Kisah Bangsa Petualang Jilid 10

 
Jilid 10

"Walau bagaimana, aku mesti pergi!" anak itu membantah. "Paman Thouw, tolong kau carikan jalan untuk aku dapat turut!"

Orang menjadi kewalahan. Thouw Pek Eng lantas berpikir.

"Sudah, begini saja!" kata dia kemudian. "Kau baik menyamar menjadi anak perempuannya Sin Cecu. Masih masuk di akal kalau Sin Cecu datang menghadiri pesta dengan mengajak puterinya yarig disayang. Karena kau tidak dikenal, kau pun boleh tak usah menyamar lagi."

"Apakah itu tak keterlaluan untukku?" tanya Sin Thian Hiong tertawa. "Sudah Han Lo-cianpwe menjadi pengiringku, lalu sekarang puterinya pun diakui sebagai puteriku!"

"Itulah bukannya soal!" Han Tam tertawa. "Bukankah kau mendapatkan semuanya?"

Liong Chong Siangjin tertawa.

"Kamu semua senang, kamu menghadiri pesta dan melihat keramaian," katanya. "Aku sendiri, aku mesti menunggu rumah, kesepian! Sungguh sebal!"

"Semua ini hanya untuk sementara waktu," berkata Pek Eng. "Sekarang sudah pasti. Saudara Mo Lek, kau menjadi kacung, dan kita semua, menjadi sebagai tauwbak."

"Menjadi tauwbak boleh juga!" kata Sin Cecu. "Dengan begitu pihak Ong diberi kehormatan, sampai pun segala tauwbakku turut datang memberi selamat padanya!" Sampai disitu, Thouw Pek Eng lantas bekerja. Ia mengeluarkan obatnya untuk mengubah warna kulit orang, maka sebentar kemudian terlihat Han Tam menjadi lebih muda dua puluh tahun, kulit keriputnya pun dapat disamarkan.

Demikian setelah terang tanah, rombongan Sin Cecu ini berangkat menuju ke Liong Bin Kok, lembah sarangnya Ong Pek Thong. Han Cie Hun gembira sekali, karena ia telah kesampaian keinginannya. Cuma Lam Ce In yang berpikir keras. Ia memikirkan Hee Leng Song.

Untuk kalangan Rimba Hijau di Yu-ciu, nama Sin Thian Hiong terkenal sekali, la benar-benar bertabiat keras dan angkuh.

Ketika keluarga Touw menduduki benteng Hui Houw Ce sebagai ketua Ikatan Rimba Hijau, pelbagai Raja Gunung lainnya datang membajar upeti tahunan, cuma ia yang tidak menghiraukannya.

Touw Leng Ciok tak senang dengan sikapnya itu tetapi dia tak bisa berbuat apa-apa, kesatu dia sendiri lagi punya urusan penting, kedua dia tahu Sin Kee Ce itu tangguh.

Ong Pek Thong tahu sifatnya Thian Hiong, benar ia mengirim undangan, tetapi ia tidak mengharap banyak tetamunya itu nanti datang memenuhkan undangannya itu, maka juga tempo ia menerima kartu nama Thian Hiong, yang datang berkunjung, ia heran sekali, dengan tergesa-gesa ia menuntun anaknya keluar buat menyambut sendiri kepada tetamu yang berkepala besar itu...

Setelah kedua pihak saling memberi hormat, Sin Thian Hiong kata "Ong Cecu berhasil merobohkan dan merampas Hui Houw Ce, pantaslah kau diberi selamat! Sudah sekian lama Kim Kee San dibikin tak puas oleh Keluarga Touw, baru sekarang hatiku lega, karena itu, kaisni semua bersyukur. Karena itu juga maka sekarang aku datang bersama beberapa saudaraku ini, untuk menghaturkan selamat!'

Ong Pek Thong berlaku merendah untuk pujian itu, ia pun mengucap terima kasih.

Sin Thian Hiong bisa sekali bicara. Dia kata pula, datangnya itu selain buat memberi selamat dan membilang terima kasih, juga sekalian untuk mohon perlindungan ini Beng-cu, atau kepala Ikatan Rimba Hijau, yang baru.

Lalu dia tertawa bergelak dan menambahkan, "Cecu tahu, pesta ini suatu pesta yang langka, jarang ada selama seratus tahun! Begitulah anak perempuanku ini, yang belum pernah mengembara, saking gembiranya, turut datang bersama!"

Ong Pek Thong girang bukan main. la belum menjadi Beng- cu, tetapi jago dari Sin Kee Ce sudah mengakuinya. Tapi ia bisa berpikir, ia sedikit curiga.

Ia kata dalam hatinya, "Kim Kee San berselisih dengan Hui Houw Ce, aku berhasil menumpas Keluarga Touw, pantaslah kalau dia senang dan bersyukur kepadaku, pantas juga dia datang bersama beberapa tauwbaknya memberi selamat padaku. Sebenarnya kita tidak bersahabat satu dengan lain, sekarang dia sekalian mengajak puterinya, tidakkah itu berlebihan? Mungkinkah karena dia hendak mengambil hatiku maka dia jadi berlaku begini manis budi? Biasanya dialah bukan tukang mengangkat angkat orang..."

Ketika itu mendadak Ong Liong Kek menghampirkan Tiat Mo Lek "Saudara kecil ini she apa?" dia tanya.

Diam-diam Sin Thian Hiong terperanjat.

"Dialah kacung pengiringku," dia menjawab lekas. "Dia tidak tahu aturan, harap Siauw-cecu tidak berkecil hati." Ia pun mengarang nama palsu untuk pengiring tetironnya itu.

Tiat Mo Lek telah tak dapat menahan rasa hatinya. Waktu melihat Ong Liong Kek, musuhnya, sinar matanya berubah tajam sekali — sinar itu sinar bermusuh atau membenci sangat.

Liong Kek melihat itu, dia jadi heran, karena perhatiannya tertarik, dia jadi mengajukan pertanyaan itu.

Mo Lek cerdik ia insyaf akan kekeliruannya itu, maka ingin ia membetulkan.

"Tong-kee mengajak aku ke mari, aku jadi ingat suatu hal lama," kata dia.

"Di sini bukan tempat kau bicara, kau mundur!" kata Thian Hiong, yang kuatir orang banyak bicara.

"Biarkan dia bicara, tak apa," kata Liong Kek.

Mo Lek lantas mengasih lihat roman takut dan ragu-ragu. "Baiklah, kau boleh bicara!" kata Thian Hiong kemudian,

ajgak terpaksa.

"Aku ingat satu hal," kata Mo Lek. "Bukankah tong-kee pernah menyuruh aku pergi ke Hui Houw Ce? Ketika itu aku dimarahi mereka. Sebabnya itulah tong-kee tidak mengirim bingkisan kepada mereka. Aku telah diikat dan diusir pergi. Sekarang sebaliknyalah Keluarga Ong. Di sini aku disambut secara baik. Maka itu aku jadi ingat kejadian dulu hari itu. Sekarang ini aku jadi girang berbareng mendongkol!"

Ong Liong Kek tertawa lebar. "Oh, kiranya begitu, saudara kecil!" katanya

Sedang mereka bicara itu, dua orang muncul dari dalam.

Yang satu Ceng ceng Jie, yang lain gadisnya Ong Pek Thong. Tuan rumah lantas mengajar kenal. Katanya, "Inilah Sin Cecu dari kim kee San yang namanya sangat terkenal dalam dunia Rimba Hijau. Ini adalah Ceng Ceng Jie, ahli pedang dunia Kang Ouw yang kesohor."

"Sudah lama aku mengaguminya!" kata Ceng Ceng Jie, singkat dan angkuh.

Lantas dengan mata tajam dia menyapu semua tetamunya itu. Ketika dia melihat Han Tam, dia terkejut di dalam hatinya. Sebagai ahli silat, dia dapat melihat sinar mata luar biasa dari jago she Han itu.

Lekas dia menghampirkan dan menanya, "Apakah she mulia dan nama besar dari cecu ini?"

Han Tan menjawab cepat, "Aku si orang she Han cuma menjadi serdadu kecil yang tak ada namanya dari Kim Kee San."

Sin Thian Hiong pun berkata, "Han Toako ini menjadi tong- kee kedua di Kim Kee San, dia datang belum lama."

"Syukur, aku girang sekali dengar pertemuan ini!" Ceng Ceng Jie berkata.

la turut bicara. "Ong Toako, muka toako terang sekali hingga dapat mengundang Han Toako datang ke mari!"

Ia tertawa, terus ia menambahkan, "Aku merasa beruntung dapat satu sahabat baru!"

Ia lantas mengulur tangannya, untuk berjabatan. Ong Pek Thong heran hingga ia terperanjat.

Aneh sikap Ceng Ceng Jie. Dia tidak menghormati Sin Thian Hiong hanya seorang tauw-bak. Maka ia mengawasi saja. Ceng Ceng Jie hendak menguji tauwbak tetamunya itu, maka di waktu mereka saling jabat, dia mengerahkan tenaga Siauw Thian Chee atau "Bintang kecil". Itulah semacam tenaga dalam yang mahir, mulanya lunak, lalu keras, dengan itu tubuh pihak sana dapat dibikin menjadi lemas tak berdaya hingga jatuh terkulai di lantai.

Han Tam bersenyum.

"Terima kasih, maaf!" katanya, sabar.

Ceng Ceng Jie telah mengerahkan tenaganya. Ia menjadi heran. Ia mendapatkan orang seperti tak bertenaga, toh orang tak roboh seperti apa yang ia kira. Ia melihat orang bersikap wajar saja.

Dalam herannya ia kata dalam hati, "Tenaga dalam orang ini sukar ditaksir. Mungkin suheng Khong Khong Jie juga tak seliehay dia..."

Tengah ia berpikir begitu, si "Kera Besar" ini, seperti katanya Nona Han Cie Hun, mendadak terkejut. Tiba-tiba ia merasai nadinya kaku atau lemas sendirinya.

Han Tam jago totok, selagi berjabat tangan itu, dengan tenaga dalamnya ia menggempur tiga kali pada nadi orang.

Lekas-lekas Ceng Ceng Jie menarik pulang tangannya.

"Han Tongkee liehay sekali!" katanya. "Aku takluk, aku takluk!"

Han Tam pun tak mau memandang enteng, karena orang dapat bertahan dari serangannya itu.

Ong Pek Thong lantas mengerti bahwa orang diam-diam sudah mengadu kepandaian. Ia menjadi kaget dan heran, ia pun berkuatir. Katanya di dalam hati, "Di antara tauwbak-tauwbak Kim Kee San ada orang begini liehay, jangan-jangan sulit buat aku menjadi beng-cu..."

Puterinya tuan rumah sebaliknya girang sekali, hingga dia berjingkrak berlompatan, tangannya ditepuk berulang-ulang, tanda girangnya.

Dia tertawa dan kata nyaring, "Aku mendapat kawan! Kau ini namanya siapa?"

Dia tanya Cie Hun.

Ong Pek Thong lantas berkata, "Inilah anak perempuanku, namanya Yan Ie. Dia paling suka bermain, lari sana dan lari sini, hingga orang panggil dia Siauw Yan, si Walet Kecil. Dan ini puterinya Sin Cecu," ia teruskan pada gadisnya. "Nah, pergilah kau menemaninya!"

Ong Yan Ie alias Siauw Yan tertawa pula.

"Bagus!" dia berkata. "Ayah mengundang semua orang tua, bagus encie ini menjadi tetamuku! Encie Sin, mari kita memain di sana!"

Keluarga Ong membuat pesta besar-besaran, untuk tetamunya yang berjumlah besar itu ia dapat menyediakan tempatnya. Lembah Liong Bin Kok, atau Naga Tidur, yang tadinya kosong belukar, telah disiapkan dari siang-siang. Pembangunan dimulai sejak beberapa bulan yang lalu. Kecuali benteng dan rumah-rumah lainnya untuk semua orang, ialah sekalian liauwlo, dibuat juga suatu taman yang besar dan luas beberapa bauw berikut lauwteng atau ranggon serta pelbagai paseban, semuanya lengkap, bahkan untuk tontonan, telah diberdirikan dua panggung wayang.

Telah ditetapkan pesta akan dimulai tengah hari tepat, maka itu selagi masih ada tempo satu jam kira-kira, para tetamu pada menyenangi diri dengan pesiar di taman atau menonton wayang, atau duduk berkumpul berkelompok-kelompok untuk memasang omong. Semua tetamu memperoleh kemerdekaannya.

Demikian Ong Yan Ie, ia menemani Han Cie Hun. Usia mereka memang tak berjauhan. Ia berkesan baik terhadap tamunya yang cantik dan lincah itu. Mereka jalan-jalan sambil berpegang tangan, melihat-lihat taman yang indah.

Dalam gembiranya, Yan Ie menutur hal diruntuhkannya benteng Hui Houw Ce dari Keluarga Touw. Cie Hun sebaliknya tak puas, ia tak gembira seperti semula, maka ia melayani bicara sekedarnya saja.

"Kawanmu yang she Han itu liehay!" hata Yan Ie, yang menukar haluan bicara. "Tadi dia dan Ceng Ceng Jie mengadu kepandaian secara diam-diam. Kau melihat atau tidak, encie?"

"Benarkah begitu?" tanya Cie Hun berlagak pilon. "Aku tidak tahu..."

Yan Ie tertawa.

"Kita bagaikan sahabat-sahabat kekal, mengapa kau begini merendahkan diri?" kata dia. "Apakah encie menganggap aku sebagai orang luar? Tadi mereka itu saling menguji kepandaian, turut penglihatanku, Han Tongkee kamu itu rupanya menang unggul. Han Tongkee demikian liehay, ayahmu mesti berada di sebelah atas dia! Bukankah bapak harimau tak mempunyai anjing dan panglima gagah tak mempunyai serdadu lemah? Encie Sin, pasti ilmu silatmu pun mahir sekali!"

"Aku dilahirkan bebal," kata Cie Hun, "Maka itu meski aku pernah belajar silat beberapa hari, apa yang aku bisa tak dapat dinamakan kepandaian. Encie Ong, aku minta janganlah kau menempelkan emas di mukaku..." Cie Hun tak gembira, ia bicara tawar. "Aku tidak percaya!" kata Yan Ie tertawa.

Lantas dia menggenggam tangan tetamunya, sengaja dia mengerahkan tenaganya beberapa bagian. Dia membataskan diri karena dia kuatir Cie Hun tak sanggup bertahan.

Cie Hun telah mendengar halnya Yan Ie selama menempur Keluarga Touw sudah berlaku telengas sekali, sekarang ia tak berkesan manis terhadap nona itu, ia panas hati, ia tak puas. Karena itu, ketika ia dipaksa diuji ini, diam-diam ia mengibasi tangan bajunya.

Yan Ie tidak curiga apa-apa ketika tahu-tahu dia tertotok pada jalan darah jie-khie di pinggangnya dekat iga, tanpa merasa dia merasa nyeri hingga dia berteriak, "Aduh!"

Berbareng dengan itu, Cie Hun juga menjerit, "Aduh!" dan tubuhnya mundur kaget sampai enam atau tujuh tindak.

Yan Ie mengutamakan pengerahan tenaga lunak menjadi keras, maka itu tangannya mencekal mulanya perlahan, lalu menjadi kuat.

Ketika itu kebetulan sekali Ong Liong Kek lewat di dekat mereka, dia terkejut mendengar saudara dan tetamunya itu pada menjerit, segera dia menghampirkan adiknya dan menegur, "Adik, mengapa kau berlaku tak hormat pada tetamu kita?"

Yan Ie menahan sakit, ia kata sembari tertawa, "Kita cuma lagi main-main! Siapa sangka kau menganggapnya sungguh- sungguh, koko!"

Cie Hun pun tertawa sambil menahan nyerinya. Ia kata, "Encie Ong lagi mengajari aku. Inilah atas permintaanku!"

Ong Liong Kek mengerutkan alis. "Memang baik kamu saling berlatih," katanya, "Cuma tak baik sekarang ini, mestinya sebentar setelah pesta bubar. Kalau taman kosong, bukankah bagus?"

Ong Liong Kek teliti dan sabar. Ia dapat menduga kedua nona lagi menguji kepandaian. Sebab itu, timbullah kecurigaannya.

Ong Yan Ie lebih gagah daripada Liong Kek, kakaknya itu, sekarang dia tak mendapat angin menguji Cie Hun, tentu sekali sang kakak menjadi heran.

Pikir Liong Kek, "Kawan dan anaknya Sin Thian Hiong begini liehay, kenapa dulu-dulu dia tak mau menjadi jago Rimba Persilatan? Kenapa dia justeru menerima menjadi sebawahannya Keluarga Touw? Dan sekarang, kenapa mereka sudi tunduk pada Keluarga Ong kami? Tidakkah dalam ini ada kepalsuannya?"

Karena kecurigaannya ini. Liong Kek lantas pergi mencari Ceng Ceng Jie, untuk memberitahukan dan berdamai.

Kedua nona berjalan-jalan terus di dalam taman, diam-diam mereka saling memuji kepandaian masing-masing. Karena itu juga, mereka - atau lebih benar Nona Ong - tidak berani menguji terlebih jauh.

"Encie Sin, ilmu totokan mengebutmu ini sangat liehay," kata Yan Ie tertawa. "Bagaimanakah hubungan encie dengan Lo- sianseng Han Tam?"

Ditanya begitu, Cie Hun terkejut di dalam hati. Pikirnya, "Sudah lama ayah menyembunyikan diri, kalau bukan orang Rimba Persilatan kelas satu, tak ada yang kenal ayah. Kenapa dia ini, yang masih begini muda, mendapat tahu nama ayah?"

Ia pun seorang cerdik, ia tidak mau mengentarakan kagetnya itu, maka ia sengaja berlagak pilon. "Orang macam apa Han Tam itu?" ia tanya. "Aku cuma kenal seorang she Han, ialah Paman Han yang hari ini datang bersama-sama aku. Siapa itu Lo-sianseng Han Tam? Maaf, aku tidak tahu."

"Han Tam itu," kata Yan Ie, "Menurut keterangan guruku, dialah ahli totok nomor satu di kolong langit di jaman ini. Barusan aku melihat ilmu totok kau, encie, aku jadi ingat Han Lo-sianseng itu, aku mengira kaulah muridnya."

"Kepandaianku yang tak berarti adalah buah ajarannya ayahku sendiri," kata Cie Hun bersandiwara terus, "Sekarang aku bertingkah mempertunjuki di sini, aku malu, aku mengundang buah tertawa saja! encie, aku justeru mengagumi kau buat ilmu Bian Ciang serta menutup dirimu itu! Encie, siapakah guru encie yang terhormat?"

"Tabiat guruku sama dengan tabiat Han Lo-sianseng itu," sahut Yan Ie, "Ialah mereka sama-sama tidak menyukai orang lain, orang ketahui nama mereka, maka itu aku tidak berani menyebutkan namanya."

Mendengar itu, Cie Hun tahu orang sudah mulai mencurigai pihaknya, akan tetapi ia tidak takut. Ia turut datang ke mari justeru karena niatnya untuk mengacau di lembah Liong Bin Kok ini, guna membanguni naga tidur...

Mereka pesiar terus. Yan Ie mengajak tetamunya pergi ke tempat wayang. Di antara banyak orang, ia tiba-tiba melihat seorang pengemis, ia menjadi heran.

"Eh!" serunya, "Mengapa kamu membiarkan pengemis masuk ke mari? Lekas usir dia pergi!"

Orang-orangnya Keluarga Touw menjadi kaget. Sebenarnya juga, mereka tak memperhatikan pengemis di antara sekian banyak tetamunya itu. "Mana dia? Mana dia?" begitu beberapa hamba menanya. Dalam tempo yang sangat pendek, pengemis itu sudah menghilang. Yang paling heran ialah Ong Yan Ie. Maka hendak ia pergi mencari sendiri. Tapi itu waktu  pesuruh  ayahnya sudah datang menyusul memanggil ia dan ia kembali guna menemani tetamu dalam medan pesta.

Ketika itu tengah hari tepat. Di dalam kamar itu dimana- mana terdengar suara tambur dan gembreng, tanda mengundang para tetamu menghadiri perjamuan. Masing- masing mereka segera diundang berduduk.

Ong Pek Thong bersama puterinya menemani Sin Thian Hiong dan rombongannya Han Cie Hun. Ong Pek Thong diapit Ceng Ceng Jie di kiri dan seorang tua yang romannya aneh di sebelah kanan. Han Tam hadir di meja tuan rumah ini.

Lam Ce In bersama Thouw Pek Eng dan rombongan duduk di sebuah meja lain. Meja ini berdampingan dengan meja kepala. Diam-diam Ce In memasang mata. Maka ia melihat dua orangnya An Lok San, yang mengenakan pakaian preman, duduk di meja lain berdekatan dengan meja mereka. Kawannya mereka itu berdua ia tak kenal siapa adanya.

Setelah tiga idaran maka si orang tua di kanannya Ong Pek Thong, menepuk tangan tiga kali. Ia berbangkit memandang semua tetamunya. Itulah tanda bahwa ia hendak bicara.

Sebenarnya dialah Tie Swie, seorang jago Rimba Hijau yang namanya cuma dibawahan Touw Leng Ciok dan Ong Pek Thong, cuma dia menjadi sahabat karib dari Pek Thong. Begitu dia berdiri, banyak orang tahu apa yang dia bakal ucapkan.

Demikianlah dia angkat bicara, "Orang-orang yang memangku pangkat ada kepalanya! Kepala itu ialah yang dipanggil raja! Kita yang menjadi berandal, kita juga mempunyai pemimpin. Pemimpin kita ialah yang dipanggil beng-cu! Selama beberapa puluh tahun, yang menjadi beng-cu kita terus menerus ialah Keluarga Touw. Keluarga itu cuma tahu mencelakai orang lain, untuk menguntung! diri sendiri, mereka tak mengenal persaudaraan. Maka mereka mirip si raja tak bijaksana yang tolol! Aku percaya tuan-tuan yang hadir di sini, semua pernah diganggu mereka itu. Tapi sekarang ini Toako Ong Pek Thong telah menolongi kita menyingkirkan bencana Rimba Hijau itu, Hui Houw Ce telah dilabrak musnah, maka juga dunia Rimba Hijau gembira sekali. Sekarang selesai sudah urusan Keluarga Touw. Sekarang muncul soal si pemimpin. Pemimpin itu perlu. Tanpa pemimpin ada, seumpama kawanan naga tanpa kepala, dapat terjadi orang main berebutan, hingga bencana kecelakaannya bertambah besar. Maka juga kita, kita mirip negara, yang tak boleh ada satu hari tanpa rajanya. Ya, kita tak boleh ada satu hari tak ada pemimpin kita. Menurut aku, karena Ong Toako sudah menolongi kita menyingkirkan si pemimpin yang tak bijaksana itu, baiklah kita minta saja ia yang menggantikan kedudukan Keluarga Touw, ialah kita angkat ia menjadi beng-cu kita yang baru! Bagaimana pendapat tuan-tuan?"

Keluarga Ong sudah berkomplotan, segala apa sudah diatur, maka lantas ada banyak suara yang menyambut anjuran Tie Swie, yang menyatakan setuju, sedang mereka yang jeri terhadap Pek Thong, menurut memberikan suaranya, untuk mengekor.

Kelihatannya sudah pasti Ong Pek Thong bakal diangkat menjadi Beng-cu ketika Sin Thian Hiong berbangkit.

"Aku ingin bicara!" berkata tetamu ini.

Dalam sekejap saja, suara berisik menjadi sirap. Tie Swie heran hingga dia melengak.

"Sin Cecu, apakah cecu mempunyai pendapat lain?" ia tanya. "Aku bukannya tak setuju Ong Toako menjadi beng-cu, sahut Thian Hiong. "Cuma ada satu hal yang aku masih kurang mengerti. Untuk itu aku mohon keterangan dari Ong Cecu dan Tie Cecu."

"Keterangan apa itu yang Sin Cecu minta?" Tie Swie tanya. "Barusan Tie Cecu bilang, orang berpangkat ada raja yang

menjadi kepalaya," kata Thian Hiong, "Maka itu, kita pun perlu menunjang seorang pemimpin, untuk dia mempersatukan perintah, untuk kita menentang pemerintah. Bukankah begitu maksud ringkas dari Tie Cecu?"

"Ya, begitulah maksudnya!" Tie Swie memberi kepastian. "Bagus.'" kata Sin Thian Hiong. "Sekarang ingin aku

menanya, kalau begitu maksud kita, kenapa di dalam pertemuan Rimba Hijau hari ini ada diundang juga sebawahannya An Lok San? Apakah maksud yang sebenarnya? Ong Cecu, dapatkah kau memberi penjelasan kepada semua saudara di sini?"

Ong Pek Thong terkejut, air mukanya berubah. Tapi dia mesti menebali kulit.

"Dimana ada orangnya An Lok San di sini?" tanya dia sambil berbangkit berdiri. "Siapakah yang sudah menyiarkan berita burung? Sin Cecu, aku lihat kau keliru mempercayai obrolan cerita burung itu?"

Tak menanti suara orang berhenti, Lam Ce In sudah berbangkit buat terus menunjuk ke meja di sampingnya, kepada Thio Tiong Cie.

"Inilah orangnya An Lok San, pangkatnya Touw-ut bagian penyerbu. Dan orang di sisinya itu ialah Busu dari An Lok San!"

Mendengar itu, hadirin menjadi ramai. Justeru itu mendadak muncul seorang pengemis, yang berlari-lari mendatangi sambil tertawa geli haha-hihi. Sangat cepat larinya dia, sebentar saja dia sudah sampai di mejanya Thio Tiong Cie.

Ong Yan Ie terkejut. Ia mengenali pengemis yang tadi ia pergoki itu, yang hilang pula dengan cepat.

Pengemis itu menjura kepada Thio Tiong Cie, sembari tertawa, dia kata, "Pesta ini pesta besar yang sukar diketemukan pula, maka itu aku si pengemis hendak memohon persen! Lebih dulu aku minta persen dari tuan pembesar negeri, habis itu baru dari tuan rumah!"

Salah seorang hadirin, yang bertubuh besar dan gemuk, sudah lantas membentak, "Pengemis bau, tempat ini tempat apa? Mana dapat dibiarkan kau mengacau di sini?"

Terus dia mengangkat satu poci arak, untuk dipakai menimpuk kepala orang!

Hebat serangan itu ke batok kepala. Di dalam pesta Rimba Hijau semacam ini orang biasa menggunakan cangkir besar dengan potongan-potongan daging besar juga, maka itu, tempat araknya pun mesti terbuat dari tembaga atau besi, yang muat kira lima kati arak. Demikian poci arak yang dipakai si gemuk, beratnya seperti gembolan!

Akan tetapi si pengemis tertawa berkakak.

"Belum lagi dipersen uang hendak dihadiahkan arak!" katanya.

"Baiklah! Terima kasih!"

Dia mementang mulutnya, untuk menyambuti. Karena dia dongak, tepat dia kena gigit mulut poci! Si gemuk kaget, hingga dia menarik pulang poci itu. Apa celaka, poci itu tak bergeming, tak perduli dia bertubuh besar dan gemuk dan mestinya besar juga tenaganya.

Justeru itu dua orang yang berduduk bersama Thio Tiong Cie sudah lantas bangun untuk menyerang si pengemis, atas mana pengemis itu menggeraki kedua tangannya untuk menyampok. Maka beradulah tangan mereka dengan keras. Kesudahannya itu kedua penyerang itu terpelanting mundur, terhuyung- huyung beberapa tindak, hampir mereka terguling.

"Kie Lojie!" Tie Swie berseru. "Kalau kau tidak melihat muka pendeta, aku minta kau pandanglah wajah Sang Buddha! Hari ini hari baik dari Ong Toako, jikalau kau mempunyai suatu urusan, mari kau bicara dengan tuan rumah, harap jangan kau mendahului turun tangan!"

Mendengar suaranya Tie Cecu, para hadirin lantas menjadi heran dan girang, mereka itu gempar.

Di dalam dunia pengemis itu waktu ada tiga pengemis yang luar biasa, yang namanya sangat tersohor. Yang satu yaitu See- gak Sin-liong Hong-hu Siong, yang satu lagi ialah Ciu-kay Kie Tie si Pengemis Pengarakan. Dan pengemis yang ketiga yakni Hong-kay We Wat si Pengemis Edan.

Mereka bertiga dimalui karena kegagahan mereka. Sekarang Tie Wie menyebut Kie Lojie, maka pengemis ini ialah Ciu-kay si Pengemis Pengarakan, tukang menenggak air kata-kata!

Maka itu kagetlah orang-orang pihak Ong, sedang yang kegirangan adalah mereka dari rombongannya Thouw Pek Eng.

Dalam keadaan kacau itu, rombongan Tiong Cie berbangkit melupakan satu kurungan. Thouw Pek Eng serta Sat-sie Siang Eng pun maju, guna mendekati si pengemis jago arak. Ketika itu Kie Tie sudah menyedot habis isinya poci arak, kemudian ia membuka mulutnya untuk memuntahkan itu seperti semprotan atau semburan terhadap mereka yang mengurungnya. Hebat arak itu, yang turun bagai hujan, siapa terkena itu, dia merasakan mukanya sakit seperti terhajar peluru kecil halus.

Kie Tie tertawa, dia mengangkat pundaknya, dia kata nyaring, "Ong Cecu! Tie Cecu! Lihat oleh kamu! Bukankah itu mereka yang mulai menyerang lebih dulu? Bagaimana kamu hendak mempersalahkan aku?"

Lam Ce In lantas maju menerjang Thio Tiong Cie.

Orangnya An Lok San itu terserang matanya oleh arak, itulah rintangan untuknya. Dalam keadaan biasa, dapat dia melayani Ce In sampai tiga puluh jurus, sekarang baru satu jurus, dia sudah kena dicekuk!

Juga orang satunya lagi dari An Lok San sudah lantas terbekuk Pek Eng.

Beberapa orang semeja, yang menjadi kawan-kawannya Tiong Cie berdua, mau maju, akan tetapi mereka dihadang Kie Tie dan Sat-sie Siang Eng.

Kie Tie tertawa nyaring dan kata, "Segera bakal ada pertunjukan ramai, maka buat apa kamu membikin ribut? Kenapa kamu tidak mau diam saja menonton pertunjukan yang menarik hati itu?"

Beberapa orang itu melengak.

Lam Ce In bersama Thouw Pek Eng, dengan masing-masing membawa orang-orang tangkapannya masing-masing, pergi naik ke panggung wayang. Itu waktu, pertunjukan wayang berhenti sendirinya sebab ada keributan tak disangka-sangka itu. Melihat datangnya dua orang ini, anak-anak wayang, berikut tukang tetabuannya, pada lari menyingkir ke panggung belakang.

Wajah Ong Pek Thong menjadi merah padam dan pias. Dia menyambar poci arak dan membantingnya ke tanah keras- keras.

"Tahan!" dia berseru, nyaring.

Justeru itu Han Tam telah menggunai sumpitnya menyambar poci arak, yang kena terjepit.

"Ong Cecu, sabar!" dia berkata. "Kalau ada bicara, marilah kita bicara baik-baik, tak usah cecu bergusar! Arak ini arak yang harum dan sedap sekali, sayang kalau sampai terbuang- buang!"

Ong Pek Thong menggunai tenaga beberapa ratus kati, maka heran ia Han Tam dapat menjepit poci araknya itu yang besar dan berat. Melihat itu ia menjadi kaget berbareng gusar sekali. Ia pun menjadi malu dan jengah, hingga untuk sejenak ia jadi membungkam.

Baru kemudian ia berkata dengan suara dalam, "Semua orang yang hari ini datang ke Liong Bin Kok ini menjadi sahabat-sahabat baikku, maka itu aku hendak memohon sahabat-sahabat suka memberi muka padaku! Aku minta, ada urusan apa juga, baiklah kita bicarakan lain hari!" Mendengar itu, Han Tam tertawa.

"Ong Cecu, kata-katamu ini dikeluarkan karena kau kurang pikir sedikit!" kata dia. "Inilah justeru urusan besar! Justeru sekarang hadir semua saudara dari pelbagai penjuru, justeru perlu sekarang kita bicarakan urusan ini! Kita perlu bicara jelas sekarang supaya Ong Cecu tidak sampai kehilangan muka!"

Sin Thian Hiong pun turut bicara. Kata dia nyaring, "Benar! Justeru sekarang orang banyak hendak mengangkat kau sebagai beng-cu, sebagai pemimpin kita, justeru ada orangnya pembesar negeri yang nelusup masuk di antara kita! Jikalau perkara ini tidak diperiksa terang sekarang juga, bukankah akan terjadi ada saudara-saudara yang nanti menyangka kau berkongkol dengan pembesar negeri! Itulah sangkaan keliru yang berbahaya sekali! Kalau dua orang itu benar Busu dari An Lok San, mereka pasti bukan sahabat cecu! Kita mau menjelaskan ini justeru untuk kebaikan cecu sendiri!"

Ong Pek Thong bungkam, mukanya merah padam. Hebat kata-katanya Han Tam dan Thian Hiong itu.

Ketika itu Lam Ce In dan Thouw Pek Eng sudah membawa kedua orang tawanannya ke muka panggung. Di bawah itu sebaliknya telah berkumpul banyak orang, ialah para hadirin atau tetamu.

Di antara orang banyak itu lantas ada yang menanya, "Kamu bilang dua orang ini menjadi orang atau Busunya An Lok San! Untuk itu kamu mempunyai bukti apa?"

"Benar!" lantas ada suara yang menimbrung. "Siapa tahu kalau mereka ini berdua orang-orang dari Kim Kee San, yang hendak memfitnah Ong Toako! Maka perlulah ada bukti atau saksi! Siapa dapat membuktikan mereka benar orang-orangnya An Lok San?"

Pasti sekali mereka itu ialah orang-orangnya An Lok Sah. Dan mereka dapat sambutan lagi dari kawan-kawan mereka. Tentu, di antara meieka itu, walaupun ada yang ketahui siapa Tiong Cie dan kawannya itu, meieka berlagak pilon.

"Aku dapat memberi bukti!" berseru Kie Tie, yang berada di antara banyak orang. Dia bersuara dingin, suaranya tak keras, tetapi tajamnya menusuk telinga. Maka suaranya itu membungkam suara berisik orang-orangnya Ong Pek Thong itu.

"Ada bukti apa?" ada juga orang yang bertanya.

"Buktinya ada di tubuh mereka!" Kie Tie menjawab, tertawa.

Lam Ce In disadarkan Kie Tie, ia lantas menggeledah tubuhnya Thio Tiong Cie. Maka ia dapat menarik keluar Houw Tauw Kim-pay, yaitu lencana emas berkepala harimau, benda pertanda kalau An Lok San menitahkan orang atau orang-orang kepercayaannya pergi bertugas, bahkan dengan itu, pesuruh ini dapat memberi perintah pada tentara atau pembesar militer setempat.

Di antara orang-orang Rimba Hijau ada yang mengenali kim- pay itu. Karena itu orang-orangnya Ong Pek Thong lantas pada menutup mulut.

"Buat apa kamu datang kemari?" Lam Ce In tanya dua orang tangkapannya. "Lekas kamu mengasih keterangan!"

Thio Tiong Cie bangsa keras kepala, dia berdiam. Ce In memencet lengannya, hampir tangannya itu remuk, akan tetapi dia terus bungkam. Sebaliknya kawannya tak dapat bertahan, sebab dia disiksa Thouw Pek Eng yang menggunai tipu silat Hun-kin Co-kut Ciu, hingga tangannya bisa salah urat atau salah laku, yang mendatangkan jasa nyeri bukan buatan.

Dia tak tahan maka dia menjerit keras, "Aduh!"

"Bicaralah!" bentak Pek Eng. "Kalau tidak, kau bakal merasai yang terlebih hebat lagi!"

"Baik, hoohan, aku bicara!" kata orang itu. "Akan aku bicara!" Tepat di itu waktu, Ceng Ceng Jie mengayun tangannya. Maka dua potong pisau belati melesat melayang! Han Tam telah memasang mata, ia melihat gerakan orang itu, ia pun segera menggeraki pula sumpitnya, melesat sebagai senjata rahasia.

Pisau belati Ceng Ceng Jie itu aneh. Di tengah jalan, kedua pisau memutar haluan, hingga keduanya tak dapat disusul kedua batang sumpit. Terus pisau belati itu balik menyambar  ke arah panggung!

Thouw Pek Eng melihat datangnya senjata, ia menangkis dengan pedangnya, maka sebilah pisau jatuh ke panggung. Akan tetapi yang kedua lolos, tepat kerongkongnya si Busu disambar nancap, hingga suara orang lantas saja berhenti!

Han Tam gusar.

"Ceng Ceng Jie, mengapa kau membunuh orang untuk membungkam mulutnya?" ia menegur.

Justeru itu di bawah panggung terdengar suara berisik, lalu terdengar tegurannya Ong Liong Kek yang tertawa dingin, "Sin Cecu, bagus benar sepak terjangmu! Tak kusangka, siauw-cecu dari Hui Houw Ce justeru menjadi pengiringmu!"

Ong Liong Kek berkata benar. Dia telah membongkar rahasianya Tiat Mo Lek. Karena kecurigaannya, dia lantas bekerja. Dia menyuruh beberapa orangnya mengatur perangkap.

Tiat Mo Lek tidak menyangka apa-apa, tadi dia pergi ke bawah panggung menonton wayang. Di sana dia melihat Cio It Liong dan Cio It Houw kedua saudara. Sebagai seorang cerdik,dia lantas menyingkir. Dia berjalan dengan cepat sambil tunduk. Tapi dia memangnya diarah, dia disusul.

Cio It Liong pun menegur, "Tiat Siauw-cecu, kau hendak pergi kemana?" Justeru itu beberapa tauwbak muncul. Mereka itu sudah siap sedia. Mereka membanjur Mo Lek dengan air di dalam tahang. Itulah hebat. Kalau mereka bertempur, tak mudah dua saudara Cio memperoleh kemenangan. Sekarang Mo Lek dibanjur, selagi dia gugup, dia diserang. Maka belum sampai puluhan jurus, dia sudah kena ditangkap. Celakanya, karena tersiram air, penyamarannya locot. Dia lantas dikenali.

Bukan main girangnya Ong Pek Thong ketika dia menerima laporan dari anaknya yang telah lantas datang ke situ itu, guna menegur Sin Thian Hiong.

Ong Pek Thong pun berseru, "Kamu lihat! Lihat bocah ini! Dialah anak angkat dari Touw Lotoa! Dialah Tiat Mo Lek! Sin Thian Hiong membawa dia kemari, apakah maksudnya? Tak usah aku terangkan lagi, tuan-tuan pastilah sudah mengerti! Baiklah! Mereka datang untuk membalaskan sakit hatinya Keluarga Touw! Sekarang mereka mau menunjang ini bocah bau! Tuan-tuan, sekarang bilanglah terus terang, kamu masih hendak menunjang bocah ini atau kamu suka turut padaku?"

Sin Thian Hiong tidak takut meski rahasia sudah pecah.

Dia berseru, "Tuan-tuan jangan kasih diri tuan-tuan terjebak oleh Ong Pek Thong!  Baiklah  tuan-tuan  jangan  dibikin terlibat urusan permusuhan dua keluarga Ong dan Touw! Urusan permusuhan dua keluarga itu boleh ditunda sampai lain hari! Sekarang yang mesti dibikin jelas ialah, Ong Pek Thong sekongkol dengan An Lok San, dia seperti mau membantu harimau mengganas, sebab dia hendak membantu bangsa Ouw merampas Tionggoan, negara kita! Tuan-tuan, apakah tuan- tuan masih hendak mengekor padanya?"

Mendengar keterangan itu, yang mereka percaya, sebagian dari para hadirin itu sudah lantas membubarkan diri. Konco-konconya Ong Pek Thong berjumlah besar, tidak menanti Sin Thian Hiong bicara habis, ada beberapa diantaranya yang sudah lompat naik ke atas panggung untuk menyerang Lam Ce In.

Maka itu kacaulah keadaan, hingga Sin Thian Hiong tak dapat ketika bicara lebih jauh.

Lam Ce In menghunus golok mustikanya. Ia berdiri belakang membelakangi dengan Thouw Pek Eng. Dengan siasat ini ia menangkis musuh.

Dengan lekas panggung telah terkurung tiga lapis orangnya Ong Pek Thong. Mereka itu terdiri kebanyakan dari penjahat- penjahat besar Rimba Hijau, umumnya mereka kosen, maka di dalam tempo yang pendek, tak dapat Ce In berdua memukul mundur pada mereka.

Thio Tiong Cie dapat kesempatan membebaskan diri, bukannya dia kabur, dia justeru menerjang. Di antara banyak kawan, dia menjadi tidak takut.

Di atas panggung orang bertarung, di tanah pun terjadi pertempuran tak kalah serunya.

Ong Pek Thong hendak berlalu dari medan pesta tapi Han Tam kata padanya, "Ong Cecu, kejadian ini harus diselesaikan! Tak dapat kau berlalu dengan begini saja!"

Sembari berkata begitu, orang she Han ini mengulur tangannya ke pundak orang. Hanya belum lagi ia mencekal, lantas ia merasakan sambaran angin dingin ke arahnya.

Di luar dugaan, Ceng Ceng Jie telah mengangkat meja, yang dia pakai merintangi Sin Thian Hiong, yang mau maju. Selagi berbuat begitu, dia melihat Pek Thong terancam, tidak ayal  lagi, dia lompat menyerang Han Tam. Tak perduli dia bahwa dengan cara begitu dia main membokong. Han Tam melihat datangnya bahaya. Ia batal menyerang terus pada Pek Thong. Ia membalik tubuh buat menangkis serangan curang itu.

Ceng Ceng Jie membuka kepalannya, atas itu dari tangannya melesat sesuatu yang berkilau seperti halilintar, menyambar pada musuh. Itulah pisau belati, bekalnya.

Han Tam berniat menotok lawan itu, tetapi diserang dengan pisau belati itu, ia mesti membela diri. Ia mengelit tangannya. Ia sebat sekali, sambil berkelit, seraya mendak, ia meneruskan menyabet ke bawah, ke arah dengkul penyerangnya itu.

Ceng Ceng Jie awas dan gesit. Dia menolong diri dengan menggeser kakinya. Dia tak berhenti sampai disitu. Dari samping dia meluncurkan tangannya yang memegang pisau belagi, guna menikam dada musuh.

Han Tan mendak untuk terus menjejak tanah, hingga tubuhnya mencelat naik. Sambil mencelat itu, sebelah kaki digunakan, diteruskan mendupak lengannya Ceng Ceng Jie, niatnya buat membikin terlepas pisau belati lawan itu.

Ceng Ceng Jie liehay, ia menyingkirkan tangannya, ia terus menyerang lagi. Dengan berada di samping, dapat ia mengarah iga lawannya dimana ada jalan darah jie-khie.

"Bagus!" seru Han Tam.

Dari samping, ia menyampok ke arah pergelangan tangan lawannya itu.

Ceng Ceng Jie lompat berkelit lincah, tetapi ia mengasih dengar suara nyaring, "Bret!" Ia bebas dari serangan itu. Sebagai ganti pergelangannya, tangan bajunya yang robek. Maka hebatlah pertempuran di antara dua jago ini. Ceng Ceng Jie tak kalah tapi pun Han Tam tak berhasil memperoleh kemenangan cepat.

Sementara itu Ong Pek Thong telah dapat ketika buat menjauhkan diri.

Tiat Mo Lek panas sekali, dia menghunus goloknya guna menyerang saudara-saudara Cio. Ia basah kuyup seperti ayam tercebur, dia hendak menuntut balas. Belum dia menyerang, tiba-tiba dia mendengar satu suara nyaring.

"Tiat Siauw-cecu, dengar! Sebenarnya aku memandang kepada kau! Bukankah kemarin ini paman Khong Khong Jie telah membiarkan kau hidup terus? Kenapa sekarang kau datang pula ke mari? Bukankah itu berarti, sorga ada jalannya kau tak pergikan, kau justeru masuk ke neraka yang tak ada pintunya!"

Itulah suaranya seorang nona.

Lalu terdengar suaranya Ong Pek Thong, "Anak Yan, buat apa kau bicara saja dengannya? Ingatlah, membabat rumput mesti berikut akarnya! Lekas kau bunuh dia."

Tiat Mo Lek tak menghiraukan bahaya. Ia tahu ia bukan lawan si nona tetapi dalam murkanya ia menyerang nona itu.

Ong Yan Ie mengerutkan alis.

"Apakah benar-benar kau kesusu mau menghadap Raja Akherat?" tanya dia.

Lantas dia menyerang ke dada si anak muda.

Mo Lek menangkis dengan goloknya. Ia nekad, ia bersedia mengadu jiwa. Ingin ia mati bersama. Maka ia menggunai ilmu pedang yang ia baru dapatkan dari Kui Ciang. Ia merangsak tanpa menghiarukan bencana. Sayang ia belum sempat melatih mahir ilmu pedangnya itu.

Ilmu pedang mengutamakan kelunakan, ilmu golok kekerasan, sekarang Mo Lek memindahkan ilmu pedang kepada goloknya, biar ia bisa menyerang hebat tetapi tetap ia meninggalkan lowongan atau kekosongan.

Yan Ie lebih liehay, si nona lantas dapat melihat cacad orang itu. Dengan memutar tubuh, dia berkelit, terus dia maju.

"Awas!" seru puteri gagah dari Ong Pek Thong, yang pedangnya meluncur cepat.

Mo Lek terkejut, ia berkelit dengan gugup, meski begitu ia tidak dapat membebaskan diri seluruhnya, bajunya kena terobek dan ujung pedang menowel kulit dagingnya!

"Celaka aku!" ia berseru dalam hati ketika ia merasai hawa dingin di iganya. Ia percaya jiwanya bakal melayang, tapi lantas ia menjadi heran.

Yan Ie tidak menikam terus, pedangnya ditarik pulang.

Kata si nona perlahan, "Nyalimu benar besar! Lekas kau pergi! Aku beri ampun pada jiwamu!"

Hanya sekejap Mo Lek melengak.

"Siapa kesudian diberi ampun?" serunya. Mendadak ia membacok!

"Ah!" seru si nona, tetap perlahan. "Tak dapatkah kau tak omong keras-keras? Hati-hati nanti ayahku mendapat dengar...!"

Melihat si anak muda demikian berani, Nona Ong menjadi menyukainya. Syukur itu waktu pertempuran di panggung berisik sekali dan Ong Pek Thong lagi repot memimpin orang-orangnya menyerang Sin Thian Hiong semua, maka itu selain tidak ada yang mendengar juga tak ada yang memperhatikan dua anak muda ini.

Mo Lek telah menjadi seperti kalap. Ia tidak memperdulikan si nona, ia menyerang pula, beruntun sampai tiga kali. Benar- benar ia mau mengadu jiwa.

Yan Ie menjadi gusar.

"Bocah bau, kau tidak dapat melihat salatan!" bentaknya.

Terpaksa ia melayani sekalian membela dirinya. Ia terus merangsak. Dengan tipu silat "Bidadari melemparkan torak," ia merapatkan diri, untuk menikam nadi si anak muda, guna memaksa orang melepaskan goloknya.

Tengah Nona Ong menyerang itu, mendadak ia merasa angin menyambar di belakangnya. Ia masih muda tetapi pengalamannya sudah banyak, sedang ia pun muridnya guru yang pandai. Ia tahu artinya angin itu, ialah anginnya satu serangan.

Dengan sebat ia gunai jeriji kirinya menolak goloknya Mo Lek, sama sebarnya ia menangkis ke belakang, menghalau serangan. Tatkala ia menoleh, ia melihat penyerangnya itu Han Cie Hun.

"Oh, kiranya Encie Sin!" Nona Ong kata tertawa. "Bagus! Bagus! Memang aku ingin mencoba kepandaian encie! Tadi encie menyimpannya, sekarang mesti dikeluarkan! Supaya aku dapat membuka mataku!"

"Ah, hantu wanita cilik yang telengas!" Cie Hun mendamprat. "Hari ini kau tak akan lolos dari keadilan!" "Benar?" tanya Yan Ie tertawa.

Dia Jenaka dan riang gembira, tak mudah diterka.

"Jikalau aku telengas maka ini sahabat baik siang-siang pasti sudah lenyap jiwanya! Jikalau kau tidak percaya, kau tanyakanlah dia!"

Mo Lek sangat mendongkol. Tak sudi ia bicara. Ia maju pula dan menyerang dengan hebat.

Cie Hun pun maju, dari itu, Yan Ie kena dikepung berdua.

Nona Han menggunai sepasang poan-koan-pit, senjata yang mirip alat tulis (pit), peranti menotok jalan darah, dengan begitu ia menggunai kepandaiannya yang menjadi ajaran ayahnya. Tapi' Yan Ie gagah, tak gampang dia dikalahkan. Karena adanya Mo Lek, puterinya Ong Pek Thong kalah angin juga.

Di bawah panggung orang bertempur secara kacau itu, di atas panggung pertempuran tak kalah hebatnya. Dengan belakang membelakangi, Lam Ce In dan Thouw Pek Eng menyambut pelbagai penyerangan. Jumlah musuh besar sekali, walaupun Ce In gagah dan ia telah berhasil merobohkan beberapa orang, ia dan kawannya masih tak dapat mengundurkan penyerang-penyerangnya itu.

Kie Tie mencegluk isi buli-buli yang besar, umpama kata perutnya menjadi gendut, setelah itu dia tertawa terbahak- bahak, dia kata dengan gembira, "Pertempuran ini sangat menarik hati untuk ditonton! Tak dapat tidak, aku si pengemis tua mesti membantu meramaikannya! Ha, ha!"

Dia lantas menghampirkan panggung, terus dia mementang mulutnya, untuk menyemburkan araknya. Bagaikan diserang hujan deras, beberapa musuh yang berada paling dekat sudah lantas roboh atau terpelanting. Hebat serangan arak itu, yang membuat mata perih dan nyeri serta tubuh nyeri juga. Setiap tetes arak merupakan seperti peluru. Benar serangan itu tidak segera meminta jiwa, tetapi orang kelabakan dan kesakitan tak terhingga.

Di antara kawanan penjahat ada seorang she Ciok nama Sam Seng, dia terkenal kosen, senjatanya ialah cambuk hong- liong-pian yang berbuku tujuh, ketika itu ia justeru merabuh kakinya Ce In. Dia menggunai silat "Angin puyuh menyapu pohon Yang-liu". Karena dia maju ke muka, dia kena tersembur arak, lantas matanya tak dapat melihat.

Menampak demikian, Ce In berseru, goloknya berkelebat. Tidak ampun lagi, jago itu roboh. Karena itu, terbukalah satu lowongan. Tanpa ayal pula, Lam Pat mengajak kawannya lompat turun dari panggung.

Pembantunya Ong Pek Thong yaitu Tie Swie menyaksikan perbuatannya Kie Tie itu, ia lantas menegur, "Kie Lojie, kitalah air sumur yang tidak saling mengganggu dengan air kali, mengapa sekarang kau mengacau begini rupa? Bukankah perbuatanmu ini berarti kau sangat tidak memandang mata kepada tuan rumah?"

Kie Tie tertawa.

"Kamu toh tidak mengundang aku?" dia membaliki. "Karena kamu -tidak mengundang aku, buat apa aku menjual muka kamu? Lain dari itu, kau tahu sendiri tabiatku si pengemis tua, satu kali aku ketagihan arak lantas aku tidak memperdulikan lagi muka atau bukan muka! Maka mari, mari, mari! Kau tidak mengundang aku minum arak, aku sendiri suka mengundangmu minum barang sedikit!"

Dengan lantas Ciu-kay mementang pula mulutnya, menyembur ke arah Tie Swie. Bukan main gusarnya si orang she Tie. Dengan lantas ia melakukan satu serangan "Udara kosong," guna menyampok balik hujan arak itu, habis mana ia maju, untuk menyerang, bahkan dengan hebat.

Kie Tie menganggap orang sebagai kenalan lama, ia menyembur tanpa mengerahkan tenaga dalam, ia cuma mau main-main, maka itu diluar dugaannya, ia lantas diserang hebat.

Tie Swie itu memang pandai Kim Na Hoat, ilmu menangkap, untuk mana dia bisa berkelahi rapat. Sudah begitu, dia pun lantas dibantui beberapa kawannya yang termasuk orang-orang kosen undangannya Ong Pek Thong. Maka itu, ia terpaksa mesti bertempur secara sungguh-sungguh.

Lam Ce In membuka jalan untuk dapat mempersatukan diri dengan Sin Thian Hiong, tengah ia maju itu, tiba-tiba ia merasakan sambaran angin kepada punggungnya.

Diluar sangkaan, ia telah diserang Ong Liong Kek, puteranya Ong Pek Thong, yang sekarang mengenalinya, hingga ia mesti memutar tubuhnya menghalau serangan itu.

Ong Liong Kek tertawa dan kata, "Orang she Lam, kau terlalu! Bukankah kemarin ayahku berlaku murah hati membiarkan kau kabur turun gunung, kenapa sekarang kau datang pula bahkan1 dengan menyamarkan diri? Kau mengacau, apakah ini perbuatannya 'seorang enghiong atau hoohan?"

"Tutup mulut!" Ce In membentak. "Beranikah kau masih bicara tentang seorang enghiong atau hoohan denganku?  Kamu ayah dan anak, kamu sudah kesudian menjadi anjing- anjingnya An Lok San!"

Sembari menegur itu, Ce In menyerang. Ong Liong Kek tidak berani banyak omong lagi, ia melakukan perlawanan, maka bertarunglah mereka dengan hebat.

Didalam pertarungan kacau itu, yang paling seru ialah pasangan di antara Ceng Ceng Jie dengan Han Tam.  Ceng Ceng Jie telah mengeluarkan Kim-ceng Tiat-kiam, yaitu pedang besinya yang istimewa tetapi Han Tam tetap melawan dia dengan sepasang tangan kosong. 

Tangannya itu, baik telapakan mau pun jerijinya, merupakan seperti dua macam alat senjata, bahkan jari tangannya mirip dengan Poan-koan-pit, gegaman beroman seperti alat tulis peranti menotok jalan darah.

Ceng Ceng Jie liehay, dia pun gesit sekali, tetapi sudah bertempur sekian lama, dia tak dapat berbuat banyak, pedangnya seperti tak mempan terhadap tangan dari darah dan daging...

Ceng Ceng Jie muncul baru beberapa tahun, Han Tam sebaliknya mengundurkan diri sudah lama, maka itu ia tidak tahu bahwa orang yang mengaku sebagai tauwbak dari gunung Kim Kee San itu seorang jago tua bahkan ahli totok yang kenamaan, ia menjadi heran.

Setelah bertempur sekian lama, Han Tam lantas mulai dengan penyerangannya dengan ilmu silat "Hud In Ciu," atau "Tangan mengebut mega". Serangannya ini merupakan campuran dari tabasan, tekanan, totokan dan tusukan.

Ceng Ceng Jie repot menangkis atau berkelit, jarang ketikanya untuk membalas menyerang. Ia gesit dan waspada, sebat kelitnya, tetapi satu kali dia kena juga ditowel lengannya, hingga kontan ia merasa kesemutan pada tiga jalan darahnya, giok-heng, yauw-kong dan kiok-tie. Syukur untuknya, ia telah menutup jalan darahnya dan totokan tidak keras, ia menjadi tak usah sampai roboh terguling. Ketika itu Ong Pek Thong telah memimpin orang-orangnya mengurung Sin Thian Hiong. Ia menduga orang she Sin itulah pemimpinnya pihak pengacau pestanya itu, maka ia pun maju sendiri. Ingin ia dapat menawan hidup-hidup pada Thian Hiong.

Dua saudara Sat, yaitu Sat-sie Siang Eng, bertempur rapat bersama-sama Thian Hiong, mereka gagah, tetapi dikurung banyak orang, mereka repot juga, tak dapat mereka memecahkan kurungan.

Han Tam berkelahi sambil memasang mata keempat penjuru, dengan lantas ia dapat melihat Thian Hiong terkepung itu, lantas dengan satu serangan ia paksa Ceng Ceng Jie mundur, sembari mendesak itu, ia kata, "Dengan memandang muka suhengmu, aku tidak mau melukai kau, maka mundurlah kau!"

Ceng Ceng Jie terkejut. "Kau siapa, tuan?" ia tanya.

"Kau pulang, untuk tanyakan keterangan suhengmu, nanti kau ketahui sendiri," sahut Han Tam. "Sekarang aku tak mempunyai tempo untuk bicara banyak!"

Lalu sambil bersiul nyaring, jago tua ini lompat untuk lari ke arah Sin Thian Hiong.

Ceng Ceng Jie bingung, ia kata di dalam hati kecilnya, "Tak perduli apa yang dia bilang benar atau salah, dia katanya kenal kakak seperguruanku, baik sekarang aku jangan melayani dia lebih lama pula!"

Tepat itu waktu dua-dua Ong Pek Thong dan Ong Liong Kek, ayah dan anak, mengasih dengar seruan mereka meminta bantuan. Ceng Ceng Jie dengar suara orang, seharusnya dia pergi pada Pek Thong, akan tetapi suaranya Han Tam membuatnya jeri, ia pergi pada Liong Kek. Lam Ce In benci sangat pada Liong Kek, ia menyerang dengan hebat, goloknya dipakai menyerang secara beruntun, setiap kalinya bertambah hebat. Disamping ia, Thouw Pek Eng dengan pedangnya menangkis lain-lain musuh.

Selang tiga puluh jurus. Liong Kek lantas terdesak hebat, dengan terpaksa ia membuka jalan, habis menangkis, ia lompat mundur untuk lari menyingkir.

Akan tetapi Lam Ce In tidak mau mengerti.

"Kau rasai!" bentaknya, sambil goloknya menyerang dari atas ke bawah.

"Jangan bunuh dia!" teriak Pek Eng, mencegah. "Bekuk bocah itu hidup-hidup!"

Lam Ce In lantas saja mengerti maksudnya Thouw Pek Eng. Itulah untuk membekuk puteranya Ong Pek Thong guna dijadikan orang jaminan.

Ia pikir, "Kelihatannya cuma ada ini satu jalan untuk membikin Ong Pek Thong membubarkan kurungannya ini!"

Hebat orang she Lam ini, begitu ia berpikir dan setuju, ia lantas bekerja. Goloknya sudah lantas dikasih bekerja. Hanya dalam beberapa jurus, kipas besi Ong Liong Kek sudah kena dikekang. Berbareng dengan itu laur,an kirinya meluncur dalam tipu silat "Yu Liong Tam Jiauw," atau 'Nay,.' mengulur kuku," menyambar ke arah tulang pipa atau tulang selangka lawannya itu.

Ong Liong Kek juga liehay. Dia terdesak, dia melihat ancaman bahaya. Maka dia berlaku waspada. Ketika disambar itu, di saat tangan orang hampir tiba pada bajunya, mendadak dia menjejak tanah untuk lompat berjumpalitan dengan jurus "Kim Lie Coan Po," atau "Tambra emas meletik menembusi ombak". Maka bebaslah dia. Ce In menjadi mendongkol. Dia lompat menyusul dengan lompatan "Teng In Ciong," atau "Naik di atas mega". Begitu datang dekat, dia terus membacok.

Sekonyong-konyong ada seorang yang berlompat maju untuk menghadang. Orang itu gesit sekali. Dia pun sudah lantas menggunai pedangnya. Maka golok dan pedang beradu keras sambil memuncratkan lelatu api.

Lantas dia berseru sambil menyapa, "Ilmu golok yang liehay!

Tuan, bukankah kau Lam Pat dari Gui-ciu?"

Orang yang demikian liehay, Ceng Ceng Jie adanya. Tepat dia menolongi Ong Liong Kek. Karena Ce In terus menyerang, dia mesti melayani bertempur.

"Tidak salah!" Ce In menjawab. "Lam Pat dari Gui-ciu itulah aku yang rendah! Kau liehay, tuan, mengapa kau sudi membantu harimau? Tidakkah kau harus disayangi?"

Ceng Ceng Jie tertawa.

"Di sini bukan tempat bicara!" katanya. "Hari ini juga bukan saatnya untuk berunding! Kemarin ini di gunung Hui Houw San tak ada kesempatan untukku menerima pengajaran dari kau, aku menyesal, maka bagus sekali hari ini kita bertemu pula! Lebih dulu hendak aku belajar kenal lebih jauh dengan ilmu golok kau, tuan, kemudian baru aku akan mendengar nasehatmu! Bagaimana?"

Ong Liong Kek telah dapat memperbaiki kedudukannya, menenangkan diri. Hanya sebentar, ia menjadi murka. Ia merasa sangat malu. Maka ia maju pula.

Ia kata nyaring, "Ya! Hari ini, siapa yang menang, dialah yang kuat! Tak usah melayani dia ngoceh!"

Lalu dia mendahului menyerang. Ceng Ceng Jie tidak niat dua melawan satu, tak sudi dia main ngepung, akan tetapi karena sudah terang Liong Kek bukan lawan dari Lam Pat, terpaksa dia maju juga.

Dia ingat dialah orang undangannya Ong Pek Thong, yang diundang dengan hadiah luar biasa. Tadi pun ia sudah merasa tidak enak hati karena adanya Han Tam tak dapat dia membantui Ong Pek Thong. Sekarang mana dapat dia membiarkan puteranya Pek Thong mendapat celaka?

Kepandaian Lam Ce In berimbang dengan kepandaiannya Toan Kui Ciang, seharusnya ia tidak dapat terkalahkan Ceng Ceng Jie, akan tetapi sekarang keadaannya lain. Sudah sekian lama ia bertempur, keuletannya menjadi berkurang, sekarang Ceng Ceng Jie dibantu Ong Liong Kek, yang termasuk tenaga baru, ia merasa sulit. Belum sampai dua puluh jurus, ia sudah jatuh di bawah angin.

Thouw Pek Eng juga bertempur terus, dia paksa memukul mundur beberapa lawannya, habis itu dia memburu kepada Ce In, lantas berdua mereka bertempur bersama. Dengan begitu keadaan Lam Pat menjadi tak terlalu berbahaya.

Hanya sayang, Pek Eng sendiri pun sudah letih, dia tidak bisa berbuat lebih daripada itu, pihaknya cuma sanggup membela diri.

Tengah keadaan mengancam itu, mendadak ada orang berseru, "Nona Hee datang!"

Liong Kek mendengar itu, lantas dia tercengang. Tak ayal lagi dia mencoba berpaling. Maka dia mendapat lihat Hee Leng Song mendatangi dengan wajahnya bengis. Nona itu bergusar dengan sepasang alisnya yang lentik bangun berdiri. Seorang tauwbak maju menyambut padanya, tauwbak itu disampok mundur. Ia maju terus dengan pedang terhunus. Lam Ce In heran.

Ceng Ceng Jie cerdik sekali. Justeru lawannya itu menoleh, justeru dia menyerang hebat, bagaikan kilat pedangnya menikam Lam Pat.

Justeru itu tibalah Leng Song. Dengan lantas dengan tipu silat "Peng See Lok Gan," atau "Burung belibis turun di pasir datar," dengan pedangnya - pedang Ceng Kong Kiam ia menyerang ke kaki dari saudara seperguruan Khong Khong Jie itu!

Maka berbahayalah dua-dua Lam Ce In yang lengah itu dan Ceng Ceng Jie yang bernapsu merobohkan musuh. Mereka berdua sama-sama bergerak dengan sangat cepat.

Ceng Ceng Jie berseru kaget, tubuhnya terus mencelat ke depan, dengan begitu dia menjadi tertolong dari pedang si nona. Dengan begitu,

Ce In turut tertolong juga. Ceng Ceng Jie batal meneruskan menikam padanya.

Ong Liong Kek bingung dan jengah.'

"Nona Hee, apakah benar-benar kau hendak memusuhkan aku?" dia tanya, ragu-ragu.

"Kau... kau... dengar aku bicara..."

Leng Song memotong, "Segala perbuatan kamu ayah dan anak, sekarang aku ketahui jelas!" demikian si nona. "Apalagi yang kau hendak bilang?"

-ooo0dw0ooo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar