Kisah Bangsa Petualang Jilid 16

 
Jilid 16

Dia membuat hancur sepotong batu besar hingga batu itu pecah berhamburan hancurannya menyamber kalang kabutan mirip senjata-senjata rahasia, menyamber ke arah Khong Khong Jie.

Itulah hebat. Khong Khong Jie memperdengarkan seruan nyaring. Dengan berlompat tinggi, ia menghindari diri dari pelbagai batu itu, dengan pedangnya, ia melakukan pembelaan diri. Maka berulang kali pedang bentrok dengan batu mengasih dengar suara nyaring beruntun-runtun, terus jatuh ke tanah bagaikan hujan.

Setelah itu, Khong Khong Jie bersiul lama, tubuhnya berjumpalitan, hingga kepalanya menjadi di bawah dan kakinya di atas. Dengan cara itu ia menyerang dengan pedangnya, yang berkelebat dalam sinar perak.

We Wat juga dengar seruan bagaikan guntur, dengan sebelah tangannya ia menyerang, menyambut terjangan lawan itu. Dapat dimengerti jikalau ia telah mengerahkan tenaganya.

Akibatnya itu ialah rubuhnya Khong Khong Jie melesat lewat di atasan kepala Hong-kay si Pengemis Edan, bagaikan tubuhnya Ceng Ceng Jie tadi, tubuh itu melayang terus ke arah lembah! Segera juga dari dalam lembah itu terdengar suara ini, "Tua bangka yang telengas! Ingatlah, gunung hijau tak ubahnya, air biru mengalir tak putusnya! Pukulanmu ini akan aku ingat baik- baik! Lain kali akan aku minta belajar kenal pula dari kau!"

Suara itu rada parau, tetap toh terdengarnya tegas.

Mendengar itu, hati Lam Ce In menggetar. Barusan pun hatinya benar-benar. Ketika ia menoleh kepada We Wat, ia menjadi tercengang. Ia mendapatkan bajunya Hong-kay berlepotan darah, mukanya pucat sekali dan jenggotnya yang panjang bergemetar, romannya sangat kucel. Dengan lantas ia lompat menghampirkan, guna mempepayang.

"Lo-cianpwe, kau kenapa...?" tanyanya bingung. Jago tua itu menghela napas.

"Inilah yang pertama kali aku si pengemis tua roboh," sahutnya, berduka. "Lukaku tidak berarti hanya hatiku yang terasa sakit sekali..."

We Wat menganggap Khong Khong Jie berlaku sangat telengas, maka itu, ia menyambut dengan pukulannya itu, walaupun demikian tidak ada niatnya merampas jiwa orang, sambutannya dimiringkan sedikit. Ia merasa, sambutan itu sudah cukup buat membuat Khong Khong Jie terpental  mundur.

Siapa tahu, Khong Khong Jie liehay diluar sangkaan, dari itu, kesudahannya mereka rusak dua-duanya. Lukanya Khong Khong Jie bukannya ringan, tetapi ia pun terlukakan panjang tiga dim...

Khong Khong Jie tidak tahu We Wat berlaku murah terhadapnya, karena itu, dia mengutarakan penasarannya dengan mengatakan si jago tua telengas dan dia mengancam untuk menuntut balas kelak dibelakang hari. Lam Ce In memeriksa luka jago tua itu, hatinya lega. Ia mendapat kenyataan luka itu tidak parah. Ia turut merasa menyesal. Maksud baik dari jago tua ini nyata diterima salah oleh Khong Khong Jie.

"Sudahlah, lo-cianpwe" ia menghibur. "Lo-cianpwe bermaksud baik tetapi dia temberang, maka sudah cukup dia menerima ajaran itu. Tak usah lo-cianpwe berduka karena sikapnya yang kurang ajar itu, dia seperti mencari penyakit sendiri."

"Khong Khong Jie menjadi satu soal," kata We Wat, menarik napas. Masih saja ia berduka. "Aku juga menyesal buat sikapnya Hong-hu Siong dengan siapa aku mempunyai persahabatan beberapa puluh tahun. Dengan begini didalam cuma satu hari habis sudah persahabatan itu... Aku menyesal sekali yang dia tak mau datang kemari untuk memenuhkan janji. Tak datangnya itu membuktikan bahwa dialah benar orang yang membinasakan Kie Tie sahabatku itu. Sebenarnya kami ketiga pengemis, kami menjadi seperti saudara-saudara kandung, tetapi karena urusan Kie Lojie ini, ada kemungkinan aku bakal membunuh dia!"

Lam Ce In terperanjat. Ia lantas ingat suatu apa.

"Lo-cianpwe," katanya, "Apakah lo-cianpwe masih ingat itu cincin besi yang barusan Khong Khong Jie perlihatkan pada lo- cianpwe? Aku merasa sangsi mengenai cincin itu, aku heran..."

We Wat melongo.

"Apakah yang aneh?" dia tanya.

"Cincin semacam itu pernah aku melihatnya," sahut Ce in. "Itulah cincinnya Hong-hu Siong." "Benar!" berkata We Wat. "Karena aku kenal cincin itu sebagai miliknya Hong-hu Siong, aku menjadi menyangsikan perkataannya Khong Khong Jie itu."

"Lo-cianpwe tahu, cincin itu pernah dikasihkan Hong-hu Siong kepada seorang lain," kata Ce In pula.

"Kepada siapakah diserahkannya?" tanya We Wat.

"Dia memberikannya kepada Toan Kui Ciang." Jago tua itu menjadi heran.

Lam Ce In pikir hendak memberi penjelasan hal diserahkannya cincin itu, tetapi We Wat mendahulukan berkata padanya, "Lam Hiantit, kau tahu satu tidak tahu dua. Sebenarnya cincin itu sepasang dan akulah yang memberikan kepada Hong-hu Siong."

Ce In pun menjadi heran, maka ia mengawasi orang tua itu. "Pada tiga puluh tahun dulu," berkata We Wat, memberi keterangan, "Ketika aku lagi berada di wilayah Hwe Kiang, aku mendapatkan sepasang cincin itu. Katanya itu miliknya seorang raja setempat, bahwa cincin itu mempunyai khasiat mengusir pengaruh-pengaruh jahat. Dari istana raja, cincin itu terjatuh ke dalam tangannya seorang kepala suku. Aku telah melepas budi kepada kepala suku itu, untuk membalasnya, dia memberikan itu padaku. Lalu aku memberikannya pula kepada Hong-hu Siong. Karena itu, tak dapat kau menyangka Khong Khong Jie main gila. Hanya aku tidak mengerti kenapa Hong-hu Siong menceraiberaikan sepasang cincin itu dan memberikannya satu kepada Toan Kui Ciang. Itulah aneh! Kau bersahabat erat dengan Toan Kui Ciang, tahukah kau sebabnya itu?"

"Aku tahu ada sebuah cincin lagi yang segalanya mirip dengan cincin itu," kata Ce In, "Dan cincin itu tidak berada di tangannya Hong-hu Siong..." We Wat tak mengerti. "Bagaimana itu?" tanyanya.

Lam Ce In lantas menutur halnya dulu hari itu Toan Kui Ciang dikejar-kejar orang-orangnya An Lok San, bahwa karena terluka parah, Toan Kui Ciang sampai pingsan dan tak ingat suatu apa, tetapi di dalam kuil tua itu dia bertemu dengan Hong-hu Siong, yang menolongnya mengusir musuh, habis mana, bukan saja Hong-hu Siong menolong memberikan obat tetapi juga memberikan cincinnya itu. Hong-hu Siong tahu Toan Kui Ciang tidak mudah menerima budi orang, maka juga cincin diberikan dengan dimasuk ke dalam jeriji tangan selagi Kui Ciang belum sadar.

"Karena Toan Kui Ciang lagi pingsan, Hong-hu Siong kata padaku, 'Aku minta pertolongan kau untuk disampaikan kepada Toan Tayhiap, yaitu kalau dibelakang hari dia bertemu dengan satu orang dan orang itu memakai sebuah cincin yang sama dengan cincin ini, sukalah dia memandang kepada mukaku, supaya suka dia menaruh belas kasihan pada orang itu.' Demikianlah sepasang cincinnya Hong-hu Siong itu, yang satu berada di tangan Toan Kui Ciang, yang lain berada di tangannya seorang yang aku tidak tahu siapa. Inilah sebabnya aku merasa aneh sekarang."

We Wat turut menjadi heran, hingga ia berpikir keras. "Tetapi aku ingat benar cincin itu, tak salah lagi, itulah cincin yang dulu hari aku berikan kepada Hong-hu Siong," katanya selang sejenak. "Dari mana Khong Khong Jie mendapatkan cincin itu? Dia bolah mencuri atau bagaimana?"

"Khong Khong Jie sangat kesohor buat kepandaiannya mencuri, di kolong langit ini tidak ada tandingannya," kata Ce In. "Maka itu aku kuatir... aku kuatir..." "Kau kuatir cincinnya Toan Kui Ciang telah dicuri Khong Khong Jie?" tanya We Wat. "Itu mungkin terjadi. Kalau Khong Khong Jie mau mencuri, dia pasti berhasil tak perduli cincin berada di tangan siapa. Cumalah... Tentang janji pertemuan di antara aku dan Hong-hu Siong ini, yang ketahui cuma tiga orang. Kecuali aku bersama Hong-hu Siong, orang yang ketiga itu ialah orang yang aku suruh menyampaikan pesanku..."

"Siapakah orang itu?"

"Dialah seorang muridku yang aku paling percaya. Tidak nanti dia membocorkan rahasia. Kecuali Hong-hu Siong yang memberitahukan sendiri, tidak mungkin Khong Khong Jie mendapat tahu itu..."

Keduanya berdiam, sama-sama mereka berpikir. Mereka heran sekali.

"Sudahlah," kata We Wat kemudian. "Sekarang baik aku pulang dulu, untuk menanyakan muridku itu, apabila aku tidak memperoleh penjelasan, baru nanti aku pergi ke Kiu-goan menjengukmu, buat membantui kau mencari Leng Soat Bwe ibu dan anak."

Ce In bingung hingga ia tak dapat berpikir lain. "Baiklah," katanya tak berdaya.

Keduanya lantas berdiam, sampai terang tanah, baru mereka berpisahan. Ce In menghaturkan terima kasih kepada jago tua itu. Ia menunggang kuda jempolan, besoknya magrib ia sudah tiba kembali di Kiu-goan, di kantor Thaysiu. Karena cuaca sudah gelap, tak mau ia mengganggu Kwe Cu Gie, dari itu ia menuju langsung ke tempat kediamannya.

Tiat Mo Lek lekas-lekas keluar menyambut, waktu ia dikabarkan kembalinya suheng itu. "Eh, bagaimana, suheng?" tanya sutee ini heran. "Kenapa kau tidak datang bersama dia?"

Menanti jawaban, Mo Lek memandang suheng itu. Maka ia terkejut melihat wajah suram dan kucai. Beda daripada waktu perginya, gembira luar biasa, sekarang orang seperti lagi menderita sakit...

"Suheng, bagaimana?" ia menanya pula.

Ketika itu Ce In terbengong, sebab pikirannya sangat kusut. "Ceritaku panjang, mari kita bicara di dalam saja," kata

suheng itu kemudian.

Mo Lek menurut, mereka lantas masuk. Dengan sabar Ce In menuturkan pengalamannya yang hebat dan diluar dugaan itu.

"Kalau begitu, mesti peristiwa ini ada hubungannya dengan si bangsat cilik she Ong!" berkata Mo Lek, yang terus berpikir. "Suheng, mari kita pergi ke lembah Liong Bin Kok untuk mengacau, guna membuat mereka kacau mirip langit ambruk bumi amblas!"

Ce In tertawa meringis.

"Kita terpisah ribuan lie dari Liong Bin Kok, enak saja kau membilang mau pergi lantas pergi?" katanya. "Sekarang pun urusan tentara begini genting. Kita harus mendengar perintahnya Kwe Thaysiu, tak dapat kita lancang bergerak."

Mo Lek terpaksa menurut.

Malam ini Ce In berpikir keras sekali, hatinya sangat berkuatir, dari itu sukar ia mendapat tidur pula. Ia menghibur diri dengan berkata, mengingat kegagahannya Soat Bwe dan Leng Song tak nanti mereka itu terjatuh ke dalam tangannya Keluarga Ong. Ia pun menghiburi diri, andaikata Leng Song jatuh di tangan Liong Kek, tidak nanti si nona sudi menyerahkan diri, karena itu lama-lama ia merasa juga sedikit lega dan tentaram.

Kwe Cu Gie telah lantas mendapat tahu Lam Ce In sudah kembali, baru terang tanah ia sudah mengundang orang dan adik seperguruannya itu datang ke kantornya. Dilain pihak, sebagai seorang, yang berpengalaman, ia mengerti perjalanannya Ce In itu mestinya gagal. Ia telah diberitahukan bahwa orang gagah itu lesu dan muram...

Maka itu, melihat orang muncul, ia tidak menanyakan urusan kepergian Ce In, hanya sembari bersenyum ia bilang, "Sekarang ini masanya negara menghadapi kesukaran, sekarang ialah saatnya bangsa lakilaki sejati berbuat sesuatu untuk negara! Maka itu urusan rumah tangga bolehlah dikesampingkan dulu. Lam Ciangkun, kau kembali pada saat yang tepat!"

"Adakah telah terjadi pula perubahan baru?" tanya Ce In. "Keadaan sangat genting," berkata Kwe Cu Gie. "An Lok San

ini lantaran putera sulungnya dihukum mati oleh Pemerintah Agung, melakukan penyerangan dengan hebat sekali. Begitulah kabarnya seluruh pasukannya Ciat-touw-su di propinsi Hoolam sudah ludas semuanya, sedang angkatan perangnya Hong Siang Ceng, yang ditugaskan membasmi pemberontakan, sudah buyar kacau balau, hingga dia dikabarkan telah mundur ke kota Tong-kwan."

Warta itu memang hebat.

Kwe Cu Gie menjelaskan lebih jauh, "An Lok San mempunyai dua orang putera. Putera sulung Keng Cong. Putera bungsu Keng Sie. Keng Sie tinggal di Hoan-yang membantui ayahnya. Keng Cong tinggal di kota raja, menjadi kun-ma, ialah suami dari Eng Bun Kuncu, keponakan perempuan dari Sri Baginda Raja. Berhubung dengan pemberontakannya An Lok San, Keng Cong dihukum mati. Dia dikuatir nanti membantu ayahnya dan menjadi pengkhianat di bagian dalam. Karena ini isterinya, Eng Bun Kuncu, diberi kelonggaran dengan mati membunuh diri. An Lok San gusar sekali mengetahui kebinasaan puteranya itu. Dia sesumbar, 'Kau telah membunuh seorang anakku, hendak aku mengilas-ilas kota Tiang-an, untuk membunuh habis semua menteri militer dan sipil di dalam istana!' Lalu dia membiarkan tentaranya membasmi rakyat di mana saja mereka tiba dan lewat, hingga umpama kata, ayam dan anjing juga tidak dikasih tinggal hidup. Pemerintah telah mengirim dua angkatan perang besar untuk membasmi pemberontakan Ang Lok San itu. Angkatan perang yang pertama dipimpin Hong Siang Ceng, Ciat-touw-su yang baru dari Hoan-yang dan Peng-louw. Dia ini mempunyai enam puluh ribu serdadu baru dengan kedudukan di Hoopak. Angkatan perang yang lainnya dipimpin Tayciang Ko Sie Han, tentaranya tentara campuran orang Han dan Ouw dengan kedudukan di kota Tong-kwan, buat menjadi tameng bagi kota Tiang-an. Masih ada lagi satu angkatan perang lain dibawah pimpinan Ciat-touw-su Thio Kay Jian dari propinsi Hoolam, tentaranya terdiri dari tentara gabungan tigabelas kota di sekitar Tin-liu. Angkatan perang ini untuk Hong Siang Ceng. An Lok San maju terus. Hong Siang Ceng kucarkacir dan mesti berlindung kepada Ko Sie Han di Tong-kwan. Sri Baginda gusar dan menyuruh Ko Sie Han menghukum mati pada Siang Ceng."

Darahnya Ce In naik mendengar kemajuannya Lok San itu. "Kalau begitu tak dapat kita berdiam saja!" katanya

penasaran. "Leng-kong, apakah Pemerintah Agung memerintahkan leng-kong untuk turun tangan?"

"Inilah soal yang hendak aku damaikan dengan kau," menjawab Kwe Cu Gie. "Baru kemarin datang perintah dari Sri Baginda menitahkan aku bersiap sedia, buat bergerak dengan mengimbangi salatan. Musuh sedang mendapat hati, kalau kita hanya membela diri, itu merupakan ketika baik baginya menerjang kita. Sebaliknya, kalau kita maju, kita sedikit musuh besar, aku menyangsikan kemenangan kita. Menjaga salah, menyerang salah, habis bagaimana baiknya?"

"Thio Thaysiu di Hoay-yang sudah siap sedia, baiklah leng- kong ajak dia bekerja sama," Ce In usulkan.

"Baik dengan Thio Sun dari Hoay-yang dan Gan Cin Keng dari Peng-goan, aku sudah membuat perjanjian," kata Kwe Cu Gie, "Hanya tetap jumlah kita masih kecil sekali."

Tiba-tiba Tiat Mo Lek campur bicara. Ia kata ia mempunyai satu pikiran entah itu dapat dijalankan atau tidak.

"Saudara Tiat, coba utarakan pikiranmu itu," kata Kwe Cu Gie. "Kau tahu sendiri, pikiran seorang pendek, pikiran dua orang panjang. Kita selamanya harus saling mengutarakan."

"Bagaimana kalau ada satu pasukan, yang menerjang musuh dari belakang?" Mo Lek tanya.

"Pikiran ini baik! Hanya dari mana datangnya pasukan untuk itu?" tanya Kwe Cu Gie. "Kalau kita mengirimnya dari sini, mana bisa pasukan itu melintasi wilayah penjagaan musuh yang lebarnya beberapa ribu lie?"

"Itu benar, tayjin. Tapi di dalam wilayah Yu-ciu ada sebuah gunung Kim Kee Nia, dimana ada Cecu Sin Thian Hiong yang aku kenal baik. Dia gagah dan setia, dia bersedia bekerja untuk negara. Ketika An Lok San dan Ong Pek Thong berkongkol, Thian Hiong yang membeber rahasianya. Banyak jago Rimba Hijau yang dibeli Lok San tetapi dia tidak. Dia pernah membilangi aku, asal tenaganya dibutuhkan, ia bersedia memberikannya. Soalnya ialah apa tayjin sudi atau tidak menerima kaum Jalan Hitam itu..." Kwe Cu Gie tertawa. "Asal dia setia kepada negara, aku tak ambil mumat, dia orang Jalan Putih atau Jalan Hitamf" kata Thaysiu ini. "Siapakah rakyat yang tidak ingin hidup aman dan berbahagia? Ada banyak orang jahat tetapi mereka karena terpaksa. Ini sebabnya, terhadap mereka yang dikatakan jahat itu, aku selalu bersedia memberikan ketika. Kalau ada orang Rimba Hijau sebagai dia dan dia rela digunai olehku, tentu sekali suka aku menerimanya.'"

Mo Lek menjadi girang sekali.

"Jikalau begitu, Tayjin," katanya, "Tolong Tayjin memberikan aku sepucuk surat untuk mengangkat dia, supaya dia dapat mengubah pasukan dari Kim Kee Nia menjadi satu pasukan sukarela. Aku percaya, meski belum tentu dia bakal berhasil merampas kemenangan, sedikitnya dia dapat dipakai mempengaruhi An Lok San."

Kwe Cu Gie lantas berpikir.

"Meski dia tentara sukarela, dia membutuhkan pimpinan," katanya kemudian. "Lam Hiantee, aku minta sukalah kau bersama saudara Mo Lek pergi mewakilkan aku ke Kim Kee Nia untuk mengangkat Sin Thian Hiong menjadi panglima yang memimpin pasukan di garis belakang musuh. Kepadanya harus diterangkan, kecuali rombongan dari Kim Kee Nia sendiri, dia dapat menerima rombongan Rimba Hijau yang mana saja asal yang benar-benar suka bekerja untuk negara. Apa yang aku harap, saudara, supaya kau berhasil mengumpulkan pelbagai kemenangan yang gilang gemilang."

Ce In setujui sekali pikiran Thaysiu itu.

"Siauw-ciang terima perintah!" sahutnya sambil berbangkit. Kwe Cu Gie sudah lantas menulis surat keangkatannya untuk

Sin  Thian  Hiong.  Ia  pula  menyerahkan  sebatang  leng-cian kepada Ce In seraya berkata, "Di garis belakang musuh ada sisa-sisa tentara negeri, kau dapat mengumpul mereka buat ditaruh dibawah perintahmu, supaya mereka dapat diajak bekerja sama."

Ce In menerima baik tugas itu. Ia kata, "Kalau siauw-ciang berhasil mengumpulkan pasukan, lebih dulu siauw-ciang hendak menyerang Liong Bin Kok, guna melabrak sarangnya Ong Pek Thong. Jalan ini, kesatu guna menggempur sayapnya An Lok San, kedua menjadi jalan untuk mengumpulkan orang- orang Rimba Hijau yang suka mengubah cara hidupnya yang sesat, supaya mereka memperoleh ketika kembali ke jalan yang benar. Ong Pek Thong menjadi ketua Ikatan Rimba Hijau, kalau dia kena dirobohkan, pasti banyak orangnya yang akan turut kepada kita."

"Baiklah," kata Kwe Cu Gie, "Mengenai siasat perang, semuanya terserah kepada kau, Lam Hiantee, tak usah kau memohon segala petunjuk atau perintah lagi dari aku. Kita perlu bekerja cepat. Nah, silahkan kau dan Tiat Hiantee berangkat, aku hanya mengharap warta kemenanganmu!"

Dengan menjabat tangannya Ce In, Thaysiu ini mengantarkan orang keluar dari ruang tetamu. Sembari jalan ia memerintahkan orangnya menyiapkan kuda untuk dua orang itu.

Ce In berdua Mo Lek kembali ke tempatnya, untuk berkemas.

"Suheng, kau harus mengucap terima kasih padaku!" kata Mo lek tertawa. "Kau kuatir tak dapat pergi ke Liong Bin Kok tetapi sekarang aku mintakan perkenan dan kekuasaan untukmu! Bagaimana berbahagianya kau andaikata Nona Hee berada di Lembah Naga Tidur itu!" "Jangan kau menggodai aku!" kata Ce In, juga tertawa. "Bukankah ini pula ketika akan menemui Nona Han! Kau jangan kuatir, umpama kala kau ingin bicara yang sedap-sedap dengannya, tak nanti aku mencuri dengar!"

Sejak Cie Hun tiba di Kiu-goan, ia disukai Nyonya Kwe Cu (Yic, maka itu ia diajak tinggal bersama di dalam kantor Thaysiu. Karena itu juga, ia jadi jarang bertemu dengan Mo Lek. Lantaran ini, Ce In menggoda supaya si suteee mengajak Nona Han itu.

Mo Lek jengah, mukanya bersemu dadu. Kata ia, "Suheng, tak dapat kau sembarang berkelakar begini macam padaku! Kau dengan Nona Hee sudah bertunangan, tetapi aku dengan Nona Han melainkan kakak beradik!"

Ce In tertawa.

"Akulah orang yang berpengalaman!" katanya. "Aku pun mulanya berkakak beradik dengan Nona Hee!"

Tengah suheng dan sutee ini tertawa, Cie Hun muncul. Lantas saja dia kata, "Mo Lek, bagus sekali pikiranmu ini! Aku memang lagi pepal pikiran berdiam saja di dalam gedung berkumpul bersama nyonya-nyonya itu! Bukankah kamu mau pergi ke Liong Bin Kok?"

"Benar!" sahut Ce In mendahului Mo Lek. "Nona Han, ada apakah saranmu yang bagus?"

"Jangan kata yang bagus, yang jelek pun tidak!" sahut si nona tertawa. "Aku cuma gemar bertempur! Gadisnya Ong Pek Thong hutang satu gaplokan padaku, hendak aku membayarnya!"

"Bagus!" kata Ce In. "Kali ini ada ketikanya untuk kamu menguji pula kepandaian kamu! Kakak beradik Keluarga Ong itu bukan orang baik-baik, aku pujikan supaya kau dapat menusuk tembus jantungnya!"

Mendengar itu, Cie Hun melirik Mo Lek. Ia mengasih lihat roman bersenyum bukannya bersenyum.

"Tak berani aku melakukan itu!" katanya. "Kalau aku binasakan nona itu, habis dengan apa aku nanti menggantinya kepada Mo Lek? Lam Toako tidak tahu, Nona Ong dengan Mo Lek bersahabat rapat sekali!"

Muka Mo Lek menjadi merah, dia bergelisah.

"Cie Hun!" katanya keras, "Bukankah aku telah bilangi kau, tak perduli apa dia lakukan terhadap aku, dia tetap menjadi musuhku - musuh yang telah membinasakan ayah angkatku!"

Meski orang tak puas, Cie Hun tertawa.

"Jikalau hatimu tidak terluka, jangan kau bergelisah begini macam!" katanya. "Sudah, kita jangan omong saja, kuda sudah siap, mari kita berangkat!"

Bersama-sama mereka bertiga keluar dari kantor.

Opsir pengawal pintu heran, dia tanya Ce In, "Lam Ciangkun, baru kemarin kau kembali, apakah sekarang kau mau berangkat pula? Ada urusan apa kau begini kesusu? Eh, Nona Han juga mau berangkat bersama?"

Ce In tahu urusan militer tak dapat sembarang diomongkan, ia cuma mengganda bersenyum, demikian juga Nona Han. Dengan lantas ketiganya naik kuda dan berangkat.

Kuda uy-piauw-ma tetap dipakai Cie Hun. Buat Ce Iri dan Mo Lek berdua, Kwe Cu Gie memberikan masing-masing seekor kuda pilihan lainnya. Syukur kuda itu cukup tangguh untuk mengikuti kudanya Cin Siang. Di tengah jalan, saking iseng Ce In bertiga membicarakan urusan Liong Bin Kok, perihal tujuh tahun dulu mereka mengacau dalam pestanya Ong Pek Thong. Tiba-tiba Mo Lek ingat suatu apa, ia lantas menahan kudanya.

"Apa? Apakah kudamu sudah tidak kuat jalan?" tanya Ce In. "Bukan!" sahut Mo Lek. "Aku justeru lagi memikir perlu apa

tidak kita lekas kembali ke Kiu-goan...?" Suheng itu heran. "Buat apakah?" tanyanya. "Aku baru ingat satu hal," sahut si sutee.

"Apa sih hingga kau nampak gelisah?" tanya Cie Hun tertawa. "Kita sudah jalan begini jauh, mendadak kita hendak pulang lagi! Hayo kau bicara, sembari kita berjalan terus, nanti Lam Toako yang mengutarakan pikirannya.

Mo Lek tidak menjawab si nona. Ia hanya menatap Ce In. "Suheng," tanyanya, "Tadi opsir yang menanya kau di

kantor, siapakah dia, apakah namanya?"

"Dialah Ho Kun!" sahut suheng itu. "Kenapa dia?"

"Ketika pertama kali aku tiba di Kiu-goan, toako lagi berlatih di dalam kantor," sahut Mo Lek, "Di tanah lapang itu diantaranya aku melihat opsir itu. Dia berhasil memanah tiga kali, bukan?"

"Tidak salah! Memang ilmu panahnya mahir! Apakah kau kenal dia?"

"Ketika itu hari aku melihatnya, aku merasa  seperti mengenal dia. Barusan, karena kita bicara peristiwa di Liong Bin Kok, mendadak aku ingat dia pula! Aku ingat aku melihatnya di lembah itu. Kemarin ada banyak orang, aku tak dapat mengingat-ingat dia."

Ce In terperanjat. "Apa benar?" tanyanya. "Apakah kau ingat benar-benar?

Apakah kau tidak salah?"

"Pasti tidak salah!" sahut Mo Lek. "Apakah suheng ingat? Ketika itu aku menyamar jadi kacungnya Sin Cecu, selagi lain- lain orang berkumpul di dalam taman, aku bersama lain-lain kacung berkumpul di istal kuda. Dialah orang yang bersantap bersama aku pada sebuah meja. Lain-lain orang bicara dengan gembira, cuma dia yang berdiam saja, karena itu kesanku jadi kuat sekali. Coba suheng pikir! Kalau dialah orangnya Ong Pek Thong, dengan beradanya dia di dalam pasukan kita, bukankah itu berbahaya?"

"Ketika itu, apakah semua orang yang berkumpul denganmu hamba-hambanya Ong Pek Thong?" Ce In tegaskan.

"Bukan semuanya, ada kacungnya lain-lain cecu lagi..." Ce In berdiam, tetapi otaknya bekerja keras.

"Semenjak Kwe Leng-kong mendapat tahu An Lok San berniat berontak," kata ia, "Dengan lantas ia sudah berdaya mengumpulkan orang-orang gagah, menurut apa yang aku tahu, Ho Kun adalah yang pertama mendaftarkan diri. Kelihatannya dia teliti dan setia kepada pekerjaannya, maka itu, sekarang tak dapat kita lancang mengambil sesuatu terkaan terhadapnya, terutama tak dapat dipastikan dialah orangnya Ong Pek Thong. Tanpa bukti, kita tak bisa menuduh dia, atau kita berlaku sembrono. Urusan kecil jadi diperbesar..." 

"Bukan begitu maksudku. Aku ingin memberitahukan kepada Kwe Leng-kong sendiri," kata Mo Lek.

"Kalau sekarang kita kembali, kita dapat menimbul kecurigaan orang," kata Ce In. "Kalau dia benar orang jahat, kita dapat membuat seperti kita menggeprak rumput membuat ular kaget. Sekarang baik kita atur begini, kita masih dalam wilayah Kiu-goan, sebentar di sebelah depan, kita singgah di kantor. Akan aku menulis surat rahasia, minta orang membawa dan menyampaikan kepada Kwe Leng-kong. Di dalam surat itu kita beritahukan hal siapa adanya Ho Kun dan supaya dia diawasi. Surat menyurat dinas hal umum, surat kita tidak bakal mendatangkan kecurigaan."

Mo Lek anggap suheng itu benar, ia suka menurut.

Kuda mereka dilarikan keras, sebentar lagi mereka tiba di kantor. Ce In mampir, untuk menulis surat, setelah menutup rapi, ia suruh pegawai kantor itu lekas menyampaikan ke Kiu- goan. Selesai itu, bertiga mereka melanjuti perjalanan mereka.

Tiga hari kemudian, sampailah mereka di daerah pengaruhnya An Lok San. Lantas mereka sering melihat kelompok-kelompok rakyat yang lagi mengungsi, ada orang- orang tua yang dituntun atau anak-anak yang diempo atau digendong.

Suasana tempat sepi dan menyedihkan. Kadang kali juga terlihat serombongan tentara negeri, yang dikejar-kejar tentara An Lok San. Kalau melihat tentara An Lok San, bertiga mereka menyingkir jauh-jauh. Tak mau mereka timbulkan onar di tengah jalan. Dengan cara demikian, mereka bisa lewat dengan aman terus sampai di Kim Kee Nia.

Ketika Sin Thian Hiong mendengar berita tibanya ketiga tetamu, ia menyambut dengan mengajak semua orang sebawahan serta kawannya, diantaranya Cie Hun melihiat ayahnya, hingga in girang bukan kepakmu. Tidak tempo lagi, ia lompat turun dari kudanya, akan lari kepada oiang lua itu.

"Ayah! Ayah!" ia memanggil-manggil "Oh, ayah sudah kembali'

Han Tam tertawa, dia menarik tangan pulennya. "Aku memang kenal tabiatmu, kau paling gemar mengacau''' lata ayah itu. "Kau paling bisa membuat orang bergelisah! Baru kemarin duJu aku kembali lantas pamanmu membilangi bahwa kau sudah minggat' h .m tahu, kau membuat aku kaget sekali!"

Si nona menjebi pada Thian Hiong

"Paman, mengapa kau mengatakan ilnnikian?" ia menyrsali "Bukankah ketika aku berangkat telah aku memberitahukan paman?" Thian Hiong tertawa.

"Aku cuma bergurau dengan ayahmu'" .sahutnya. "Sebenarnya, kenapa hari itu kau demikian kesusu? Sesudah kau menunggang kuda, baru kau bicara denganku, aku lihat romanmu gelisah aekali! Ingat kelakukanmu hari ini, sekarang aku mau tertawa! Coba kau pikir mana dapat aku menolak padamu, untuk mencegah kau pergi?"

Han Tam tertawa.

"Syukur kau berangkat bersama Tiat Hiantit, kalau tidak, entah berapa besar kekuatiranku!" kata ayah ini.

Kemudian ia bicara dengan Ce In dan Mo lek, yang pada memberi hormat padanya, habis itu, ia pegang tangannya Tiat Siauw-cecu, untuk berkata, "Hiantit, kau sudah jadi begini jangkung,! Sungguh kau pemuda yang gagah, yang membuat orang gembira!"

Dilain pihak, orang tua itu masih memegangi tangan gadisnya, hingga Mo Lek menjadi likat.

Melihat demikian, Ce In kata di dalam hati, "Harap saja jodoh mereka terangkap dengan lurus dan menyenangkan, jangan seperti jodohku dengan Leng Song yang banyak penderitaannya..." Setelah bertemu dengan semua orang, Ce In mendapatkan di bentengnya Thian Hiong berada pula beberapa orang baru, seperti Touw Pek Eng dan Hu Leng, jago pengembara dari Siamsay Selatan, yang semua menjadi sahabat karibnya, hingga pertemuan itu sangat menggirangkan mereka.

Setelah orang bicara maka sekarang ternyata Han Tam turun gunung, kesatu guna menjenguk sahabat dan kedua buat mencari tenaga-tenaga baru untuk Kim Kee Nia.

Gunungnya Sin Thian Hiong terpisah dekat dari Liong Bin Kok, jago tua she Han itu telah menduga Ong Pek Thong bakal bergerak, jadi ia bersedia payung buat sahabatnya itu, supaya sembarang waktu mau gerakannya pihak Ong dapat dilayani.

"Sekarang ini keadaan genting, kenapa kamu dapat meninggalkan Kiu-goan?" tanya Thian Hiong heran pada kedua tetamunya. "Kenapa Kwe Leng-kong dapat mengijinkan kamu pergi?"

"Itulah berhubung dengan urusan yang hendak aku bicarakan," sahut Ce In. "Mari kita bicara di dalam."

Sin Thian Hiong mempersilahkan kedua tetamunya masuk, untuk duduk berkumpul di ruang Cie-gie-thia. Di sini Ce In tuturkan rencananya Kwe Cu Gie untuk menghadapi pemberontakan An Lok San, supaya Kim Kee Nia dapat menghajar Liong Bin Kok.

"Aku setuju!" Thian Hiong memberikan persetujuannya. "Han Lo-cianpwe kenal Liong Bin Kok baik sekali, buat menerjang saja, tepatlah lo-cianpwe yang menjadi kunsu kami!"

Semua orang setuju. Memang tepat Han Tam menjadi kunsu, ahli pemikir. Karena ini, segera mereka berunding lebih jauh, membicarakan rencana penyerbuan atas Liong Bin Kok. Harinya ditetap tiga hari setelah itu.

0odwo0

Hee Leng Song telah diculik oleh Liong Kek, dia dikurung di dalam sebuah kamar dimana ia mesti menungkuli diri. Ketika  itu hari ia diculik, ia lagi beristirahat, tiba-tiba kamarnya dimasuki empat orang la terkejut dan heran.

Orang yang pertama ia kenali, ialah Ceng Ceng Jie. Orang yang kedua bukan lain daripada Ong Liong Kek sendiri. Orang yang ketiga ia tidak kenal. Dialah seorang tosu atau imam yang romannya aneh, yang tubuhnya jangkung dan kurus. Yang paling mengherankan ialah orang yang keempat. Dialah See- gak Sin Liong Hong-hu Siong!

Yang sangat berkesan pada Leng Song ialah peristiwa sedetik itu. Begitu Hong-hu Siong muncul, begitu ibunya menjerit kaget, mukanya lantas menjadi pucat pasi. Ibunya kaget seperti melihat hantu jahat atau binatang liar yang galak! Ibu itu kaget, jeri dan gusar menjadi satu. Ibu itu menampak jeri hingga ia seperti sangat mengharapi datangnya penolong...

Sudah dua puluh tahun Nona Hee berkumpul bersama ibunya, belum pernah ia menyaksikan ibunya demikian kaget, takut dan gusar dan putus asa. Ketika itu dengan sendirinya ia lompat sambil menghunus pedangnya, menyerang pada Hong- hu Siong.

Akan tetapi, belum ia berhasil menikam, hidungnya sudah mendapat cium serupa bau harum yang aneh, lantas tenaganya hilang sendirinya, tubuhnya menjadi lemah, kepalanya pusing, matanya berkunang-kunang. Ia cuma merasa ingin merebahkan diri dan tidur. Didalam keadaan samar-samar itu, ia melihat Ong Liong Kek mendekati padanya. Justeru itu, ia mendengar jeritan ibunya. Ia masih dengar si ibu kata pada Hong-hu Siong, "Aku larang kau bicara sekalipun pada anak Song!"

Menyusul itu terdengar bentrokan pelbagai senjata, golok bentrok dengan pedang. Setelah itu, ia tak sadarkan diri.

Ketika kemudian ia mendusin, ia sudah berada di dalam kamarnya ini. Mulanya ia kaget dan berkuatir, sesudah merasa tubuhnya tak kurang suatu apa, baru hatinya menjadi sedikit lega.

Hanya itu waktu, tetap ia kehilangan seluruh tenaganya, ia rebah di atas pembaringan tanpa berdaya. Sudah beberapa hari ia dikurung di dalam kamar itu, sudah beberapa kali juga Ong Liong Kek muncul, saban-saban ia mendamprat pergi padanya.

Nona Hee sedang masgul dan mendongkol tempo kerai disingkap dan Liong Kek bertindak masuk. Ia terkejut, ia mendongkol, hingga ia mengertak gigi. Segera ia memutar tubuhnya, membaliki belakang, untuk tak memperdulikan.

Tiba-tiba terdengar tertawanya pemuda she Ong itu.

"Kau sudah berada di sini beberapa hari, apakah kemurkaanmu masih belum lenyap juga?" demikian tanyanya. "Ya, semua ada salahku, tanpa ijin dahulu dari kau, aku telah lancang membawa kau kemari. Tapi, baiklah kau mengerti, hal ini aku lakukan sebab aku sangat menyukai kau. Maka itu, sudah selayaknya saja kau memaafkan aku! Eh, apakah dadamu masih terasa sesak? Tak apa! Buat sementara belum dapat aku memberikan obat untuk menyembuhkannya. Tapi sekarang aku membawakan kau Liong-yan-hio, yang asapnya dapat menyadarkan otakmu. Asal kau dapat mencium hio ini, kau tentu akan merasa enak sekali..." Leng Song berdiam. Tak usah lama, lantas hidungnya dapat mencium asap, yang berbau harum. Benar sekali, hatinya  lantas terasa lega. Meski demikian, ia tetap tidak mau menghiraukan pemuda itu.

"Nona Hee," terdengar Liong Kek berkata pula, "Apa pun kau ingin aku lakukan, dapat aku lakukan, cukup asal kau suka bicara denganku!"

Dalam gusarnya itu, si nona kata keras, "Jangan kau mengangkat-angkat membaiki aku! Aku lebih suka kau kuningkan batang leherku!" Liong Kek tertawa pula.

"Kenapa kau begini gusar terhadapku?" tanyanya. "Apakah kau kira aku mengundang kau datang kemari untuk aku membunuhmu? Tidak! Kau jangan kuatir! Meski aku mati tak nanti aku tega melukai kau! Apa yang aku ucapkan padamu keluar dari hatiku yang jujur!"

Mendadak si nona memutar tubuh.

"Bagus! Bagus kata-katamu ini!" katanya, keras. "Aku mau tanya kau, kenapa kau tidak pertemukan aku dengan ibuku?"

Liong Kek memegang kipas, ia goyang-goyang itu.

"Ibumu tidak ada di sini," sahutnya halus. "Tapi, setelah kita berdua menikah, pasti kau bakal dapat menemui ibumu..."

"Tidak tahu malu!" bentak si nona. "Dengan beginikah kau hendak mengancam aku?"

"Nona Hee, dengan setulusnya aku meminang dirimu," kata pula Liong Kek. "Aku minta kau jangan salah paham. Tentang ibumu, jangan kau buat kuatir. Ibumu berada di satu tempat lain, buat sementara, tidak ada niatnya datang ke lembah Liong Bin Kok, ini, tetapi, begitu lekas kita berdua menikah, dia tentu akan datang kemari guna menyaksikan puterinya menikah, dan akan menemui baba mantunya!"

Leng Song gusar hingga mukanya menjadi merah dan alisnya berdiri.

"Hm! Kau hendak memaksa kawin denganku!" katanya. "Kalau begitu, kaulah si kodok buduk yang mimpi ingin gegares daging angsa khayangan! Biarnya tubuhku hancur lebur, tidak nanti aku menikah denganmu!"

Sedari tadi Liong Kek berdiri dengan romannya ramah tamah dan sikapnya halus, ia berlaku sabar dan lunak, akan tetapi sekarang, mendengar suara si nona, parasnya menjadi pucat lalu guram. Ia menungkuli hati dengan menggoyang-goyang kipasnya. Baru selang beberapa detik, ia mengasih dengar suaranya yang dingin.

"Nona, apakah kau tidak mau berpikir sejenak?" tanyanya. "Kalau benar seperti katamu akulah si kodok buduk yang ingin makan daging angsa khayangan, pastilah sudah sedari siang- siang daging telah masuk ke dalam mulutku! Kau harus ingat, kau telah berada di dalam genggamanku, apa juga aku hendak bikin atas dirimu, dapat aku lakukan! Tapi sebab aku menghormati kau, karena aku menyinta padamu, karena aku ingin kita menjadi pasangan suami isteri yang paling manis, maka aku tidak mau berlaku keras memaksa kau! Nona, kau ingatlah baik-baik, biar bagaimana kita pernah bersahabat, kita pernah saling menyukai! Nona, kenapa sekarang kau begini membenci aku?"

"Aku telah mempunyai tunanganku, kau bukannya tidak tahu!" kata si nona sengit. "Kau tahu aku telah bertunangan dengan Lam Ce In, toh kau culik aku dan membawa aku kemari? Apakah dengan begitu bukannya kau menghina aku?

Jikalau  kau  mau  bicara  dari  hal  persahabatan,  lekas  kau merdekakan aku, supaya aku boleh pergi dari sini! Dengan berbuat demikian mungkin kau bakal membuat kurang sedikit dari kebencianku!"

Liong Kek ingin merebut hati si nona, ia berpikir untuk berlaku sabar, biar orang mencacinya, tak mau ia bergusar, akan tetapi sekarang, ia mendengar disebutnya nama Lam Ce In. Inilah lain. Tak dapat ia terus menerus menyabarkan diri. Parasnya berubah menjadi merah sedang kipasnya ia banting ke lantai!

"Didalam hal apa aku kalah dari si orang she Lam?" katanya keras. "Dia cuma sebawahannya Kwe Cu Gie! Apa dia dapat buat? Dia cuma menggunai golok atau pedangnya untuk mendapatkan nama kosongnya dalam dunia Kang Ouw! Dia tak mengenal keramahan tak tahu akan asmara! Apakah yang berharga dari dia hingga kau demikian jatuh hati terhadapnya? Laginya, aku mengenal kau lebih dahulu daripadanya! Kita pernah bersahabat erat! Sekarang kau menggeser cintamu, mana aku mau mengerti?"

Selagi orang bergusar dan menumpahkan itu, Leng Song sebaliknya berdiam saja. Ia berlaku tenang sekali. Ia menjadi ingat segala peristiwa yang telah lalu.

Pada tujuh tahun dulu, ketika pertama kali Leng Song muncul dalam dunia Kang Ouw, pernah satu kali di tengah jalan ia berpapasan dengan sepasukan tentara negeri. Opsir pasukan itu melihat ia cantik, dia hendak mempermainkannya.

Disaat ia hendak menyerang opsir itu, di situ lewat seorang muda, yang mencegah si opsir berlaku kurang ajar. Dengan begitu ia ditolong dari keruwetan. Pemuda itu ialah Ong Liong Kek.

Tatkala itu ia belum tahu tentang dirinya Ong Liong Kek, ia menyangka dialah seorang pemuda gagah dari keluarga berkenamaan, diam-diam ia jatuh hati terhadapnya. Ia percaya dia karena r5mannya yang ganteng dan gagah dan halus gerak-geriknya. Semenjak itu, berdua mereka bersahabat, sering keduanya berjalan bersama.

Ia belum berpengalaman, Liong Kek banyak memberi petunjuk padanya. Kemudian Liong Kek membantu ia menyingkirkan seorang opsir rakus dan dua okpa, jago yang jahat. Maka ia semakin percaya si pemuda ialah pemuda pengembaraan yang mulia hatinya. Hanya selama itu belum mereka omong tentang cinta dan perihal pernikahan.

Kemudian mereka berpisah. Itulah sebab Liong Kek mesti pulang, guna membantu ayahnya membangun usaha besar, untuk mana, mereka bentrok dengan Keluarga Touw.

Sampai waktu itu, tetap ia belum ketahui hal diri si pemuda. Lalu tiba saatnya Ong Liong Kek memegat Toan Kui Ciang di Loan Cio Kong dimana dia kena dikalahkan Lam Ce In.

Mengetahui kejadian itu, ia mulai melihat siapa si pemuda. Kemudian terjadilah penyerbuan, pada Liong Bin Kok, hingga terbuka rahasia Keluarga Ong bersekutu dengan An Lok San, kejadian itu membuat ia berduka dan putus asa.

Sekarang," di saat Liong Kek berlaku keras dan membangkit- bangkit, Leng Song ingat semua peristiwa lama itu. Ketika si anak muda masih saja mengudal rasa hatinya, ia menjadi tidak puas. Ia mengangkat kepala dan kata tegas, "Kau benar! Sama sekali kau tak dapat dibandingkan dengan Lam Ce In!"

Liong Kek melengak.

"Kenapa aku tak dapat dibandingkan dengannya?" dia tanya, suaranya keras. "Akulah siauw-bengcu, ketua muda, dari Ikatan Rimba Hijau! Aku lagi membangun usaha besar! Dia... dia makhluk apa?" "Dialah seorang gagah yang hatinya mulia!" sahut si nona berani. "Dia biasa membantu si lemah tak berdaya! Dia lagi bekerja untuk negara dan rakyat! Kau sebaliknya! Kau berkongkol dengan bangsa Tartar! Kau biasa mencelakai rakyat jelata! Kau bukanlah makhluk yang baik! Mana dapat kau dibandingkan dengannya?"

Liong Kek gusar sampai di puncaknya. Akan tetapi, setelah matanya berputar, sekonyong-konyong dia tertawa bergelak.

"Kau benar-benar berpandangan cupat sebagai wanita!" katanya "Apakah kau pernah membaca sejarah?"

"Aku cuma membandingkan kamu berdua!" kata si nona. "Apakah hubungannya kamu dengan sejarah?"

Liong Kek menjemput kipasnya, ia menggoyang-goyangnya.

Dengan cara itu ia mencoba menekan hawa amarahnya.

"Bukankah kau memandang persekutuanku dengan bangsa Tartar sebagai suatu dosa besar?" katanya kemudian,  sebisanya bicara dengan sabar. "Apakah kau tak tahu contoh dari kaisar-kaisar dahulu yang meminjam bantuan bangsa asing untuk merebut negara? Umpama kata kau belum pernah membaca sejarah, kau t6h ketahui lelakonnya kerajaan kita sekarang. Tempo Lie Yan ayah dan anak bersaing dengan pelbagai raja muda memperebuti Tionggoan, dia pernah menghamba kepada bangsa Turk, dia telah kirim Lauw Bun Ceng utusannya kepada Khan dari Turki, menjanjikan akan menyerahkan kepada Khan itu semua wanita, kemala dan cita yang dia peroleh sebagai hasil kemenangan perangnya. Justeru karena mendapat bantuan Turki itu, kemudian Lie Yan berhasil menjadi Kaisar pertama dari Kerajaan Tong sekarang ini!. Sekarang aku berserikat dengan An Lok San, itulah tak lebih tak kurang karena pihakku menelad Lie Yan! Untuk sementara aku meminta bantuannya, akan tetapi nanti, setelah aku berhasil, dapat aku membasmi dia, supaya aku sendirilah yang mengangkangi Kerajaan Tong! Ha, ha! Itu waktu maka aku akan jadi sama dengan Thay Cong Hongtee Lie Sie Bin, aku menjadi satu raja yang membangun negara! Mana kau ketahui cita-citaku yang besar dan luhur itu? Sekarang kau mencaci aku, bukankah itu menyatakan pandanganmu yang cupat seperti pandangan wanita biasa?"

Liong Kek pandai bicara, dia percaya dapat dia menakluki Leng Song. Tapi diluar dugaannya, si nona menyambutnya dengan tertawa dingin. Dia justeru dipandang semakin rendah.

"Oh, kalau begitu, maaf, maaf, aku kurang hormat terhadapmu!" kata si nona, mengejek. "Jadinya kau mempunyai cita-cita demikian besar dan luhur! Menyesal aku yang rendah belum pernah membaca buku sejarah! Walaupun demikian, aku toh ketahui satu hal! Siapa mencelakai rakyat jelata dialah si jahat dengan sepuluh kedosaan tak berampun! Sedang seorang yang memandang bangsat sebagai ayahnya dialah si pengkhianat yang setiap orang dapat membunuhnya!"

Itulah tak disangka Liong Kek. Dia menyangka si nona akan menjadi kagum dan takluk, tak tahunya, dia justeru dicaci habis-habisan. Belum pernah dia dicaci sebagai ini, maka itu mukanya menjadi merah padam, matanya menjadi merah. Saking malu, dia menjadi gusar. Mendadak dia maju satu tindak, dia tertawa sebagai hantu!

"Bagus, ya, bagus!" katanya sengit. "Jadinya aku di mata kau ialah orang jahat dengan sepuluh dosa tak berampun! Kalau begitu, buat apa aku bicara banyak lagi denganmu! Karenanya aku cuma dapat menggunai caranya si orang jahat untuk menghadapi kau! Ha, ha, ha! Nona Hee, ini yang dibilang arak kehormatan ditampik, arak hukuman diterima!" Lantas pemuda ini membungkuk, kedua tangannya dipentung. Hendak dia merangkul nona manis yang tak berdaya itu.

"Bagus!" berseru Leng Song, yang tak dapat berontak. "Sungguh kau gagah perkasa! Hm, manusia rendah yang tak tahu malu!"

Mendengar itu. Liong Kek malu dan mendongkol sekali, dia mengawasi tajam. Ketika sinar matanya beradu dengan sinar mata si nona, dia melihat nona itu memandang enteng kepadanya. Sinar mata si nona tajam dan berpengaruh! Tanpa merasa, hatinya bercekat, hingga timbul keragu-raguannya. Karena itu, batal ia merangkul nona itu.

Untuk sejenak, pemuda ini mengertak gigi. Tak dapat dia menyerah, tapi berat untuk dia meninggalkan si nona. Masih dia berdiam ketika tiba-tiba dia mendengar satu tertawa dingin, perlahan tapi tegas. Orang yang tertawa itu seperti berada di sisinya!

Dia mengawasi Leng Song, dia mendapatkan nona itu rebah di atas pembaringan dengan matanya lagi mengawasi padanya, mulutnya tertutup rapat, bibir atau pipinya tak meninggalkan bekas habis tertawa. Dia menjadi heran. Terang itulah bukan si nona yang tertawa...

"Siapa itu di luar?" dia membentak.

Tidak ada jawaban. Ada juga jawaban yang berupa tertawa dingin seperti barusan!

Kembali hati Liong Kek bercekat. Tanpa merasa, dia menjadi jeri. Tak dapat dia berdiam lebih lama di dalam kamar itu. Mau atau tidak, dia lompat meninggalkan si angsa khayangan. Dia menyingkap tirai, untuk lompat keluar.

Leng Song bernapas lega. "Sungguh berbahaya..." katanya di dalam hati.

Ia pun bingung. Ia juga telah mendapat dengar dua kali tertawa dingin itu. Ia tidak mengerti. Siapa itu yang mengasih dengar tertawanya? Kenapa datangnya demikian tepat, di saat ia terancam bahaya?

Dengan berlalunya Liong Kek, kamar menjadi sunyi. Dari sebelah luar juga tidak terdengar apa-apa.

Adalah berselang sekian lama, di luar itu terdengar tindakan kaki. Sendirinya, Leng Song terkejut pula, hingga hatinya menjadi tidak tenang. Ia menduga kepada Ong Liong Kek, yang balik kembali.

Selagi ia memasang mata ke arah tirai, Leng Song melihat satu rubuh berkelebat masuk bagaikan bayangan, begitu lekas ia sudah melihat tegas, ia menjadi heran.

Yang datang itu Ong Yan Ie, adiknya Liong Kek! Leng Song membenci sangat Keluarga Ong, maka itu, terhadap Yan Ie ia tidak berkesan manis. Ia mengawasi nona itu dengan sikapnya sangat dingin, mulutnya tertutup rapat.

Yan Ie sebaliknya. Nona ini memperlihatkan wajah berseri- seri. Tak nampak sedikit juga bahwa ia bermaksud buruk. Hanya mendapatkan orang bersikap demikian tawar, ia agak heran. Dengan bersenyum pula, ia bertindak menghampirkan.

"Ende Hee," ia menyapa, manis, "Kakakku berbuat kurang ajar terhadap kau, tidak heran jikalau kau menjadi gusar, maka itu sekarang aku datang untuk menghaturkan maaf kepadamu!"

Leng Song heran akan tetapi ia tertawa dingin. "Baru saja aku mencaci habis kakakmu itu, yang ngeloyor pergi seperti anjing menggoyang ekor!" katanya. "Sekarang kau datang ke mari, apalagi kau hendak pertunjuki? Hm! Kamu dua saudara, yang satu berbuat buruk, yang lain bersikap manis! Dapatkah kamu menipu aku?"

"Encie, aku minta encie jangan mencurigai aku," berkata Yan Ie. Ia merasa tidak enak hati akan tetapi ia menyabarkan diri. Ia dapat mengerti kemurkaan si nona.

"Dengan setulusnya hati aku datang menghaturkan maaf kepada encie. Bahkan aku juga memikir untuk menebus dosa kakakku itu..."

"Hm!" bersuara Nona Hee sengit. "Kau hendak menebus dosa kakakmu itu? Bagaimanakah caranya? Hm! Aku kenal kau! Telah aku mendengar kaulah si hantu wanita cilik yang biasa membunuh orang tanpa mata berkedip! Baik kau keluarkan kepandaianmu yang dahulu kau pertunjuki sewaktu kau membunuh lima saudara Touw! Kau'bunuhlah aku! Dengan membunuh aku sekarang, tak usahlah selanjutnya aku menderita dari kamu, supaya tak usahlah aku menyaksikan lagi lagak kamu bangsa menjemukan!"

Parasnya Yan Ie berubah menjadi pucat. Hebat cacian itu. Tapi ia bukannya gusar, sebaliknya air matanya meleleh turun. Ia lantas tunduk, ia berkata perlahan, "Ketika dulu hari itu aku membunuh kelima paman Touw itu, aku melakukan itu karena kehendak ayahku. Kalau aku ingat itu, sekarang pun aku merasa sangat menyesal. Akan tetapi bicara sebenarnya,  kelima paman itu pantas menerima kematiannya, cuma tidak selayaknya aku yang membunuh mereka. Encie, mengenai urusan itu, tak dapatkah kau memaafkan aku?"

Sebenarnya juga, mengenai kelima saudara Touw itu, Leng Song sendiri tidak mempunyai kesan terlalu baik, kalau ia toh menyebut-nyebut mereka, itu melainkan sebagai bukti akan ketelengasannya nona she Ong ini. Sekarang, mendengar si nona, ia menjadi heran. Ia melihat orauj; bersikap bersungguh- sungguh.

"Sudahlah!" katanya, "Tak usahlah kau menjadi si kucing yang berpura murah hati terhadap si tikus tua! Kau telah membunuh mereka itu, terserah kepada kau sendiri, kau mau menyesal atau bergirang! Urusanmu itu tidak ada sangkut pautnya dengan aku! Sekarang lekas kau omong tenis terang! Kakakmu memerintahkan kau datang ke mari, apa maksudnya? Kau... kau hendak berbuat apakah? Hendak aku menyatakan singkat kepadamu, aku tidak dapat menerima apa juga! Sia-sia kau mengancam aku dengan golok atau pedang atau racun atau kata-kata manis seperti madu!"

"Akulah adik kakakku itu, tak heran kau tidak dapat lantas percaya aku," berkata Nona Ong. "Tapi hendak kau menjelaskan kepada kau bahwa aku datang ke mari bukan karena titah kakakku. Aku datang alas kehendakku sendiri. Encie tanya aku - aku hendak berbuat apakah? Datangku ini ialah untuk membantu encie menyingkir dari sini. Nah, encie, apakah sekarang kau percaya aku?"

Nona Hee melengak. Inilah aneh.

"Kau hendak menolongi aku menyingkirkan dari sini?" ia tanya "Ah! Apakah kebaikannya itu untukmu? Denganmu tak dapat aku bersahabat!"

"Jadinya encie ingin ketahui apakah kebaikannya bagiku dengan menolongi encie menyingkir dari sini?" Nona Ong menegaskan, "baiklah, nanti aku beritahu! Aku tahu encielah tunangan dari Lam Tayhiap, maka itu hendak aku mohon pertolongan kau! Encie, apabila nanti kau telah bertemu dan berkumpul dengan Lam Tayhiap, tolong kau menyampaikan sepalah dua patah kata-kataku terhadapnya..." "Ah, inilah lebih aneh pula!" kata Leng Song, heran sekali. "Apakah yang kau inginkan aku menyampaikan kepadanya?"

Mukanya Yan Ie menjadi merah. Biar bagaimana, dia jengah.

"Aku cuma mohon kau menjelaskan kepada Lam Tayhiap tentang segala sesuatu urusan di sini," katanya terpaksa. "Aku ingin biarlah Lam Tayhiap mendapat tahu bahwa aku bukanlah si orang jahat yang tak dapat tertolong lagi. Cukup dia mengetahui ini!"

Biarnya Leng Song cerdas, ia toh bingung. Aneh Nona Ong ini!

"Kenapakah dia hendak mendapatkan kesan baik dari Engko Lam?" tanyanya di dalam hati. "Kenapa dia nampak masgul begini rupa?"

Coba Leng Song tidak sangat percaya Ce In dan ketahui baik di antara Ce In dan Yan Ie tidak pernah ada hubungan sesuatu, mungkinlah ia bercuriga dan bercemburu atau menduga sesuatu.

Tengah Nona Hee ini berdiam dalam keragu-raguannya itu, Yan Ie mengeluarkan dari sakunya sebuah botol kecil terbuat dari perak, yang isinya ialah barang cair berwarna dadu. Sambil mengangsurkan itu, dia kata, "Encie Hee, kau telah kena  makan obat bius Cui Bie Hio yang membuat orang lemas selama seribu hari. Inilah obat untuk memunahkan itu. Obat ini aku telah curi dari kakakku."

Leng Song mengawasi. Ia sangat bersangsi.

"Kau telah mencuri obat untukku?" katanya. "Apakah dengan begitu kau tak takut nanti digusari ayah atau kakakmu itu?"

"Mengenai itu, tak usah encie memperdulikan aku," sahut Yan Ie. "Sekarang ini lekas encie makan ini obat, lalu lekas- lekas kau pergi menyingkir. Kalau kau menanti sampai kakakku mendapat tahu bahwa aku telah mencuri obatnya, pasti sudah tak nanti kau dapat berlalu dari sini!"

Melihat sikap orang demikian mendesak, Leng Song justeru menjadi bercuriga.

"Dengan perbuatanmu ini, kau jadinya membuat dirimu bakal bentrok dengan saudaramu cuma sebab urusan seorang yang tiada sangkut pautnya denganmu!" katanya tawar. "Kau telah menentang, memusuhkan kakakmu itu! Hm! Tidak kusangka bahwa kau begini baik hati! sKiranya si harimau tua juga dapat bermurah hati!"

Yan Ie nampak bingung sekali, ia menjadi bergelisah. "Bagaimana kau kehendaki supaya kau dapat mempercayai

aku?" dia tanya. "Ah, kau tidak tahu aku! Aku..."

Dengan mata dibuka lebar, Leng Song memandang nona di depannya itu.

"Kau... kau mau apa sebenarnya...?"

Justeru itu dari luar kamar terdengar suara memanggil, "Nona! Nona!"

Suara itu sangat mendesak. Itulah suaranya seorang budak dari Yan Ie. Rupanya telah terjadi sesuatu yang penting.

Nona Ong terkejut. Tapi ia masih sadar. Maka ia letaki botolnya itu di sisi Leng Song.

"Kau tidak percaya aku, terserah kepada kau!" katanya, cepat. "Kau mau makan obat ini atau tidak, juga terserah padamu! Bukankah kau hendak mencari kematianmu? Baik, kau anggaplah obat ini sebagai racun!"

Habis berkata begitu, nona ini lantas pergi keluar dengan cepat. Leng Song bengong mengawasi orang berlalu, lalu ia mengawasi ke arah obat. Ia heran untuk tingkahnya Yan Ie itu, yang sangat kesusu atau gelisah, yang romannya mendongkol tetapi pun masgul. Sungguh sulit untuk menerka hati orang, apapula hati seorang nona...

"Ah, dia benar!" kemudian nona itu kata di dalam hatinya. "Taruh kata benar obat ini sebetulnya racun, untukku toh tetap tinggal satu kematian! Dengan meminum obat ini tidak nanti aku bakal lebih menderita daripada penderitaanku sekarang ini!"

Tak dapat Leng Song berbangkit. Syukur kedua tangannya masih dapat digeraki walaupun dengan sangat perlahan. Ia mencoba menggeraki juga tubuhnya, ia mengulur kedua tangannya. Dengan banyak susah bisa ia memegang peles obat itu, untuk terus dibuka tutupnya.

Segera ia mendapat cium bau yang harum yang menyegarkan. Hanya beragu-ragu sedetik, segera ia cegluk isi peles perak itu.

Yan Ie di lain pihak sudah lantas menemukan budaknya yang memanggilnya.

"Apakah kau bertemu dengan kakakku?" dia tanya. Itulah pertanyaannya nanti kepergok kakak itu.

"Siauw-cecu sudah pergi ke ruang depan!" menyahut si budak. "Katanya ada tetamu datang..."

Yan Ie tahu yang selama beberapa hari ini telah datang orang-orang Rimba Hijau, toh hatinya tak tenang.

"Habis kenapa kau begini bergelisah?" dia tanya.

"Yo Congkoan telah menyampaikan titah kepada lo-cecu," sahut budak itu, menerangkan, "Supaya lo-cecu pun menitahkan nona keluar untuk menemui tetamu itu! Yo Congkoan pernah mencari sendiri pada nona!"

Yan Ie heran sekali.

"Tetamu siapa itu yang agaknya seorang tetamu besar?" ia menerka-nerka. "Kenapa ayah sampai mencari aku? Bukankah kakak sudah ada di depan? Kenapa aku dicari juga?"

Lantas ia kata, "Baik, akan aku pergi keluar! Tapi ingat, kau jangan beritahukan siapa juga bahwa aku telah datang ke mari!"

Budak itu mengangguk.

-oo0dw0oo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar