Kisah Bangsa Petualang Jilid 02

 
Jilid 02

Ia mengeluarkan sebuah thie-lian cie dari tangan bajunya. mengembalikan kepada Kui Ciang, kepada si bocah ia terus berkata : “Bukankah kau telah mempelajari mendengar suara senjata rahasia ? Dari suaranya saja kau sudah mesti tahu senjata itu dilempar-kan dengan tenaga berapa besar, maka itu kau harus mengimbangi suara itu. Kalau kau sanggup kau sambutlah dengan ujung baju, kalau tidak, kau mesti berkelit !”

“Terima kasih, sha-cek!” kata si anak muda, yang memanggil sha-cek, paman yang nomor tiga, “Nasihat ini hanya benar separuhnya,”

Pikir  Kui  Ciang. “Kalau orang  bertemu ahli yang pandai, suara anginnya tak dapat diandalkan lagi . . . ” ia melirik si  anak rruda yang jari tangannya hitam. Cepat-cepat  ia mengeluarkan obatnya dan kata nya : “Tanpa pengalaman tanpa  pengetahuan! untuk  anak  muda,  tambah pengalaman tambah bagus! tapi   aku sendiri, semasa aku berusia sebaya  dengannya,  aku tak sepandai dia! Apakah tanganmu sakit? sambil dipakaikan obat ini kau akan cepat sembuh!”

Kata kata yang terakhir ini ditujukan kepada si anak muda. Tapi dia menolak tangan yang berikutnya untuk diberi obat, sambil berkata dingin : „Tak usah! luka ini tak menghancurkan tulang, nyeri sedikit tak apa! kalau mesti memakai obat dapatkah orang disebut enghiong.”

Touw Leng Hu menyaksikan itu, dia tertawa dan berkata : “Sudah, moayhu, jangan layani dia! Dia mau jadi enghiong, maka tak apa dia tersiksa terasa nyeri sedikit !”

”Ha, anak yang bertabiat keras!” pikir Kui Ciang. ”Mungkinkah dia tak senang terhadapku?” ia menyenangi anak ini walaupun sikapnya sargat dingin, tiba-tiba ia ingat sesuatu, maka ia berkata pula dalam hatinya; ”Mungkinkah dia ini bocah yang tadi menolong anak-anak dari injakan daki kuda?” ia hendak menanyakan Leng Hu, atau iparnya itu sudah mendahului bertanya; “Eh, mana adikku? . . , , .

Belum suara itu berhenti, belum sempat Kui  Giang menjawab dari atas genting sudah terdengar tertawa geli dan halus, disusul dengan lompat turunnya sesosok tubuh, yang langsung berkata; “Shako, angin apa yang meniup kau datang kesini?”

Dan Touw Sian Nio muncul diantara mereka, Nyonya Kui Ciang juga mendengar suara datangnya tetamu malam karena ia tahu, pasti suaminya sudah berjaga-jaga, ia keluar dari belakang, untuk merondai rumahnya, setelah melihat dan merasa yakin tidak ada mu suh, baru ia kembali, kebenaran ia mendengar suara kakaknya yang ia kenal itu, ia langsung menyahut dan memberi hormat.

“0h, Liok-moay, kau tak melupakan kebiasaanmu kaum rimba hijau. kata sang kakak tertawa juga. Eh. mengapa mukamu pucat? Apakah kau sakit?”

Sian Nio tertawa tanpa menjawab. Kui Ciang tertawa dan menjawab; ”Dia bukannya sakit hanya tadi malam dia melahirkan seorang bayi laki-laki!” “Kionghie! Kionghie!” kata Leng Hu girang. “Oh, sayang aku si shaku, aku tidak membawa apa-apa untuk hadiah!”

Si anak muda langsung memberi hormat kepada nyonya, Sian Nio heran, orang memanggil kouwthio kepada suaminya.

”Keponakan yang mana ini?” tanyanya, ”aku tidak mengenalnya?” ‘

”Apakah adikku masih ingat Tiat Cee-cu dari Yan san?” Leng hu balik menanya,

”Oh,” kata Sian Nio. ”Jadi dialah keponakan yang nama kecilnya di panggil Mo lek? aku ingat sekarang diharian aku menikah dencan Kui Ciang Tia, ceecu datang kepesta dengan membawa putranya ini!”

”Memang dialah bocah ini!” kata leng hu.

”Ah sungguh cepat sekali hari berlalu” kata Sian Nio ”tanpa terasa belasan tahun sudah berlalu. Dia telah menjadi seorang enghiong!”

”Apakah Tiat Ceecu baik?”

Ditanya begitu, mata si anak muda menjadi merah. “Tiat Ceecu menutup mata dua tahun sepeninggalnya kamu” kata Leng Hu memberitahu ”Anak ini langsung dipungut anak oleh Toako. Dia berotak cerdas sekali, dalam belajar silat dia mengungguli anak-anak yang lain Itulah sebabnya aku membawa dia. Mo lek, apakah kau ingin belajar ilmu jarum rahasia Bwee hoa ciam? nah lain kali kau  belajar pada bibimu!”

Mo lek ini puterannya Tiat Ceecu, yang bernama Kun Lun. orang suku Ouw. Dijaman Tong itu, diwilayah utara orang Han tinggal bersama dengan orang Ouw, isterinya Tiat Kun Lun ialah gadisnya Hong Kui Siang, seorang jago dari kota Hoan yang. Keluarga Hong ada hubungannya dengan keluarga Touw. Tiat Kun Kun pandai, dia bergaul erat dengan Touw maka setelah meninggal, Mo lek diserahkan pada kakaknya Leng Hu.

Kemudian Sian Nio bertanya kepada kakaknya ; „shako, kenapa bajumu ada darahnya? apakah dijalan kau telah melukai atau membunuh orang ?”‘

“Aku pernah membunuh banyak orang kali ini hampir aku dibunuh orang” sahutnya.

Nyonya Toan heran, “shako bertemu dengan musuh yang tangguh? Apa yang terjadi dirumah kita?”

“Baru hari ini aku sampai disini,” kata Leng Hu, sebenarnya aku ingin minta bantuan bantuan kamu dalam urusan dua urusan ini !”

”Silakan tuturkan,” kata Kui Ciang, singkat. la mendahului isterinya.

“Pertama-tama aku mau minta moayhu memberi obat padaku,” kata ipar yang nomor tiga itu? ”Sebenarnya aku sangat malu, Inilah yang pertama kali aku mengalami kekalahan dan terluka juga!”,

Kui Ciang heran. “Dia agaknya terluka sedikit. kerapa dia sampai minta obat padaku ?” pikirnya.

Tengah ia berpikir itu tiba-tiba ia mendengar suara cita sobek. Itulah Touw Leng Hu, yang tanpa menanti membuka bajunya, sudah sobek itu, untuk memberi lihat dadanya dimana ada sebuah titik merah sebesar tusukan jarum. Dia pun langsung berkata „Kau lah ahli, kau tentu kenal ini!”

Kui Ciang kaget, mukanya pucat. „Inilah jarum Pee bie ciam

!” serunya. “Apakah shaku dengan keluarga Tong dari Kiam-lam bermusuhan ?” Jarum Pee-bie ciam itu jarum alis putih lihay sekali. Siapa terlukakan itu dan racunnya masuk ke jantung. akan tewaslah jiwa-nya Leng Hu terluka di dada dekat dengan jantungnya, maka itu dia terancam bahaya maut.

„Orang yang rnelukai ini belum aku tahu hal ikhwalnya,’ kata jago she Touw itu,” meski demikian aku merasa pasti dia bukanlah orang keluarga Tong.”

“Apakah shako kena dibokong tanya Sian Nio”

“Bukan !“ sahut kakak itu. “Kami berdiri depan berdepan, kami bertempur secara laki-laki, rneski benar dia telah menggunai senjara rahasia yang beracun ini, tak dapat aku membilang apa-apa.’

Jikalau Tong itu kesohor sebagai ahli senjata rahasia tetapi dalam ilmu silat mereka bukanlah lawan keluarga Touw kalau mereka hendak mengalahkan Leng hu, mereka mesti main curang. Sekarang kejadiannya tidak demikian.

“Orang itu dapat melukai dengan senjata rahasia, kenapa dia masih melukai juga sedikit dengan pedang?” ia heran tapi ia tidak mau menanya. sebab Leng Ho sendiri membungkam. Maka ia kata : “Obatku. Leng ce Kie Tok Wan bukan obat tepat untuk luka senjara rahasia tetapi dengan dibantu tenaga dalam shaku, aku rasa cukup dengan sebutir luku shaku akan sembuh.“

Ketika dulu hari kakeknya Kui Ciang berperang ke Barat disana dia mendapatkan pohon obat Leng cie dan ribuan tahun, maka pohon obat itu diambil dan dijadikan bahan obat menyembuh racun, biasanya cocok untuk pelbagai macam keracunan, maka juga Leng Hu memintarnya.

Sian Nio lantas pergi ke dalam, akan mengambi obatnya, sembari kaluar pula ia tertawa dan kata: “Anak kita tidur nyenyak sekali, aku dapat tempo urtuk menemani kamu bicara shako apa itu hal yang kedua?’

Leng Hu mengawasi tajam, romannya sungguh sungguh. “Adikku, aku tak tahu kau masih ingat persaudaraan kita atau tidak ?“ tanyanya sebelum dia menjawab.

“Hebat pertanyaan kau ini shako! ‘kata si nyonya. “Kita bersaudara kandung mengapa aku tidak ingat“.

“Jikalau kau masih ingat kita bersaudara” kata Leng Hu, masih berharap aku minta kau bersarna moyhu pulang ke rumah kita, untuk kamu menolongi jiwa kami!‘.

Leng Hu kenal balk sifat Kui Ciang sebagai turunan Jenderal, Ia tidak mau bergaul dengan keluarga orang jahat, karena ini dia tidak mau bicara langsung hanya secara tidak langsung kepada adiknya.

Kakak itu mengawasi adik perempuannya, dan Sian Nio mengawasi suaminya. Adik ini bersangsi sekali.

”Shako, baiklah kau bicara dulu biar jelas, “kata kemudian. “Apakah yang telah terjadi ?”

Tauw Leng Hu tetap memandang adik-nya. ”Orang keluarga Ong di Peng Yang belum lama ini sudah bentrok dengan keluarga kita, dia berkata, ‘ Kita bertempur hebat tetapi, sungguh malu. beberapa kakakmu yang tidak punya guna telah kena dikalahkan mereka “.

Keluarga Ong itu sama dengan Keluarga Touw. Mereka turunan Ong Sie Tong. Setelah Ong Sie Tong ditumpas Lie Sie Bin anak cucunya seperti anak cucunya Touw Kian Tek semua hidup sebagai orang orang jahat. Kedua keluarga pun bermusuh, tidak heran kalau mereka bermusuh turun temurun sering mereka bentrok.’ berterang’ atau bergelap. Hanya kali ini, heran Sian Nio mendengar perkataan kakaknya ini. Sampai kepada turunan mereka ini. Keluarga Ong itu kalah dari pada keluarga Touw Lima saudara laki-laki keluarga Touw gagah semuanya, murid mereka pun berjumlah puluhan, semua tersohor dalam Rimba Hijau, keluarga Ong terdiri cuma dari satu orang, Yaitu Ong Pek Thong. Dia ini gagah tapi dia kalah dibanding dengan lima saudara Touw, jangan kata dikepung berlima satu awan satu juga dia masih tak nempil, Ong Pek Thong mempunyai dua anak, satu pria dan satu wanita dan murid muridnya juga lebih sedikit maka itu setiap mereka bentrok pihaknya yang tentu kalah. Maka akhirnya, pihak Ong selalu mengalah kalau bersamprokan, mereka menyingkir lebih dulu. Inilah sebab yang mengherankan Sian Nio.

“Kau tidak tahu Liok moay, “ kata Leng Hu yang bisa membadi keragu-raguan adiknya itu “Sekarang ini dunia Jalan Hitam beda dari pada dulu, sekarang jamannya anak muda dan kita kaum tua, kita kena tertindih mereka.”

Sejak ia turut suaminya Sian Nio sudah mengundurkan diri, maka itu ia asing dengan perubahan jaman. Tapi mengenai keluarganya, ia ingat baik sekali, ia tetapi memperhatikannya.

”Apakah Ong Pek Thoang telah mengundang bantuan orang liehay ? Siapakah pembantunya itu? Apakah kakak yang lainnya pun pada terluka ?”

“Benar Ong Pek Thong mengundang orang liehay, ialah Ceng Ceng Jie.”

”Ceng Ceng Jie ?” mengulangi si nyonya. „Aku belum pernah mendengarnya ”

“Kita tinggal bersembunyi di dusun ini sudah belasan tahun, pantas kita menjadi si tuli !” kata Kui Ciang, bersenyum.

“Selama uang belakangan ini dalam dunia Kang Ouw telah muncul dua orang yang liehay sekali,” Touw Leng Hu menerangkan pula. „Mereka masih sangat muda, barangkali usianya belum dua puluh tahun. Ceng Ceng Jie satu diantaranya Yang lainnya ialah Khong Khong Jie. Kami belum pernah melihat Khong Khong Jie tapi dia kabarnya lebih liehay daripeda Ceng Ceng Jie, katanya liehay luar biasa !”

Alisnya Sian Nio berbangkit. ”Liehay luar biasa bagaimana ?” tanya dia. “Bicara dari hal Ceng Ceng Jie saja, benarkah dia dapat mengalahkan kakak berlima ?”

Sian Nio nampak halus tapi sebenarnya tabiatnya keras. Leng Hu kenal tabiat adiknya ini, ingin dia membangkitkan kemarahannya. Maka dia menghela napas dan kata dengan lesu : “Sudahlah, buat apa disebut-sebut pula. Kali ini keluarga kita roboh benar-benar. Toako terlukakan, dan Sie-tee juga terkena sebatang jarum Pee bie ciam….”

Toako itu, sang kakak sulung, Leng Ciok namanya, menjadi pemimpin Rimba Hijau di wilayah Utara, ilmu silatnya liehay sekali, sampai Kui Ciang pun mengaguminya. Sekarang ia mendengar Toako itu, ipar pertama, mendapat luka juga, ia terkejut. Dari tak ada perhatiannya, ia menjadi ketarik hati.

„Pada suatu hari Ong Pek Thong dagang dengan membawa Ceng  Ceng  Jie,”  kata  Leng  Hu,  meneruskan keterangannya.

„Ceng Ceng Jie itu kurus kering mirip seekor kunyuk, kami tak memandang mata padanya. Tapi dia justeru menantang kami berlima melayani dia seorang diri. Tentu sekali kami tidak mau meruntuhkan nama kami. maka itu. kami mengajukan dulu Jieko. Baru beberapa jurus, sudah terkurung sinar pedangnya. Soetee dan Ngo tee melihat gelagat buruk terpaksa mereka maju membantui. Nyatanya mereka bertiga kena terdesak mundur. Oleh karena terpaksa, aku maju bersama Toako. Toako menggunakan tamengnya, Thian Su Sin-pay, ia tidak takut senjata tajam, ia maju di depan, kami berempat dikiri dan kanan. Hebat kami bertempur. Dalam setengah jam dapat kami mengurung dia. Tepat dia terkurung, dia mengeluarkan jarum rahasianya itu Pee bie ciam . . . !

Kui Ciang berpikir : „Kamu mengeroyok orang, pantas orang menggunakan senjata rahasianya.”

”Jikalau dia ialah orang lain, jarumnya itu pasti tidak dapat berbuat apa apa atas diri kami ” Leng Hu melanjutkan, „Dia benar benar liehay. Di samping pedangnya yang liehay itu, dia menggunai senjata rahasianya itu kami dijadapi kesulitan Kalau kami menyingkir dari pedang sukar kami menghindari jarum rahasia. Begitu juga sebaliknya. Akhirnya terpaksa kami bersedia terkena jarum daripada tertikam atau terbabat pedansr Syukur toako liehay dengan tamengnya, Jieko dan ngo tee dapat membela dirinya. Aku ber sama sietee ayal sedikit, lantas kita terkena jarum aku di dada, sie tee di kaki. Toako berkelahi terus, celaka ia terpapas kutung dua jeriji tangan kirinya. Di saat kalap, kamipun dapat mengguratkan pedang kami dua kali padanya. Sampai di situ berhentilah pertempuran itu.”

Sian Nio menghela napas lega. „Masih beruntung, itulah bukan roboh runtuh!” katanya.

”Ceng Ceng Jie terluka. cuma di kulit.” kata Leng Hu. “Kami terluka parah. Bukankah itu berarti keruntuhan?”

”Bagaimana dengan lukanya sieko?” Adik perempuannya memberati kakaknya yang ke empat. Kalau kakak tuanya, terkutung dua jerijinya, tidak seberapa, „Syukur sie-tee terluka bukan ditempat yang berbahaya,” kata Leng Hu, „Racun jarum tak nanti menyerang cepat, ke jantung, Sedikitnya sietee dapat bertahan satu bulan.”

Meski begitu sampai itu waktu dua puluh hari sudah lewat.

Kui Ciang pikir, kalau begitu Ceng Ceng Jie benar lihay sekali. Touw Leng Hu berkata pula; ”Liok moay kau anggauta keluarga Touw, kau ketahui baik sifat kami. Belum pernah minta bantuan pihak luar. Tapi kau termasuk Keluarga Touw, maka itu tak terhina kalau aku minta bantuan kamu!”

Sian Nio tetap bersangsi, ia mengawasi suaminya, tak berani ia lancang membuka mulutnya.

Leng Hu melihat keadaan itu. ia berkata pula: „Turut penglihatanku, di jaman ini cuma ilmu pedang moayhu yang dapat melayani Ceng Ceng Jie. Mengenai kau Liok moay, toako semua mengharapi jarum rahasiamu. Kau telah mewariskan sempurna kepandaian ayah, ilmu pedang dan senjata rahasia. Toako minta aku menyambut kau suoaya selagi moayhu melayani musuh kau hajar dia dengan Bwee hoa ciam. Dengan begitu barulah kita mempunyai harapan dapat  kemenangan dan nana baik Keluarga Touw dapat dilindungi. Maka juga kami sangat mengandal kepada kamu berdua suami isteri! ‘

Sian Nio tetap diam, ia tidak berani mengambil putusan. Ia terus mengawasi suaminya Kui Ciang nampak kurang puas.

„Shako.” ia berkata,adikmu baru saja habis bersalin…, Juga Ceng Ceng Jie dia maui merawat lukanya dulu,” kata Leng Hu.

„Sebelum sembuh tidak nanti dia berani datang menantang. Lagi pula adikku tidak ber tempur langsung, dia menanti dipinggiran untuk melepaskan jarum rahasianya, Aku rasa habis sebulan baru kita dapat bertempur pula.”

„Toan Long. kau pikir bagaimana akhirnya Sian Nio tanya suaminya. Inilah menandakan lagi ia sudah tidak ada soal lagi tinggal putusan sisuami.

„Rumah tangga kau mempunyai urusan, kau hendak pulang, aku tidak dapat menghalang-halangi” sahut Kui Ciang. ”Ilmu si- latku sudah banyak tahun tak dilatih pula, maka itu aku merasa tak dapat aku melawan Ceng Ceng Jie yang demikian lihay.” Mukanya Leng Hu menjadi pucat. Tak puas dia. “Jikalau kau tidak suka pergi, bilanglah terus terang!” katanya keras „Kaulah bangsa enghiong, bangsa hiap kek, kau tidak sudi mengaku, kami sebagai sanak, meka juga keluarga Touw tak demikian tebal mukanya berani minta banuanmu!”

„Shako, tak tepat kau bicara begini.” kata Kui Ciang, „Aku ingin bicara kau sudi mendengar atau tidak terserah padamu.”

„Bicaralah !”

”Ingin aku memberi nasihat supaya kamu menggunai ini ketika yang baik untuk mencuci tangan, buat mengundurkan diri,” kata Kui Ciang, terus terang.

„Bukankah Ong Pek Thong itu cuma memperebuti nama kosong sebagai jago Rimba Hijau? jikalau ke tempat yang sepi, apakah dia dan Ceng Ceng Jie masih akan mencarinya buat membikin habis Keluarga Tauw?”

“Nasihat yang berharga’!’ kata Leng Hu. mengejek. „Kau bukan anggauta Keluarga Touw. Tetapi kau menikah putrinya, keluarga itu kau tentunya ketahui ajaran Keluarga kami! Kami lebih suka binasa daripada terhina! Sudah seratus tahun lebih, tak pernah ada orang yang menghina kami! Tak dapat kami! mengelepoti kepala kami! Taruh kata kami hendak mencuci tangan? itu mesti terjadi sehabis kami membalas dulu sakit hati in!”

„Bicara dari hal pembalasan rasanya kamu lebih banyak, rasanya kamu lebih banyak berhutang jiwa orang,” kata Kui Ciang, sungguh-sungguh. „Orang Rimba Hijau hidup diatas golok, maka itu bagi mereka terkalahkan atau terbinasakan adalah soal tak dapat dihindarkan. Jikalau kamu terus main balas-membaias tak lapisnya, seteleh Ceng Ceng Jie terbunuh, siapa berani jamin tak nanti muncul Ceng Ceng  Jie  yang  kedua ?” Kui Ciang tidak pandai bicara, hebat kata katanya ini, sedang itu waktu, Leng Hu lagi panas hatinya Sian Niopun serba salah. Ia kenal sifat suaminya itu hingga tak berani ia membantui adiknya meskipun ia telah memikirkannya.

Touw Leng Hu mengibas tangannya, ia kata dengan kemendongkolan yang ditahan : ”Anggap saja aku datang ke pintu yang salah ! Aku membikin kehilangan muka sendiri ! Nah, aku meminta diri!”

“Shako!” Sian Nio berkata, “Shako. Kau duduk dulu! mari kita bicara baik-baik!”

Tapi Kui Ciang berkata : “Shako telah berkeputusan untuk menuntut balas ! sesuatu orang ada cita-citanya sendiri, tidak berani aku mencegah atau mengasi pikiran lagi. Ini dua butir obat Leng cie Kie Tok Wan harap kau bawa pulang untuk sieku.”

Leng Hu sudah berbangkit. “Tak usah!” dia kata “Taruh kata dia dapat disembuhkan, dia toh bakal terluka pula di tangannya Ceng Ceng Jie!”

„Sekarang sudah malam, shako,’ kata Sian Nio, berduka.

„Kalau kau mau berangkat, berangkatlah besok pagi . . .’

Leng Hu berdiam, dingin sikapnya, Si anak muda, yang sejak tadi berdiam saja, yang cuma tertawa dingin, mendadak membuka mulutnya. Katanya : “Berdiam di sini satu malam tidak apa, hanya kalau sebentar datang sahabatnya kouwthio, sahabat yang memangku pangkat kalau dia melihat disini ada penjabat besar, itulah tidak bagus, pasti berabe dan sulit!, paling benar mari kita berangkai sekarang juga! ‘

Kui Ciang melengak ia berjingkrak. „Mo Lek, apa katamu?” tanyanya La heran bukan main ia berpikir: “Seumurku, aku tidak mempunyai sahabat pembesar negeri. “Mungkinlah mereka maksudkan Su It Jie? Tapi Su Toako sudah lama meletakan jabatannya. Laginya, mereka ini berdua baru saja sampai disini mana mereka ketahui Su Toako itu sahabatku?’

Mo Lek minggir ke samping. „Sahabatmu itu sahabat jempol

!” dia kata pula, keras. „Apakah kau takut aku menyebutnya ? kau tidak mau membiarkan kami pergi, apakah kau hendak membekuk kami untuk diserahkan pada sahabatmu si pembesar negeri itu supaya kau memperoleh jasa ? Benar tadi yang menolongi anak-anak dari kaki kuda ialah aku ! Aku pula yang menyerbu An Lok San ! kau mau apa ?”

Touw Leng Hu membentak : “Bukankah ayah angkatmu telah memberi pengajaran kepadamu ? Tujuan tak sama, tak dapat orang bekerja sama, maka itu, buat apa kau banyak omong lagi, tidak apa kau menerbitkan onar tetapi dengan begitu kau bawa-bawa tulang tuaku ini ! Bisa-bisa kau nanti mengantarkan jiwaku di sini !”

Kata-kata itu ditujukan kepada Tiat Mo Lek, akan tetapi di lain pihak, dimaksudkan juga terhadap Toan Kui Ciang.

Touw Sian Nio terperanjat. ”Shako, shako katanya Apakah artinya perkataanmu ini ?”

Sekalipun Kui Ciang tidak dapat turut kau pergi menghadapi Ceng Ceng Jie. dia tidak nanti memusuhkan kau apapula untuk menangkap kamu buat diserahkan kapada pembesar negeri ! kau . . kamu pandang dia orang macam apa ?”

Kui Ciang lompat ke pintu, untuk menghalangi. “Shako” katanya. Dingin, “kau omong dulu biar jelas, baru kau pergi!”

”Enak kau bicara !” kata Leng Hu, dingin. „Sesuatu orang ada pikirannya sendiri tak dapat orang dipaksa ! kau hendak pergi ke tempatnya An Lok San untuk memperoleh jasa dan pangkat, tak heran kau tak sudi mengenal sanak lagi ! Tapi aku mau minta sukalah kau ingat persabatan kaum Kang-Ouw. kau tunggu sesudah aku pergi, baru kau pergi memberi kisikan kepada pembesar negeri ! Tak dapatkah iru ? Andaikata kau benar-benar hendak kami, meski Tou Leng Hu bukan lawan kau, dia tak nanti manda diam saja diringkus kau !”

„Shako !” Sian Nio berkata keras. „Apakah shako bilang kau tidak tahu, An Lok San justeru musuhnya Toan Long kami justeru baru saja mendamaikan soal mengangkat kaki dari sini, buat menyingkir dari ancaman bencana ! ‘

Ketika itu, Kui Ciang sudah lantas menjadi tenang „Shako, di sini mesti terjadi salah mengerti,’ katanya sabar. ”Coba kau jelaskan, mengapa kau menyangka aku mau pergi kepada An Lok San untuk mengharap pangkat”

Leng Hu menjadi heran timbullah keraguannya ia melihat orang tidak lagi main sandiwara ia menjadi mau percaya.

„Di bawahnya An Lok San ada dua punggawanya yang sangat diandalkan,” ia kata pun menjadi sabar. “Merekalah Tian Sin Su dan Sie Siong Bagaimana pergaulan kau dengan mereka itu ?’”

„Pernah aku mendengar nama mereka itu,” Kui Ciang jawab.

„Dulu hari karena urusan keluarga Lie di Ceng Hoo Kauvv, Sie Siong telah menantang aku mengadu pedang-Ketika itu muncul adiknya Kong Jiam Kek, maka urusan dapat didamaikan hingga batal kita bertempur. Semenjak itu, terus sampai di saat ini,  aku belum pernah bertemu pula dengan mereka itu.”

Touw Leng Hu heran bukan main. “Benarkah perkataan kau ini ?” ia menegasi. ,Ah, benar benar aneh?” Ia mehentak.

“Taruh kata kau tidak percaya aku, kau mesti percaya adikmu !’ sahut Kui Ciang. “Kau tanyalah dia. apakah aku pernah mendusta !” „Memang mereka itu berdua tidak ada hubungannya dengan kami,” kata Sian Nio. “Shako mengapa kau menuduh mereka ada sangkutannya dengan Kui Ciang ?”

Touw Leng Hu mengawasi adiknya. .,Di muka desa ini ada sebuah rumah,” ia kata, di depan rumah itu ada tiga buah pohon cemara, tuan rumahnya seorang berumur lebih kurang empatpuluh tahun, dialah seorang pelajar berkulit putih dan tak berkumis. Benarkah orang itu tidak ada sangkutannya dengan kamu ?’

„Dia itu benar sahabat karibku,”  sahut Kui Ciang. „Dia sie  Su dan namanya It Jie Benar dia pernah menjadi pembesar negeri akan tetapi dia sudah meletaki jabatan sejak belasan tahun yang lalu. Dia dipecat karena dia berani menyerang menyerang menteri dorna Lie Lim Hu ! Ha ! kau menyebut- nyebut aku bergaul dengan pembesar negeri, jadi kau maksudkan dia ! Dialah sastrawan satria, meski dia pernah memangku pangkat dialah orang berhati mulia !”

“Dia menjadi pembesar, apakah kau tahu dia mempunyai perhubungan apa dengan An Lok San ?” Leng Hu tanya pula.

“Su Toako bersahabat denganku selama sepuluh tahun, aku tahu dia justeru sangat membenci An Lok San, hingga tak ada soalnya bahwa dia bersahabat dengan pembesar buruk itu !”

„Masih ada satu hal yang shako belum ketahui,” Sian Nio menyela. „Tadi malam isterinya Su Toako itu telah melahirkan seorang anak perempuan, lantas kita kedua Keluarga mengikat ini perjodohan anak anak kita. Dengan sendirinya Su Toako itu juga cin kee kau.’

Lcng Ha mengurut-urut kumisnya. „Benar-benar aku tidak mengarti!” ujarnya. “Baik aku menjelaskan dari mula mula.” Kui Ciang dan isierinya mendengari. “Pada beberapa tahun yang telah lewat ada seorang sahabat yang memberitahukan aku bahwa ia pernah melihat kau di kota Tian-an, ketika kau tengah berjalan dengan tergesa gesa,” Leng Hu menutur. „Aku lantas menduga kau tinggal di dekat kota Tiang-an. Maka bersama Mo Lek aku menyusul kemari Pada tiga hari yang lalu kami bertemu dengan delapan pahlawannya An Lok San di jalan Hong siang. Kita bentrok.”

„Apakah kau bermusuhan dengan An Lok San?” Sian Nio bertanya.

”kau meninggalkan Rimba Hijau belum sepuluh tahun, mengapa kau masih tak mengerti duduknya hal ?” kakak itu balik bertanya „Rumah kita keluarga Touw berada di dalam wilayah pengaruhnya An Lok San Itu berarti kita harus menerima baik undangannya untuk bekerja di bawah perintahnya. Bukankah ini sederhana dan singkat?”

„Aku tahu itu!” kata si adik tertawa. ”Hanya ketika aku meninggalkan rumah kita An Lok San belum menjadi cat-touw- su, hingga aku tidak tahu bahwa rumah kita ber ada dalam daerah kekuasaannya.”

”Kita bukan saja tidak menerima baik undangannya untuk menghamba terhadapnya,” Leng Hu menyambung, „Bahkan diharian dia menggabung menjabat pangkat ciat-touw su dari Hoan-yang-sie tee sudah berguru dengan dia, ialah sie tee sudah curi sepotong baju bulu rase yang mahal miliknya Yo Kui Hui yang dihadiahkan kepadanya. Maka itu sudah sejak lama dia hendak membekuk kita. Ong Pek Thong itu sahabatnya Tian Sin Sie yang bawahannya An LoK San sahabat-sahabat Jalan Hitam. Setelah Tian Sin Sie menghamba pada An Lok, San Pek Tbong lantas menghubunginya. Maka itu aku menduga, bentrok-anku dengan orang-orangnya An Lok San di jalan Hong-siang itu disebabkan bisikannya Ong Pek Thong. Kita dipegat hendak ditawan.”

Kui Ciang berpikir: “Di dalam Rimba Hijau ada tingkat yang tinggi dan yang rendah. Ipar-iparku itu tidak sudi bekerja sama pembesar negeri, kalau dibanding dengan Ong Pek Tbong mereka menang banyak …”

Touw Leng Hu menyambangi “Kami di kepung delapan pahlawan pribadi An Lok San itu. Mereka bukan dari kelas satu tetapi ilmu silat biaca. apapun satu diantaranya,Thio Tiong Cie. dia bekas orang Jalan Hitam yang berkenamaan. Senjata ialah sepasang Houw tauw kauw gaetan berkepala macan-macanan luka dilenganku ini ialah bekas gaetannya itu yang lihay itu , . ,

. . ”

”Sha cek. kau biasa mengangkat musuh!” kata sikacung menyela sambil tertawa.”Sebenarnya kalau bukannya sengaja sha Cck menggunai tipu mana dapat dia mendekati sha cek?”

„Mo lek!”‘ kata paman itu sungguh-sungguh ”orang muda semacam kaulah  yang paling mudah  dihinggapi  penyakit memandang enteng kepada musuh! Jikalau kau tidak meng ubah cacatmu ini  dibelakang  hari kau bisa menderita karenanya!  Kau   ketahui pengajaran   musuh,  merebut kemenangan ialah yang paling utama! Lebih cepat kita menang lebih baik pula, supaya tak usah terjadi hal-hal di luar dugaan. Sekalipun  sang  singa untuk menerkam   kelinci dia  mesti menggunakan seluruh tenaganya, sedang kita bukannya singa dan pihak sana bukannya kelinci, ingat lah kejadian hari itu Aku telah terluka jarum Pee-bie ciam dan mereka mengeroyok. Sudah terang mereka ingin sekali dapat membekuk kita. Coba aku tidak menggurat siasat, untuk memancing Tio Tiong Cie, pasti, sukar kita meloloskan diri. Caramu berkilat itu waktu main keras saja. Itulah berbahaya” Habis menegur keponakan itu, Leng Hu menoleh kepada Kui Ciang untuk menerus kan keterangannya.

”Aku benci pada Thio Tiong Cie sebab-perbuatannya yang busuk itu mau mencelakai orang golongan sendiri,-‘ Katanya

„aku, memancing, hingga dia datang dekat padaku. Aku hajar dia dengan Pek Lek Ciang, hingga patah tulang iganya. Justeru itu, dia pun menggaet aku.”

„Apakah di antara mereka ada Tian-Sin Su dan Sie Siong?”

Sian Nio tanya

“Mereka itu termasuk punggawa, perang, mereka tidak bercampuran dengan kawanan pahlawan pribadi An Lok San itu” sahut Leng Hu “Atau mungkin mereka anggap delapan orang itu sudah cukup untuk melayani aku si tua bangka!” Ia tertawa, ia melanjuti : “Syukur delapan orang itu tidak memandang mata padaku. Umpama kata Tian Sin Su dan pie Siong turut serta, selagi aku terluka itu pastilah aku bukan lawan mereka, tentu sekali sekarang aku tidak dapat bertemu dengan kau, adikku.”

Sian Nio heran. “Shako,” katanya, „habis kata-katamu barusan . . .”

Leng Hu dapat menerka. “Kau tentu tidak mengerti kenapa tadi aku menyebut-nyebut nama mereka itu berdua, bukankah hari itu aku tidak berjodoh bertemu dengan kedua punggawa itu, tetapi malam ini … “

Kui Ciang pun heran. „Malam ini ?” dia tanya. „Di mana  kamu bertemunya ?

„Justeru di dalam desa ini ! Belum satu jam !”

„Sebenarnya, bagaimana hal itu ?” Sian Nio tanya. „Kau jangan kesusu. Nanti aku jelaskan menurut tuntunannya.”

Dan Leng Hu .melanjuti : “Kita lewat di jalan Hong siang itu tepat di harian tahun baru. Ketika kita sampai di muka desa ini, kita bertemu dengan pasukan tentaranya Aa Lok San, yang katanya lagi menuju ke kota Tiang-an, guna An Lok San memberi selamat tahun baru kepada Yo kui hui. Kami takut menimbulkan onar, kami sembunyi di lembah. Lain dengan ini bocah, dia seperti anak kerbau yang tak takut harimau, dia justrru pergi ke mulut lembah, untuk menonton”

„Syukur aku pergi melihat!” Mo Lek memotong. „Aku jadi dapat melihat kouwthio. Kouwthio menutupi kepala dengan baju kulit jalannya pesat seperti lari. hingga aku menduga ialah ssorang ahli silat yang mahir ilmunya enteng tubuh.”

„Liehay matanya bocah ini,” Kui Ciang pikir. „Ketika itu, tanpa sengaja aku berjalan cepat, dua tindak menjadi satu. Karena dia dapat melihat lariku itu. tentu begitu juga dengan orang-orangnya An Lok San yang banyak yang, mesti ada yang memergoki aku … “, Di situlah terjadi anak anak diganggu kudanya para pahlawan pribadi an Lok San itu ! Mo Lek memotong. ‘Sejumlah anak kecil mau ditabrak dan diinjak kuda aku lantas menolongi mereka . . . ”

Touw Leng Hu tertawa.’ Syukur mereka repot melanjuti perjalanan, tak ada temponya untuk mencekuk kau!” kata paman ini. ‘ Lebih syukur ialah kau melihat kouwthio-mu Tidak demikian pasti aku tidak lantas mendapat tahu kamu tinggal di sini! kau tahu. begitu Mo Lek menyebut kau, aku lantas menduga Mo Lek melihat ke rumah mana kau masuk, aku merasa itulah rumahmu.” “Jadi kamu sudah pergi ke rumah keluarga Su” Kui Ciang tanya. “Benar. Justeru di depan rumah dia itu aku melihat Tian Sin Su berdua Sie Siong !”

Kui Ciang terkejut hingga ia berseru. “Apakah kamu tidak masuk ke dalam rumah Keluarga Su itu?” Ia tanya. “Entah ba- gaimana dengan Su Toako …”

„Aku melihat seorang sasterawan usia lebih kurang empat puluh tahun yang mukanya putih dan tanpa kumis, ia ada bersama mereka itu kedua pihak bicara sambil terawa-tawa. Tentu sekali tidak berani aku masuk ke dalam rumah itu. “

Kui Ciarg heran. “Apakah kau dengar pembicaraan mereka ?

Apakah katanya mereka itu ?”

“Bersama Mo Lek aku sembunyikan diri di atas pohon kami melihat mereka menunggang kuda. Aku mendengar suaranya sie siong, yang mengatakan : Taysu tentu akan memberikan pangkac tinggi padamu. Dua kali aku mendengar disebutnya tuan Toan. Karena kuda mereka dilarikan kesas, aku tak dengar apa-apa lagi Agaknya mereka sangat menghargai si yuan Toan itu …”

„Pantas kamu menduga mereka itu berdua sahabat sahabatku! kemudian bagaimana?“

”karena aku mendapat kenyataan rumah itu bukan rumah kau, aku meninggalkannya. Aku pergi menanyakan setiap rumah. Dengan banyak susuh barulah aku dapat mencari ke sini. Coba bukan karena kau beri anak denganku pasti aku  tidak berani menemui kau! Baiklah telah aku menjelaskan semua moku sekarang terserah kepada kau. kau hendak membiarkan kami pergi atau tidak. Umpama kata benar kau hendak menangkap kami, untuk diserahkan pada An Lok san si- lahkan turun tangan!” Kata kata yang belakangan ini dikeluarkan secara dingin. Bertepatan dengan dikeluarkannya kata-kata penutup itu turun tangan, Kui Ciang berteriak seraya berlompat untuk berlari keluar.

Leng Hu terkejut hingga dia pun berseru: ‘ Kau ! . . . kau ! . .

. Benarkah kau …” Dia menduga kepada ipar itu mau lari kepada An Lok San. Dia kaget dia mau lari menyusul.

Sian Nio lompat menyamber baju kakak nya itu. “Shako kau sembrono sekali! “sang adik berkata keras.

,Apa? “kakak itu tanya heran. “Jikalau dia mau mencelakai kau, tak dapatkah dia lantas keturunan ditangan sendiri? ‘adik itu kata. ‘Mustahil dia diketulungannya mencari kawan pembantu ? Apakah kau tidak menyargka bahwa diapun dapat menduga kau bisa melarikan diri ?”

Leng Hu berpengalaman, pasti ia mengerti adiknya ini hanya barusan saking kaget tak sempat ia berpikir lagi. Maka ia tidak memaksa lari, ia manghentikan tindakannya seraya berpalirg. Justeru itu ia melihat Mo Lek dengan pisau belati di tangannya lagi meneancam punggung Sian Nio Bocah itu menyangka bibi ini melupakan kakaknya dan hendak mencelakainya.

”Mo Lek, jangan” Leng Hu membentak. Terus ia memandang adiknya dan berkata : ”Liok Moay kau bicara, kau bcaralah ! Aku serahkan jiwaku kepada kau !”

Touw SianNio sebaliknya tertawa. „Shako jangan kau gelisah tidak karuan !” katanya. „Kau dengar aku.”

Nyonya Kui C:ang menyingkirkan sumbu lilin, membikin lilin itu tambah terang, habis itu ia tuturkan permusuhan suaminya dengan Lok San, begitupun hal persahabatan Kui Ciang dengan Su It Jie, hingga kedua keluarga mau menyingkir bersama. Leng Hu menjadi tenang. Baru sekarang ia begitupun Mo Lek tahu duduknya penrsoalan. Ketika itu terdengar suara kokok ayam, tanda sudah jam lima, sedang bayinya Kui Ciing mendusin dan menangis.

“Sekarang aku mau memberi susu kepada anak itu,” kata Sian Nio, sembari tersenyum.

„Anak itu tahu diri. dia tidur sampai fajar, baru dia mendusin Dia harus bertemu dengan shakonya !”

Nyonya ini masuk ke dalam, kemudian ia keluar pula sambil mengempo anaknya. „Anak ini berbakat.” kata Leng Hu, „Dia dapat belajar silat nanti …”

Baru orang she Touw itu berkata, demikian, tiba tiba mereka mendengar siu!an nyaring dari Kui Cang yang terus berkata seorang diri : „Pedang mau keluar dari sarungnya, untuk mengutungi kepalanya si orang jahat ! Inilah pembalasan bukan untuk perkara kecil !” Menyusul itu terdengar juga , suara pedang disentil.

Ketika suami itu bertindak masuk, Sian Nio heran. Belum pernah ia menyaksikan suaminya gusar demikian. Alis dan kumisnya bangun berdiri, matanya berapi, tindakannya tetap tubuhnya tegak, la sampai melengak.

Tiba-tiba Mo Lek menghampirikan. „Aku bersalah, kouwthio

!’ katanya, seraya terus berlutut untuk mengangguk-angguk tiga kali sampai kepalanya membentur lantai !”

Kui Ciang membungkuk, akan memimpin bangun bocah itu. Dia tertawa. “Bagus !” katanya. „Kau dapat membedakan salah dan benar, kaulah seorang laki laki sejati !”

Leng Hu juga telah jelas segala apa, maka ia menghampiri ipar itu, guna mengakui kekeliruannya. Shako itu mau memberi hormat, Kui Ciang menyingkir „Di waktu begini, buat apa pakai adat-peradatan,” katanya. „Shako, ada satu urusan untuk mana aku hendak minta bantuan kau . .”

Sekarang Leng Hu yang tertawa. „Di-antara sanak sendiri, mana ada permintaan brntuan ?” kata dia.

Sengaja Leng Hu tertawa sebab ia melihat Kui Ciang bersungguh-sungguh Tertawa itu dapat mambantu melegakkan hati mereka.

Kui Ciang menunjuk anaknya, ia kata” “Shako, aku minta kau suka merawat anak serta ibunya, sebentar lagi, setelah cuaca terang, kau ajaklah mereka pergi!” Ia tidak menanti jawaban, ia mengeluarkan sejilid buku, yang mana ia serahkan pada isierinya; „Sian Nio, baik-baik kau rawat anak kita ! setelah dia dewasa, kitab ilmu pedangku ini kau serahkan padanya!”

Sian Nio mengawasi sang suami, tidak lantas ia menyambuti buku itu. Ia memang mau membawa anaknya pulang kerumah ibunya siapa sangka sekarang getas sekali suaminya itu berkata demikian. Berbareng dengan itu, ia merasakan firasat jelek.

„Kau ambillah!” kata Kui Ciang, menghela napas. Ia mengerti kesulitannya isteri itu. „Ada kemungkinan kita juga tak bakal bertemu pula satu dengan lain “ .”

„Toan long, kau hendak pergi kemana ?” sang isteri menanya. Ia menanya meski ia sudah bisa menduga tujuh sampai delapan bagian.

„Aku mau pergi mencari Sa Toako!” sahut suaminya itu. ”Apakah kau telah pergi ke rumahnya? sebenarnnya apa

sudah terjadi ? Bagaimana dengan isteri dan anaknya Su Toako?” „Mereka telah dibawa pergi kaki tangannya An Lok San” Sian Nio terkejut hingga dia menjerit.

”Benarkah?”‘ tanya dia “Sungguh tak kusangka….”

„Sebenarnya itu sudah dapat diduga” kata sang suami.

„Kemarin aku keliru, aku lari menyingkir ke rumahnya. Begitulah An Lok San penyangka Su Toako sebagai aku!”

Sian Nio heran „Su Toako seorang cinsu mengapa dia tidak membantah?”

Leng Hu menyahuti adiknya itu. Ia kata; “Aku mendengar Tian Sin Su membilang hendak memberi pangkat padanya! Maka itu, moayhu, aku lihat manusia sukar diduga! Kau…”

„Tidak!” Kui Ciang memotong Sian Nio. jangan kau tidak ketahui sifatnya Su Toako! untuk keselamatanku maka dia berdiam saja dirinya disangka aku. Ketika aku barusan tiba dirumahnya itu sudah kosong Aku masuk ke kamar mereka,  aku dapat membaui sisa asap pulas. Dikamar tulis aku  menemui suratnya Su Toako. Ini, kau baca sendiri!”

Sian Nio menyambut surat itu dan membaca. “Kau lihat, bagaimana Su Toako telah memikir jauh!” kata pula Kui Ciang. ”Inilah suratnya untuk kita. Suratnya itu menganjuri isrerinya mencari sahabat itu, yang tak ditulis she dan namanya? siapa kalau bukannya kita? kau cerdas, Sian kau mesti dapat menerka! ‘

Pasti sekali Touw Sian Nio mengerti. Maka ia menjadi mendongkol sekali ‘„Tian Sin Su dan Sie Siong asal orang Kang Ouw, kenapa sekarang mereka jadi begini rendah?” katanya sengit. „Sampaipun wanita dan anak kecil mereka tak mau melepaskannya! “

„Begitulah, keluarga Su mendapat susah karena aku, apakah aku dapat berdiam saja?” tanya Kui Ciang. Sian Nio merasa hatinya sakit, ia sangat berkuatir. An Lok San mempunyai banyak orang kosen. Kepergian Kui Ciang ke sana pasti berarti menghampirkan ancaman bahaya besar. Celakanya, ia insaf, umpamakan ia menjadi suaminya itu, pasti ia akan berbuat demikian juga.

Suami isteri itu sama-sama berdiam, mata mereka saling mengawasi. Baru kemudian, dengan tangan bergemetar, Sian Nio menyambuti kitab suaminya ”Toan Long, kau pergilah!” katanya-”Semoga orang baik dilindungi Thian, supaya kau bersama-sama Su Toako dan Su Toa So dapat kembali dengan selamat Aku menyesal, karena habis bersalin, tak dapat aku mengikut kau . , .”

Kui Ciang bersenyum. “Kau harus merawat dan mendidik anak kita sampai dia besar!” katanya. „Perbuatan kau itu lebih berharga daripada kau turut aku mengadu jiwa!. Itulah tugas yang jauh terlebih sulit!” Aku tidak dapat memisah diri mengiring kau, maka itu aku cuma dapat minta bantuannya shako.”

Ia menguatkan hati, untuk berlalu tetap tenang, toh muaranya berat, senyumnya tak dapat menyelimuti kedukaan hatinya.

Leng Hu menyaksikan itu, dia tertawa, „Kui Ciang!” katanya, ”mengandal kepada ilmu silatmu, belum tentu kau tidak dapat kembali dengan tak kurang suatu apa! Kau harus ingat bahwa kami lagi menantikan kau untuk menghadapi Ceng Ceng Jie”

Kata-kata ini juga melainkan alibi. Kui Ciang boleh gagah luar biasa tetapi sekarang dia mesti memasuki kedung naga dan guna harimau. Dapatkah sepasang tangan melawan empat? Buat menolong diri sendiri masih sukar, apalagi buat sekalian menolongi lain orang? Kembali terdengar ayam berkeruyuk. “Sudah sampai waktunya!” kata Kui Ciang ”Nah, mari kita berangkat bersama, sebentar dimulut desa baru kita berpisah.”

Malam  itu orang tidur nyenyak, di tengah jalan belum nampak lain penduduk Rumah Kui Ciang di mulut desa dari itu, ia mesti melewati rumahnya Su It Jie, Disitu mendadak Kui Ciang berhenti,

”Mari kasih aku lihat muka anak kita!” katanya. Sian Nio mengangsurkan anaknya Kui Ciang mencium anak itu, terus ia kata, berat ; “Umpama kata aku tidak dapat pulang dan Su Toako tak pulang juga, setelah anak kita ini besar kau harus cari tahu tentang acaknya Su Toako itu! Harap iaja ia dapat tetap berada didalam dunia…”seandainya lama kau tidak dapat keterangan, kau tunggulah sampai tiga puluh tahun usia mereka baru kau nikahkan anak kita kepada lain nona. Tusuk Kundai itu kausimpan baik-baik, sebagai tanda mata.”

„Kau jangan kawatir segala apa aku nanti beritahukan dia,” sahut Sian Nio, air matanya melele.

“Sepuluh tahun kiia menjadi suami isteri, selama itu aku cuma membikin kau bercapai lelah,” kata Kui Ciang, ”maka itu kau terimalah hormatku!’

“Aku telah mendapat suami gagah sebagai kau, tak perduli bagaimana jadinya nanti, aku puas,’ berkata Sian Nio. „Maka kau pun terima hormatku !”

Lantas suami isteri itu saling memberi hormat. Kui Ciang sudah lantas berlompat, untuk berangkat tanpa menoleh lagi. Ia kuatir istrinya melipat air matanya.

„Kouwthio. tunggu !” mendadak ia dengar suaranya Tiat Mo Lek. „Mau apa kau?” ia tanya. , Aku mau turut kouwthio pergi ke Tiang-an !” kata bocah itu

“Mau apa kau turut aku?”

”Untuk meluaskan pandangan mata di kota ini !” Kui Ciang tertawa.

„Tahukah kau buat apa aku pergi ke Tiang-an ?” ia tanya,

„Ini bukan kepergian uniuk main-main …”

„Aku tahu kouwthio mau pergi ke rumahnya An Lok San untuk menolongi orang mulia she Su itu !” sahut si anak muda.

„Bibi baru melahirkan, dia masih lemah. dan sha-cek pun terluka sekarang ia mesti lekas pulang jadi mereka semua tak dapat turut kouw thio dari itu selagi aku menganggur, baiklah aku yang ikut untuk menjadi kawan kouwthio …”

“Inilah perjalanan adu jiwa !” kata paman itu sungguh- sungguh. “Kau tahu tidak ? Tak dapat aku mengajak kau !”

“Kouwthio. kau terlalu memandang enteng kepadaku!” katanya, sungguh-sungguh. ”Apakah cuma kouwthio seorang yang diijinkan menjadi seorang enghiong atau hoohan? Tak perduli kouwthio suka atau tidak, aku mau ikut !”

Hati Kui Ciang tergerak. „Baik!” katanya. “Kau bersemangat, suka aku mengajak kau. Hanya ingat, setibanya,di Tiang-an kau mesti dengar kataku !”

„Pasti !” sahut si anak muda. Leng Hu kurang setuju anak itu turut pergi, tetapi ia sendiri tidak dapat membantu, ia terpaksa membiarkan. Ia juga tahu tabiat dari si bocah yang sukar dibujuki. Maka ia berkata : „Kepandaian anak ini sudah lumayan. Sedikitnya ia pun dapat menjadi juru kabar. Kau ajaklah dia, memperoleh pengalaman !” “Baik, shako,” kata  Kui  Ciang.  „Jangan kuatir. aku akan jaga baik baik padanya sampai di Tiang-an, aku pun dapat mengaturnya. Andainya aku dapat melindungi jiwaku dan dapat mengajak Su Toako pulang, pasti aku nanti pergi ke Yi ciu menemui kamu untuk sekalian mencoba main-main dengan Ceng Ceng Jie ! ‘

Di dalam hatinya, Kui Ciang sudah mengambil keputusan untuk mewariskan kepandaiannya kepada Tiat Mo Lek, untuk mencegah bocah ini turut ia memasuki gedungya An Lok San.

Mo Lek sangat cerdas, ia dapat menangkap maksudnya pembicaraan dua orang itu, maka ia pun kata dalam hatinya:

„Setibanya di Tiang an aku pun ada dayaku ! kau- hendak memisahkan aku, tak dapat!’ Ia berpikir, terus ia berdiam saja.

Leng Hu puas, hingga ia merasa girang. Perjalanan Kui Ciang berbahaya tetapi segala apa belum tentu. Ia mengharapi kembalinya ipar ini, untuk dia menghadapi Ceng Ceng Jie, su(aya urusan dua keluarga Touw dan Oag daAat dibereskan.

Sian Nio juga lega hatirya mengetahui Mo Lek bakal turut suaminya maka ia kata: ‘Toan Long, baiklah di Tiarg an kau be- kerja dengan melihat gelagat, jikalau sulit untuk turun tangan jangan dipekakan, umpamama kata kau membutuhkan bantuan, suruhlah Mo Lek lekas pularg !”

„Aku mengerti,” sahut Kui Ciang- “istriku, kau rawat saja dirimu baik-baik ! Ingat pesanku, rawat anak kita !” habis berkata ia lantas berangkat, diikuti Mo Lek. Ia menuju langsung ke Tiang an, yang terpisahnya cuma enam puluh lie, tak lebih.

Tiga hari kemudian maka di dalam sebuah rumah makan di samping pintu Beng-hong-mui, dari kota Tiang-an, terlihat munculnya dua tetamu asing untuk rumah makan tersebut Pintu kota Bong hong-mui adalah pintu kota terbesar untuk wilayah istana Kerajan Tong. Rumah makan itu justem terletak d sampingnya Maka itu tetamu tetamunya tidak sembarang orang banyak pembesar, sipil dan militer, yang rumahnya jauh, yang tak keburu pulang untuk bersantap. Yang lainnya ialah pegawai pegawai istana yang lagi lepas berdinas serta sahabat- sahabatnya. Maka itu, kalau lain rumah makan ramainya malam, rumah makan ini di siang hari, Dengan begitu, para tetamu umumnya kenal satu dengan lain.

Demikian kedua tetamu baru itu, yang tak ada yang kenal. Yang satu berumur empat puluh lebih romannya gagah tubuhnya dilapis baju kulit, di pinggangnya ada pedangnya. Kawannya ialah seorang muda umur tujuh atau delapan belas tahun, potongan, stau romannya, mirip anak hartawan atau berpangkat. Dia pun mempunyai mata yang tajam.

Walaupun dua orang ini asing, lain lain tetamu tidak memperhatikannya. Mereka itu menyangka orang tentu datang ke kola Raja untuk pesiar atau hendak mencari pangkat, hal mana adalah umum.

Dua orang itu ialah Toan Kui Ciang dan Tiat Mo Lek. Setibanya Kui Ciang dikota Raja lantas ia menumpang pada Hoy Jin, seorang pendeta kenalannya. Dulunya, kakek-nya sering menderma kepí da kuil itu. Ia menumbang tinggal separuh bersembunyi, selama mencari tempat kediaman An Lok San. Ia datang ke rumah makan ini dengan maksud tujuannya itu. Ia percaya ia akan memperoleh keterangan di tempat di mana ada banyak hamba negeri. Untuk itu, mereka mesti membeli pakaian yang lebih baik.

Ketika itu tengah hari, waktunya- restoran ramai. Pada meja dekat jendela ada beberapa tetamu, satu diantaranya seorang relajar usia pertengahan, yang dandanannya sederhana. akan tetapi ia dihormati yang lain-lainnya. „Roman orang ini beda dari pada yang kebanyakan, entah siapa dia …” pikir Kui Ciang. „Beberapa kawannya pun bukan sembarang orang …”

Tengah ia mengawasi orang itu, orang pun menoleh kepadanya. .Pedang yang bagus ! pedang yang bagus” dia lau memuji tiba-tiba tangannya menumbuk meja.

„Heran pelajar ini,” pikir Kui Ciang, terkejut. .Pedangku belum dihunus, dan sudah mengenali …”

Orang itu terus menggapai dan kata : „Mari, mari!” ada arak wangi, mari kita minum bersama, sampai mabuk l Untuk bersahabat tak usailah main tanya she dan nama dulu ! Mari, mari minum di sini, aku sekalian ingin pinjam lihat pedangmu!”

Biarnya ia orang Kang Ouw kawakan, Kui Ciang toh heran. Pengalaman seperti ini baru yang pertama kali. Biasanya suatu pantangan orang yang tidak dikenal yang meminjam lihat pedang orang lain. Orang ini, Kui Ciang merasa, seperti mempunyai pengaruh yang tak dapat ditolak. Tanpa pikir pajang lag, ia menghampiri.

„Kau baik sekali, tuan, terima kasih !” ia kata. „Aku kuatir pedangku ini tak berharga disebut pedang yang bagus, dan cuma-cuma bakal mengotorkan mata tuan ….”

Pedang ini pusaka keluarga Toan, mulanya didapat kakeknya sebagai hadiah dari Jenderal Lie Ceng ketika kakeknya itu turut berperang ke Barat, begitu di hunus, sinar pedang itu bergemerlapan.

“Meski bukan Kui Ciang atau Bok Shia ‘toh pedang ini luar biasa !” kata pelajar itu tertawa “Kau datang dari mana ?”

“Dari Ya Ciu,” sahut Kui Ciang. ”Oh, jauh !” kata lagi orang itu. “Jalananpun berbahaya ! Tanpa pedangmu ini, sukar untuk kau tiba di Tiang an ! Ah, mengikat pedang ini, aku jadi ingat tentang petualanganku semasa muda !”

“Sampai sekarang ini, kegemaran Haksu masih belum lenyap!” kata satu tetamu, tertawa lebar.

Pelajar itu, yang dipanggil “Hak Su.” suatu sebutan mulia, tertawa. „Begitulah orang yang mengandali arak dari Seri Baginda Raja !” katanya. Mendadak ia berbangkit, tangannya menyentil pedang, terus ia bersenandung memuji pedang itu : “Botol emas arak sepuluh ribu, penampan kemala isi masakan selaksa tahil. Menghentikan cangkir melempar sumpit, tak dapat  dahar,  menghunus  pedang memandang ke empat penjuru kosong belaka …”

Belum ia berhenti bersenandung itu, maka seorang berpangkat, yang jubahnya tersulam ular naga, menghampirkan seraya berkata. “Tuan, tuan, mungkinkah kau…?”

Seorang tua, yang duduk bersama si pelajar, berkata terperanjat : ‘Oh bukankah kau Gouw Su Ma ? Lie Hak Su. inilah Su Ma Gouw Kun dari ouw ciu, orang segolongan dengan kita !”

Kui Ciang heran, ia berdiam saja. Ia masih belum tahu, siapa Hak Su ini. Pelajar itu tertawa pula, kembali ia bersenandung, menyebut-nyebut Ceng Lian Kie Su, mendengar mana mana si Suma tertawa dan kata; ”Benarlah tuan Ceng Lian Kie Su, sudah lama aku mendengar nama tuan, bagaimana beruntung ini hari aku dapat menemukannya!”

Kui Ciang heran dan girang. Kiranya pelajar ini ialah orang yang ia dan Su It Jie paling mengaguminya, penyair besar Lie Pek yang kesohor! Memang penyair besar itu, kecuali ilmu surat dan syair, mengerti juga ilmu pedang. Kegemarannya ialah minum arak., bersyair dan bergaul mengamal. Ia memilih sendiri julukanya itu Ceng Lian Kie Su Cerg Lian ialah Teratai Hijau, dan Kie Su berani! pelajar aiau pembesar yang lak bertugas lag:, yang hidup bebas dan damai. Sebaliknya orang menyebutnya Lie Tek Sian, kaiena gerak-geriknya halus mirip dewa. Di masa mudanya ia gemar pesiar membawa-bawa pedang mendaki gunung Ngo Bie San Tay Heng San dan lainnya melajari sungai-sungai besar meneicipi. juga arak wangi pelbagai kota. Setibanya ia di kota Tiang an ini, karena diajar kenal dan dipujikan Pit Sie Siauw Kam Ho Tie Ciang, namanya lantas jadi tersohor, hingga ia dihormati segala pihak. Sampaipun Raja Baginda Tong Hian Cong, mendengarnya dan, dengan cara luar biasa, mengangkat ia menjadi Han Lim Hak Su serta ia sering diundang ke istana untuk bergama sama memandangi bunga bung«, mendengarkan tetabuan minum arak dan bersyair. Maka taklah heran ia dihormati orang banyak. Dan tak heran pula, ia mengagumi pedangnya Kui Ciang hingga ia mengundang orang tak dikenal itu minum bersama.

Kui Ciang girang berbareng berduka. “Kalau Su Toako  berada di sini berapa girang nya dia! “pikirnya.

Lie Pek tertawa, sembari mengembalikan pedang orang ia kata; “Hari ini aku girang sekali! sudah aku mendapat lihat pedang bagus aku juga memperoleh kenalan baru ! Meski aku minum sampai pusing! “Dengan tangan kanan menarik Kui Ciang dan tangan kiri memegang Gouw Kun, ia mengajak me reka itu duduk bergama di mejanya.

“Mari minum! mari minum! “katanya berulang-ulang, dan ia menenggak araknya berulang kali juga. Kemudian ia meloloskan sepatunya dan melemparkan kopiahnya sera ya berkata kata pula. “Oh, oh. aku sudah mabuk! benar-benar mabuk! “akhirnya ia mendekam di meja nampasnya menggeros.

“Ah, hebat! “kata satu pembesar dalam satu meja itu. “Benar benar Hak Su mabuk bagaimana kalau seri Baginda memanggil ia untuk membuat syair?”

„Jangan kau kuatir!” kata yang lain. “Kau tahu, dalam mabuknya dia dapat menulis syair terlebih bagus lagi!”

Selama itu Kui Ciang telah belajar kenal dengan orang-orang sesama meja itu Selain Su Ma Gouw Kun itu. s! orang tua ialah Pit Sie Siauw Kam Ho Tie Cing, penyair juga, dan si anak muda yang tampan bernama Cui Cong Cie, Seorang she Thio bernama Hiok diaiah penulis pandai huruf model Co Jie. Yang lain-lainnya juga cukup ternama. Untuknya sendiri Kui Ciang menyambutnya nama palsu.

Selagi Lie Pek itu tidur, Ho Tie Ciang mengajaki sahabat- sahabatnya turun memasang omong bicara diri hal syair dan menulisnya.

“Sayang kau tidak siang-siang datang ke Tiang-An,” kemudian kata Tie Ciang kepada Gouw Kan. „Bukankah di Ouw Ciu itu terkenal araknya yang dinamakan arak Ow-teng-ciu? Apakah kau bekerja disana untuk arak itu? Eh. ya, buat apakah kau sekarang datang ke sini?”

,Aku datang kemari karena panggilan untuk menjabat pangkat disini.” Gouw Kun menjawab “Sudah lima hari aku   tiba tetapi aku masih belum peroleh panggilan untuk menghadapi Seri Baginda”

Ho Tie Ciang heran. .,Seri Baginda jarang memperhatikan urusan pemerintahan, mengapa kau boleh di panggil menghadap? ‘ ia tanya, hening sejenak lalu menanya; “Kau pernah bertemu dengan Yo Kok Tiong atau tidak?” “Tidak.” “’Kalau begita lekas kau sedia kan bingkisan untuknya!” kata Tie Ciang tertawa. ia menambahkan; “Kalau barang tak segera di siapkan, uang emas pun boleh, bahkan lebih baik. Kalau perdana menteri kita itu melihat emas berkilauan mudah untuk bicara dengannya.”

Gouw Kun tertawa. „Beberapa tahun aku memangku pangkat, sekuku kosong!” katanya: „Darimana aku memperoleh emas taruh Kata aku mempunyai uang, apakah aku tak dapat pakai itu untuk membeli arak? Kenapa aku mesti menghadiahkan Yo kok Tiong?”

“Suma tidak tahu,” Tie Ciang menjelaskan “Semenjak Yo kok Tiong berkuasa, dia biasa menjual pangnar. Pembesar- pembesar kota, asal bukan orangnya, tentu lantas ditukar. Kau dipanggil datang, inilan maksudnya, dan dia sekarang pasti lagi menanti bingkisanmu. Siapa tahu kau kurang pengalaman…” Ia tertawa dan kata pula: “Bagaimana kalau kita membantu kepada kau? Mungkin sebab kau ternama baik, dia ajal ajalan menukar kau dengan lain orang. Sekarang dia tentu mengharapi madapmu. Asal kau memberi muka padanya, tentu urusanmu beres!-‘

Gouw Kun gusar. “Lebih suka aku hilang kopiah kebesaranku, tak suka aku membaiki menteri besar itu!” katanya.’Baiklah kita jangan omongi pula urusan bingkisan!”

“Kau putih bersih, saudara Gouw, itu bagus,” kata Tie Ciang. Cuma kau tidak memikir jauh. Bagaimana kalau kau digantikan orang yang tamak? Tidakah penduduk Ouw ciu bakal mengeluh? Kami bukan menganjuri Yo kok Tiong, kami memikirkan kebaikan rakyatmu! Sekarang ini pembesar yang baik terlalu sedikit, maka itu. yang masih dapat, baiklah dipertahankan. ” Kalau saudara Gouw tidak mau merogo saku, baiklah kata Cong Cie. “Ada satu jalan lain yaitu coba bicara dengan Lie Pik Sia. Dialah salah satu sahabat tukang minum arak. Dialah yang Touw Hu puji dalam syairnya. Dia temberang dan royal tapi dia juga jujur.” 

Gouw Kun menghela napas. “Ho Tay jin menasihati aku menyayanyi penduduk OuW Ciu, itu benar,’ katanya,” tetapi keadaan begini buruk, hatiku menjadi tawar, Taru-h kata sekarang aku mengirim bingkisan, berapa lama aku dapat menjabat terus? Aku bukan tukang memeras rakyat, dari mana aku dapat uang lagi nanti? Maka biarlah peserah kepada Thian…””

Tie Ciang masih mau bicara pula ketika ia batal sebab ia mendengar suara pelayan.

Suaranya hormat: “Oh Leng ho Tayjin, Hari ini Tayjin datang lambat…”

Melihat orang diperlakukan hormat demikian, Gouw Kun tanya: “Dia berpangkat apa nampaknya dia agung sekali?”

Tie Ciang tertawa dan menjawab: “Mungkinkah dia memangku pangkat dalam pasukan Ie Lim kun, sebagai pahlawan pengiring Seri Baginda Raja Kau jangan pandang ringan pangkatnya itu, dia sebenarnya lebih mewah daripada kita. Tuan tuan besar pengiring Seri Baginda itu kebanyakan langganannya rumah makan ini maka juga pelayan pelayan sangat suka membaiki mereka…””

„Mungkin Lie Haksu hendak diundang ke istana,” kata seorang pembesar lain.Lantas terhibat tiga orang naik ditangga, yang satu dandan sebagai opsir Ie Lim Kun, yang dua seperti opsir biasa, pinggangnya dilihat dengan ikat pinggang emas serta sepatunya sepatu peranti menunggang kuda. Rupanya merekalah opsir tentara di tapal batas. Si opsir Ie Lim Kun lantas berkata pada pelayan “Aku membawakan tamu dua orang tamu agung. Inilah Gui Ciang Kun dan ini Sie Ciang Kun. Lekas siapkan kami meja pilinan? ‘

Pelayan itu memberi hormat, lantas dengan cepat ia memimpm mereka ke sebuah meja dekat jendela.

Bersama opsir Ie Lim Kun itu, yang dipanggil Leng ho Tayjin, yang berpangkat touw itu, ada seorang opsir yang gemuk. Dia melihat Lie Pek mendekam dimeja dan menggeros keras, kopiah dan sepatunya terletak sembarangan di pinggiran, bauk araknya keras sekali. Diapun melihat seorang lain, yang kumisnya berlepotan air bak, lagi menggerak-geraki tangan dan kakinya, menantang orang minum arak. Dia mengerutkan alis dan berkasa: “Orang bilang inilah rumah makan paling tersohor untuk kota Tiang an, kenapa di sini orang membiarkan si mahasiswa rudin itu menggoler di sini?….”

„Stt!”‘ berisik Leng ho Tayjin sambil menarik tangan orang. ‘Yang lagi tidur itu ialah Hak su Lie Ceng Lian yang paling disayang Seri Baginda Raja.”

Opsir itu terperanjat, ia lantas membungkam dan nampaknya jengah, diatn diam ia menarik Lie Hak su serta orang yang satunya itu Thio Hiok. Yang belakangan ini masih minum sambil memasang omong dengan asyik lega juga hatinya mendapat tahu orang tidak mendengar suaranya barusan.

Ketika itu Toan Kui Ciang sudah kembali ke mejanya. Tiat Mo Lek lantas berkata perlahan padanya: ‘ Dua orang itu ialah orang orangnya An Lok San yaitu Gui San, Sue Sie Siong.”

---ooo0dw0ooo--- 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar