Kisah Bangsa Petualang Jilid 14

 
Jilid 14

Tampaknya kedua nona itu sama tangguhnya, masing- masing mempunyai keistimewaannya sendiri. Cuma Yan Ie sedikit terhalang, karena ada oianj,-, yang menggembloki punggungnya. Demikian diluar keinginannya, ujunjt rambutnya kena terbabat kutung lawannya itu.

Selama itu Mo Lek terus mendekam di punggung Nona Ong. lu la k berani ia menggeraki mukanya guna melihat Nona Han. Ia malu sekali. Pula kesudahannya akan sulit untuknya, karena ia bukan tertawan hanya ditolongi si nona.

Cie Hun telah melihat lawannya dirangkul orang, ia menghentikan serangannya.

"Bukankah orang dibelakangmu itu telah terluka?" ia tanya. "Kau kasih dia turun! Aku tidak mau menyerang orang yang sudah terluka! Dengan begitu kau pun jadi dapat ketika untuk mengeluarkan kepandaianmu, supaya kita bisa bertempur hingga salah satu menang atau kalah...!"

Cie Hun menduga orang terluka sebab ia melihat orang tidak membantui Yan Ie. Ia pun tidak dapat melihat muka orang yang pucat.

Yan Ie tidak menjawab. Selagi Nona Han berhenti menyerang, ia mengeprak kudanya untuk membuat binatang itu berlompat maju.

Cie Hun tertawa.

"Orang itu pernah apa denganmu?" tanya puterinya Han Tam. "Apakah kau kuatir dia nanti terjatuh ke dalam tangan pihakku? Jangan kau menerka demikian! Kami orang-orang Rimba Persilatan sejati, tak nanti kami sembarang melakukan pembunuhan! Pula tidak nanti kami sembarang membunuh orang tawanan! Jangan kau kuatir! Karena kau bakal tidak dapat lolos dari tanganku, lebih baik kau turunkan dia, supaya kita dapat bertanding dengan merdeka! Umpama kata kau dapat mengalahkan aku, nanti aku mintakan pertimbangannya  Sin Cecu, supaya kau dimerdekakan, diberi ketika untuk mengangkat kaki dari sini, sebab kita telah bertempur satu lawan satu!"

Ketika itu orang-orangnya Sin Thian Hiong sudah menyiapkan tambang-tambang untuk menjirat kaki kuda guna merintangi jalan umum. Karena itu, kudanya Nona Ong mesti berhenti berlari, tak dapat dia maju terus.

Cie Hun sendiri segera menghampirkan.

"Bagaimana?" tanyanya, tertawa. "Apakah kau tak sampai hati mengasih dia turun supaya kau dapat menempur aku satu sama satu?" Ong Yan Ie menjadi gusar.

"Buat apa kau ngoceh saja?" bentaknya. "Urusanku tak dapat kau campur tahu!"

Lantas dia putar kudanya dan menikam dadanya Nona Han.

Tikaman itu keras sekali.

Cie Hun mendekam di punggung kudanya, buat mengelit diri, setelah itu, ia membalas membabat. Itulah serangan "Hok- tee Keng-liong-kiam," atau "Naga mendekam memutar diri".

Gerakan mereka itu membuat kuda mereka saling melewati.

Yan Ie berkelit pula. Ketika ia mendekam, Mo Lek turut rpendekam juga. Justeru itu ia dikejutkan kudanya. Binatang itu meringkik dengan tiba-tiba, sambil meringkik dia berlompat, kedua kaki depannya terangkat tinggi. Kaget lompatnya kuda itu, kaget si nona karena rubuhnya merosot turun. Inilah dapat dimengerti karena ia digembloki terus oleh Mo Lek.

Kuda itu kuda terdidik baik, dia mengenal majikannya dan setia. Ketika Cin Siang berperang ke selatan dan utara, beberapa kali dia menolongi majikannya itu dari ancaman bahaya. Dia tahu Ong Yan Ie musuh, dan dia telah merasakan serangan gaetan barisan wanita nona itu, maka tak puas dia ditunggangi si nona. Sekarang si nona lagi berperang dengan pihak lawan, dia rupanya mau membuat pembalasan, maka dia berjingkrak secara tiba-tiba itu!

Han Cie Hun girang sekali. Begitu lawan jatuh dari atas kuda, ia lompat turun dari kudanya, untuk menyerang jalan darah nona itu.

Ketika Tiat Mo Lek jatuh, tidak dapat ia terus memeluki Yan Ie, dengan begitu mereka menjadi jatuh berpisahan. Setelah tubuhnya mengenai tanah, ia terus menggulingkan diri, menghampirkan Nona Ong. Ia melihat datangnya serangan dari Cie Hun. Di dalam bingungnya entah dari mana datangnya, dengan lantas ia menyampok pedang Nona Han.

Cie Hun tercengang. Ketika itu ia seperti mengenali si anak muda.

Justeru begitu, sekonyong-konyong, "Encie Han!" Itulah suara Mo Lek, yang menyapa.

Terkejut dan heran, Cie Hun menarik pulang pedangnya. "He, Mo Lek!" ia berseru. "Kau?"

Selagi berlakunya semua itu, Yan Ie yang gesit, yang roboh dengan tidak terluka, sudah lantas berlompat bangun bagaikan ikan meletik. Ia sudah menggunai tipu "Lee-hie Ta-teng," atau "Ikan gabus meletik". Ketika ia bangun berdiri, ia telah memisahkan diri beberapa tombak jauhnya.

"Celaka! Berandal perempuan itu mau kabur!" teriak Han Cie Hun.

Ia lantas mau mengejar, atau mendadak Mo Lek menjerit, "Aduh!" Entah disengaja atau bukan, pemuda itu roboh ke dadanya. Ia menjadi terkejut sekali hingga batal ia mengejar, bahkan melupakan likat atau malu, ia lantas menyanggapi, memeluk tubuh orang.

"Ah, Mo Lek!" ia berseru, "Kau benar-benar terluka! Apakah lukamu parah?"

Ong Yan Ie menoleh, melihat dua orang itu kenal satu dengan lain, ia tertawa dingin, terus ia membulang-balingkan pedangnya, guna menyerbu, buat memecahkan kurungan. Di situ tidak ada lain orang yang dapat menandingi padanya kecuali Nona Han, maka juga di dalam tempo yang pendek, ia sudah lolos dan bebas.

Sin Thian Hiong telah berhasil menggunai tambang menangkap kuda uy-piauw-ma, ia kembali dengan merasa girang dan puas.

Ia kata, "Gadisnya Ong Pek Thong lolos, tetapi kita mendapatkan kuda ini, tidaklah kita kecewa! Dan kau, kau berhasil membekuk si bocah, bukan? Eh, eh, apakah kau bukannya Tiat Siauw-cecu?"

Ia menanya demikian, langsung kepada si anak muda, setelah ia melihat tegas muka orang, hingga ia menjadi heran.

"Paman Sin, sudah lama kita tak bertemu!" kata Mo Lek, mengangguk. "Memang akulah Mo Lek..."

Thian Hiong tetap heran.

"Ha, kau telah menjadi begini besar!" katanya, kagum. "Dengan begini teranglah Tiat Lo-cecu telah mempunyai turunannya! Kau tahu, kita semua selalu memikirkanmu!" Ia berhenti sebentar, lalu ia menanya sungguh-sungguh, "Mo Lek, bagaimana ini? Kenapa kau nampaknya sangat bersahabat baik dengan anak perempuan musuh?"

Mukanya Mo Lek merah sampai pada telinganya. Ia berdiam karena sulit untuk ia memberikan keterangannya.

Han Cie Hun tertawa.

"Paman Sin, kau terlalu!" katanya. "Mo Lek telah mendapat luka, apakah kau tidak lihat?"

Thian Hiong agak terkejut..

"Oh, kau terluka?" katanya. "Jadinya kau kena tangkap mereka?"

"Memang!" Nona Han mendahului menjawab. "Baru saja aku bebaskan ia dari totokan..."

"Pantas, pantas dia duduk di atas kuda seperti patung!" Sin Thian Hiong berkata pula. "Sampai pun melihat aku, dia tidak menyapa! Bagaimana, apakah lukanya parah?"

Diam-diam Mo Lek bersyukur kepada Nona Han. "Syukur, paman, aku terluka ringan," ia menjawab.

"Nona Han," kata Thian Hiong pada Cie Hun, "Obat lukamu lebih manjur daripada obat lukaku, lukanya Mo Lek itu, tolong kau saja yang obati. Sebentar baru kita bicara pula!"

Thian Hiong menjadi pemimpin, pertempuran telah berakhir, hari pun akan segera mulai terang tanah, maka perlu ia melakukan pemeriksaan kepada orang-orangnya, untuk melihat mereka yang terluka atau terbinasa, guna merapihkannya, supaya begitu cuaca terang, mereka dapat segera pulang ke gunung. Han Cie Hun menarik tangannya Mo Lek, buat diajak memilih tempat, di situ keduanya duduk berendeng. Ia lantas periksa lukanya si anak muda. Terus ia tertawa dan kata, "Nona itu memperlakukan kau tanpa kecelaannya! Obat luka Keluarga Ong lebih mujarab daripada obatku, maka tak usahlah aku menguatirkan lagi lukamu ini!"

Mo Lek menjadi likat sekali.

"Encie Han, kau menggodai aku!" katanya.

"Apakah aku omong salah?" tanya Cie Hun, tertawa pula. "Apakah obat ini bukan obat yang dia borehkan kepada lukamu?"

Terpaksa Mo Lek mengangguk. "Ya, dia yang mengobati aku," ia mengaku.

Cie Hun batuk satu kali. Lantas ia menunjuki roman sungguh-sungguh.

"Sekarang datang giliranku menanya kau!" katanya. "Sebenarnya, bagaimanakah duduknya hal? Tadi aku telah mendusta untuk membantu padamu, tetapi sekarang ku mesti omong terus terang padaku!"

"Aku terluka, karenanya aku kena ditawan," Mo Lek menjawab. "Dia hendak membawa aku ke Liong Bin Kok..."

Nona Cie tertawa.

"Tetapi belum pernah aku menyaksikan ada orang tawanan yang diperlakukan sebaik kau tadi," katanya. "Sudah kau tidak ringkus, jalan darahmu pun tidak ditotok, sebaliknya dia mengajak kau duduk bersama di atas seekor kuda, bahkan dia membiarkan kau memeluki tubuhnya!"

Muka Mo Lek kembali menjadi panas, telinganya terasa panas. "Aku juga tidak dapat mengerti maksudnya itu," ia kata perlahan. "Aku dengan dia ada musuh besar satu dengan lain, permusuhan yang dalam seperti lautan, ketika aku ditawan dia, aku telah pikir bahwa aku bakal tidak hidup lama lagi."

Cie Hun tertawa geli, ia mengeluarkan jari tengahnya untuk menusuk perlahan pemuda di sisinya.

"Dasar anak tolol!" katanya. "Kau benar-benar tidak mengerti atau cuma berlagak pilon saja, kau tetap mensia-siakan maksud baik dia itu! Aku telah melihatnya sejak tujuh tahun yang lalu! Ketika itu dia masih seorang nona cilik, tetapi ketika itu dia sudah menyukai kau! Ketika di Liong Bin Kok kamu bertempur, bukankah dia telah menaruh belas kasihan padamu? Kau bilang, kau masih ingat atau tidak peristiwa dulu hari itu?"

Mo Lek malu berbareng mendelu.

"Encie Han, jangan kau goda aku!" katanya keras. "Sudah aku bilang, kita bermusuh seperti dalamnya lautan, tak perduli bagaimana sikapnya terhadap aku, sakit hatiku tetap mesti dibalaskan! Jikalau kau tidak percaya aku, baik nanti aku bersumpah kepadamu...!"

Cie Hun membekap mulut orang.

"Kau mau membalas sakit hati atau tidak, itulah urusanmu!" katanya tertawa. "Apa perlunya aku menghendaki kau bersumpah? Sudah, jangan kau omong keras-keras, nanti  orang dengar, mereka dapat mentertawakan kita!"

Perkataan Nona Han ini mempunyai dua maksud. Yang pertama seperti si nona mengatakan Mo Lek takut hubungannya dengan Ong Yan Ie diketahui orang. Yang lainnya, nona itu menganggap sumpahnya seperti lelucon. Maka itu, si anak muda lantas bungkam.

Tatkala itu Sin Thian Hiong sudah kembali. "Bagaimana, apakah lukamu sudah tidak nyeri lagi?" dia tanya. "Kau dapat menunggang kuda atau tidak?"

"Aku berterima kasih kepada Nona Han buat obatnya yang mustajab," sahut Mo Lek. "Sekarang ini aku merasa jauh terlebih enakan. Dari itu soal menunggang kuda bukannya soal lagi."

"Baiklah kalau begitu! Sekarang mari, aku mengundang kau datang ke bentengku untuk kau beristirahat buat beberapa hari! Di sana masih ada beberapa orang yang kau kenal!"

Itu waktu cuaca sudah terang, maka Thian Hiong lantas mengasih perintah untuk pasukannya mulai berangkat pulang.

Mo Lek hendak pergi ke Kiu-goan menjenguk suhengnya, si kakak seperguruan, Lam Ce In, akan tetapi ingat kepada lukanya, ia membatalkan niatnya.

Ia memang sudah dapat menunggang kuda, tetapi bagaimana andaikata di tengah jalan ia bertemu musuh? Pasti tak dapat ia berkelahi untuk melawan musuh itu. Pula, Thian Hiong dan Cie Hun adalah sahabat-sahabat dengan siapa sudah bertahun-tahun ia tidak bertemu, tak dapat ia menampik kebaikan hati mereka itu. Maka ia menerima baik undangan.

Kuda uy-piauw-ma dari Cin Siang, yang kena ditangkap, dicoba dinaiki seorang tauwbak, tetapi lacur tauwbak itu, dia kena dibikin roboh terguling.

Melihat demikian, Sin Thian Hiong tertawa.

"Benar-benar seekor kuda jempolan!" dia memuji. "Sayang adatnya rada kasar! Dia tak sudi ditunggangi sembarang orang! Dapat aku naik di atasnya, cuma tak dapat aku lakukan itu. Kalau dia dipaksa tunduk, dia tak puas." "Nanti aku yang coba," berkata Cie Hun, yang terus menghampirkan kudanya Cin Siang itu.

Karena kena tergaet, binatang itu terluka kakinya, dagingnya robek, benar orangnya Ong Yan Ie pernah memberi obat dan lukanya dibalut, akan tetapi setelah pertempuran barusan, balutannya sudah terlepas.

Cie Hun melihat luka itu, ia lantas mengobati dan membungkusnya. Habis itu ia menepuk-nepuk leher binatang itu, sembari tertawa dan dia kata, "Mari kita bersahabat! Apakah kau mau?"

Kuda itu mengangkat kepalanya dan meringkik keras. Itulah pertanda bahwa dia mengerti maksud si nona. Ketika dia mengasih turun kepalanya, perlahan-lahan dia menjilati nona itu, setelah mana dengan jinak dia membiarkan si nona lompat naik atas punggungnya.

Sin Thian Hiong tertawa.

"Dasar kau cerdik, kau mempunyai akal!" kata dia. "Baiklah, kuda ini aku berikan padamu!"

Sebenarnya kuda itu bukan berterima kasih kepada Cie Hun karena dia diobati, dia hanya bersyukur lantaran barusan Nona Han sudah mengusir Ong Yan Ie. Dia memandang Yan Ie sebagai musuh, maka senang dia melihat musuhnya kabur.

Ketika mereka berangkat, Cie Hun mengajak Mo Lek naik bersama di atas kuda uy-piauw-ma itu.

"Mo Lek, kau lapar atau tidak?" tanya si nona. "Aku mempunyai rangsum kering. Kau lihat, bagaimana aku sembrono, sampai aku lupa tanya kau sudah dahar atau belum..." Mo Lek bersyukur kepada si nona, yang sangat memerlukannya.

"Terima kasih," ia menjawab. "Aku juga masih mempunyai abon. Cukup asal kau membagi sedikit air padaku."

Abon itu ialah abon pemberiannya Ong Yan Ie, karena itu, selagi meggayam daging halus itu, Mo Lek ingat peristiwanya dengan Nona Ong. Tiba-tiba ia melengak sendirinya.

"Eh, kau pikirkan apa?" Cie Hun menegur, heran.

"Oh, tidak apa-apa!" sahut si anak muda gugup. "Apakah ayahmu baik-baik saja? Dulu hari itu ayahmu berbuat baik sekali kepadaku, maka aku ingin sekali menjenguknya!"

"Ayahku baik," si nona menyahut. "Hanya kalau kau hendak menemuinya, mungkin maksudmu tak kesampaian! Ayahku tidak ada di dalam benteng."

Mo Lek mengawasi si nona. Dia tertawa. Cie Hun bersenyum.

"Taruh kata aku suka menjadi ratu berandal, Paman Sin pasti tak akan mengijinkannya," ia kata. "Sebenarnya ayahku mesti pergi jauh untuk menjenguk sahabatnya, tak suka ia mengajak aku, lalu aku disuruh berdiam di benteng, dititipkan pada Paman Sin."

Thian Hiong berjalan di sebelah depan, dia mendengar pembicaraan muda-muda itu, dia berpaling sambil tertawa.

"Bukannya dia dititipkan padaku, untuk aku melihat-lihatnya, hanya dialah yang membantu aku!" katanya. "Jikalau tidak ada Sat-sie Siang-eng bersama dia di bentengku, tentu dari siang- siang Ong Pek Thong sudah berhasil merampas bukit Kim Kee Nia!" Di antara Liong Bin Kok dan Kim Kee Nia ada jarak seratus lima puluh lie lebih, maka itu di waktu magrib, pasukannya Sin Thian Hiong telah kembali ke bentengnya. Semua tauwbak, besar dan kecil, lantas menyambut.

Sat-sie Siang Eng, yaitu dua jago she Sat, bersama Liong Chong Siangjin, yang menjadi tetamu, berdiam terus di dalam benteng, maka itu, kedua belah pihak saling bertemu sesudah Thian Hiong beramai masuk ke dalam.

Mo Lek menjadi kenalan lama sekalian tetamu itu, maka juga di waktu bertemu, begitu habis saling memberi hormat, kedua pihak lantas bicara banyak dan asyik, membicarakan peristiwa di sarangnya Ong Pek Thong itu.

Melihat kuda uy-piauw-ma, semua orang memuji. "Sebenarnya, bagaimana caranya kuda ini didapatkan

kamu?" tanya Liong Chong Siangjin.

"Itulah binatang tunggangannya Ong Pek Thong," Nona Han memberi keterangan. "Paman Sin yang merampasnya!"

"Keliru!" kata Liong Chong Siangjin.

Cie Hun heran hingga ia melengak. Ketika ia hendak menanya orang suci itu, Mo Lek sudah mendahului.

"Kuda ini sebenarnya kudanya seorang perwira," kata pemuda ini. "Ketika itu si perwira kebetulan lagi terkurung. Aku maju menolongi dia, maka dia dapat lolos dari kurungan dan kabur."

Lebih jauh, Mo Lek menjelaskan jalannya pertempuran ketika ia membantui si perwira.

"Apakah kau ketahui namanya perwira itu?" Liong Chong tanya. "Ketika dia sudah lolos, dia memperkenalkan dirinya padaku.

Dia she Cin, namanya kau lupa."

"Nah, ini barulah benar!" kata pula Liong Chong. "Perwira itu bernama Siang. Dialah cucunya Cin Siok Po, panglima yang berjasa yang turut membangun Ahala Tong. Aku kenal kuda ini. Cin Siang menjabat pangkat tetapi dia gemar bergaul dengan orang kaum pengembara. Tatkala dahulu hari aku mengembara sampai di kota raja, pernah aku disambut dan dilayani dia."

Mendengar itu, Cie Hun tertawa.

"Kalau demikian adanya, kuda ini cuma dapat kita pakai buat sementara waktu saja!" katanya. "Kita harus berdaya upaya untuk membayarnya pulang kepada pemiliknya."

Sin Thian Hiong berdiam sekian lama.

"Memulangkan kuda ialah urusan kecil," katanya. "Tentang Cin Siang itu, pernah aku dengar dia mengikuti utusan pemerintah pergi ke Hoan-yang, sekarang An Lok San hendak membekuk dia, rupanya perkara telah berubah jalannya.

Karena ini, pemimpin ini lantas mengirim mata-matanya pergi mencari kabaran ke kedua tempat, yaitu di Hoan-yang dan ke Liong Bin Kok.

Sampai disitu, Mo Lek menjadi berdiam di Kim Kee Nia, untuk merawat lukanya. Thian Hiong semua repot mengatur penjagaan, karena itu setiap hari mereka cuma mengguh'ai kesempatan sedikit waktu untuk menjenguknya, satu atau dua kali saja.

Dilain pihak, Cie Hun menemaninya setiap detik. Mereka bisa bicara banyak tanpa menjadi bosan, soalnya ialah ilmu silat dan pengalaman masing-masing. Sesudah berselang lima hari, lukanya Tiat Mo Lek telah menjadi sembuh. Ketika itu mata-matanya Thian Hiong juga telah pada kembali dengan beruntun. Mata-mata yang pergi ke Hoan-yang membawa berita halnya An Lok San benar sudah berontak, alasannya ialah untuk menyingkirkan dorna Yo Kok Tiong.

Dia menggeraki lima belas laksa serdadu tetapi dia mengatakan dua puluh laksa jiwa. Oleh karena majunya dia, pihak Liong Bin Kok juga repot bersiap sedia guna memapaknya. Begitulah Ong Pek Thong sudah menyiarkan Lok Lim Cian - Panah Rimba Persilatan - dengan apa dia memerintahkan semua berandal, turut bergerak juga, untuk mereka semua bekerja sama.

Mendengar berita itu, Mo Lek lantas menyatakan bahwa ia hendak berangkat. Ia kuatir, kalau nanti peperangan terbit, perjalanannya dapat terhalang. Ketika ia meminta diri, Sin Thian Hiong tidak mencegah atau menahannya. Sebaliknya, ia lantas dijamu.

Thian Hiong memesan, apabila ia telah tiba di tempat tujuannya, sukalah ia memberitahukan Lam Ce In bahwa apabila dia dibutuhkan, dia suka meninggalkan Kim Kee Nia untuk memberikan bantuannya.

Han Cie Hun hadir bersama dalam perjamuan itu. Nampaknya Mo Lek menyayangi mesti berpisahnya dari si  nona. Sebaliknya si nona tertawa dengan gembira, dia seperti tak memperdulikan perpisahan itu.

Sin Thian Hiong memberi persen seekor kuda pilihan untuk si pemuda, dia pun mengantar serintasan.

Ketika Mo Lek berada di tengah perjalanan, di depan matanya berpeta wajah cantik dan manis dari dua orang nona. Yang satu ialah Ong Yan Ie, yang lainnya Han Cie Hun. Ia pun berpikir, "Yan Ie seperti tak kerasan meninggalkan aku, heran Cie Hun, kenapa ia mengantarkan aku pun tidak...”

Tengah aa berpikir itu, tiba-tiba telinganya mendengar suara larinya kuda. Dengan lantas ia berpaling ke belakang. Untuk herannya, ia melihat Nona Han yang lagi mendatangi.

"Adik Hun!" ia memanggil, heran dan girang. "Kenapa kau menyusul?"

Setelah bergaul erat beberapa hari itu, Mo Lek sudah mengubah panggilannya kepada si nona, tak lagi encie atau kakak, hanya adik, alau langsung namanya. Ia pun terlebih tua tiga tahun daripada nona itu.

Nona Han tertawa.

"Aku tidak mengantarkan kau!" katanya. "Aku tahu, di dalam hatimu, kau mencaci aku!"

Mo Lek tahu ia digodai, ia tidak memperdulikan.

"Tempat ini sudah terpisah jauh dari benteng," katanya. "Apakah kau datang seorang diri?"

Pemuda ini menanya demikian karena dia berkuatir untuk si nona. Thian Hiong menjadi musuh Pek Thong, meski si nona gagah, kalau ia bersendirian saja, ia terancam bahaya. Tempat sekitar itu tempat pengaruhnya Ong Pek Thong. Bagaimana kalau Pek Thong atau orangnya muncul dan mengenali si nona kawannya Thian Hiong?

Maka dia kata pula, "Tempat ini berbahaya. Di sini Ong Pek Thong berkuasa."

Di dalam hatinya, dia menambahkan, "Sebenarnya, kalau kau hendak mengantar aku, kau mesti mengantar semenjak tadi, tidak sekarang setelah aku berjalan jauh beberapa puluh lie? Sekarang kau menyusul aku, bukankah kau lagi bergurau?" Kamar ini namanya kamar besar, sebenarnya sempit, kecuali sebuah pembaringan, sebuah meja dan sebuah kursi, tidak ada perabotan lainnya. Untuk berduduk saja, mereka mesti berdekatan satu dengan lain, hampir tubuh mereka saling sentuh. Karena itu tak heran apabila hidung si pemuda dapat menangkap semacam bau harum dari tubuhnya si pemudi.

Hati Mo Lek goncang. Justeru itu bayangan Yan Ie seperti berpeta di depan matanya. Tak tahu ia apa sebabnya, tiba-tiba ia ingat kepada Nona Ong.

Tengah mereka itu bersemedhi itu, sekonyong-konyong terdengar suara berisik di luar hotel, lalu terdengar suaranya tuan rumah, "Para tetamu yang terhormat, silahkan semua keluar dari kamar masing-masing! Ada pembesar negeri melakukan pemeriksaan!"

"Sungguh menyebalkan!" kata Cie Hun. "Siapa sangka kita bakal menemukan urusan yang memusingi ini!"

Mo Lek tertawa.

"Kau sabar saja!" katanya. "Jikalau kita bentrok dengan dia, pusingnya akan jadi berlebihan!

Semua tetamu mulai bertindak keluar, maka sepasang muda-mudi itu turut keluar juga, akan bercampuran dengan mereka itu, untuk berkumpul di ruang besar.

Ketika itu terdengar suara satu orang, "Di dalam hotel kamu ini, semuanya ini ada berapa orang wanita?"

"Ada tiga," menjawab tuan rumah.

"Mereka ada pria yang menemani atau masing-masing bersendirian saja?" tanya pula orang itu, si pembesar.

"Ada seorang yang berada bersama kakaknya. Yang dua lagi tanpa kawan pria, tetapi merekalah kawan satu dengan lain." "Begitu? Mereka menunggang kuda atau tidak?"

"Ada seorang yang menunggang kuda, ialah si nona yang ada bersama kakaknya."

"Apakah warna bulu kudanya itu?" "Rupanya uy-piauw-ma."

"Baik, kau ajaklah mereka ke istal untuk melihatnya!"

Mo Lek bahkan kaget. Ia mengenali suara orang, hanya ia tidak lantas ingat di mana ia pernah mendengarnya, hingga ia tak tahu juga, siapa pembesar itu.

Ketika keduanya sampai di ruang besar itu, mendadak Tiat Siauw-cecu gentar hati. Sekarang ia telah melihat nyata pada si pembesar. Mukanya menjadi pucat. Pembesar itu, dua orang, bukan lain daripada Liap Hong, komandan muda dari An Lok San, dan yang bicara itu, Ceng Ceng Jie si jago yang selama di Hui Houw San telah bertempur dengan Toan Kui Ciang, pamannya.

Ia bukannya takut, sebaliknya, hatinya panas. Mukanya menjadi merah dan giginya bercatrukan saking menahan gusar.

"Syukurlah kakanya tak datang bersama," pikirnya pula. Selama waktu pertempuran Ceng Ceng Jie dengan Toan Kui

Ciang di Hui Houw San, Mo Lek menjadi salah satu penonton.

Kedua kalinya, ia menemukan Ceng Ceng Jie di Liong Bin Kok. Juga ketika itu, ia tidak sampai menempur Sutee dari Khong Khong Jie itu.

Sekarang ini ia telah bertambah usia, maka itu selagi ia mengenali orang, orang tak mengenali padanya, bahkan tak tahu.

Mo Lek Heran hingga ia berpikir pula, "Mereka bukan ahli tenung, cara bagaimana mereka bisa ketahui kudanya adik Hun ada di sini? Ah, pastilah mereka bukan datang untuk kuda itu... Habis, untuk apakah? Pula Liap Hong ini, dialah orang An Lok San, mengapa dia meninggalkan Hoan-yang yang jauhnya beberapa ratus lie dan datang kemari, merondakan sebuah dusun sekecil ini?"

Tak dapat Mo Lek menerka, maka terus ia menghadapi teka- teki.

Dua wanita lainnya ada wanita-wanita tukang jual silat, rambut mereka panjang.

Ceng Ceng Jie menyuruh serdadunya mengangkat obor tinggi-tinggi, guna menyuluhi muka orang. Ia mengawasi sekian lama. Mendadak ia mengulur tangannya, meraba rambut wanita.

Wanita yang terlebih tua, yang romannya sangat menarik hati, tertawa cekikikan.

"Tayjin, kau bikin apa?" dia menegur. "Aduh! Aduh! Ha, ha, ha, ha! Geli! Geli!"

Mendadak Ceng Ceng Jie menolak tubuh orang. "Ngaco belo!" bentaknya. "Siapa bergurau  denganmu?  Kau mundur, di sini tidak ada urusanmu!"

Itu artinya kedua wanita itu bebas dari sangkaan jelek.

Ceng Ceng Jie lantas menoleh kepada Han Cie Cun. Dia melirik, dia mengawasi, agaknya dia terkejut karena heran. "Kau kerja apa?" akhirnya dia tanya.

"Aku bersama kakakku pergi menyingkir dari ancaman peperangan," sahut si nona.

"Hm, nona yang cantik!" kata pembesar itu. "Kau mengerti silat, bukan?"

Ia terus menunjuk pedang di pinggang orang. "Aku tidak mengerti silat, tetapi di waktu tak aman seperti ini, ada baiknya aku membekal senjata," sahutnya pula. "Umpama kata ada orang jahat, tak nanti dia sembarang dapat mengganggu..."

"Hm!" bersuara Ceng Ceng Jie, yang maju satu tindak, lalu mendadak tangannya diulur, hingga menyamber tangan orang.

"Kurang ajar!" berseru Tiat Mo Lek. "Kau menghina kaum wanita!"

Sembari membentak itu, anak muda ini mengayun tangannya ke muka orang. Tak suka ia melihat orang demikian ceriwis.

Tak mudah Ceng Ceng Jie mengasih mukanya digaplok. Ia menggeraki tangannya, guna menangkap tangan orang. Sembari tertawa, ia kata, "Bocah tolol, apakah kau sudah bosan hidup?"

Berhasil samberan itu, akan tetapi Mo Lek mengerahkan tenaganya. Maka si ceriwis terkejut. Dia membentur tangan yang kuat, yang keras sekali tenaga membaliknya, hingga cekalannya menjadi terlepas!

Walaupun demikian, dengan tangannya yang lain, ia mencoba meraba kulit putih halus dari si nona. Ia dapat bergerak dengan cepat dan gesit.

Han Cie Hun dapat melihat gerakan orang, ia lantas mengebut, buat menarik perhatian orang, dilain pihak, dengan tangannya yang lain, ia membalas menyerang, menotok beruntun dengan lima jeriji tangannya. Ia menyerang sambil berlompat berjingkrak, maka itu, ia dapat rnengarah batok kepala!

Ceng Ceng Jie terkejut. Sebenarnya dia telah menduga  kakak beradik itu mengerti silat, hanya mimpi pun dia tak menyangka orang demikian liehay. Dalam kagetnya, dia berlompat mudur dengan gerakan tipu silat "Burung Hong mengangguk".

Dia terkejut pula. Biarnya dia sangat gesit, jeriji si nona sudah mengenakan juga padanya. Hingga sedetik itu dia merasa kepalanya nyeri dan matanya kegelapan!

Ketika itu Tiat Mo Lek sudah menghunus pedangnya, sambil berlompat maju, ia menikam kepada Ceng Ceng Jie.

Meski matanya belum sempat dibuka, Ceng Ceng Jie dapat mendengar suara anginnya lawan, dengan gesit ia menggeser tubuh, untuk berkelit. Ia berhasil menolong dirinya. Dalam ilmu ringan tubuh, ia menang dari si pemuda. Maka juga, meski ia dirangsak dan ditikam berulang-ulang, Mo Lek gagal.

Ketika serangan yang keempat kali tiba, Ceng Ceng Jie telah sempat menghunus pedangnya, dengan itu ia menangkis, hingga kedua senjata bentrok dengan nyaring.

Sebagai akibatnya bentrokan itu, Ceng Ceng Jie mundur dua tindak dan Mo Lek rugi pedangnya, yang kena "terluka" sedikit...

Keduanya bertempur terus secara hebat, dua-dua sama penasarannya.

Liap Hong tidak turut bertempur, akan tetapi dengan pedang terhunus, ia menjaga di ambang pintu.

"Apakah cuma ini dua orang?" ia tanya.

"Jangan perdulikan mereka berdua penjahat atau bukan, tangkap dulu!" Ceng Ceng Jie memberikan jawabannya. Dengan kata-kata itu, dia sebenarnya minta bantuan si kawan.

Belum sampai Liap Hong maju, Han Cie Hun sudah mendahului menerjang. Nona ini menggunai pedangnya, pedang Ceng Kong Kiam, sebagai Poan-koan-pit, alat peranti menulis. Dengan ujung pedangnya ia menikam berulang-ulang mencari jalan darah Ceng Ceng Jie.

Saudara seperguruannya Khong Khong Jie menjadi heran, hingga dia memperdengarkan suara herannya itu.

"Eh, budak perempuan, kau juga bisa menotok!" katanya. Untuk melayani, jago ini segera bertindak dengan "Yu-liong

Jiauw-pou," yaitu tindakan "Naga memain". Ia selalu berkelit, saban-saban ia membalas. Seperti si nona, di dalam tempo yang pendek ia dapat membalas menikam tujuh kali.

Ceng Ceng Jie menang di dalam halnya ilmu ringan tubuh serta latihan, maka itu kemudian pedangnya telah meluncur ke iga si nona, begitu cepat hingga nona itu-kaget. Sasaran dari itu ialah jalan darah jie-khie.

Cie Hun baru saja menyerang ke tempat kosong ketika ia dibalas ditikam ini. Syukur untuknya, selagi ia terancam bahaya itu, Mo Lek datang di saat yang tepat menalangi ia menangkis. Dengan satu gerakan "Seng-liong In-hong," atau "Menunggang kuda menarik burung Hong," pemuda she Tiat itu membuat pedang Ceng Ceng Jie terpental. Tapi kedua senjata bentrok, Mo Lek yang mendapat kerugian, yaitu pedangnya kalah dan sempoak pula.

Pedangnya Ceng Ceng Jie pedang yang tajam yang dibuat dari campuran emas dengan besi pilihan, maka juga diberi nama "Kim Ceng Tiat Kiam". Badan pedang guram tak bercahaya, dilihatnya tak mempuasi, akan tetapi pedang itu berat dan tajam sekali. Siapa bentrok dengan pedang itu akan merasa seperti bentrok dengan toya besi.

Melihat Han Cie Hun lompat mundur, Ceng Ceng Jie tertawa terbahak. "Ilmu totok kau tak dapat dicela, kau belum melatihnya sempurna!" kata dia.

Itulah pujian campur ejekan. Meski begitu, di dalam hati, Ceng Ceng Jie gentar.

Ilmu pedang Ceng Ceng Jie didapat dari kitab silat peninggalan Wan Kong. Kitab silat itu sudah lama lenyap dari peredaran, baru pada tiga puluh tahun yang lampau dapat diketemukan gurunya di dalam sebuah kuburan tua.

Maka Ceng Ceng Jie mempelajarinya bersama Khong Khong Jie, sang suheng. Kakak seperguruan ini dapat menikam, atau menotok sembilan jalan darah, tapi adiknya cuma tujuh. Maka itu, di dalam ilmu totok dengan pedang itu. kecuali si kakak seperguruan, dialah yang dia rasa paling liehay.

Tak tahunya sekarang dia menemui Han Cie Hun, seorang gadis remaja, bahkan ilmu pedang si nona beda daripada ilmu pedangnya sendiri. Karena itu, ia jadi berpikir, "Apakah ilmu totok pedang ini bukan cuma asal satu partai dan disebelahnya Wan Kong masih ada lain ahlinya? Budak ini kalah latihan, tetapi nanti, selang beberapa tahun, bukankah dia bakal jadi sangat liehay?"

Ia berpikir demikian karena ia tak tahu Cie Hun putri Han Tam, ahli totok nomor satu di jamannya itu.

Liap Hong menghunus pedangnya, dia maju membantu dengan satu serangan pedang "Burung walet menggaris pasir," ia menikam dengkulnya Tiat Mo Lek.

"Eh, kau juga datang?" Mo Lek berseru sambil ia menabas dengan pedangnya ia bersilat dengan ilmu silat golok.

Liap hong menjadi ahli pedang nomor satu dibawahnya An Lok San, toh ia belum pernah lihat ilmu goloknya Mo Lek, dari itu ia terkejut ketika senjata mereka beradu keras, suaranya nyaring, lelatu api muncrat berhamburan dan ketika ia periksa pedangnya, pedang itu gompal. Maka lantas ia menatap lawannya.

"Ah, kau!" ia berseru heran.

"Liap Ciangkun, apakah kau kenal padanya?" Ceng ceng jie bertanya.

"Dialah Tiat Mo Lek, anaknya Tiat Kun Lun," jawab Liap Hong

Setelah pertempuran di Hui Houw San, Khong Khong Jie kenal baik sekali Tiat Mo Lek, karena itu sang suheng telah memberutahukan kepada adik seperguruannya sambil memesan, kalau si sutee ketemu Mo Lek, dia harus berlaku murah hati.

Liap Hong pernah mendengar Ceng Ceng Jie bicara tentang Mo Lek itu, karenanya sekarang perwira ini sengaja menyebut jelas nama anak muda dengan pengharapan suteeenya Khong Khong Jie Ini suka melepaskan Mo Lek.

Akan tetapi Ceng Ceng Jie berpikir lain. Dia telah dipengaruhi sangat dengan jasa. Disamping menghormati Khong Khong sang suheng, dia juga ingin membaiki Ong Pek Thong. Maka dia tertawa bergelak.

"Kiranya kaulah Tiat Mo Lek, anak angkat dari si setan tua bangkotan Touw Lo-toa!" katanya, nyaring. "Dulu hari kau diberi ampun oleh suhengku, kau tidak dibikin mati, maka sekarang, dengan memandang suhengku itu, aku juga tidak akan merampas jiwamu! Lekas kau letakkan senjatamu, supaya kau tidak usah sampai terluka dan tersiksa karenanya”

Itulah nasehat atau bujukan supaya Mo Lek menyerah, supaya la bisa bawa anak muda itu untuk diserahkan kepada Ong Pek Thong Tiat Mo Lek menjadi gusar. Sebaliknya daripada menyerah, ia kata nyaring, "Ceng Ceng Jie! Lekas kau berlutut dan mengangguk tiga kali kepadaku! Kau mesti membenturkan kepalamu dengan nyaring! Secara demikian, mungkin aku nanti memberi ampun padamu!"

Ceng Ceng Jie mendongkol bukan kepalang.

"Bangsat cilik yang temberang!" dia membentak. "Sebenarnya kau sudah belajar silat beberapa hari?"

Lantas ia menyerang dengan seru sekali, ketika si  anak muda berkelit dan menangkis, ia mendesak keras.

Liap Hong mengeluh di dalam hati. Ia berkuatir untuk pemuda itu.

Mo Lek tidak takut, ia melawan sama kerasnya. Ia menggunai "Liong-heng Kiam-hoat," atau ilmu pedang "Naga" yang ia pelajari dari kitab pedangnya Toan Kui Ciang, yang semuanya terdiri dari enam puluh empat jurus.

Dibawah pimpinan Mo Keng Lojin, ia juga sudah berlatih selama tujuh tahun, maka itu kepandaiannya tak beda seberapa dengan kepandaian Ceng Ceng Jie. la cuma kalah senjata dan pengalaman, tapi sebaliknya, ia menang semangat.

Ceng Ceng Jie mesti berlaku waspada ketika ia melihat lawan muda itu merangsak mati-matian.

Ketika itu Liap Hong sudah turun tangan membantu Ceng Ceng Jie. Mo Lek menyerang sama hebatnya kepada perwira ini, yang menyebutkan namanya terang-terangan, hingga ia menyangka si perwira konconya sutee dari Khong Khong Jie itu.

Karena ia berlaku keras, Liap Hong jadi berlaku sungguh- sungguh juga. Perwira ini takut ia nanti dicurigai Ceng Ceng Jie, tak berani ia berlaku ayal-ayalan. Ceng Ceng Jie mengeluarkan kepandaiannya, karena ia dibantu Liap Hong, dengan lantas ia dapat mendesak Tiat Mo Lek. Rangsakan pemuda itu kena dirintangi.

Han Cie Hun, yang bertempur terus, juga merasakan kesukaran, tak dapat ia mendesak.

Selagi mereka berempat bertarung seru itu, mendadak terdengar suara berisik dari kuda dan manusia. Telah terjadi kekacauan di luar rumah.

Itulah rombongan tentara yang didatangkan Ceng Ceng Jie setibanya dia di dusun Hu Hong Tin. Mereka tidak berarti banyak. Atas perintah, mereka pergi ke istal, buat mengambil kuda bulu kuning itu. Apa celaka kuda-itu melawan dan menjentil roboh empat atau lima diantaranya. Kuda itu lari ke jalan besar, dimana kawanan tentara itu memegatnya, dari itu hiruk pikuklah suara mereka.

Mendengar suara kuda itu, Han Cie Hun ingat suatu apa. "Mo Lek, mari!" ia memanggil.

Mo Lek pun mendapat serupa pikiran seperti si nona. Maka mendadak mereka melakukan serupa gerakan berbareng. Bersama-sama mereka lompat menerjang Liap hong

Perwira itu nampak kaget, ia lompat ke samping. Ia memang tidak mau mengadu jiwa. Dengan ia berkelit, muda-mudi itu sudah lantas dapat meloloskan diri, keluar dari dalam rumah.

Kuda itu mengenali baik majikannya, dia dapat membela juga. Sebenarnya setelah lolos, dia dapat lari kabur, tetapi dia tidak berbuat demikian, dia lari sana-sini dan mundar-mandir, ringkiknya tak hentinya. Itulah panggilannya untuk majikannya.

Asal ada serdadu yang datang dekat padanya, dia menyerang dengan kedua kaki belakangnya. Untungnya kawanan serdadu itu dapat perintah untuk menangkap hidup, jadi tidak ada yang berani memanah atau menggunakan senjata tajam lainnya. Dia jadi cuma dikepung-kepung.

Setiap kali dia dikurung, dia menerjang, dia membuat orang buyar. Tapi begitu dia melihat Mo Lek dan Cie Hun, segera dia lari menghampirkan.

Ceng Ceng Jie sangat liehay. Dia tak sudi membiarkan orang lolos. Dia mengejar dengan berlompat tinggi, dia melewati muda-mudi itu, untuk turun di sebelah depannya, untuk mencekal kuda itu, yang mesti mundur karena tak sanggup bertahan dari tenaga orang yang luar biasa. Dia mundur belasan tindak. Kuda itu kaget tetapi tidak merangsak lagi.

Setelah menahan sang kuda, Ceng Ceng Jie memutar tubuhnya, untuk menghadapi kedua lawannya, sembari tertawa terbahak, dia berkata, "Apakah kamu masih memikir untuk kabur? Hm!"

Mo Lek dan Cie Hun tidak menjawab dengan mulut, hanya dengan masing-masing senjatanya. Keduanya menyerang kepada penghadang itu. Pedang yang satu menikam ke pundak, pedang yang lain membabat kedua kaki. Jadi itulah serangan ke atas dan ke bawah. Karena keduanya sama liehaynya, bisa dimengerti hebatnya sambutan itu.

Ceng Ceng Jie pun liehay, tak sudi ia menyambut keras dengan keras. Ia berlaku licik. Ia mengandalkan keringanan tubuhnya. Setelah berkelit, ia berlompatan ke kiri dan kanan kedua lawannya itu.

Mo Lek dan Cie Hun merasakan sulit. Terpaksa mereka memernahkan diri punggung dengan punggung. Dengan begitu mereka menjadi tak usah memutar tubuh, tak usah mereka memperhatikan lagi bagian belakang mereka. Dapat mereka melihat ke depan dan ke kiri kanan dengan merdeka. Untuk sementara mereka mengambil sikap membela diri saja.

Kembali Liap Hong merasakan sulit. Ia ingin membiarkan dua orang itu pergi, tetapi setelah orang dirintangi Ceng Ceng Jie, tidak dapat ia menonton saja. Maka terpaksa ia maju, untuk membantui lawan itu.

Mo Lek dan Cie Hun menjadi repot. Datangnya Liap Hong itu menambah repotnya mereka membela diri. Sembari mendesak itu, Ceng Ceng Jie bersiul nyaring. Dengan lantas seorang opsir yang menunggang kuda mengaburkan kuda kepadanya.

"Bu Tayjin," kata Ceng Ceng Jie pada opsir itu, "Tolong kau tangkap kuda itu. Dialah kuda jempolan, jangan kau lukai!"

Opsir she Bu itu, Leng Sun namanya. Dia menjadi salah satu opsir yang dipercaya An Lok San. Dia kenal kuda itu kuda tunggangan Cin Siang.

Mendengar suaranya Ceng Ceng Jie, dia tertawa dan kata, "Tak usah dipesan lagi. Aku tahu kuda ini kudanya Cin Siang yang kemarin ini kabur dari Hoan-yang, maka itu, tak perduli kedua bocah ini ada sangkut pautnya atau tidak dengan orang she Cin itu, baiklah mereka dibekuk! Ini pula berarti satu pahala besar!"

Ceng Ceng Jie pun tertawa.

"Liap Ciangkun, sungguh kebetulan untuk kita!" kata dia kepada Liap Hong.

Liap Hong mengerti. Mengertilah ia yang Ceng Ceng Jie mulai mencurigakannya. Sudah tentu, tidak dapat ia membuat rahasia hatinya terbuka. Ia tidak menjawab tetapi ia tahu bagaimana harus bersikap. Maka ia mulai menyerang keras pada Mo Lek atau Cie Hun. Muda-mudi itu merasai kesukaran hebat. Mereka terdesak, repot mereka membela diri.

Selagi pengepungan berlangsung hebat itu, orang mendengar suara derapnya seekor kuda yang dengan lekas sekali telah tiba di luar kalangan pengepungan, hingga terlihat itulah seekor kuda putih pilihan dengan penunggangnya seorang nona.

Begitu tiba, nona itu tertawa nyaring, iramanya, gembira sekali.

"Kamu keliru mencari orang!" demikian katanya keras tetapi merdu.

Lantas kedua tangannya bekerja, mengerjakan panahnya. Bu Leng Sun sedang menangkap kuda uy-piauw-ma ketika itu dia menjerit keras dan kesakitan, sebab lengannya kena terpanah.

Tiat Mo Lek berpaling, lantas dia berseru, "Oh, kau, Nona Hee!"

"Ya!" menjawab si nona, ialah Hee Leng Song, yang lantas menerjang, hingga sebentar saja ia sudah menoblos kurungan barisan serdadu, datang dekat pada Mo Lek semua.

Ceng Ceng Jie berpaling, dia memutar tangannya, guna menuding si nona yang baru datang itu, "Kiranya kaulah si penjahat kemarin malam!"

Sembari menegur itu, ia bergerak terus, berlompat untuk menerjang. Itulah tipu silat "Elang menyambar kelinci".

Nona Hee menangkis serangan itu. Kebetulan sekali, tangkisannya berbareng dengan tangkisan Tiat Mo Lek. Senjata kedua pihak lantas beradu dengan keras. Selagi suara beradu terdengar nyaring, tubuhnya Ceng Ceng Jie berjumpalitan mundur, dan si pemuda dan pemudi mundur masing-masing ke samping!

Berdua mereka menang tenaga tetapi Ceng Ceng Jie  menang gesit dan enteng tubuh.

Segera setelah sama-sama mundur, kedua belah pihak maju pula dengan berbareng, saling menghampirkan guna melanjuti pertempuran.

"Ha, nona yang cantik!" kata Ceng Ceng Jie tertawa. "Syukur malam itu pedangku tak membuat parasmu bercacad!"

Dia maju terus dengan tindakan "Naga mendekam". Mo Lek dan Leng Song telah menyerang pula, dengan lawannya berkelit, serangan mereka mengenai tempat kosong. Ketika itu digunai Ceng Ceng Jie, buat mendesak, sembari mengancam dengan pedangnya, tangan kirinya menotok si nona.

Leng Song seperti telah dapat menerka maksud orang, tanpa ayal lagi, ia menyambut dengan satu sabetan, dengan tipu silat "Burung Hong mengangguk".

"Telengas!" Ceng Ceng Jie berseru selagi ia membebaskan diri.

Tapi kali ini, dua-duanya tak lolos. Ujung bajunya Nona Hee kena terbentur tangan orang dan menjadi robek hingga terdengar suaranya. Bajunya Ceng Ceng Jie di lain pihak telah ditembuskan juga ujung pedang. Syukur tubuh mereka masing- masing tak terlukakan.

"Bangsat cilik!" Leng Song mendamprat. "Jikalau kau tidak dapat balas sakit hati ini, tak sudi aku menjadi manusia!"

Nona ini bersakit hati karena ujung rambutnya pernah dipapas Ceng Ceng Jie. Ceng Ceng Jie telah dipujikan dan diserahkan Pek Thong kepada An Lok San untuk melindungi An Lok San serumah tangga, maka ia menjagai istananya Ciat-touw-su yang berontak itu, tetapi tadi malam, ketika Nona Hee tiba, mereka bentrok, di situ si nona cuma kena terpapas ujung rambutnya. Selama itu, Ceng Ceng Jie belum melihat tegas nona itu.

Ketika Leng Song lolos, ia keluar dengan kudanya yang berbulu putih itu, yang satu hari dapat lari seribu lie. Tak sanggup Ceng Ceng Jie mengejarnya. Karena itu Leng Song dapat lolos terus dan lalu singgah dilain rumah penginapan di jalan itu juga. Ini pula sebabnya kenapa dari kamarnya ia mendengar suara berisik, lantas ia keluar untuk melihat, hingga ia mengenali Mo Lek.

Ilmu pedang Nona Hee ilmu pedang satu cabang sendiri, dan kali inilah yang pertama kali Ceng Ceng Jie bentrok dengan si nona, mulanya Ceng Ceng Jie memandang ringan nona itu, baru sekarang, sesudah mereka beradu tangan, dia insaf orang liehay.

Bantuannya Mo Lek pun mempersulit padanya. Tenaga dalam si pemuda sama tangguhnya dengan tenaga dalam si pemudi.

Bentrokan itu merugikan Mo Lek. Lagi-lagi pedangnya menambah cacad. Dilain pihak, pedang Ceng Ceng Jie kena dibikin terpental, syukur tak sampai pedang itu terlepas dari cekalannya. ^

"Kena!" terdengar Nona Hee berseru, pedangnya menyambar bagaikan kilat.

Kali ini Ceng Ceng Jie yang gesit kewalahan juga. Ujung pedang si nona telah mengenai pundaknya. Lantaran ia sempat berkelit, lukanya hanya luka lecet saja. i Liap Hong sudah lantas maju guna melindungi kawan itu, tetapi dia dipegat Tiat Mo Lek, yang terus menegur keras, "Eh, binatang, kenapa kau membantui harimau mengganas? Nyata kau tak dapat diberi ampun!"

Sembari menegur, Mo Lek menyerang dengan satu tabasan.

Tepat Mo Lek menabas, Leng Song sudah mendahului padanya. Selagi Liap Hong hendak membela diri dari si anak muda, ujung pedang si pemudi sudah menggores pundaknya, hingga darahnya lantas muncrat keluar. Sambil menjerit keras, ia lari kabur!

Mo Lek jadi menyerang sasaran kosong, karena ia menggunai tenaga berlebihan, tubuhnya sampai lewat ke depan. Ia menyesal sekali, hingga berulang kali ia berseru, "Sayang! Sayang!"

Tak terpikirkan si anak muda, Leng Song dengan serangannya itu memang berniat meloloskan opsir itu, kalau tidak, belum tentu bagaimana jadinya dengan Liap Hong.

Peristiwa itu ada baiknya untuk Liap Hong, dia jadi pergi dengan alasan yang kuat.

Segera seberlalunya Liap Hong, Ceng Ceng Jie kontan kena dikepung bertiga oleh Mo Lek, Cie Hun dan Leng Song. Inilah berbahaya untuknya, tak perduli dia liehay sekali. Melawan Mo Lek dan Cie Hun, dia belum dapat berbuat banyak, bagaimana sekarang setelah tibanya Nona Hee.

Begitulah, belum lama, beberapa kali ia sudah terancam serangan serangan yang membahayakan. Pertama hampir kena jalan darah soan-kje kena ditikam Cie Hun, lalu pedangnya Mo Lek mengancam dahinya. Syukur dia masih tetap gesit.

Menghadapi suasana itu, sutee dari Khong Khong Jie tidak berani melawan lebih lama pula. Tepat ketika Mo Lek membacok, dia berseru, "Bagus!" lalu dengan pedangnya dia menyambuti pedang lawan, untuk ditekan keras, berbareng dengan itu, dia meminjam tenaga lawan tubuhnya mencelat mundur, untuk menjauhkan diri.

"Tinggalkan batok kepalamu!" berseru Leng Song, yang menyerang selagi orang mencelat itu.

Ceng Ceng Jie terkejut, tetapi dia tabah, dia tidak menjadi gugup. Dengan sebat dia berkelit, kepalanya ditunduki, supaya pedang si nona lewat di atasan kepalanya itu.

Dia gesit sekali, dia toh masih kalah sebat. Dia cuma bisa menolongi batang lehernya, ujung rambutnya tidak! Rambutnya itu kena tertabas pedang si nona, hingga Leng Song berhasil mencari balas!

"Ha, ha!" tertawa si nona, yang menyesal berbareng girang. "Baiklah, rambutmu ini dapat mengganti jiwamu, maka pergilah kau, aku beri ampun!"

Ceng Ceng Jie lolos untuk kabur terus, sebentar saja dia telah merat jauh. Cuma dari arahnya itu terdengar suara terompet nyaring.

"Dia masih belum puas!" kata Nona Hee. "Rupanya dia memikir memanggil bala bantuan!"

"Biarlah dia tak puas!" kata Mo Lek. "Aku pun masih penasaran! Aku cuma kuatir dia tak berani datang pula!"

Leng Song tertawa.

"Untuk menuntut balas tak perlu orang kesusu!" katanya manis. "Sebenarnya syukur yang kita dapat membuatnya kucar- kacir!"

"Ya," berkata Cie Hun. "Kita masih harus lekas pergi ke Kiu- goan, tak perlu kita melakukan pertempuran lagi!" Leng Song menunggang kuda, maka itu Cie Hun kata pada si pemuda, "Mo Lek, mari kita berdua naik atas uy-piauw-ma! Kuda lainnya tak dapat menyusul kuda putih encie Hee!"

Sembari berkata, Cie Hun lompat atas kuda uy-piauw-ma, tangannya terus menggape, melihat demikian, terpaksa Mo Lek berlompat naik di depan nona itu, maka juga bertiga, atas dua kuda, mereka meninggalkan dusun Hu-hong itu, untuk kabur ke barat.

Benar-benar kedua kuda jempolan, larinya sama pesatnya. Selagi mengaburkan kudanya, Cie Hun memeluk erat pinggang si anak muda, sembari tertawa, ia kata perlahan, "Bukankah hari itu kau juga memeluk secara begini?"

Muka dan telinga Mo Lek merah digoda nona yang jail ini. Mau atau tidak, sendirinya ia menjadi ingat Yan Ie. Ia berdiam saja atas godaan itu.

Tak lama langit telah menjadi terang, Leng Song menahan kudanya.

"Sekarang dapat sudah kita beristirahat," kata ia. "Sedikitnya kita sudah melakukan perjalanan seratus lie, meski ilmu ringan tubuh Ceng Ceng Jie sangat liehay, tidak nanti dia dapat menyusul kita."

Mo Lek dan Cie Hun mengangguk.

Pemuda itu gembira sekali. Sudah banyak tahun ia tak bertemu dengan Nona Hee. Dan pertemuan kali ini sungguh diluar dugaan. Dengan lantas ia minta keterangan hal Kui Ciang.

"Selama beberapa tahun ini mereka suami isteri telah terus menerus pergi mengembara," sahut Nona Hee, "Mereka terus mencari anak mereka, akan tetapi tetap mereka belum pernah berhasil menemuinya." "Apakah kau pernah menemui mereka, Encie Hee?"

"Pernah aku menemuinya pada tiga tahun yang lalu. Yang paling belakang ini aku dengar mereka berada di Hoan-yang tetapi aku tidak melihatnya."

Mendengar kata-kata si nona, baru Mo Lek sadar.

"Pantas Ceng Ceng Jie dan lainnya mengatakan hendak menangkap orang jahat," katanya, "Kiranya encielah yang mencoba membunuh An Lok San!"

Leng Song tertawa.

"Maksudku bukan melulu hendak membinasakan orang she An itu," kata ia. "Dia menggeraki tentaranya untuk berontak, kebetulan saja aku tiba di sana di saat dia bergerak itu, jadi niatku timbul secara tiba-tiba. Diluar sangkaku, aku telah bertemu dengan Ceng Ceng Jie."

"Bagaimana dengan See-gak Sin Liong Hong-hu Siong?" Mo Lek tanya lagi. "Apakah kemudian kau telah bertemu pula dengannya?"

Ditanya halnya si Naga Sakti dari Gunung Barat itu, parasnya Leng Song berubah dengan sekonyong-konyong. Ia lantas berkata dengan sengit, "Hantu besar itu yang tak ada  kejahatan besar yang tak dilakukannya! Mau apa kau menanyakan halnya?"

"Tentang dia pernah aku tanyakan guruku," menjawab Mo Lek. "Menurut guruku, Hong-hu Siong benar seorang luar biasa disebabkan kelakuannya yang kadang-kadang aneh. Orang Kang Ouw menyebut Hong-hu Siong jahat tetapi guruku tak percaya segala perbuatan jahat yang dituduhkan itu benar dilakukan olehnya..." "Hm!" Leng Song memutus. "Sungguh aku tidak mengerti kenapa bangsat itu mempunyai peruntungan demikian bagus? Beberapa orang tua-tua pada bicara baik tentang dirinya! Toh aku telah menyaksikan dengan mataku sendiri bagaimana dia telah membinasakan Ciu-kay Kie Tie! Rupa-rupanya Toan Tayhiap belum menuturkan kau tentang peristiwa kebinasaannya Kie Lo-cianpwe itu, bukan?"

-ooo0dw0ooo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar