Kisah Bangsa Petualang Jilid 05

 
Jilid 05

Kui Ciang bersiul lama dan kata keras, "Sungguh satu jago istana! Sungguh liehay luar biasa! Sungguh garang! Bukan saja kau menjadi orang berharga di depan Sri Baginda, pula kau berbareng menjadi anjing penjaga pintu dari An Lok San! Hm! Kau takut aku lari? Jangan kau kuatir! Sejak aku masuk ke istana ini, aku sudah tidak memikir untuk keluar pula dengan masih hidup!"

Seluruh mukanya U-bun Thong menjadi. merah. Ia sangat terhinakan.

"Aku tidak mau adu lidah denganmu!" ia membentak "Lihat poan-koan-pit!"

Benar-benar ia lompat maju, untuk menyerang.

Kui Ciang pun maju, dari itu, keduanya lantas bertarung pula.

Semua U-bun Thong, Toan Kui Ciang, Thio Tiong Cie dan Tian Sin Su telah terluka, yang terparah ialah lukanya Kui Ciang. Yang kedua yaitu Tian Sin Su, yang terbacok dengkulnya, meski dia tak leluasa lagi berlompatan, dia masih bisa membantu mengurung musuh. Walaupun tinggal sebelah tangannya, Kui Ciang berkelahi dengan nekad, ia tetap gagah.

Di antara orang-orangnya An Lok San, yang tergagah ialah Tian Sin Su, Sie Siong, Liap Hong dan Thio Hong Cie berempat.

Liap Hong dan Sie Siong bergantian terluka parah, sekarang tinggal Sin Su bersama Tiong Cie. Ini sebabnya mereka masih dapat membantu U-bun Thong.

Yang lainnya semua tak punya guna, ketika mereka mencoba maju mendekati Kui Ciang, dengan lantas mereka kena dilukakan dan mesti mundur karenanya. Maka itu, yang lain- lainnya tidak dapat membantu lagi. Bahkan mereka membikin gelanggang terhalang oleh kehadiran mereka.

U-bun Thong melihat orang seperti "menyesakkan dunia," dia menjadi mendelu, maka dia berteriak keras, "Pergi kamu melindungi Tayswe! Jangan kamu berkumpul di sini mendatangkan malu!"

Sekalian Wiesu itu mendengar kata, semua lantas mengundurkan diri, hingga tinggallah Sin Su berdua Tiong Cie, yang membantu terus.

Tidak lama, Sin Su berkelit dengan sia-sia, ketika dia lompat, dia kena ditikam. Untung bagus baginya, lukanya enteng. Meski begitu, ia merasa sangat nyeri.

Menggunai ketika Kui Ciang menyerang Sin Su itu, U-bun Thong juga menggunai ketikanya, bahkan dia memencet poan- koan-pitnya, untuk diulur terlebih panjang. Dengan begitu, dia dapat menyerang sedikit lebih jauh.

Kui Ciang dapat melihat serangan pit, ia berkelit. Hanya celaka ? miliknya, tengah ia berlompat, gaetan Tiong Cie menyamber pahanya, hingga paha itu tergores luka. Syukur ia tidak sampai roboh.

An Lok San kaget dan kagum. Ia menjadi berkuatir U-bun Thong juga bukan lawannya musuh yang tangguh itu. Kalau orang she U-bun itu kalah, ia pasti akan menghadapi ancaman bahaya. Sebaliknya, ia tidak dapat berlalu dari situ. U-bun Thong menjadi utusan kaisar dan utusan itu sekarang lagi berkelahi mati membelai dia.

Selagi An Lok San bingung, ia melihat munculnya Sie Siong bersama beberapa Wiesu lainnya, yang mendorong datang seorang tawanan. Sie Siong muncul sambil mengasih dengar seruannya berulang kali.

"Su Toako!" Kui Ciang memanggil keras ketika ia sudah melihat siapa itu yang dibawa datang.

Orang itu ialah Su It Jie. Dia kurus kering, romannya seperti orang sakit. Teranglah dia sangat tersiksa.

Sie Siong memasang pedangnya di punggung orang tawanan itu, dia berkata nyaring, "Toan Kui Ciang, berhenti beraksi! Asal kau maju lagi satu tindak, akan aku tikam Su Toako-mu ini!"

Gusarnya Kui Ciang bukan alang kepalang, akan tetapi buat keselamatannya Su It Jie, ia berhenti bersilat. Ia hanya menyiapkan pedangnya kalau-kalau U-bun Thong menyerangnya.

Ia memandang An Lok San, untuk berkata dengan gagah, "Musuhmu ialah aku, ada hubungannya apakah kau dengan orang she Su ini? Kau boleh bunuh atau cingcang aku, aku bersedia, tetapi kau mesti merdekakan dia!"

Baru sekarang An Lok San dapat bernapas lega. Ia tertawa lebar.

"Bagus!" serunya. "Sekarang letakilah pedangmu, nanti aku Beri ampun pada orang she Su ini, supaya dia tidak memperoleh kematiannyaf!"

Kui Ciang tertawa dingin.

"Apakah kau sangka aku bocah umur tiga tahun yang dapat kau permainkan?" ia kata nyaring. "Tak sukar untuk kau menghendaki aku meletaki pedangku! Sekarang kau biarkan aku mengantar Su Toako, sampai lewat sepuluh lie, dari sana aku nanti balik lagi bersama-sama orang-orangmu, itu waktu aku nanti serahkan pedangku ini!"

An Lok San tertawa.

"Kau tidak percaya aku, maria dapat aku percaya kau!" katanya. "Lekas kau letaki pedangmu! Tidak ada tawar menawar lagi!"

Kui Ciang sangat gusar dan mendongkol, otaknya bekerja keras sekali.

Ketika itu U-bun Thong bersama Tian Sin Su dan Thio Tiong Cie berdiri mengitari Kui Ciang dengan senjata mereka diancamkan ke arah tubuh yang berbahaya. Sulit untuk menyingkir dari ancaman itu.

Tiba-tiba Su It Jie berkata, "Kasihlah aku bicara sebentar dengan Toan Toako!"

"Baik!" menjawab Lok San. "Kau boleh menasihati dia supaya dia suka menakluk! Aku- hargai kau sebagai sastrawan, pasti aku tidak nanti membikin susah padamu! Jikalau kau sudi memangku pangkat, aku nanti berikan pangkat, jikalau sebaliknya, kau segera akan dimerdekakan, supaya kau hidup berkumpul dengan keluargamu! Toan Kui Ciang ini sahabat kekalku, walaupun dia berlaku tidak menghormati aku, dapat aku memberi ampun padanya! Maka itu tak usahlah kau menguatirkan keselamatan sahabatmu ini."

Mendengar disebut-sebutnya keluarganya, muka It Jie menjadi merah dan pucat bergantian. Ia gusar bukan main. Beberapa kali bibirnya bergerak tanpa menerbitkan suara, alisnya juga berkerut dan bergantian, akhirnya alis itu bangun berdiri dan ia kata nyaring, "Toan Toako, daripada aku yang hidup untuk mencari balas, lebih baik kau! Untuk kau tidak dipaksa mereka, aku akan berangkat terlebih dulu! Kau sayangilah dirimu, pergi kau menerobos keluar!"

Belum berhenti suaranya orang she Su ini, ia sudah membuang dirinya dengan keras kebelakangnya, maka punggungnya lantas nancap di ujung pedangnya Sie Siong yang dipakai mengancamnya itu!

Mimpi pun tidak Sie Siong bakal terjadi hal demikian. Ia kaget sekali, tak keburu ia menarik pedangnya. Malah hebatnya, selain darah lantas menyemprot keluar, ujung pedang juga menembusi ulu hati si orang tawanan!

Su It Jie mendengar perkataan An Lok San, ia tidak mempunyai harapan lagi, maka ia pikir, daripada ia yang ketolongan, lebih baik Kui Ciang yang kabur. Kalau ia berkurban, tak akan dua-duanya roboh.

Berbareng dengan berkurbannya It Jie itu, Kui Ciang berseru keras dan pedangnya bekerja. Matanya pun merah menyala.

Sebatang gaetannya liong Jie sapat sebagai kesudahan dari serangan dahsyat itu. Dia tidak sempat menarik pulang senjatanya itu. U-bun Thong sebaliknya mengulur pula poan- koan-pitnya.

Kui Ijiang tidak menyerang orang she U-bun itu, ia hanya lompat ke depan, guna menghampirkan An Lok San. Ia terlalu bersakit hati hingga ia melupai segala apa. Keinginannya yang keras ialah membalas untuk sahabatnya itu.

Karena itu, ujung poan-koan-pit mengenai punggungnya. Tapi ia liehay, ia menutup dirinya dan membikin tubuhnya licin dengan ilmu silat "( iam le Sip-pat Tiat". Maka itu, meski poan- koan-pit mengenai tepat tetapi lak telak. Dasar U-bun Thong liehay, ujung senjatanya dapat menggores Berbareng dengan itu, Tiong Jie maju pula dengan terus menolak, maka selagi berlompat, Kui Ciang tak dapat mempertahankan diri lagi, terus ia jatuh roboh.

U-bun Thong girang sekali. Ia maju sambil menyerang dengan poan-koan-pit kiri.

Kui Ciang sendiri lagi jatuh itu ingat suatu apa, di dalam hatinya ia kata, "Tidak! Aku tidak dapat mati!"

Ia ingin membalas untuk Su It Jie. Maka entah dari mana datangnya tenaganya, sambil berteriak ia mencelat bangun dengan lompatan "Le Hie Ta Teng" atau "Ikan gabus meletik".

U-bun Thong merasa telinganya pekak, sampai ia tercengang.

Pedangnya Kui Ciang, yang menyerang, bentrok dengan poan-koan-pit hingga ujung pit itu putus.

U-bun Thong menjerit, telapakan tangannya terasa nyeri.

An Lok San kaget, mukanya menjadi pucat, dengan gugup dan suara terputus-putus, ia memberikan perintahnya, "Datangkan...! I >atangkan barisan panah dan gaetan!" \

"An Tayjin, jangan takut!" U-bun Thong berseru. Dia kaget tetapi dia lekas sadar. Dialah orang dengan banyak pengalaman bertempur. "Penjahat ini tidak dapat mengganas terlebih jauh! Jangan dekati dia! Kilarkan saja!"

Siasat itu lantas digunai, Kui Ciang benar-benar dikurung. Sia-sia dia berlompatan, tenaganya sudah berkurang. Dia terluka di tangan, kaki, pundak dan punggung, dia juga telah mandi darah. Dia tampak seperti orang kalap.

Sin Su dan Tiong Cie turu-t mengurung saking terpaksa. Tiong Cie menggunai cuma sebatang gaetan. Sin Su tak merdeka bergerak sebab luka di dengkulnya itu. Mereka berdua bertempur dengan hati gentar.

Sie Siong tak terluka parah, terpaksa ia turut mengurung. Bersama ia ada dua orang Wiesu lainnya yang menjadi pembantunya. Dalam ilmu silat, mereka ini terhitung kelas lima atau enam.

Dengan cepat tibalah dua belas serdadu yang bersenjatakan gaetan peranti menggaet tubuh dan kaki musuh. Gaetan itu panjang setombak lebih. Mereka lantas mengurung di empat penjuru, terus mereka bekerja.

Kui Ciang berseru, ia membabat kutung dua buah gaetan yang menyamber kakinya. Tapi serangan datang berbareng dari empat penjuru, betisnya kena tergaet juga, maka robohlah rubuhnya. Ia lantas bangun untuk berduduk di lantai.

Sin Su girang, ia maju membacok.

Kui Ciang berseru pula, berbareng dengan itu pedangnya dapat membabat kutung lagi dua gaetan. Gaetan yang mengenai betisnya nancap terus, hingga kakinya mengucurkan darah. Ia cabut itu, untuk dipakai menimpuk Sin Su.

Orang she Tian itu kaget, hingga ia mendelong. Syukur untuknya, Sie Siong menolak tubuhnya. Meskipun demikian, gaetan melukai kulit kepalanya. Gaetan itu meluncur terus, maka celaka si serdadu yang bersenjatakan itu, dia terhajar dadanya, dia roboh terjengkang.

Kui Ciang masih duduk di lantai, ia putar pedangnya guna membela dirinya. Dalam keadaan seperti itu, ia melupakan rasa nyerinya. Lagi tiga gaetan kena ia babat putus!

An Lok San jeri. Kata ia di dalam hati, "Aku sudah berpengalaman berperang tetapi belum pernah aku melihat orang sekosen dia!" Sie Siong mundur, dia berdiri di samping jenderalnya itu. Dia kata, "Dia sudah tak dapat bangun berdiri untuk menyingkir, baiklah Tayswe datangkan barisan panah, untuk segera mengambil jiwanya!"

Lok San setuju, ia mengangguk.

"Memang inilah cara satu-satunya," katanya. "Ya, kenapa masih belum juga tiba?"

Ia memberikan pula titahnya, untuk mendesak lekas datangnya barisan itu. Kepada U-bun Thong ia menyerukan, "U-bun Touw-ut! Jangan adu jiwa lagi dengannya! Barisan panah akan segera tiba!"

Muka U-bun Thong merah. Ia malu dan mendongkol. Musuh sudah mendeprok tapi dia masih juga belum dapat diringkus. Dari enam orang, tinggal ia sendiri yang belum mundur. Dalam penasaran, ia menggertak gigi, terus ia merangsak. Ia tidak berkeinginan mengasih hidup pada musuh yang gagah ini.

Selagi ia maju, mendadak ia mendengar suara berisik datangnya dari luar. Di sana orang berteriak-teriak dan lari mendatangi.

An Lok San menduga pada barisan panahnya. Atau ia menjadi heran. Suara berisik itu suara orang kaget dan ketakutan. Selagi ia heran, di muka pintu terlihat seorang pengawal berteriak-teriak, "Kebakaran! Kebakaran! Celaka! Kebakaran!"

Lok San menjadi bingung.

"Tangkap pembunuh! Tangkap pembunuh!" demikian datang lain suara berisik.

Pengawal pintu terdiri dari beberapa orang, suara teriakannya mereka itu belum berhenti, atau bagaikan terdampar gelombang, mereka kena digempur roboh dari tempat jagaannya masing-masing!

Menyusul itu tertampak munculnya dua orang, yang satu mengenakan seragam, yang lainnya seorang bocah umur enam atau tujuh belas tahun.

"Ada apa?" bentak Lok San. "Kenapa kamu lancang masuk kemari?"

Pertanyaan itu belum berhenti, atau dia sudah dibentak, "An Lok San! Kau mencelakai Toan Toako, maka ingin aku mengambil jiwamu!"

Berbareng dengan itu, orang itu lompat untuk menerjang. Untuk^ ini ia tidak menanti sampai dapat mengusir mundur semua Wiesu, hanya1 ia lompat lewat di atasan kepala mereka!

Beberapa tukang gaet lagi menggaet, gaetan mereka kena ditabas kutung, maka itu berisiklah bentrokan golok dengan pelbagai gaetan besi itu.

Juga si anak muda turut maju. Dia muda tetapi dia hebat. Dia menggunai goloknya, tangan kosong dan tendangan! Beberapa Wiesu kena dibikin terjungkal, juga beberapa tukang menggaet.

Lalu terdengar seruan Tian Sin Su, "Lam Ce In, kau bernyali besar sekali!"

Dua orang itu memanglah Ce In bersama Mo Lek!

Toan Kui Ciang tidak mau merembet-rembet sahabat, ia mendusta terhadap Ce In, tetapi Mo Lek bocah cerdik, dia dapat menduga hati orang, diam-diam dia telah mengingat baik tempat kediaman orang. Kepada Kui Ciang ia berjanji tidak akan meninggalkan kuil, tetapi seberlalunya sanak itu, lantas dia pergi mencari Ce In. Lam Ce In telah berjanji dengan Lie Pek malam itu, untuk habis magrib berkumpul di rumah Hoo Tie Ciang. Ketika Mo Lek sampai di tempat menginapnya Ce In waktu sudah jam tiga, Ce In belum pulang. Dia meninggalkan surat, lantas dia pergi ke rumah Tie Ciang. 

Ce In minum gembira sekali hingga ia lupa pulang. Mo Lek muncul dengan tiba-tiba. Lie Pek tidak takut atas datangnya bocah itu, bahkan dia lantas mengajak minum bersama!

Mo Lek tidak mempunyai kegembiraan untuk bersuka-ria, ia lantas bicara pada Ce In, menutur dugaannya mengenai maksudnya Kui Ciang.

Ce In kaget, lantas ia pamitan dari Lie Pek, terus ia lari bersama si anak muda. Meski demikian, ia datang terlambat, Su It Jie sudah hilang jiwanya dan Kui Ciang lagi terancam bahaya maut.

Tian Sin Su mengenali orang, dia berteriak, tetapi dia tidak berani melayani, bahkan dia mundur.

An Lok San melihat suasana buruk. Sekarang ia juga lupa kepada utusan raja. Ia melupai kedudukannya sebagai "Tayswe". Maka dengan mencekal tangan Sin Su, untuk orang melindunginya, ia mundur ke houwtong, ruang belakang!

Hati Sie Siong telah dibikin ciut oleh Lam Ce In. Sudah begitu, dia tak secerdik Tian Sin Su. Pula karena lukanya lebih hebat, ketika itu dia masih belum sempat mengundurkan diri.

"Orang she Sie!" Ce In membentak. "Rupanya kau belum puas dengan pertempuran kita di rumah makan! Mari kau maju, mari!"

Ce In berkata demikian, toh ia sendiri yang lompat untuk menghampirkan lawan itu, begitu sampai, begitu ia menyerang dengan golok mustikanya. Sie Siong tidak berani melawan, apapula itu waktu dia sudah terluka. Maka dia mendahului berlompat, untuk berlari. Adalah Thio Tiong

Cie yang maju, untuk membantu padanya. Orang she Thio ini menyerang dengan lantas.

Lam Ce In berkelit ke samping, sambil berkelit, ia menangkis serangan gaetan dari lawan itu. Ia menggunai jurus "Burung belibis berbaris di tengah udara".

Gaetan Tiong Cie sudah dirusak yang sebelah oleh Toan Kui Ciang, sekarang tinggal yang sebelah lagi, ketika senjata itu beradu dengan golok Ce In, dia kaget sekali. Senjatanya itu terkuningkan menjadi dua potong, hingga dia menjadi bertangan kosong.

Menampak demikian, sedang dua orang itu sudah berlepotan darah, Ce In berseru, "Golok mustika tak membunuh orang yang sudah terlukai"

Benar-benar ia menarik pulang goloknya itu, yang sudah diayun, sebaliknya, dengan kesehatan luar biasa, ia berlompat dengan dupakan dua-dua kakinya. Itulah tendangan "Wan-yoh Siang Hui Kiak" atau "Kaki kerlingnya burung Wan-yoh".

Sie Siong kena didupak punggungnya, tubuhnya lantas terjerunuk. I'hio Tiong Cie kena tertendang pinggangnya. Kalau Sie Siong terjungkal jauh setombak lebih, orang she Thio ini terguling menggelinding seperti luili buh

Ketika itu U-bun Thong menyerang Toan Kui Ciang yang sudah terluka dan duduk. Ia telah pikir untuk paling dulu membinasakan lawannya ini. Begitulah, dengan poan-koan-pit kiri menangkis pedang lawan, dengan yang kanan ia menotok hebat sekali. Justeru itu Lam Ce In sudah berlompat, untuk membacok punggung orang she U-bun itu, guna ia menolongi Kui Ciang.

U-bun Thong liehay. Ia mendapat tahu adanya bokongan. Batal menikam Kui Ciang, ia berkelit ke samping, seraya memutar tubuh, ia menangkis.

Ia membuat dua gerakan berbareng. Untuk berkelit, ia menggunai tipu "Naga mendekam bertindak" dan buat menangkis, ia pakai tipu "Menabuh lonceng emas".

Ketika senjata mereka beradu, terdengarlah suara yang nyaring. Akibatnya itu poan-koan-pit kena dibikin gompal  sedikit dan tangan komandan itu sakit dan kesemutan, sedang tubuhnya terhuyung tiga tindak.

Toan Kui Ciang sudah tidak dapat bergerak. Ia melihat musuh terhuyung ke arahnya, ia mencoba menabas, tetapi ia gagal, ujung pedangnya tak sampai kepada dengkul lawan'itu.

Lam Ce In tak sempat mengejar U-bun Thong.

"Toako!" ia memanggil seraya ia lompat kepada kawannya, yang tubuhnya segera diangkat.

"Oh, saudara Lam, kau datang...!" kata Kui Ciang, yang terus muntah darah dan tak sadarkan diri. Itulah sebab ia telah berkelahi terlalu lama dan terluka, hingga tenaganya habis.

U-bun Thong girang melihat Lam Ce In menolongi Toan Kui Ciang. Coba ia disusul, mungkin ia terancam bahaya. Ia kata di dalam hatinya, "Kau menggendong Toan Kui Ciang, aku tidak takut padamu!" Maka ia maju pula dengan berani.

Dengan dua-dua poan-koan-pit, jago istana ini melakukan serangannya. Dengan pit kiri ia mencari tiga jalan darah tiong- hu, kiok-tie dan siauw-hu, dan dengan pit kanan mengancam jalan darah te-hu di kakinya Kui Ciang. Lam Ce In tidak menangkis, hanya dengan berlompat ia mengelit diri berbareng menyingkirkan Kui Ciang dari ancaman bahaya.

U-bun Thong tidak puas, dia merangsak, untuk mengulangi serangannya.

"Kau telengas sekali!" Ce In berteriak.

Ia berlompat untuk serangan ke kakinya, selagi turun itu, ia membalas menyerang dengan bacokan goloknya.

Inilah tidak disangka. Luar biasa Ce In, yang dapat berlompat sambil menggendong orang. U-bun Thong berkelit, kedua tanganya ditarik pulang. Hampir kedua senjatanya kena tertabas golok mustika.

Ia menjadi jengah karena kelitnya itu. Ia bukannya mundur hanya menjatuhkan diri, hanya ia tidak kelabakan seperti Sie Siong tadi. Toh pakaiannya kotor.

Ce In terus membuka jalan, untuk menyingkir dari tempat berbahaya itu. Dua orang Wiesu kena ditendang hingga terjungkal. Dengan suara bengis ia berseru, "Hidup siapa membuka jalan! Mati siapa merintangi aku!" Dan goloknya diputar hebat, sinarnya bergemirlapan.

Kawanan Wiesu jeri, tak ada lagi yang merintangi.

Tatkala itu api sudah berkobar-kobar. Tiat Mo Lek sudah bekerja. Bocah ini hidup dalam kalangan penjahat, dia banyak pengetahuannya dan pula cerdik, dia senantiasa membekal bahan api. Maka dia menyelusup ke dalam gedung An Lok San dan membakar di beberapa tempat, guna menerbitkan kebakaran. Itu juga suatu siasat mengalutkan, untuk memudahkan pihaknya mengangkat kaki. Rombongan Busu repot berlari-lari guna memadamkan api, maka kacaulah keadaan di istana peristirahatan An Lok San itu. Pasukan panah t«lah disiapkan tapi pasukan ini tidak berani lancang menggunai panah mereka, takut nanti memanah kawan.

Tiat Mo Lek menyaksikan itu, dengan berani ia tertawa dan kata nyaring, "Malam ini aku tidak berhasil membunuh An Lok San, tetapi hatiku puas!"

U-bun Thong gusar dan penasaran, ia lompat kepada si bocah, untuk menotok.

Mo Lek berani, ia bukannya lari menyingkir hanya menangkis. Ia menggunai satu tipu silat ajarannya Toan Kui Ciang. Nampak ia gagah sekali.

Jago istana itu heran hingga dia tidak berani berlaku sembrono. Dengan berhati-hati dia mendesak.

Mo Lek berlaku gesit, kecuali menangkis, ia lebih banyak berkelit. .Satu kali ia terdesak, ia samber tubuh seorang Wiesu, yang ia terus lemparkan pada jago istana itu.

U-bun Thong tidak berani melukai orangnya An Lok San, terpaksa ia memapaki tubuh si Wiesu, guna dipegang dan dikasih turun dengan perlahan. Hanya dengan begitu, ia membikin si bocah sempat menyingkir jauh, hingga ia hilang di antara orang banyak, guna menyusul I ie ln.

Bukan main mendongkolnya U-bun Thong, dia lari mengejar keras sekali.

Mo Lek main api, akibatnya ada baiknya ada buruknya. Baiknya ialah orang repot memerangi api. Buruknya ialah rombongan Wiesu lainnya berlari-lari mendatangi, untuk datang membantu. Dengan begitu, mereka jati i memapaki dua orang yang lagi berlari-lari untuk menyingkir itu. Syukur Lam Ce In cerdik.

"Bagus kamu datang!" ia teriaki kawanan Wiesu itu. "Lekas kamu membantu memadamkan" api! Di dalam juga ada beberapa penjahat yang belum kena dibekuk!"

Karena teriakannya ini, ia tidak dipegat kawanan Wiesu itu. Inilah sebab ia mengenakan seragam Wiesu dan orang tak sempat melihat tegas atau berpikir lagi. Dengan cepat sekali ia lari ke lain arah, di bagian dimana jumlah Wiesu sedikit sekali, untuk nyeplos di antara mereka itu...

Tengah kawanan Wiesu itu bingung, mereka mendengar teriakannya U-bun Thong dan Leng-ho Tat, "Pegat dua orang itu! Merekalah orang-orang jahat yang menyamar!"

U-bun Thong mengejar dari belakang dan Leng-ho Tat memegat dari depan, untuk merintangi. Ketika itu mereka ini berdualah yang bergilir menjaga dan semua Wiesu itu menjadi orang-orang sebawahan mereka.

Lam Ce In bekerja terus. Dua Wiesu roboh di ujung goloknya. Ia lari ke tanjakan, ia masuk ke dalam rimba.

Tiat Mo Lek tercandak seorang Wiesu, lantas ia kena dibikin repot. Wiesu itu pandai ilmu Te-tong-too, berkelahi dengan golok sambil bergulingan di tanah, dengan menyerang sambil bergelindingan itu, dia membuat si anak muda bingung. Dua batang goloknya menyamber-nyamber.

Si anak muda gagah tetapi ia kurang pengalaman berkelahi, tak biasa ia melayani Te-tong-too. Sudah begitu, dua Wiesu lain keburu menyandak, hingga ia jadi dikepung bertiga. Dua Wiesu yang belakangan ini bersenjatakan gembolan dan sepasang ruyung, keduanya senjata-senjata yang berat.

Lam Ce In di dalam rimba menoleh ke belakang. Ia lihat kawannya terhalang, ia menjadi berkuatir. "Mo Lek, sambut pedang!" ia berseru. Ia menghunus pedangnya Toan Kui Ciang, yang ia terus lemparkan.

Celaka Wiesu yang bergegaman ruyung itu, pedang nancap di punggungnya tanpa dia berdaya, hingga lantas dia roboh.

Tiat Mo Lek mendengar dan melihat, ia lompat kepada Wiesu itu, di saat tubuh orang roboh, ia menyamber gagang pedang, untuk dicabut. Ia berlompat dengan kepala turun dan kaki naik, tepat samberannya, sebat tarikannya. Maka lantas pedang berada di tangannya. Gerakannya ini membikin tercengang kedua Wiesu lawannya itu.

Tiat Mo Lek tidak mau mensia-siakan ketika. Ia lompat kepada Wiesu yang berkelahi dengan ilmu Te-tong-too itu, ketika ia menyerang, ia membabat kutung sepasang golok orang. Ketika ia membalik tubuh, ia kena tikam lengannya Wiesu yang memegang gembolan, hingga gembolan yang berat itu terlepas dan jatuh bergelindingan ke bawah bukit.

"Leng-ho Tat!" Ce In membentak. "Jikalah kau tidak sayang jiwamu, mari masuk ke dalam rimba ini!"

Bukan main kerasnya bentakan itu, burung-burung pada kaget dan terbang kabur.

Kaget dan ciut hatinya, Leng-ho Tat tidak berani mengejar ke dalam pepohonan lebat itu.

"Kamu maju!" terdengar perintahnya U-bun Thong, yang sudah menyusul.

Leng-ho Tat mengambil busur dari tangannya seorang serdadu tukang panah, ia menarik itu, untuk dilepaskan ke arah Lam Ce In. Sayang untuknya, tangannya bergemetaran, maka anak panahnya meluncur ke samping sasarannya.

U-bun Thong menyaksikan itu, dia mendongkol. "Mari!" serunya seraya merampas busur dari tangan kawannya. Ia memang lebih menang dalam ilmu silat dan tenaga daripada kawan ini. Ketika ia memanah, anak panahnya meluncur sambil memperdengarkan suara nyaring.

Tiat Mo Lek sudah menyusul Lam Ce In ketika ia melihat aksinya si orang she U-bun. Tentu sekali ia kuatir Ce In kena terpanah sebab kawan itu lari membawa tubuh Kui Ciang. Ia lantas lompat seraya menyampok anak panah itu.

U-bun Thong mendongkol panahnya dirintangi.

Mo Lek pun bukannya tidak mendapat hajaran. Anak panah^itu melesat sangat keras, meski ia menyampok, telapak tangannya tergetar dan terasa nyeri, hingga ia terperanjat.

"Bagus, bocah cilik!" U-bun Thong berseru saking mendongkol. "Kau berani menghalang-halangi aku, kau mesti dibunuh lebih dulu!"

Segera meluncur anak panah yang kedua, sekarang arahnya ke arah si bocah.

Tiat Mo Lek sudah sampai di tepi jurang. Tidak ada jalan mundur untuknya. Buat tangkis panah juga sukar. Mendadak ia menjadi nekad, bukannya ia lompat nyamping atau menyampok, ia justeru berseru melemparkan dirinya ke bawah.

Lam Ce In melihat itu, ia kaget stekali. Tapi kagetnya tak cuma sampai di situ. Anak panahnya U-bun Thong sudah meluncur pula, sekarang ke arahnya. Dalam kagetnya, ia menangkis meruntuhkan anak panah itu.

Ketika itu, U-bun Thong sudah lari mendekati.

"Orang she Lam, kau masih memikir untuk kabur?" tanyanya, mengejek. "Taruh kata kau sendiri dapat kabur, tidaklah si orang she Toan! Untuk kebaikan kau, kau letaki orang she Toan itu, melihat kau seorang laki-laki, suka aku membiarkan kau lolos!"

Lam Ce In murka.

"U-bun Thong, kau majulah!" ia menantang. "Mari kita melakukan pertempuran yang memutuskan!" U-bun Thong tertawa.

"Buat apa aku melayani kau si orang yang bakal segera- menemui ajalnya?" katanya mengejek. "Tapi suka aku memberi nasehat kepadamu! Mari menyerah! Jikalau kau tidak suka dengar nasehat baik, biarlah, kau boleh temani si orang she Toan membuang jiwa! Lihat ini panahku!"

U-bun Thong liehay dan telengas, dengan saling susul ia melepaskan anak panah yang kempat dan kelima.

Lam Ce In menjadi repot. Ia mesti melindungi Kui Ciang yang ia terus gendong. Tak leluasa ia menangkis, tak merdeka ia berlompatan dengan gesit seperti biasanya.

U-bun Thong tidak mau berhenti dengan panahnya. Ia melepaskan terus menerus hingga tiba saatnya anak panah yang kesembilan, yang memilih kakinya Kui Ciang sebagai sasarannya.

Sekarang ini orang she Lam itu menghadapi bencana. Ia sampai di tepi jurang hingga tak ada jalan lainnya lagi. Ia mesti nekad melawan atau roboh terpaksa. Tapi ia ingin hidup, ia ingin sahabatnya bebas.

Mendadak ia mengertak gigi, ia kata dalam hatinya, "Toan Toako, kita sama-sama terbebas atau sama-sama terbinasa! Mari kita serahkan jiwa kita kepada Thian!" U-bun Thong tidak mau memberi kesempatan orang berpikir, kembali ia menyerang dengan anak panah, sampai beruntun tiga kali!

Dalam keadaan sangat terancam itu, mendadak Lam Ce In berseru keras, sambil tangan kirinya memondong erat-erat tubuhnya Toan Kui Ciang, ia lompat turun, tangan kanannya mencekal keras goloknya! Ia menelad perbuatannya Tiat Mo Lek!

U-bun Thong terkejut bahna heran. Inilah ia tidak pernah sangka. Ketika ia melongok ke bawah, ia melihat jurang curam dan gelap, ia berdiri menjublak.

"Dia terjun berdua, dia mestinya mati..." demikian pikirnya, la tidak berani terjun untuk menyusul. Sebenarnya ia pun memperoleh tiga luka pedang hanya semuanya itu ringan.

Lam Ce In nekad tetapi ia membekal golok mustikanya. Golok itu dipakai sebagai andalan terakhir. Ketika ia lompat turun, dengan goloknya ia tancapkan ke tembok jurang. Tiga kali ia berbuat demikian, hingga saban-saban tubuhnya tertahan tergantung. Baru setelah itu ia tiba di dasar jurang, kakinya menginjak tanah yang keras.

Walaupun jiwanya ketolongan, jago she Lam ini tidak luput dari belasan luka-luka baret, hanya karena ia kuat, ia dapat bertahan. Kalau lain orang, pastilah dia sudah rebah dengan napas empas-empis...

"Mo Lek! Mo Lek!" Ce In memanggil beberapa kali, setelah ia dapat berdiri dengan tegar.

Belum berhenti panggilan itu, dari rumpun di samping terlihat sesosok bayangan hitam merayap keluar, dari mulutnya bayangan itu terdengar jawaban yang perlahan yang disusul rintihan. Ce In tahu bocah itu kuat dan berkepala besar, maka itu, ia terkejut mendengar rintihannya.

"Mo Lek, bagaimana?" tanyanya cepat. "Apakah lukamu parah?"

Si anak muda menggigit keras giginya atas dan bawah. "Tidak seberapa," sahutnya, "Cuma kakiku keseleo...

Bagaimana dengan paman Toan?"

Tak dapat bocah ini melupakan pamannya.

"Apakah kau membawa bahan api?" Lam Ce In balik menanya.

"Ada," jawab Tiat Mo Lek, yang terus merogo ke sakunya, untuk segera menyalahkannya. "Ini!" katanya pula, tangannya diulur.

Di terangnya api tampak muka Kui Ciang sangat pucat, tubuhnya berlumuran darah, masih ada darah hidup yang meleleh keluar.

Bukan main berkuatirnya Ce In. Ia lantas pondong sahabat itu, dibawa ke solokan, untuk mencuci luka-lukanya, buat segera diobati. Untuk membersihkan darahnya, ia menyobek ujung baju.

Tiat Mo Lek merayap menghampirkan. "Bagaimana, ada harapan?" tanyanya, berkuatir.

"Untuk sementara, darahnya sudah berhenti mengalir..." sahut Ce In, suaranya dalam.

"Bagaimana?" tanya pula Mo Lek.

Ce In tidak lantas menjawab. Selang sedikit lama, baru terdengar suaranya. "Toako bertubuh kokoh dan kuat tenaga dalamnya," katanya, "Nadinya pun belum berhenti. Yang perlu sekarang ialah pertolongan tabib..."

Mendengar itu, Mo Lek bergerak cepat untuk berduduk. Ia mementang matanya lebar-lebar.

"Bagaimana?" katanya, bingung. "Di sini di mana kita dapat mencari tabib?"

"Jangan bergelisah!" kata Ce In. "Mesti ada jalannya! Apakah baju dalammu bersih? Mari, kasih aku buat membalut lukanya..."

Ce In dan Mo Lek mandi darah, cuma pakaian dalamnya yang masih bersih. Demikian mereka berdua bekerja.

Baru mereka selesai, dari atas jurang tertampak sinar api. Ce In lantas mendekam.

Dari atas itu lantas terdengar suara orang, "Aku tidak percaya tiga manusia itu masih hidup! Besok saja kita datang ke mari untuk mengangkat mayat mereka!"

"Setan bernyali kecil!" terdengar bentakan yang lain. "Apakah kau takut jatuh dan nanti mampus karenanya? Kau peganglah pinggangku! Mari kita satu demi satu turun!"

"Benar!" kata orang yang ketiga. "Kita makan gaji, kita mesti bekerja setia! Kita perlu lekas-lekas mendapatkan mayat mereka, supaya tayswe menjadi tenang hatinya!"

Itulah beberapa Wiesu, yang lagi menacari, yang mau turun ke jurang dengan menggunai bantuannya dadung.

"Mo Lek," tanya Ce In gelisah, suaranya perlahan, "Apakah dua-dua kakimu terluka?"

"Bukan, cuma sebelah yang keseleo," sahut si bocah. "Mari kasih aku lihat," kata Ce In, sesudah mana ia menyambung tulang yang keseleo itu, untuk terus diuruti, setelah mana ia menabas cabang pohon, untuk batangnya dijadikan tongkat. Kemudian ia kata, "Mo I ek! Inilah saat mati dan hidup! Lekas kita menyingkir!"

Suara itu dalam dan berpengaruh.

Ce In pun segera memanggul tubuhnya Kui Ciang.

Mo Lek menggigit giginya, ia bangun berdiri, lalu dengan menggunai tongkatnya itu, ia paksa ikut si orang she Lam menyingkir dari jurang itu.

Hampir tanpa berhenti, mereka lari sepuluh lie lebih, hingga jauh di sebelah depan mereka, mereka menampak samar- samar sebuah rumah sucinya malaikat tanah.

Mereka berlari-lari terus.

Mo Lek menguatkan hati, napasnya memburu. Ia sudah lari jauh kira-kira dua puluh lie.

Lam Ce In mendengar napas orang makin memburu, ia menoleh. Ia melihat Mo Lek mandi peluh, jalannya setindak demi setindak. Ia merasa sangat terharu, kemudian ia berhenti untuk pasang telinga.

"Untuk mereka itu dapat menyusul, sedikitnya mereka memerlukan tempo satu jam," pikirnya. Maka ia melanjuti pada si bocah, "Saudara kecil, kau menderita... Mari kita singgah di dalam kuil malaikat tanah itu!"

Rumah berhala itu sudah rusak tidak keruan, sarang labah- labahnya pun banyak, akan tetapi aneh, di dalamnya mereka dapatkan satu orang yang lagi tidur menggeros di depan meja abu. Dialah seorang tua dengan pakaian rombeng, kedua kakinya melintang, tongkatnya menjadi bantalnya. Dia tidur nyenyak sekali, sebagaimana nyaring bunyi hidungnya mendengkur. Di sisinya ada buli-buli arak, yang baunya menyerang hidung. Setumpuk tabunan, apinya sudah mulai padam.

"Rupanya dia seorang pengemis pengembara," kata Mo Lek.

Ce In mengawasi, lalu ia menyerukan suara perlahan bahna herannya. Ia mendapat kenyataan, walaupun orang hanya tukang minta-minta dan pakaiannya banyak tambalannya, pakaian itu bersih, sedang tongkatnya yang hitam bukannya tongkat kayu hanya mestinya dari besi.

Mo Lek sangat letih, ia tak perduli apa juga. Ia lantas menjatuhkan diri untuk berduduk. Kedua kakinya terasa sangat sakit, begitu ia bercokol, begitu ia tak berkutik pula!

Lam Ce In masih bersangsi, akan tetapi ketika ia merasai tubuh Kui Ciang mulai dingin, terpaksa ia pun berduduk.

"Sayang tabunan itu sudah padam..." kata Mo Lek.

"Nanti aku tambahkan kayunya," mengucap Ce In, yang terus menghampirkan si pengemis untuk mengambil beberapa potong kayu yang berserakan di sisi dia.

Orang she Lam ini heran atas tongkat orang, tanpa sanggup melawan bujukan hatinya, ia mengulur tangannya untuk menyentilnya perlahan. Ia lantas mendengar suara yang luar biasa, bukan suara kayu, bukan juga suara besi. Maka, entah tongkat itu terbuat dari bahan apa...

(Tambahan dari cetakan baru)

Sekonyong-konyong pengemis itu membalik tubuhnya, terus ia bergerak untuk bangun berduduk. Dengan lantas ia menunjuki gusarnya, dia kata, “He, bocah, aku si tuan besar pengemis lagi enak-enak tidur, kenapa kau bikin banyak berisik hingga aku menjadi mendusin? Eh, eh, kamu, kamu orang apa?”

Dia terus menanya, sedang matanya kesap-kesip. Dia kaget untuk mendapatkan orang yang berdiri di depannya, orang yang mandi darah.

Lam Ce In memberi hormat.

“Maaf, lo-toaya!” katanya. Ia memanggil “lo-toaya” atau tuan besar. “Bukannya sengaja kami membuat berisik membikin kau mendusin! Sahabatku itu terluka, kami meminjam rumah suci ini untuk singgah dan beristirahat...”

“Kenapa kau terluka?” si pengemis tanya. Nampak dia masih heran.

“Kami ketemu berandal!” sahut Mo Lek.

“Ah!” mengeluh si pengemis. “Jaman sekarang ini makin lama jadi makin tidak keruan macam! Kita terpisah dari kota raja Tiang-an Cuma tiga puluh lie, toh di sini masih ada orang jahat...”

Tiat Mo Lek tahu keterangannya itu mungkin disangsikan orang, akan tetapi ia mempunyai alasan apa lainnya? Terpaksa ia mendUsta demikian.

Syukur si pengemis, habis mendumal, dia tak menanyakan lebih jauh.

Ketika itu Lam Ce In sudah letih bukan main. Ia merasakan tulang-tulangnya seperti telah pada copot. Akan tetapi, dibanding dengan Tiat Mo Lek, ia masih lebih mendingan.

Diam-diam ia memasang mata. Ia mendapatkan mata si pengemis tajam luar biasa. Itulah bukan mata dari kebanyakan tukang minta-minta. Maka itu, ia kaget di dalam hati. “Entahlah dia orang macam apa?” pikirnya. “Celaka kalau dia seorang jahat. Rasanya tak sanggup aku menempur dia...”

Pengemis tua itu mengawasi Toan Kui Ciang. “Lukanya sahabatmu ini tak ringan,” katanya.

“Memang,” sahut Ce In. “Hebat kawanan penjahat tidak mempunyai perikemanusiaan itu, mereka telah membacoknya belasan kali...”

“Hawa udara sekarang sangat dingin, sahabatmu luka parah, ada kemungkinan dia bertambah berat keadaannya,” kata pula si pengemis. “Nanti aku tolongi kamu menyalakan api, untuk kamu dapat menghangatkan diri.”

Melihat orang baik hati, hati Ce In menjadi sedikit lega. “Terima kasih, sahabat,” bilangnya. “Memang aku hendak

meminta beberapa potong kayu untuk dinyalakan.”

“Kita sama-sama orang bersengsara, jangan sungkan- sungkan,” kata pengemis itu.

Ia berhenti sebentar, ia tertawa, terus ia menambahkan, “Beberapa potong kayu bakar ini masih kurang. Touw Te Kong- kong biasa melindungi orang baik, maka itu baik kita pinjam meja abunya, pasti dia tidak bakal menyalahkan kita...”

Kata-kata itu disusul perbuatan si pengemis. Ia mengangkat tongkat hitamnya dan menghajar meja hingga roboh ringsak.

“Sungguh tenagamu besar, lo-jinke!” Tia Mo Lek memuji. “Aku sudah tua, aku sudah tak punya guna!” kata si

pengemis tertawa. “Rupanya meja ini sudah terlalu lanjut usianya, maka diketok perlahan saja, dia lantas habis nyawanya...” Tabunan ditambah kayu, lantas nyalanya bertambah besar, suaranya juga meretek.

“Aku masih mempunyai setengah buli-buli arak, mari kita minum bersama,” kata lagi si pengemis, yang ramah. “Kita minum seorang sedikit, guna menambah kesegaran!”

“Mana dapat kami mengganggu kau, lo-jinke?” kata Lam Ce In.

Si pengemis tua tertawa.

“Seumurku aku biasa makan dan minum makanan dan arak orang secara Cuma-Cuma!” kata dia. “Jikalau aku mesti menelad kamu, segala apa mesti dengan berterang, maka tak usahlah aku menjadi si tukang minta-minta lagi! Mari, mari! Habis minum dapat aku si tua mengemis pula!”

Dan ia mengulurkan buli-bulinya.

Lam Ce In mengangkat tangan guna menyambuti, ia membuka tutupnya buli-buli itu. Lebih dulu ia membaui. Ialah seorang Kang Ouw ulung, ia pandai membedakan bau arak yang dicampuri racun atau tidak. Apabila ia tidak merasakan sesuatu, dengan hati lega ia mencegluknya satu kali.

“Baguskah arak ini?” si orang tua tanya, tertawa.

“Bagus, bagus!” Ce In menjawab dengan pujian. “Baunya pun harum, harum sekali!”

Akan tetapi air kata-kata itu bukan melainkan harum. Setelah turun ke dalam perut, Ce In merasakan sesuatu yang mengagum ia. Arak itu mendatangkan hawa hangat di dalam tubuhnya. Ia tidak merasakan sari obat atau lainnya. Ia menjadi heran juga. Kecuali rasa hangat, lekas sekali, ia  merasa segar, kesehatannya hampir pulih dalam sesaat itu. “Ah, aku menduga keliru terhadapnya,” ia pikir. Ia menyesal yang ia sudah menaruh curiga sedang orang bermaksud baik.

Habis Ce In, datang gilirannya Mo Lek minum arak itu. Ia mencegluk dua kali.

“Harum, harum!” ia memuji. Pengemis itu tertawa.

“Kamulah orang-orang yang mengerti barang baik!” dia memuji. “Sebenarnya inilah arak simpanan seratus tahun yang sukar aku si orang tua mendapatkannya.”

Ce In sudah mengetahui khasiatnya obat itu, ia tidak bersangsi sedikit juga.

“Terima kasih lo-jinke,” ia kata. “Hanya sahabatku ini luka parah dan ia masih pingsan...”

“Tak apa, itulah mudah!” kata si pengemis.

Ia lantas pegang mulutnya Toan Kui Ciang, untuk dibuka, setelah mana, ia menuang araknya, kemudian terus ia meraba enteng ke punggung orang yang terluka tak sadar itu.

Tiba-tiba Kui Ciang bergerak, tubuhnya berbalik, kontan dia tumpah darah, yang menyembur. Darah Itu hitam dan bau.

Tiat Mo Lek kaget, lupa pada kakinya yang sakit, ia berjingkrak bangun.

“Kau... kau... kau bikin apa?” tanyanya. Ia tahu pengemis itu orang luar biasa, tetapi melihat kelakuan orang, ia jadi curiga, maka ia jadi gusar sekali. Ia hendak mendamprat atau baru ia kata, “Kau...” maka Lam Ce In sudah mengedipi mata padanya, dari itu lekas-lekas ia mengubah haluan, dampratannya berubah menjadi pertanyaannya itu. “Terima kasih lo-jinke!” Lam Ce In kata. “Dengan darahnya keluar, maka tak usahlah kami menguatirkan pula jiwanya sahabatku ini!”

Mendengar itu barulah Mo Lek mendusin si pengemis justeru lagi menolongi. Ia menjadi malu sendirinya.

Ce In lantas peluk tubuh Kui Ciang, untuk terus memanggil- manggil di telinga orang, “Toako! Toako, sadarlah! Di sini siauwte! Apakah toako dengar siauwte?”

Kui Ciang tidak menjawab, hanya ia muntah darah pula. Baru habis itu, mendadak ia berseru, “Su Toako! Su Toako, jangan pergi dulu, tunggu aku! An Lok San! An Lok San! Kau... kau... sangat kejam! Kalau nanti aku Kui Ciang mati, akan aku bekuk padamu!”

Ce In kaget. Kawannya itu telah membuka rahasia.

“Toan Toako! Toan Toako!” ia kata di telinga sahabat itu. “Inilah aku! Inilah aku! Apakah kau sudah tidak mengenali aku?”

Kelihatannya Kui Ciang menjadi tenang, tetapi ia masih menyebut-nyebut, “Su Toako” dan mencaci An Lok San, hanya sekarang ia seperti caranya orang sakit ngelindur.

Matanya si pengemis bersinar tajam kapan dia mendengar disebutnya nama An Lok San dan nama orang yang luka itu sendiri, paras mukanya juga menyatakan dia heran.

Hanya sekilas lalu, romannya kembali seperti biasa. Dia menunjuk pada darah di mulut sakit itu dan kata pada Ce In, “Darah yang telah berubah menjadi merah itu tak dapat kena ditelan pula. Sekarang biarlah dia dapat tidur barang sekejap.”

Sembari berkata begitu, dengan kesehatan luar biasa, ia menotok tubuh Kui Ciang pada dua jalan darah. Ia berlaku sebat, tetapi totokannya enteng. Dengan lantas Kui Ciang berhenti ngelindur. Maka lekas juga dia tidur pulas di dalam pelukan Ce In, yang sejak tadi masih memelukinya. Lantas pengemis itu menghela napas lega.

“Syukur masih ada arakku hingga dapat darah dia dibikin lumer ilnn keluar, kalau tidak, habislah dayaku si pengemis!” katanya. Ia tertawa sekarang.

Sebagai ahli silat, Ce In ketahui si pengemis ialah seorang liehay. Totokan dia itu luar biasa dan besar faedahnya. Ia ketahui, dengan darah kotornya keluar, Kui Ciang menjadi mendapat darah bersih. Ia tahu baik, ia sendiri tak dapat menotok cara demikian.

Oleh karena lenyap semua kecurigaannya, lantas Ce In berkata, menanya, “Lo-cianpwe, terima kasih untuk pertolonganmu ini! Apakah lo-cianpwe sudi memberitahukan she dan nama besar lo-cianpwe kepadaku?”

Si pengemis tertawa.

“Tak usahlah kau repot menanyakan tentang siapa diriku,” sahutnya. “Sebaliknya ingin aku menanya lebih dulu kepada kamu. Rupanya musuh kamu bukannya penjahat, hanya An Lok San!”

“Tidak salah!” Tiat Mo Lek menalangi Ce In menjawab. “Benarlah itu babi terokmok yang harus dicincang mampus

berlaksa kali! Dia telah menganiaya Paman Toan sampai paman menjadi begini rupa! Tadi aku tidak tahu kau siapa, lo-cianpwe, terpaksa aku mendusta, sekarang aku minta lo-cianpwe suka memberi maaf padaku.”

“Kau tidak salah!” berkata si pengemis tertawa. “Walaupun An Lok San menjadi Ciat-touw-su dari tiga kota, dia tak bedanya dengan penjahat!” Mo Lek masih hendak bicara, ketika dia batal secara mendadak. Dia berlc-ga hati melihat si pengemis tidak menggusarinya. Tapi barusan dia berjingkrak, itulah berbahaya untuk kakinya yang terluka, di waktu baru lompat, dia tidak merasa apa-apa, tapi sekarang dia merasa nyerai sekali, hingga hampir dia menjerit karenanya.

“Engko kecil jangan bergerak!” berkata si pengemis  tua. “Aku si pengemis, kecuali minta-minta, masih ada kebisaan pada tanganku, maka jikalau kau percaya aku, mari aku obati juga lukamu!”

Mo Lek juga lenyap semua kecurigaannya.

“Terima kasih, lo-cianpwe, terima kasih!” katanya. “Suka sekali aku menerima pertolongan lo-cianpwe.”

Pengemis itu sudah lantas ‘memberikan pertolongannya. Ia meraba ke kaki orang yang terluka dan mengurutnya perlahanMahan, ia menekan jalan darahnya.

Mo Lek merasa heran. Seketika itu rasa nyerinya seperti lenyap, hingga ia dapat meluncurkan kakinya dan menendang! Saking girang, ia tertawa lebar.

“Lo-jinke, sungguh lo-jinke liehay!” dia memuji. “Sekarang ini aku sudah tidak merasa sakit, dapat aku berkelahi satu kali lagi!”

Sebaliknya si orang tua mengasih lihat roman sungguh- sungguh.

“Tidak dapat!” katanya keras. “Jangan kata berkelahi, bergerak pun kau tak dapat sembarang bergerak! Luka kamu berdua bukannya ringan! Kau tahu, melihat gerak nadi kamu, kamu rupanya habis berlompat dari tempat yang tinggi sekali hingga  anggauta-anggauta  dalam  tubuhmu  pada  bergerak.

Sekarang  ini  baru  luka  luarmu  yang  tersembuhkan,  baru darahmu dapat disalurkan pula. Untuk menyembuhkan luka di dalam itu, kamulah yang mesti berikhtiar sendiri. Eh engko kecil, apa kau mengerti ilmu semedhi, untuk menyalurkan napasmu?”

Kembali Ce In dibuat kagum oleh pengemis tua ini. Orang seperti menyaksikan sendiri peristiwa tadi. Dia jadinya pandai mengobati dan pandai ilmu silat juga, matanya sangat tajam. Dengan dia menanya Mo Lek saja berarti dia sudah menduga bahwa ia mengerti ilmu semedhi itu.

“Aku mengerti sedikit, lo-jinke,” Mo Lek jawab.

“Bagus!” berseru pengemis itu. “Sekarang telah pulih kesegaran kamu, kamu boleh duduk bersemedhi, guna menyalurkan pernapasan kamu, untuk mengembalikan seluruh tenaga kamu. Kamu boleh bersemedhi dengan hati tenang, apa juga terjadi di sekitar kamu, jangan hiraukan! Kamu mesti dapat menenangkan diri hingga kamu melihat seperti tak melihat, mendengar seperti tak mendengar. Baiklah, sang tempo pun sudah tidak ada lagi, lekas kamu mulai  bersemedhi!”

Ce In mengerti maksudnya pengemis itu. Dengan tidak menanyakan sampai jelas urusan mereka, si pengemis ingin kesegaran mereka pulih dan tenaga mereka kembali di dalam tempo yang paling cepat. Rupanya pengemis itu juga sudah berjaga-jaga kalau-kalau orang atau orang-orangnya An Lok San datang menyusul.

Sebagai orang yang telah berdasar baik, Ce In bersemedhi tak lama, lantas nyamanlah ia merasa seluruh tubuhnya. Justeru itu, ia lantas mendengar ringkikan kuda dan suara bicara orang yang telah lantas tiba di depan kuil

Ia mendengar satu suara, “Di dalam kuil itu ada sinar api, mari kita lihat!” Walaupun ia merasa pasti si pengemis seorang luar biasa, Ce In toh berkuatir.

“Tidak kusangka, musuh datang begini lekas,” pikirnya. “Sekarang aku lagi bersemedhi di saat paling penting, tidak dapat aku membantu dia... Dapatkah dia bertahan seorang diri?”

Tengah Ce In berpikir begitu, serombongan orang sudah bertindak masuk di ambang pintu kuil. Benar saja mereka orang-orangnya An Lok San, bahkan yang memimpinnya ialah U-bun Thong serta Leng-ho Tat.

U-bun Thong itu cerdik, tidak menanti orang-orangnya memeriksa lembah atau selat, ia sudah lantas dapat menerka, ia segera menyusul dengan menunggang kuda.

Di sebelah Leng-ho Tat, ia telah minta bantuannya dua jago lainnya dari istana, ialah Gu Cian Kin dan Liong Ban Kun. Mereka ini ialah dua di antara empat Siewie yang mendapat Su Toa Kimkong atau Empat Kimkong Besar. Mereka ini tak seliehay U-bun Thong sendiri, atau Ut-tie Pak atau Cin Sian, tetapi mereka masih lebih menang daripada Leng-ho Tat.

Demikian mereka sampai di rumah suci malaikat tanah itu.

U-bun Thong bertindak di depan. Begitu ia tiba di ambang pintu, ia lantas mendengar dampratan, yang ia duga mesti keluar dari mulutnya seorang tua.

“He, dari mana datangnya sekawanan anak kambing haram hingga mereka mengganggu ketenteramannya aku si pengemis di dalam rumah suci ini?” demikian dampratan itu.

U-bun Thong menjadi gusar, hingga hendak ia mengunibar kegusarannya itu, atau mendadak Leng-ho Tat, dengan muka pucat dan tubuh menggigil, dengar suara gemetaran, berkata, “Maaf, maaf! Aku yang muda tak ketahui lo-cianpwe berdiam di sini! Harap lo-cianpwe terima hormatnya aku yang muda!”

Si pengemis mengangkat kepalanya, sepasang matanya mencilak.

“He, Leng-ho Tat, bocah, kau masih mengenali aku, ya?” katanya dingin. Lalu ia menuding dengan tongkatnya untuk membentak, “Bocah, kalau kau masih mengenali aku, kau mestinya masih ingat juga tabiatku! Apakah kau masih tidak mau lekas-lekas menggelinding pergi?”

Leng-ho Tat ketakutan, mukanya menjadi sangat pucat. “Ya, ya,” sahutnya, terus ia membalik tubuh, untuk berlari.

U-bun Thong gusar sekali, ia mengulur tangannya, menjambak rekan itu.

Leng-ho Tat kaget. Baru sekarang ia ingat ia ada bersama kawan itu. Ia menjadi malu dan takut, mukanya menjadi merah, dengan terpaksa, lekas-lekas ia kata, “U-bun Tayjin, lo- cianpwe itu ialah Se-gak Sin Liong Hong-hu Sianseng!”

Mendengar itu, U-bun Thong juga terperanjat. Ia memang ketahui orang bernama Hong-hu Siong itu, yang gemar merantau, yang hidupnya sebagai pengemis. Dialah satu di antara Kang Ouw Cit Koay, Tujuh Siluman Kang Ouw. Karena dia jago Hoa San Pan dan gerak-geriknya mirip “Naga sakti yang terlihat kepalanya tak ekornya,” dia memperoleh julukannya itu Se-gak Sin Liong, Naga Sakti dari Se-gak Hoa San, gunung Hoa San di barat.

Leng-ho Tat asal orang Hek Too, Jalan Hitam, kira sepuluh tahun yang lalu dia turut gurunya membegal serombongan saudagar, gurunya itu kejam, sudah membegal juga membunuh. Mereka bertemu Hong-hu Siong, mereka kena dibekuk. Sang guru lantas dihukum rangket tiga puluh rotan. Dia, yang itu waktu belum terkenal dan baru masuk golongan kelas dua, diberi keringanan, yaitu Cuma dirangket lima rotan, meski begitu karena luka-lukanya dia mesti merawat diri setengah tahun. Dia tidak sangka, di sini dia bertemu pula jago dari gunung Hoa San itu.

Ketika U-bun Thong baru menginjak ambang pintu, ia lantas mendapat lihat keadaan di dalam ruang berhala malaikat itu. Lam Ce In dan Tiat Mo Lek lagi duduk bercokol dan Tan Kui Ciang rebah di dekat mereka. Di depan mereka itu berada si pengemis. Meski ia jeri terhadap pengemis itu, ia toh tidak dapat melepaskan orang-orang yang lagi dicarinya.

Ia berpikir, “Toan Kui Ciang sudah mirip mayat, Lam Ce In telah terluka, taruh kata pengemis bangkotan ini liehay, mustahil tidak dapat aku melawannya? Aku toh ada bersama saudara-saudara Gu dan Liong! Dia kesohor, itu baru pendengaran saja! Mustahil dia benar-benar liehay luar biasa?”

U-bun Thong jago kelas satu, dia tidak dapat disamakan dengan Leng-ho Tat dan lainnya, walaupun dia dikejutkan oleh nama Se-gak Sin Liong, si Naga Sakti dari gunung Hoa San, dia toh tidak takut. Maka dia maju pula satu tindak, dengan merangkap kedua tangannya, dia memberi hormat.

“Hong-hu Sianseng,” katanya, “Kita ada seumpama air  sumur yang tidak saling bentrok, oleh karenanya tidak ada niatku untuk mengganggu kau, hanya oleh karena aku mendapat firman Sri Baginda Raja, untuk menangkap orang jahat yang menentang raja, tak dapat aku tak datang ke mari. Aku minta, sianseng, sudi apakah kau membiarkan aku dapat melakukan tugasku ini.” Biasanya U-bun Thong berkepala besar, maka itu inilah yang pertama kali dia bicara dengan cara sungkan dan hormat terhadap lain orang.

Hong-hu Siong tidak menyambut sikap menghormat itu sebagaimana layaknya. Sebaliknya, kedua matanya mencilak. Dan ia tertawa dingin pula.

“Ha, aneh!” katanya. “Memang aku si pengemis tua kadang- kadang suka juga meminta belas kasihan secara memaksa akan tetapi sejak dahulu belum pernah ada sepak terjangku yang ingin menggulingkan pembaringan naga atau umpama kata perbuatan mengemplang mati kepada putera mahkota! Maka kenapakah sekarang mendadak aku dituduh menjadi orang jahat yang melawan Raja?”

U-bun Thong menahan kemendongkolannya, dia menahan sabar sebisa-bisa.

“Aku bukan menyebut kau, sianseng, aku hanya menunjuk kepada ketiga sahabat itu!” kata dia seraya menuding Toan Kui Ciang bertiga. “Mereka ini membakar istananya An Ciat-touw-su serta sudah juga melukakan beberapa Siewie istana! Aku menjadi Liong Kie Touw-ut, aku mengepalai sekalian Siewie itu, tak dapat tidak, aku mesti mengundang kedua sahabat ini pergi ke kantor pembesar negeri untuk menanya jelas kepada mereka!”

Hong-hu Siong menggaruk-garuk kepalanya.

“Ah, urusan ini sungguh membikin aku si pengemis tua menjadi bingung!” katanya.

Mau atau tidak, U-bun Thong menunjuki juga rasa kemendongkolannya.

“Aku telah bicara begini jelas, ada apa lagi yang masih membingungkan kau?” tanya dia. “Nah, kau lihat saja keadaan mereka itu!” kata Hong-hu Siong. “Sahabat she Toan itu, jiwa dia pun tak dapat terjamin akan dapat tertolong atau tidak! Menurut keterangan mereka, mereka sudah bertemu kawanan penjahat yang mau merampas harta benda dengan melakukan pembunuhan jiwa orang, mereka melawan, mereka tak berdaya, maka terjadilah luka- luka begini macam! Sebaliknya kau membilang merekalah orang-orang jahat yang menentang Raja! Mereka Cuma dua orang dewasa serta seorang bocah cilik, mungkinkah benar mereka menyateroni rumahnya An Lok San untuk melakukan pembakaran serta mencoba melakukan pembunuhan? Hm! Hm! Tidak, aku tidak percaya sama sekali! Kecuali kau keluarkan firman raja untuk diperlihatkan padaku!”

U-bun Thong tak dapat menahan sabar lagi. Dia gusar.

“Aku memandang hormat kepada kau sebagai seorang cianpwe Rimba Persilatan, aku berlaku luar biasa sungkan terhadapmu!” dia kata keras. “Kenapa kau sebaliknya mempersulit aku? Kejahatan itu baru dilakukan mereka, didalam keadaan sangat kesusu, mana sempat aku meminta firman Sri Baginda Raja? Kau lihatlah seragamku ini! Akulah Liong Kie Touw-ut! Mungkinkah palsu?”

Hong-hu Siong tertawa dingin.

“Sukar untuk dibilang! Sukar!” katanya. “Di jaman seperti sekarang ini ada banyak penjahat yang memalsukan diri menyamar menjadi pembesar negeri! Laginya, bukankah kau barusan omong dari hal firman raja? Dan sekarang kau tidak dapat membuktikannya! Maka terang sekali kau sudah omong dusta! Satu kali kau sudah mendusta, aku si pengemis tua tidak dapat percaya lagi pada kau!”

U-bun Thong gusar hingga dia kelabakan. Tapi dia masih menginsafi kedudukan pengemis itu. Maka dia mencoba menguasai dirinya, masih dia ingin bicara dengan caranya kaum Kang Ouw. Dia dapat berlaku sabar, tidak demikian dengan kedua kawannya yang menjadi jago-jago istana itu.

Sudah belasan tahun Hong-hu Siong tak muncul di muka umum, kedua orang itu tidak kenal dia. Maka juga belum berhenti suara Hong-hu Siong mendengung, mereka berdua sudah menghunus senjatanya masing-masing.

Gu Cian Kin bergegaman sebuah kapak soan-hoa-hu yang besar dan berat, dan Liong Ban Kun bersenjatakan kim-pwe-too yang tebal. Sembari maju mereka berseru, “Segala pengemis sebagai kau berhak untuk membutuhkan firman Sri Baginda Raja? Hm! Hm! Kau menghendaki firman? Nah, inilah dia firmannya!”

Dengan berbareng, mereka itu menyerang.

Hong-hu Siong mengangkat tongkatnya untuk dilintangi, guna menangkis, hingga di situ terdengarlah bentrokan yang sangat keras yang memekakkan telinga. Ia pun berseru, “Inilah firman yang tak tepat!”

Bentrokan itu mendatangkan lelatu api. Tapi yang hebat ialah akibat lainnya. Tubuh Gu Cian Kin dan Liong Ban Kun besar seumpama badan kerbau, akan tetapi tubuh mereka itu mental hingga ke luar pintu kuil!

Kagetnya U-bun Thong tidak terkira. Kedua kawan itu ahli- ahli silat Gwa-kang yang liehay, yang tenaganya besar luar biasa. Kapaknya Cian Kin saja berat lima puluh enam kati, dan goloknya Ban Kun berat empat puluh tiga kati.

Di lain pihak, tongkat Hong-hu Siong tetap sebatang tongkat, walaupun itu terbuat dari besi. Maka dihajar kapak dan golok berat, mestinya tongkat itu kutung buntung! Kejadiannya taklah demikian. Tongkat itu utuh, tak kurang suatu apa, sebaliknya, kapak dan golok gompal! Dan anehnya, kecuali senjata mereka rusak bercacad, tubuh mereka mental terbang!

Baru sekarang U-bun Thong menginsafi liehaynya si Naga Sakti dari gunung Hoa San, jadi nama orang terkenal bukan terkenal melulu. Hebat kepandaian si pengemis dalam hal ilmu meminjam tenaga untuk menghajar lawan. Itulah kepandaian  di puncaknya kemahiran. 

Dengan kulit mukanya merah padam, U-bun Thong menghampirkan si pengemis. Ia mengulur sebelah tangannya seraya berkata dengan pujiannya, “Sungguh aku kagum! Sungguh aku kagum! Lo-cianpwe, dengan memandang kepada muka terang lo-cianpwe, suka aku U-bun Thong menyudahi saja urusan ini sampai disini!”

Hong-hu Siong melemparkan tongkatnya, ia tertawa lebar. “Terima kasih untuk kebaikan hati Touw-ut!” sahutnya. Ia

pun mengulur tangannya, guna menyambuti tangan si pahlawan istana, guna berjabatan.

U-bun Thong menjadi ahli menotok jalan darah, dia kesohor sekali. Di waktu tangan mereka bersampokan, dengan lantas dia mengerjakan jeriji-jeriji tangannya, tengah, telunjuk dan manis, untuk menotok si pengemis. Sebab dengan sikapnya yang manis itu dia lagi menggunai akal muslihat keji, supaya diluar tahu orang, diluar dugaan, dapat dia menotok!

“Tak usah sungkan!” kata Hong-hu Siong. “Silahkan Touw-ut berangkat pergi!”

Mendadak U-bun Thong kaget. Mendadak jari-jari tangannya membentur telapakan tangan yang panas seperti bara marong! Tak tahan dia untuk tidak menjerit keras. Rasa nyerinya segera menyerang ulu hatinya. Lekas-lekas dia melepaskan jabatan tangannya, untuk lompat mundur ke pintu, untuk terus mengangkat langkah panjang!

Tiat Mo Lek menyaksikan peristiwa di depan matanya itu, ia girang bukan kepalang.

“Bagus! Bagus!” serunya. “Aduh...!” dan ia meringis-ringis.

Bocah ini masih rendah pokok dasar tenaga dalamnya, di saat bersemedhi itu, dia tak dapat berseru semacam itu, maka juga habis berseru kegirangan, ia menjerit kesakitan.

Hong-hu Siong mengerutkan alisnya.

“He, bocah, mengapa kau tak dengar nasihatku si orang tua?” dia menegur. “Sudah kukatakan, apa juga yang terjadi, tak dapat kau usil, sekarang kau menentangnya!”

Meski dia menegur, pengemis itu toh lekas-lekas menolongi bocah itu dengan jalan mengurutnya, guna membantu mengumpul pula tenaga dalamnya itu.

Sementara itu, semua musuh sudah kabur, maka kuil kembali kepada ketenangannya.

Hong-hu Siong menggunai ujung tongkatnya mengorek api, untuk dibikin menyala pula. Ia berdiam, seperti ia lagi memikirkan sesuatu. Tak jarang ia melongok ke arah pintu, ke luar pintu.

“Ha, langit bakal lekas menjadi terang!” tiba-tiba ia berkata seorang diri.

Ketika itu Lam Ce In sudah selesai dengan semedhinya, maka tenaganya bakal segera pulih seluruhnya. Dia menyaksikan kejadian barusan, dia dapat mengendalikan diri, tetapi sekarang, melihat kelakukannya si pegemis, dia heran, hingga ingin dia bicara. Tapi justeru itu Hong-hu Siong tiba-tiba bangun berdiri, untuk memesan dengan sungguh-sungguh, “Sebentar, apa juga yang terjadi, aku minta kamu kedua tuan-tuan jangan campur tahu!”

Itulah pesan yang tadi, yang sekarang diulang, hanya sekarang i lengan terlebih sungguh-sungguh.

Ce In berdiam, ia heran. Katanya di dalam hati, “Kenapa dia mengulagi pesannya ini begini wanti-wanti? Mungkinkah bakal terjadi pula peristiwa yang luar biasa, yang diluar sangkaan?”

Tengah Lam Ce In berpikir itu, telinganya mendengar suara kelenengan kuda yang datangnya jauh dari luar kuil. Ia menjadi heran, maka ia menduga-duga. Ia ingat kepada An Lok San.

“Sekalipun U-bun Thong sudah kalah, dia masih mempunyai pahlawan siapa lagi yang gagah?” demikian terkanya. “Taruh kata ada datang lagi beberapa orang, mereka pasti bukannya lawan dari Hong-hu Siong. Ah, dasar orang yang usianya sudah lanjut, cara bicaranya pun menjadi rada melit... Aku telah mengenal ilmu silatmu, buat apa kau memesan lagi berulang- ulang?”

Suara kelenengan terdengar makin dekat.

Hong-hu Siong terus duduk bersila. Wajahnya nampak luar biasa. Ia seperti bergelisah dan berduka.

Ce In sekarang telah mendapat kepastian, orang yang datang itu Cuma seorang penunggang kuda. Tentu saja, ia menjadi semakin heran. Ia kata dalam hatinya, “Dengan satu dua gebrakan, Hong-hu Siong dapat mengusir pergi pada U- bun Thong. Habis, ada siapa lagi yang dapat  membuatnya jeri?”

Selagi ia berpikir itu, Lam Pat melihat masuknya seorang ke dalam kuil. Untuk herannya, ia melihat seorang nona dengan pakaian serba putih, la tadinya menyangka seorang pria yang romannya gagah dan bengis, tak tahunya seorang gadis remaja yang cantik manis, yang tubuhnya ramping!

Begitu ia bertindak di ambang pintu, mata si nona diarahkan ke seluruh ruang. Ia melihat seorang rebah karena terluka parah dan dua orang lagi berduduk bersemedhi dengan tubuhnya berlepotan. Darah.

Ia nampaknya heran. Tapi terang sasarannya bukan Toan Kui Ciang. Segera ia menyapu ke arah Hong-hu Siong, terus ia mengawasi tajam.

“Bangsat tua she Hong-hu.’” Sekonyong-konyong ia mendamprat, “Hari ini telah tiba hari kematianmu! Masih kau tidak mau lekas berbangkit buat menerima kebinasaanmu?”

Hong-hu Siong mengangkat kepalanya. Dia memandang si nona itu. Dia tak menjadi gusar atau kurang senang.

“Apakah kau Nona He?” dia tanya perlahan, tenang. “Aku telah menduga bahwa kau bakal mencari aku. Kita berdua tidak berselisih tidak bermusuh, sekarang ini pertemuan kita ialah pertemuan yang pertama kali, mengapa kau hendak membunuh aku?”

Nona itu memegang gagang pedangnya.

“Bangsa ceriwis dan cabul yang jahat, siapa pun berhak membunuhnya!” ia kata bengis. “Apakah untuk itu di antara kita mesti ada permusuhan dulu?”

Ce In lagi bersemedhi akan tetapi mendengar kata-kata si nona, dia terkejut. Tentu sekali, herannya menjadi bertambah. Aneh sikapnya dua orang itu. Hong-hu Siong memang aneh tingkah lakunya, di dalam kalangan Kang Ouw ada yang membusukinya, tetapi di mata ia, dialah seorang gagah perkasa yang berhati mulia, yang sering berbuat baik. Sekarang si nona mengatakan Hong-hu Siong cabul dan jahat, untuk itu Hong-hu Siong katanya harus dibunuh. Ia heran, ia tidak percaya! Ia menyangsikan pendengarannya itu.

Seorang gagah perkasa dikatakan cabul dan jahat, dia mesti gusar sekali. Tidak demikian dengan Hong-hu Siong si jago. Dia tetap sabar.

“Siapakah orangnya yang bicara demikian terhadapmu?” dia tanya, perlahan. Biar bagaimana, suaranya tawar.

“Tak dapat kau perdulikan itu!” si nona menjawab dengan bentakannya. “Nama busukmu sudah tersiar sangat luas! Apakah kau tidak punya telinga untuk mendengarnya?”

“Tidak apa kau tidak sudi menyebutkannya,” kata Hong-hu Siong, tenang luar biasa. “Tanpa kau membilangnya, aku telah dapat menerka beberapa  bagian.  Sekarang  aku  hendak tanya kau, bukankah  kau mendengarnya dari seorang yang kau paling percaya?” Nona itu menjadi gusar.

“Aku bukan datang ke mari untuk mendengar pelbagai pertanyaanmu!” katanya keras. “Hm! Apakah kau hendak memancing keteranganku supaya kau dapat pergi dengan diam-diam untuk membunuh orang itu? Jangan kau bermimpi! Sekarang aku menghendaki kau terbinasa di ujung pedangku ini!”

Hong-hu Siong menanya pula, “Kau hendak membunuh aku. Adakah itu pikiran kau sendiri atau kau diperintahkan lain orang?”

Nona itu agaknya tidak sabaran. Dia menegur, “Apakah kau masih hendak memutar lidahmu untuk memperlambat waktu?”

“Bukan! Aku hanya tak sudi menjadi setan penasaran yang mati tidak keruan!” sahut Hong-hu Siong. “Jikalau kau hendak membunuh aku, kau mesti mengasih keterangan supaya aku mati puas!”

Si nona menahan sabar.

“Bagaimana kalau pikiranku sendiri? Bagaimana kalau perintahnya lain orang?” dia tanya.

“Jikalau itu kehendakmu sendiri, kau harus mempunyai bukti yang cukup kuat untuk membeber kejahatanku, supaya aku menjadi rela menyerah.”

Kata-kata Hong-hu Siong ini juga jadi pemikirannya Lam Ce In.

Nona itu melengak sejenak. Dia seperti tidak mempunyai bukti untuk menunjuki kejahatan orang.

“Jikalau lain orang yang hendak membinasakan aku!” kata pula Hong-hu Siong, tanpa menanti orang sempat berpikir, “Maka pergilah kau pulang untuk memberitahukan dia itu bahwa di dalam dunia ini ada terlalu banyak urusan yang sangat sukar dibedakan kebenaran dan kepalsuahnya, karena itu kau suruhlah dia bersabar lagi sekian waktu, sampai nanti ketahuan duduknya hal yang sebenarnya. Selama hidupnya, aku Hong-hu Siong, mungkin aku juga pernah melakukan sesuatu perbuatan yang buruk, akan tetapi kopiah kecabulan dan kejinahan pastilah tak dapat dipakaikan di atas kepalaku!”

“Aku tak percaya obrolan setanmu!” bentak si nona, gusar. “Aku Cuma tahu kaulah si hantu jahat yang tak ada kejahatan apa juga yang kau tak lakukan! Hm! Hm! Apakah kau takut mati, hantu? Percuma-Cuma kau mainkan lidahmu untuk menyangkal, maka kau bangkitlah menyambut ‘ pedang!”

Hong-hu Siong tertawa. “Jikalau aku takut mati, tidak nanti aku menjanjikan kau datang ke mari!” katanya.

“Bagus!” kata si nona. “Kalau begitu, kenapa kau masih tidak mau menggeraki tanganmu? Apakah bukan kau masih hendak menantikan beberapa kawanmu lagi?”

“Seumurku aku tidak mempunyai kawan!”

“Baiklah! Kau mempunyai kawan, baik! Kau tidak mempunyai kawan, baik juga! Sekarang aku hendak mengandalkan pedangku ini untuk mengadu jiwa denganmu!”

“Jikalau kau benar hendak membunuh aku, kau bunuhlah!

Pasti aku tidak mau menggeraki tangan terhadapmu!” Nona itu berdiri menjublak.

“Aku tidak akan membunuh orang di tangan siapa tak ada sepotong besi juga! Lekas kau ambil tongkatmu!”

“Aku sudah bilang tidak mau menggeraki tanganku, pasti aku tidak akan menggerakinya! Jikalau kau hendak membunuh aku, bunuhlah! Jikalau tidak, hendak aku pergi!”

Nona itu tetap hendak menggunai cara kaum Kang Ouw untuk membunuh orang di depannya itu, sekarang Hong-hu Siong membantah, dia menjadi hilang pegangannya. Maka itu ia terus berdiam saja

“Sekarang aku telah ketahui tentang dirimu,” berkata Hong- hu Siong, sabar, “Dan aku ketahui juga siapa itu yang menghendaki jiwaku! Jikalau aku kehilangan jiwaku tetapi dengan begitu dapat aku membikin lenyap penasaran sesuatu orang, itu juga suatu perbuatan baik! Baiklah, telah aku bicara, apabila tetap kau tidak hendak membunuh aku, aku si pengemis tua mau pergi!”

Nona itu menggigit giginya, dia menjumput tongkat di tanah. “Bangun!” serunya. “Sambutlah!”

Hong-hu Siong menyambuti tongkatnya, untuk dilemparkan ke sisinya. Sembari tertawa, dia kata, “Apa yang diri sendiri tak menyukai, janganlah itu dilakukan atas diri lain orang! Aku pikir, pepatah ini cocok denganmu, ialah kau juga pasti tidak menyukai lain orang memaksakan kau melakukan sesuatu yang kau tak sukai!”

Nona itu menggigit gigi pula. Ia mengangkat pedangnya dan membentak, “Baik! Kau hendak menggunai akal muslihatmu ini untuk meloloskan jiwamu! Tak dapat aku diperdayakan! Kau mesti dibunuh!”

Kali ini dia benar-benar telah mengambil keputusannya.

Segera pedangnya meluncur ke dadanya Hong-hu Siong!

Di saat ujung pedang maut itu hendak merampas jiwa si pengemis, mendadak ada sinar putih bagaikan rantai perak berkelebat, lalu terdengarlah suara senjata bentrok. Pedang si nona kena tertangkis mental!

Hong-hu Siong menghela napas.

“Lam Tayhiap, buat apa kau usilan?” katanya perlahan.

Tapi Lam Ce In, yang telah bergerak secara tiba-tiba, tidak membenarkan jawabannya, hanya dia memandang si nona, untuk berkata dengan keras, “Nona, jikalau kau hendak membunuh orang, kau harus memakai aturan! Kau menuduh Hong-hu Cianpwe sebagai manusia cabul dan jahat tetapi kau tak dapat menunjuki buktinya! Tak puas aku si orang she Lam dengan caramu itu!”

Si nona menarik pulang pedangnya, untuk diperiksa, maka ia melihat ujung senjata itu telah gompal sedikit. Ia menjadi sangat gusar. “Kau membantu setan ini, kau juga pasti bukan orang baik- baik!” dia membentak. “Baik! Kau tidak puas, akan aku bunuh kau dulu, baru kita bicara lagi!”

Si nona menyangka Ce In konco Hong-hu Siong, ia lantas menyerang dengan sengit sekali, hingga pedangnya itu bersinar berkelebatan. Tiga kali beruntun ia menikam bagian-bagian anggauta yang berbahaya karena selama itu Ce In terus main mundur atau berkelit. 

Menampak demikian, Ce In pun jadi panas hati, maka ingin ia menabas kutung pedang orang. Begitulah ia membacok dengan hebat!

Si nona tahu lawan menggunai golok mustika, ia mau menyingkir dari bentrokan

Di saat Ce In hendak berseru, “Kena!”, mendadak ia tarik pulang pedangnya secara lincah sekali, untuk setelah itu, segera menikam pula!

Ce In terperanjat. Syukur ia tidak menabas dengan sepenuh tenaganya. Dengan tindakan “Poan Liong Jiauw Pou,” ia menyingkirkan dirinya, goloknya ditarik untuk melindungi tubuhnya. Meski demikian, ia masih terlambat, ujung bajunya masih kena tertikam!

Si nona tak berhenti sampai disitu, terus dia mendesak, terus dia menikam berulang-ulang.

Ce In telah mendapat .pulang tenaganya,, akan tetapi karena rangsakan si nona, ia repot juga, ia sampai Cuma bisa membela diri. Pembelaan dirinya itu kokoh sekali, ia pun membuat si nona tak mampu menoblosnya.

Ketika itu juga Mo Lek telah pulih kesehatannya sampai tujuh atau delapan bagian. Dia tetap berdiam di tempatnya, sambil beristirahat, ia menjagai Toan Kui Ciang. Di lain pihak, dengan perasaan tertarik, ia menonton pertempuran itu. Ia kagum untuk kepandaian menggunai pedang dari nona itu. Ia masih muda tetapi ia mengerti baik halnya ilmu pedang. Maka ia kata dalam hatinya, “Kelihatannya ilmu pedang nona itu tak dibawahnya ilmu pedang Paman Toan dan Ceng Ceng Jie...”

Lam Ce In melayani dengan ilmu golok Yu Sin Pat-kwa Too- hoat, maka dia bergerak dan menjaga diri dalam kedudukan “Delapan pintu” dan “Lima tindak”. Sedikit juga dia tak kacau meskipun dia didesak hebat. Selama bertempur itu, dengan perhatiannya, dia mulai menginsafi ilmu pedang nona itu. Begitulah satu kali mendadak dia berseru sambil membacok hebat, akan kemudian merangsak terus sama hebatnya.

Si nona, dari merangsak menjadi kena terdesak, hingga ia terpaksa main mundur.

Begitu ketarik hati Mo Lek hingga ia berseru memuji, “Bagus!

Bagus!”

Mo Lek telah bersemedhi cukup, tak takut ia terganggu karena seruannya itu. Akan tetapi, melihat lagaknya itu, Hong- hu Siong mendelik kepadanya.

Menyusul seruan Mo Lek, si nona bergerak pula secara luar biasa. Dia dapat membebaskan diri dari desakan, kembali dia balik merangsak. Di antara sinar golok, dia bergerak bagaikan kupu-kupu berkelebatan di antara bunga-bunga. Maka itu, mereka berdua menjadi sama hebatnya.

Nona itu heran mendapatkan Lam Ce In demikian gagah. Tiba-tiba ia menunda penyerangannya, untuk menanya keras, “Kau siapa? Kau begini gagah, kenapa kau kesudian menjadi gundalnya si bangsat tua?”

Ce In berseru keras dan lama, ia melintangi goloknya di depan dadanya. Lantas ia menjawab nyaring, “Satu laki-laki, berjalan dia tidak menukar namanya, berduduk dia tidak menukar shenya! Aku ialah Lam Ce In dari Gui-ciu! Nona, aku numpang tanya she dan namamu yang mulia? Kenapakah nona hendak membunuh Hong-hu Sianseng?”

Nona itu terkejut.

“Apakah kau Gui-ciu Lam Pat?” dia tanya cepat.

“Benar, itulah aku yang rendah,” sahut Ce In. “Ada pengajaran apakah, nona?”

Nona itu tampak bingung. Semenjak Toan Kui Ciang mengundurkan diri, selama sepuluh tahun ini, Yu-hiap atau jago pengembara di jaman itu yang hidup berpetualangan, ialah Lam Ce In yang paling ternama.

Dia telah mendengar nama orang, baru sekarang dia menemui orangnya. Dia heran mendapatkan orang baru berumur lebih kurang tiga puluh tahun.

Setelah berpikir sebentar, nona itu berkata sabar tapi tetap, “Lam Tayhiap, baiklah kau jangan campur urusan umum ini!”

Ce In berkata, “Membunuh orang ialah urusan sangat besar, mana dapat itu dikatakan urusan umum? Kau hendak mambunuh orang, kau mesti dapat menjelaskan alasannya, jikalau tidak, aku si orang she Lam, tak dapat aku tidak mencampur tahu!”

Mukanya si nona menjadi merah.

“Lam Ce In, kecewa kau disebut tayhiap!” katanya nyaring. Nyata dia tak sabaran. “Mengapa kau tak dapat membedakan hitam dari putih? Kau kira bangsat tua ini orang macam apa?”

“Hong-hu Sianseng ialah orang gagah perkasa yang berhati mulia!” sahut Ce In. “Siapakah yang tak tahu itu? Kau mencaci dan menghina Hong-hu Cianpwe, kau tak dapat menyebutkan alasannya, itulah tak selayaknya!”

Nona itu tertawa mengejek.

“Bangsat tua she Hong-hu ini ialah bangsat tukang tipu dunia!” kata dia nyaring. “Namanya saja kesohor tetapi sebenarnya dialah si hantu yang biasa berbuat jahat secara sembunyi-sembunyi! Kecewa kau menjadi tayhiap, kau kasih dirimu diabui!”

“Kau menuduh dia jahat, mana buktinya?” Ce In tanya.

Nona itu terbangun sepasang alisnya. Dia seperti juga tak sudi bicara. Tapi akhirnya dia mengambil juga keputusannya. Kata dia keras, “Ibuku ialah saksinya! Apa yang dikatakan ibuku tak dapat aku tidak percaya! Ibuku pernah melihat dengan matanya sendiri bangsat tua ini membunuh suami orang dan merampas isteri korbannya itu! Aku mencaci dia sebagai si penjahat cabul, apakah aku salah? Aku mendapat tugas dari ibuku untuk menyingkirkan dia! Lam Ce In, kau terkenal gagah mulia, malam ini aku tidak membutuhkan bantuanmu, tetapi kau sendiri, sedikitnya kau harus berpeluk tangan saja, kau menonton, jangan kau menghalangi aku!”

Ce In kaget, hingga mau atau tidak, ia menoleh kepada Hong-hu Siong. Ia melihat si pengemis gagah menghela napas perlahan. Tentu sekali, ia menjadi heran, hingga ia beragu-ragu dalam hatinya, “Mungkinkah benar tuduhannya nona ini?”

Ia melirik pula, tetapi ia tidak melihat orang likat atau jengah, orang menghela napas rupanya karena merasa kasihan atau sayang. Itulah melainkan rasa terharu.

Maka sebagai seorang yang bermata tajam dan luas pengalamannya, ia berpikir pula, “Melihat sikapnya Hong-hu Siong ini, dia pastilah terfitnah. Mengapa dia tidak menyangkal? Kenapa, dia rela membiarkan nona ini hendak membunuhnya? Pastilah urusan yang ruwet bagian dalamnya, urusan yang dia tidak mengingini orang luar mengetahuinya...”

Si nona melihat Ce In masih tetap menghadang, ia gusar hingga sepasang alisnya bangun berdiri. Dia kata gusar, “Aku telah omong jelas! Apakah kau masih hendak menghalangi aku?”

“Aku telah mendengar tetapi masih ada bagian-bagian yang kurang jelas bagiku,” sahut Ce In tenang. “Kau menyebut Hong-hu Sianseng telah membunuh suami orang dan merampas isterinya. Siapakah sepasang suami isteri itu? Apakah she dan namanya? Selainnya ini, apakah masih ada saksi lainnya atau bukti sesuatu barang? Dan, bagaimana sebenarnya duduknya peristiwa dulu hari itu...”

Nona itu gusar sekali.

“Semua itu ibuku yang membilangi aku!” ia kata sengit. “Ibuku tidak nanti mendusta! Maka itu, buat apa saksi atau bukti barang lagi?”

Lam Ce In sebaliknya berpikir, “Kelihatannya ibunya juga menyembunyikan sesuatu, atau dia belum menjelaskan semua...”

Dalam sengitnya si nona sudah menyerang.

Ce In tangkis serangan itu, ia menahannya, lantas ia kata ‘nyaring, “Kau percaya ibumu, aku percaya Hong-hu Cianpwe, inilah soal sulit! Sekarang aku berada di sini,- maka malam ini tak dapat kau membunuh orang! Menurut pikiranku, baiklah kau menunda, kau berhenti dulu sampai disini. Kau berikan she dan namamu serta alamatmu juga, lalu kau menunggu sampai aku sudah membuat penyelidikan. Selambatnya dalam tempo tiga bulan, pasti akan aku mengunjungi kau, untuk aku menjenguk ibumu, guna kita bicara dengan terang dan jelas.”

Nona itu kembali gusar.

“Kau tidak mau percaya ibuku, buat apa kau menemuinya?” dia tanya. “Hm! Jangan kau menyangka kau telah ternama besar! Belum pasti ibuku suka menemui kau! Hayo, kau minggir atau tidak? Jikalau tidak, jangan kau katakan aku tak sungkan- sungkan!”

Di mulut si nona mengatakan demikian, kakinya telah bertindak maju, dengan pedangnya ia sudah menyerang pula.

Ce In telah tidak mau mundur. Ia sudah mulai mengenal ilmu silat nona itu, maka ia percaya, walaupun ia sulit mengalahkannya, sedikitnya ia bakal menang di atas angin. Hanya di dalam hatinya, ia kata, “Sungguh malu aku mesti melayani dia... Tanpa golok mustika, ada kemungkinan aku bukan lawannya!”

Di dalam halnya tenaga dalam atau latihan, Ce In jauh terlebih unggul, maka itu habis menyerang hebat terus menerus tanpa hasil, dahi si nona sudah mandi peluh.

Dia melihat lawannya tetap tenang dan segar. Lantas dia merasa bahwa dia akan tak ungkulan. Akhirnya dia kata dengan sangat mendongkol, “Kenapa kau mengadu jiwamu melindungi bangsat tua ini?”

Lam Ce In menyahut sabar, “Sebabnya ialah pertama aku percaya I long-hu Cianpwe bukan orang busuk dan kedua dia telah melepas budi menolongi jiwaku. Kau hendak membinasakan dia, mana aku dapat membiarkannya?”

Nona itu heran.

“Apakah itu pertolongan jiwamu?” ia tanya. Justeru itu Toan Kui Ciang ngelindur pula, “Su Toako! Su Toako! Aku di sini! Aku di sini! Apakah toako masih mengenali aku Toan Kui Ciang?”

Nona itu kaget, dia berseru, segera dia lompat ke arah Kui Ciang.

Tiat Mo Lek lagi menjagai Kui Ciang, melihat kelakuan si nona, dia kaget, dengan lantas dia menyambar dengan pedangnya dan membabat seraya membentak, “Bangsat wanita kejam! Paman Toan telah terluka parah begini rupa tetapi kau masih hendak mencelakainya?” 

Berbareng dengan itu, Ce In juga berlompat sambil menyerang.

Nona itu melihat pedangnya Mo Lek, dia menangkis dengan ilmu huruf “Menempel,” lalu meneruskan memutar tangan, dia menyampok ke belakang kepada goloknya jago dari Kui-ciu. Terus dia berseru dan menanya, “Tahan dulu! Siapakah dia?”

Dia menunjuk kepada Toan Kui Ciang.

Ce In menjawab tenang, “Dialah Yu-ciu Tayhiap Toan Kui Ciang! Apakah kau pernah mendengar namanya Toan Tayhiap?” Nona ini melengak, dia terkejut.

“Benarkah dia Toan Kui Ciang?” dia menegasi. “Habis mana orang yang bernama Su It Jie?” Ce In juga heran.

“Nona, kau kenal Su It Jie?” ia menanya cepat.

“Jangan tanya aku!” kata nona itu. “Kau bilang saja sekarang, bagaimana dengan Su It Jie?”

“Su It Jie?” Ce In balik menanya. “Dia telah dipaksa An Lok San hingga dia telah membunuh diri!”

Wajah si nona menjadi padam. “Kalau begitu Toan Tayhiap ini telah dilukakan An Lok San?” dia tanya.

Ce In heran, bukannya ia menjawab, ia justeru menanya, “Nona! Kau rupanya ketahui duduknya kejadian! Tidak salah, untuk menolongi Su It Jie, Toan Tayhiap sudah menyateroni An Lok San di istananya, di sana dia sendirian saja, dia tidak sanggup melawan banyak kaki tangannya An Lok San, maka  dia terlukakan parah! Syukur kami bertemu dengan Hong-hu Cianpwe ini, dia memberikan pertolongannya, jikalau tidak, pastilah sudah sedari siang-siang Toan Tayhiap kehilangan jiwanya...”

Lam Pat berhenti sejenak, lantas dia menambahkan, “Kami juga tadi malam telah bertarung di dalam istananya bangsat she An itu, sayang kami terlambat, kami tak berhasil menolongi Su It Jie...”

“Ah, aku tahu sudah!” kata nona itu, sekarang sikapnya berubah. “Syukur ada kamu, maka Toan Tayhiap tidak terjatuh ke dalam tangan bangsat she An itu, bukankah?”

“Betul, tepat terkaanmu!” Mo Lek campur bicara. “Mari aku jelaskan pula! Lukanya Lam Tayhiap dan lukaku ini juga Hong- hu Lo-cianpwe yang menyembuhkannya! Bahkan Hong-hu Lo- cianpwe telah memukul mundur barisan pengejar dari bangsat she An itu! Kenapa kau mengatakan lo-cianpwe busuk?”

Nona itu tampak bingung. Ia berpikir.

“Dan bagaimana dengan isterinya Su It Jie?” tanya ia kemudian.

Ce In melengak.

“Aku tak tahu...” sahutnya.

“Gila!” si nona membentak. “Bagaimana kau tak tahu?” Memang Ce ln tidak tahu apa-apa sebab Kui Ciang belum pernah menuturkannya. Ketika Mo Lek menariknya, mengajak ia membantui Kui Ciang, Mo Lek juga tidak menyebut-nyebut hal isteri It Jie itu.

Melihat nona itu memperhatikan urusan dua keluarga Toan dan Su, walaupun ia tak menyukai sikap si nona, Mo Lek sudi juga bicara. Ia kata, “Kami tidak melihat isteri dan anaknya orang she Su itu. Mungkin mereka masih terkurung An Lok San di sana. Jikalau kau ingin ketahui hal mereka, jikalau kau mempunyai nyali besar, pergilah kau cari An Lok San untuk menanya padanya!”

Disenggapi Mo Lek, parasnya si nona berubah. Mendadak dengan pedangnya dia menuding Hong-hu Siong, terus dia kata bengis, “Dengan memandang Toan Tayhiap maka malam ini aku memberi ampun kepada jiwamu, hanya lain kali, apabila aku telah mendapat bukti dari perbuatanmu yang jahat, akan aku perhitungan pula denganmu!”

Hong-hu Siong tertawa berduka. Ia nampak mau bicara, tetapi akhirnya batal.

Nona itu mendadak berlari keluar, untuk lompat naik ke ? atas punggung kudanya, lantas dia berkata nyaring, “Aku He Leng Song! Kamu boleh beritahukan namaku ini kepada Toan Tayhiap!”

Menyusul itu terdengar suara kelenengan kuda, yang kudanya dikaburkan, hingga lenyaplah suaranya. Hingga sunyilah gelanggang itu.

Tiat Mo Lek heran bukan main.

“Hong-hu Lo-cianpwe,” kata ia pada Hong-hu Siong. “Nona He ini tangguh tetapi dia tak nanti dapat melebihkan U-bun Thong, selagi dengan mudah saja lo-cianpwe dapat mengalahkan orang she U-bun itu, mengapa lo-cianpwe seperti jeri terhadapnya? Bukankah dia pasti bukan lawan lo-cianpwe?”

Hong-hu Siong tertawa meringis.

“Aku si pengemis tua menerima cacian dan dibikin mendongkol, itu perkara yang lumrah, itulah tidak ada artinya,” sahutnya. “Sebenarnya ingin aku terbinasa di tangan dia, supaya dia tak usah pergi membunuh lain orang...”

Tiat Mo Lek heran. Ia hendak menanya pula, atau Hong-hu Siong sudah mendahului, “Aku si pengemis tua sudah bicara banyak, tentang urusan ini tak suka aku membicarakannya pula. Lam Tayhiap, jikalau kau percaya aku si pengemis tua, aku minta sukalah kau jangan perdulikan lagi urusanku ini.”

Ce In menduga pasti orang mempunyai kesukaran yang tak dapat dijelaskan. Maka ia pikir, “Menurut dia, rupanya dia bertanggung jawab untuk urusan lain orang, tetapi tuduhan cabul dan jahat itu hebat sekali, bagaimana dia dapat menerimanya? Di dalam urusan lain bolehlah orang menjamin sesuatu...”

Karena berpikir begini, ia terus berdiam. Mo Lek juga tidak menanya lagi.

“Langit sudah terang,” berkata Hong-hu Siong kemudian. “Aku si pengemis tua masih mempunyai lain urusan, ingin aku berangkat lebih dulu. Tentang Toan Tayhiap, tak usahlah kamu buat kuatir, mungkin lagi dua jam dia bakal mendusin. Di sini ada satu peles obat, kamu kasihlah dia makan satu hari tiga butir, setiap kalinya satu. Setelah dia makan habis obat ini, mungkin dia akan mendapat pulang kesehatannya seperti sediakala.”

Lam Ce In menyambuti peles obat itu. Ia melihat jumlah butirnya dua puluh. Maka itu, itulah obat untuk tujuh hari. “Lo-cianpwe,” ia tanya jago tua itu, “Apakah lo-cianpwe hendak memesan sesuatu untuk Toan Tayhiap?”

Hong-hu Siong tertawa. Dia kata, “Aku si pengemis tua telah terlalu sering menerima budi orang, dari itu tak suka aku bicara dari hal pembalasannya. Laginya, untuk membalas begitu banyak, tentu aku tidak sanggup. Bukankah barusan kamu juga telah menolongi selembar jiwaku? Itu pun sudah berarti pembalasan.”

Ia berhenti sebentar, baru ia menambahkan lagi, “Toan Tayhiap menjadi seorang yang sadar akan budi dan dendaman, kalau sebentar dia mendusin, aku minta jangan kamu memberitahukan dia bahwa obat ini pemberianku si pengemis tua, supaya tak usahlah dia buat pikiran.”

“Itulah tak dapat, lo-cianpwe!” kata Mo Lek, menentang. “Jikalau dia tanya siapa yang menolongnya, tak dapat kami tidak menjelaskan!”

“Begini saja,” kata si pengemis tua. “Kau beritahukan dia hal ditolongnya lukanya, dan halnya obat, kau bilang itulah obatnya Lam Tayhiap. Bukankah siapa mengerti ilmu silat, dia senantiasa membekal obat-obatan buatan sendiri, kecuali yang beda hanya khasiatnya? Jikalau diberitahukan aku si pengemis tua yang memberikan, nanti menjadi tidak enak...”

Mendengar kata-kata orang, Ce In menjadi timbul pula kecurigaannya.

Tiat Mo Lek tertawa. Dia kata pula, “Lo-cianpwe yang mengobati dia kalau Toan Tayhiap ketahui itu, bukankah itu sama membuat pikirannya?”

Hong-hu Siong berpikir. “Kalau begitu baiklah, akan aku memesan sesuatu kepadanya,” kata dia. “Dengan begini maka kita satu pada lain jadi tidak berhutang budi...”

“Apakah itu, cianpwe?” Ce In tanya.

Hong-hu Siong mengeluarkan sebuah cincin besi, ia masuki itu ke subuah jerijinya Toan Kui Ciang, sembari melakukan itu, ia kata, “Tolong kamu sampaikan pesanku kepada Toan Tayhiap. Aku minta pertolongannya. Kalau nanti dia bertemu dengan seseorang yang memakai cincin serupa ini, mohon dia memandang mukaku, sukalah dia berlaku murah terhadapnya.”

Mo Lek heran hingga ia berpikir, “Entah pengemis tua ini hendak melakukan kegaiban apa...?

Meski ia heran dan curiga, ia tidak berani menanya apa-apa. Ia muda sekali usianya tetapi pengalamannya kaum Kang Ouw sudah cukup banyak, ia ketahui pantangan kaum itu. Maka dengan hormat ia menyahuti.

“Jangan kuatir, lo-cianpwe, nanti aku sempatkan pesan lo- cianpwe ini kepada Toan Tayhiap.”

Hong-hu Siong menjumput tongkatnya, terus ja berjalan keluar. Di ambang pintu, mendadak ia berhenti dan menoleh, kepada Lam Ce In ia berkata, “Ah, hampir aku lupa! Pada bulan yang lalu di kota Tok-koan, aku telah bertemu dengan gurumu, Lam Tayhiap.”

“Apakah ada pesannya guruku itu?” Ce In tanya.

“Gurumu itu membilangi bahwa dia mau pergi ke Hoay-yang, akan tetapi karena ada urusan lain, keberangkatannya itu ditunda sampai lain bulan tanggal pertengahan. Dia membicarakan hal kau, tayhiap, katanya segala perbuatan tayhiap dalam dunia Kang Ouw beberapa tahun ini, semua dia sudah ketahui. Dia menyatakan girang dan syukurnya. Kemudian dia tanya aku, aku kenal tayhiap atau tidak. Aku bilang nama aku pernah dengar, orang aku belum pernah menemukan. Lantas gurumu kata, dalam beberapa hari ini tayhiap akan pergi ke Hoay-yang. Dia kata padaku, ‘Thio Sun yang menjadi Thaysiu kota Hoay-yang adalah seorang berarti, maka pengemis tua, jikalau kau tidak mempunyai urusan apa- apa, tak halangannya kau jalan-jalan ke kota Hoay-yang itu. Aku tahu kau biasa menyukai anak-anak muda, maka bolehlah kau sekalian menemui muridku itu. Apabila kau bertemu dengannya, tolong kau sampaikan pesanku ini kepadanya, umpama kata dia mempunyai urusan lain di Ngo-goan, dia tak usah menunggui aku di Hoay-yang.’ Ha, ha! Tidak kusangka, sebelum aku sampai di Hoay-yang, di kuil rusak ini aku telah bertemu denganmu secara kebetulan ini!”

Baru sekarang Lam Ce In ingat, ketika tadi mereka baru memasuki kuil, Hong-hu Siong mengawasi ia dengan perhatian luar biasa. Pikirnya, “Tidak heran sebelum menanyakan jelas tentang diriku, dia sudah lantas sudi mengobati kami. Rupanya suhu telah melukiskan roman dan potongan tubuhku kepadanya.”

Sebenarnya Ce In bersangsi juga. Toan Kui Ciang belum sembuh, dia seharusnya diantar pulang ke Touw Ke Ce, untuk dia berobat dan beristirahat. Tiat Mo Lek harus menjadi pelindungnya.

Mo Lek cerdik dan gagah, untuk pantarannya, sukar mencari tandingannya, meski begitu, dia tetap seorang bocah, tak tenang hati Ce In membiarkan bocah itu sendirian mengantari Kui Ciang. Maka sekarang, kebetulan ia mendengar pesan gurunya itu, ia lantas mengubah pikiran, mengambil suatu keputusan baru.

Begitulah, sehabis kepergiannya Hong-hu Siong, orang she Lam ini kata pada Mo Lek, “Mo Lek, aku tak jadi pergi ke Hoay- yang, hendak aku menemani kau mengantar Toan Tayhiap ke Touw Ke Ce. Di sana, setelah menolongi tayhiap, apabila kau tidak mempunyai urusan lain, boleh kau turut aku pergi ke Hoay-yang untuk menemui guruku.”

Mo Lek girang sekali.

“Itulah bagus!” katanya. “Tapi, bukankah kau mempunyai suratnya Kwe Cu Gie yang hendak disampaikan kepada Thio Thaysiu? Dengan kau mengantari kami, apakah urusanmu itu tidak menjadi gagal?”

“Tidak,” sahut Ce In. “Urusan surat itu terlambat satu bulan pun tidak apa. Surat itu dikirim Kwe Leng-kong sambil lalu dan bunyinya juga Cuma mengajak Thio Thaysiu bekerja sama andaikata terbit bencana. Mereka itu berdua saling menghargai, sekalipun tidak ada surat menyurat, apabila terbit sesuatu kejadian, pasti mereka bekerja sama, untuk membela negara.”

Mo Lek mengangguk.

“Sekarang belum terang tanah, nanti aku pergi mengambil pakaian untuk salin,” kata dia.

Ce In tahu orang berniat mencuri. Maka dia tertawa. Dia pesan, “Kau berhati, hati, jaga jangan sampai kau kena terbekuk orang!”

“Itulah tak bakal terjadi!” kata Mo Lek dengan pasti.

Bocah itu pergi sampai setengah jam, masih dia belum kembali. Ce In menjadi berkuatir juga.

“Jangan-jangan kekuatiranku berbukti...” pikirnya bergelisah.

Justeru itu mendadak terdengar suara roda kereta di luar kuil.

Orang she Lam ini kaget, lantas ia pergi melihat. Lantas hatinya menjadi lega. Itulah Mo Lek yang kembali, hanya bersama sebuah kereta keledai! “Eh, mengapa kau mencuri kereta keledai?” ia tegur.

“Inilah bukan kereta curian!” sahut Mo Lek. “Aku tukar ini dengan sepotong uang goanpoo emas!”

Mau tidak mau, Ce In tertawa.

“Sungguh kau berbahagia!” katanya. “Kau masih mempunyai goanpoo emas!”

“Tetapi uang emas itu bukan kepunyaanku, itulah miliknya seorang hartawan. Aku pergi mencuri beberapa potong pakaian di rumahnya, sekalian saja aku jemput beberapa potong goanpoonya. Lantas aku pergi ke bengkel kereta. Hari sudah mendekati fajar, tuan rumah masih belum mendusin dari tidurnya, aku tak sempat mengasih bangun, dari itu aku lemparkan saja sepotong goanpoo, lantas aku siapkan kereta keledainya ini. Celaka keledai ini, dia tidak dengar kata, ketika mau keluar dari pintu pekarangan, dia rewel, dia meringkik keras suaranya yang berisik membikin sadar tuan rumah. Mulanya mereka berteriak-teriak, ‘Ada pencuri! Ada pencuri!’ Dari atas kereta aku lemparkan uang goanpoo sambil aku berkata nyaring, ‘Aku bukan pencuri! Aku hanya malaikat uang!’ Rupanya mereka lantas melihat uang emas itu, sebentar saja sirap teriakannya, diganti dengan seruan kegirangan, bahkan mereka tidak mengejar juga!”

Habis berkata itu, Mo Lek tertawa berkakak, tapi lekas ia menambahkan, “Sebenarnya, mencuri tetap mencuri, Cuma bedanya aku mencuri hartanya si hartawan, tidak si melarat! Dengan sepotong goanpoo emas dapat dibeli sepuluh buah kereta keledai, mereka itu hilang sebuah kerela tetapi mendapat sepotong goanpoo, mereka masih untung besar!”

Mau atau tidak, Ce In mesti tertawa. Ketika itu cuaca sudah terang. Keduanya lantas menyalin pakaian, kemudian mereka menggotong Toan Kui Ciang dinaiki ke atas kereta, direbahkan di tempat yang lunak, yang Mo Lek telah sediakannya.

Ce In yang memegang tali les, maka selang satu jam, keduanya sudah sampai di wilayah kecamatan Lim-tong. Hati mereka lega sebab mereka melihat tidak ada yang mengejar. Dengan begitu dapatlah mereka berdua memasang omong dengan asyik. Banyak yang dapat mereka bicarakan.

(Lanjutan)

Ce In seorang hiap-su, orang gagah kenamaan dan Mo Lek anak muda keluarga Rimba Hijau. Saking gembira, sering mereka tertawa.

"Kau masih begini muda, sudah pandai kau mencuri!" kata si orang she Lam. "Kalau nanti kau sudah dewasa, kau bakal jadi liehay sekali! Cuma aku kuatir nanti tak ada orang yang berani membuka perusahaan piauwkiok!"

"Aku, aku masih terpaut jauh!" kata Mo Lek tertawa. "Kau tahu siapa yang menjadi malaikat pencuri nomor satu di kolong langit ini?"

"Dialah Sam-ciu Sin-kay Kie Tie," sahut Ce In.

"Bukan! Sam-ciu Sin-kay telah orang sisihkan! Sekarang ini yang nomor satu ialah Khong Khong Jie! Dia pernah mengadu kepandaian dengan Kie Tie. Kie Tie dapat mencuri sebatang seruling kemala dari Pangeran Leng Ong, sebaliknya Khong Khong Jie dapat mencurinya dari tangan Kie Tie sendiri! Mereka bertaruh, Kie Tie kalah! Khong Khong Jie telah mengulangi pencuriannya sampai tiga kali, hingga Kie Tie takluk benar- benar, maka juga Kie Tie rela menyerahkan seruling itu, buat Khong 'Khong Jie menyerahkan pulang pada Leng Ong untuk mendapat hadiah. Sekarang ini di dalam kalangan Hek Too hampir tak ada yang tak mengetahui julukan Biauw Ciu Khong Khong!"

"Telah aku dengar nama besar dari Khong Khong Jie," kata Ce In, "Cuma aku tahu hal ilmu pedangnya. Sayang aku belum pernah bertemu dengannya."

Tiat Mo Lek mengawasi sahabatnya dan kata sambil tertawa, "Sekarang kau bakal pergi ke rumahnya ayah angkatku, ada kemungkinan kau bakal bertemu dengan Khong Khong Jie. Umpama kata kau tidak bertemu dengan Khong Khong Jie sendiri, mungkin dengan adik seperguruannya, yaitu Ceng Ceng Jie!"

Lam Ce In heran. Sebenarnya ia mau menanya, untuk minta keterangan, tetapi mereka mendadak mendengar Toan Kui Ciang menjerit, "Aduh!"

"Bagus, dia tahu merasa nyeri," kata Ce In.

Benar saja, lewat sekian lama Kui Ciang dapat membuka mata.

"Oh, saudara Lam, kau di sini?" kata orang she Toan itu. "Mana Su Toako? Di sini di mana? Apakah aku lagi bermimpi?"

Biar bagaimana, pikirannya Kui Ciang masih kacau.

"Toan Toako, kita sudah lolos dari bahaya," Ce In memberitahukan. "Kita sekarang berada di dalam wilayah Lim- tong."

Kui Ciang berpikir, lantas ia mulai ingat segala apa. Tapi ia masih berpikir terus.

Sementara itu roda kereta juga berputar tak hentinya. Setelah sadar dan merasakan nyeri, Kui Ciang pun merasai bagaimana ia terkocok pulang pergi di atas kereta itu, hingga kesadarannya pulih dengan cepat, hingga ia menjadi ketahui bahwa ia bukan lagi tidur bermimpi.

Lam Ce In memeluki sahabat itu. Ia melihat muka orang yang pucat dan matanya tak bersinar terang.

"Su Toako, kau mati bersengsara..." kemudian terdengar Kui Ijiang berkata. "Akulah yang mencelakai kau...!" Suaranya perlahan, lalu dia mengucurkan airmata.

"Toan Toako, kau mesti pelihara dirimu baik-baik," Ce In berbisik. "Kau mesti mencari balas untuk Su Toako!"

Kui Ciang terkejut. Segera berkumandang pesannya Su It  Jie, " Toan Toako, daripada aku yang hidup untuk mencari balas, lebih baik kau! Supnya kau tidak dipaksa mereka, aku akan berangkat terlebih dulu! Kau sayangilah dirimu, pergi kau menoblos keluar!"

Ia pun lantas ingat Louw-sie, isterinya It Jie, serta bayinya, yang masih berada di mulut harimau. Maka ia mengertak gigi, ia menahan keluarnya airmatanya. Seperti juga ia lagi menghadapi arwah It Jie, ia kata, "Benar, Su Toako, aku akan dengar kata-katamu!"

Terus ia kata pada Ce In, "Saudara Lam, aku bikin kau berabeh! Untukku, kau sudah menentang bahaya!"

Ia pun kata pada Tiat Mo Lek, "Mo Lek, anak baik! Kau tidak dengar pesanku tetapi aku tidak akan menegurmu...!"

Ce In dan Mo Lek berlega hati. Kui Ciang sudah sadar dan menjadi tenang.

Kemudian Kui Ciang mencoba mengerahkan tenaganya. Ia merasa seluruh tubuhnya lemah, tak ada tenaganya sedikit juga. Ia menjadi masgul sekali hingga ia menarik napas panjang.

"Kiranya aku terluka begini parah..." katanya. "Sampai kapan aku baru dapat menuntut balas...?"

"Kouwthio, legakan hati," Mo Lek menghibur. "Lo-cianpwe Hong-hu membilangi kami, setelah lewat tujuh hari, kesehatanmu bakal pulih seperti sediakala!"

Kui Ciang melengak.

"Hong-hu Siong?" katanya, mengulangi. "Apakah kau maksudkan Se-gak Sin Liong Hong-hu Siong, satu di antara Kang Ouw Cit Koay?" Walaupun dia heran, Kui Ciang menjadi tenang.

"Benar," Mo Lek menjawab. "Luka kita semua diobati oleh Hong-hu Lo-cianpwe."

"Kalau begitu, jiwaku jadi telah ditolong oleh lo-cianpwe itu?" Kui Ciang menegaskan.

"Benar," Mo Lek memberi kepastian. "Luka kouwthio mengeluarkan darah tak hentinya, luka di dalam juga parah, lantas Hong-hu Lo-cianpwe menotok membikin darah itu berhenti, lalu itu disusul dengan pertolongan mengurut serta arak obat yang diminumkan."

Kui Ciang berdiam, paras mukanya berubah. Akhirnya ia menghela napas.

"Aku tidak sangka bahwa diluar tahuku, aku telah mendapat pertolongan jiwa dari dia," katanya. "Aku telah berhutang budi, sungguh berat menerimanya..."

Mo Lek heran sekali hingga ia tercengang. Ia heran tetapi ia tidak berani menanya apa-apa. Budi toh bisa dibalas. Mudah, bukan? Toh Kui Ciang bersusah hati. Kenapa? "Apakah ada yang tak tepat, saudara Toan?" tanya Ce In. Beda dari si bocah, orang she Lam ini berani mangajukan pertanyaan.

Kui Ciang memandang penolongnya itu.

"Saudara Lam, kau telah menolong aku, aku sangat bersyukur terhadapmu," ia kata. "Tapi kita ada dari satu golongan, aku menerima budi kau, aku puas. Akan tetapi Hong- hu Siong? Aku sudah menerima budinya, aku tak tahu bagaimana nanti kelak di kemudian hari..."

Ce In dan Mo Lek heran, sampai mereka terperanjat. Hampir berbareng keduanya menanya, "Bukankah Se-gak Sin Liong juga orang dari Hiap-gie-too?"

"Saudara Ce In, kau muncul lebih belakang belasan tahun daripada aku, tak heran kau tak ketahui hal ikhwal dia itu," kata Kui Ciang, menerangkan. "Pada itu waktu, nama dia tercemar sekali."

Ce In heran hingga ia sudah lantas menanya pula, "Namanya tercemar? Menurut kau ini, bukankah ia jadi sudah pernah melakukan perbuatan-perbuatan buruk? Kenapa yang aku dengar semua hal-hal yang baik? Bahkan guruku pernah membilangi aku, meskipun sepak terjangnya Hong-hu Siong aneh sekali, dia tak kecewa menjadi orang Hiap-gie-too."

"Kalau begitu, gurumu itu, saudara Lam, dia menyembunyikan apa yang buruk dan memuji apa yang baik. Memang benar Hong-hu Siong telah melakukan perbuatan- perbuatan baik, malah itu melebihkan banyaknya perbuatan- perbuatannya yang busuk. Perbuatannya yang busuk itu dapat membikin orang menudingnya dengan rambut kepala bangun berdiri!"

Mukanya Lam Ce In menjadi pucat. Benar-benar dia heran. "Toan toako," katanya, "Apakah toako dapat menuturkan beberapa diantara perbuatan-perbuatannya Hong-hu Siong itu?"

"Baik!" menjawab Kui Ciang. "Nanti aku tuturkan perbuatannya yang buat beberapa puluh tahun telah menjadi buah bibir orang banyak. Dia pernah merampas harta tak halal dari kedua Ciat-touw-su Louw Liong dan Khouw Ciu, harta itu dipakai menolongi rakyat kurban-kurban bencana sungai Huang Hoo. Seorang diri dia telah menempur dan menyingkirkan lima jago dari Yan-tio. Dia pun telah mendamaikan kedua partai Khong Tong dan Yan San yang berselisihan hingga dengan begitu bencana Rimba Persilatan dapat dihindarkan." 

"Semua hal itu aku sudah ketahui," kata Ce In. "Coba kau lulurkan bagian-bagian yang mencemarkan namanya itu."

"Diantara itu ada beberapa yang hebat," Toan Kui Ciang kata. "Pada satu waktu ada beberapa orang pergi ke Thian San mencari teratai salju, waktu mereka itu berjalan pulang, mereka dipegat, dibegal dan dibunuh, cuma satu diantaranya yang dapat lolos. Satu waktu ia melindungi satu penjahat cabul gelar Say Cek Hong, lantaran mana dia melukai It Teng Siansu dari Siauw Lim Pay, hingga pihak Siauw Lim Pay mencarinya guna menuntut balas, tetapi ketika kemudian pihak Siauw Lim mendengar dia merampas harta untuk menolongi kurban- kurban banjir, perkaranya tidak dilarik panjang, cuma Say Cek Hong yang dicari dan disingkirkan..."

"Apakah dia pernah membunuh suami orang dan merampas isteri kurbannya itu?" tiba-tiba Mo Lek memotong.

Kui Ciang heran hingga dia mendelong mengawasi. "Kenapa kau ketahui peristiwa itu?" dia balik menanya. Lam Ce In pun terkejut, hingga dia menanya keras, "Ya, benarkah kejadian itu?"

"Peristiwa itu masih menjadi soal gelap sampai pada sekarang ini," berkata Kui Ciang. "Hanya menurut sangkaan, sembilan dalam sepuluh mungkin benar perbuatan Hong-hu Siong..."

Ce In berdiam, otaknya bekerja.

"Sebenarnya, bagaimanakan duduknya itu," ia tanya. Kui Ciang suka menceritakan.

"Itulah peristiwa pada dua puluh tahun yangbaru lalu," kata ia. "Ketika itu ada sepasang yu-hiap atau jago pengembara muda. Yang pria bernama He Seng To dan yang wanita Leng Soat Bwe. Telah banyak perbuatan gagah dan mulia yang mereka itu lakukan. Setelah bersatu tujuan, mereka juga bersatu hati, demikian sesudah mengikat tali pertunangan, mereka lantas menikah. Bukan main ramainya perayaan nikah mereka itu. Orang-orang Kang Ouw, kenal atau tidak, berduyun-duyun datang untuk menghadiri, guna memberi selamat. Siapa tak kagum menyaksikan sepasang sejoli itu sama gagah, sama mulia hatinya? Aku menjadi sahabatnya kedua mempelai, aku pun menjadi salah satu tetamu mereka. Diluar dugaan siapa juga, justeru di malam pernikahannya, sepasang pengantin itu menemui kenaasan mereka... Aku masih ingat benar peristiwa itu. Bersama banyak yang lain, kita bergurau di kamar pengantin, habis itu kami berkumpul pula melanjuti menenggak air kata-kata, hingga semua menjadi separuh sinting. Justeru itu dari kamar pengantin terdengar jeritan keras, hebat dan menyayatkan! Segera aku sadar dari sintingku, lupa pada adat istiadat, aku memburu ke dalam, masuk terus ke dalam kamar. Tiba di dalam, aku tercengang! Mempelai laki-laki roboh di lantai dan mempelai wanita lenyap!

Dengan lantas aku mengasih bangun pada He Seng To. Dia telah terluka sangat berat hingga dia tak dapat bicara: Dengan menaruh mulutku di telinganya, aku tanya dia berulang-ulang, 'Siapa si penjahat? Siapa si penjahat?' Dia masih mengenali aku sebagai sahabatnya, dia mengawasi aku, dia suka menjawab. Dengan tangan gemetar, dengan jeriji telunjuknya, dia mencelup ke darahnya, lantas dia menulis di lantai. Dia mencoret-coret beberapa kali, tulisannya tak keruan. Sayang sebelum ia menulis habis, napasnya sudah berhenti berjalan. Ah, sinar matanya! Tak dapat aku lupakan itu! Dia seperti minta tolong aku membalaskan sakit hatinya itu...! Aku perhatikan tulisannya itu. Huruf pertama 'Hong'. Huruf kedua baru saja dua coretan yang mirip huruf 'Sip' - 'Sepuluh'. Aku katakan mirip sebab tulisannya miring dan panjangnya tak berjauhan. Di dalam dunia ini tidak ada orang she Hong, sebab 'Hong' itu adalah 'Hong' yang berarti 'Raja'. Sebelum aku mengutarakan dugaanku, lantas ada orang yang berseru, 'Si pembunuh pastilah Hong-hu Siong!'"

"Kalau orang hanya mengandal tulisan tak lengkap itu, itu belum dapat dipastikan," kata Ce In. "Itulah bukti yang tak sempurna."

"Benar," Kui Ciang bilang. "Ada beberapa orang yang berpendapat sama seperti kau, saudara Lam. Banyak yang ragu-ragu. Ada pula yang menyangka mungkin si penjahat pesuruhnya Raja. Ketika itu diketahui He Seng To bermusuh dengan Kong-sun Tam, salah seorang Wiesu dari istana. Mungkin si pembunuh ialah Wiesu she Kong-sun itu."

"Dugaan itu beralasan juga sedikit," kata Mo Lek.

"Tak beralasan sama sekali!" tiba-tiba kata Kui Ciang  nyaring.

Tiat Mo Lek melengak, Lam Ce In berdiam. Keduanya heran. "Dua-dua she Kong-sun dan Hong-hu adalah rangkap," Toan Kui Ciang menjelaskan. "Untuk penulisannya, huruf 'Kong' dari Kong-sun jauh lebih sederhana daripada huruf 'Hong' dari Hong-hu. Sekarang cobalah pikir! Ketika itu He Seng To lagi mendekati kematiannya, kenapa dia bukannya menulis huruf 'Kong' hanya huruf 'Hong' yang terlebih sukar, yang lebih banyak coretannya itu? Jikalau benar si penjahat ialah Kong- sun Tam, cukup dia menulis satu huruf 'Kong' dan lantas orang mengerti. Pula tak usahlah dia memutar jalan, bukannya menunjuk 'Kong-sun' hanya orangnya kaisar - 'Hongte'. Lainnya hal lagi, ilmu silat He Seng To dan I.cng Soat Bwe lebih liehay daripada ilmu silatnya Kong-sun Tam. Jadi tidaklah mungkin Kong-sun Tam dapat membinasakan He Seng To dan lalu merampas Leng Soat Bwe. Jadinya orang membelai Hong-hu Siong cuma disebabkan orang menyayangi nama baiknya sebagai orang gagah, untuk menolong membebaskannya dari tuduhan."

Mo Lek tunduk. Dia sependapat dengan "orang" yang disebutkan Kui Ciang itu.

Lam Ce In terus heran dan bersangsi. Ia ragu-ragu sangat. "Menurut  bicaranya  Toan  Toako  ini,  perbuatan-perbuatan

baik dan mulia dari Hong-hu Siong jauh terlebih banyak daripada perbuatan-perbuatannya yang buruk," ia berpikir. "Satu hal saja, yaitu menolong rakyat dari bencana alam, sudah suatu jasa yang besar. Hanya benar juga, perbuatan buruknya dapat membuat rambut orang bangun berdiri... Itulah dua macam perbuatan yang sangat bertentangan satu dengan lain. Menurut pantas, tak layaknya itu dilakukan oleh satu orang. Masih ada satu hal lain lagi. Guruku menjadi seorang yang sangat dapat membedakan perbuatan baik, daripada perbuatan jahat, jikalau kelakuannya Hong-hu Siong benar demikian buruk, mustahil guruku tak menuturkannya kepadaku? Mustahil karena menyembunyikan perbuatan buruk itu, guruku tak menyebutnya sama sekali? Bukankah heran, sebaliknya daripada membenci, guruku justeru mengikat persahabatan dengan Hong-hu Siong?"

Toan Kui Ciang melihat orang berdiam saja dan agak bersangsi, ia dapat menerka hati sahabat ini. Ia hanya berdiam sebentar, lantas ia menyambungi keterangannya.

"Peristiwa terjadi pada dua puluh tahun yang sudah lampau," kata ia. "Setelah peristiwa itu, jarang sekali Hong-hu Siong muncul di muka umum, dan kapan orang mendengar pula tentangnya, semua dari * perbuatan-perbuatanhya yang mulia dan baik, benar ada satu atau dua yang buruk, tetapi itu bukanlah kejahatan besar. Itulah sebabnya mengapa aku menjadi berlaku ayal-ayalan mewujudkan pembalasanku untuk sahabatku itu. Hanya dapat aku terangkan, apabila aku berhasil memperoleh keterangan yang benar, tetap aku akan membuat perhitungan dengannya!"

"Didalam itu hal telah ada satu orang yang hendak membuat perhitungan dengannya," kata Mo Lek.

Kui Ciang heran hingga matanya menjadi terbuka lebar. "Siapa?" dia tanya, cepat.

"Dialah seorang nona umur lebih kurang dua puluh tahun," Mo Lek menjawab. "Dia menyebut dirinya He Leng Song. Nona itu kata kau mungkin ketahui tentangnya."

Kui Ciang menjadi sangat ketarik hati.

"Bagaimana romannya nona itu?" dia tanya, bernapsu. "Dimanakah dia bertemu dengan Hong-hu Siong? Di manakah hal ini kau dengarnya, ataukah kau mengetahuinya sendiri?" "Aku melihat dan mendengarnya sendiri," sahut Mo Lek. "Tempatnya ialah di dalam kuil tadi."

Lantas pemuda ini memberikan penjelasannya, kemudian ia mempetakan potongan tubuh serta romannya nona He Leng Song itu.

Sampai disitu, Lam Ce In turut bicara. Ia kata perlahan, "Aku tidak tahu bahwa urusan ini menyangkut urusannya He Tayhiap. Hanya, oleh karena Hong-hu Siong telah menolong jiwa kita bertiga, maka selama urusan belum menjadi terang benar-benar, ingin aku menghadang dahulu di depannya nona itu. Toan Toako, adakah kau menyesali sikapku ini?"

Toan Kui Ciang menggeleng-geleng kepala. Ia berdiam.

"He Leng Song... He Leng Song..." katanya kemudian, perlahan dan berulang-ulang. Parasnya pun menandakan ia sangat ragu-ragu.

Sebenarnya di saat itu, pada benak kepalanya telah berbayang wajahnya seorang wanita lain, ialah Leng Soat Bwe. Gambaran He Leng Song dari Mo Lek justeru gambaran Leng Soat Bwe itu...

Di antara Kui Ciang dan Soat Bwe ada terbenam satu kisah asmara. Mereka berdua bersahabat erat jauh sebelumnya Soat Bwe bersahabat dengan He Seng To. Hanya selagi Kui Ciang sangat mengagumi nona itu dan menaruh cinta terhadapnya, si nona sendiri masih mengambang perasaannya.

Belakangan muncullah He Seng To, lantas Soat Bwe menyintai orang she He itu, hingga kejadian dia lebih banyak berada berduaan dengan Seng To daripada dengan Kui Ciang. Tak lama maka Kui Ciang menginsafi keadaan, ialah ia ketahui si nona mencintai Seng To.  Ia satu laki-laki sejati, ia jujur dan terhormat, tak sudi ia menjadi penghalang. Ia pun tak membenci atau bersakit hati. Buat guna si nona sendiri, untuk kebaikan Seng To, ia suka mengalah, bahkan Seng To ia anggap sebagai sahabat kekal, seperti saudara sendiri. Itulah untuk membahagiakan Soat Bwe!

Ketika kemudian terjadi He Seng To terbinasa secara hebat dan menyedihkan itu, dan Leng Soat Bwe lenyap tidak keruan paran, Kui Ciang berduka bukan main. Karena itu, sesudah lewat sepuluh tahun, baru ia menikah dengan Touw Sian Nio.

Ia menyintai isterinya ini, tetapi terhadap Soat Bwe, cintanya tetap melekat, tak dapat ia melupai Nona Leng itu. Maka itu mendengar gambarannya Mo Lek tentang Leng Song, ia lantas ingat bekas kekasihnya itu.

Maka juga ia menjadi seperti orang linglung

Ia ingat syairnya yang ia pernah tulis untuk Soat Bwe, bunyinya,

Soat leng bwe hoa y om, leng song tok cu kay

artinya,

Salju dingin, bunga bwe indah permai, es membeku, buyar sendirinya

"Bukankah He Leng Song itu puterinya Leng Soat Bwe?" demikian ia berpikir, menerka-nerka. "Soat Bwe tentu masih ingat baik sekali syairku itu maka ia memberikan nama Leng Song kepada puterinya ini. Tapi He Seng To sudah meninggal dunia, darimana datangnya ini bocah she He?"

Bingung Kui Ciang, maka juga ia jadi berpikir keras dan seperti linglung itu, ada juga rasa girangnya. Pikirnya pula, "Jikalah He Leng Song benar anaknya Soat Bwe, bukankah Soat Bwe masih ada di dalam dunia ini?" "Kouwthio," "berkata Mo Lek, yang seperti memecah kesunyian, "Hong-hu Siong telah memberikan sebuah cincin kepadamu. Itulah cincin yang sekarang berada pada jari tanganmu."

Kui Ciang heran, ia seperti orang baru sadar dari mimpinya. Sebelum menjawab si bocah, ia berpikir pula, "Soat Bwe menitahkan nona' ini pergi membalaskan sakit hati, terang sudah bahwa Hong-hu Siong ialah pembunuh suaminya dahulu hari itu. Hanya si nona benar anaknya atau bukan, tak dapat aku tak memperhatikannya..."

Lalu ia dibuatnya sukar. Soal yang baru telah muncul. Hong- hu Siong baru saja menolong jiwanya. Tak ada manusia gagah dan-terhormat yang membunuh tuan penolongnya...

Kui Ciang mengusut-usut cincin di jari tangannya itu. "Apakah Hong-hu Siong ada meninggalkan kata apa-apa?" ia

tanya Mo Lek.

"Dia seperti juga telah mendapat tahu di muka bahwa kouwthio bakal tak sudi menerima pertolongannya itu," menyahut Mo Lek, "Maka dia cuma minta satu hal dari kau. Katanya dengan begitu kau dan dia sama-sama tak ruginya, tak saling berhutang budi...

"Apakah permintaannya itu?" tanya Kui Ciang, mendesak. "Permintaannya itu ialah," kata Mo Lek, "Kalau kelak di

belakang hari kau bertemu seorang yang memakai cincin yang serupa dipakai kau sekarang, sukalah kau berlaku murah hati terhadapnya."

Mendengar itu, Kui Ciang bernapas lega.

"Oh, dia tidak meminta apa-apa untuk dirinya sendiri," katanya sabar. "Baik, dapat aku melakukan itu. Biarlah nanti, setelah aku berhasil menuntut balas untuk Su Toako, baru aku pergi cari Hong-hu Siong. Umpama kata dia dapat membunuh aku, maka sudah tidak ada soal apa-apa lagi, tetapi apabila akulah yang berhasil membunuh dia, habis itu aku akan membunuh diriku sendiri, supaya dengan begitu bereslah sudah budi dan sakit hati di antara kita!"

Mo Lek dan Ce in terkejut, mereka tercengang. Sungguh hebat orang she Toan ini. Dia benarlah laki-laki sejati! Tapi karena mereka kenal baik tabiat Kui Ciang, terutama sekarang pikiran orang gagah ini lagi tegang, mereka berdiam saja, tak mau mereka memberi nasehat atau membujuki.

"Mana nona itu?" kemudian Kui Ciang tanya lagi.

"Dia sudah pergi," sahut Mo Lek. "Dia tidak membilang kita ke mana dia mau pergi. Menurut dugaanku, mungkin dia pergi mencari An LokSan..."

Kui Ciang kaget sekali.

"Kau...! Kau bagaimana tahu dia pergi mencari An Lok San?" tanyanya, bingung dan bergelisah. "Dia... dia pergi cari An Lok San untuk apakah?"

"Aku tak tahu tetapi aku menduga saja," sahut Mo Lek. "Dia tanya n ku perihal sahabatmu she Su itu, tentang isteri dan anaknya sahabatmu itu. Aku bilangi dia halnya si orang she Su sudah dicelakai An Lok San dan hahwa isteri dan anaknya belum berhasil ditolongi. Mendengar jawabanku itu, dia sangat tergerak hatinya. Sebenarnya dia telah bersumpah hendak membunuh Hong-hu Siong, Lam Tayhiap telah mencegahnya, dia masih tidak mau mengerti, akan tetapi setelah mendengar keteranganku itu, dia seperti lantas berpikir lain - rupanya dia terpengaruh urusan yang terlebih penting. Dia pergi dengan lantas! Maka itu aku menyangka dia hendak menolongi Nyonya Su dan anaknya itu." Kembali Kui Ciang kaget.

"Bagaimana ini?" dia berseru dalam bingungnya. "Mana dapat dia dibiarkan seorang diri memasuki sarang harimau dan kedung naga?" ??

Mo Lek turut menjadi bingung.

"Ini cuma pikiranku, inilah belum pasti..." katanya perlahan. "Ilmu pedang nona itu liehay sekali. Lam Tayhiap menempur dia dengan memakai golok mustika, selama beberapa puluh jurus, keduanya sama unggulnya. Maka itu umpama kata dia tidak berhasil menolongi Nyonya Su itu serta anaknya, aku percaya dia sendiri akan dapat meloloskan dirinya."

"Nona itu suka menunda membunuh Hong-hu Siong sebagian disebabkan dia mendapat tahu Hong-hu Siong sudah menolongi kau," Lam Ce- In turut bicara. "Dia rupanya masih menyangsikan orang jahat atau orang baik - dia masih belum jelas benar akan duduknya hal. Saudara Toan, yang paling perlu sekarang ini ialah perawatan dirimu, jikalau kau menguatirkan nona itu, baiklah, mari aku antar dulu kau sampai di perbatasan wilayah pengaruh Touw Ke Ce, setelah itu aku segera pergi menyusul dia!"

---ooo0dw0ooo---
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar