Naga dari Selatan BAGIAN 01 : TAMU TAK DIUNDANG

 
BAGIAN 01 : TAMU TAK DIUNDANG

Hari itu merupakan suatu pagi yang cerah. Matahari nan merah tengah pe-lahan2 memancarkan sinarnya dari ufuk timur. Cakrawala bagian timur, tampak marong ke- merah2an. Bagaikan helai sutera kuning emas, ribuan sinarnya menyusup diantara kabut pagi yang tebal. Sepintas pandang tak ubah bagai ribuan ulat emas tengah be-renang2 menyenangkan diri.

Di-tengah2 Lo-hu-san terdapat sebuah puncak yang disebut „Giok-li-nia" atau kepundan bidadari. Walaupun bukan tergolong puncak yang tertinggi, namun „Giok-li- nia" tersebut merupakan puncak yang sangat berbahaya sekali keadaannya. Tebingnya yang curam serta kalderanya yang mengombak laut, jika ditinjau dari kejauhan, mirip dengan lapisan tirai hijau yang ditebarkan dari langit. Pada puncak  yang  teratas  terdapat  sebuah  biara,  disebut  biara

„Cin  Wan  Kuan".  Biara  itu  terdiri   dari  sebuah  ruangan besar, sedang dikanan kirinya dibangun belasan ruang kamar lagi.

Hari makin lama makin tinggi. Se-konyong2 dari pintu sebelah ruang besar Cin Wan Kuan, muncul seorang pemuda sekira berusia delapan atau sembilan belas tahun. Langkah kakinya tegap tenang, alis lebat mata  bundar besar. sikap dan dandanannya polos sederhana. Dia mencekal sebatang pedang panjang yang sana sini terdapat "bintik2 tahi karatan. Menatap matahari pagi, dia kelihatan beberapa kali mengambil napas. Setelah itu dia menuju kebawah sebuah pohon siong (sejenis cemara). Disitu dengan pejamkan mata dan mengorak paha (duduk bersila), beberapa kali dia berlatih duduk-berbangkit. Setelah napasnya teratur lebih tenang, dia tenang  menatap kebawah. Kabut pegunungan bertebaran membungkus dirinya.

Tengah pemuda itu asyik berlatih gi-kang (ilmu bernapas), tiba2 dari arah  dalam biara itu, terdengar serangkum kumandangnya tertawa kecil. Nadanya melengking tinggi, di-padu dengan kicauan burung menyambut sang pagi, rasanya lebih merdu.

Menyusul dengan itu, segera tampak sebuah bayangan berkelebat. Sesosok tubuh langsing kecil, bagaikan terbang lari menghampiti kearah anak muda tadi. Gerakannya lincah dan enteng, sehingga sedikitpun tak mengeluarkan auaraa apa2. Sekejap saja, ia sudah berada dimuka anak muda tadi. Oi, oi, kiranya ia itu seorang dara remaja berumur lima atau enambelas tahun. Rambutnya dikepang menjadi dua konde, biji matanya besar terang, jadi surup dengan bulu matan ya yang lebat panjang. Ditilik dari indera alat penglihatnya saja, cukup sudah untuk memberi kesan, bahwa ia, seorang dara yang cerdas tangkas. Demi melihat anak muda itu tengah meramkan mats, berlatih napas, sidara segera leletkan lidahnya, meng-iwi2 mengunjukkan muka „setan" kepada sianak muda, siapa karena sedang memusatkan pikirannya sudah tentu tak mengetahui suatu apa. Setelah berbuat itu, dara nakal itu segera berputar kearah belakang puhun. Sekali pelan2 enjot kakinya, tubuhnya tampak melambung keatas. Begitu tangan mengulur, ia dapat menangkap sebuah cabang, terus untuk pegangan memanjat. la pernahkan diri ditengah daun yang lebat.

Tak antara berapa lama, sianak muda tampak loncat berbangkit. Wajahnya ke-merah2an, kepalanya mandi keringat. Dengan lengan baju, dihapusnya keringat itu. Memungut pedang yang diletakkan disamping, dia segera berIatih. Dalam latihan itu, gerakannya sangat pelahan sekali. Dan anehnya, bolak balik latihan itu hanya terdiri dari 4 bagian jurus. Yang pertama, kedua  kakinya dipentang kesamping, tangannya kiri ditaruh didada seperti seorang paderi berdoa, sedang ujung pedang yang dicekal dalam tangan kanan diacungkan kemuka. Mungkin itulah jurus pembukaan. Yang kedua, pedang digoyangkan. Begitu sinar mata pedang berkilau, secepat angin terus dikibaskan keatas. Sementara itu, tangannya kiripun turun bergerak mengimbangi gerak pedang tadi. Sewaktu bergerak itu, jari tengah dan telunjuk, dirapatkan satu sama lain. Kaki kananpun melangkah maju, tubuhnya ikut dipendekkan kebawah. Pedang ber-putar2 turun naik, sementara sepasang matanya tak henti2nya memandang  kemuka. Jurus yang ketiga ialah, secara tiba2 pedang ditarik, kakinya mundur dua tindak, tapi tangannya dijulurkan kemuka. Begitu sinar pedang berkelebat kearah diri, mendadak sontak ditusukkan kemuka se-keras2nya. Bermula gadis yang bersembunyi diatas pohon tadi, memperhatikan betul2. Tapi serta anak muda itu  bolak balik hanya melakukan ke 4 jurus tersebut, hilanglah kesabarannya. Dengan mendekap mulut, ia menguap. Tapi serta mengawasi lagi, kiranya sianak muda itu masih terus mengulang-balik latihan keempat jurus itu. Begitu sampai pada jurus ke 4, ialah ketika dia menusuk keras2 kemuka, sigadis lincah itu segera diam2 melorot turun dari pohon. Dilihat naga2nya, ia hendak menggertak supaya anak muda itu terkejut.

Tapi sewaktu masih melorot turun, tiba2 tampak olehnya anak muda itu miringkan tubuh menggeser kakin ya. Begitu ujung pedang menusuk kemuka, secepat kilat dia berputar kebelakang, wut, wut, pedang dibolang balingkan dengan santer sekali, menusuk keatas bawah kanan dan kiri empat jurusan. Sehabis itu, lalu menarik gerakan pedangnya.

Melihat itu, bukan kepalang girangnya sigadis. Hendak ia memanjat keatas lagi, tapi baru tubuhnya bergerak atau disana sianak muda sudah kedengaran membentak:

„Siapakah yang bersembunyi disitu, berani mencuri lihat orang berlatih pedang ?!"

Tahu kalau sudah kepergok, tak mau nona itu bersembunyi, tapi dengan unjukkan muka „setan" (ngiwi2), ia loncat turun.

“Ha, adik Yan-chiu, lagi2 kaulah yang mengadu biru," seru sianak muda itu dengan tertawa, „kalau tadi kusalah lihat mengira kalau kau seorang luar, tentu pedangku akan kesalahan menusukmu, dan pasti kau akan menangis menggerung-gerung."

Mulut sinona menyeringai, tangannya membereskan konde. Wajahnya yang merah dadu, makin bersemu, sedap nian dipandang mata. „Oi, suko! Sekalipun kau lebih lama belajar silat dari aku, belum tentu sekali tusuk  dapat melukai aku! Tak percaya, boleh kau coba!" sinona balas mengejek.

Sianak muda betul2 lakukan tantangan itu.  Begitu pedang dikibaskan keatas, secepat kilat ditusukkan kemuka. Nona bengal itu tertawa cekikikan. Tubuhnya yang langsing lemah gemulai menggeliat, tangannya kanan maju pura2 hendak menabas, lalu menghindar kesamping seraya cascis- cus mengejek: „Suko, enggan benar aku dengan jurusmu 'boan thoan kok hay' (menutup langit melintasi laut)!"

Sianak muda tegakkan pedangnya. „Kau kepingin jurus 'cing wi thian hay' (Cing Wi mengisi laut) atau 'ho pek kuan hay' (Ho Pek memandang laut)?"

”Emoh semua!" seru sinona menggeleng kepala, „coba unjukkan saja jurus 'hay siang tiau go' (diatas laut memancing ikan besar)!"

Mendengagar itu, wajak sianak muda berobah. Sesaat hijau, sesaat pucat, matanya menunduk kebawah. Melihat itu sidara komat kamitkan bibirnya: „Hm, hm kalau tak mau, sudahlah! Mengapa harus unjuk roman muka yang memuakkan orang?"

”Sumoay, jangan2 kau tadi telah melihat seluruh permainan pedangku bukan?" tegur sianak muda dengan bengis. Sidara remaja mengangguk.

„Yan-chiu, kau nakal sih boleh, tapi mengapa berani melanggar pantangan suhu? Ah, tidakkah suhu mengajarkanmu jurus 'hay siang tiau go' itu?"

Sinona gelengkan kepala: „Suhu berat sebelah, ya berat sebelah. Dia ajarkan kau, tidak padaku. Telah kukatakan, keempat jurus itu sudah kufahami, seharusnya jurus yang kelima. Tapi suhu tetap tak mau mengajarkan, katanya yang empat Itu saja aku masih belum sempurna. Tadi sewaktu nampak begitu pagi kau sudah keluar, kuduga tentu bakal melihat suatu pertunjukkan bagus. Ya, tobat, suhu benar2 telah mengajarkan kau jurus yang ke-lima itu!"

Demikian mulut sinona kedengaran mencecer bagai rentetan petasan dipasang. Bebrapa kali sianak muda hendak menyela, tapi tiada kesempatan. Dan sehabis menghamburkan kata2nya itu, mata sinona tampak berabak ke-merah2an, mirip seorang yang menderita penasaran. Tapi sebaliknya wajah sianak muda itu malah tambah keren, katanya: „Sumoay, pantangan suhu ialah: 'tak boleh mencuri apabila saudara seperguruan tengah berlatih. Dilarang keras diam2 menurunkan pelajaran pada saudara seperguruan'. Apakah kau masih ingat?"

“Kan suhu tak tahu, takut apa sih?" sidara jebikan bibir. “Sumoay,  mengapa  kau  begitu  bengal ?  Karena sudah

diterima     menjadi     murid     masakan     suhu     tak   mau

mengajarimu? Coba pikir, belum 2 tahun kau datang kemari, bukan saja lwekangmu mempunyai dasar yang kokoh, pun ilmu tan-to (golok tunggal), ilmu liu-ce-cui (banderingan) serta ilmu silat tangan kosong, telah kau miliki dengan genah. Ya tidak?"

Sigadis merenung sejenak. Tanpa terasa dia tertawa sendiri. Tapi pada lain saat, bibirnya kembali menyeringai, serunya: „Tapi suhu tetap tak mau mengajarku jurus ke 5 itu!"

“Sumoay, kukira bukan suhu tak mau mengajarmu, melainkan karena jurus ilmu  pedang to-hay-kiam-hwat (pedang membalikkan laut ) itu, lain dari yang lain. Sekalipun seluruhnya hanya terdiri dari 7 bagian, namun bagian memerlukan latihan yang keras. Dari bagian yang ke 4 saja, sudah tampak benar bedanya dari jurus pembukaan. Jadi apabila belum mempunyai dasar yang genah, rasanya jurus ke 5 itu malah2 akan mencelakaimu! Ketahuilah, bahwa setiap bagian itu, mempunyai 7 gerak perobahan, jadi 7 bagian kali 7 jurus sama dengan  empatpuluh sembilan d yurus. Memang kalau dijalankan satu bagian saja, tak kelihatan sari kebagusannya. Tapi apabila 7 bagian itu dirangkai, wah hebat sekali, 7 serangan kosong dan 7 serangan isi, jadi seluruhnya 49 jurus dikalikan 2 macam serangan kosong dan isi, ada 98 jurus! Kalau 4 jurus dasar itu belum sempurna, walaupun diajari seluruh ilmu itu, tapi nantinya tetap hanya terdiri dari 7 bagian saja, tiada gerak perobahannya sama sekali."

Sinona mendengari uraian suhengnya itu (kakak seperguruan) dengan asyiknya. Dan setelah habis, bertepuk tanganlah ia seraya berseru girang: „Suko, begitu sakti ilmu pedang to-hay-kiam itu, mengapa aku tak mengetahuinya'? Kapankah suhu menceritakan padamu?"

“Baru kemaren siang saja, ketika tak ter-duga2 dia menerima surat dari burung merpati pos, burul aku dipanggilnya dan diuraikannya pelajaran tadi. Malah diapun terus menurunkan pelajaran jurus ke 5 'hay slang tiau go', jurus ke 6 'hay li long hoan' (puteri laut memasang gelang) serta jurus ke 7 'hay lwe cap ciu' (dalam laut 10 benua), sekali gus diturunkan padaku. Beliau menerangkan, telah menerima surat dari toa-a-ko (ketua) Thian Te Hwe dari propinsi Kwiciu, mengabarkan kalau tentara Ceng sudah tiba di propinsi Hokciu. Pasukan besar sudah dipusatkan diperbatasan Hokkian. Sembarang saat akan sudah menyerbu karesidenan Tiau-yang!"

Mendengar itu, tanpa terasa mulut sinona mengeluh. Ia she Liau namanya Yan-chiu, kelahiran Tiau-yang dipropinsi Kwitang. ia terus mendesak dengan bernapsu:

„Suko, ceritakan terus!" „Pemimpin pasukan Ceng itu bernama Li Seng Tong, salah seorang jenderal pemerintah Ceng-tiau.. Orang itu pandai menggunakan tentara. Selanjutnya suhu menutur, bahwa pangeran Ing-bing-ong Cu Yu-long telah diangkat oleh sementara menteri2 berpengaruh, menjadi Kaisar dan berkedudukan di Siau-ging. Tapi ada lain golongan yang mengangkat lagi seorang kaisar lain. Sungguh mengenaskan! Kantong2 nasi yang tak punya guna itu, jika disuruh berbunuhan dengan saudara sebangsa aendiri atau disuruh memeras dan menindas rakyat, wah jempol. Tapi kalau disuruh lawan penjajah, paling pintar panjangkan kaki angkat langkah seribu! Oleh karena itu suhu memesan, kali ini beliau turun gunung, bukan untuk membantu kaisar Beng se-mata2, tapi demi untuk melindungi kampung halaman kita ini. Oleh karena dipropinsi Kwitang bakal terjadi peristiwa2 dari segala kemungkinan, maka mungkin juga akupun disuruhnya mengikut, dan itulah makanya sekaligus dia menurunkan ketiga jurus pelajaran itu padaku. Namun dia pesan wantir apabila setiap jurus belum diyakinkan sempurna, hendaknya jangan berlatih jurus berikutnya!"

Sinona yang sedari tadi mendengari dengan membisu saja, tiba2 kini berseru: „Suko, karena tumpah darah kita menghadapi bahaya, seharusnya suhu juga menyuruhku turun gunung. Apakah dia siorang tua itu tak pernah mengemukakan suci dan aku?"

„Entahlah, tak pernah kudengar!"

„Suko, kau seharusnya menurunkan juga ketiga jurus itu padaku!"

„Demi pesan suhu, mana aku akan berani melanggarnya!" sahut sianak muda dengan wajah berobah. Tahu sang suko tak meluluskan, sengaja Yan-chiu tertawa tawar: „Hem, suko, kalau suci yang menyuruh, masa kau berani membantah!"

Sianak muda merah mukanya. Suci si Yan-chiu, juga sucinya (taci seperguruan). Anak muda itu lebih muda satu tahun dari sang suci itu yang ternyata adalah puteri dari suhunya. Sejak meningkat akal balig (dewasa), diam2 pemuda itu mencintai ayundanya (suci) itu. Tapi sigadis itu, jinak2 merpati sikapnya. Diburu lari, ditinggal mendekati. Diwaktu ramah suka mengajak bicara dan bercanda, dikala ngambul sehari suntuk tak mau diajak bercakap. Sampai sekian jauh, sianak muda itu tertumbuk fahamnya, tak tahu bagaimana harus menghadapinya. Perangai anak muda itu polos jujur, getaran kalbunya itu tetap disimpannya erat2 dalam hatinya, tak berani dicurahkannya.

Liau Yan-chiu, seorang dara yang cerdas tangkas, sekalipun usianya masih begitu muda, tapi dia mengerti apal. Bahwa ji-sukonya mengandung perasaan „istimewa" terhadap sang suci, siang2 ia, sudah mengetahui. Maka sengaja saat itu ia, memper-olok2-kannya. Dan ternyata, benar sianak muda itu merah padam. Sampai sekian saat, baru kedengaran pemuda itu berseru: „Sebelum mendapat ijin dari suhu, walaupun sucipun tak dapat kuajarkan!"

Baru saja sirap kumandang kata2nya itu, tiba" terdengarlah suatu suara bernada tinggi laksana burung kenari: „Tak mau mengajari ya sudah, siapa yang kesudian

............”

Dibawa oleh alunan kabut pagi, suara yang bagaikan imbauan (nyanyian) pagi itu, sebaliknya telah membuat kaget sianak muda dan Yan-chiu. Serentak keduanya menoleh kebelakang. Disana tampak seorang nona sekira umur 20-an, dalam pakaian warna biru laut, tubuhnya langsing, berambut hitam jengat. Sepasang matanya, bening laksana air kolam, dipagari oleh bulu mats, yang lebat panjang, makin menyemarakkan sepasang alisnya yang melengkung bak rembulan sisir. Warna bibirnya semerah delima terbentang riang dibawah naungan hidungnya yang mancung agung. Sekalipun dalam marah, tetap orang akan limbung terpesona, mengapa dimayapada terdapat insan yang menyerupai bidadari cantiknya.

Saat itu, kabut pagi sudah menipis. Taburan  kabut lamat2 mengerubungi tubuhnya, sehingga makin mengesankan orang, kalau betul' ada seorang bidadari turun didunia. Nona itu, bukan lain adalah suci yang telah menambat hati sianak muda itu. Is, adalah puteri tunggal dari Ceng Bo siangjin kepala biara Cin-wan-kuan, sebelum dia menyucikan diri menjadi tosu (imam). Sesuai dengan she sebelum Ceng Bo siangjin menjadi tojin, gadis itu she Bek dan diberi nama tunggal „Lian" atau bunga terate.

Tio Jiang, demikian nama sipemuda itu, begitu melihat sang suci muncul dengan tiba2, menduga kalau semua kat a-nya tadi tentu didengar seluruhnya oleh sang suci. Sesaat itu ia ter-longong2, tak tahu apa yang harus dilakukan. Tapi sebaliknya, Yan-chiu yang berada disebelahnya segera bertepuk tangan ber-gelak2: „Bagus, bagus! Sang tikus melihat kucing! Coba, kini kau mau mengajari tidak! Kalau mau, beres dah. Tapi kalau tidak mau, hem, hem, berani mengajari Lian suci, mengapa tidak padaku?" Nona kecil itu menutup kata2nya dengan meng-iwi2 kan muka, girangnya bukan kepalang.

Tapi sianak muda itu tak hiraukan olokan Yan-chiu, dengan „a-u a-u" tak lampias dia menerangkan kepada Bek Lian: „Suci ketika suhu hendak berangkat  telah mengatakan, jurus ke 5, 6, dan 7 itu, tak boleh diajarkan pada lain saudara. Karena mentaati pesan suhu, kalau kalian suka, baik belajar saja ilmu pedang lain yakni 'to- kang-kiam hwat' "

„Apa? 'To-kang-kiam hwat'? Mengapa tak pernah kudengar macam ilmu pedang begituan?" Yan-chiu sigenit centil itu sudah merebut percakapan.

“To hay kiam hwat" artinya: ilmu pedang membalik laut. Sedang ,To kang kiam hwat" ialah : ilmu pedang membaiik sungai.

„Suhu mengatakan, kedua ilmu pedang itu, kelak kalau dimainkan oleh sepasang pria dan wanita, saktinya bukan olah2," kata Tio Jiang tanpa mempedulikan Yan-chiu, dan kalau orang sudah mempelajari 'to hay kiam hwat', konsentrasi (pemusatan) pikirannya akan terpengaruh, tak nanti dapat mengerti jelas kesaktian dari sari pelajaran 'to kang kiam hwat' "

Sepasang mata bening dari Bek Lian ber-kicup2 mengawasi sang sute (adik seperguruan). Ketika anak itu makin lama makin ter-bata2 sehingga mukanya pun turut merah, buru2 ia menyelutuk: „Fui, jangan berdoa seperti seorang alim ulama! Siapa yang minta, kau mengajari? Apa yang kau maksudkan dengan 'diam2 menurunkan pelajaran' itu ?"

Sesaat setelah mulutnya menghamburkan kemengkalan hati, wajah Bek Lian tampak merah ke-malu2an. Pembawaannya sebagai seorang gadis telah mengetuk nuraninya, bahwa tak selayaknya ia berbuat sekasar itu. Tapi justeru dalam kemarahannya itu, ia nampak makin cantik menggiurkan. Dalam keadaan itu, hati Tio Jiang makin dak-diduk tak keruan rasanya. Ter-sipu2 dia menjelaskan: „Lian suci, aku.... bukan mengatakan ......

bukan mengatakan diam2 mengajari padamu, tapi mengatakan ” Dara cerdas tangkas Liau Yan-chiu makin geli melihat kelakuan sang suko, yang maunya menjelaskan, siapa tahu makin menjelaskan makin runyam itu, cepat2 ia menyela:

„Haya, sudahlah! Kami berdua emangnya tak mau kau ajari, cukup?"

Seperti terlepas dari tindihan batu berat, kini legahlah rasa hati Tio Jiang. Tapi ketika dia menatap kearah Bek Lian, tampak sucinya itu tengah memandang jauh kemuka, seperti tetap menyesali dia. Karena sifatnya yang jujur dan wajar itu, menyebabkan dia tak dapat segera bertindak suatu apa. Menghampiri untuk menghaturkan maaf : Ah, jangan2 malah membikin kurang senang sang suci. Namun kalau tinggal diam saja, kemungkinan besar yang suci itu akan mendapat kesan jelek terhadap dirinya, masa begitu berat mulut untuk menyatakan penyesalan. Oleh learena itu, kakinya yang sudah dilangkah kemuka itu buru2 ditariknya kembali.

Sebaliknya Bek Lian hanya bersenyum tawar saja. Matanya jauh memandang kelautan kabut disebelah muka sana yang menutupi puncak gunung. Bagian yang teratas dari puncak itu, tampak menonjol keatas, bagaikan sebuah puIau ditengah laut nan lepas.

Chiu-yan tetap mendongkol karena sukonya tak mau mengajari lanjutan 3 jurus dari to-hay-kiam-hwat  tadi. Maka diapun tak mau mempedulikan sukonya lagi dan terus berdiri disamping sang suci, Kedua gadis itu sesaat menuding2 kearah pemandangan alam dihadapannya, sesaat saling ber-cakap2 dan ter-tawa2 sendirian, sedikitpun mereka tak menghiraukan Thio Jiang, sehingga anak muda itu herdiri menjublek bagaikan terpaku tak tahu spa yang harus dilakukan. Lewat beberapa saat, baru kedengaran dia berseru: „Suci, aku. ” Bek Lian cepat berpaling dan bertanya: „Kau? Kau mengapa? Apa kau berani melanggar pesan dia siorang tua itu?"

Saking polosnya, ditanya begitu segera Tio Jiang menyahut: „Aku tak berani!"

„Hi, hi, hi!" saking gelinya Yan-chiu tak kuat menahan ketawanya. Juga Bek Lian terpaksa geli. Suara ketawa cekikikan dari kedua gadis yang berdiri dikanan kiri itu, tak ubahnya seperti berketesnya air hujan didalam tempayan, menyengsamkan yang mendengarkannya. Melihat sucinya tertawa geli, Tio Jiang legah sekali. Ketika dia hendak maju menghampiri untuk menghaturkan maaf, tiba2 Yan-chiu berseru nyaring: „Hai, lihatlah, apa ini?"

Sewaktu Tio Jiang dan Bek Lian mengawasi, merekapun tak mengetahui benda apakah itu. Sebuah benda bergerak 'naik turun muncul tenggelam’ diantara lapisan kabut. Tujuh macam warna laksana bianglala, tampak tergores jelas pada kedua sayapnya. Burungkah itu? Tapi burung tak nanti dapat terbang selincah dan seindah begitu. Makin lama, makhluk itu makin tinggi terbangnya. Ah, kiranya sepasang kupu2 yang besar. Kedua sayapnya hampir setengah meter panjangnya. Makin dekat, makin bagus sekali kupu2 itu. Warna sayapnya itu, makin jelas pula indahnya.

“Suci, suko, jenis kupu2 apa itu?" Yan-chiu berseru dengan bertepuk tangan.

Tio Jiang kelahiran kota Ceng-seng-ko dikaki gunung Lo-hu-san situ. Sekali lihat, tahulah dia bahwa itulah kupu2 keluaran istimewa dari Lo-hu-san, sahutnya: „Itulah kupu sian-tiap dari Lo-hou-san! Keluaran istimewa dari gunung ini. Yan sumoay, kalau" kau inginkan mereka " Tiba2 mulutnya tak dapat melanjutkan kata2nya, karena dilihatnya wajah Bek Lian mengunjuk kurang senang. Maka ter-sipu2 dia berkata: „Lian suci, kalau kau suka, akan kutangkapkan untukmu!"

Melihat sukonya berganti lagu, Yan-chiu jebirkan bibirnya: „Baru hendak mengasih padaku, mendadak sontak hendak diberikan pada suci!"

Mendengar itu Bek Lian cepat menyanggapi: „Aku sih tak kepingin. Mau main2, bisa cari sendiri! Siapa, yang tak tahu kalau itu kupu sian-tiap dari Lo-hou-san, atau yang disebut siau-hong-hong!"

Sian-tiap artinya kupu dewata, sementara siau-hong- hong ialah sicenderawasih kecil. Ingin merebut hati, malah berbalik serba salah, maka pikir Tio Jiang, daripada ribut2 mulut menerangkan lebih baik tangkap dulu kupu2 itu baru penjelasan menyusul. Kebetulan sekali saat itu sepasang kupu sian-tiap tersebut tengah berlincahan terbang diatasn ya, kira2 han ya beberapa depa tingginya. Sekali mengempos semangat, kakinya diend yot, bagai peluru roket tubuhn yapun segera meluncur keatas. Kedua tangannya diulur untuk menangkap. Tapi ketika tampaknya sudah akan mengenai, tiba2 kedua ekor kupu itu melayang kesamping, sehingga tangan Tio Jiang menangkap angin. Melihat itu Yan-chiu tak henti2nya berseru „sayang". Namun Bek Lian tak mengacuhkan sama sekali, matanya tetap memandang kemuka.

„Tangkap kupu2 itu, lekas, Suko! Samber, cepat”: seru Yan- chiu.

Kupu2 itu ternyata tak mau terbang jauh, masih berputar2 diatas kepala Tio Jiang, siapa kini ulangi lagi sergapannya dengan sungguh2. Tapi lagi2 luput,  malah kupu2 itu segera terbang pergi. Tio Jiang bertekad untuk menangkapnya, segera dia mengejar. Bentuk dari puncak Giok-lt-nia, bagaikan seorang wanita cantik, tegak menjulang keangkasa. Pada puncak kalderanya, tiada terdapat dataran yang luas. Ketiga muda mudi itu, berada disebuah tanah lapang yang hanya 10 tombak luasnya. Maka baru berlari beberapa langkah, Tio Jiang sudah berada dilamping menurun gunung. Dillhatnya kupu2 itu sudah terbang jauh rasanya tiada harapan untuk mengejarnya. Tapi pada saat dia hentikan pengejarannya, tiba2 kupu2 itu terbang balik kearahnya seraya mengitari.

„Suko, suko, lekas sambutlah!” seru Yan-chiu.

---oo0dw0oo---

Tio Jiang enjot keras2 tubuhnya dan benar juga dia berhasil loncat diatas kupu2 itu. Wut, wut terdengar kedua tangannya menepuk. Karena serunya samberan angin tepukan itu, sepasang kupu2 tersebut melorot jauh  kebawah, menyusul dengan itu Thio Jiang turut melayang turun. Tapi baru dia hendak tengadahkan sepasang tangannya untuk menyambuti, tiba2 terdengar suara benda men-desing2 diudara. Beberapa titik putih macam bintang, meluncur keatas menghamburi kupu2 sian-tiap itu. Kalau tetap menyambuti, terang tangan Tio Jiang pasti terpanggang senjata rahasia berbentuk bintang2an itu. Dalam terkejutnya, Tio Jiang masih bisa menarik tangannya dengan sebatnya. Begitu desingan suara yang lemah itu berlalu, ternyata sayap yang indah dari kupu2 itu telah kena tertusup pecah dan bagaikan layang2 putus kupu2 itupun me-layang2 jatuh.

Sekalipun sikapnya tampak acuh tak acuh, namun sebenarnya secara diam2 Bek Lian terus menerus mengawasi gerak gerik Tio Jiang tadi. Kepingin sekali ia mengetahui, hendak diberikan kepada siapakah nanti kupu2 itu? Liau Yan-chiu adalah sumoaynya, sedemikian akrab perhubungan mereka sehingga tak nanti disebabkan soal kupu2 saja mereka sampai jadi bentrok. Tapi Bek Lian itu seorang gadis aleman yang manja. Mendengar Tio Jiang hendak kasihkan kupu2 itu pada Yan-chiu tadi, belum2 ia sudah mengambek tak senang hatinya. Dan kenyataannya, kupu2 sian-tiap itu memang bagus sekali. Kalau tak bisa dipelihara hidup2 untuk perhiasan tembok kiranya cukup menarik. Maka demi diketahui ada orang melepas senjata rahasia hendak menghancurkan kupu2 itu, tanpa terasa ia, menjerit kaget. Malah sitangkas Yan-chiu sudah terus mendamprat: „Siapakah yang begitu kurang ajar melepas senjata rahasia?”

Tio Jiang tak begitu gemar akan kupu2 itu, jadi diapun tak begitu kecewa. Cuma saja heran dia, mengapa begitu pagi sudah ada orang yang naik kegunung situ? Tebing puncak Giok-li-nia begitu curam berbahaya, bagi orang tang cukup sedang saja kepandaiannya, tak nanti mampu mendaki keatas. Dan tegas dilihatnya, cara senjata rahasia ini dilepas, indah dan rapih sekali. Ah, kalau yang datang itu seorang musuh, tentu berat baginya karena justeru sang suhu sedang bepergian. Tengah dia ter-mangu2, kedengaran ada orang berseru:

Negara dalam bahaya besar, pasukan Ceng yang berjumlah besar sudah tiba diperbatasan Kwitang, mengapa masih enak2an ber-main2 menangkap kupu2? Menyusul dengan seruan itu, dari tabir kabut loncatlah seseorang, terus meIangkah ketengah tanah lapang. Gerakannya begitu tangkas dan lincah sekali, hingga membuat kagum ketiga murid Ceng Bo siangjin itu. Kini jelaslah siapa orang itu. Dandanannya seperti seorang mahasiswa, alisnya bagus matanya terang, mencekal sebuah kipas lempit yang tak henti2nya dibuat kipas2. Dari wajahnya yang cakap itu, terang dia itu masih muda, belum ada 30 tahun umurnya.

Walaupun ucapannya itu memang benar, tapi karena caranya yang begitu tak tahu aturan ialah datang2 terus mendamprat, tak senanglah hati Tio Jiang dibuatnya. Tapi karena kepolosannya, Tio Jiang tak dapat balas mendamprat melainkan mendengus „hem” saja. Karena yang datang itu seorang anak muda yang ganteng sikapnya, Yan-chiu turun marahnya dan hanya menyeringai saja. Sebaliknya Bek Lian yang begitu menyayangi sekali akan kupu2 sian-tiap tadi, tanpa menghiraukan siapa yang datang, terus saja mengata2inya: „Kenapa kau begitu tak tahu aturan? Datang2 terus menghancurkan sepasang sian- tiap Lo-hou-san ini?”

Kalau itu kabut sudah sirna, ribuan larik cahaya matahari pagi yang gemilang, memancar kearah gunung situ. Dan ini merupakan suatu penerangan yang lebih menyemarakkan kecantikan Bek Lian.

Mendengar dampratan itu, mahasiswa itu mendongak keatas tertawa, dia bermaksud menganggap sepi saja kata2 itu. Tapi begitu dia angkat kepalanya dan nampak akan kecantikan yang gilang gemilang dari Bek Lian, hilang lenyaplah maksud mengejek yang hendak dibawakan dalam tertawanya itu. Bagaikan sebuah patung, dia tegak membisu ter-longong2. Tapi keadaan itu tak berlangsung lama, karena pada lain saat dia sudah dapat menguasai kegoncangan perasaannya. Wajahnya berobah seri, bibirnya berhias tertawa dan mulutnya bertanya kepada Bek Lian:

„Ah, kiranya nona suka sekali akan kupu2 sian-tiap Lo- hou-san itu? Tadi sewaktu kunaiki kemari kebetulan ditengah jalan berpapasan dengan sepasang binatang itu  dan berhasil menangkapnya hidup. Inilah, kalau nona menghendakinya, akan kuhaturkan padamu!”

Habis berkata, dia merogoh kedalam baju dan mengeluarkan sehelai bungkusan saputangan. Begitu dibuka ternyata disitu terdapat sepasang kupu2 Lo-hu-sian-tiap. Tapi sayangnya tak sebesar kupu2 yang hendak ditangkap Tio Jiang tadi. Dengan memain ketawa dibibir, orang itu mempersembahkan kupu2 itu kepada sijelita: „Nona, turut pandanganku, kau berlipat ganda cantiknya dari kupu Lo- hou-sian-tiap ini. Kalau Lo-hou-sian-tiap mendapat julukan siau-hong-hong, sepantasnya kau digelari say-hong-hong!”

Say-hong-hong artinya „seperti cendrawasih”. Bermula Bek Lian mendongkol terhadap mahasiswa itu. Tapi demi didengarnya dia ber-kata2 dengan nada yang empuk sedap didengar, apalagi sikapnya sopan, seketika itu menurunlah kemarahannya. Apalagi bukan saja orang itu telah mempersembahkan benda yang dipenujunya, malah disertai juga puja puji mengagungkan kecantikannya melebihi kupu Lo-hou-sian-tiap. Selama ia berdiam digunung situ, tak pernah ayahnya memuji kecantikannya,  sedang sumoaynya, Yang-chiu, juga tunggal kaum dengannya. Satu2nya orang kaum hawa yang sebaya dengan usianya, ialah Tio Jiang. Cuma saja anak itu tak bisa bicara. Hatinya sih penuh dengan berbagai perasaan, namun mulutnya seperti terkancing rapat susah untuk mengutarakan. Ya, kalau tetap tutup niulut sih masih mending, tapi begitu membuka mulut terus plegak-pleguk entah apa yang dikatakan. Maka dalam usia berahinya itu, belum pernah Bek Lian mendengar orang memuji kecantikannya. Dan sudah menjadi psykhologi (kebatinan) seorang gadis, paling senang mendengar dirinya dipuji cantik. Tanpa terasa Bek Lian memandang kearah simahasiswa. Seketika itu se-olah2 berhentilah jantung simahasiswa berdenyut. Sampai sekian lama, dia terlongong2. „Nona, ambillah!” katanya kemudian.

Bek Lian ternyata mau juga menerima pemberian itu, lalu memeriksa sayapnya yang indah itu. „Benarkah aku ini secantik yang dikatakan orang itu, yakni lebih cantik dari sian-tiap ini dan pantasnya digelari say-hong-hong? Ah, sudah tentu memang begitu, rupanya orang itu. ”,

berpikir sampai disini ia kembali memandang mahasiswa tersebut, siapa, matanya tampak berkeredepan, seperti hendak tertawa. Seketika itu wajah Bek Lian terasa panas, dengan tundukkan kepala, ia merenung lagi: „Rupanya orang ilu bukan macam orang yang suka bohong!”

Melihat sianak muda memberikan kupu2 sian-tiap pada Bek Lian, sebaliknya dari mengiri, Yan-chiu malah lari menghampiri sang Suci untuk turut melihat kupu2 itu. Hanya Tio Jiang yang dalam kebatinannya mengejek simahasiswa itu. Bukankah tadi datang2 dia terus mendamprat „negara dalam bencana, tak seharusnya ber- senang2 diri main2 dengan kupu2?” Tapi nyatanya dia sendiripun malah menangkap sepasang! Sebagai seorang yang jujur, dia paling benci dengan orang yang mulut dan perbuatannya tak sepadan. Dan karena melihat sikapnya yang begitu kurang ajar mengawasi pada sang suci, bertanialah Tio Jiang dengan serentak: „Siapakah saudara ini? Hendak ada keperluan apa datang kemari?” Dalam pertanyaannya itu, bernada permusuhan.

Simahasiswa memutar kebelakang memandang beberapa jenak kepada Tio Jiang. Dengan menyungging senyuman dan merangkapkan sepasang tangannya kebelakang, dia mendongak sembari bersenandung:

„Dibawah markas, musim semi datang membawakan pemandangan alam yang indah, burung meliwis terbang tanpa berkesan.

Diempat penjuru suara terompet sahut sahutan.

Dalam ribuan kubu pertahanan, kabut bertebar, matahari terbenam, pintu kota tutup.

Dengan setuang arak mengenang rumah nan ribuan Ii jauhnya, sang burung seriti bebas berterbangan tanpa memikir pulang, embun berhamburan memenuhi tanah, tak mau nian mata dibawa tidur, rambut memutih sang jenderal menahan air mata.”

Dia sih orangnya ganteng cakap, gayanya sudah tentu makin menarik. Tapi Tio Ciang ternyata tak mengerti apa yang dimaksudkan dalam senanjungnya itu. Dia berasal dari seorang anak gembala sapi digunung situ. Enam tahun yang lalu. Ceng Bo siangjin yang kebetulan ada urusan turun gunung, telah melihat dia sedang dicambuki oleh majikannya, sehingga kepala dan mukanya bercucuran darah. Dia tak tegah. Apalagi dilihatnya anak itu sikapnya polos jujur, segera Ceng Bo siangjin menebusnya dengan beberapa potong perak lalu membawanya pulang kegunung. Diajarinya anak itu ilmu silat dan sedikit ilmu surat. Tetapi rupanya Tio Jiang menumpahkan seluruh perhatiannya akan ilmu silat saja, ilmu surat dia agak kesampingkan. Maka demi mendengar senandung simahasiswa itu, dia hanya kerutkan alis saja. Hendak dia menyahuti atau Bek Lian telah mengeluarkan pujian: „Suatu pambek yang tinggi!”

„Cayhe she The bernama Go,” dengan lagak tengik pemuda itu perkenalkan diri kepada Bek Lian.

Mendengar pujian itu, simahasiswa berputar kebelakang menjurah pada sinona, sikapnya ber-lebih2an sekali, serunya: „Aku yang rendah orang she The nama Go, tinggal dilaut ber-sama2 keluarga Ciok, Ma dan Chi. Telah lama mendengar Ceng Bo siangjin menuntut penghidupan suci ditempat ini, ingin benar untuk menjumpai entah bisa diterima tidak?”

---oo0dw0oo--- Makin simahasiswa mengunjuk gaya-pelajarnya, makin Tio Jiang mengerutkan keningnya. Yan-chiu anggap orang itu suka ber-main2, sebaliknya Bek Lian beranggapan lain. La yang sejak kecil diasuh dengan pendidikan silat dan sastera oleh sang ayah, telah mempunyai dasar yang dalam tentang syair menyair, yang kesemuanya itu telah dapat dinikmati sungguh2. Dari senandung simahasiswa tadi, dapatlah ia mengetahui kalau orang tengah mencurahkan isi kalbunya, maka cepat2 ia memberi pujian. Kini kembali dengan gaya yang terpelajarnya, anak muda itu mengucapkan kata2nya, buru2 Bek Lian menyahuti dengan sungguh2, Ceng Bo siangjin adalah ayahku sendiri. Sayang kemarin siang dia turun gunung sampai sekarang belum pulang. Kongcu (sebutan untuk anak muda terhormat) silahkan mampir dulu kebiara kami sana!”

Mendengar penyahutan Bek Lian itu, tertawalah Yan- chiu: „Suci, kalian berdua tengah main sandiwara apa itu? Mengapa bernyanyi sembari berkata?”

Wajah Bek Lian bersemu merah. Sementara The Go tertawa menanyai Yan-chiu: „Siapakah gerangan nama nona yang indah ini?”

Ditanyai begitu, buru2 Yan-chiu robah  sikapnya. Dengan meniru lagak lagu sang suci tadi, iapun memanggut kepada The Go, mengatur nada suaranya lalu menyahut:

„Ah, maafkan.... Yang ini adalah suciku, she Bek nama Lian. Itu sukoku, she Tio nama Jiang. Sedang aku yang rendah ini tang she Liau nama Yan-chiu. Aku tinggal disini bersama suci dan suko belajar silat.”

Karena berlagak yang tak semestinya itu, tingkah sinona centil telah membuat orang2 tertawa. Malah ia sendiripun turut geli juga. Buru2 kepalanya disusupkan kedada sang suci dan tertawa ter-kial2. Karena tak mengira akan dibuat perlindungan, Bek Lian terkejut dan kendorkan genggaman tangannya. Sekali kendor terbanglah sepasang kupu2 Lo- hou-sian-tiap tadi. Saking terkejutnya Yan-chiu berseru

„haya”, sebaliknya The Go buru2 menghibur: „Biarlah, tak perlu disayangkan. Siau-hong-hong lepas, masih ada, say- hong-hng’’

Tio Jiang anggap si The Go itu licin orangnya. Tapi karena nampak sang suci begitu gemar, diapun tak berani berbuat apa2. Pada saat itu, adalah bulan 11, hawa pagi dingin sekali rasanya. Karena dari setadian dia berdiri menjublek saja, lama2 merasa kedinginan juga. Selama mereka bertiga ber-cakap2 dengan gembira itu, dia tak mempunyai kesempatan untuk turut bicara. Dengan mengkal dia berputar tubuh, terus lari kembali kearah biara. Sekalipun didengarnya juga Bek Lian dan Yan-chiu segera mengikuti dari belakang namun tak mau dia hiraukan. Masuk keda-lam kamarnya, dia memakai baju luar lagi, menyembat pedang yang bertutulan karat, terus keluar pula. Karena sesak dengan nafsu kemarahan, dia segera enjot tubuhnya berlari2 turun kesebelah bawah. Tiba2 hidungnya tersampok dengan suatu bebauan yang wangi, ya begitu wangi sekali bau itu. Maju beberapa tindak lagi, bau itu makin keras. Setelah menikung pada sebuah batu karang, dilihatnya ada seorang tua kate kira2 satu meter tingginya, tengah menghadapi sebuah kuali besi. Mulutnya menggigit sebatang tongkat kayu. Hawa wangi tadi, keluar dari kuali tersebut.

Melihat itu, Tio Jiang terkejut. Buru2 dia bersembunyi kedalam semak2 pohon. Pikirnya, 6 tahun sudah dia tinggal digunung situ, tapi belum pernah suhunya mengatakan kalau disekitar situ ditinggali oleh lain orang. Tinggi siorang tua kate itu kira2nya hanya sebatas perutnya Tio Jiang, kepalanya gundul, umbun2nya menonjol keatas, persis seperti bintang Lo-siu-cee yang sering terdapat dalam lukisan. Tapi jenggotnya, begitu panjang menjulai sampai ketanah. Jubah yang dikenakannya, nampaknya bersih sekali. Sepasang tangannya diletakkan dibelakang punggung, seluruh perhatiannya dicurahkan untuk menggigit batang tongkat itu yang dibuatnya untuk mengaduk kuali besi.

Tak berapa lama kemudian, bau wangi itu makin keras. Se-konyong2 orang tua itu menyingkir setindak kebelakang. Dari tanah dia memungut sehelai kain warna kelabu untuk dibuat selimut dirinya. Kain selimut itu ternyata lubang disebelah atas dan ini untuk tempat supaya kepalanya dapat menonjol keluar. Kalau dia berteliku kaki, mungkin orang akan mengira kalau sebuah batu adanya.

Tak tahu Tio Jiang spa yang sedang dilakukan oleh orang tua aneh itu. Karena tak ada keperluan lain2 Tio Jiang pun kepingin tahu sekali. Tapi sampai sekian saat dia menunggu, walaupun sepasang mata siorang tua kate itu tampak melotot, namun orangnya sih bagaikan tidur, sedikitpun tak bergerak. Kini tak sabar lagi Tio Jiang menunggunya. Hendak dia tinggalkan tempat persembunyiannya untuk mencari lain tempat guna berlatih pedang, tiba2 terdengar suara men-desis2. Seketika wajah siorang tua berobah gembira sekali. Mata dan alisnya naik turun berkedipan. Sikapnyapun lucu. Tio Jiang mendengar juga suara desisan yang aneh itu. Sebagai anak kelahiran gunung, tahulah dia hanya bangsa ular atau binatang berbisa saja yang mengeluarkan suara begitu. Sewaktu mengawasi dengan cermat, darahnya menjadi tersirap.  

.... Suara mendesis itu makin nyata dan pada saat lain dari sela2 batu sana merayap keluar seekor ular yang tak seberapa besar.

Kiranya dihadapan siorangtua kate ada sebuah goa kecil macam terowongan. Dalam 4 musim, gunung Lo-hou-san itu tetap sedang saja iklimnya. Banyak turun hujan, sehingga penuh dengan belukar2 yang lebat. Tapi anehnya disekitar goa kecil itu, tiada tumbuh suatu tanaman atau belukar apapun juga. Dan keadaan karang disitu, ada yang menonjol ada yang melekuk. Maka bila didalam goa kecil itu tiada terdapat suatu binatang yang luar biasa atau ular yang berbisa, tak mungkin sedemikian keadaannya. Jadi terang siorang tua itu adalah seorang tukang tangkap binatang berbisa. Dia tengah membuat perangkap  kuali yang mengeluar hawa wangi untuk menangkap suatu binatano. Tio Jiang ternyata sifatnya saja yang jujur polos, dan se-kali2 bukan seorang yang tolol. Pengiraannya itu, 90% benar. Tak antara lama kemudian, desisan itu makin keras dan kini berobah nadanya seperti bercicitan. Dan pada lain saat. Muncullah seekor kepala ular dimulut goa kecil itu. Ular itu tak sebrapa besar, hanya sebesar ibu jari tangan saja. Tapi lidahnya yang menjulur keluar itu, panjang dan merah warnanya. Selain kepalanyapun merah dan matanya hitam, tubuh ular itu hijau seluruhnya. Hanya warna hijau itu, persis seperti batang bambu yang tersiram air hujan, hijau bening sedap dipandang.

---oo0dw0oo---

Melihat sang korban keluar, orang tua itu makin menjublek diam. Siular dongakkan kepalanya mengawasi kesekeliling, dan sembari lidahnya bercicitan, dia makin merayap keluar sehingga hampir separoh tubuhnya sudah berada diluar goa. Melihat bentuk dan warnanya, tahulah Tio Jiang kalau ular itu adalah yang disebut ular „tiok yap ceng” (daun bambu hijau). Tapi pada umumnya, tiok-yap- ceng hanya sedepa panjangnya. Ini saja cukup untuk menyembur mati seorang yang berada pada jarak 7 tindak jauhnya. Tapi tiok-yap-ceng ini, hampir ada 3 depa (lebih kurang 2 meter) menonjol keluar, tapi masih belum kelihatan ekornya. Ah. Iuar luar biasa dan belum pernah dilihatnya.

Bermula ular itu pe-lahan2 merayap keluar. Akhirnya karena tak tahan mernbaui hawa wangi itu, terus saja melesat keluar, dengan pesatnya menghampiri kuali. Dengan gunakan ekornya untuk menahan dibawah, kepala ular itu menjulang keatas terus dimasukkan kedalam kuali. Sekonyong2 mata Tio Jiang disilaukan dengan suatu bayangan melesat, ah, kiranya itulah siorang tua yang telah ayunkan sang tubuh menerkam siular. Gerakannya tadi itu, Laksana burung terbang pesatnya. Tapi ternyata binatang itupun cukup waspada. Tahu akan gelagat jelek, dia berpaling kebelakang terus menyurut sampai beberapa tindak.

Tahu ada ular bisa menyurut kebelakang, Tio Jiang sudah heran. Tapi serta tampak bagaimana gerakan siorang tua itu lebih cepat dari siular, tanpa terasa  dia mengikutinya. Sekali kepala ular memagut, mulutnya mengeluarkan hawa merah. Dua larik gigi yang beracun, menggigit siorang tua. Hai, apa2an itu? Bukannya siorang tua berusaha untuk menghindar, tapi sebaliknya diapun pentang mulutnya lebar2, maju memapaki. Sampai disini, mau tak mau terpaksa Tio Jiang tak dapat menahan keheranannya. „Hai”. dia berseru! 

Mendengar seruan itu, baik ular maupun siorang tua, sama2 tertegun. Tapi menggunakan kesempatan detik ketegunan itulah, siular terus memberosot mundur. Laksana anak panah terlepas dari busurnya, si tiok-yap-ceng itu segera meluncur masuk kedalam goanya.

Melihat korbannya lolos, marahlah siorang tua. Jeuggotnya yang putih meletak itu ber-goyang2, maju beberapa Iangkah kemuka, selimut kain dilontarkan, begitu angkat sebelah kaki didupaknya kuali besi itu „grombyang

............. Kuali itu mencelat kearah tempat persembunyian Tio Jiang. Men-deru2 suaranya, pesat jalannya. Kini tak dapat Tio Jiang tetap bersembunyi ditempatnya lagi. Sekalipun tadi siorang tua  tak gusar, dia sendiri karena merasa telah membuat kapiran usaha orang, juga akan keluar untuk menghaturkan maaf. Demi sikuali melayang tiba, dia segera melesat keluar.

„Bum!”, demikian kuali besi itu jatuh membentur batu, isinya menumpah semua. Melihat isinya itu, hati Tio Jiang bercekat. Kiranya bau wangi yang keluar dari kuali besi itu, berasal dari ramuan binatang2 kecil dan kutu2. Ada yang sudah hancur terebus, ada lagi  yang masih berkutetan meregang jiwa. Ngeri juga Tio Jiang melihatnya.

„Buyung, mengapa kau berani merusakkan urusan Sam- thay-ya ini?” bentak siorang tua itu demi melihat Tio Jiang munculkan diri. Ternyata biarpun tubuhnya kate, tapi suaranya keras menggeledek.

Sewaktu menampak isi kuali yang tumpah itu, Tio Jiang sudah mundur beberapa tindak. Tapi demi mendengar suara geledek siorang tua itu, buru2 dia berpaling, dengan hormat sekali dia memberi hormat: „Sam-thay-ya, aku tak tahu sama sekali kalau kau tengah menangkap ular, jadi aku kuatir jangan2 kau akan digigit binatang itu!”

Siorang tua yang menyebut dirinya sebagai Sam-thay-ya (tuan besar ketiga) itu mengawasi sampai sekian lama pada Tio Jiang. Kembali dia tampak merenung. Mata, alis, hidung, mulut ya sampaipun daun telinganya, tampak bergerak2 lucu benar kelihatannya. Tapi kali ini karena sudah merasa salah, tak berani Tio Jiang tertawa. Beberapa saat kemudian, orang tua itu menggeleng berkata: „Aneh, aku tak kenal padamu seorang buyung itu, mengapa kau ketahui namaku Sam-thay-ya?!”

Diam- Tio Jiang mendapat kesan bahwa orang tua itu ternyata seorang yang sudah linglung pikirannya. Bukantah tadi dia sendiri yang memberitahukan namanya, mengapa lupa? Kalau Tio Jiang itu seorang yang licin, tentu dia akan segera mengatakan ini itu. Tapi bagi Tio Jiang, putih tetap putih, hitam tetap hitam. Tak dapat dia „berhias bibir” menipu orang. „Kau sendiri tadi yang mengatakan, menuduh aku merusakkan urusan Sam-thay-ya!” katanya menurut apa adanya.

Mendengar itu, siorang tua menarik tangannya yang digendong dipunggung tadi, terus menampar mukanya sendiri. “Benar! Kau tak kenal pada Sam-thay-ya, Sam- thay-ya juga tak kenal padamu. Dengan begitu tak boleh menyebut persahabatan. Merusak urusan penting dari Sam- thay-ya, seharusnya bagaimana? Buyung, coba kau katakan sendirilah!”

Benar2 tingkah laku orang tua itu aneh lucu, nada suaranyapun menggeledek membikin terkejut orang, namun Tio Jiang mendapat kesan bahwa dia bukan seorang jahat. Dia sendiripun tak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan itu, katanya: „Sam-thay-ya, akupun tak tahu harus bagaimana, kau saja yang bilang!”

Mendengar itu siorang tua delikkan matanya pada Tio Jiang. Tangannya kembali digendong dibelakang punggung, lalu mondar mandir kian kemari. Sebelah tangannya tak henti2nya masih menampari muka. Mata, telinga, mulut serta hidung, sebentar dikerutkan sebentar dijulurkan. Setelah berselang bebrapa saat, dia merandek dan berseru dengan marahnya: „Buyung, berani kau memper-olok2 Sam-thay-ya?”

Tio Jiang heran setengah mati, tanyanya: „Ah, masakan aku berani ?”

Siorang tua kibaskan tangan, menampar sebuah batu karang, dan hancurlah batu itu. Saking terkejutnya, TioJiang tersentak jantungnya.

Batu gunung adalah benda yang keras, tapi cukup sekali menepuk saja sudah dapat menghancurkan, dapat dibayangkan betapa sakti pukulan siorang tua aneh itu. Kalau tubuhnya sampai kena ditabok, huh ngeri awak membayangkannya, demikian Tio Jiang berpikir. Dapatkah suhunya berbuat demikian, entahlah, karena seIama ini belum pernah dia melihatnya. Dia sendiri sudah helajar sampai 6 tahun, dan turut kata suhunya, kemajuannya pesat sekali. Tapi kalau disuruh menepuk hancur batu semacam itu, aduh mak, minta ampun! Kalau sang pikiran tengah dihujani oleh berbagai pertanyaan, adalah orangnya sendiri masih menjublek disitu, ter-longong2 mengawasi siorang tua.

„Kau masih mengatakan tak berani meng-olok2 Sam- thay-ya? Suruh kau punya Sam-thay-ya berpikir sendiri? Apakah ini bukan hendak meng-olok2 namanya? Siapakah yang tak kenal Sam-thay-ya-mu ini seorang yang tahu makan tak tahu berpikir?”

Tio Jiang heran setengah mati, tanyanya: „Ah, masakan aku berani ?" Siorang tua kibaskan tangan, menampar sebuah batu karang, dan hancurlah batu itu. Saking terkejutnya, Tio Jiang tersentak jantungnya.

Karena makin mendengar siorang tua berkata makin tak karuan, hati Tio Jiang seperti di-kili2. Kalau mau ketawa nanti dikatakan kurang pantas, namun tidak ketawa sesungguhnya tak dapat dia menahan gelombang tawanya. Tapi saking seringnya, tanpa dapat ditahan lagi mulut menghambur „huh huh", tertawa ter-kial2.  Pada permulaan, masih dapat Tio Jiang ketawa mendekap mulut, tapi karena tubuhnya lama kelamaan turut ber-guncang2 tahu2 „trang", pedang yang diselipkan pada pinggangnya membentur batu karang.

Bermula orang tua aneh itupun hanya mengawasi saja pada Tio Jiang, tapi demi mendengar suatu benda berkelotekan, dia terus berjingkrak dan ber-kaok2 dengan keras: „Buyung! Kau bisa silat, bukan?"

Tadi ber-kata2 saja, suaranya sudah seperti geledek. Kalau kini dia ber-kaok2, sudah tentu suaranya seperti halilintar memecah bumi kerasnya. Saking dahsyatn  ya, dari arah gunung sana mengeluarkan kumandang yang gemuruh, sehingga Tio Jiang bising dibuatnya, tak tahu dia apa yang dikatakan orang tua itu. „Sam-thay-ya, harap berkata sedikit pelan saja."

Siorang tua-aneh tertawa, ujarnya: „Kubertanya, kau  bisa ilmu silat tidak? Dengan membekal pedang, berani kau mengatakan tak bisa silat?"

„Ya, bisa sedikit2, tapi jelek," sahut Tio Jiang.

Siorang tua aneh miringkan kepalanya berpikir, kemudian kedengaran berseru: „Kau telah mengagetkan ceng-ong-sin (ular tadi). Ini berarti aku harus buang waktu selama dua bulan lagi untuk mengumpulkan kutu2, harus menanti sampai ada kabut tebal lagi, dan harus naik turun gunung pula. Kurang dari 3 bulan sungguh tak bisa."

Sembari berkata itu, jari tangannya tak henti-nya ditekuk2, rupanya untuk menghitung. Pancainderanya pun turut ber-gerak2. Dan menghitung sampai disitu, dia mendongak lagi sembari berkata: „Buyung, dengarlah. Sam- thay-ya karena teriakanmu tadi, harus buang waktu 3 bulan lagi untuk menangkap si Ceng-sin-ong itu. Nah, begini saja. Kau bisa main pedang, maka kau kuhukum supaya memberi pelajaran 3 jurus ilmu pedang padaku. Kalau kau menolak, ho, akan kulempar tubuhmu kesebelah gunung sana !"

Tio Jiang menjawab dengan sangsi: „Sam-thay-ya, bukan aku tak mau. Hanya saja ilmu pedang perguruan sebelum mendapat idin suhu, mana bisa diajarkan pada lain orang?"

Biji mata, siorang tua berkeliaran bolak-balik, tanyanya :

„Siapakah suhumu itu?"

„Ceng Bo siangjin dari biara Cin-wan-kuan."

Kembali siorang tua miringkan kepalanya berpikir, kemudian kedengaran ber-sungguh2 sendirian: „Ceng Bo siangjin? Sam-thay-ya juga ber-tahun2 keliaran didunia persilatan, Kwitang sampai ke Kwisay, tidak sedikit tokoh2 ternama yang kujumpai. Tapi mengapa belum pernah kudengar nama Ceng Bo siangjin itu?

Habis ber-sungguh2 dia segera berseru: „Apa itu  Ceng Bo siangjin, Cut Cui hejin? Ilmu pedang cakar ayam dan anjing remuk, tak sudi Sam-thay-ya belajar. Coba kau unjukkan sejurus dulu kulihatnya !"

Tio Jiang tahu bahwa ilmu  pedang to-hay-kiam-hwat perguruannya, penuh dengan gaya yang indah. Kalau  hanya dipertunjukkan saja, rasanya tak mengapa. Disamping itu ingin sekali dia lekas2 lolos dari situ, karena hendak menjenguk bagaimana keadaan sang suci dan sumoay tadi. Sekali pedang dikiblatkan, lengannya mengibas, memapas keatas. Sementara itu kedua jari tangan kiri, telunjuk dan tengah, ikut2 mengimbangi dengan gerak yang rapi sekali. Menampak gerakan jurus itu, tahu2 tubuh siorang tua aneh melesat kebelakang sampai 3 tindak jauhnya. „Boan thian kok hay", serunya.

Tio Jiang tak kurang terkejutnya. Begitu gerak pedang ditarik, segera dia bertanya: „Sam-thay-ya, mengapa kau mengetahuinya ?"

Tapi siorang tua aneh itu tak mau menyahut dan melainkan berteriak lagi: „Hay-te-kau!" (biawak dari dasar laut). „Apa?" menegas Tio Jiang.

„Kiang Siang-yan!" seru siorang tua pula.

Tio Jiang makin tak mengerti, berserulah dia keras2 :

„Apa katamu?"

„Wut" tiba2 siorang tua itu melesat maju, „wut2, se- konyong2 dia loncat undur sampai 3 tindak. Anehnya, walaupun berloncatan maju mundur itu kedua kakinya tak kelihatan bergoyang. Hanya tumitnya saja yang kelihatan mempunyai daya membal seperti karet. Tio Jiang tahu bahwa itulah kesaktian ilmu Iwekang yang disalurkan kearah tumit, terus langsung menyentuh tanah, sehingga dapat wat-wut wat-wut maju mundur. Dengan kepandaian itu teranglah bahwa siorang tua aneh tersebut seorang cianpwe (angkatan tua) yang lihay. Tapi heran, mengapa selinglung begitu? Seraya berloncatan maju mundur itu, berserulah siorang tua aneh itu: „Hay-tee-kau, Kiang Siangyan, sepasang pedang yang mengadu biru didunia persilatan, menjungkirkan sungai membalikkan laut selama 30 tahun. Buyung, kau pernah apa dengan Hay-tee-kau ?"

„Apa itu Hay-tee-kau?" sahut Tio Jiang dengan keheranan, „selama 6 tahun diatas gunung, kecuali suhu, suci dan sumoay, hanya ada seorang tojin (iman) tua yang tuli dan gagu." Sikate aneh tak percaya, ujarnya: „Kau berani membohong pada Sam-thay-ya buyung? Kalau tidak kenal Haytee-kau, mengapa kau bisa ilmu pedang to-hay-kiam- hwat? Hayo, jawablah!"

„Ilmu pedang itu suhu yang mengajarkan," sahut Tio Jiang apa adanya.

”Siapa suhumu?"

Tio Jiang anggap orang tua itu agak 'setengah', segera dia menyahut keras2 : „Suhuku adalah Ceng Bo siangjin, ya Ceng Bo siangjin!"

Benar2 orang tua kate itu tak mengerti, comelnya: „Apa itu 'siang siang'? Kumaksudkan Hay-tee-kau!"

Karena kewalahan, Tio Jiang tak mau bicara lagi.

„Pulang kasih tahu pada Hay-tee-kau, Sam-thay-ya amat merinduinya. Kasih tahu lagi padanya, bukan Sam-thay-ya takut menjumpainya, melainkan.... hm ”

Kembali siorang itu miringkan kepalanya merenung, sehingga saking getolnya, mulutnya hampir menempel sang hidung. „Tidak menjumpainya, apa alasannya, kau bilang Sam-thay-ya ini tak bisa mengutarakan. Ya, Sam-thay-ya cuma bisa makan tak bisa berpikir!" Habis menyomel panjanglebar itu, terus „sret, sret, sret", lari turun kebawah. Kesemuanya itu berlangsung sebelum Tio Jiang dapat menyangkanya.

---oo0dw0oo---

Seperginya siorang tua kate yang aneh itu, Tio Jiang terpaksa harus memutari dulu lamping gunung, baru dia berbasil mendapatkan jalanan naik keatas puncak. Tapi ketika dia melihat kemuka, tampak disebelah atas sana ada beberapa sosok bayangan tengah lari dengan pesatnya. Sejak pada usia 12 tahun dia tinggal digunung situ, entah berapa ratus kali dia naik turun gunung itu. Dan itu memang merupakan latihan yang berharga, karena kini Ilmunya berjalan tambah sempurna sekali. Dikala dia memikirkan bahwa diatas gunung sana hanya ada suci dan sumoayn ya, dia terkesiap dan sesalkan dirinya mengapa sekehendaknya sendiri saja tinggalkan mereka. Juga simahasiawa tadi, pun belum diketahui asal usulnya, lawan atau kawan.

Tapi ketika pikirannya terlintas renungan bagaimana Bek Lian telah begitu manis sikapnya terhadap simahasiswa tadi hatinya entah karena apa, menjadi tawar. Tapi pada lain saat rasa kuatir telah menguasai pikirannya. Sekali enjot kakinya, secepat kilat dia lari se-keras2nya keatas gunung. Tak antara lama, beberapa sosok bayangan yang mendahuluinya tadi, segera tersusul. Kiranya mereka ada 6 orang. Ada setengahnya yang bertubuh tinggi besar, membawa senjata. Tio Jiang makin gellsah buru2 kepingin sampai dirumah. Dilihatnya diantara keenam orang itu ada seorang paderi yang gemuk, memakai jubah warna hijau, dadanya memakai kalung 108 biji liam-cu  (mutiara). Alisnya menjungkat keatas, matanya bersorot bengis. Yang tiga orang bermuka brewok dan berd yenggot lebat. Wajahnya hampir sama satu dengan lain. Agaknya mereka bertiga saudara. Sementara yang dua orang lagi, adalah kaum wanita. Yang satu umurnya antara 30-an tahun, lainnya agak mudaan sekira umur 20 tahunan. Perempuan yang tua umurnya itu membekal sebuah senjata rode, sebelah dalam dan luar roda itu berbentuk runcing. Dari warnanya yang ke-biru2an, terang kalau senjata itu terbuat daripada baja murni. Sedang yang mudaan itu tampak bermuram durja, tangannya mencekal sebatang senjata macam tusuk ikan. Panjang senjata itu lebih tinggi dari orangnya.

Ketika mendadak melihat ada beberapa sosok bayangan orang melesat kearah biara, cepat Tio Jiang menyusulnya. Ternyata satu diantaranya adalah seorang Hwesio gemuk berjubah hljau.........

Tengah keenam orang itu mendaki keatas, tiba2 dirasainya ada angin meniup dari arah belakang, dibawakan oleh seseorang yang tengah mengejarnya. Dengan terkejut, mereka cepat menoleh kebelakang. Dan keheranan mereka bertambah besar, ketika diketahuinya bahwa orang yang mendatangi itu ternyata seorang anak muda yang dandanannya seperti tukang angon sapi. Salah seorang dari siberewok segera berkata: „Ah, Lo-hou-san ini sungguh2 suatu tempat persembunyian dari harimau dan naga, maka tak heran kalau Ceng Bo siangjin memilih tempat ini untuk mengasingkan diri!"

Mendengar itu buru2 Tio Jiang memberi hormat dan bertanya: „Para eng-hiong (orang gagah) ini hendak mencari suhuku perlu ada urusan apa?" Dalam bertanya itu, hati Tio Jiang tetap curiga. Belum pernah ada orang luar yang berkunjung kesitu, mengapa begitu suhunya pergi, tahu2 ada sekian banyak orang asing mencarinya? Dengan tabahnya, Tio Jiang mengawasi keenam orang itu satu per satu. Dari wajah mereka yang bengis dan sikapnya yang kasar, terang mereka itu bukan orang baik. Sampai2 siwanita yang tuwaan itu, wajahnyapun tak mengasih. Hanya siwanita muda tadi wajahnya tampak bermuram durja, kasihan tampaknya.

„O, kiranya engkoh kecil ini murid Ceng Bo siangjin," sahut si-hweshio gemuk, „apakah suhumu dirumah? Tolong sampaikan padanya bahwa 4 orang she The, Ciook, Ma dan Chi dari Lam-hay datang berkunjung!"

Mendengar itu, teringatlah Tio Jiang akan keterangan simahasiswa, tanyanya: „Masih ada seorang she The dandanannya sebagai seorang mahasiswa, apakah juga kawanmu ?"

„Hai, kiranya The toako sudah mendahului kemari!" serentak ketiga orang yang bermuka brewok itu berseru. Sebaliknya si-hweshio itu hanya tertawa tawar saja dan dengan sinis berkata: „Langkah kaki yang cepat, kalau menyelamatkan jiwa kiranyapun tak nanti terlambat!"

Ketiga orang brewok itu delikkan mata kepada sihweshio, agaknya akan cari setori. Tapi wanita yang membekal roda-baja tadi segera melerai: „Apa kalian hendak bikin onar? Belum bertemu dengan tuan rumah, mengapa ribut2 dihadapan seorang siaupwee (angkatan muda), apa2an itu!"

Sihweeshio dan ketiga orang brewok itu rupanya jeri terhadap siwanita, nyatanya mereka lantas bungkam. Hanya sigadis yang maju selangkah bertanya kepada Tio Jiang: „Tolong tanya, mahasiswa she The itu sudah berapa lama tiba kemari?"

Melihat orang begitu perhatikan sekali pada si The Go, Tio Jiang mengawasi sipenanya. Didapatinya bahwa gadis itu walaupun agak hitam kulitnya, namun manis juga. sesaat muka Tio Jiang ke-merah2an karena dia merasa tak patut melihati seorang gadis sampai sedemikian rupa, lalu sahutnya: „Baru tadi pagi datangnya, mungkin dua  jam yang lalu!"

Sigadis hitam mendenguskan hidungnya. Ketika Tio Jiang mengawasi kearahnya lagi, ternyata gadis itu ber- linang2 air matanya. Dua butir air mata mengucur dari kelopaknya. Rupanya gadis itu berdaya se-kuat2nya untuk menahan sedu sedannya, maka ia segera kacupkan bibirnya se-kencang2nya. Sudah tentu Tio Jiang menjadi heran. Tapi karena baru saja berkenalan, tak layaklah kiranya untuk menanyai keadaan orang. Pada lain saat  berkatalah dia dengan lantang: „Kemaren tengah hari, suhu telah menerima surat dari seekor merpati pos. Ber-gegas2 beliau turun gunung, entah bila akan kembali pulang. Adakah saudara2 sekalian ini hendak beristirahat dulu kedalam  biara atau "

„Ciok jiso, dari siapakah surat burung merpati itu?" pernyataan Tio Jiang telah diputus oleh sihweeshio yang bertanya kepada siwanita tuaan tadi, siapa dengan nada yang dingin menyahut: „Toa-ah-ko dari Thian-tee-hwee!"

„Kalau begitu, kita terlambat sedikit ini?!" tanya aihweeahio pula.

„Kita be-ramai2 naik kegunung sini. Setiba di Kwitang tiada tunggu berjumpa dengan toa-ah-ko dari Thian-tee- hwee, dia tentu akan sudah mengetahuinia. Kalau dia bisa melihat gelagat bahwa kita, berempat keluarga ini tak boleh dibuat main2, dia tentu ber-gegas2 pulang!"

Dengan mengiangkan seruan „oh" hweeshio tersebut segera memuji: „Kau benar, Ciok jisoh!" Setelah itu dia lalu berpaling kepada Tio Jiang: „Siauko (engkoh kecil), sekalipun nanti malam kemungkinan besar suhumu belum pulang, tapi rasanya besok pagi dia tentu sudah kembali. Tak apalah kita bermalam dibiara Cing-wan-kuan sana, harap siauko jalan dululah!"

Dari nada bicara sihweeshio gemuk itu, teranglah kalau dia (Tio Jiang) dianggap sebagai tuan rumah. Tapi mengapa tadi mereka sebut2 nama Thian-tee-hwee? Apakah mereka itu musuh2 sang suhu? Kalau benar demikian, jumlah mereka begitu banyak, terang fihaknya takkan dapat melawan. Ah, biarlah dia pura2 tak tahu saja, nanti apabila sudah sampai digunung hendak dia rundingkan dengan suci dan sumoaynya, daya untuk mengundurkan mereka. Dengan ketetapan itu, Tio Jiang terus ayunkan langkah mendaki keatas. Tak berapa lama kemudian, biara Cinwan- kuan sudah tertampak. Keenam orang asing itu tetap mengikuti dibelakangnya.

Tapi baru kakinya sampai dimuka pintu biara atau telinganya segera mendengar suara cekikikan dan ter- bahak2 dari Bek Lian, Yan-chiu dan The Go yang tengah berkelakar dengan teramat gembiranya. Kening Tio Jiang mengerut, dengan berseru keras2 dia menereaki: „Suci! Ada 6 orang tamu hendak mengunjungi suhu."

Bek Lian menyahut seraya muncul keluar. Saat itu Tio Jiang tampak bagaimana wajah sucinya itu ber-seri2 girang, mulutnya menyungging senyum gembira, suatu hal yang belum pernah dilihatnya sejak dia berada disitu. „Tetamu?" menegas Bek Lian dengan lebih dahulu bergelak tawa.

Belum Tio Jiang menyahut, atau The Go dan Yan-chiu sudah menyusul keluar. Begitu melihat akan keenam orang itu, The Go ter-bahak2 menegur: „Ciok jiso, mengapa kalian baru sekarang tiba?"

Yang dipanggil Ciok jiso itu diam saja. Tapi gadis hitam manis yang berada dibelakangnya segera melangkah maju mendekati The Go dan hendak mengucap suatu apa kepadanya. Namun The Go pura2 tak melihatnya dan terus bertanya kepada ketiga orang brewok tadi: „Sam-kiat (3 orang gagah) dari keluarga Chi juga ikut datang. Marilah, kuperkenalkan kalian!"

Kalau The Go begitu ramah terhadap ketiga orang brewok itu, sebaliknya dia tak ambil perhatian terhadap sihweeshio gemuk. Rupanya hweeshio gemuk itu  pun sudah menduga kalau orang she Tio tersebut akan berlaku demikian padanya. Dengan memasukkan tangan kedalam jubah, dia tertawa dingin.

“Suko, siapakah orang2 ini ? Kawan atau lawankah?" tanya Yan-chiu kepada Tio Jiang, siapa menyahut dengan Gejujurnya saja: „Entah, akupun tak tahu, sedang suhu tak berada dirumah, sungguh repot nih !"

Meskipun tanya jawab itu dilakukan dengan suara pelahan, namun tak urung dapat didengar juga oleh The Go, siapa dengan senyum tawanya menerangkan kepada Yan chiu: „Dik Yan-chiu, usah kuatir, orang2 ini adalah sahabatku semua."

“Setan", demikian diam2 Tio Jiang memaki orang she The. Masa dalam waktu sesingkat itu, sudah begitu akrab dengan suci dan sumoaynya. Tapi walaupun hatinya mendongkol, namun mulut Tio Jiang tidak dapat mengucap apa2. Dan karena itu, diapun lalu tak mau  mengomong lagi. Oleh sebab Bek Lian dan Yan-chiu adalah gadis2, jadi tak enak kiranya untuk mengawani bicara keenam orang yang belum dikenalnya itu. Maka dengan sendirinya, The Go wakilkan dirinya sebagai tuan rumah untuk memperkenalkan rnereka.

Kini baru Tio Jiang tahu bahwa hweshio gemuk itu bergelar Ti Gong hweshio. Asalnya orang she Ma. Ketiga orang brewok itu dari keluarga she Chi, masing2 bernama Chi Beng, Chi Kwi dan Chi Sim. Wanita setengah tua tadi bernama Ciok Ji-so. Sedang sigadis hitam mania itu bernama Ciok SiaU-lan. Samar2 Tid Jiang teringat akan kata2 suhunya, bahwa di Lam-hay (laut selatan) ada gerombolan bajak laut terdiri dari empat keluarga: The, Ciok, Ma dan Chi. Mereka mengganas penumpang2 kapal. Setiap orang, mempunyai ratusan anak buah. Mereka masing2 mempunyai kepandaian istimewa sendiri2. Sang suhu memesan, kelak kalau sudah turun gunung, lebih baik jangan kesamplokan dengan mereka.

Karena keempat orang itu menganggap dirinya sebagai raja dilautan, maka merekapun tak mau mengindahkan lagi apa yang disebut sebagai „tata kesusilaan dunia persilatan". Sekali terikat permusuhan dengan mereka, sudah tentu banyak bahayanya, karena jumlah mereka banyak sekali. Adakah ketujuh tetamunya itu termasuk The Go dan kedua wanita itu benar2 gerombolan bajak laut ganas itu? Kalau benar, mengapa mereka mencari suhunya? Demikian Tio Jiang me-nimang2 dalam hatinya.

Tapi orang telah mengunjungi dengan sikap  yang hormat, sekalipun mereka mengandung maksud jahat, tapi karena belum jelas diketahui, maka tak pantaslah kiranya untuk bersikap memusuhi. Karena itu, Tio Jiang segera persilahkan ketujuh tetamunya itu masuk kedalam. Tapi setelah sama berdudukan, lagi2 Tio Jiang tak dapat memulaikan pembicaraan. Oleh sebab memang sifatnya yang pemaluan dan jujur, apalagi dihadapan sekian banyak orang, Tio Jiang makin tak dapat ber-kata2.

Bek Lian juga hanya tundukkan kepalanya memainkan ujung bajunya. Sedang orang she The itu tak henti2nya mengawasi padanya. Sebaliknya sigadis hitam manis itupun tak putus2nya memandang pada The Go. Dengan begitu suasana dalam ruang biara situ, menjadi hening lelap. Tiba2 terdengar derap langkah orang mendatangi. Ah, kiranya yang datang itu seorang bongkok. Wajah sibongkok itu kotor, matanya merah dan suram. Melihat siapa yang datang, Tio Jiang segera memberi isyarat dengan gerakan tangan, maksudnya menyuruh sibongkok lekas menghidangkan minuman teh pada tetamu2nya.  Tapi begitu sihweshio gemuk menampak sibongkok itu, alisnya segera menjungkat, serentak dia terus berbangkit !

---oo0dw0oo---
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar