Kisah Bangsa Petualang Jilid 27

 
Jilid 27

Memang dengan membawa yauwpay itu, Mo Lek tidak mendapat rintangan dise-panjang jalan, bahkan ia mendapat hak sebagai seorang pesuruh hingga ia bisa berhenti dan singgah disetiap perhentian dapat makan dan penginapan hingga tak usah ia menderita kelaparan atau kedinginan lagi.

Selang tiga hari, sampailah pemuda ini dikota Tiang-an. Di jalan besar, setiap beberapa puluh tindak, ada tentara-tentara jaga. Dikiri kanan toko-toko pada tutup. Di jalan besar sedikit sekali orang mundar-mandir. Sedangkan ditepi jalan, di dalam solokan kadang kadang terlihat tulang be-gedung bertetangga satu dengan lain. Yang satu Sie-hu, pintu gedung keluarga Sie yang lain Liap-hu, gedung keluarga Liap.

„Inilah tempat bagus untuk aku menyembunyikan diri,” pikir Mo Lek girang. „Dengan begini selain aku akan mendapat kesempatan menemui Louw-sie, akupun bisa menanti datangnya Toan Tay-hiap …”

Ketika Toan Kui Ciang berpisah dari Mo Lek pernah dia menyatakan dengan sumpah bahwa biar bagaimana, hendak dia menolongi Louw-sie, isterinya Su It Jie. Maka juga Mo Lek percaya paman itu pasti bakal datang ke koia Tiang-an ini.

Segera pemuda ini tiba di muka gedung dan terus ia mengetuk pintu, ketika seorang pengawal muncul, ia memberitahukan maksud kedatangannya sambil menyerahkan suratnya Liap Hong. Ia tidak usah menanti lama munculnya koan-kee kuasa rumah keluarga Liap itu, yang memimpinnya masuk ke dalam. Di dalam suratnya, Liap Hong memberitahukan bahwa Mo Lek yang memakai nama samaran Ong Yauw Hek menjadi sanak asal sekampung, dari itu ia tidak disambut secara sembarangan. Selagi berjalan masuk itu, waktu mereka mau bertindak naik disebuah tangga batu, mendadak Mo Lek mendengar seruan nyaring, yang rupanya keluar dari mulutnya seorang anak kecil

! „Awas piauw !” Ia terkejut, segera ia menoleh. Tepat pada waktu itu, dua biji uang tangchie yang dijadikan piauw, senjata rahasia, menyambar ke arahnya, datangnya bersusun, atas dan bawah, menuju ke arah dua jalan darah lenghu dan tiaw-hoan. Ia heran yang di-rumah keluarga Liap ia mendapat penyambutan caia begini, Tapi ia mesti membebas kan diri. Ia lantas menggunakan tangannya menyambuti piauw yang diatas itu dan dengan berjingkrak, ia menendang jatuh piauw yang dibawah. Justeru itu datang pula piauw yang ke tiga. hingga sulit buat menangkap puia atau berkelit, terpaksa Mo Lek hajar itu dengan piauw yang ia cekal. Maka piauw yang ke tiga itu jatuh bersama piauw yang pertama.

Menyusuli Penyerangan gelap itu dari dalam terdengar teguran seorang wanita : „In Nio, jangan tidak tahu aturan ! Inilah tetamu ayahmu !’*

Mo Lek mengawasi, hatinya mendongkol. Ia mendapat kenyataan pembokongnya ialah seorang bocah wanita yang berdiri diatas tangga. Dia memelihara dua buah kuncir, ramanya jenaka. Umurnya ia duga, be lum tiga belas tahun. Di belakang nona itu ada seorang nyonya usia pertengahan, yang tentu menjadi ibunya.

Si koan-kee kuasa rumah, sudah lantas memperkenalkan :

„Inilah nyonya majikan kami dan ini nona kecil kami. Saudara Onghar-p I j b a- h«’ri Noiakami

ini…’

Tidak m-i^jt; s. koankee bicara habis, nona kecil itu sudah menyala sambil bertepuk tepuk tangan dan berkata den;an gembira: „Paman, kau liehay sekali! Sungguh sempurna caranya kau menanggapi piauw! Semua mereka, mereka tidak dapat melawan kau!”

Liap Hujin menegur puterinya: „Makin lama kau jadi makin binal! Kau sampai tidak mau lihat, siapa orangnya yang datang kau main sembarang menyerang! Syukur pamanmu ini tidak kena diserang, jikalau tidak kau dapat membikin aku mati mendongkol!. Ia menoleh kepada Mo Lek untuk meneruskan:

„Inilah In Nio anak kami. Dari masih kecil dia sudah gemar ilma silat dan telah mempelajarinya, selama beberapa hari ini dia baru belajar mengguaai piauw lantas dia menjadi keranjingan, dia selalu mengganggu orang-orang kemi untuk menyambuti piauwnya .. ‘ 

“Tarub Kata orang kena terhajar tidak menjadi soal!! sinona cilik menyela ibunya itu. ,,Aku”mengerti ilmu totok, untuk menyadarkancya! Oh, paman, kau toh tidak menggusari aku,- bukan?”‘ ia teruskan pada Mo Lel, lagaknya lucu sekali.

„Masih banyak!”‘ membentak siibu. ,.Kalau nanti ayahmu pulang, akan aku. tuturkan lagakmu ini supaya kau dihajar hingga kulitmu pada pecah!”

Sekarang Mo Lek mengerti bahwa ia di pandang sebagai pegawai keluarga Liap itu. Ia tidak menjadi gusar. Ia ingat semasa kecil ia juga suka memain seperti bocah ini. Sebaliknya, ia girang Liap Hong mempunyai anak yang berbakat bagus sekali. Pikirnya; „Semasa aku kecil kebiasaanku meng-gunai senjata rahasia tidak sepandai dia ini. Maka ia lantas berkata dengan puj an-nya: „Sungguh inilah anak harimau dari keluarga panglima perang! Inilah pendekar wanita! hujin harap hujin tidak menyesalkan dia. Memang, senjita rahasia harus banyak dilatih ” In No girang setali sambil tertawa ia kata pada ibunya „Nah, ibu, ibu dengarlah! Apa katanya paman ini! Ilmu  senjata rahasia memang tidak dapat tidak dilatih terus!”

Nyonya itu tertawa. Katenya: „Kau puji lagi dia, dia akan semakin menjadi-jadi! .. Ayahmu memang biasa sangat memanjakannya!” Tapi, anak, kau ingat buat belajar senjata rahasia, tidak dapat kau pakai orang sebagai sasaranmu!

, Tetapi, ibu. mengenai ilmu piauw, ibulah seorang asing!” berkata sianak. „Untuk dengan piaaw menyerang jalan darah kalau orang tidak pakai sasaran tubuh manusia, mana itu dapat?”

„Aku ada satu jalannya!” Mo Lek campur bicara. „Kau dapat menganggp kayu yang nanti diberi cat, untuk membeii tanda- tanda letak dan garis garisnya jalan darah Boneka itu dapat diperintah orang menggendolnya baat dibawa berlari lari, lalu kau menyusul dan menyerangnya. Tidak kah itu sama saja? ‘

In Nio bertepuk tepak tangan Bagus, bagus!’ serunya memuji. ,,Mengapa aku tidak dapat pikir cara ini? Paman, kau tentulah seorang ahli, hayo paman kau temani aku berlatih

, Tidak malu-malu nona cilik ini. Ia bicara seperu dengan orang yang ia telah kenal lama.

Mo Lek tertawa dan-menjawab. ,,Aku» lah orang desa, aku cuma mengerti pencak kampungan. Jikalau aku menemani kau, tentu percuma saja aku selalu bakal kena dihajar kau1′

Tapi sinona membuat main bibirnya. ,.Aku tidak perciya! ‘ katanya. Barusan kau telah menyambuti tiga-tiganya piauwku! Mana mungkin kau membilang tidak pandai menggunai piauw? Jangan mendustai aku paman!’

Ai, In Nio jangan kau main gila!” kata Sang ibu „Paman Ong baru saja sampai, minum teh pun belum, bagaimana kau lan»as menggerembenginya? Bagaimana kau lantas minta ditemani berlatih piauw? Sungguh kau tidak tahu aturan! Hsyo kau mundurlah! ” Lantas nyonya ini menambahkan kepada tetamunya: „Semua ini dasar ayahnya yang biasa memanjakannya! Syukurlah paman bukan orang luar, jikalau sebaliknya, pasti orang akan mentertawai kami sudah tidak mampu mengajar anak!”

Mo Lek kata: ,,sifat sinona juneru sifat keluarga panglima perang. Sinona masih muda sekali, ia sudah liehay begini, buat memujinya orang tak sempat, apa pula buat mencelanya!”

In Nio tidak menentang lagi ibunya, hanya ia tidak mau mengundurkan diri. Inilah bukti disamping ayahnya, ibunya sendiri juga biasa memanjakannya Sikap-nya ini terang sikap yang menyatakan ia masih hendak menanti Mo Lek menemani ia berlatih piauw…

Dalam suratnya Liap Hong kepada isteri nya, Mo Lek diperkenalkan sebagai Ong Siauw Hek sanak jauh asal sekampung halaman, karena itu diwaktu berbicara lebih jauh. Nyonya Liap menanyakan beberapa hal mengenai tempat asalnya. Ia sendiri juga sudah lama meninggalkan kampung ha lamannya, ia sudah tidak ingat semua. Mo Lek sebaliknya telah memperoleh beberapa keterangan dari Liap Hong, dapat ia memberikan jawabannya. Nyonya Liap juga tidak menanyakan banyak, kalau ia menanya itu hanya sekedar saja, maka kemudian ia kata “Disaat kacau seperti ini aku girang ada anak jauh yang datang berkunjung. Kau tinggallah disini. jangan sungkan kau anggap rumah mi seperti rumah sendiri. Telah aku menyuruh orang menyediakan kamarmu.”

Mo Lek mengucap terima kasih.

Selagi sikoankee hendak mengajak tetamunya mengundurkan diri, buat pergi ber istirahat dikamarnya, mendadak ada satu nona cilik lainnya yang datang kesitu, yang terus menegur In Nio : „Encie In, apa hari ini kita berlatih pedang pula ?”

„Hong Sian kebetulan kau datang!” kata In Nio. „Inilah Paman Ong, tetamu kami yang baru sampai yang ilmu silatnya mahir sekali. Sampai sebegitu jauh, kita belajar silat secara seperti menutup diri, tidak ada orang luar yang melihatnya, entah ilmu silat kita itu ada harganya atau tidak maka sekarang baiklah kita minta pamaii ini yang menjadi wasitnya untuk memberi keputusan !”

„Ah, anak In, kembali kau mau mengganggu Paman Ong!” kata sang ibu. „Pergi lah kamu berlatih sendiri!”

„Tidak apa, ibu, tidak apa!” kata In Nio. „Bukankah hari ini Paman Ong tidak bekerja apa-apa ? Bukankah ia sudah mi-num teh ? Ibu sendiri yang membilang paman bukan orang lain, selagi ayah tidak ada dirumah. bukankah dapat jikalau aku minta paman yang memberi petunjuk padaku ?”‘

Nyonya Liap kewalahan melayani anak nya itu.

Nona kecil yang dipanggil Hong Sian itu manis sekali,  usianya lebih muda dari pada In Nio, usianya mungkin baru sepuluh tahun. Ketika Mo Lek mengawasi, ia heran Ia seperti pernah kenal potongan muka nona itu, yang mirip dengan mukanya seseorang lain.

„Buat memberi petunjuk, itulah aku tidak berani.’^ kata ia pada In Nio. „Ijinkan lah aku menyaksikan, buat membuka mataku. ‘Nona kecil ini …”

„Ialah adik Sie,” In Nio memberitahukan. „Adik Hong Sian, hayo kau menemui paman Of.g !”

Liap Hujin pun berkata : „Ialah mustikanya Sie Ciangkun yang menjadi tetangga kami. Mereka ini berdua bersahabat seperti encie dan adik. mereka bermain-main bersama setiap hari. Kau tentu telah bertemu dengan Sie Ciangkvn bukan ?”

Mo Lek mengangguk buat menjalankan peranannya.

„Sie Ciangkun baik sekali.” sahutnya. „Untuk kedatanganku ke Tiang-an ini, aku pun telah menerima banyak bantuannya.”

Hong Sian bertindak menghampirkan. untuk memberi  hormat pada Ong Siauw Hek ia berkata : „Ilmu pedangku baru saja di pelajari maka itu, aku harap kau tidak nan ti mentertawakannya.”

Sikap nona ini tidak manja seperti In Nio, roman dan gerak- geriknya sangat menarik hati, maka Mo Lek .menjadi heran, hingga ia berpikir : „Mungkinkah aku keli ru menyangka ? Benaikah dia ini anaknya Sie Siong ? Heran sekali ! Kenapa Sie Si ong dapat mempunyai anak manis seperti ini ?”

Sementara itu, karena Mo Lek telan menerima baik buat

„menonton” latihan 1

ilmu silat anaknya, Liap Hujin tidak me nentang lagi, maka In Nio bersama Hong Sian lantas mengajak sipaman pergi kebe- lakang gedung dimana ada taman bunga ser ta pekarangan terbuka peranti belajar silat. Disitu ada sepasang para-para senjata lengkap dengan delapan belas macam gegaman-nya.

In Nio dan Hong Sian tidak mengambil golok atau pedang tulen, hanya mereka me milih sepasang pedang kayu, yang memang diperantikan untuk berlatih. Disisi lapangan ada sebuah tong terisi abu hitam. In Nio menancap pedangnya kedalam abu hitam itu, lalu sambil menarik pulang ia berseru:

„Mari kita mulai !”

Hong Sian menurut contoh, dia menye-lup pedangnya kedalam abu hitam setelah itu dia maju ketengah kalangan.

Sambil me ngibasi tangannya dan memasang kuda-kuda dia kata : „Hari ini tak usahlah aku mengalah lebih dulu selama liga jurus padamu !”

Mo Lek heran melihat gerak gerik nona cilik itu, ia mulanya menyangka orang akan seperti main-main saja, tidak tahunya sikap permulaan itu sebenarnyalah ilmu pe dang asli dan dari tingkat atas. Itulah jurus „Pek-hong-koan-jit,” atau „Bianglala putih menembusi matahari.” Benar si nona belum mahir tetapi ia sudah dapat bergerak baik sekali, cepat dan lincah.

Gerak permulaan Liap In Nio lebih aneh lagi. Dia berdiri dengan pedang dili.T tangi didada, kaki dan tubuhnya tidak berkutik, baru setelah Hong Sian menyerang, ia menggeser kakinya hingga terkepang, un tuk dapat mendak, hingga pedang Nona Sie hampir mengikis kulit kepalanya, dengan begitu juga, ujung pedang nona itu memain diatasan kepala orang, itulah jurus „Sinar layung merah menutupi bumi.”

„Jika orang bertempur dengan sungguh-sungguh, serangan ini sukar buat dikelit.’ kata Mo Lek didalam hati.

Sementara itu kedua nona sudah saling serang.

De igan ditempel dan dipiitar, satu kali pedang Hong Sian kena terpental, tapi habis itu. dengan cepat mereka sudah berkum pul pula.

Diam-diam Mo Lek memperhatikan kaki In Nio. Itulah gerakan yang dinamakan ..menginjak garis tengah dan segi delapan” Ia heran dan kagum tak peduli ialah ahli pedang. Nona itu dapat bergerak seumpama kupu-kupu beterbangan berseliweran di antara bunga bunga.

Herannya pemuda ini ialah kapan ia memikir, siapa gurunya kedua nona ini. Kata ia didalam hati : „Dua-dua Sie Siong dan Liap Hong pernah aku tempur. Ilmu silat Sie Siong biasa saja. Ilmu silat Liap Hong | lebih sempurna dari pada ilmu silat Sie Siong. akan tetapi mereka tak dapat disamakan dengan anak- anak mereka ini, pula ilmunya dari lain cabang atau partai.  Pasti mereka ini mempunyai ilmu pedang bukan ajaran atau warisan ayah mereka …”

Seiuh latihan kedua nona itu. Mere a bergebrak terus- terusar. Nampak mereka seimbang Tenaga mereka pun ulet. Tanpa merasa, mereka sudah melewati beberapa puluh jurus. Hong Sian lebih banyak menyerang. In Nio senantiasa bertahan. Melihat ketetapan tubuhnya In Nio terang lebih mahir diripada nona she Sie itu.

„Jangan-jangan nona kecil itu bakal lekas kalah,” pikir Mo Lek.

Hong sian juga rupanya merasa ia bakal Kalah, mendadak ia menggunai siasat ialah kedua kakinya menjejak tanah, tubuhnya terus mercelat tinggi dari atas ia baru tu run sambil menikam.

Mo lek kenal baik tipusilat itu yaitu „Kera putih mencelat dicabang,’ salah satu tipu dari ilmusilat pedang Wan Kong Kiam-hoat Tipu itu periah ia saksikan di gunakan Khong Khong Jie baru-baru ini, Toan kui Ciang kalah karena jurus itu. Hanya Hong Sian mengunainya beda daripada caranya Khong Khong Jie. Ia dari atas sedangkan Khong Khong Jie dari samping.

Tanpa merasa pemuda ini berseru dengan pujiannya.

Liap In Nio menekuk kedua kakinya, tubuhnya melengak kebelakang sedangkan dengan pedangnya, ia menutup diri. Itulah tipusilat ,,Tiat poan kio atau ,,Tembatan besi. ‘ Deagan kedua kaki tertancap dengan kuda-kudanya, tubuhnya seperti rebah rata membikin pedang lawan lewat diatasan tubuh, pembabat muka tanpa hasilnyp. Tapi ia tidak hanya manda diserang, ia juga menyampok hingga kedua buah pedang bentrok keras dan nyaring sama2 lepas dari, tangan, mental jauh. Dan habis itu kedua ber diri sambil saling jabat tangan dan tertawa.

,,Encie aku kalah!” Hong Sian berkata,

Sekarang barulah Mo Lek melihat bahwa tubuh Hong Sian

.,ada titik abu hitamnya tujuh biji dan tubuh Liap In Nio tiga titik. Itu berarti bahwa barusan, selagi berlatih itu, mereka sudah dapat saling melukai.”

, Tidak” kata Liap In Nio ,.Kau justru telah maju pesat. Baru- baru ini aku menga lah dalam tiga jurus kesudahannya sama seperti ini Kau lebih muda dua tahun dari pada aku selewatnya dua tahun lagi, kau pasti bakal melebihkan aku.”

, Sudah jangan kita saling menarik ke-putusan sendiri. ‘ kata Nona Sie. ,;Paling benar kita minta pertimbangannya Paman Ong mungkin paman dapat menunjuki kekurangan kita.”

Mo Lek tertata.

,,Ilmu pedang kamu liehay sekali! ‘ katanya. „Kamu lebih menang daripada aku, maka juga kamu seperti menanya kepada sibuta !’

Dalam hal ini meski ia merendah Mo Lek bicara benar. Memang dalam halnya pedang, belum tentu ia mendapat mengalah kan nona-nona itu.

Kedua bocah itu tidak mau me igerti, usteru mereka lagi mendesak tiwa tiba ada terdengar suara ini. ..Nona Sian sudah wak tunya nona pulang ! Lalu tertampak seorang wanita, dengan dandanan sebagai babu susu, datang menghampirkan.

Roman wanita ini luar biasa. Itulah sebab mukanya tersilangkan cucad bekas dua bscokan selain itu ada tanda- tanda bekas luka didahmya. Kulit matanya juga ter tekuk dan pecah dan kulitnya pucat seperti tidak ada darahnya. Walaupun demikian dia tidak menakuti, Menurut wajahnya semasa mudanya dia tentulah cantik. Dia mempunyai pinggang yang langsing. Rambutnya sudah separuh ubanan.

Mengawasi wanita itu hati Mo Lek tiba-tiba tergerak.

,, Tidak salah lagi, dia teutulah Louw-sie ! pikirnya. Ia melihat gerak gerik o-rang yang agak agung. „Teranglah guna melindungi kesucian dirinya dia sudah me rusa mukanya. Kasihan dia, yang selama sepuluh tahun, mesti hidup menderita

…”

,-,Low-Ma !” Hong Sian memanggil. „Aku lagi mema’n dengan gembira, aku belum mau pulang !

Sebutan „Lauw Ma” itu atau ,,babu Ma” menguatkan dugaan Mo Lek bahwa nyonya itu benar Louw-sie atau nyonya janda Su It Jie.

„Kau sudah bermain-rnain setengah harian, anak,” berkata Lauw-sie, suaranya sabar, sedang gerak geriknya halus. „Lihat bajumu sudah gemak ! Bukankah kau habis berlatih pedang ? Kau gemar belajar, aku girang, tetapi setelah mengeluarkan banyak peluh, perlu kau salin dahulu. Bagaimana kalau kau jatuh sakit ?”

Itulah kata-kata dari kasih sayang yang mendalam. Mendengar itu, Mo Lek kata di dalam hati : „Tidak salah,

Hong Sian tentulah anaknya. Mungkin Sie Siong suami dan  istri

melihat nona ini manis, mereka mengakuinya sebagai anak mereka sebaliknya si ibu disuruh menjadi babu susu, tukang momong saja, bukan ibunya!”

„Lauw-ma, pergilah pulang lebih dahulu!” katanya. „Aku tidak dapat jatuh sakit! Atau taruh kata aku sakit, tidak nanti aku sesalkan kau ! Kau tidak tahu, hari ini ada datang Paman Ong, yang liehay ilmu silatnya, maka kami mau minta petunjuk mengenai ilmu pedang . . . Paman Ong, Paman Ong ! Kau membekal pedang, kau tentu pan dai ilmu silat pedang, bukankah kau sudi mempertunjuki beberapa jurus untuk kami saksikan ?”

Kata-kata yang belakangan ini ditujukan kepada “Mo Lek, yang diawasi.

Louw-sie memandang si anak muda, yang ia tidak kenal, maka tak mau ia sembarang bicara. Tapi ia sudah pikir  sebentar ia hendak minta bantuan orang guna mem-bujuki si nona.

Mo Lek sudah lantas menghunus pedang nya. Ia tahu ia bakal digerembengi apabila ia menolak. Tapi ia kata :

„Baik, akan aku memberi pertunjukan. Buat memberi petunjuk, aku tidak berani, maka itu, kita snlina berlatih saja.”

,,Bagus’” berseru Kedua nona itu sambil menepuk tangan. “Buat menyaksikan saja, kami sudah girang sekali!”

,,Ah, tetamu ini tidak tahu urusan…..” pikir Louw-sie, atau ia lantas mendengar, Mo Lek menyentil pedangnya sambil bersenandting. Itulah syair yang digemari Toan Eng Ciang, yang Toan Kui Ciang nyanyikan sambil mementil pedang satu malam sebelum dia mau membunuh An Lok San.

Louw-sie terperanjat, hingga ia mengawasi pemuda itu. dan tak dapat ia menahan mengetes turun airmatanya. Syukur Hong Sian tidak melihat padanya.

„Kedua nona heran.

„Paman, adakah itu kata-kata rahasia ilaiu pedang?’ tanya mereka.

Mo Lek mengangguk dengan sembarangan saja. „Apakah kau akan mengeluarkan enam jurus dengan sekaligus?” Hong Sian tanya Biasanya ia, sewaktu bermula belajar silat pedang, saban hendak mulai, membaca istilah ilmu pedang. Kata-katanya Mo Lek tidak terdengar terang olehnya, hanya ia ingat, pernah ia mendengar Louw sie nengajari serupa syair… .

„Memang, ilmu pedangku ini tidak dapat dipiiah-pisah, kata Mo Lek.” Semuanya terdiri enam kali enam menjadi tiga-puluh enam jurus, bagian belakangnya empat tujuh menjadi duapuluh delapan yang enam dan enam kali.”

„Teranglah ilmu pedangmu terlebih bagus daripada ilmu pedang kami!’ katanya, girang. “Lekas mulai!”

Saking polos, si nona ini main percaya saja.

Kata Mo Lek: “Akan aku memberi pertunjukan untukmu. Tapi anak kecil mesti dengar kata kata orangtua maka ia, pergi kau salin pakaian dulu, supaya Lauw Mama tidak berkuatir untukmu.”

ona itu memonyongkan mulutnya. ,,Menyalin pakaian tak menjadi soal.” katanya, hanya kalau aku pulang ibu tentu tidak akan mengizinkan aku kembali, pasti ibu akan mengatakan bahwa hari ini aku sudah berlatih cukup, bahwa aku balik kem bali besok saja …”

,,Kalau begitu besok saja kau datang pula. Akupun belum tentu akan pulang besok,” katanya.

,.Tidak bisa!” mendesak sinona. ”kalau sekarang kau tidak memberi pertunjukan, sebentar malam aku bakal tidak dapat’ tidur pulas!”

,.Aku mempunyai pemecahannya,” kata Liap Ia Nio. “Tubuhku lebih tinggi sedikit daripada tubuh kau, depat kau pakai bajuku buatan tahun yang lalu. Mari kita massuk kedalam untukmu tukaran!”

Bagus!’ kata Hong Sian. ‘ Dasar encie lebih pintar. Nah, Lauw Ma. kau tunggulah disini, habis menyaksikan pertunjukan pedang Paman Ong, kita pulang bersama.’

Kau tolong aku mendustainya. Taman ini besar, kalau bukan kita lagi berlatih silat, tak mudah kau segera dapat mencari aku Kalau pengakuan kita bertiga sama, mustahil ibu mengurusmu?”

„Ali, kau pandai bicara!” kata sibabu.

„Baiklah, lekas kau pergi sekarang!”

Hong Sin mengangguk bersama In Nio, dia berlalu,

Segera Louw sie meagawasi Mo Lek, matanya mendadakan ia ragu-ragu.

„Maafkan aku siorang tua, siauwya,” katanya, „barusan senandung siauwya, syair apakah itu?”

„Aku juga tidak tahu,” sianak muda menjawab. “Aku mendengar seorang sering menyanyikannya – juga.”

„Siapakah orang itu ? Louw-sie tanya. ,,Apakah dia maiih hidup?’

„Ya” sahut Mo Lek: „Dialah seorang yang sangat banyak pengalamaanya, yang sering menderita, yang biasa terancam bahaya, tetapi sebelum dia berhasil menuntut balas, Thian berkasihan terhadapnya, saban saban ia lolos dari bencana. Mungkin tidak lama lagi dia akan tiba dikota Tiang-an ini….

Mendengar demikian Louw sie tidak menyangsikan lagi pemuda ini. ,Sebenarnya kau siapakah?” Ia tanya pula. „Apakah kau kenal baik orang itu ? Kenapa dia bakal datang kemari”

Mo Lek tidak mau bersandiwara terlebih jauh. Jawabnya dengan terus- tereng” Tidak mau. aku membohong. Sebenarnya suami Nyonya Louw dari keluarga Toan yalah ayah angkatku, dan baru-baru ini pernah aku turut Toan Tayhiap ayah angkatku itu secara diam-diam memasaki kota Tiang-an, sampai digedungnya penghianat terjadi satu pertarungan dahsyat, hanya sayang, lantaran jumlah yang sedikit tidak dapat melawan yang banyak dia tidak dapat meno-longi kau nyonya. ‘

Louw sie terkejut.

„Ah, kau jadinya Mo Lek?” ia tanya.”

.,Ya” sahut sianak muda “Nyoaya bagaimana kau ketahui namaku?”

, Ketika terjadi peristiwa itu, Liap-Hong telah memberi keterangan kepudaku” sahut Louw-sie. .Namamu diketahui belakangan sesudah dia mencari keterangan Liap hong turut penghianat atau pemberontak tetapi dia dapat membelakan kelurusan dari kesesatan, sedangkan aku. sering aku memberi nasehat padanya, maka juga, lambat laun, dia pasti akan meninggalkan tempat yang gelap ini untuk pergi ketempat yang terang. Apakah kau ketahui hati dia maka kau berani datang kerumahnya’ ini?

„Tapi inilah kejadian yang kebetulan, bukan karena sudah dijanji terlebih dahulu,” slhut Mo Lek yang terus memberikan penjelasannya.

„Meski Hong suka melindungi kau, kata Louw sie kemudian,

„mengingat  tempat  ini  berbahaya,  baiklah  kau  lekas-lekas menyingkir ds.ri sini. Kau tahu kota ini sudah mejadi kotanya sipemberontak inilah justeru bahaya.

„Aku datang baru satu hari, nyonya sahut Mo lek. „Kau sendiri, kau berada diguha harimau dan gedung naga ini sudah sepuluh tahun lebih, kenapa kau tidak memikir untuk berlalu dari ini?”

Alis sinyonya rapat satu pada lain.

..Mo Lek, apakah kau memikir untuk menolongi aku?” tanyanya perlahan.

,,Begitulah niatku,” sahut Mo Lek terus terang. ..Akan tetapi aku telah berjanji dengan Liap Hong, tak mau aku merembet- rembet dia. Maka aku memikir menantikan datangnya Toan Tayhiap, supaya tayhiap sendiri yang menolong nyonya.”

Nyonya itu terkejut.

,.Jikalau begitu, lekas iau kasih kabar pada Toan Kui Ciang!” katanya. „Kau bilangi dia supaya dia jangan lancang turun tangan ! Sekarang ini masih belum waktunya aku meninggalkan rumah keluarga Sie, kalau dia datang, dia akan mencelakai aku, bukannya dia menolongi ! Aku juga pasti tidak bakal turut dia kabur! ‘

Mo Lek sangat tidak mengerti.

„Kenapa begitu nyonya ? Ia tanya.

„Coba kau bilang,” sinyonva balik bertanya, „kalau pemerintah hendak menumpas pemberontak she An itu, mudahkah atau suka?’

Mo Lek melengak. Bukannya ia dijawab, ia justru ditanya Ia menjadi terlebih heran lagi. Tapi ia menjawab: ,Negara telah kena dirobohkan, kedudukannya pemberontak she An sudah tetap, untuk menum pas dia, tak mudah ! Hanya syukur rakyat semua sangat membenci dia ! Siapa kehilangan rakyat dia bakal musna. Kedudukan pemberontak she An itu tidak kokoh kuat, lambat laun dia toh bakal roboh!’

„Dan aku berdiam disarang pemberontak ini maksudku guna membikin lebih cepat robohnya pemberontak she An itu!

berkata siryonya. „Mulanya aku cuma memikir buat membalas sakit hatiku pribadi, sekarang itu terangkap dengan niat membalas sakit hati kepada musuh ! Coba kau pikir, mana dapat berlalu dari sini?”

Nyoaya itu tua dan lemah, tetapi bicaranya bersemangat, dadanyapun berombak, bukti dari tegang hatinya

Mo Lek heran dan kagum, tetapi ia belum mengarti seluruhnya. Ketika ia hendak menanya nyonya gagah itu, sinyonya sudah mendahului berkata pula. „Tidak lama lagi. dikota Tiang-an ini pasti bakal terjadi suatu peristiwa besar! Maka itu, kau dengar kata-kataku, lekas-lekas kau berlalu dari kota ini, suruh Toan Kui Ciang jangan datang kesini!’

Mo Lek melengak pula. „Tetapi akn tidak berjanji dengan Toan Tayhian untuk bersama sama datang kemari,” katanya.

„Aku cuma tahu dia bakal datang, maka aku menantikan pa-das ya.

„Jikalau begitu, itulah berbahaya’ ka ia sinyonya kaget.

„Semoga dia sangat lam bat makin baik . Mengenal kau, jikalau kau mau tetap tinggal dismi, boleh, tatapi ingat, jangan kau lance ig anerseari aku ! A-pabila telah tiba saataya, apabila atau mempunyai urusan yang membutuhkan bantuanmu, naati aku suruh Hong Sian yang me-nyampaikan kabar padamu!”

Mo Lek mengangguk. Sebenarnya ia mau menanya bakal terjadi peristiwa apa dan bagaiman caranya sinyonya membikin pembalasannya, atau Kong Sian berdua In Nio swdah keburu muncul. Mereka itu mendatangi sambil berlari-lari, dari jauh- jauh sudah terdengar suaranya; „Paman, kami mau menyaksikan ilmu pedangmu!

Terpaksa Mo Lek meluluskan. Ia menghunus pedangnya.

..karena kamu memaksa, terp.ksa aku memberi pertunjukanku yang buruk,” kata-nya, „tetapi apabila ilmu silatku keliru tolong kamu beri petunjuk. ‘

Walaupun kedua nona itu menjadi anak anak tanggung. Mo Lek memandang mereka sebagai ahli-ahli silat, karena itu, ia bersilat dengan hati-hati. Ia memperlihatkan Liong Heng Kiam hoat, ilmu pedang Ujud Naga yang terdiri dari delapan kali delapan menjadi enampuluh-enam jurus, gerakannya keras dan cepat, hingga disam-ping sambaran anginnya, sinarnyapun berkilauan.

Ilmu pedang kedua nona bersifat lunak, ilmu silat „Paman” ini bersifat keras, akan tetapi kedua-duanya sama keindahannya. Apa yang beda yalah yang satu nampak halus, yang lain garang. Toh dua-duanya sama menarikhati ditontonnya. Hanya kedua nona itu, yang belum pernah melihat ilmu pedang demikian keras, menjadi kagum, hingga mereka menyaksikannya dengan mendelong.

Mo Lek tengah bersilat terus ketika dengan tiba-tiba ia mendengar pujian nyaring tapi merdu : ,,Bagus’ Ia terperanjat Ia rasa ia mengenali baik suara itu. Ketika ia melirik, ia melihat seorang nona lain lagi berdiri menonton dipinggiran. Dan ia mengenali Ong Yan Ie !

Tentu saja, ke empat mata bentrok, sinarnya hingga dua pihak lantas mendapatkan masing-masing pikirannya. Hingga dengan sendirinya, masing-masing merasa sama likatnya. „Paman bagus sekali ilmu pedangmu !” memuji kedua nona.

„Kau dengar, bukan cuma kita juga encie Ong memuji padamu!”

Kedua nona rupanya mengenal baik Yan Ie, maka mereka mencekal dan menarik tangannya nona itu, yang mereka panggil encie atau kakak. Sembari menarik nona yang satu kata

: „Inilah paman Ong, tamu kami yang baru saja tiba.

Ong Yan Ie menenangkan diri, ia tertawa.

„Orang tua mana dapat disamakan dengan anak-anak’ katanya. „Kamu baru mengerti kulitnya saja, lantas kamu menyombongkan di sana-sini. Orang tua tidak dapat berbuat demikian! Itu bukanlah berpura-pura, itulah merendah !”

Nona Ong membawa sikap tidak kenal Mo Lek dengan cara hormat seperti orang baru bertemu, Ia merangkap kedua tangannya sambil berkata : „Kiranya tuanlah tamu yang baru tiba ! Dapatkah aku mengetahui she dan nama besar tuan ?”

„Aku yang rendah she Ong bernama Siauw Hek,”‘ sahutnya seraya membalas hormat.

„Encie Ong kami ini juga lihay ilmu silatnya,” kata In Nio.

„Sering encie datang kemari memberi petunjuk kepada kami. Ya, maukah kamu berdua main-main sebentaran ? ‘

Louw Sie yang semenjak tadi berdiam saja, sekarang membuka mulutnya. Kata ia : „Inilah Ong Siocia mustikanya Lou Kok-kong, Ong Pek Thong. Ong Kongya ber-sama-sama Sie Tayjin me.ijadi menter menteri di dalam istana Raja, hubungan ke luarga mereka satu dengan yang lain pun erat sekali. Ong Siocia menjadi seorang nona bangsawan akan tetapi ia lemah- lem but dan manis budi terhadap semua oran tak perduli orang atas atau orang bawah Ada maksudnya Louw-sie berkata begitu. Ia menjelaskan tentang Yan Ie supaya Mo Lek mengetahui dan berhati-hati. Mo Lek sendiri sementara itu berpikir : „Kiranya Ong Pek Thong masih berada di kota Tiaig,an bahkan sekarang dengan anugerah An Lok San, dia menjadi seorang kok-kong. Dengan begini terang sudah Yan Ie belum berhasil membujuki ayahnya untuk mengundurkan diri . , . ”

Kok-kong. ‘Malah gelaran kebangsawan an raja muda atau hertog.

Yan Ie pun tertawa dan berkata : Lauw, Mama cuma memuji saja ! Tapi, kata-katanya barusan ada benarnya juga. Terhadap segala orang, aku bersikap sama, tidak memandang dirinya rendah asal orang berbuat baik terhadapku, aku juga tentu berbuat baik terhadapnya.:’ Toh selagi berkata begitu, diam- diam nona ini me lirik tajam kepada si anak muda.

Mo Lek melihat lirikan itu, yang ia ke tahui apa artinya.

Liap In Nio keluar manjanya. Ia lalu mendesak, meminta Mo Lek dan Yan Ie berlatih bersama-sama. Mo Lek sementara itu berpura-pura terperanjat.

,,Oh. kiranya puteri seorang bangsawan!” katanya. .,Aku seorang desa, mana berani aku bersilat dengan nona ?’*

Yan Ie berpuia tertawa: Ia kata : „Kau jangan dengari ocehannya kedua bocah ini ! Dengan kepandaianku yang tidak berarti, dapat aku main-main dengan mereka berdua tetapi tidak untuk melawan kau, tuan!”‘

In Nio putus asa. Tak berani ia membujuk terlebih jauh. Tidak demikian dengan Hong Sian, yang usianya lebih muda. Tapi ini ji.ga sesudah kewalahan, berkata pada Yan Ie : „Encie tidak mau bertanding dengan paman Ong, baiklah ! Tapi baru- baru ini encie telah menjanjikan aku, akan mengajari aku ilmu totok, hayo sekarang kau ajari V’

„Hari ini aku datang untuk melihat kamu berlatih,” kata Yan Ie. „Baru-baru ini juga aku cuma membilangi kau, untuk kau belajar ilmu totok, pertama-tama jeriji tanganmu harus kuat; dan kedua kau mesti mengerti ilmu mengerahkan tenaga- dalam. Sebenarnya kamu mesti memahirkan dulu ilmu. pedangmu, baru kamu dapat mempelajari ilmu totok. Bagus sekarang ada pamanmu ini, kau boleh minta dia ajari cara-cara untuk mencekal pedang dengan kokoh …”

„Sudah Hong Sian,” Louw-sie turut bicara pula, „jangan kau gembrengi lebih jauh pada encie Yan mu ini ! Lihat, cuaca sudah mulai guram, kalau sekarang kau tidak lekas pulang, tak tahu aku bagai nana haius bicara dengan ibumu !”

„Benar ! ‘ berkata Yan Ie. „Kau harus dengar kata-katanya Lauw Mama dan pulang dahulu. Akupun hari ini mempunyai urusan tidak dapat aku berdiam lama-lama dengan kamu disini.

„Encie Ong, kapan kau akan kembali ?’* In Nio tanya.

„Jikalau aku mau datang, dapat aku datang sendiri sembarang waktu,” sahut Nona Ong. „Asal orang yang aku sukai pasti aku akan datang menemuinya! Mungkin besok aku datang pula . . . ‘*

Berkata begitu sengaja atau tidak kem-kali ia melirik Mo Lek, terus ia bertindak.

Si anak muda berdiri diam. Ia tahu kata-kata nona itu lebih banyak ditujukan kepadanya. Karena ini, ia sampai lupa mengantar pergi pada nona itu.

Yan Ie sudah jalan dua tindak, ketika ia menoleh. lapun tertawa. Kata ‘a : „Di-dalam tahun ini, yang tampak cuma orang-orang lari pergi dari Tiang-an sebaliknya jarang orang yang datang, maka itu Ong1 Siang-kong. kau justeru orang yang datangi itu, Karena sekarang keadaan kacau kau harus berhati-hati. Sayang aku mau lantas pergi kalau, tidak, ingin aku mendengari keterangan mengenai segala sesuatu yang terjadi dilain tempat.” 

Mendengar itu, Louw-sie terperanjat. ..Ah. apakah dia telah ketahui rahasia Mo Lek ?” pikirnya.

In Nio sebaliknya lantas berkata : ,,Paman Ong telah memberitahukan aku bahwa ia tidak bakal lekas meninggalkan kota Tiarg-an, karena itu encie Ong, besok kau| datanglah pula ‘

Mo Lek bersandiwara, mska ia juga turut meminta nona Ong itu datang pula besok.

„Jikalau aku mau datang, tentu aku akan datang !’ katanya. Lantas ia bertindak pulang ia sendiri yang membuka pintu taman, untuk meninggalkannya Rupanya ialah tetamu kedua keluarga Liap dan Sie, yang biasa datang, maka juga ia nampak tidak asing.

Seberlalunya Nona Ong, Louw-sie mengajak Hong Sian pulang. Karena rumah kedua keluarga bertetangga, mudah buat Nona mundar mandir dipintu taman. Louw-sie tidak bicara lagi dengan Mo Lek, toh hatinya kurang tenang, maka juga selagi bertindak diambang pintu ia kata keras : ,Hayo jalan sedikit cepat, nona ! ‘ Maksud nya mendesak Hong Sian, tetapi Mo Lek tahu itu ditujukan kepadanya, supaya ia lekas menyingkir dari kota Tiang-an itu.

Hati pemuda ini menjadi kacau. Tidak ia sangka bahwa ia segera dapat bertemu dengan Yan Ie. Ia juga jadi mesti memikirkan perkataannya nona itu. „Dia kata tidak mau menemui aku pula, kenapa barusan ia bilang ia mau datang lagi ? Pula, ia memesan buat aku berlaku berhati-hati. Apakah maksudnya itu ?

Mestinya itu bukan pesan biasa saja..”

koankee yang dari keluarga Liap baik sekali. Ia melayani Mo Lek dengan telaten. Malam .itu ia menyuguhkan barang hidangan serta araknya. Ia membawa diri sebagai juga ialah bujangnya si tetamu.

Si anak muda menjadi malu hati. la. tarik tangan orang tua itu, buat diajak duduk dan minum bergama. Ia memanggil loo- pee. Karena sikapnya wajar, koankee itu suka menurut, dari likat, dia jadi biasa.

Karena pengaruh air kata-kata, sendirinya Mo Lek suka bicara. Begitulah ia kata: ,,Nona kamu, loo-pee benar-benar turunan keluarga orang peperangan, dialah seorang wanita jantan ! Dia masih kecil sekali, ilmu pedangnya sudah lihay ! Siapakah yang mengajarinya ! Liap Ciangkun biasa pergi berperang, bukankah ia jadi jarang berdiam di rumah ?”

„Mengenai itu ada suatu peristiwa aneh,” menjawab sikuasa rumah. ,,Memang ilmu pedang nonaku bukan ajaran ayahnya Itulah peristiwa diwaktu sinona baru berusia tiga tahun. Pada suatu hari nona tengah bermain-main dipintu depan. Tiba-tiba seorang pendeta wanita lewat didepan gedung lantas dia bermohon menghadap nyonya kami. Nyonya menyangka dia mau minta derma siapa tahu. dia berka: „Nona ini berbakat baik sekali ingin aku mengambil ia sebagai muridku. Tentu sekali nyonya menolak permintaan itu. Atas itu, sipendeta Kata. Jikalau nyonya tidak mengijinkan hendak aku membawanya pergi! ‘ Benarlah malam itu, nona lenyap tidak keruan paran sedangkan semua pintu dikunci dan nona pun tidur bersama nyonya diatas sebuah pembaringan. Karena itu nyonya menangis sedih berhari-hari. Lewat beberapa hari, barulah looya pulang Looya diberitahukan tentang hilangnya looya Lantas loya minta keterangan je’as. Setelah mengetahui lukisan sipendeta wanita, looya menghibur dengan berkata: „Pendeta itu orang berilmu luar biasa, kita boleh bersyukur yang ia suka dengan anak kita sebagai muridnya. Pil dalam halnya dia. kita mencari atau memintanya menjadi guru. anak kita juga sulit sekali. Itulah untung bagus dari In Nio. dan jangan bersusahhati.

Mendengar itu Mo Lek lantas tanya : „Apakah loopee tahu namanya pendeta wanita itu.

,.Aku tidak tahu sebab majikan kami tidak pernah menyebutnya. Aku cuma menerka dialah bukan sembarang pendeta. Aku tidak “berani menanyakannya Sejak itu lima  tahun sudah lewat. Tergan begitu usia nona sudah masuk delapan tahun. Pada suatu hari, nona diantar pulang. Sipendeta kata bahwa nona sudah diberikan dasar yan sempurna hingga buat selanjutnya dapat ia berlatih sendirinya. Mulai waktu itu, sipendeta datang hanya satu tahun satu kali Sekarang ini sikap terhadapnya betobah lain sekali sekarang asal dia datang. dia  di sambut masuk kedalam dan dilayani dengan hormat dilayani nona sendiri. Aku menjadi kuasa rumah disini akan tetapi jarang aku melihat pendeta wanita itu

,,Jadi ilmu pedang sinona ialah ajaran nya sipendeta wanita itu ? Mo Lek tanya

“Mungkin aku juga mendengar nona Sie memanggil suhu padanya. Tapi aku tahu sejak kecil sampai besar. Nona Sie belum pernah lenyap seperti nona kami Barang kali Nona Sie memanggil meng.kuti nona kami saja. Kita kedua keluarga, kita menia di tetangga baru selama beberapa tahun yang terakhir ini. „Aku lihat, kedua nona itu seperti juga saudara kandung satu dengan lain.’ kata lagi Mo Lek.

„Memang Nona Sie sangat cerdas, loova dan nyonya kami menyayanginya seperti anak sendiri, ‘ kata sikoan kee.

Mo Lek tertawa.

„Toh wajar bukan orang tua menyayangi anaknya ? katanya.

„Kenapa kau berkata begini ?” Pengurus rumah itu mengawasi.

.Siangkong, kau bukannya orang luar, bolehlah aku bicara padamu. kata dia, „Nona Sie sebetulnya bukan anak kandung dari looya dan nyonya kami. Turut kabar ayah nona Sie ialah seorang pembesar dari kerajaan Tong, yang telah dianisya raja yang sekarang. Tatkala itu. raja masih menjadi Samtin “Ciat- touwsu. dan sie Ciangkun bekerja dibawah perintahnya Ah, inilah kata kata yang seharusnya aku tidak omongkan kepada” orang luar. Siangkong sudah menda pat tahu, aku hirap siangkong jangan o-mongkan lagi kepada oraag lain . . .

„Jangan kuatir loopee sahut Mo Lek cepat suaranya tetap.

,Aku akan menjaga mulutku rapat kuat seperti mulut botol tefsumbat tidak nanti aku membocorkan rahasia !”

Tentu sekali kuasa rumah ini tidak tahu sianak muda sudah ketahui duduknya hal. hebab teranglah Sie Hong Sian, atau Nona Sie itu, sebenarnya ialah Su Jiok Bwee, anaknya Su lt Jie atau Louw-sie, Dengan melihat gerak-gerik Louw-sie terha- adap Hong Sian Mo Lek sudah lantas dapat menerka. Sekarang ia memperoleh kepastian.

Didalam tempo yang pendek itu Mo Lek sudah ketahui cukup banyak Tentang kedua keluarga Sie dan Liap ini. supaya tidak mendatangkan kecurigaan ia tidak menanya lebih banyak pula. Ia pula, tidak menanyakan urusan Louw-sie pribadi. Habis bersantap malam, kira jam dua, sikoankee mengajak tetamunya masuk keka marnya untuk beristirahat. Mo Lek mendapat kamar didekat tamim di atas louwteng sedang sikoankee tidur diba-vvah Dia ini selalu mesti siap sedia supaya dia bisa senantiasa melayaai tetamu itu. &a tr.ar itu terpisah cukup jauh dsri rumah Keluarga Sie.

Tidak tenang hati Mo Lek maka ia tidak bisa lantas pulas.

,Inilah sulit demikian pikirnya. „Louw sie tidak mau berlalu dari sini dan ia juga melarang aku pergi kepadanya. Kalau begitu aku berdiam terus disini ? Aku tidak -angka bahwa Ong Yan Ie juga suka datang kepada kedua keluarga ini. Dia telah ketahui aku berada disini, aku kuatir dia pun nanti menyulitkan aku . . .

Mo Lek tahu pasti, tidak nanti Yan Ie membikin ia celaka jadi ia bukan takut si aona membuka rahasianya ia hanya kuatir nona nu nanti melihat pula padanya hingga ia bakal jadi pusing kepala.

,Tapi mana dapat aku segera berlalu dari sini ?” pikirnya pula. .,Khong Khong Jie minta aku menyampaikan pesan nya kepada ko-thio dan ko-thio bakal lekas datang kemari jikalau aku pergi, mana bi-sa aku menemuinya ? Louw-sie pula menyebut bahwa didalam hari-hari yarg mendatang ini bakal terjadi sesuatu yang besar Peristiwa spakah itu? Baiklah akan aku tetap berdiam disini sampai beberapa hari lagi. Jikalau nyonya itu membutuhkan bantuan dapat aku membantunya!

Selagi ia berpikir keras ini Mo Lek mendengar ketukan pada jendela kamarnya, lalu sebelum ia tahu mesti berbuat apa. ke dua daun jendela sudah terpentang dari luar tampak lompat masuknya seorang wanita yang memakai topeng. Ia lantas mengenali Yan Ie. Hanya ia tidak sangka orang datang cepat luar biasa ! Setelah mengawasi sekian lama sianak muda mendahului membuka suara.

„Kau . . kau . . katanya: „Kenapa kau datang tengah malam buta-rata ini?

Yan Ie ter awa. “Kau legakan hati, jangan kuatir!” kata nya.

„Tidak akan ada orang yang melihat kita ! Sikoankee juga sudah tidur nyenyak bagaikan bangkai hidup sebab aku telah totok padanya, sebelum matahari naik tinggi, tak nanti dia sadar !

„Kau mempunyai urusan apa?” Mo Lek tanya. „Tak dapatkah kau menanti sampai besok ? Ah, kau tidak mengarti maksudku .

. . ! ‘

Yan Ie melengak, wajahnya merah.

„Apakah kau memberati adat istiadat yang melarang pria dan wanita sembarang bertemu muka ?” tanyanya. „Hm ! Memang nya kau patudang aku orang macam apa ? Meski aku berasal Rimba Hijau aku bukannya si perempuan hina dina !”

Sekarang Mo Lek yang merah mukanya Tak dapat ia menampik lagi siona itu. la membiarkan nona itu mengambil tempat duduk.

Si nona mendongkol, sekian lama ia berdiam terus.

„Maaf nona, kata Mo Lek. „Aku polos tak pandai aku bicara. Aku hanya kuatir, kalau pergaulan kita terlalu erat apabila Tian Toako mendapat tahu. nanti terbit salah paham. Kau tahu tidak, Tian Toako pergi mencari kau kemana-mana ?”

Alisnya Yan Ie terbangun.

„Urusanku itu. tak usah kau ambil tahu !” katanya. „Kau mesti perhatikan urusanmu sendiri ! Kau harus berhati-hati, kau tahu ! Hm ! Jikalau bukannya aku tidak tega melihat kau nanti menghadapi bencana tak sudi aku datang kemari ! Apakah kau sangka aku datang untuk menemuimu saja? Tidak Kau jangan kuatir, selewatnya malam ini, tidak nanti aku datang mencari pula padamu !”

Mo Lek menatap.

„Aku menghadapi antara bencana apakah ?” ia tanya.

„Mustahilkah ada orang yang tahu bahwa aku telah datang ke kota Tiang-an ini dan orang itu sudah lantas memberi laporan rahasia kepada sipembe-rontak she An ?”

Sekarang ini An Lok San lagi kegilaan menjadi raja dia lagi membuat pesta didaJ lam istananya, urusan apa juga dia tidak pedulikan ! ‘ kata si nona. ,,Yang kuatirkan ialah lain orang, yang ingin mencelakai kau ! Sekarang lebih dahulu hendak aku tanya kau, mau apa kau datang ke Tiang-an ini ?”

„Untuk melihat keadaan disaat kacau dari kota ini !” sahut Mo Lek. ..Untuk menyaksikan kawanan iblis menari-nari kalang kabutan!

„Hm ! Aku tahu. tidak nanti kau omong terus terang padaku

! Tapi, dapat aku menerka satu atau dua bagian ! Bukankah raja Tong mengutus kau kemari buat membunuh.secara diam- diam pada An Lok San?’

Nona ini percaya dia cerdas sekali tetapi dia menerka keliru.

,.Oh ! kata Mo Lek, „jadinya kau kua tir tenagaku tidak cukup hingga aku men-J jadi seperti siselatu yang menyerbu api ?j Kau kuatirkan aku melempar diri kedalam jaring perangkap ?”

Yan Ie tidak menjawab, hanya ia kata: . Ada satu orang ! Entah kau kenal dia atau tidak ! Dialah orang yang pada tiga puluh tahun dahulu ternama terkenal seperti kakek guruku. Tian Hui Liong sihantu besar! Dialah Cil Pouw Twie-hun-cu Yang Bok Lauw ! ” Mendengar nama itu, Mo Lek kaget hingga mukanya menjadi merah padam, sedang matanya segera menjadi bersinar berapi. Kata dia gusar sekali : „Yang Bok Lauw ! Jadi hantu besar itu masih hidup dida lam dunia ini ?”

„Adakah dia itu musuhmu ?” ia tanya „Pantas dia saban- saban menanyakan aku tentang kau …”

Mo Lek menyabarkan diri, menetapkan hati.

„Sekarang dimana adanya hantu besar itu ?” tanya ia.

„Dia berada didampingnya An Lok San” sahut Yan Ie. „An Lok San telah mengundang dan mengangkat dia menjadi Tayswee Congkoan ! Kemarin dulu dia masih membicarakan kau dengan ayahku.”

„Apakah kata dia ? Apakah dia menghendaki jiwaku ‘

„Mendengar suaranya, dia benar menghendaki itu. Dia kata

… dia kata … Ah lebih baik aku tidak menyebutkannya. Baik lah kau berhati-hati ! Dia sudah tahu kau telah meninggalkan rajamu, dan dia telah menerka bahwa kau bakal datang ke kota Tiang-an ini . . .

Memang kemarin ini, selagi Yang Bok Lauw dan Ong Pek Thong berbicara dan me nyebut Mo Lek, Yan Ie kebetulan ada bersama dan mendengar pembicaraan itu. Ketika Qng Pek Thong bicara dari hal ambruk nya gunung Hui Houw San, Yang Bok Lauw menggeprak meja dan berkata nyaring : „Sayang ! Sayang ! Kau telah membinasakan kelima Harimau dari Keluarga Touw, kenapa kau tidak membabat rumput sambil meng gali juga akar-akarnya ? Kenapa kau bikin lolos si bocah haram jadah “anaknya liat K-a n Lun ?

„Hari itu aku meraniang mukanya khong Khoag Jie,’ kata Ong Pek Thong „Sekarang ini mau menyesalpun sudab ka sip !

Bocah itu telah turut Mo Kerg Lojin hingga dia memperoleh kepandaian yang berarti. Didalam segala hal dia memusuh- kanku !”

„Sudab, saudara Ong, jangan kau berduka,” kata Yang Bok Lauw. ,,Aku juga tidak dapat membiarkan bocah itu hidup ie- bih jama pula ! Aku dengal kabar dia telah diusir raja Tong, tetapi aku bersangsi. aku mau menduga itulah mungkin akal be-ilaka. Mungkin itulah Kouw Jiok kee, tipu muslihat mempersakiti diri sendiri. …’

„Kouw Jiok-kee ?” tanya Ong Pek-Thong. „Mungkinkah dia datang untuk ber pura menghamba kepada junjungan kita?”

„Mungkin dia tidak berani memakai akal berpura menakluk itu,” kata Yang Bok Lauw. „Aku lebih percaya dia masuk nelu-

«up, untuk secara menggelap mencoba me-lakukan pembunuhan…..”

Kata Ong Pek Thong kemudian: „Banyak orangku yang kenal Tiat Mo Lek, nan ti aku beri perintah supaya meTeka memasang mata Cuma kalau nanti sudah keta* huan dia benar datang dan berada dima-na, saudara, aku mau minta bantuan kau, supaya kau yang membereskan dengan tanganmu sendiri!”

Demikian, pembicaraan yang Yan Ie dengar, tetapi sebab ia tidak mau membi-langkan peristawa lama digunung Hui Ho-uw San itu, supaya Mo Lek jangan ingat pula tentang sakithatinya, ia jadi sudah bicara ringkas saja. Memang ia takut Mo Lek coba membunuh An Lok San Kalau itu sam pai terjadi, pasti Mo Lek bakal bertemu Yang Bok Lauw. Itulah berbahaya Karena itu juga, tanpa menghiraukan urusan pribadi mereka, sekarang

….malam-malam…..ia mencari Mo Lek untuk menyampaikan ki- sikannya ini sekalian ia menasehati su-paya sianak muda meninggalkan kota Tiang an.

Tapi Mo Lek justru menjadi gusar. Ia sampai menepuk meja. ..Baiklah!” serunya. „Dia menghendaki jiwaku ! Aku juga sustru mengingini jiwanya.1″

Mo Lek menjadi sangat gusar sebab Yang Bok Lauw itu musuh besarnya…orang yang telah membunuh ayahnya!

Pada duapuluh lima tahun yang lampau, Tiat Kun Lun masih menjadi pemimpin dari gunung Yan San. Pada suatu hari, dibentengnya, ia kedatangan seorang tetamu yalah Yang Bok Lauw. Kedua pihak tidak kenal baik satu pada lain, tetapi mereka saling mengenal nama masing masing. Tetamu itu disambut dengan baik, malamnya di adakan perjamuan untuknya

Tengah minum arak, kedua belah pihak bicara juga tentang ilmu silat.

„Saudara Tiat” kata Yang Bok Lauw. kepandaian silat luar dari kau sangat mahir, apakah Vau pernah menemui orang yang dapat menaudingirau? ‘ kata Tiat JCun Lun: saudara terkenal sebagai Cit Puo Cwie Hun Ciu, maka terhadap kau, aku pasti kalah!” Yang Bok Lauw tertawa nya-riag. Senang ia mendengar julukannya disebut sebut. Julukannya itu berarti

,,Tujuh tiacak mengejar arwah.”

„Saudara Tiat memuji terlalu tinggi! kata dia. „kata berdua…..Yang satu ahli Luar. yang lain ahli Dalam. . .Aku kuatir sukar dicari keputusan siapa yang terlebih mahir kepandaiannyaamenggunai tangannya Tiat tun Lun merendah tetamunya ber jumiwa, karsna pengaruh arak, Tiat tun Lun menjadi tidak sabaran.

‘„Jikalau begitu, mari kita mencoba-coba,tantangnya.

Inilah kabetulan untuk Yang Bok Lau. Dia memang datang dengan niat mengadu kepandaian, guna menguji raja gunung Yan San itu. Bagus tantangan keluar dari mulut lapi ia berpura merendah, kata dia: “Pelajaran kita berlainan pokoknya kita cuma harus saling berlatih saja untuk mem peioleb kemajuan. Cuma ada satu hal, yang aku buat kuatir. Kepandaian kau, saudara, pokok keras, sedang pelajaranku, bersifat lunak. Pula pelajaranku telah dilatih sela ma beberapa puluh tahun! Bukannya aku jumawa, sampai sekarang ini, belum pernah aku bertemu lawan. Jikalau kita berlatih, lalu terjadi kesalahan ada yang luka…..syukur kalau aku yang t-rluka, tapi bagaimana seandainya saudara?”

Dibawah pengaruh air kata kata, Tiat Kun Lun tidak berpikir banyak. Ia tertawa terbahak bahak.

„Jangan kau kuatir saudara Yang!” katanya. „Memang sudah lama aku mendengar kepandaian saudara ingin aku mercobanya, jangan kata baru terluka, biarnya arwahku dikejar, dibetot, aku tidak akan sesalkan kau! ‘

Yang Bok Lauw girang sekali

Lantas keduanya mengadu kepandaian diruang pesta itu. Semua tauwbak besar dan kecil, semua rakyat gunung berdiri diseki-tar gelanggang untuk menyaksikan. Semua berdiam.

Tiat Kun Lun telah menggunai tenaganya, semua pukulannya hebat sekali, anginnya keras, tembok sampai bergoncang. Siapa terkena angin pukulan, dia seperti tertolak, dia mesti mundur dengan terpaksa.

Yang Bok Lauw sebaliknya. Dia selalu bersikap sabar. Selalu dia berkelit mundur, atau nyamping.

-oo0dw0oo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar