai sekian lama tak ada kesudahannya itu, Kiau To menjadi tak sabaran lagi. Dia perhebat permainannya pian, merangsang musuh dengan bernapsu sekali.

„Mau lekas2 memberesi ketiga ekor belut ini bukan? Mengapa tadi2 tak bilang?" seru siorang kotor itu dengan tertawa, sembari maju merapat. Chi Beng dan Chi Kwi menyambutnya dengan 3 kali bacokan be-runtun2, tapi tak kuasa menahan majunya siorang aneh itu. Chi Sim yang tengah melayani Kiau To itu menjadi lengah, betisnya kena disawut oleh siorang aneh tadi, terus dijorokkan kearah Kiau To, sehingga jatuh kemulca. Kiau To sebat gunakan jurus „ular aneh mencari mangsa" menyabet dan tepat melibat betis si Chi Sim. Sekali tangan menyentak, tubuh Chi Sim yang besar itu terangkat naik. Dan begitu tangan Kiau To tampak bergerak lagi, mulutnya segera berseru:

„Enyahlah!" Tubuh Chi Sim telah kena dilempar keluar luitay.

Ilmu mengentengi tubuh dari ketiga saudara Chi itu biasa saja. Maka sewaktu melayang turun, tangan dan kaki si Chi Sim itu me-ronta2 seperti orang kelelap dikali. Maka dapat dipastikan, nanti kalau jatuh, tidak mati pun tentu  akan luka parah. Tapi se-konyong2 tampak sesosok tubuh berkelebat, malah nyata2 orang itu masih duduk diatas sebuah dampar (semacam permadani) yang bulat, tepat dapat menyanggapi jatuhnya Chi Sim itu. Dengan merah padam, Chi Sim terus hendak loncat keatas luitay lagi, karena pikirnya, dengan kurang seorang, permainan sak- kek-to itu pasti akan kacau, tapi ternyata sudah terlambat. Kakaknya yang satu kena dihantam punggungnya oleh bola bandringan Yan-chiu hingga muntah darah terus jatuh kebawah luitay. Sedang kakaknya yang lain, telah dihajar pian mukanya hingga berlumuran darah dan berjumpalitan loncat kebawah luitay. Jadi dalam babak pertama itu, fihak Thian Te Hui telah mencatat kemenangan.

Diantara ketiga saudara itu, terhitung Chi Simlah yang tak mendapat luka, sekalipun dia kena dilempar keluar gelanggang oleh Kiau To. Bermula ketiga saudara itu memperhitungkan kalau pada hari pertama fihak Thian Te Hui tentu takkan mengeluarkan jagonya yang lihay, dan ini akan memberi kesempatan fihaknya untuk menang. Memang menurut rencana Cian-bin-long-kun The Go (si Wajah seribu) ialah: hari pertama, kedua dan ketiga, Thian Te Hui harus dikalahkan, agar mereka tak dapat lekas2 membubarkan luitay itu. Dengan begitu dapatlah seluruh tokoh2 Thian Te Hui dan tokoh2 persilatan lainnya semua berkumpul digunung Gwat-siu-san situ, sementara  dia dapat melaksanakan rencananya dikota Kwiciu.

Namun rencana itu telah dipecahkan oleh penilaian Ki Ce-tiong yang tepat. Dengan menganjurkan Kiau To maju kegelanggang, sebenarnya sudah cukup untuk mengatasi ketiga saudara Chi itu. Apalagi dengan mendapat tenaga tambahan dari murid kesayangan Ceng Bo siangjin. Bahwa munculnya siorang mesum yang aneh itu untuk fihaknya, telah membuat kekalahan ketiga saudara itu menjadi suatu kekalahan yang mengenaskan sekali. Begitu kedua kakaknya turun dari luitay, Chi Sim buru2 memapakinya lalu dengan bermuram durja masuk kebelakang panggung.

---oo0-dwkz-TAH-0oo--- Sebaliknya dalam pengalamannya turun kegelanggang itu telah mendapat kemenangan, dengan diantar oleh tepuk sorak yang gegap gempita dari orang2 Thian Te Hui, Yanchiu tak mau segera berlaku dari luitay itu. Mata Kiau To yang tajam segera dapat mengenali bahwa orang bersila diatas dampar terbang yang memberi pertolongan pada Chi Sim tadi adalah paderi To Kong, itu salah seorang gembong dari gereja Ci Hun Si yang mengantar surat tantangan tempo hari. Dilihat dari caranya dia menolong Chi Sim, begitu tenang dan gapah sekali, Kiau To terperanjat. Ilmu mengentengi tubuh yang sedemikian itu, jarang sekali terdapat dikalangan kaum persilatan. Maka ter-sipu2 dia memanggil Yan-chiu: „Siao Chiu, lekas turun dari luitay. Hweshio itu lihay sekali!"

Walaupun enggan, namun menurut juga Yan-chiu. Tapi baru dia hendak turun, tiba2 didengarnya mulut siorang aneh tadi berseru pelan: „Nona kecil, kepala gundul itu hanya garang diluar, tapi tak berisi. Kalau kau berani menghadapinya, kujamin kau tentu menang!"

Karena Kiau To saat itu mengawasi pada paderi To Kong yang berada dibawah luitay, jadi dia tak dapat mendengar anjuran siorang aneh kepada Yan-chiu itu. Karena memang sifatnya nakal, begitu dianjuri ia segera memanggut kepada orang aneh itu, lalu melangkah maju dua langkah seraya menuding kearah To Kong, serunya:

„Bangkai keledai, bagus, apa kau berani naik kemari untuk ber-main2 dengan nonamu ini ?"

Lwekang dari Yan-chiu yang baru dua tahun ini dipelajarinya belum sempurna, maka sewaktu bicara tak dapat ia gunakan lwekang, sehingga para penonton sama mendengarnya jelas. Tapi oleh karena dia itu seorang dara yang lincah sympathik, maka perhatian penontonpun terpikat kearahnya. Apalagi dengan nada suaranya yang merdu bagaikan kicau burung kenari itu, makin membuat terpesona orang2.

Yang paling kaget setengah mati, adalah Kiau To. Dia heran mengapa nona itu begitu berani mati? Sam Tay  tianglo atau Tiga Imam besar dari gereja Ci Hun Si, sudah terkenal didunia persilatan. Dalam segala2nya, nona itu tak nempil dengan sebuah ujung jarinya saja. Babak pertama, fihak lawan menderita kekalahan, babak kedua ini tentu akan mengambil pembalasan. Hendak Kiau To melarangnya, tapi dia teringat akan peraturan dunia persilatan, bahwa barang siapa yang sudah berani menantang berkelahi dalam luitay itu, tentu berani sudah menanggung akibatnya. Apa boleh buat, terpaksa dia hanya berseru: „Siao Chiu!"

Sebenarnya Yan-chiupun tak mengetahui akan tokoh hweeshio To Kong itu. Bahwa begitu dia mengeluarkan tantangannya, para penonton sama kesima, telah membuatnya heran. Menduga kalau ada sesuatu yang kurang beres, din segera hendak mencari alasan turun saja dari panggung. Tapi tiba2 siorang mesum aneh itu kembali berkata: „Nona kecil, maki lagi kepala gundul itu, tanggung kau pasti menang!”

Orang aneh itu hanya tampak kemak kemik, namun suaranya begitu nyaring tajam masuk kedalam telinga Yan- chui, sedang Kiau To yang berdiri tak jauh dari situ tak dapat mendengarnya, ini mengingatkan pada Yan-chiu akan apa yang pernah dikatakan oleh suhunya, bahwa ada semacam lwekang yang dapat menyalurkan suara menyusup ketelinga orang. Ilmu itu disebut „thoan seng jip bit" (susupkan suara kedalam lebatan), suatu ilmu Iwekang yang sudah mencapai tingkat tertinggi. Teringat pula nona lincah itu. bagaimana tadi siorang aneh telah begitu istimewa sekali mendorong tubuhnya keatas. Terang dia itu bukan tokoh sembarangan. Maka hilang kesangsian Yan- chiu. Tanpa pedulikan kecemasan Kiau To dan para penonton lagi, dia memaki pula: „Keledai gundul, bangsat gundul, takut naik kepanggung? Kalau kau mengharap nonamu memberi ampun itulah mudah, asal kau julurkan kepalamu yang gundul, untuk kulompati 3 kali, baru nanti kuampuni jiwamu!"

Kata2 itu menyakiti perasaan tapi lucu, sehingga walaupun para penonton tahu bahwa To kong hweshio itu se-kali2 tak boleh dibuat main2 dan nona genit itu pasti akan menyesal nantinya, namun tak urung pecah juga ketawa bergemuruh dibawah luitay. Tapi To Kong hweshio itu tetap berwajah seperti mayat, tenang2 duduk diatas damparannya. Setelah ketawa orang2 sirap, baru dia  berkata dengan pelahan2: „Budak hina, siapakah gurumu?"

„Bangsat gundul, pada aku saja kau tak berani  bertempur, apa2an mau tanya suhu?"

Kini To Kong yang berwajah mayat itu kedengaran tertawa keras, tapi nadanya ter-kekeh2 seperti burung betet. Yan-chiu bercekat, ketika melihat bahwa sekalipun mulut sihweeshio itu tertawa tapi wajahnya tetap pucat seperti mayat, sedikitpun tak berobah mimik wajahnya. Karena bercekat, kini Yan-chiu berganti nada, katanya:

„Toahweshio, apa yang kau ketawakan?"

Belum To Kong menyahut, Yan-chiu sudah mendengar suara siorang aneh tadi: „Nona kecil, mengapa bernyali kecil? Masa kau takut mendengar ketawa keledai gundul itu saja? Satu lawan satu, kalau bisa menangkan hweshio itu, namamu akan menggeletar!"

Yan-chiu berpaling kearah orang itu. Tampak orang itu masukkan sebelah tangannya kedalam lengan bajunya yang „tes” keluar jarinya memitas seekor kutu. Dengan menyeret sepatunya rumput, ber-ingsut2 dia turun dari luitay, begitu jatuh ketanah dengan susah payah dia baru bisa bangun lagi terus ayunkan langkah seraya menyomel sendirian: „Aneh, aneh, seorang hweesiho yang begitu hebat takut pada seorang nona kecil saja. Kalau dunia persilatan mendengar hal itu, sungguh dunia ini seperti terbalik!" Sembari berkata begitu dia masuk diantara lautan penonton.

To Kong memandang kearadh Yan-chiu, siapa segera tampak bersiap untuk menghadapinya.

Sewaktu Yan-chiu memaki si hweeshio itu, Tio Jiang sudah pucat, sehingga dia ambil putusan hendak maju menggantikan sumoinya itu. Pikirnya, lebih baik dia saja yang menderita. Tapi dicegah oleh Ki Cee-tiong: „Siaoko, jangan kuatir. Kali ini meskipun nona itu tentu kalah, tapi takkan terjadi suatu apa pada dirinya, percayalah!"

Tio Jiang alihkan pandangannya kearah warung dimana suhunya berada tadi. Tampaknya suhu itu tetap enak2 saja menikmati tehnya, hal mana sungguh membuatnya tak habis mengerti. Bukankah kepandaian dari sumoaynya itu masih belum beberapa, mengapa suhu dan Kiau susioknya itu begitu ikhlas2 saja membiarkan anak itu menghadapi sihweeshio? Karena tak mengerti, diapun segera bertanya kepada Bek Lian: „Lian suci, hari ni mengapa sumoay begitu garang."

Kiranya Bek Lian sendiripun tak tahu sebabnya, tapi tak mau ia kentarakan kegelapannya. „Suhu sudah cukup tahu, mengapa kau bingung?" sahutnya dengan tawar.

Tepat pada saat itu, tiba2 terdengar suara menderu dan dengan duduk diatas damparnya, To Kong nampak melayang keatas panggung. Tersambar oleh anginnya saja, Yan-chiu sudah tak dapat mempertahankan berdirinya, ia agak terhuyung kebelakang sampai beberapa langkah, dan saat itu Kiau To sudah melesat dimukanya. Melihat itu Yan-chiupun segera mundur lagi dua tindak. Disebabkan rasa sayangnya kepada Yan-chiu maka biarpun insyaf bahwa To Kong hweeshio itu bukan lawannya, namun terpaksa juga Kiau To maju menggantikan. Dan demi tampak bagaimana dengan mata ber-api2 To Kong mengawasi Yan-chiu yang berada dibelakangnya, Kiau To segera menegurnya: „To Kong tiangloo, apakah benar2 akan meladeni seorang nona kecil?"

Kiau To berwatak berangasan, tapi pada saat itu bisa gunakan otaknya yang dingin. Dengan ucapannya tadi, asal Yan-chiu tidak usil mulut lagi, dalam kedudukannya sebagai tokoh kenamaan pasti To Kong tak nanti mau cari urusan dengan Yan-chiu. Diam2 Yan-chiu memaki siorang aneh tadi, yang sudah tak berani bertanggung jawab. Orang itu mengatakan To Kong seorang „bungkusan nanah" (tak berguna), tapi tu lihat, tadi samberan angin damparnya saja sudah begitu hebat hingga membuat ia (Yan-chiu) terhuyung. Terang dia (Yan-chiu) bukan tandingannya, maka iapun segera lepaskan bola bandringannya hendak diselipkan dipinggangnya lagi. Biar penonton akan menertawainya, pokok asal dia bisa tinggalkan gelanggang maut itu. Tapi tiba2 dilihatnya dibawah sana tak jauh dari luitay situ, tampak siorang aneh tadi ketawa kearahnya. Tergerak hati Yan-chiu. Se-konyong2 orang aneh itu gerakkan tangannya kanan sebuah sinar putih ber-kilat2 meluncur kearahnya. Benda itu seperti suatu  senjata rahasia. Hendak ia menyingkir tapi sudah tak keburu lagi. Begitu tiba dihadapannya benda berkilat yang aneh itu se- konyong2 menghantam rantai bandringnya dan merasa tak kuasa lagi Yan-chiu mencekal rantainya itu. Wut, bandringannya terpental menghantam kearah To Kong. Kejadian itu berlangsung dengan teramat cepatnya, sehingga tiada seorang penontonpun yang mengetahui apa yang telah terjadi tadi. Malang Kiau To seorang akhli silat yang tergolong kelas tinggi, tak mengetahui juga. Apa yang dilihat oleh sekalian orang itu yakni bola bandringan itu tiba2 melayang kemuka!

Sebaliknya Yan-chin yang mengetahui dan merasakan sendiri kejadian itu, malah tubuhnya pun hampir ikut menjorok kemuka karena tak kuat menahan getaran bandringannya itu, menjadi terkejut dan girang. Terkejut, karena dia masih belum yakin apa bisa mengatasi sihweeshio. Girang, karena orang aneh itu ternyata begitu sakti, sehingga rasanya melebihi lihaynya dari sang suhu.

Saat itu Kiau To tengah mendesak agar To Kong batalkan niatnya mengejar Yan-chiu, atau diluar dugaan malah bandringan sinona itu telah menghantam lawan. To Kong hanya tertawa dingin sambil tetap duduk diatas damparnya. Dia julurkan tangannya yang kurus kering untuk menyambuti bandringan sinona itu telah menghantam lawan. To Kong, hanya belum sempurna, tapi ilmu bandringan itu adalah ilmu warisan dari Ceng Bo Siangjin. Begitu To Kong hendak menyambuti, ia sentak rantai bandringan, sehingga bola besinya naik keatas dan terhindar dari sawutan lawan. Gerakan itu disebut „hong hong sam tiam thau" atau burung hong 3 kali menganggukkan kepala.

Sewaktu Yan-chiu datang berguru pada Ceng Bo, Ceng Bo keluarkan semua senjata dan bertanya ia suka belajar ilmu senjata apa. Setelah me-milih2, akhirnya Yan-chiu ketarik dengan rantai bandringan yang panjang dan lemas itu. Rantai itu panjangnya lebih dari setombak, pada dua ujungnya diberi dua buah bola besi bundar macam hamer(palu besi). Tapi oleh karena tahu Yan-chiu itu seorang nona yang bertenaga lemah, Ceng Bo lepaskan sebuah dari bola besi itu, sehingga bandringan yang digunakan Yan-chiu itu berbeda dengan senjata bandringan yang lazim terdapat didunia persilatan.

Begitu bola bandringan terangkat naik, To Kong pun juga tampak berdiri, untuk merebut rantai bandringan dari tangan Yan-chiu. Sedang tangannya kiri dia gunakan untuk menampar sinona. Kiau To terkejut bukan buatan. Dalam dunia persilatan To Kong dikenal sebagai akhli „thiat sat ciang" pukulan tangan besi. Ketika menjulurkan jari2nya tangan kiri tadi, tegas kelihatan telapak tangannya hitam sekali, gerakannya cepat. Dia (Kiau To) cemas, jangan2 Yan-chiu karena hanya memperhatikan supaya bandringannya jangan sampai kena direbut musuh, lalu tak menjaga serangan yang menyusul itu. Jangan kata sampai kena dihantam, cukup baru terkena samberan anginnya saja, sudah tentu akan t yelaka.

Dalam gugupnya, Kiau To segera hantamkan piannya ketangan kiri To Kong. Tapi baru pian bergerak, bola bandringan yang melayang lurus keatas itu, tiba2 meluncur kebawah dengan cepatnya. Kalau To Kong berani teruskan rangsangannya, punggungnya pasti terhantam bola besi itu. Dan hantaman itu tentu akan mengenakan jalan darah

„leng tay hiat", dan ini pasti akan menamatkan jiwa sihweeshio.

To Kong tahu apa artinya hantaman itu. Sebat sekali dia tarik pulang tangannya kanan, lalu melangkah setindak kesamping, sehingga dapat menghindar dari serangan sinona yang luar biasa hebatnya itu. Kejadian itu mendapat sambutan yang hangat dari para penonton, sedang Kiau To sendiripun kesima. Malah Yan-chiu sendiri juga ter-heran2. Tadi sehabis gunakan gerak „hong hong sam tiam thau", ia merasa tentu akan kena disawut oleh To Kong, tapi sekonyong2 terasa ada suatu tenaga kuat mendorong bola bandringannya itu melambung keatas, kemudian ada lagi lain tenaga yang mengayunkan bola itu turun kebawah. Sewaktu sihweeshio kerupukan menghindar, Yan-chiu sempat mengawasi kearah siorang aneh, siapa tampak meng-iwi2 unjuk muka-setan padanya seraya bersenyum. Sebagai seorang dara yang cerdas tangkas, tahu Yan-chiu siapa yang melakukan tadi. Mendapat hati, Yan-chiu segera susuli dengan 3 serangan ber-turut2. Sampai pada saat itu, Kiau To sudah dapat merasakan ada sesuatu yang terjadi dibelakang layar. Maka tanpa banyak bimbang lagi, dia segera mundur kesudut dan mengawasi jalannya pertempuran dengan penuh perhatian.

Disebelah sana, sewaktu Yan-chiu mulai buka serangan tadi, Tio Jiang seperti dipagut ular kagetnya. Tapi serta dilihatnya sang sumoay mengeluarkan jurus yang aneh sehingga To Kong hweeshio kerupukan menghindar, bukan kepalang girangnya. „Lian suci, kalau kali ini sumoay dapat menangkan To Kong hweeshio, wah, namanya pasti akan menjadi buah bibir seluruh orang persilatan!"

Tio Jiang orangnya polos. Melihat sumoaynya menang, hatinyapun turut bergirang. Bek Lian sebenarnyapun turut bergirang juga, tapi karena dasarnya seorang gadis manja yang beradat tinggi, maka tak senang ia mendengar Tio Jiang memuji Yan-chiu itu. Sebagai seorang suci (kakak perguruan), masakan sampai kalah dengan sumoay. Maka bulat tekadnya, baik sang sumoay nanti kalah atau menang, tetap ia tak mau dilanggar olehnya. Oleh karena mengandung perasaan demikian, ia sudah tak pedulikan kata2 Tio Jiang tadi. Tapi karena sudah biasa mendapat sambutan sedingin begitu, jadi Tio Jiangpun tak banyak menaruh perhatian serta mengawasi kepanggung pertempuran sana. Seorang hweeshio yang kurus kering dan seorang dara remaja yang lincah, tengah berhantam seru. Beberapa kali, apabila To Kong sudah nyata2 berada diatas angin dan sinona rasanya pasti celaka, sehingga para penonton sudah menahan napas dan mengucurkan keringat dingin, atau secara tak ter-duga2 keluarlah jurus2 yang aneh dari sinona itu, ya sungguh mengherankan tapi nyata. Setiap kali peristiwa aneh itu berlangsung, maka gemuruhlah tampik sorak penonton bagai memecah bumi. Mereka betul2 mengagumi nona kecil itu.

6

Setelah berlangsung 20-an jurus, Yan-chiu tunduk betul2 akan kesaktian orang aneh yang menjadi „dalangnya" itu. Maka dengan seksama ia perhatikan setiap petunjuk dari siorang aneh itu. Selama itu didapatinya bahwa banyak sekali gerakan2 istimewa yang selama ini belum pernah dipelajarinya. Sudah tentu girangnya sukar dilukiskan. Dalam sekejab saja, „kursus teori dan praktek kilat" ilmu permainan bandringan itu, telah menjadikan dia seorang akhli bandringan yang lihay. Kini gerak bandringannya men-deru2 laksana angin puyuh.

To Kong hanya lihay dalam ilmunya thiat-sat-ciang, tapi tak dapat ber-buat apa2 terhadap sinona nakal itu. Ber-kali2 dia merasa pasti berhasil dalam serangannya, tapi ternyata senantiasa mendapat hidung panjang. Ber-tahun2 sudah dia mengangkat nama didunia persilatan, masa  kini berhadapan dengan seorang nona kecil yang masih belum hilang bau pupuknya, dalam 30 jurus masih belum menang. Saking malunya, dia marah besar. Tapi oleh karena wajahnya itu pucat seperti mayat, makin marah malah tambah berseri kelihatannya.

Pada lain saat, setelah mendapat bantuan dari siorang aneh, Yan-chiu kembali lakukan suatu jurus gerakan yang aneh untuk menghindar hantaman lawan, sehingga hweeshio itu kini berbalik mundur 3 langkah. Sudah sejak tadi, Yan-chiu merasa kalau tidak dengan bantuan orang aneh itu, mungkin 10 jurus dia tak nanti sanggup melawan sihweeshio. Maka begitu sihweshio mundur, iapun ingatan tak melanjutkan  lagi  pertempuran itu. Maka iapun mundur

3 langkah, seraya rangkapkan kedua tangan, pikirnya hendak      mengucapkan      beberapa      patah      perkataan

sebagaimana lazim dilakukan oleh orang2 yang bertempur diluitay. Tapi baru tangannya diangkat, atau laksana seekor harimau kelaparan, To Kong segera menyerbunya.

Yan-chiu serasa sesak napasnya tersambar oleh angin yang dahsyat, berbareng itu didepan matanya tampak ada sesosok bayangan hitam merangsang, biar bagaimana juga rasanya tak dapat ia menghindar lagi. Dalam ketakutannya ia abat-abitkan bandringannya se-bisa2nya, tapi sekonyong2 berbareng dengan terdengarnya suara „buk", To Kong tergelincir jatuh dan berbareng dengan itu bola bandringan yang diobat-abitkan itu kebetulan tepat jatuh kepunggung sihweeshio. Terpelantingnya si To Kong dan, jatuhnya bola bandringan dipunggungnya itu, adalah suatu hal kebetulan yang luar biasa. Sampai2 Yan-chiu sendiri menganggap kalau rubuhnya sihweeshio itu karena terhantam oleh bola bandringannya. Tiba2 terdengarlah siorang aneh itu menyusupkan suaranya: „Nona kecil, kau bernyali besar dan berotak terang, tentu ada harapan. Apa yang kuajarkan tadi, kalau kau dapat memahaminya, kau pasti akan menjadi akhli yang lihay. Hweeshio itu telah terkena senjata rahasia yang kulepaskan pada jalan darah ci-tonghiat dipunggungnya. Lekas cabut dan sembunyikan, supaya jangan terbit kerewelan!"

Suara itu makin lama makin lemah: Ternyata orang aneh itu sudah menyingkir jauh dan ketika dia menengok, sudah tak kelihatan lagi. Sigap sekali dia membungkuk memeriksa punggung To Kong dan benar disitu terselip sebuah benda. Ketika dicabut dan diperiksanya, ternyata itulah sebuah gelang besi yang ke-hitam2an warnanya, besarnya hanya beberapa dim saja. Benda itu cepat dimasukkan kedalam bajunya. Setelah senjata itu tercabut, dengan menggerang beberapa kali To Kong tampak berbangkit terhuyung2 terus duduk bersila diatas damparnya lagi. Melihat lawan sudah pergi, Yan-chiupun tak berani lama2. berada diluitay situ.

„Kiau susiok, mari kita pergi!" serunya sembari loncat turun, diikuti oleh Kiau To.

Baru saja keduanya turun, kedua hweeshio kawan To Kong tadi segera duduk diatas dampar terus melayang naik keatas luitay menghampiri To Kong. Tanpa berkata apa2, yang satu disebelah kiri dan yang lain disebelah kanan, kedua hweshio itu ulurkan tangannya memegangi kedua samping dari jalan darah gi-hay-hiat To Kong.

Jadi dengan itu, Thian Te Hui sudah menang dua babak. Senjata rahasia dari siorang aneh itu, ternyata merupakan rangkaikan ros (buku) sumpit kecil2. Selain Ki Ce-tiong, Ceng Bo siangjin dan akhli2 kelas tinggi, malah Kiau To sendiripun, tak mengetahui apa namanya. Mendapat kemenangan yang gemilang itu, gemuruhlah sorak sorai orang2 Thian Te Hui.

Juga orang2 persilatan yang hadir disitu sama gempar dengan peristiwa tadi. Melihat suasana itu, buru2 Ceng Bo mencari kedua pemimpin Thian Te Hui, ujarnya: „Saudara Ki, setelah menang baik kita mengalah sedikit, bubarkan luitay ini dan mulai kerjakan urusan kita!"

Ki Ce-tiong kesima. Memang setelah menerima surat tantangan dari Sam Tay tianglo, kedua pemimpin itu berunding dengan masak. Akhirnya diputuskan, kalau tak mendirikan luitay, pasti Thian Te Hui akan kehilangan pengaruh didunia persilatan. Benar telah diketahui bahwa tentara Ceng sudah berada diperbatasan Hokkian, tapi masih terpisah ratusan li dari Kwiciu situ. Jadi kalau saat itu membubarkan luitay, rasanya masih keburu mengatur persiapan pertahanan. Atas usul Ceng Bo siangjin itu, Ki Ce-tiong diam berpikir. Tapi Kiau To yang berangasan itu cepat menyahutnya: „Bek-heng, kita sih boleh mengalah sedikit, tapi apakah saudara2 yang lain mau berbuat begitu?"

„Kiau-heng, rasanya saudara2 kita itu akan dapat dibikin mengerti karena urusan negara diatas urusan dunia persilatan!" sahut Ceng Bo sejenak kemudian.

„Bek-heng, bukannya membandel, tapi aku tak setuju!" kata Kiau To.

Ceng Bo menatap sebentar padanya hingga Kiau To serentak berdiri tegak sebagai tanda bahwa dia merasa tak bersalah. „Rupanya memang sudah tak bisa ditolong lagi!" kedengaran Ceng Bo menghela napas.

„Bek-heng, kalau tentara musuh belum masuk ke Hokkian, turut gelagatnya kita akan memperoleh kemenangan. Bukankah tak halangan kalau menunda pembubaran luitay ini sampai beberapa hari lagi?" kata Ki Ce-tiong.

„Tanggal berapakah ini?" tanya pula Ceng Bo.

„Tanggal 6 bulan 12," sahut Ki Ce-tiong.

„Di Kwiciu, dua menteri besar telah bentrok. Kabarnya ada salah seorang sebelum tanggal 10 nanti akan bersekongkol dengan tentara Ceng, apakah kalian mengetahuinya?" ujar Ceng Bo.

Kini Ki Ce-tiong dan Kiau To melengak. Tapi baru keduanya merenung, disebelah luitay sana terdengar suara orang ber-kata2 dengan nada yang dingin. Kiranya itu To Ceng hweshio yang berbicara, katanya: „Kemenangan Thian Te Hui tadi, pinto sekalian sungguh mengagumi. Diam2 membokong dengan senjata rahasia, meskipun telah menghilangkan sifat2 keperwiraan orang persilatan, namun mengunjukkan kelihayan Thian Te Hui juga, maka pintopun masih ingin menerima pelajaran lagi !"

Nada ucapannya itu tak sedap didengar. Dan  boleh dikata hampir seluruh penonton tak mengerti mengapa To Ceng menuduh orang Thian Te Hui melepaskan senjata rahasia dalam pertempuran tadi. Kiranya naiknya To Ceng dan To Bu keatas luitay tadi ialah untuk mengobati To Kong dengan saluran lwekang.

Memang kedua paderi besar itu merasa aneh mengapa To Kong sampai jatuh ditangan seorang nona kecil. Ketika memeriksa lukanya, mereka dapatkan bukan karena terkena bandringan. Luka itu aneh sekali bekasnya dan tepat mengenai jalan darah yang berbahaya, sementara diatas panggung situ tersebar potongan2 kecil dari sumpit bambu. Tahulah mereka seketika itu, bahwa tentu ada seorang jago kosen yang diam2 telah membantu sinona. Maka dengan kata2 sindirannya yang tajam tadi, To Ceng telah melontarkan tuduhannya.

Ki Ce-tiong dan Kiau To sangat mengindahkan sekali kepada Ceng Bo siangjin. Walaupun perkenalan mereka itu sudah lama, tapi karena mereka itu adalah  tokoh2 persilatan yang memegang teguh disiplin, jadi hubungan merekapun didasarkan atas saling mengindahi. Tahu juga bahwa 20 tahun berselang, Ceng Bo telah kehilangan isterinya yang tercinta, sehingga sejak itu dia seperti orang yang putus asa. Bahwa dalam keadaan negara terancam bahaya, Ceng Bo telah timbul lagi semangat perjoangannya itu, Ki Ce-tiong dan Kiau To merasa kagum sekali. Maka dengan serta merta mereka turut nasehat siangjin itu. Tapi baru Kiau To hendak maju kedepan untuk mengucapkan kata2 pembubaran luitay itu, atau telinganya segera panas membara demi mendengar sindiran To Ceng tadi.

„Keledai gundul, jangan tekebur, akulah yang akan memberi hajaran padamu!" tiba2 terdengar suara nyaring wanita membentak, berbareng satu bayangan orang sudah melesat keatas dan tegak berhadapan dengan To Ceng.

---oo0-dwkz-TAH-0oo---
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar