Kisah Bangsa Petualang Jilid 12

 
Jilid 12

Didalam ilmu pedang, Nona Hee tak dapat melawan Kui Ciang, akan tetapi dibanding dengan Sian Nio dengan goloknya, ia menang banyak. Maka itu Khong Khong Jie menjadi heran dibuatnya.

"Siapakah yang mengajari kau ilmu pedangmu ini?" dia tanya. Leng Song tidak menjawab, ia hanya mendesak. Tiga kali berantai ia menyerang hebat, dan setiap jurusnya itu terpecah pula dalam tiga jurus lain. Ia menyerang sambil menggertak.

Disamping si nona, Kui Ciang turut merangsak. Khong Khong Jie heran sekali. Sekarang tak sempat ia menanya pula si nona. Dengan mereka itu merangsak secara demikian, ia tidak berkesempatan memecah pemusatan pikirannya.

Sian Nio mengambil tempat di pinggiran. Ia menuruti pikirannya Leng Song. Begitu siap, ia mulai dengan serangan panah pelurunya.

Mulanya ia melepaskan tiga kali beruntun, mengincar Khong Khong Jie pada ketiga jalan darah bie-cian di atas, hong-hu di tengah dan hoan-tiauw di bawah. Ia liehay, disini ia mengasih lihat keliehayannya, meski orang bertempur bertiga dan bergerak gesit tak hentinya, sasarannya itu dapat ia cari.

Khong Khong Jie pun memperlihatkan kegesitan dan keliehayannya. Dengan beruntun ia dapat mengelit diri dari dua peluru yang pertama. Untuk itu ia berlompat dan menyambut dengan tangan bajunya, lalu yang ketiga, ia tangkis dengan pisau belatinya.

Meneruskan gerakan senjatanya itu, ia menikam ke arah iga Leng Song di mana ada jalan darah hun-bun. Tapi ia gagal, karena si nona waspada. Dilain pihak Kui Ciang, yang menggunai ketikanya dengan baik, sudah menebas ujung bajunya! Bukan main gusarnya jago ini. Ketika tadi ia menyambut dua buah peluru Sian Nio, semua peluru itu kena tergulung, sekarang ia menggunai itu untuk menyerang balik, membalas kepada Kui Ciang.

Suaminya Sian Nio celi matanya dan gesit tubuhnya, dia dapat berkelit.

Khong Khong Jie tidak berhenti dengan serangan peluru saja, ia membarengi menikam dengan pisau belatinya. Ia mencari sasaran yang berupa ulu hatinya Toan Tayhiap.

Kui Ciang mesti berkelit, demikianpun Leng Song. Ketika itu Sian Nio tidak menyerang pula. Ia melihat orang rapat sekali.

Tiba-tiba terdengar Khong Khong Jie berseru nyaring, menyusul itu, mereka bertiga berlompat mencar.

Leng Song kaget sekali. Tusuk kundai di kepalanya telah kena disambar kutung pisau belati Khong Khong Jie, walaupun ia berkelit sebat sekali. '

Adalah di itu waktu, Touw Sian Nio memanah pula.

Mendadak tubuh Khong Khong Jie jatuh terguling. Kiranya dia menggunai "Kun Tee Tong" atau ilmu silat "Roboh bergulingan" guna menyelamatkan diri, menyusuli mana, sambil bergulingan itu, ia membabat bergantian ke kakinya Kui Ciang dan Leng Song.

Sian Nio bekerja pula, kembali ia memanah.

Dua-dua Kui Ciang dan Leng Song berkelit sambil berlompat, Kui Ciang yang berlompat lebih dulu lalu membalas menyerang dengan cepat.

Khong Khong Jie berkelit, karena mana, hampir peluru Sian Nio mengenai suaminya.. Hanya sekejap, ketiga musuh sudah lantas bertempur pula secara rapat. Karena ini, kembali Sian Nio menunda pelurunya. Ia baru menyerang setiap kali ia melihat lowongan. Untuk itu ia mesti bermata sangat celi dan bertindak sangat cepat. Hanya, meski ia sudah mengorbankan belasan peluru, terus ia tidak mendapatkan hasil.

Khong Khong Jie liehay tetapi dia repot juga. Dia mesti berhati-hati dari panah peluru itu. Karena ini, menghadapi desakan Kui Ciang dan Leng Song, mereka menjadi seimbang.

Tatkala itu matahari sudah turun jauh ke barat. Sang magrib mendatangi. Kedua pihak sudah bertempur setengah jam.

Tengah pertempuran berlangsung terus, tiba-tiba mereka mendengar ada seruan untuk mereka, "Eh, kenapa kamu bertempur! Berhenti! Berhenti!"

Kui Ciang sudah lantas mengambil kesempatan akan melirik ke arah suara itu. Maka ia melihat seorang pengemis dengan pakaian banyak tambalan serta buli-buli di punggungnya, sembari berlari-lari keras, pengemis itu lari ke arah mereka. Ia pun segera mengenali Ciu-kay Kie Tie si Pengemis Pemabuk.

Juga Khong Khong Jie mengenali pengemis tukang tenggak arak itu, ketika ia melihat Kui Ciang berhenti menyerang, ia menghentikan perlawanannya, ingin ia menyapa si pengemis. Justeru itu, Sian Nio memanah, maka pelurunya mengenai dahi orang, hingga sasarannya itu mengucurkan darah!

Hee Leng Song tak mau berhenti, ia lompat menyerang. Khong Khong Jie gusar, dia menangkis. Maka bentroklah senjata mereka satu dengan lain, setelah mana, jago itu kembali membabat ujung tusuk kundai kemala si nona. Syukur Kui Ciang maju pula, guna membantu Leng Song. Karena ini, mereka bertiga jadi bertarung pula. Kie Tie menjadi kurang puas. "Touw Liehiap," ia kata pada Sian Nio, "Aku minta kau memberi muka padaku si pengemis tua!"

Sian Nio lagi sengit, ia tidak menghiraukan perkataan orang, ia melanjuti serangannya.

Menampak demikian, Ciu-kay menggelogoki isi buli-bulinya, habis itu ia menyemburkan keras ke arah medan pertempuran. Serangan ini membuat repot kepada Khong Khong Jie bertiga. Mereka tak takut terlukakan, tetapi mereka tak sudi dibikin mandi arak.

Kie Tie menyembur pula, kali ini ke arah Sian Nio. Ia mau mencegah nyonya itu memanah terlebih jauh.

Muka Nyonya Kui Ciang lantas kena kecipratan arak, dia menjadi tidak senang.

"Kie Lo-cianpwe!" serunya, "Aku bukan tidak sudi memberi muka kepada kau tetapi manusia ini jahat luar biasa! Dia telah merampas anak kami! Kalau dia dibiarkan lolos, kepada siapa kami harus minta pulang anak kami! Dapatkah kau yang menggantinya?"

Mendengar itu, Kie Tie menjadi melengak.

Touw Sian Nio berkata pula, nyaring, "Jikalah lo-cianpwe tidak suka membantu kami, tidak apa, tetapi janganlah lo- cianpwe merintangi kami, kalau tidak, maaf, peluruku nanti tidak mengenali kau!"

Kata-kata si nyonya diiring samberan pelurunya, yang mengenai buli-buli Kie Tie.

"Marilah kita bicara!" Ciu-kay berseru. Dia sadar dari melongonya. "Jangan kau menyerang pula! Jangan kau menyerang pula! Kalau mustikaku ini rusak, aku si pengemis tua tidak punya lagi susu macan untuk ditenggak!" Justeru itu Hee Leng Song berseru, "Toan Peehu, jangan ladeni pengemis bangkotan itu! Dialah konco musuh!"

Toan Kui Ciang menjadi bersangsi, apa pula pada saat itu ia melihat pihaknya mulai menang unggul. Laginya, kalau ia mundur, Leng Song tentu bakal segera terdesak lawan. Maka terpaksa ia berkelahi terus. Habis menyingkir dari arak, mereka bertiga merapat diri pula.

Pada Kie Tie, Toan Tayhiap berseru, "Kie Lo-cianpwe maaf, aku minta kau tanya tentang urusan kita ini kepada isteriku, setelah kau ketahui jelas duduknya, baru kau datang memisahkan kita!"

Touw Sian Nio menyambungi kata-kata suaminya tanpa menanti Kie Tie menanyakannya. Ia kata, "Dia yang menjanjikan kami datang kemari, tetapi di mulut gunung tadi dia memasang orang tersembunyi untuk mencelakai kami, hampir kami suami isteri mati tertimpa hujan batu! Kami tiba di sini, kami bertemu dengan dia, ketika kami minta pulang anak kami, dia menolak memulanginya! Sampai saat ini kami belum tahu anak kami masih hidup atau sudah mati! Lo-cianpwe, silahkan kau timbang dengan adil! Pantas atau tidak jikalau kami mengadu jiwa kami?"

Ketika tadi Kie Tie lewat di mulut gunung, ia memang melihat beberapa mayat. Ia menjadi bersangsi.

"Khong Khong Jie, bagaimana ini?" dia tanya. Rupanya Khong Khong Jie pun panas hatinya.

"Kau hendak tanya aku dalam urusan apa?" dia balik menanya, keras.

"Apakah benar-benar kau hendak membinasakan mereka ini suami isteri?" tanya Ciu-kay. "Gila!" berteriak Khong Khong Jie. "Mana itu dapat terjadi? Jikalau aku hendak membunuh mereka, pasti aku telah melakukannya siang-siang!"

"Jikalau begitu, kenapa kau tidak mau membayar pulang anak mereka?" Kie Tie tanya pula.

Khong Khong Jie berdiam, tak dapat dia menjawab. Inilah justeru kesulitannya. Hal itu yang membuatnya merasa malu sendirinya. Kalau tidak, tentulah tadi dia sudah menjelaskan, atau membereskannya pada Kui Ciang suami isteri itu.

Sebenarnya Kie Tie dan Khong Khong Jie cuma kenalan sambil lalu, tidak ada hubungan erat di antara mereka, karena itu sudah sewajarnya saja ia percaya Toan Kui Ciang dan tak mempercayai kakak seperguruan Ceng Ceng Jie itu.

Ia pun berpikir, "Han Tam membilang dia baik tetapi ketika Han Tam mengenalinya, dia masih kecil, sekarang mereka sudah berpisah buat banyak tahun, siapa tahu dia sudah berubah sifat?"

Karenanya, ia menjadi curiga. Maka itu, melihat orang berdiam, ia lantas menanya pula suaranya keras, "Khong Khong Jie, kenapa kau ragu-ragu? Sebenarnya bagaimanakah duduknya hal?"

Didesak begitu rupa, Khong Khong Jie menjadi tidak senang, ia menjadi gusar.

"Orang tua she Kie, apakah kau hendak memeriksa aku?" ia menegur. "Inilah urusanku, tak usah kau campur tahu!"

Kie Tie menggelogoki araknya, ia berkata dingin, "Aku bukannya hendak memeriksa kau! Laginya aku si pengemis tua, seumurku belum pernah aku usilan mencampuri urusan lain orang! Tapi sekarang aku datang kemari karena aku diminta tolong oleh Lo-cianpwe Han Tam. Han Lo-cianpwe menyuruh aku tanya kau, benarkah kau menjadi kemaruk harta atau pangkat, maka kau jadi bekerja sama dengan Ceng Ceng Jie, adik seperguruanmu itu?"

Sebetulnya Han Tam menghendaki Kie Tie memberitahukan saja kepada Khong Khong Jie perihal sekongkolan dari Ong Pek Thong dengan Ceng Ceng Jie yang mau bekerja sama dengan An Lok San, dan untuk menanya Khong Khong Jie tahu atau tidak urusan dua orang itu, tetapi guna mengesankan hal, ia bicara dengan sikap menegur itu.

Khong Khong Jie sangat menyayangi adik seperguruannya, dari itu ia menjadi gusar.

"Pengemis tua, kenapa kau ngaco belo?" tegurnya pula. "Apakah yang tak benar dari adik seperguruanku itu? Kenapa kau bersikap begini rupa?"

Kie Tie tertawa dingin ketika ia memberikan jawabannya, "Adik seperguruanmu itu sudah tak segan membantu harimau mengganas! Mustahilkah kau belum ketahui sepak terjang adik seperguruanmu itu!"

"Apa kau bilang?" Khong Khong Jie bentak.

"An Lok San lagi mementang pengaruhnya, tidaklah heran dia dapat membeli Ong Pek Thong!" jawab si pengemis pengarakan. "Yang tidak disangka-sangka ialah adik seperguruanmu itu! Dia juga rela menjadi gundal! Sekarang ini Ong Pek Thong dan An Lok San telah bekerja sama, mereka berkongkol, kelakuan mereka itu sudah diketahui oleh orang- orang gagah di kolong langit ini! Mengenai adik seperguruanmu itu, apakah masih hendak kau menyangkal?"

Khong Khong Jie tercengang. Tapi cuma sejenak, dia lantas membentak, "Angin busuk! Kau memfitnah orang!"

Kie Tie gusar, ia terus mengubarnya. "Khong Khong Jie!" ia kata nyaring. "Kau muncul dalam dunia Kang Ouw belum lama, kenapa kau jadi begini jumawa? Cara bagaimana kau berani mencaci aku si pengemis tua?"

Khong Khong Jie mengerti disini mesti terselip sesuatu, akan tetapi dia muda dan keras tabiatnya, dia menjadi tak sudi menggubris si pengemis.

Maka dia tertawa nyaring dan kata, "Bagus, ya! Kau pandang aku Khong Khong Jie bukan sebagai manusia! Kalau begitu, buat apa kau bicara secara sahabat denganku? Pengemis tua, kau majulah!"

Selama itu, Khong Khong Jie melayani Kie Tie berbicara dengan dia masih terus menempur Toan Kui Ciang dan Hee Leng Song, mereka kedua pihak sama unggul, tetapi karena perhatiannya sangat terpengaruhkan, dan dia pun mendongkol, pemusatannya menjadi terganggu.

Begitulah ketika Toan Kui Ciang menikam secara liehay, pundaknya kena tertowel hingga terluka dan mengucurkan darah! Kejadian ini membikin dia menjadi panas hati, dengan hebat dia maju, guna merangsak orang she Toan itu, ketika pisau belatinya meluncur, dia mengarah ulu hatinya lawan.

Justeru itu Kie Tie berlompat maju. Pengemis ini tak suka mengadu mulut, terlebih jauh. Ia menangkis senjata si jago muda.

Buli-buli dan pisau belati bentrok satu dengan lain. Buli-buli, yang dipandang sebagai mustika itu, kalah kuat, ujung pedang menumblas bolong, maka seketika juga isinya - arak yang harum - molos keluar dan berhamburan di tanah!

Touw Sian Nio terkejut, dia berseru. Justeru itu terdengar juga siulannya Khong Khong Jie, yang tubuhnya mencelat tinggi, untuk mengangkat kaki, sampai peluru si nyonya tak dapat menyusulnya.

Dari kejauhan cuma terdengar suaranya ini, "Toan Kui Ciang, jikalau kau hendak membenci aku, terserah kepada kau! Tentang anakmu, dibelakang hari pasti aku akan bayar pulang kepada kamu! Dan kau, pengemis tua, denganmu biarlah dilain kali kita bertemu pula! Sekarang aku hendak melakukan penyelidikan, sesudah itu, nanti aku cari kau untuk membereskan perhitungan kita ini!"

Ketika suara itu berhenti, tubuh Khong Khong Jie pun turut lenyap.

Touw Sian Nio lantas menghampirkan suaminya. Ia terkejut melihat muka suami itu penuh darah.

"Apakah kau terluka?" dia tanya. "Di mana lukanya?"

"Tidak apa-apa," sahut Kui Ciang, yang tertawa getir. "Pisau belati Khong Khong Jie dapat menikam aku!"

Tapi Kui Ciang benar terluka dan lukanya sama dengan lukanya Khong Khong Jie. Tadinya pelurunya sang isteri nyasar ke dahinya.

Setelah melihat luka suaminya itu, Sian Nio mengerti kekeliruannya. Ia menjadi menyesal, malu dan berduka. Tapi ia pun mendongkol. Maka ia kata sengit, "Oh, itu bangsat jahat! Sayang tadi peluruku tidak menghajar picak matanya!"

Kui Ciang sebaliknya kata di dalam hatinya, "Kalau tadi Khong Khong Jie mengulangi serangannya, kalau tidak terbinasakan, aku mestinya terluka parah. Syukur Kie Lo- cianpwe telah menalangi aku, hingga dia rusak buli-bulinya. Sebenarnya, asal ia mau, Khong Khong Jie dapat menyerang terus, kenapa ia tak berbuat demikian? Bukankah penyerangannya itu cuma siasat untuk dia dapat berlompat mundur, guna mengangkat kaki, jadi bukan untuk mencelakai aku?"

"Sudah, adik Sian," kata ia, mendengar suara isterinya itu. "Dia sudah kabur, dan lukaku pun ringan, tak usah kau mencaci dia. Tak usah kau bersusah hati..."

Kie Tie tidak dapat memikir Khong Khong Jie berlaku murah hati terhadapnya, dia tertawa lebar.

Kata dia, "Toan Tayhiap, benar-benar kau berhati mulia, tak sembarang orang dapat menyamai kau!"

Kembali dia tertawa, lantas dia menambahkan pada Sian Nio, "Toan Toaso, sekarang kau toh tak dapat mencaci pula aku si pengemis tua, bukan?"

"Oh, maaf lo-cianpwe!" kata Sian Nio lekas, sambil memberi hormat.

"Sayang buli-buliku ini!" kata pula Kie Tie tertawa. "Ha, ha, ha! Inilah upahnya aku suka usilan terhadap urusan  orang lain!"

Kui Ciang pun menghaturkan maaf kepada pengemis jago itu.

Selama itu, Hee Leng Song berdiri diam di pinggiran, ia tertawa dingin, ia tidak menghiraukan mereka itu.

Kie Tie pun seperti tak menghiraukan segala apa, dia masih tertawa dan kata, "Hari ini aku mendapat dua rupa pengajaran! Benar-benar, gemar mencampuri urusan luar berarti membakar diri sendiri! Bukan saja Khong Khong Jie membenci aku, bahkan Nona Hee turut mendongkol terhadapku!"

Kui Ciang heran. Ia tak mengerti sikapnya Leng Song itu. "Keponakanku," ia berkata kepada nona itu, "Lo-cianpwe ini bukan lain orang, hanya dialah yang dunia Kang Ouw memanggilnya Ciu-kay Kie Tie! Marilah kau pun menghunjuk hormatmu kepadanya!"

"Kita berdua sudah bertemu terlebih dahulu daripada ini," berkata Nona Hee tawar. "Hm! Meski dia bukannya konco dari Khong Khong Jie, dia toh konconya Hong-hu Siong! Tidak dapat aku memandang sebagai lo-cianpwe!"

Paras Kui Ciang berubah, ia menjadi jengah sekali. "Keponakanku,    harap    kau    bicara    tak    melupai  adat

kehormatan," kata ia, masgul. "Kau baru muncul di dalam dunia

Kang Ouw, mungkin ada yang kau belum ketahui jelas. Kie Lo- cianpwe ini bersama Hong-hu Siong serta seorang pengemis lain, yaitu Hong-kay We Wat, adalah yang dijulukkan Kang Ouw Ie-kay. Apa yang beda ialah sepak terjang Hong-hu Siong tak sama dengan sepak terjang mereka berdua. Hong-hu Siong itu manusia aneh, dia sesat, dia suka berbuat jahat dan keliru. Tidak demikian dengan We dan Kie Lo-cianpwe ini, mereka bahkan tersohor sekali sikapnya membenci kejahatan seperti musuh! Mana dapat Hong-hu Siong disamakan dengan mereka itu berdua? Maka itu aku percaya kau mestinya telah memperoleh pendengaran yang keliru. Keponakanku, mari kau memberi hormat pada Kie Lo-cianpwe!"

Leng Song berdiri tetap dan tegak, sepasang alisnya bangun berdiri. Kelihatannya ia hendak bicara tetapi rupanya malang terhadap Tan Kui Ciang.

Toan Tayhiap menjadi heran sekali, hingga ia ingin bicara lebih jauh atau Kie Tie, yang tertawa lebar, mendahului ia.

"Toan Tayhiap, kata si pengemis, "Kaulah seorang yang aku hormati, hanya kata-katamu kali ini tidak tepat!" "Kenapa tak tepat?" ia tanya. "Aku si pengemis tua, tak sanggup aku bicara sempurna seperti kau," kata Kie Tie perlahan dan sabat. "Di mataku, aku si pengemis tak demikian baik seperti katamu barusan, sedang Hong-hu Siong tidak demikian busuk seperti uraianmu ini!"

"Nah, bagaimana?" kata Leng Song menyelak, tawar. "Kau masih membilangnya dia bukan konconya Hong-hu Siong! Di dalam segala bidang, dia membelai orang she Hong-hu itu! Dia membeli Hong-hu Siong, kenapa aku dicegah untuk menuntut balas?"

Kui Ciang mengerutkan alisnya. "Bagaimana ini?" ia tanya Leng Song. Ia bingung sekali.

"Di antara kau dan Kie Lo-cianpwe ada selisih paham apa, keponakanku?"

Nona Hee habis sabarnya.

"Bukan melainkan selisih paham!" sahut Leng Song sengit. "Toan Peehu, jikalau aku tidak memandang kau, pasti sekarang aku sudah melakukan pembalasan sakit hatinya ibuku!"

Mau atau tidak, Kui Ciang terkejut.

"Apa kau bilang?" ia tanya. "Kie Lo-cianpwe menjadi sahabat karib dari almarhum ayahmu, cara bagaimana dia dapat menjadi musuh ibumu?"

Mukanya Nona Hee menjadi merah. Ia jengah.

"Dia... dia omong tidak keruan terhadap aku!" teriaknya. "Dia menghina ayah dan ibuku...!"

Mata Kui Ciang dipentang lebar dipakai mengawasi CIu Kay, si pengemis jago arak.

Kie Tie tidak menjadi gusar, sebaliknya dia bersenyum. "Nona Hee," katanya, sabar, "Coba kau ulangi apa kata- kataku untuk didengar oleh Toan Peehu kau ini, agar dia menimbangnya benar atau tidak aku berlaku tak pantas terhadapmu?"

Kui Ciang memandang si nona.

"Keponakanku," kata ia, sabar, "Aku dan ayahmu menjadi sahabat kekal, terhadapku kau boleh menyebutkan segala apa, tidak ada halangannya."

Leng Song mendongkol sekali.

"Dia... dia membilangi aku bahwa aku bukannya orang she Hee!" kata dia keras. "Dia juga kata ayahku bukannya Hee Seng To! Itu... itu... bukankah suatu penghinaan untuk ayah dan ibuku?"

Saking gusar, nona ini hendak menghunus pedangnya.

Kecurigaan, atau kesangsian Toan Kui Ciang, timbul secara tiba-tiba. Ia lantas ingat peristiwa di malaman pernikahan di antara Leng Soat Bwe dan Hee Seng To itu.

Hee Seng To terbinasakan dimalaman itu. Maka itu, dari mana datangnya anak bernama Leng Song ini? Dulu hari pun ia sudah pusing memikirkannya, siapa tahu sekarang Kie Tie menimbulkannya.

"Sabar," ia kata kepada nona itu. Ia terus menoleh kepada Kie Tie untuk segera menanya, "Kie Lo-cianpwe, itulah peristiwa yang selama dua puluh tahun telah menjadi perkara yang tergantung saja. Mestinya lo-cianpwe ketahui itu..."

Kie Tie mengulapkan tangannya.

"Itulah urusan yang tak leluasa untuk dibicarakan di sini!" katanya.

Kui Ciang dapat dikasih mengerti, ia berpengalaman luas. "Kalau begitu, mari kita pergi bicara di sana," katanya hening sejenak. "Keponakanku, kau sabar dulu. Urusan ini sangat penting, mesti aku dapat membikinnya menjadi terang! Kau toh percaya aku, bukan?"

Leng Song berdiam, ia mengangguk.

Kie Tie sudah lantas berjalan, maka Kui Ciang menyusulnya.

Mereka berjalan sampai kira setengah lie dimana mereka mencari tempat yang sepi.

"Ketika peristiwa menyedihkan itu terjadi, aku tidak di tempat kejadian," Kie Tie memberikan keterangannya. "Tapi aku tahu, kau sendiri justeru berada di sana. Katanya pembunuhan terjadi sehabisnya orang bersenda gurau menggodai sepasang mempelai."

"Tidak salah," Kui Ciang membenarkan. "Terjadinya itu tak sampai setengah bakaran sebatang hio habis orang bersenda gurau itu. Mempelai laki-laki telah terbunuh dan mempelai perempuan terculik."

"Kalau begitu, kau percaya perkataanku, bukan?" tanya Kie Tie. "Pasti sekali Hee Seng To tak dapat mempunyai Nona Hee itu sebagai puterinya yang tulen?"

"Hal itu... aku mau percaya," kata Kui Ciang, meskipun ia ragu-ragu. "Habis, siapakah orang yang menjadi ayah yang sejati itu?"

Kie Tie tidak lantas menjawab, sebaliknya dia menanya dulu, "Apakah kau pernah bertemu muka dengan pembunuh itu?"

"Malam itu rembulan guram dan bintang-bintang jarang, aku cuma mendapat lihat punggungnya," Kui Ciang jawab.

"Barangkali yang lain-lainnya?" "Pasti sekali lain-lain orang juga tak ada yang melihat mukanya pembunuh itu!" sahut Kui Ciang pula. "Kalau tidak, tidak nanti perkara itu menjadi perkara gantung sampai sekarang ini..."

"Tepat!" kata si pengemis. "Semua kamu tidak melihat pembunuh itu, tetapi kenapa kamu menerka Hong-hu Siong, bahkan menerka secara pasti sekali?"

"Mengenai itu ada sebabnya," Kui Ciang memberi keterangan. "Sebelumnya dia menghembuskan napasnya yang terakhir, mempelai laki-laki itu meninggalkan tulisan yang belum lengkap. Ialah dia menulis hanya sebuah huruf 'Hong'. Itu yang pertama. Yang kedua, punggungnya pembunuh itu terlihat sama dengan punggungnya Hong-hu Siong. Dan yang ketiga, jikalau dia bukannya Hong-hu Siong, kenapa Leng Bwe menghendaki puterinya itu membinasakan dia?"

Untuk menjelaskan, Kui Ciang menuturkan peristiwa sedih malam itu sebagaimana yang ia saksikan sendiri.

Kie Tie menghela napas.

"Pantaslah Hong-hu Siong yang dicurigai," katanya, masgul. "Mempelai laki-laki mati kecewa dan mempelai perempuan malang nasibnya, karena sampai sekarang ini duduknya kejadian tetap masih belum jelas..."

"Sebenarnya bagaimana duduknya hal itu?" tanya Toan Kui Cian, yang bemapsu memperoleh perjelasan. "Siapa pembunuh yang sebenarnya itu?"

"Pembunuh itu bukannya Hong-hu Siong," menyahut Kie Tie, "Cuma dengan Hong-hu Siong, dia ada sangkut pautnya. Pembunuh itu, dia... dia..."

Kui Ciang menjadi sangat tidak sabaran, begitu juga isterinya dan Leng Song. Itulah perkara gantung yang sudah berjalan dua puluh tahun. Ia menjadi tidak sabaran karena Kie Tie main ayal-ayalan. .

"Dia... dia siapakah?" ia tanya mendesak. "Dia..." Mendadak terasa sampokan angin dari belakang. "Ada orang!" teriak Kui Ciang terkejut.

"Kau!" Kie Tie berseru seraya dia mementang kedua tangannya, untuk melindungi Kui Ciang, akan tetapi belum berhenti suaranya itu atau rubuhnya sudah roboh terbanting!

Kui Ciang kaget bukan kepalang. Tapi ialah seorang jago, dapat ia menguasai dirinya. Ia tahu itulah hasil perbuatan serangan gelap dengan senjata rahasia. Tanpa menanti sampai ia menoleh lagi, untuk melihat siapa tukang bokong itu, tubuhnya sudah mencelat berputar, untuk lompat menghampirkan penyerang itu, sedang pedangnya telah dihunus dan dipakai melindungi dirinya. Ia menjaga diri kalau- kalau serangan gelap itu diulangi.

Berbareng dengan itu terdengar dampratan Leng Song, yang juga sudah lantas mengejar.

Penyerang itu berlompat lari sambil membalik kepalanya, terdengar suaranya yang aneh. Suara itu tertawa bukan, menangis bukan. Toh nadanya sedih. Ia mengasih dengar suara itu sambil mengawasi Nona Hee.

Toan Kui Ciang sudah lantas mengenali orang itu. Dia bukan lain daripada Hong-hu Siong. Ia menjadi mendongkol dan gusar sekali. Tengah orang berdiam mengawasi Leng Song, ia lompat menerjang dengan satu tikaman hebat.

Hong-hu Siong masih sempat menangkis dengan  tongkatnya, tetapi terdengarnya satu suara nyaring, ujung tongkat itu kena terhajar hingga "terluka". Dilain pihak, tangan Kui Ciang tergempur hingga telapakannya terasa nyeri dan kesemutan, hingga ia mesti mundur guna mempertahankan kuda-kudanya.

Menggunai ketikanya yang baik itu, Hong-hu Siong lompat nyamping, untuk menyingkir ke dalam rimba.

Sementara itu Kie Tie, setelah robohnya, cuma mengasih dengar suara menyayatkan satu kali, terus tidak terdengar apa- apa lagi, karena mana Kui Ciang lari balik untuk menolongi.

Hee Leng Song sebaliknya, dia mengejar terus. Dia sampai tidak menghiraukan teriakan Kui Ciang, yang memanggil dia kembali.

Touw Sian Nio kuatir nona itu mendapat celaka, sebaliknya daripada suaminya, dengan membawa panahnya, ia lari menyusul, guna memberikan bantuannya kalau itu dibutuhkan.

Kui Ciang membiarkan isterinya pergi. Meski ia tahu Hong-hu Siong liehay, sebagaimana bentrokan barusan telah memberi bukti kepadanya, akan tetapi ia percaya Leng Song dibantu isterinya itu tak nanti terkalahkan orang she Hong-hu itu. Ia hanya memerlukan memeriksa Kie Tie.

Mukanya pengemis itu lantas saja menjadi bersemu hitam dan dari ujung mulutnya mengalir darah, yang mendatangkan bau bacin yang keras.

Menampak demikian, orang she Toan ini menjadi kaget sekali. Itulah tanda dari bencana besar. Tatkala ia mengulur tangannya meraba tubuh orang, nyata napas Kie Tie telah lantas berhenti jalan. Ia menjadi mendongkol dan berduka sekali. Ia melongo sekian lama, akhirnya - tanpa merasa lagi - ia menangis. "Kie Lo-cianpwe," katanya, sangat menyesal, "Kau masih mengatakan bukannya Hong-hu Siong. Sekarang jiwamu diantar pergi oleh tangannya..."

Terang sudah duduknya kejadian. Hong-hu Siong berada di dekat-dekat situ, ia bersembunyi untuk memasang mata dan telinga. Ia takut Kie Tie nanti membuka rahasia, maka ia menurunkan tangan dengan membokong dengan senjata rahasianya yang berbisa itu.

Terang ia hendak membinasakan Kie Tie dan Kui Ciang berdua tetapi Kie Tie melindungi si orang she Toan, yang menjadi tertolong terhindar dari bahaya maut, hanya dia sendiri yang menjadi korban.

Coba Kie Tie bukan si jago tua, tidak nanti Hong-hde Siong menurunkan tangan jahat itu. Hanya, apa yang aneh, Kie Tie membilang Hong-hu Siong bukan pembunuhnya ayah Nona Hee. Pula aneh, Kie Tie dapat mati lantas sedang dia tangguh. Kenapa dia tidak mau segera menyebutkan nama si  pembunuh? Kalau si pembunuh benar Hong-hu Siong, apa mungkin dia mau melindungi orang she Hong-hu itu dengan memegang rahasia namanya, hingga dia sudi mengorbankan jiwanya?

Sambil menenangkan diri, Toan Kui Ciang membuang tempo untuk membikin lenyap rasa nyeri di tangannya. Ia ingat senjatanya Honghu Siong, lantas ia mencari kayu atau ujung tongkatnya Hong-hu Siong yang kena terbabat pedangnya tadi. Ia berhasil mendapatkan. Ujung tongkat itu memberi harum kayu cendana asal Lam Hay, Laut Selatan.

"Hong-hu Siong mempunyai tongkat kayu asal Lam Hay," ia berpikir, "Tongkat itu hendak aku jadikan bukti. Semua jago Rimba Persilatan yang tua-tua mesti mengenalnya. Ujung tongkat ini mesti aku jadikan bukti dari perbuatannya yang jahat. Aku pun mesti minta bantuannya beberapa orang tertua untuk mereka itu mencari balas buat Kie Lo-cianpwe...!"

Tak lama maka terlihat Leng Song dan Sian Nio kembali dengan tangan kosong.

"Rimba sangat lebat, penjahat itu dapat lolos," kata sang isteri. "Bagaimana dengan Kie Lo-cianpwe?"

"Tak beruntung untuknya, ia sudah menutup mata karena lukanya," sahut Kui Ciang, masgul. "Mari bantu aku, supaya kita dapat menguburnya di sini..."

Sian Nio heran.

"Kenapa dia mati demikian lekas?" katanya, yang segera menghampirkan. Ialah ahli senjata rahasia.

Lantas ia berseru tertahan, "Inilah akibatnya jarum beracun yang begitu mengenai lantas menutup kerongkongan! Kenapa Hong-hu Siong dapat menggunai senjata rahasia yang begini jahat?"

Di jaman itu banyak jago Rimba Persilatan menghargai martabat sendiri. Di antara golongan kelas satu, sangat sedikit orang yang menggunai senjata itu. Sekarang Hong-hu Siong menggunai jarum jahat, tidak heran Sian Nio menjadi tercengang.

"Benar!" kata Kui Ciang. "Tadi aku ingat sampai kesitu, adik Sian. Menurut apa yang aku tahu, Hong-hu Siong belum pernah menggunakan senjata rahasia, apapula senjata rahasia yang dipakaikan racun. Mustahilkah... mustahilkah...?"

Sian Nio dapat membade hati suaminya. Ia menggeleng kepala. "Tak mungkin!" katanya. "Tak mungkin Hong-hu Siong itu Hong-hu Siong palsu! Bukankah kita bertiga melihatnya tegas sekali?"

"Ibuku membilangi aku Hong-hu Siong licik dan jahat tak lawannya!" kata Leng Song. "Maka itu aku mau percaya, dia biasa tak menggunai senjata rahasia melulu siasatnya untuk membikin martabatnya naik tinggi, tetapi sekarang ini, di saat begini mendesak, dia tidak dapat memilih jalan lain, maka juga senjata yang paling jahat dan berbisa pun dia gunai!"

Kui Ciang merasa si nona bicara terpengaruhkan rasa bencinya, akan tetapi ia telah melihat sendiri kepada Hong-hu Siong, maka itu, bersangsi atau tidak, ia mau menerima baik pikiran nona itu.

"Hiantit-lie," kata ia, kemudian, "Hendak aku menanya kau satu urusan. Aku dengar halnya kau baru ini di gunung Lee San, di dalam kuil Thouw Tee Bio, telah bertemu dengan Hong- hu Siong. Kau katanya hendak membunuh dia, tetapi dia duduk tak bergeming di lantai, dia menyerah untuk dibunuh. Benarkah itu?"

"Tidak salah, itulah benar," sahut si nona. "Karena itu juga, ketika itu Lam Tayhiap kena diabui dia, Lam Tayhiap menganggap dialah seorang baik hingga aku dicegah membunuhnya. Menurut anggapanku, perbuatan dia itu waktu mestinya perbuatan sandiwara saja, itu menandakan kelicikannya. Dia rupanya percaya betul bahwa Lam Tayhiap bakal menghalang-halangi aku!"

Mendengar demikian, Kui Ciang heran.

"Ketika itu aku tak sadarkan diri," katanya. "Ketika itu Hong- hu Siong yang telah menolongi aku dengan memukul mundur musuh, kemudian dia menolongi jiwaku hingga aku mendusin dan selamat. Itulah kenyataan. Tapi sekarang terjadi peristiwa ini. Kenapa dulu dia berbuat sangat baik padaku, dia telah menolong aku dua kali? Kenapa sekarang dia justeru hendak membinasakan aku? Kenapa?"

"Engko, kau selalu mengambil pandangan dari sudut yang menyenangkan," kata Sian Nio. "Apakah yang aneh disini? Bukankah kau pernah membilangi bahwa ketika dia semula menolongi kau, dia mengharap supaya kau nanti membalas budi kepadanya, supaya kau dari imusuh memandangnya sebagai sahabat? Sekarang dia ketahui permusuhan tak dapat didamaikan pula, dia pula takut Kie Tie nanti membeber hal yang sebenarnya hingga kau ketahui duduknya perkara, maka itu dia pasti ingin menurunkan tangan jahat atas dirimu!"

Leng Song telah menjadi tidak sabaran. Begitu mendengar perkataannya Sian nio, dia lantas menanyai Kui Ciang, "Sebetulnya, apakah yang si pengemis tua bilang padamu?"

Kui Ciang ayal-ayalan ketika ia menjawab, "Dia... dia membilang bahwa Hong-hu Siong bukanlah musuh kamu, akan tetapi di saat yang paling penting, yaitu ketika dia hendak menyebutkan- she dan namanya musuhmu itu, dia telah lantas dibinasakan Hong-hu Siong..."

"Baik, biarkanlah urusan ini!" kata Nona Hee kemudian. "Ibuku juga bermaksud untuk hanya menyingkirkan bahaya bagi orang banyak, bukan buat permusuhan yang tak dapat tak dibereskan di antara Hong-hu Siong dengan kami. Yang aku hendak tanyakan ialah, apakah pengemis tua itu ada menyebutkan sesuatu yang mengenai riwayat diriku?"

"Dia belum sampai menyebutkan," sahut Kui Ciang, yang kembali ragu-ragu, nampaknya dia jengah. "Hanya... hanya aku mau percaya bahwa apa yang dia telah bilangi kau kiranya bukan hal ngaco belo saja. Parasnya Leng Song menjadi pucat, alisnya rapat satu dengan lain. Hatinya memang seperti terbenam dalam kegelapan, maka sekarang, boleh ia tak percaya Kie Tie tetapi ia harus percaya Kui Ciang.

Ia lantas tunduk dan mengeluarkan kata-kata yang tidak tegas, "Mungkinkah ibu ada menyembunyikan apa-apa kepadaku?" ia berpikir.

Ia berhenti sejenak, terus ia tanya pula Toan Tayhiap, "Toan Peehu, kaulah sahabatnya ayahku, dapatkau kau memberikan keterangan padaku?"

Kui Ciang bersangsi, sulit untuk ia berbicara. Maka ia mesti berpikir keras.

"Semenjak ayahmu menikah, aku tak pernah melihat pula ia serta ibumu," ia menjawab kemudian. "Hanya, menurut apa yang aku duga, Hong-hu Siong itu mungkin benar musuh orang tuamu, maka itu ibumu menghendaki kau membunuhnya bukan cuma guna menyingkirkan bencana untuk umum tetapi sekalian buat membalaskan sakit hatinya sendiri..."

Leng Song cerdas, maka ia lantas dapat merasa Kui Ciang tidak bicara seluruhnya. Walaupun demikian, berdasarkan keterangan Kui Ciang ini, ia mau menduga bahwa tentang asal usulnya sendiri mestilah suatu soal yang ruwet. Maka ia menggigit bibirnya.

"Baikah, peehu!" katanya. "Jikalau peehu tidak dapat menjelaskan, baik nanti saja aku pulang untuk menanya  kepada ibuku sendiri..."

"Bukannya aku tidak mau bicara," kata Kui Ciang, sabar, "Aku hanya tidak dapat bicara lantaran masih ada hal-hal yang aku belum jelas. Aku rasa kalau nanti kau sudah bertemu dengan ibumu baru kau akan megerti duduknya hal yang benar."

"Aku belum pernah bertemu dengan ibumu," kata Sian Nio pada si nona, "Akan tetapi sudah lama aku mendengar dan mengagumi dia. Dapatkah aku pergi untuk menjenguk ibumu itu?"

"Bibi suka mengunjungi kami, aku bersyukur bukan main, pasti kami akan menyambut dengan girang sekali," menyahut Leng Song, "Hanya di dalam hal ini, aku tak dapat mengambil keputusan sendiri. Maka itu bagaimana kalau aku pulang dulu untuk menanyakan ibu, habis mana baru aku memberi kabar kepada bibi? Tabiat itu ada sedikit aneh, ia tak suka bertemu dengan orang yang belum dikenal..."

Dengan perkataannya ini, masih ada sesuatu yang si nona sembunyikan. Itulah pesan wanti-wanti dari ibunya supaya alamatnya juga jangan diberitahukan kepada Toan Kui Ciang.

Sian Nio tidak dapat memaksa, sedang Kui Ciang berdiam saja.

"Lam Tayhiap sudah pergi ke Hoay-yang," kata Leng Song kemudian. "Turut apa yang aku tahu, dia hendak menyampaikan kepada Thio Sunbu dan Kwe Cu Gie tentang komplotan di antara Ong Pek Thong ayah dan anak dengan An Lok San. Dari Hoay-yang, dia mau kembali ke Kiu-goan. Lam Tayhiap minta aku menyampaikan dan menanya kau, peehu, apakah kau suka pergi menemui dia di Kiu-goan atau tidak?"

Pertanyaan ini ada baiknya untuk Kui Ciang. Ada alasan untuknya membuka mulut.

"Aku memang mau pergi ke Kiu-goan," sahurnya. "Kalau nanti kau sudah bertemu dengan ibumu, andaikata ada sesuatu yang diperlukan dari aku, kau boleh pergi ke Kiu-goan akan mencari aku di sana."

Leng Song mengangguk.

Sampai disitu, bertiga mereka lantas bekerja, guna menggali tanah, guna mengubur mayatnya Kie Tie.

Kui Ciang berduka bukan main menyaksikan kuburannya pengemis jagoan itu, yang tak mestinya terkubur di tempat belukar itu.

Selesai mengubur, ketiga orang ini bersama-sama turun gunung. Selagi berjalan, semua berdiam. Mereka merasa hati mereka masing-masing berat sekali.

Baru kemudian Touw Sian Nio menarik napas.

"Selama beberapa bulan ini," katanya masgul, "Pelbagai urusan yang tak menyenangkan hati datang bersilih ganti, lalu akhirnya kita menjadi rumah hilang dan orang menutup mata... Semua itu mirip dengan impian buruk yang tak pernah tamat!"

Kui Ciang merasa sulit menghibur isterinya, tetapi ia paksa tertawa dan kata, "Mungkin itu disebabkan kita sudah merasakan hidup berbahagia sepuluh tahun lamanya, maka Thie-kong sengaja membuat kita merasakan penderitaan..."

Leng Song tidak turut bicara. Ia hanya memanggil kuda putihnya, yang terus muncul.

"Sampai kita bertemu pula!" katanya seraya lompat atas kudanya, untuk terus kabur dengan menepas airmata...

Hari dan bulan berlalu dengan cepat, banyak yang telah berganti rupa. Sejak Ong Pek Thong dan anak-anaknya memukul hancur benteng Hui Houw San, tujuh tahun telah berselang. Selama tujuh tahun ini, banyak perubahan dalam dunia Sungai Telaga. Dengan runtuhnya Keluarga Touw, Keluarga Ong telah menggantikannya. Benar telah terjadi itu kekacauan di lembah Liong Bin Kok dimana rahasianya Keluarga Ong terbuka, hingga kaum Rimba Hijau menjadi terpecah, Ong Pek Thong tetap tercapai cita-citanya menjadi Lok-lim Beng-cu, ketua kaum Rimba Hijau, dan orang Rimba Hijau yang menghamba kepadanya juga berjumlah besar. Maka dalam kalangan Rimba Hijau itu, pengaruhnya menjadi besar sekali, bahkan paling besar.

Dengan begitu juga, maka orang telah mulai melupakan kemashuran Touw-kee Ngo-houw, Lima Harimau Keluarga Touw dari gunung Hui Houw San itu.

Di kalangan pemerintahan, sebaliknya, Pemerintah Agung nampak makin lemah, sedang pengaruhnya An Lok San bertambah besar, dengan kedudukannya sebagai pembesar dari tiga kota Hoan-yang, Peng-pou dan Hoo-tong, dia seperti sebuah negara yang merdeka sendiri di bagian utara itu. Dia mempunyai tentara dan rangsum yang jumlahnya melebihkan rangsum dan tentara pemerintah.

Pada suatu hari di dalam bulan sembilan dari tahun Thian Po ke empat belas dari Kerajaan Tong, di tanah datar di dalam wilayah kota Peng-yang, ada seorang penunggang kuda yang lagi mengaburkan kudanya. Dialah seorang perwira dengan potongan yang disebut "berpinggang beruang dan berpunggung harimau".

Inilah tidak heran, sebab dialah Cin Siang, turunan dari Jenderal Cin Siok Poo, salah satu panglima perang yang turut membangun Kerajaan

Tong, dan sekarang dialah satu di antara Toa-kho-ciu, orang tergagah, di dalam istana kaisar. Cin Siang sedang bertugas, dia diperintah mengikut Tiong-su Phang Sin Wie yang diutus Pemerintah Agung untuk menemui An Lok San, guna "menghibur" itu Ciat-touw-su yang sangat besar pengaruhnya, guna membikin hati tenteram.

Dia mengaburkan kudanya sebab dia berlalu secara diam- diam dari kota Hoan-yang yang menjadi tempat kedudukannya An Lok San. Dia mau pulang ke kota raja guna menyampaikan laporan kepada pemerintah tentang cita-cita atau aksinya An Lok San untuk menerbitkan huru-hara, buat berontak terhadap Pemerintah Agung.

Pada tujuh tahun yang sudah berlalu, Kwe Cu Gie sudah mengajukan laporan rahasia kepada Raja Hian Cong halnya An Lok San lagi bekerja keras "membeli" orang-orang Rimba Hijau serta mengumpulkan kuda dan tentara, untuk persediaannya berontak merobohkan pemerintah, tetapi laporan itu tidak dihiraukan.

Raja sedang sangat percaya pada Ciat-touw-su itu yang disayanginya, sedang Yo Kui-hui telah bicara baik perihal panglima di perbatasan itu. Didiamkannya laporan rahasia itu membuatnya An Lok San merdeka dengan persiapannya itu.

An Lok San cerdik. Tahun dulu itu dia tidak segera mengangkat senjata disebabkan tiga soal. Pertama-tama persiapannya belum matang. Kedua lantaran siasatnya menggunai tenaga Ong Pek Thong menghadapi rintangan. Dan ketiga, dia telah mendengar selentingan perihal laporan rahasia dari Kwe Cu Gie itu. Maka terpaksa dia terus beraksi bersetia kepada Kaisar Hian Cong, yang diabuinya.

Dengan demikian juga, tahun ketemu tahun, pemberontakannya belum dapat diletupkan. Barulah tahun ini dia merasa waktunya sudah tiba buat turun tangan karena tentaranya sudah berjumlah besar dan kepala perangnya banyak. Dia percaya bahwa dialah yang bakal merebut kemenangan.

Demikian dengan alasan "mempersembahkan kuda" dia telah menghaturkan suratnya. Dia kata daerah perbatasan tempat bertugasnya itu menjadi tempat yang mengeluarkan kuda pilihan, maka ia sudah memilih tiga ribu ekor lebih dan mempersembahkannya kepada junjungannya yang maha agung.

Dia menjelaskan kudanya itu dapat dipakai andaikata Raja mau menyerang ke timur atau menerjang ke barat, sebab setiap, kuda telah diperlengkapi pelana yang dapat memuat dua orang serdadu. Dia kata dia mengutus dua puluh empat Hoan-ciang, perwira suku perbatasan, guna mengantari semua kuda itu, sedang hari keberangkatannya bakal dipilih dan ditetapkan. Karena itu dia minta Raja memerintahkan semua pembesar, yang daerahnya bakal dilalui rombongan kuda itu, bersiap sedia menyambut dan mengatur rumput makanan kuda.

Kapan Kaisar Hian Cong menerima surat itu, mau atau tidak, timbul juga kecurigaannya, tak perduli ia sangat percaya panglimanya itu. Ia pikir, kalau seekor kuda dapat membawa dua serdadu, tiga ribu ekor berarti enam ribu serdadu, dan rombongan itu diantar juga dua puluh empat Hoan-ciang, sedang setiap Hoan-ciang mesti ada pengikutnya lagi.

Tidakkah jumlahnya semua akan ada kira sepuluh ribu jiwa? Kalau mereka itu dibiarkan memasuki kota Tiang-an, tidakkah mereka membahayakan?

Lantas Raja mengadakan sidang. Para menteri menganggap An Lok San harus dicurigai dan tak dapat dipercaya. Mereka kata berbahaya kalau "kudanya" An Lok San itu dibiarkan memasuki kota raja. Maka mereka mengusulkan supaya An Lok San ditegur.

Walaupun para menteri bersikap demikian rupa, Kaisar Hian Cong bersangsi. Ia masih tak percaya An Lok San benar berniat berontak. Karenanya ia kuaur, kalau An Lok San ditegur, dia jadi tak senang hati dan benar-benar berontak.

Kesangsian Raja menyebabkan seorang menteri tua mengusulkan untuk dengan lunak mencegah An Lok San mengirimkan hadiah kudanya itu. Usul itu diterima baik. Maka itu Tiong-su Phang Sin Wie lantas diutus ke Hoan-yang.

Dalam firman kepada An Lok San, Raja puji kesetiaan panglirna itu, bahwa ia merasa senang, kemudian dengan manis hadiah ditampik, yaitu katanya kuda itu tak usah dikirim ke kota raja. Sebagai alasan dikemukakan kuda mesti berjalan untuk banyak hari sedang itu waktu permulaan musim rontok, musim panen. Dikatakan baiklah pengiriman ditunda saja sampai lain musim.

Phang Sin Wie bersama Cin Siang telah tiba di Hoan-yang.

An Lok San gusar sekali. Dari kota raja ia sudah menerima warta rahasia dan mengetahui duduknya hal. Ia tidak mau keluar menyambut utusan kaisar, dan ketika Phang Sin Wie membacakan firman, ia juga tidak mau menjalankan kehormatan dengan bertekuk lutut, bahkan dia duduk agung- agungan di atas pembaringannya, sebuah pembaringan model pembaringan orang Ouw (Tartar).

Setelah firman dibacakan, berulang kali dia tertawa dingin, dengan roman murka dia kata, "Aku dengar kabar Yo Kui-hui di dalam keraton belajar menunggang kuda, aku pikir Raja menggemari kuda, aku di sini mempunyai banyak kuda pilihan, maka mau aku mempersembahkannya. Kalau begini bunyi firman, baiklah, tak apa aku tidak mempersembahkan!" Phang Sin Wie melihat pasukan pengiringnya An Lok San teratur rapi, tak mau ia membantah.

An Lok San memberi tempat beristirahat pada utusan itu, tapi ia memperlakukannya tawar sekali.

Lewat beberapa hari, Phang Sin Wie mau pulang ke kota raja, ia mohon menghadap An Lok San, ia menanya ada surat balasan atau tidak.

Atas itu An Lok San kata, "Firman menyebut lain musim, itu artinya sampai bulan sepuluh, sekalipun aku tidak mempersembahkan kuda, aku sendiri bakal datang ke kota raja untuk melihat pemerintahan, dari itu, buat apa aku memberi balasan? Bahkan kau sendiri, tak usah kau kesusu pulang, kau tunggu saja sampai bulan sepuluh, nanti kita berangkat bersama-sama!"

Phang Sin Wie tidak berani banyak omong. Ia tahu pasti An Lok San benar mau berontak. Sekembalinya ke gedung penginapannya, ia lantas berdamai dengan Cin Siang. Ia minta Cin Siang lekas pulang guna memberi kisikan pada raja, supaya raja siap sedia.

Cin Siang gagah, dia dirintangi oleh orang-orangnya An Lok San tetapi dia lolos. Demikian dia kabur dari kota Hoan-yang, siang dan malam, dan besokannya tengah hari, dia sudah meninggalkan kota seratus lie lebih. Karena itu, meski kudanya jempol, kuda itu toh sangat letih dan mulurnya berbusa. Terpaksa dia mau singgah, supaya kudanya bisa mengaso, makan rumput dan minum.

Itu waktu Cin Siang berada di kaki gunung. Tiba-tiba dia dipegat serombongan pasukan berkuda, yang muncul dari tikungan gunung. Mereka itu memegat sambil meminta uang cukai jalan. "Jalan gunung ini kami yang buka! Pohon-pohon di sini kami yang tanam! Siapa mau lewat di sini, dia mesti membayar sewa jalan!" demikian katanya.

Cin Siang gusar hingga dia berseru, "Bapak kamu she Cin ini justeru kakek moyang berandal! Kamu kawanan kurcaci tak tahu nol putul, kamu berani memegat kau?"

Terus dia gunakan sepasang ruyung kim-cong-gan menyerbu kawanan pemegat itu.

Sepasang senjata itu ada senjata turunan, beratnya enam puluh empat kati. Dulu hari Cin Siong alias Siok Po, leluhurnya telah menggunakan senjata itu membantu Lie Sie Bin membasmi delapan belas raja-raja muda hingga akhirnya bangunkan Kerajaan Tong. Sekarang Cin Siang menggunainya melabrak hebat pada kawanan perintangnya ini!

Dari dalam pasukan berandal dengan mendadak muncul dua orang penunggang kuda yang bersamaan romannya, yang usianya masing-masing usia pertengahan. Mereka itu mencekal golok masing-masing di tangan kiri dan tangan kanan.

Dengan lantas mereka mengepung kepada Cin Siang dan serangannya hebat sekali, sebab dua batang golok mereka merupakan sebagai segelempang bianglala!

Cin Siang terperanjat. Ia lantas merasa bahwa ia lagi berhadapan bukan dengan sembarang penjahat. Tapi ia tidak takut, bahkan ia menyambut mereka dengan seruannya, "Bagus!"

Sepasang ruyung sudah lantas bekerja menangkis serangan dahsyat itu.

Dua tenaga baru itu ialah dua saudara she Cio yang terjuluk Im-yang-to atau golok "Im Yang". Keduanya menjadi sebawahan yang diandalkan Ong Pek Thong karena ilmu golok mereka yang luar^ biasa. Mereka selalu berkelahi berdua, disebabkan senjata mereka yang dicekal dengan tangan kiri  dan kanan masing-masing.

Cin Siang tidak mau mengasih hati walaupun orang liehay. Ia ingin lekas-lekas mengundurkan musuh. Baru beberapa jurus, mendadak ia menangkis hebat dengan sepasang ruyungnya. Dua kali beruntun terdengar bentrokan keras, lalu goloknya Cio It Liong kena dibikin terbang, disusul dengan mentalnya golok Cio It Houw!

Justeru itu ada terdengar suara panah nyaring. Untuk kaum Rimba Hijau, itulah isyarat untuk menghentikan pertempuran, tetapi untuk peperangan resmi, itu dapat diartikan sebagai perbuatan menghina.

Cin Siang tidak senang, ia menangkis panah itu, membuatnya terpental, hanya berbareng dengan itu ia merupakan jemparing bertenaga besar sekali.

Segera juga muncul si pelepas panah, seorang penunggang kuda lainnya. Dialah seorang pemuda yang tampan dan gagah romannya. Karena dialah Ong Liong Kek, anaknya Ong Pek Thong.

Liong Kek pandai ilmu totok, senjatanya yang biasa ialah sepasang thie-san-ie atau kipas besi, akan tetapi senjata pendek itu tak leluasa dipakai dalam pertempuran sambil menunggang kuda, maka ia tukar itu dengan sepasang poan- koan-pit, gegaman semacam alat tulis yang istimewa, ialah empat kaki lebih panjangnya, sedang yang umum ialah enam kaki delapan dim.

"Tuan!" Liong Kek menyapa setelah dia datang dekat, "Didalam pasukan pemerintah ada perwira segagah kau, itulah hal yang langka! Tuan, mengapa kau kesudian menjual jiwamu kepada negara? Lebih baik tuan turut kami menjadi Raja Gunung, untuk kita hidup merdeka! Tidakkah itu bagus?"

"Bangsat cilik, angin busuk!" Cin Siang membentak, seraya dengan Kim-cong-gan, ruyungnya, ia lantas menyerang.

Liong Kek waspada. Ia berkelit dengan sebat. Tubuhnya berguling, untuk berputaran pada perut kudanya. Itulah tipu silat "Kim-lie Coan-po," atau "Ikan gabus menembus gelombang". Kedua kakinya dengan liehay menyantel pada pelananya.

Cin Siang ingat perjalanannya. Begitu serangannya itu gagal, ia mengedul tali lesnya dan kedua kakinya menjepit perut kudanya, untuk membikin kuda itu berlompat kabur. Akan tetapi baru kudanya memutar kepala, lawannya sudah lompat menyusul untuk naik di punggung kudanya itu.

Liehay si anak muda, ia berlompat dengan menggunai tipu lompat "It-ho Ciong-thian," atau "Burung jenjang terbang ke langit". Sambil berlompat itu, ia juga menyerang dengan alat totoknya.

Cin Siang menangkis tetapi jgagal, orang sudah bercokol di punggung kudanya. Ia terkejut, lebih-lebih sebab dengan senjatanya yang berat enam puluh empat kati itu, sulit untuk bertempur rapat.

Ong Liong Kek tidak mensia-siakan waktunya yang baik itu.

Segera dia menotok.

Cin Siang tidak dapat menangkis, ia berkelit, akan tetapi poan-koan-pit sudah mendahului mengenai dadanya hingga terdengar satu suara nyaring. Ia tidak roboh atau terluka, sebab ia memakai baju lapis lunak, sedang totokan itu kurang tepat. Maka itu cuma baju perangnya yang pecah. Cin Siang menjadi sangat gusar. Ingin ia membikin pembalasan. Dengan sebat ia menancap ruyungnya di sela pelananya, setelah itu sambil berseru keras, "Pergilah kau!" Ia menyamber kepada musuhnya itu, menyamber ikat pinggangnya, untuk terus mengangkat tubuh dia itu!

Liong Kek kaget sekali. Itulah kejadian yang ia mimpikan pun tidak. Tidak disangka sekali orang berani melepaskan senjatanya, untuk sebaliknya menggunai tangan kosong!

Bukankah tadi bersenjata dia seperti tak berdaya? Kenapa dia berani berlaku demikian berani? Maka ia lantas menyerang, sepasang pirnya ditotokkan ke jalan darah kin-ceng kiri dan kanan. Hanya baru ia menotok, tubuhnya sudah kena diangkat.

Cin Siang tersohor untuk tenaganya yang besar luar biasa. Ketika si anak muda kena diangkat, ia merasakan sangat nyeri sampai ke ulu hatinya, hingga lenyaplah tenaga perlawanannya. Benar kedua senjatanya menotok lepat akan tetapi tidak ada hasilnya, bahkan kedua tangannya terpaksa diturunkan sendirinya.

Dua saudara Cio menjadi sangat kaget, tetapi mereka masih ingat mengeprak kuda mereka dengan niatnya menolong! Tapi mereka terlebih kaget lagi. Mereka mendengar Liong Kek menjerit mengeluh dan rubuhnya diangkat bagaikan badan ayam yang enteng, karena tubuh jago muda itu dapat dibulang-balingkan, diputar seperti titiran.

Cin Siang berseru, "Dengan membinasakan bangsat cilik ini cuma-cuma mengotorkan tanganku!"

Lantas ia melepaskan cekalannya, membikin tubuh orang terlempar pergi.

Kuda Cin Siang kuda yang terlatih baik, yang telah sering maju di medan perang. Sebenarnya kuda itu sudah letih sekali, akan tetapi menghadapi saat-saat yang berbahaya, dia dapat bertindak tepat. Begitulah dia meringkik keras, dia mengangkat keempat kakinya, buat berlompat untuk terus lari menerjang kurungan.

Dengan menerbitkan suara menderum, dari belakang terdengar suaranya anak-anak panah menyamber.

Cin Siang berseru pula. Ia menancap pula senjatanya, yang ia sudah cabut buat dipakai menerjang musuh, dengan tangan kosong, ia menyambuti dua batang jemparing, untuk ditimpukkan dengan keras.

Celaka dua tauwbak yang mengejar, yang melepaskan panah itu, tak sempat mereka menangkis atau berkelit, anak-anak panah itu sudah kembali dan menancap di tubuhnya masing- masing, maka dengan satu teriakan hebat, keduanya roboh terguling dengan jiwanya melayang dalam sekejap.

Kejadian tersebut membuat sekalian liauwlo menghentikan pengejaran mereka.

Sementara itu, Liong Kek tidak roboh binasa atau terluka. Selagi dilemparkan, ia meneruskan bergerak untuk jumpalitan, maka ia turun di tanah dengan tidak kurang suatu apa.

"Orang she Cin!" ia kata, tertawa dingin. "Hendak aku lihat, berapa jauh kau dapat menyingkir dari sini? Anak-anak, jangan perdulikan dia!"

Cin Siang heran. Ia mau menyangka orang menggertak padanya. Ia pikir, "Coba aku tidak mau lekas kembali ke kota raja, mesti aku ajar adat kepadamu..."

Maka ia lari terus. Sebentar saja sudah kabur belasan lie. Di sini kudanya lantas lari perlahan dengan napasnya mengorong. "Syukur ada kau, kudaku!" kata Cin Siang sambil mengusap- usap leher kudanya itu.

Kemudian ia berpikir pula, "Aku bukannya opsir yang mengantar rangsum, buat apa kawanan berandal itu memegat aku? Ah, aku mengerti sekarang! Telah lama aku mendengar kabar An Lok San berkongkol dengan Rimba Hijau, mungkin inilah rombongan konconya itu..." 

Selagi memikir begitu, Touw-ut ini mendengar suara teguran yang nyaring tapi halus, "Cin Tayjin, meski kau tidak letih, kudamu tentu sudah capai sekali! Silahkan kau turun untuk beristirahat dulu!"

Dengan terkejut Cin Siang menoleh, maka ia melihat seorang nona yang cantik muncul di hadapannya, melintang di tengah jalan. Di belakang nona itu ada rombongannya, semua liauwlo wanita, jumlahnya belasan, dan mereka itu membawa sehelai bendera sulam air emas yang merupakan seekor burung walet. Rombongan itu memernahkan diri sebagai perintang.

"Kau bikin apa?" tanya Touw-ut ini heran. "Apakah kamu juga, nona-nona, melakukan pekerjaan Jalan Hitam yang tidak memakai modal?"

Nona itu sangat cantik, maka itu meski Cin Siang menduga dia terang tak bermaksud baik, ia menyaksikan merekalah kawanan berandal. Karena itu ia mengajukan pertanyaannya itu.

Si nona tertawa.

"Cin Tayjin, nyatalah kau memandang sangat enteng kepada kami!" katanya. "Apakah kau kira pekerjaan Jalan Hitam tanpa modal itu cuma pekerjaan bangsa pria? Tapi janganlah kau takut! Aku tidak menghendaki jiwamu, aku melainkan memikir mengundang kau datang ke tempat kami, untuk berdiam buat beberapa hari! Kau sudah melakukan perjalanan cepat dan jauh sekali, sudah selayaknya kau singgah untuk beristirahat!"

"Aku tidak mempunyai tempo luang untuk dilewatkan bersama kamu!" Cin Siang menjawab. "Maka itu lekaslah kau membuka jalan untukku!"

-ooo0dw0ooo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar