Kisah Bangsa Petualang Jilid 08

 
Jilid 08

Baru kata-kata itu habis diucapkan, atau Kui Ciang telah menghunus pedangnya, diturut oleh penantangnya. “Kamu menculik anakku, urusan ini tidak mengenai mereka ini!” kata Kui Ciang, dingin. “Kamu berdua datang untuk Toan Kui Ciang seorang, aku bersiap sendiri menemui kamu! Maka itu, tak perduli kau datang sendiri, atau kau datang bersama kakak seperguruanmu, si orang she Toan akan melayani kamu sendiri saja!”

“Sungguh mulut besar!” Ceng Ceng Jie tertawa. “Tak kecewa kau dipanggil tayhiap! Tapi anakmu itu bukan anakmu sendori, dari itu aku masih memikir untuk belajar kenal dengan pelurunya isterimu!”

Sian Nio mendongkol, dia lantas menjawab, “Peluruku tak dipakai menghajar seorang rendah yang tak bernama! Sebentar setelah kau dapat mengalahkan pedang suamiku, baru kau bicara pula!”

Nyonya Toan bicara dengan tenang, tetapi nadanya keras. Ceng Ceng Jie bersiul panjang dan nyaring, terus dia tertawa lebar. Dia pun menyentil pedangnya.

“Baiklah, mari kita main-main!” katanya. “Kau menjadi separuh tuan rumah, Toan Tayhiap, sebagai tetamu tak dapat aku berlaku kurang ajar, maka kau mulailah! Silahkan!”

Toan Kui Ciang sangat jemu tetapi sebagai seorang tayhiap, ia mau memegang tinggi martabatnya. Ia benar lantas menyerang akan tetapi Cuma separuh, sebagai gertak.

“Bagus, ya!” bentak Ceng Ceng Jie mendongkol. “Bukankah kau tak memandang mata padaku?”

Habis berkata, dengan luar biasa sebarnya, ia lantas menikam. Ia pun menindak di tengah, tiong-kiong, suatu tanda ia menantang sangat. Kui Ciang gusar sekali. Ia tidak bergeming. Ketika pedang lawan tiba, mendadak ia menapas. Itulah jurus “Kim Peng Tian Cie” atau “Garuda emas mementang sayap”.

Melihat perlawanan Kui Ciang, pihaknya pada bersorak memuji, bukan karena orang she Toan menang, hanya cara bersilatnya yang sempurna itu. Suara nyaring sekali lantas terdengar, orang pun melihat muncratnya lelatu api.

Justeru itu tubuh Ceng Ceng Jie mencelat tinggi, dari atas ke bawah, dia membacok hebat ke arah punggung lawannya, di jalan darah Hong-hu.

Kui Ciang memutar tubuh sangat cepat, sembari mutai, pedangnya berkelebat, maka untuk kedua kalinya senjata mereka bentrok pula.

Ceng Ceng Jie berlompat mundur tiga tindak.

Kui’ Ciang menyerang sambil mengajukan diri, karena musuh maju, ia maju dua tindak. Hampir-hampir ia tak dapat menahan tubuhnya.

Itulah hebat. Benar mereka baru bertempur dua jurus tetapi setiap serangan itu berbahaya bukan main. Siapa lambat sedikit saja, pasti dia akan jadi kurban pedang.

“Benar-benar Toan Tayhiap liehay!” kata Ceng Ceng Jie. Toan Kui Ciang berdiam, di dalam hati, ia jengah  sendirinya.

Di dalam satu-dua gebrakan, tak dapat ia mengenali musuh

bersilat dengan ilmu silat partai mana.

Ceng Ceng Jie itu, habis memuji, sudah lantas menyerang pula.

Sekarang keduanya sama-sama berlaku waspada, mata dibuka tajam, kaki tangan bergerak cepat dan lincah Beginilah peristiwa itu, tepat kedua pedang bentrok, tepat tiba peluru-pelurunya Touw Sian Nio. Kim-wan itu berat, Sian Nio pun menggunai tenaga sepenuhnya. Si nyonya menarik busurnya sampai menjadi bundar sekali. Maka hebat menyambarnya sekalian pelurunya itu, mirip dengan hebatnya jarum bwe-hoa-ciam.

Ceng Ceng Jie liehay, ia masih dapat menyambut ketiga peluru itu. Sayangnya dia sekarang lagi menyerang Kui Ciang dengan perhatian dan tenaga sepenuhnya. Tentu sekali dia menjadi sangat repot. Kendati begitu, dia masih dapat mementil balik dua buah peluru.

Adalah perluru yang ketiga, yang mengenai belakang pedangnya. Tanpa dapat dipertahankan pedangnya itu tak lurus lagi arahnya, akan tetapi, justeru dia meleset tak dapat melukai Toan Kui Ciang, ujung pedang Kui Ciang sebaliknya membuatnya terluka.

Semua orang terperanjat, mereka sampai melengak, semua menahan napas. Sampai Ceng Ceng Jie sudah lenyap, masih mereka tinggal menjublak. Barulah paling belakang Tiat Mo Lek berseru dengan pujiannya, “Bagus!”

Maka semua orang sadar, lantas semuanya turut bersorak- sorai.

Touw Leng Ciok maju, untuk memberi selamat kepada iparnya, akan tetapi Toan Kui Ciang tetap tak bergembira seperti semula, tak ada tanda-tandanya bahwa ia girang dengan kemenangan.

Itulah sebab semenjak ia muncul dalam dunia Kang Ouw, inilah yang pertama kali ia bertempur dengan mendapat bantuan orang, tak perduli pembatu itu ialah isterinya. Ia beranggapan kemenangannya bukan kemenangan dengan kementerengan, sedang kaburnya Ceng Ceng Jie tak dapat terkejar olehnya...

Touw Leng Hu kata sambil tertawa, “Moayhu berhasil melukai Ceng Ceng Jie, itu berarti penasaran kita telah terlampiaskan. Sayangnya ialah dia masih dapat lolos...!”

Touw Sian Nio sebaliknya menghela napas. Kata ia, “Meski kita menang, dia tapinya dapat kabur, maka itu, kepada siapa kita minta pulung anak kita?”

“Sudah Liok-moay, jangan kau bersusah hati!” Touw Leng ijiok menghibur. “Kecuali Khong Khong Jie dan Ong Pek Thong suka menyerah, tak nanti mereka dapat tak memunculkan diri. Sekarang mari kita pulang dulu untuk minum arak kemenangan!”

Di dalam benteng orang lekas sekali dapat menyajikan barang hidangan. Sambil tertawa nyaring, Touw Leng Ciok kata, “Baru sepuluh tahun kita berpisah, Kui Ciang, ilmu pedangmu maju pesat sekali! Khong Khong Jie dapat terlebih liehay daripada Ceng Ceng Jie, tak nanti dia dapat melawan kamu suami isteri!”

Tiat Mo Lek, dengan roman duka, turut berkata, “Khong Khong Jie beberapa kali menggertak kouwthio, rupanya dia telah mendapat lihat gelagat, rupanya dia merasa dialah bukannya lawan kouwthio! Sekarang, setelah pertempuran ini, aku kuatir dia tidak berani datang pula ke mari...”

Dua orang itu bicara secara bertentangan satu dengan lain. Touw Leng Ciok hendak membesarkan hati Kui Ciang, Mo Lek sebaliknya menunjuki kedukaannya dengan cara lain. Dia kuatir kalau Khong Khong Jie tidak muncul, sukar untuk mendapatkan pulang anak Kui Ciang. Toan Kui Ciang menggeleng kepala, ia kata, “Mo Lek, tidak dapat kau memandang enteng musuh secara demikian, seperti caramu ini!”

Justeru itu mendadak Touw Leng Hu berseru, “Eh, apakah itu?”

Tuan rumah ini berseru sambil matanya mengawasi ke penglari, maka semua orang lainnya, yang terperanjat, turut memandangnya ke arah itu.

Di atas penglari ada sesuatu yang tergantung.

Tanpa ayal lagi, Touw Leng Ciok menimpuk d«Eii)’,an hui- too, golok terbangnya, membikin gantungan itu putus dan barangnya jatuh, sedan)* Touw Leng Ciok bergerak menyambutinya.

Itulah sebuah kotak kecil.

Sebagai ahli, Leng Ciok sudah lantas mendapat tahu kotak itu tanpa pesawat rahasia, maka itu terus ia membuka tutupnya. Maka ia mendapatkan di dalam kotak itu sehelai kartu nama terbuat dari sehelai kertas merah.

Touw Sian Nio duduk di sisi kakaknya, dia melihat tegas, lantas dia berseru heran, “Inilah kartu namanya Khong Khong Jie!”

Touw-ke Ngo-houw – Lima Harimau Keluarga Touw – saling mengawasi, semuanya tercengang. Di waktu siang terang benderang, dan di muka orang banyak, Khong Khong Jie dapat menggantung kotak kartu namanya itu di atas penglari dalam ruang mereka berkumpul! Bukankah itu sangat luar biasa?

Selang sesaat, Touw Leng Ciok dapat menenangkan hatinya. Lantas dia berseru, “Khong Khong Jie! Kau sudah datang, kenapa kau tidak berani perlihatkan mukamu? Kenapa kau main bersembunyi seperti lakukanya hantu? Apakah caramu ini cara seorang laki-laki?”

Belum lagi berhenti teguran itu, di antara mereka sudah terdengar tertawa berkakak yang nyaring, dan belum lagi sirap tertawa itu, di antara mereka terlihat berkelebatnya sesosok tubuh, yang seperti burung melayang, lantas tiba di muka meja perjamuan itu. 

Orang itu juga terus berkata nyaring, “Sudah lama aku datang ke mari! Apakah kamu semua buta mata kamu?”

Serentak semua hadirin bergerak bangun, dengan serentak juga mereka menghunus senjata mereka. Kecuali Toan Kui Ciang dan Lam Ce In, yang dapat menguasai dirinya masing- masing. Karena bangunnya itu secara demikian, meja itu terbentur, mangkuk dan cangkir terbalik tumpah isinya.

“Bagaimana, hai?” Khong Khong Jie berseru. Dia tertawa nyaring pula. “Apakah kamu semua mau main keroyok?” *

Namanya Khong Khong Jie sudah terkenal selama beberapa tahun yang paling belakang ini, akan tetapi di antara sekalian tamu itu, baru sekarang mereka melihat orang punya potongan tubuh dan wajah. Dialah orang dengan tubuh yang luar biasa. Dia tinggi tak sampai lima kaki, sedang wajahnya ialah wajah kebocah-bocahan, kepalanya gede. Selagi bicara itu, dia menggeraki tangan dan kakinya, tingkah polahnya sangat jumawa.

Selagi semua orang mengawasi, Kui Ciang mengajukan diri. “Kecewa kepandaian kau yang liehay ini!” ia kata. “Kenapa

kau lakukan perbuatan seperti seorang pancalongok? Walaupun

berlipat kali kegagahan kau ini, tak dapat kau berlaku jumawa begini!” “Kau sebaliknya, kecewa kau mendapat julukan tayhiap!” Khong Khong Jie membaliki. Dia tertawa mengejek, “Kenapa dengan tidak membedakan hitam atau putih kau membelai segala penjahat besar Rimba Hijau? Apakah perbuatan kau ini juga dapat dibuat menjadi kebanggaanmu ?”

Toan Kui Ciang melengak. Touw Leng Ciok gusar sekali.

“Apakah Ong Pek Thong bukannya penjahat besar Rimba Hijau?” dia tanya. “Dia juga tak jauh banyak terlebih baik daripada kami! Kenapa kau juga menjadi tukang pukulnya itu?”

Khong Khong Jie tertawa lebar.

“Pertama-tama aku bukannya seorang tayhiap!” dia menjawab. “Ong Pek Thong bersahabat denganku, maka itu aku membantunya. Kedua, bicara dari hal kelakukan Rimba Hijau, Ong Pek Thong kalah daripada tingkah kamu! Bukankah perkara di Se Ke Chung perbuatan kamu? Sudah kamu hitam makan hitam, kenapa juga membinasakan keluarga itu ayah berikut anaknya? Ketika itu musim penyakit menular, kamu justeru merampas obat-obatan itu, kamu menumpuknya! Dengan begitu kamu menyebabkan kematiannya entah berapa banyak jiwa! Kamu tahu atau tidak? Apakah kamu ingin supaya aku membebernya satu demi satu semua perbuatan kamu? Atau untuk berlaku adil, kau bicara dari keburukan Keluarga Ong, lantas aku pun bicara kebusukan dari Keluarga Touw, supaya dengan begitu Toan Tayhiap dapat menimbang!. Nanti kamu boleh lihat, di antara kamu berdua, siapa yang perbuatan jahatnya terlebih banyak! Bagaimana?”

Dua keluarga Ong dan Touw sama-sama keluarga penjahat yang sudah “turun temurun,” selama beberapa puluh tahun ini. Keluarga Touw jauh terlebih berpengaruh daripada Keluarga Ong, maka bicara dari hal usaha mereka, sudah tentu lebih banyak perbuatannya Keluarga Touw

Di mata kaum Rimba Hijau, semua perbuatan itu lumrah saja. Di matanya Khong Khong Jie, itu lain lagi. Khong Khong Jie menganggap perbuatan Touw Leng Ciok kepada sesama kaum Rimba Hijau berlebihan, sebab dia suka membasmi sampai di akar-akarnya, meski sebenarnya, yang dibasmi ialah sesama Lvimba Hijau yang menjadi musuh-musuhnya, kalau kaum saudagar, tidak ada yang diganggu jiwanya

Meski demikian, mendengar kata-kata Khong Khong Jie itu, Toan Kui Ciang telah mesti mengeluarkan keringat dingin.

Ketika dulu hari Kui Ciang menikah dengan Touw Sian Nio, tak lama dia mengajak isterinya pindah ke lain tempat, selama sepuluh tahun, tak sudi dia mempunyai perhubungan lagi dengan Keluarga Touw, keluarga isterinya itu.

Sebab dari itu ialah dia tak sudi ikut-ikutan sekalian iparnya melanjuti pekerjaan mereka tanpa modal itu. Karenanya, selama sepuluh tahun, dia tak tahu lagi segala perbuatan ipar- iparnya itu.

Sekarang dia mendengar Khong Khong Jie membeber rahasia itu, dia kaget sekali. Dia kata dalam hatinya, “Benar aku tolol! Kenapa aku campur urusan air keruh ini?”

“Brak!” demikian terdengar suara nyaring pada meja, sebab Touw

Leng Ciok menggepraknya.

“Kami melakukan usaha kami, mana dapat kami tidak merampas dan tidak melukai orang?” dia tanya, bengis. “Meski benar kami merampas obat dengan mana kami mencari untung, itu bukannya pekerjaan yang dilakukan tanpa memperbahayakan jiwa kami! Kau bocah, kau tidak tahu aturan kami kaum Jalan Hitam, maka itu kau baiklah jangan omong banyak lagi!”

Touw Leng Hu juga turut bicara. Dia kata, “Kau menyebutkan Keluarga Ong itu! Keluarga itu berkongkol dengan sebawahannya An Lok San, dia meminjam tenaga hamba negeri mencelakai sesama kaum Rimba Hijau! Itulah perbuatan yang terlebih rendah lagi! Jikalau kau hendak bicara memakai aturan, kita mesti pakai aturan Rimba Hijau! Mari kita undang berkumpul semua jago Rimba Hijau, untuk mereka yang menimbangnya!”

Khong Khong Jie tertawa.

“Aku tak mempunyai kebanyakan tempo!” kata dia.

“Jikalau begitu, jangan kau banyak omong lagi!” bentak Touw Leng Ciok. “Baik kita menggunai aturan Rimba Hijau, siapa yang menang dialah yang lebih kuat!”

Khong Khong Jie melirik.

“Toan Tayhiap!” dia tanya. “Kau bukan orang Jalan Hitam, bagaimana pendapat kau?”

Semua persaudaraan Touw, berikut Touw Sian Nio, mengawasi Toan Kui Ciang.

Orang she Toan itu bersangsi sebentar, baru ia menjawab perlahan, “Perselisihan Rimba Hijau, tak aku perdulikan, tetapi kau telah memuli! Anakku, kau menghina aku, maka tak dapat tidak, aku mesti menempurmu!”

Kembali Khong Khong Jie tertawa lebar.

“Inilah kata-katamu yang aku harap-harap!” kata dia. “Aku tahu sebelumnya kau dapat menempur aku, sulit untuk kau membereskan soalmu dengan sanak keluargamu ini. Dia berhenti sebentar, lantas dia menambahkan, “Baik! Mari kila tetapkan kata-kata kita! Jikalau kau kalah, tidak dapat kau mencampur lalui lagi urusan dua keluarga Ong dan Touw ini! Jikalau aku yang kalah, lvgitu juga dengan aku! Setelah kita bertanding itu, tidak perduli siapa kalah dan siapa menang, akan aku mengembalikan anakmu! Aku anggap syarat kita ini pantas sekali, maka itu, bagaimana pikiran kau?”

Khong Khong Jie, terutama Ong Pek Thong, ingin sekali mendesak Toan Kui Ciang tak mencampuri urusan persengketaan kedua keluarga bukan disebabkan mereka takut terhadap Toan Kui Ciang pribadi. Yang mereka kuatirkan ialah Kui Ciang itu tersohor dan banyak sahabat atau kenalannya, mereka takut sahabat-sahabat itu nanti dalang membantui. Kalau itu sampai terjadi, bagaimana mereka bisa melawan? Toan Kui Ciang setuju dengan usul Khong Khong Jie. “Aku setuju dengan kau!” kata ia. “Silahkan hunus pedangmu I Mari kita mencari keputusan!”

“Tunggu sebentar!” kata Khong Khong Jie. Dia berpaling pada Touw Leng Ciok. Dia kata, “Aku dan Toan Tayhiap berurusan menurut t ara kaum Rimba Persilatan! Bagaimana dengan pihak kamu? Apakah kita menuruti aturan Rimba Hijau?”

“Kau bersendirian di sini, habis aku mesti bicara dengan siapa?” kata Leng Ciok tawar. Ini artinya, jikalau mereka toh hendak bicara menurii! Aturan kaum Rimba Hijau, di situ Ong Pek Thong mesti hadir.

Nama Khong Khong Jie telah melewati nama Ong Pek Thong akan tetapi namanya itu baru berimbang dengan nama Touw Leng Ciok, karena itu, dengan derajat seimbang, Khong Khong Jie belum dapat mewakilkan Pek Thong. Leng Ciok mau memegang martabatnya, maka ia hendak bicara sendiri dengan Ong Pek Thong.

“Inilah mudah!” berkata Khong Khong Jie, yang nampak tak jadi kurang senang. Mendadak ia bersiul nyaring dan lama.

Belum lama berhenti siulan itu maka dari arah luar terdengar sambutan nyaring yang berbunyi, “Ong Pek Thong dari Yan San datang mengunjungi Touw Cecu!”

Ong Pek Thong dan Khong Khong Jie telah berjanji matang, begitu Khong Khong Jie dan Touw Leng Ciok selesai bicara atas isyarat, ia mesti muncul. Ia datang tepat sekali, maka juga, begitu siulan terdengar, begitu ia menjawab dan muncul di muka benteng.

Leng Ciok terperanjat hingga air mukanya berubah. Ia dapat lekas menenangkan diri, lantas ia memberikan perintahnya, “Buka pintu benteng! Undang Ong Cecu masuk! Jangan bersikap kurang hormat!”

Segera juga terlihat bertindak masuknya seorang berusia enam puluh tahun, wajahnya bercahaya merah, tangannya menuntun seorang nona yang umurnya baru enam atau tujuhbelas tahun.

Nona itu melihat ke kiri dan kanan, agaknya dia sangat gembira. Begitu dia berseru, “Eh paman! Kamu masih belum mulai mengadu pedang?”

Khong Khong Jie tertawa.

“Pamanmu lagi menantikan tibanya ayahmu!” dia menjawab. “Kenapa Cuma kau yang datang? Mana kakakmu?” Nona itu tertawa manis. “Aku sengaja datang untuk menyaksikan keramaian!” sahutnya. “Kakak kedatangan tetamu! Maka biarlah aku yang menonton sendiri!”

Hati Lam Ce In bercekat. Tahulah ia sekarang pemuda berbaju kuning yang itu hari memegat kereta ialah putera Ong Pek Thdng ini. Ia lantas menduga-duga, “Tetamu siapa yang mesti dilayani putera Ong Pek Thong itu? Apakah dia bukannya He Leng Song?”

Ia ingat Nona He sebab hari itu ia melihat sikap si nona terhadap si anak muda luar biasa sekali, menyaksikan itu, ia merasa kurang enak.

Sekarang ia mendengar suaranya nona ini, keraslah dugaannya itu. Ia heran. Mendengar keterangan orang itu, harinya menjadi tidak tenteram. Sebisa-bisanya ia menenteramkannya. Kata ia, “Aku perduli apa tetamunya itu Nona He atau bukan?”

Ketika itu terdengar suaranya Ong Pek Thong, “Anak Yan, kenapa kau sembrono sekali? Lekas kau memberi hormat kepada Touw Pehu kau itu! Ah bocah ini, aku yang menyebabkannya menjadi manja begini! Touw Toako, aku minta sukalah memaafkannya!”

Touw Leng Ciok tertawa.

“Di antara saudara sendiri buat apa kita omong begini sungkan!” katanya. ‘Baiklah kita segera membicarakan urusan perdagangan kita hari ini!”

Ong Pek Thong mengawasi.

“Bukankah itu telah kamu bicarakan matang?” dia tanya. “Kita * menurut aturan Rimba Hijau saja. Aku tak dapat mengatakan lainnya lagi.” Leng Ciok lantas berkata, membaca di luar kepala, “Yang menang menjadi jago! Yang mati perkaranya tak ditarik panjang! Yang kalah mesti mundur dari dunia Rimba Hijau dengan sebawahannya semua mengikuti pimpinan yang baru, tetapi yang tak sudi mengikut, dia dapat membubarkan dirinya sendiri, Cuma dia tak dapat hidup pula sebagai orang Jalan Hitam!”

“Setuju!” kata Ong Pek Thong. “Aturan ini kau ingat baik sekali, Touw Toako! Kita memakai aturan ini! Hanya, Touw Toako, buat guna kau, suka aku memberi nasehat...”

“Ong Toako, kau mempunyai nasehat berharga apa?” Touw Leng Ciok tanya. “Aku yang muda senang sekali mendengarnya!”

Demikian kedua kepala begal itu, mereka saling membahasakan saudara satu dengan lain, hingga siapa yang tak ketahui duduknya hal, tak nanti menyangka bahwa mereka sebenarnya bermusuh mati-matian, bahwa segera juga mereka bakal bertempur untuk mati atau hidup!

“Aku hendak bicara tentang pertempuran kita!” kata Ong Pek Thong. “Bukankah kita memakai aturan Rimba Hijau? Aku kuatir kaulah yang bakal menjadi pihak yang rugi! Ingat bahwa kita adalah sahabat-sahabat dari beberapa puluh tahun! Jikalau kita salah tangan, aku pasti bakal merasa tak enak hati! Maka itu, aku pikir, baiklah kau mengundurkan diri saja, untuk mana cukup asal kau membuat suatu surat perjanjian untukku...”

Nasihat itu berarti nasehat Touw Leng Ciok menyerah kalah dan mengajukan surat pernyataan menakluk, habis mana Leng Ciok mesti mengundurkan diri, supaya dia tak usah bercelaka karena kalah bertanding.

Mendengar itu, Leng Ciok menjadi mendongkol sekali. Maka ia tertawa terbahak-bahak. “Terima kasih untuk kebaikan hatimu ini, Ong Toako!” kata ia. “Aku juga justeru mempunyai semacam pikiran untuk dipakai memberi nasehat pada toako! Toako datang dari tempat yang jauh, apabila lacur kau menampak kerugian, apabila ada terjadi sesuatu atas dirimu, pasti aku akan sangat bersusah hati!”

Kata-kata Touw Leng Ciok ini berarti bahwa sebagai tuan rumah, ia berjumlah banyak dan bakal berbuat sebisanya guna merebut kemenangan, sedang di pihak Ong Pek Thong, mereka Cuma bertiga berikut anak daranya itu.

Ong Pek Thong menyambut nasehat itu dengan tertawa. “Jikalau saudara Touw tak dapat menerima nasehatku, tak

bisa lain, terpaksa aku mesti mengiringi dan menemanimu!” kata dia. “Baiklah, kedua pihak sudah bicara jelas, siapa mati siapa hidup, dia paserah kepada Thian Yang Maha Kuasa! Jadi tak usahlah ada yang bersusah hati nanti! Baik! Baik! Sekarang mari kita mulai dengan mengadu pedang! Inilah pertandingan yang sukar disaksikan selama seratus tahun!”

Khong Khong Ji lantas menggapai.

“Toan Tayhiap, mereka sudah selesai bicara!” katanya. “Sekarang tinggal urusan kita! Cuma tadi masih ada sepatah kata yang aku belum sempat ucapkan. Sudah lama aku mendengar Nyonya Toan adalah jago wanita, karena itu apakah dapat kita sekalian memakai aturan Rimba Hijau supaya nyonyamu turut maju bersama?”

Perkataannya Khong Khong Jie ini berarti, disamping ia menantang Touw Sian Nio, itu pun bermaksud, umpama kata Kui Ciang kalah, maka Sian Nio harus tak mencampur tahu lebih jauh urusan keluarga Touw, keluarganya itu. ‘

Kui Ciang mengerutkan alis. Ia berpaling kepada isterinya.^ “Baiklah!” katanya. “Kalau sebentar aku gagal, kau boleh turut

maju!”

Toan Kui Ciang menginsafi liehaynya Khong Khong Jie, ia percaya dalam pertandingan pedang ini ia tidak mempunyai harapan. Bukankah melawan Ceng Ceng Jie saja sudah sulit untuknya? Maka itu ia pikir, baiklah isterinya turut turun tangan. Berterang terlebih baik daripada cara diam-diam.

Sian Nio mengerti, ia mengangguk. 1

“Toan Tayhiap!” Khong Khong Jie berkata pula, “Ketika tadi kau melayani sute-ku, aku lihat kau suka mengalah terhadapnya, maka itu sekarang, suka aku yang mengalah, supaya kaulah yang menyerang terlebih dahulu!”

Kui Ciang terkejut juga. Dengan begitu menjadi ternyata, tadi Khong Khong Jie telah menyaksikan pertempurannya melawan Ceng Ceng Jie. Tapi ia tidak berayal. Ia lantas menghunus pedangnya.

“Silahkan keluarkan pedangmu,” ia mengundang.

Sejak tadi Khong Khong Jie muncul dengan kedua tangannya kosong, tetapi sebab ia menantang mengadu pedang, Kui Ciang menyangka orang membekal joan-kiam, pedang lunak, yang biasa disimpan melilit di pinggang.

Siapa tahu, atas undangannya itu, Khong Khong Jie kata tawar, “Toan Tayhiap, aku minta tak usah sungkan-sungkan! Kali ini kaulah yang turun tangan lebih dulu, silahkan kau mulai!”

Kui Ciang menjadi gusar sekali. “Jadi kau hendak melawan pedangku dengan tangan kosong?” kata dia keras. “Kalau begitu, biar bagaimana pun, aku si orang she Toan tak dapat melayani kau!”

Khong Khong Jie tertawa.

“Maaf! Maaf!” katanya. “Toan Tayhiap menjadi ahli pedang berkenamaan di jaman ini, mana berani aku melayani kau dengan tangan kosong? Akan tetapi setiap orang mempunyai senjatanya masing-masing yang istimewa, dari itu, tayhiap, tak usahlah kau banyak usil! Sekarang ini sudah tidak siang lagi, aku minta silahkan kau lekas mulai!”

Dalam mendongkolnya, Kui Ciang kata di dalam hari, “Ingin aku lihat bagaimana kau mencabut pedangmu!”

Lantas ia menyerang dengan tipu silat “Burung walet menggaris pasir,” mencari dada lawan itu. Begitu sinar putih berkelebat, begitu ujung pedang tiba pada sasarannya.

Semua hadirin terperanjat. Semestinya Khong Khong Jie tak mempunyai ketika lagi akan akan menghunus pedangnya, pedang yang tak tahu di mana disimpannya, sebab tergantung di pinggang tidak, terlibat tidak juga. Bahkan ada orang-orang yang punggungnya mengeluarkan keringat dingin!

Justeru orang terperanjat itu, justeru orang mendengar tertawanya Khong Khong Jie, yang terus berkata nyaring, “Kehormatan mesti saling balas, ada pergi ada datang! Aku pun hendak menggunai senjataku!”

Sebat luar biasa, pahlawannya Ong Pek Thong ini membalik tangannya yang kanan, maka itu terdengarlah satu suara nyaring, dari beradunya pedang, atas mana Toan Kui Ciang terpaksa mesti mundur tiga tindak, sedang tubuhnya terhuyung, sebisanya dia mencoba mempertahankannya. Baru sekaranglah orang melihat di tangan Khong Khong Jie ada senjatanya, sebilah pedang yang sangat pendek, yang lebih pendek daripada pisau belati yang umum. Senjata itu disembunyikan di dalam tangan baju, mata liehay dari Kui Ciang sampai tak melihatnya, baru setelah diserang, senjata itu dikeluarkan dipakai menangkis, demikian hebat, hingga bentrokan membuat si penyerang yang terpental mundur sendirinya. Tangkisan juga dilakukan disaat ujung pedang hampir mengenai dada.

Pedang Khong Khong Jie itu bersinar biru, tajamnya luar biasa. Pedang Kui Ciang pedang mustika, akan tetapi sekarang, bentrok dengan pedang lawan, pedang itu gompal sedikit, hingga dia menjadi terkejut.

Menyusul bentrokan itu, selagi tubuh Kui Ciang belum berdiri tegak, tubuh Khong Khong Jie sudah melesat maju. Ia hendak membalas menyerang, kehendak itu diwujudkan segera. Pedangnya yang tajam itu sudah lantas berkelebat di muka lawannya.

Kui Ciang bukan musuh ringan walaupun barusan ia telah terpental mundur, kendati belum sempat memasang kuda- kuda, ia dapat mundur setindak, untuk mengelit diri. Setelah mana, tak kalah sebarnya, ia menyerang pula dengan tipu silat “Lie Kong memanah batu”. Hanyalah ini serangan menabas lengan lawan, maka juga itu menyerupai serangan untuk memecah tikaman lawan. ^

Khong Khong Jie memuji, “Hebat! Pantaslah orang memperoleh gelaran tayhiap!”

Ia lantas menarik pulang lengannya, tubuhnya terus berlompat ke samping kiri, dengan begitu sembari berlompat itu, ia juga dapat meneruskan menyerang pula, mengarah jalan darah jie-khie di iga lawan. Orang semua kagum. Itulah serangan saling balas yang dahsyat

sekali.

Kui Ciang kena terdesak, umpama kata ia “sukar bernapas”. Ia mundur tetapi ia tidak menjadi gugup, gerakan pedangnya tidak menjadi kalut, karena mana ia dapat membela diri sambil menyerang juga. Cuma ia mesti main mundur.

Kalangan persilatan mengenal kata-kata “Satu dim pendek, satu dim bahaya”. Inilah tepat bagi Khong Khong Jie, yang pedangnya sangat pendek itu. Meski pedangnya istimewa, ia toh dapat mendesak lawannya, seorang tayhiap.

Pertempuran berlanjut terus. Sinar kedua pedang berkilauan, bergeraknya sangat cepat. Kui Ciang terus terdesak tetapi tetap tak menjadi kacau.

Lam Ce In yang gagah berdebaran hatinya menyaksikan pertempuran itu.

“Jikalau Toan Tayhiap tidak sangat tabah hati, tentulah siang-siang ia telah kena dipecundangi...” ia pikir.

Ketika Kui Ciang menempur Ceng Ceng Jie, selama setengah jam belum pernah ia mundur satu tindak juga, akan tetapi kali ini menghadapi Khong Khong Jie, suheng atau kakak seperguruan Ceng Ceng Jie, dengan lantas ia dipaksa mundur, bahkan tubuhnya terpelanting terhuyung, dari situ orang bisa menerka liehaynya Khong Khong Jie. Maka juga orang mengawasi pertempuran dengan hati tegang.

Kui Ciang mesti mundur atau berkelit ke kiri dan kanan. Tak juga ia dapat lolos dari serangan bertubi-tubi dari lawannya. Pedang pendek Khong Khong Jie bergerak sangat cepat dan liehay, selalu mengancam di depan, kiri atau kanan, menabas atau menikam. Touw Sian Nio memasang mata, akhirnya ia menyiapkan senjata rahasianya.

Dalam hal kepandaian menggunai senjata rahasia, Sian Nio sudah mencapai puncak kemahiran. Ia dapat menyerang berbareng dengan dua-dua tangannya, tangan yang kanan dengan tujuh biji kim-wan atau “Peluru emas,” tangan yang kiri dengan seraup bwe-hoa-ciam, jarum mirip bunga Bwe.

Demikian, apabila si nyonya telah melihat saatnya, tanpa ayal lagi ia melakukan serangannya yang berbahaya itu. Tujuh kim-wan mencari tujuh jalan darah lawan dan seraup jarum menuju langsung ke muka.

Karena jarak mereka berdua dekat, dapat dimengerti lebih hebatnya lagi serangan itu.

“ Orang terkejut. Umumnya mereka menganggap Khong Khong Jie terancam bahaya hebat. Paling juga dia dapat menyingkir dari peluru, tidak dari jarum rahasia.

Atas serangan itu, Khong Khong Jie berseru, “Senjata rahasia yang

liehay!”

Segera pedangnya berkelebat dan tubuhnya mencelat. Segera terdengar suara nyaring dari beradunya senjata-senjata tajam berulang-ulang, disusul dengan jeritan, “Aduh!” tiga kali yang datang dari sisi gelanggang pertempuran.

Tujuh Kim-wan kena tersampok mental.

Touw Leng Ciok kaget. Dengan tameng kim-pay, ia menyampok sebuah peluru yang meletik ke arahnya. Touw Leng Hu dan Touw Leng Cek, yang berada di kiri dan kanannya tidak terluka, tetapi adik mereka yang nomor lima, Touw Leng Tam, terkena tulang keringnya. Dua kurban lainnya, ialah dua tauw-bak, yang terhajar embun-embunannya.

Habis menyelamatkan diri, Khong Khong Jie tertawa.

“Jarum juga ingin aku kembalikan pada kamu!” katanya, yang lantas menggeraki pedangnya.

Untuk herannya semua orang, seraup jarum bwe-hoa-ciam berkumpul menjadi satu di ujung pedang pendek, seperti juga ujung pedang itu ada besi beraninya. Ketika pedang dikibaskan, semua jarum itu buyar hancur, terbang seperti bunga rontok.

Touw Sian Nio gagah dan tabah tapi toh dia kaget sekali, hingga mukanya menjadi pucat. Tak ia sangka musuh demikian liehay.

Habis itu, Khong Khong Jie berseru pula, “Toan Hujin, aku telah belajar kenal dengan pelbagai senjata rahasiamu, maka sekarang masih ada ilmu golokmu Yu-sin Pat-kwa-too! Aku kira toh kau tak berkeberatari untuk memberi pelajaran itu padaku!”

Selagi berkata itu, Khong Khong Jie tidak berdiam saja, terus ia menempur Kui Ciang, terus ia mendesak mundur lawannya itu, sampai Kui Ciang mundur lagi tiga tindak.

Touw Sian Nio menyambuti, “Baiklah, kami berdua suami isteri akan melayani kau!”

Lantas ia mengeluarkan sepasang golok tipis dan lemas, liu- yap-too, untuk lompat menyerang. Goloknya itu satu panjang, satu lagi pendek.

Sian Nio sangat disayang ayahnya, ia pun cerdas dan rajin, maka ia berhasil mewariskan semua kepandaian ayahnya itu, dan ilmu golok Pat-kwa itu, Yu-sin Pat-kwa-too, merupakan salah satu yang istimewa. Khong Khong Jie ketahui tentang ilmu golok itu, dengan berani ia menantangnya.

Sinar golok lantas berkeredepan mengurung lawan, membantui Kui Ciang. Tubuhnya Sian Nio pun sebat sekali mengimbangi bergeraknya golok itu. Maka celakalah kalau orang kalah gesit melayaninya.

Dengan majunya isterinya, semangat Kui Ciang bertambah, pedangnya lantas bergerak lebih hebat. Ia terdesak tapi tetap ia tak dibikin kelabakan, ia dapat berlaku tabah dan sebat.

Segera juga Khong Khong Jie tak dapat mendesak lebih jauh pada Kui Ciang. Dia mesti memecah perhatian, guna berjaga- jaga dari kedua goloknya Sian Nio.

Kui Ciang berbesar hati tetapi berbareng ia merasa malu sendirinya. Di dalam hatinya ia mengeluh, “Aku malu...”

Itulah sebab, sebagai tayhiap, seorang jago, ia mesti menempur musuh dengan main keroyok! Sudah begitu, musuh pun tetap tangguh!

Touw Leng Ciok senang melihat suami isteri itu telah turun bersama menghalang Khong Khong Jie, akan tetapi lega hatinya tidak lama atau mendadak ia menjadi terperanjat.

Itulah sebab dengan tiba-tiba Khong Khong Jie berseru nyaring, sambil berseru, dia merubah siasat berkelahinya, dia terus melakukan serangan pembalasan. Begitu hebat dia mempergunakan pedang pendeknya, Kui Ciang dan isterinya seperti terkurung sinar pedang.

Khong Khong Jie berlompatan gesit ke pelbagai penjuru guna mengurung sepasang suami isteri itu.

Disampingnya pandai itu, Khong Khong Jie cerdas sekali. Didalam tempo yang pendek ia telah memperhatikan ilmu golok Sian Nio, habis mana, ia melakukan serangan membalasnya itu, hingga ia segera menjadi si penyerang pula.

Ilmu golok Touw Sian Nio membutuhkan kelincahan tubuh, supaya ia dapat bergerak dengan merdeka dan gesit ke empat penjuru. Hal ini dapat diterka Khong Khong Jie, lantas Khong Khong Jie mengatasinya.

Khong Khong Jie dapat melakukan itu karena ia menang unggul dalam ilmu ringan tubuh. Bahkan selain Sian Nio, pedang Kui Ciang turut kena dikekang oleh kesehatannya itu.

Di antara para hadirin, kecuali Lam Ce In dan Touw Leng Ciok, tak ada yang lantas melihat perubahan itu. Di mata biasa, mereka itu bertiga saling menyerang sama hebatnya. Orang umumnya merasa tegang sendiri karena kehebatan pertempuran itu.

“Inilah berbahaya,” pikir Leng Ciok setelah ia menyaksikan pula

sekian lama.

Ia tidak mau menanti ketika lagi, tanpa pikir banyak-banyak, ia lantas bertindak. Mulanya ia melirik kepada saudara- saudaranya dan mengedipi mata, habis itu ia berseru, “Ong Cecu, mari kita membantu meramaikan!”

Lalu ia memutar kim-paynya dan tanpa menanti jawabannya Ong Pek Thong, ia lompat menyerang saingan itu, yang diarah batok kepalanya!.

Menyusuli gerakan kakaknya itu, Touw Leng Hu mengulur tangannya yang panjang menyerang pada Ong Yan Ie!

Touw Leng Ciok menjadi tertua dari Touw-ke Ngo-houw – Lima Harimau Keluarga Touw, dia pun menjadi pemimpin Rimba Hijau, kepandaiannya dapat dimengerti, dia tak dapat dipandang ringan, akan tetapi diserang hebat si nona, meski  dia tidak lantas terlukakan, dia toh terdesak mundur berulang- ulang.

Menampak demikian Touw Leng Hu lantas berseru, tak menghiraukan balutan lukanya, ia maju sambil memutar goloknya, guna menyerang nona itu.

Touw Leng Sin bersama Touw Leng Cek dan Touw Leng Tam telah menurut buat, mereka juga menghunus senjatanya masing-masing, serentak mereka maju mengepung puterinya Ong Pek Thong.

Ong Yan Ie benar-benar bernyali besar, bukannya dia mundur atau berkuatir, dia justeru tertawa nyaring. Kata dia dengan gembira, “Akan aku menemani beberapa paman Touw ini main-main! Ayah, kau duduk saja menonton keramaian!”

Sembari berkata begitu, dia bekerja terus.

Dengan gerakan “Menunjuk langit menggaris bumi,” Nona Ong menikam Touw Leng Sin di kirinya, lalu ke kanan, dia menabas kepada Touw Leng Tam.

Leng Tam masih dibalut kakinya, tulang keringnya bekas dihajar peluru emas nyasar dari Sian Nio, karena itu gerakannya tak sebat lagi, justeru itu si nona menyerang dengan cepat luar biasa, segera dia menjerit keras dan tubuhnya roboh terguling. Ujung pedang si nona berhasil menabas dengkulnya.

Dengan robohnya ini satu penyerang, pengepungan menjadi meninggalkan sebuah lowongan kosong.

Ong Pek Thong bertindak keluar, dengan angkuh dia duduk di tengah-tengah Cie Gie Thia, ruang rapat. Itulah “Kursi Kebesarannya” Touw Leng Ciok, kursi yang memakai alas kulit harimau. Sembari duduk itu dia .tertawa terbahak-bahak, terus dia berkata nyaring, “Inilah dia anak kerbau yang tak takut harimau! Baiklah, ayahmu akan menonton keramaian ini! Anak Yan, berhati-hatilah!”

Kui Ciang melihat kelima Harimau maju tanpa menghiraukan lagi kehormatan Rimba Persilatan, ia menjadi masgul dan menyesal, tidak ayal lagi ia mengibaskan pedangnya, untuk lompat keluar kalangan, untuk terus berkata nyaring, “Khong Khong Jie, aku menyerah kalah! Sian Nio, mari kita pergi!”

Sebenarnya, kalau mereka bertarung terus, suami isteri ini masih dapat bertahan sekian lama, tetapi keadaan membikin tayhiap itu putus asa. Maka ia mengambil keputusan itu tanpa memperdulikan ia bakal ditertawakan orang atau tidak...

Hati Sian Nio gentar. Inilah ia tidak sangka. Tentu sekali, ia lantas menjadi bingung. Ia harus turut suaminya itu atau tetap membelai kakak-kakaknya?

Kelima kakak itu lagi menghadapi saat mati hidup! Sebaliknya ia melihat suaminya sudah bertindak di ambang pintu! Kalau ia tidak ikut suaminya itu maka putuslah cinta kasih suami isteri yang sudah berjalan sepuluh tahun itu! Mereka tentu akan berpisah buat selama-lamanya...

Khong Khong Jie tertawa terbahak. Dia menyimpan pedangnya ke dalam sarungnya.

“Terima kasih yang kau suka mengalah!” katanya nyaring. “Di dalam tempo tiga bulan, akan aku menantikan di kuil Ceng Hong Koan di gunung Giok Sie San di kota Liang-ciu! Sembarang waktu kamu suami isteri yang mulia dapat datang untuk mengambil pulang anak kamu!”

Touw Sian Nio melengak. Dia memang telah keluar kata, kalau dia kalah, dia tak bakal memperdulikan lagi urusan kakak- kakaknya, sekarang suaranya Khong Khong Jie memberi ingat dan menyadarkan dia pada janjinya itu.

Dialah wanita jantan, dia menjunjung kehormatan dan kepercayaan, tak dapat dia melanggar itu. Maka itu, setelah berdiam sejenak, tak perduli hatinya nyeri, dia lantas menyimpan sepasang goloknya, dengan tindakan limbung, dia menyusul suaminya ke pintu. Dia berkepala pusing, matanya berkunang-kunang. Sudah begitu, dia pun tak berani menoleh untuk memandang lagi pada saudara-saudaranya.

Kui Ciang melihat isterinya terhuyung, ia lompat untuk memegangi, maka dengan separuh dipepayang, Sian Nio turut suaminya meninggalkan gelanggang, buat lari turun dari gunung.

Khong Khong Jie membiarkan orang berlalu, sambil tertawa dia kata pada Ong Pek Thong, “Ong Toako, sekarang pun datang ketikaku untuk menonton keramaian! Ha, ha! Bagus, bagus, keponakanku!” Dia menyerukan Yan Ie, “Bagus ilmu pedangmu! Aku lihat, tak usah sampai lagi sepuluh tahun, dia pasti bakal menyandak ilmu pedangku!”

“Saudara, kau terlalu mengangkat tinggi, kau terlalu memuji bocah itu!” menyambut Ong Pek Thong, tertawa. “Sebagai paman, seharusnya saja kau mendidik lebih jauh kepada keponakanmu itu!”

“Baik!” seru Khong Khong Jie, yang memberi janjinya. “Anak ini Cuma kurang latihannya! Nah, lihatlah itu, jurus itu mestinya dikendorkan sedikit, dia mesti menanti sampai lawan menyerang, baru dia menabas lengannya! Nah, itu pun terlalu ke kanan! Oh, lekas, lekas gunai jurus ‘Bintang melayang- layang’! Ah, sayang, sayang!”

Khong Khong Jie bersama Ong Pek Thong duduk berhadapan, berbicara dengan asyik, seperti juga di sisi mereka tidak ada or^ng lain, sedang sebenarnya di dekat mereka orang lagi bertempur maty-matian. Mereka menganggap pertempuran itu bagaikan permainan. Si nona, dengan mendapat pelbagai petunjuk dari samping, berkelahi semakin hebat.

Sebenarnya, persaudaraan Touw, dengan lima lawan satu, masih berkelebihan tenaga untuk mengalahkan si nona, tak perduli mereka kekurangan Touw Leng Kam dan Touw Leng Hu yang, karena memandang enteng kepada musuh, sudah kutung sebelah tangannya, hingga mereka berempat memiliki tinggal tujuh buah lengannya, hanya sayang setelah berlalunya Toan Kui Ciang suami isteri, orang-orang Touw Ke Ce telah kehilangan semangatnya.

Kempat saudara itu, dengan beradanya Khong Khong Jie, telah gentar hatinya, apapula jago itu tak hentinya memberi petunjuk pada nona lawannya.

Touw Leng Ciok berkuatir dan bergusar sekali, hingga ia menjadi nekad, sambil mengertak gigi, dengan sepasang pay- nya ia melakukan serangan mati-matian, untuk mati bersama dengan musuhnya. Ia menerjang berikut tubuhnya yang ditubrukkan. Ia bertubuh tinggi dan besar, berikut pay-nya itu, ia bagaikan bukit roboh...

Melihat cara menyerang hebat itu, Khong Khong Jie berkata, “Hok-te Keng-liong-kiam!”

Si nona sudah lantas menjatuhkan dirinya, begitu jatuh, pedangnya menyambar.

Dengan satu suara keras, kaki kiri Touw Leng Ciok sebatas dengkul kena terbabat putus. Liehay sekali si nona melaksanakan petunjuk itu, petunjuk tipu silat pedang “Naga mendekam”. Habis itu si nona berlompat bangun dengan gerakan “Le-hie Ta-teng” atau “Ikan gabus meletik”. Berbareng dengan bangun berdiri itu, selagi lawannya kaget dan kesakitan, ia menendang terlepas sebatang golok lawannya itu.

Sembari tertawa, ia tanya ayahnya, “Ayah, biarkan mulut hidup atau jangan?”

Itulah pertanyaan yang berarti musuh harus dibiarkan hidup atau

tidak...

Belum sempat Ong Pek Thong menjawab puterinya itu,  Touw Leng Ciok sudah berteriak terhadapnya, “Ong Pek Thong, meskipun aku menjadi hantu, akan aku balas sakit hati ini! Tak Nanti aku memohon ampun!”

Habis berseru itu, mendadak dengan pay-nya – kim-pay – ia menghajar kepalanya sendiri!

Maka pecahlah kepala jago Touw Ke Ce Ini, tubuhnya terguling, nyawanya terbang melayang...

Tiat Mo Lek menyaksikan ayah angkat itu terbinasa, hatinya terasakan hancur. Maka ia pun menjadi nekad. Dengan lantas ia mencabut goloknya, untuk maju menerjang, guna membunuh si nona.

Hanya baru sebelah kakinya bertindak atau sebelah lengannya menjadi kaku sendirinya, terus disusul dengan lunak lemas seluruh tubuhnya, hingga ia mesti berdiam saja  tak dapat bergerak.

Ketika ia menoleh, karena ia tahu orang telah totok padanya, ia melihat Lam Ce In lagi mencekal lengannya yang kaku itu dan Ce In terus berbisik padanya, “Mo Lek, sekali-kali jangan kau turun tangan!”

Baru setelah itu terdengar jawaban Ong Pek Thong kepada anaknya, “Melepas harimau mudah, menangkapnya sukar, maka itu karena lima Harimau dari Touw Ke Ce tak takluk pada kami Keluarga Ong, haruslah membabat rumput berikut akarnya, satu juga tak dapat ampun!”

“Baik ayah, aku turut perintah!” berseru si nona dengan penyahutannya tanda mengerti, terus dia menghadapi Touw Leng Ciok, untuk berkata sambil tertawa manis, “Paman Touw, aku telah menerima perintah ayahku, hari ini ingin aku memberi selamat jalan kepadamu!”

Kata-kata itu ditutup dengan satu tabasan, maka Leng Ciok roboh tanpa ampun pula.

Matanya Touw Leng Hu menjadi merah, dalam gusarnya itu, ia berlompat kepada si nona. Nona itu sebaliknya sangat waspada dan gesit, ia mendahului menyambut dengan tikamannya ke ulu hati di mana pedangnya nancap!

Touw Leng Sin menjadi nekad. Didalam ilmu silat, dia Cuma dibawahan kakak tuanya. Dia berteriak, “Ong Pek Thong, akan aku adu jiwaku denganmu!”

Tanpa menanti si nona menerjang kepadanya, dia lompat kepada Ong Pek Thong, guna menghajarnya dengan tongkatnya. Si nona sebaliknya sudah lantas bergerak, guna menyusul padanya. Sebat sekali nona itu mencabut pedangnya dan berlompat.

Ong Pek Thong sendiri tertawa berkakak dan menjawab, “Touw Lao-jie, aku masih ingin hidup beberapa tahun lagi! Baik kau berangkat terlebih dulu supaya kau dapat berkumpul bersama saudara-saudaramu!”

Touw Leng Sin tidak menjawab ejekan itu, tongkatnya sudah turun ke arah musuh, atau mendadak punggungnya terasa dingin dan sakit, karena pedang si nona sudah nancap di punggungnya itu! Lam Ce In menyaksikan kejadian itu, ia anggap si nona terlalu telengas, maka juga meski ia sudah menyatakan tidak campur urusan kedua keluarga itu, ia panas hatinya, ia gusar sekali.

Ketika itu di dalam ruang itu ada belasan tauwbak Touw Ke Ce, semuanya pengikut-pengikut lama Keluarga Touw, mereka semua setia kepada pemimpin mereka, maka dari itu,”semua mata mereka menjadi merah, tanpa perdulikan apa lagi, mereka maju menyerang nona itu.

Si nona menyambut belasan penyerangnya. Ia menunjuki kelincahannya. Bagaikan cecapung memain di air atau kupu- kupu beterbangan di antara bunga, ia berputaran disekitar lawan-lawannya, atau nyeplos molos di sisi mereka itu.

Setiap ia menyerang, ia mengarah bagian-bagian anggauta yang berbahaya, maka selang sekian lama, sudah tujuh atau delapan musuh yang roboh terluka.

Ong Pek Thong mengerutkan alis memandang pertempuran macam itu, kata dia, “Touw Lao-toa memerintahkan orang- orang semacam ini maju menjual jiwa untuknya, sungguh tak kecewa dia menjadi kepala Rimba Hijau, dia menyebabkan orang kagum terhadapnya! Dengan begini bolehlah dia nanti mati dengan mata meram!”

Ce In mengertak gigi, ia menahan diri sebisa-bisa. Ia kata berulang-ulang dalam hatinya, “Tak dapat aku turut terlibat dalam arus mata air ini! Tak dapat aku turut terlibat dalam arus mata air ini! Sekalipun untuk Tiat Mo Lek, tidak dapat aku kena terlibat arus mata air ini!”

Lantas ia menarik tangannya Mo Lek, buat diajak pergi dari tempat yang keruh itu. Tiba-tiba satu sinar pedang berkelebat dan seorang nona menegur bengis, “Mau pergi kemana?”

Pedang itu menyambar dengan satu tipu silat yang berbahaya kepada Lam Pat.

Ce In berkeliat, dengan mengangkat tangannya, ia menekan pedang itu.

Si nona terperanjat hingga dia melengak. Dia merasakan telapakannya panas akibat tekanan atau tolakan itu. Ketika ini digunai Ce In mengajak Mo Lek berjalan terus.

“Kau siapa?” si nona membentak setelah dia sadar. Kembali dia menyerang dengan pedangnya yang liehay itu. Kali ini dia menggunai tikaman “Bianglala putih menutupi matahari”. Karena Ce In sudah lewat, dia menikam punggung orang she Lam itu.

Ce In ketahui datangnya serangan, ia menangkis ke belakang.

Orang segera mendengar suara saling susul, “Sret!” dan “Tiang!”

Itulah suara dari robeknya baju Ce In dan mentalnya pedang si nona. Tangkisan Ce In sedikit terlambat tapi toh masih mengenai sasarannya.

Si nona terkejut. Pedangnya tersampok hampir terlepas. Tapi ia tidak menjadi takut, bahkan tanpa bersangsi ia lompat lebih jauh, guna melewati Ce In berdua, guna menghadang pula.

Ia tertawa dan kata, “Aku tidak sangka paman Touw dapat menyembunyikan seorang yang liehay! Beritahukan namamu, lantas kita mencoba-coba pula!”

Ce In menghela napas dalam hatinya. Ia pikir, “Dia masih begini muda tetapi dia sudah telengas sekali, aku kuatir dibelakang hari dunia Rimba Persilatan bakal tambah dengan satu hantu baru...”

“Eh, kenapa kau tidak mau bicara?” si nona menegur  kembali sambil tertawa. “Apakah kau jeri terhadap paman Khong Khong Jie itu? Kalau benar begitu, jangan kau kuatir! Aku tak usah dibantu dia! Sebenarnya siapakah kau?”

Ce In melintangi pedang di depan dadanya.

“Aku Lam Ce In dari Gui-ciu!” sahutnya. “Aku mengantarkan Toan Tayhiap datang ke mari, aku bukan bala bantuan yang diundang Keluarga Touw! Aku juga tidak memikir mencampuri keruwetan kamu kedua keluarga. Jikalau nona berkukuh hendak memberi pengajaran kepadaku, nah, terpaksa aku si orang she In akan menemani juga padamu!”

Mendengar itu, Ong Pek Thong sudah lantas berlompat bangun sambil berseru. Dia pun kata, “Oh, kiranya Lam Tayhiap! Anak Yan, jangan kurang ajar!”

Tapi si nona menanya, “Jadinya kaulah yang telah melukai kakakku? Ayah...!”

Dia seperti memohon ayahnya mengijinkannya turun tangan Ong   Pek   Thong   mendengar   panggilan   “Ayah”   itu,  ia

mengasih  dengar  suaranya  yang  bengis,  “Anak  Yan,  kau

kembali! Jangan rewel!”

Ia lantas bangun, untuk lekas memberi hormat pada Ce In. Ia kata, “Kemarin ini anakku tak tahu apa-apa, dia telah berlaku kurang hormat kepada kau, tayhiap, untuk itu aku minta sukalah kau memberi maaf.”

Sikap itu halus dan hormat, beda dengan sikapnya menghadapi Keluarga Touw. Mau atau tidak, Ce In menjadi heran. Dalam dunia Kang Ouw, “Muka” adalah soal paling penting. Maka disana ada pepatah, “Orang menghormati orang satu tombak”. Maka itu Ce In, walaupun ia tak puas, ia mesti membalas hormatnya Pek Thong.

Ia kata, “Aku si orang she Lam tak ketahui pemuda itu ialah putera Ong Cecu, aku menyesal, harap maaf!”

Ia hanya hening sejenak, lantas ia menambahkan, “Aku datang bersama Toan Tayhiap, aku harus pergi bersama dia, karena itu apakah cecu dapat mengijinkan aku berlalu?”

Ong Pek Thong tertawa.

“Karena Lam Tayhiap bukan orang Touw Ke Ce, sudah tentu kau * tidak mempunyai sangkutan dengan urusan kita ini,” katanya. “Mana aku berani menahan tayhiap?”

Ce In luas pergaulannya, tak kalah dengan terkenalnya Toan Kui Ciang, sedang gurunya, Mo Keng Lojin, menjadi satu di antara Bu Lim Sam Lo, Tiga Tertua Rimba Persilatan, yang ilmu silatnya tak tahu orang dimana batasnya.

Ong Pek Thong ketahui itu, maka Pek Thong suka memberi muka. Ia mengangguk.

“Kalau begitu, terima kasih!” kata Ce In.

Ia lantas menarik tangannya Tiat Mo Lek, buat diajak pergi bersama.

“Aku minta anak muda ini ditinggalkan!” mendadak Pek Thong

bilang.

Ce Lam terkejut.

“Dia juga bukan orang Touw Ke Ce!” ia kata cepat. “Bukankah dia yang bernama Mo Lek, anaknya Tiat Kun Lun?” Pek Thong tanya. “Aku dengar kabar dia menjadi besar di rumah Keluarga Touw.”

“Tidak salah, dia memang menjadi besar di Touw Ke Ce,” sahut Ce Lam. “Meski demikian, dia bukannya murid keluarga Touw. Aku minta sukalah cecu melepaskannya.”

Buat guna Tiat Mo Lek, inilah yang pertama kali Ce In minta kebijaksanaan orang.

Tiat Mo Lek telah ditotok urat gagunya oleh Ce In, tidak dapat dia bicara, meski demikian, matanya masih melek, maka itu dia mengawasi Ong Pek Thong dengan sorot mata yang bengis.

Ong Pek Thong tertawa tawar.

“Lam Tayhiap,” katanya, “Setelah kau ketahui asal-usul dia, mustahil kau tidak ketahui juga bahwa dialah anak angkat dari Touw Lao-toa? Karena itu terang dia menjadi anggauta Keluarga Touw.”

“Bocah itu bernyali sangat besar!” Khong Khong Jie campur bicara. Ia bicara dengan Ong Pek Thong. “Kau lihat bagaimana dia memandang kau dengan sinar matanya gusar! Rupanya dia membenci kau sampai di dalam sumsumnya!”

“Hm!” Pek Thong mengasih dengar ejekannya.

“Coba dengar apa kata dia!” kata Khong Khong Jie pula. Terus dia menyentil dengan dua jeriji tangannya, memetilkan sebuah thie-lian-cie atau biji teratai besi dengan apa dia menotok bebas pada Tiat Mo Lek.

Tiat Mo Lek memang gusar sekali, maka juga begitu dia bebas, begitu dia membentak, “Ong Pek Thong, jikalau kau takut aku menuntut balas nanti, sekarang lekas kau bunuh aku!”

Ce In kuatir anak itu menerjang, ia mencekal keras tangannya.

“Ong Toako, bocah ini benar-benar pandai bicara!” kata Khong Khong Jie pula. “Jikalau kau tidak membiarkannya dia pergi, benar-benar kelihatannya kau jeri terhadapnya.”

Ong Pek Thong habis daya. Dia mengulapkan tangannya. “Baik, kau pergilah!” katanya. “Akan aku menunggu kau

untuk kau nanti mencari balas!”

Ce In lantas tarik tangan bocah itu buat diajak berlalu dari pintu benteng. Dimana-mana di atas gunung ia melihat banyak liauwlo, yaitu tentara Touw Ke Ce. Merekalah semua liauwlo yang tak sudi menakluk pada pihak Ong, mereka pada pergi mencari jalan hidup sendiri.

Dengan terus memegangi tangan Mo Lek, Ce In berlari-lari sampai belasan lie. Mereka meninggalkan jauh kawanan liauwlo di belakang mereka, tetapi mereka tidak dapat melihat Toan  Kui Ciang.

Akhirnya Mo Lek berhenti lari, di terus menangis.

Ce In tahu orang sangat bergusar dan berduka, ia membiarkan, baru setelah lewat sekian lama, ia kata sabar, “Ayah angkatmu sekeluarga, semua orang-orang yang hidupnya di ujung golok, maka juga, kalau bukan mereka yang membunuh orang, orang lain yang membunuhnya. Karena itu kau harus dapat mengerti dan membuka pikiranmu hingga lapang.”

---ooo0dw0ooo--- 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar