Jiwa Ksatria Jilid 18 (Tamat)

  
Ternyata rakyat Su-tho tidak berkumpul di suatu daerah yang padat penduduknya, sebagian besar dari mereka hidup berkelompok. Mereka tahu bahwa tentara Hwee-kie telah memasuki ibu kota mereka, tapi mereka tidak tahu maksud asli yang terkandung oleh tentara penjajah itu. Sebagai seorang penjual negara, saudara misan U-bun Hong-nie yang telah dinobatkan menjadi raja boneka mereka mengatakan bahwa tentara Hwee-kie datang dengan maksud baik, dengan maksud membangun negara, dengan maksud membantu mereka di dalam segala apa.

Rakyat terbanyak tidak tahu kebohongan ini, mereka hidup sederhana dan tidak ambil pusing dengan apa yang terjadi. Apa lagi sebagian besar mereka hidup berburu di gunung-gunung dan rimba raya, jarang menyaksikan bagaimana kekejaman tentara Hwee-kie itu.

Sedikit banyak, Hau-khan tahu akan hal ini, maka ia memberanikan diri bersedia mengumpulkan kekuatan yang belum terkumpul itu.

O-hok sangat bergembira sekali. Kata-kata Hau-khan telah menimbulkan ilham kepadanya,

“Betul. Kita harus menggerakkan kekuatan massa. Negara Su-tho kita mempunyai penduduk jutaan jiwa, tapi yang ikut bergerilya tidak lebih dari puluhan ribu saja, suatu perbandingan yang sangat kecil sekali. Bukan sedikit di antaranya yang sebangsa Tan-toanio itu. Mereka meragukan dan menyangsikan kemerdekaan, mereka takut menghadapi kekerasan, sudah waktunya kita mengerahkan tenaga mereka.”

Menggerakkan massa secara besar-besaran akan menghasilkan kemenangan, dalil ini segera dapat diakui dan tidak diragukan lagi. Mereka segera bergerak. Kecuali mengutus Hau-khan yang siap dengan rombongan para pemburu, beberapa orang ditugaskan untuk menggerakkan petani dan para pengembala lainnya.

Pusat pergerakan di letakkan di gunung Pak-bong-san, ¬bergolaklah perang gerilya itu. Mereka siap mengusir tentara Penjajah dari negaranya.

Datangnya pasukan O-hok telah menghasilkan semangat baru, pesanggrahan- pesanggrahan yang telah rusak dibangun kembali. Mereka mendirikan markas besar di antara tumpukan puing.

Tidak lama, mereka berhasil mengumpulkan tigaribu orang gerilyawan, gerakan-gerakan untuk siap menyerbu ke kota raja telah diperkuat.

Letak gunung Pak-bong-san tidak terlalu jauh dengan ibu kota kerajaan Su-tho, tapi dari ibu kota harus melalui sebuah padang rumput yang luas, baru dapat tiba di gunung Pak-bong-san. Di daerah utara, salju mencair, padang rumput itu segera tergenang oleh cairan salju tersebut. Keadaan yang basah menyulitkan kuda dan manusia melintasinya. Untuk mengadakan gerakan yang bersamaan, boleh dikata tidak mungkin sama sekali.

Belum lama, tentara Hwee-kie telah membakar gunung Pak-bong-san dan mendapat kemenangan besar dengan menawan Ratu Su-tho U-bun Hong-nie. Di dalam anggapan mereka telah selesai mengadakan pembersihan. Maka disaat mendengar kabar bahwa para gerilya berkumpul di gunung itu menyusun kekuatan baru, disambutnya dengan buah tertawaan saja. Hanya beberapa gelintir manusia yang tidak ada artinya, kata meraka. Diharapkan musim salju gugur cepat berlalu, setelah itu akan mengirim pasukan tentara Hwee-kie membasmi pula.

Setelah membantu Bok-lie menyusun kekuatan baru, O-hok meminta diri dan menuju ke arah kota raja. Maksudnya ingin mengetahui kabar tentang Ratu mereka yang ditawan itu dan sekalian menghubungi kenalan lama yang berada pada dinas ketentaraan. Tenaga mereka sangat dibutuhkan untuk kemudian hari bila mengadakan serangan ke kotaraja.

<>

Waktu silih berganti, Can Pek Sin dan Tiat Leng telah menetap di gunung Pak-bong-san sehingga lebih dari setengah bulan. Tiap hari mereka melatih diri memperdalam ilmu kepandaian mereka, menyatukan apa yang diketahui mereka. Tidak lupa mereka sering mengajak Lauw Bong menambah pengetahuan silat tadi.

Ini malam, bulan purnama sangat menarik. Can Pek Sin tidak ada niatan untuk tidur terlalu pagi. Dengan mengajak Lauw Bong, ia menyaksikan pemandangan malam bulan purnama di puncak gunung Pak-bong- san. Salju yang putih meletak menyelimuti gunung Pak-bong-san, sinar bulan terang menyinari jagat. Itu waktu beraneka macam bunga telah mulai bersemi, suatu pemandangan yang cukup menarik hati.

“Aku teringat akan lembah Phoan-liong-kok,” tiba-tiba Can Pek Sin berkata. “Itu waktu cicie Po Leng membuat karangan bunga untukmu. Sayang ia tidak berada di sini, dan tidak dapat memberi hiburan kepadamu.”

“Tidak guna menceritakan cerita lama,” berkata Lauw Bong mengeluarkan suara keluhan dalam. Can Pek Sin bersedia menyelesaikan hubungan cinta segi tiga di antara mereka, segera ia berkata:

“Lauw toako, jangan kau berkata seperti itu. Aku tahu bahwa cinta cicie Po Leng terhadap dirimu belum dapat dipadamkan. Pikirlah sendiri, ia mempunyai ganjelan hati dengan nona Liong Seng Hiong, tapi untuk dirimu, ia menebalkan muka menjumpainya. Maksud tujuan ke rumah keluarga Bok hanya mengantarkan hatinya kepadamu. Tidak kusangka dengan akhir yang menyedihkannya.”

Lauw Bong menutup mulut tidak bicara, tapi dilihat dari keadaan diri si pemuda, ia sangat terharu menerima budi Thie Po Leng yang menyintainya.

Can Pek Sin memegang tangan Lauw Bong dan berkata:

“Lauw toako, bolehkah aku mengutarakan pendapat?”

“Katakanlah,” berkata Lauw Bong. “Di antara kita sudah tidak ada ganjalan, mengapa harus bersikap seperti itu?”

“Terus terang kukatakan kepadamu,” berkata Can Pek Sin. “Kakek Thie Sui ada niatan untuk menjodohkan cucunya kepadaku, hal ini mungkin kau telah tahu tapi sudah kenyataan bahwa kejadian yang belum terlaksana, bukan? Di antara kita tidak seharusnya ada ganjalan.

“Untuk jelasnya kuterangkan bahwa hubungan di antara manusia dan manusia, bukan sedikit yang menggolongkan cinta mereka sebagai cinta kasih di antara lelaki dan wanita, tetapi ada juga hubungan keluarga, ada juga cinta persaudaraan yang sukar dilepas. Cintaku terhadap cicie Po Leng ialah cinta seorang adik kepada kakaknya, cinta cicie Po Leng terhadapmu ialah cinta seorang gadis kepada kekasihnya dan cintamu kepada cicie Po Leng ialah cinta persaudaraan yang kekal abadi. Kau setuju dengan pendapatku yang semacam ini?”

Can Pek Sin mengatakan apa yang terkandung di dalam lubuk hatinya. Lauw Bong terharu atas kesetiaan kawan tersebut.

“Dan bagaimana hubunganmu dengan nona Tiat Leng?” ia balik bertanya.

“Sehingga saat ini hanya terbatas pada cinta persaudaraan, entahlah perkembangan di kemudian hari, hal itu aku belum dapat memberikan jawaban kepadamu.”

Setengah bulan lebih mereka berkumpul, maka Lauw Bong dapat melihat hubungan antara Can Pek Sin dan Tiat Leng yang berkembang semakin erat. Dari hubungan mereka, ia teringat akan cinta Thie Po Leng yang mengalami banyak rintangan. Tidak terasa, ia menarik napas panjang.

“Sayang, sudah terlambat,” katanya.

“Masih belum terlambat,” Can Pek Sin tahu apa yang diartikan oleh kawannya. “Di dalam prasangkamu, cicie Po Leng tidak dapat memaafkan kesalahanmu. Tapi aku tahu, sebagai seorang yang berjiwa besar, cicie Po Leng tidak menaruh dendam atas kelakuanmu terhadap nona Liong Seng Hiong yang dipertontonkan dihadapannya.”

“Entah dimana Thie Po Leng kini berada?” bertanya Lauw Bong seorang diri.

“Dia berjalan dengan Tok-kow U suami istri yang ingin menemukan paman Hee Kauw Ing mu, kau katakan paman Hee Kauw Ing menuju ke daerah Su-tho, bukan? Maka mereka akan mencarinya dan tiba kemari, kukira pertemuan kalian tidak terlalu lama lagi. Di saat itu, bila kau bersedia membaikinya...” “Hal ini lebih baik kita bicarakan nanti saja,” potong Lauw Bong. “Api peperangan telah mulai berkobar, terus terang kukatakan bahwa aku mulai melupakan soal percintaan itu.”

“Apa kiramu aku ingin bercintaan melulu?” kata Can Pek Sin sambil tertawa. “Aku telah berjanji kepada paman Cho Peng Goan untuk menemui bibi U-bun Hong-nie. Kini bibi Ratu itu telah menjadi tawanan, O- hok yang mencari kabar belum kembali, bagaimana hatiku dapat tenang?”

Bicara sampai di sini, Can Pek Sin segera merasakan adanya siliran angin yang bertiup, kepalanya dirasakan menjadi dingin sekali. Angin tersebut terlalu aneh, Can Pek Sin menjadi kaget dan lompat berjengkit, kedua tangannya dibalikkan memukul ke arah datangnya angin aneh tadi.

“Ha, ha, ha...” tiba-tiba terdengar suara tertawa. “Aku telah datang, apa lagi yang membuat kau tidak menjadi tenang? Ilmu kepandaianmu mendapat kemajuan banyak, he?”

Rasa girang Can Pek Sin sukar dilukiskan, ia segera mengenali akan Khong-khong Jie. Betul saja ia dapat melihat tokoh aneh itu, di belakang Khong-khong Jie tampak sang istri yang bernama Sin Cie Kow.

Umur Khong-khong Jie telah lebih dari limapuluh tahun, tetapi mempunyai sifat yang seperti kanak-kanak saja. Ia melayang turun dari sebuah pohon dan tadi meniup ke arah Can Pek Sin sebagai godaan sehingga si pemuda terkejut karenanya.

“Khong-khong cianpwee, Sin cianpwee...” teriak Can Pek Sin girang. “Mengapa kalian dapat berada di sini?”

“Karena kau lari kesini, maka kami datang untuk mencari kau, mengerti?” berkata Khong-khong Jie menggoda. “Kawan rumah tanggaku mendengar kabar bahwa muridnya ikut melarikan diri dengan kau, maka aku dipaksa untuk mengikutinya membikin perhitungan dengan dirimu.”

Yang diartikan kawan rumah tangga oleh Khong-khong Jie ialah istrinya yang bernama Sin Cie Kow itu dan murid Sin Cie Kow adalah putri Tiat Mo Lek, Thiat Leng yang mengadakan perjalanan bersama-sama Can Pek Sin.

Sin Cie Kow turut mendengar apa yang dikatakan oleh suaminya, ia tertawa turut bicara:

“Mengapa kau tidak berterus-terang mengatakan bahwa kau ingin mencari orang untuk mengadu kekuatan? Muridku melakukan perjalanan bersama-sama dengan si Pek Sin kecil, mengapa aku harus menguatirkannya?”

Sin Cie Kow sebagai seorang ahli asmara telah dapat menerka apa yang bersarang di dalam hati Tiat Leng terhadap Can Pek Sin. Ia berusaha merangkap jodoh sepasang anak muda ini.

Wajah Can Pek Sin menjadi merah. “Jiwie cianpwe telah bertemu dengan paman Cho Peng Goan?” Ia bertanya kepada Khong-khong Jie dan Sin Cie Kow berdua.

“Belum bertemu lagi,” Khong-khong Jie memberi¬kan jawaban terus terang. “Tetapi, aku telah berhasil mengetahui urusannya, kabar ini kudapat dari Tiat Mo Lek di gunungnya. Diceritakan juga kepergian kalian ke negara Su-tho ini.”

Ternyata Khong-khong Jie membatalkan niatan mereka jang ingin mengawani Cho Peng Goan dan U-bun Hong-nie pulang ke negara Su-tho. Hal itu disebabkan karena luka Sin Cie Kow yang terkena pukulan Su- khong Beng. Mereka menuju ke gereja Siao-lim-si meminta pil Siauw-hoan-tan, setelah itu lewat di  pasanggrahan Tiat Mo Lek yang baru Kim-kee-nia dan mampir di sana.

“Tidak kuketahui bahwa keadaan Su-tho sampai segawat ini,” berkata Sin Cie Kow lagi. “Bila kutahu, tentu datang terlebih dahulu. Cho Peng Goan telah bertemu dengan Thiat Mo Lek dan meminta bantuannya. Beng-cu rimba persilatan itu bersedia menyediakan tenaga bantuan dan mengirim sebuah pasukan kemari. Pasukan ini mungkin berada di bawah pimpinan Toan Khek Gee, tidak lupa mereka membawa Tiat Ceng dan Hoa Khiam Hong.”

“Bagus,” Can Pek Sin berteriak girang. “Mari kita beri tahu kabar ini kepada pemmpin induk pasukan Bok- lie, agar ia dapat menyiapkan sesuatu dan menyusun kekuatan-kekuatannya.” “Aku memang membutuhkan tenagamu untuk bertemu dengannya,” berkata Khong-khong Jie itu. “Setelah mengetahui bahwa U-bun Hong-nie tertawan, aku belum tahu jatuh kepada siapa pucuk pimpinan meng- comeback-kan negara Su-tho?”

Menunggu sampai mereka selesai bicara, Lauw Bong maju memberi hormat kepada dua tokoh persilatan agung itu.

“Ku dengar Pek Sin kecil memanggil kau sebagai Lauw toako, mungkinkah anak almarhum Lauw Cin?” bertanya Khong-khong Jie kepadanya.

“Khong-khong cianpwee kenal dengan ayah boanpwe?”

“Aku belum pernah bertemu dengan ayahmu,” jawab Khong-khong Jie, “Tok-kow U adalah sahabatku, Hee kauw Ing telah kujumpai. Dikabarkan kedua orang ini adalah kawan baik ayahmu, bukan?”

“Tidak salah,” berteriak Lauw Bong girang. “Cianpwee dapat memberi kabar di manakah paman Hee Kauw Ing dan paman Tok-kow U berada?”

“Lebih dari pada tahu,” berkata Sin Cie Kow. “Kita telah mengadakan perjalanan bersama-sama dengan paman Tok-kow U mu itu.”

“Hanya paman Tok-kow U seorang?”

“Kecuali Tok-kow U suami istri, merekapun membawa seorang gadis yang bernama Thie Po Leng, dikatakan bahwa nona itu adalah kawan baikmu di lembah Phoan-liong-kok. Kau tidak menyangkal kata- kata mereka ini, bukan?”

Wajah Lauw Bong menjadi merah malu. “Apalagi yang mereka katakan?” tanyanya.

“Mereka bertanya, kenalkah kepada seorang jago muda bernama Lauw Bong?” berkata Sin Cie Kow.

“Sin cianpwe ada-ada saja. Kata-kata ‘jago muda’ itu tidak pada tempatnya.” Wajah Lauw Bong semakin merah.

“Perbuatanmu di gedung keluarga Bok telah mengangkat nama,” berkata Khong-khong Jie. “Seorang pemuda berjiwa patriot, berjiwa kesatria akan lebih mementingkan kebenaran dan membela orang yang harus dibela olehnya. Keluarga Bok itu hanya mempunyai nama kosong, tapi tidak ada orang yang akan memujinya.”

“Menurut kabar yang layak dipercaya, Hee Kauw Ing telah menyiapkan pasukannya menyambut Su-tho, tidak lama mereka akan kemari dan pertemuanmu dengannya tidak akan lama lagi.”

Mendapat kabar ini, Lauw Bong sangat gembira, ia telah mengetahui jejaknya Hee Kauw Ing, Tok-kow U dan Thie Po Leng. Suatu kabar yang tidak mengecewakan hatinya.

Sebentar kemudian, mereka telah bertemu dangan Bok-lie, orang yang memegang pucuk pimpinan untuk sementara.

Nama Khong-khong Jie telah tersohor lama. Bok-lie dapat mengetehui hal ini, ia memperlakukan dengan hormat dan tidak lupa diceritakan bagaimana sang Ratu U-bun Hong-nie jatuh tertawan.

Di saat Bok-lie selesai berceritera, tiba-tiba terdengar suara yang sangat merdu. “Suhu, kedatanganmu tepat pada waktunya, lekas kau suruh sukong melakukan pekerjaan itu.” Inilah dia Tiat Leng yang kolokan, bicara kepada Sin Cie Kow.

“Kau sungguh nakal sekali,” Sin Cie Kow tertawa. “Tidak kau sebutkan macam pekerjaannya, entah apa yang kaumaksudkan itu, sungguh aku tak mengerti. Kenapa tidak langsung saja kau bicara pada sukongmu?”

“Tidak perlu kau tanyakan padanya,” kata Khong-khong Jie pada isterinya. “Aku telah tahu apa maunya. Ei, bukankah maksudmu mau suruh aku tolong bibi U-bun mu?” “Aaaa... Kiranya kau pandai sekali menebak jitu hati orang,” kata Tiat Leng sambil tersenyum. “Paman Cho Peng Goan adalah sahabat ayahku yang juga menjadi sahabatmu. Tidak mungkin kau dapat lepas tangan di dalam hal ini. Kau tentu dapat menolong istri dari seorang sahabat, bukan?”

“Ternyata urusan ini yang kau maksudkan?” berkata Sin Cie Kow, “Tak usah kau minta, ia akan pergi mencari orang yang dapat dijadikan lawan bertanding. Mendapat kesempatan ini, mungkinkah ia tidak akan mau pergi?”

“Tunggu dulu,” berkata Khong-khong Jie. “Aku ingin mencari keterangan pasti, setelah itu baru dapat menentukan pergi atau tidaknya.”

Tiet Leng memandang guru dan sukongnya bergantian, dengan menjebikan bibir berkata:

“Sukong, keterangan apa lagi yang kau ingini? Mungkinkah kau takut menerjang tentara Hwee-kie yang berjumlah puluhan ribu itu?”

Khong-khong Jie tertawa. “Yang kukuatirkan ialah, aku tak dapat pasangan bertempur yang seimbang.” Ia berkata, “Untuk menolong orang sangat mudah, tapi untuk mencari pasangan yang setimpal tidak mudah, tahu?”

Hampir Tiat Leng lupa akan sifat sukongnya ini ternyata sang bapak guru itu ingin memperolok-olokkan dirinya.

“Sukong, dengarlah baik-baik,” berkata Tiat Leng. “Di ibukota Su-tho-kok berkumpul beberapa jago kelas satu, di antaranya ialah murid Soat-san Lo-koay yang bernama Su-khong Beng, ada jago Hwee-kie nomor satu yang bernama Thay Lok, ada turunan tunggal keluarga Touw yang bernama Touw Goan dan Soa Thiat San sekalian.”

“Bagus,” berkata Khong-khong Jie. “Beberapa orang ini belum dapat dikatakan kuat untuk menjadi pasangan pertempuran, tapi boleh juga bermain-main dengan mereka.”

“Maka kau telah bersedia pergi ke ibu kota negeri Su-tho-kok?”

“Tentu. Di sana telah menantikan beberapa orang yang dapat dijadikan kawan bermain. Mungkinkah aku tidak pergi?”

Setelah mengucapkan kata-kata tadi, Khong-khong Jie memandang istrinya berkata: “Cie Kow, mari kita berangkat di malam ini!”

Bok-lie menyangka bahwa Khong-khong Jie bersenda gurau, tapi dilihat sikap orang yang sungguh- sungguh itu, tentu ia merasa kaget, katanya:

“Khong-khong tayhiap, harus diketahui bahwa semua induk pasukan tentara Hwee-kie telah berkumpul di ibukota, penjagaan keraton telah diperketat. Bukannya aku menyangsikan ilmu kepandaianmu, tapi ada lebih baik untuk memilih waktu dan tempat yang terbagus untuk merundingkan sesuatu.”

“Semakin berbahaya tempat itu, semakin menarik hatiku,” Khong-khong Jie menolak.

Maksud Bok-lie ialah menunggu kabar O-hok yang dapat dipastikan membawa berita banyak tentang apa yang dialaminya, setelah itu, ia dapat menggerakkan pasukan yang ada padanya. Dengan mendapat bantuan Khong-khong Jie, hasil mereka akan terlebih gemilang lagi.

Sayang Khong-khong Jie tidak dapat menerima usul ini, sungguh menyulitkan rencana Bok-lie.

“Dapatkah Khong-khong cianpwe bermalam satu malam? Sebagai tuan rumah, sudah selayaknya kami menghormati setiap tamu yang datang berkunjung. Esok pagi akan kubuat sebuah gambar peta keraton yang mungkin berguna untuk menolong Ratu kami.” Menurut kehendak Khong-khong Jie, dengan mengajak istrinya, ia segera menuju ke arah ibu kota negeri Su-tho-kok, di sana ia siap menempur Su-khong Beng sekalian dan menolong U-bun Hong-nie. Hanya sukar untuknya menolak kebaikan hati Bok-lie, apa boleh buat, ia melulusinya.

“Paman Bok-lie, kau belum melihat kepandaian sukongku,” berkata Tiat Leng. “Ilmu yang mengangkat dirinya bukan terletak pada kepandaian silatnya yang tinggi, tapi ilmu tangan panjangnya melebihi apa yang orang miliki. Sukongku adalah cikal bakal tukang copet, untuk mengambil barang di dalam kantong orang seperti mencomot benda kepunyaan dirinya saja. Ia pandai melarikan barang orang, dan juga pandai melarikan anak orang.

“Dahulu kala, ia pernah mendatangi gunung Hui-houw-san mencuri anak pendekar besar Toan Khek Gee, akhirnya Toan Khek Gee ini menjadi adik seperguruannya. Keraton Su-tho-kok telah dijaga kuat, tapi mungkinkah dapat lebih kuat daripada penjagaan gunung Hui-houw-san dahulu?”

Tiat Leng sedang membanggakan ilmu kepandaian bapak gurunya, menurut pendapat gadis ini, sang sukong akan segera berhasil menolong U-bun Hong-nie dari penjara negeri Su-tho-kok, yang telah jatuh ke dalam tangan saudara misannya.

Bok-lie adalah salah satu dari empat pembantu pribadi Ratu Su-tho-kok, pengalaman bertempur dan pengetahuan umumnya sangat luas sekali. Ia pernah dengar nama Khong-khong Jie, tentu ia tahu siapa adanya manusia yang tidak tinggi ini. Apa yang Tiat Leng ceritakan kepadanya telah diketahui. Bukan ia meragukan ilmu si cikal bakal tukang copet, tapi Bok-lie lebih percaya kepada kekuatan massa yang berjumlah besar, hanya ia tidak mengucapkan kata-kata ini kepada Khong-khong Jie sekalian.

“Sukong, biar aku ikut denganmu?” berkata Tiat Leng kepada Khong-khong Jie. “Aku tidak membutuhkan tenagamu,” berkata Khong-khong Jie

“Bukan untuk menyumbang tenaga, tapi aku ingin melihat keramaian ibu kota Su-tho-kok. Tegakah kau menolak permintaanku?” berkata Tiat Leng yang segera melirik kepada bapak dan ibu gurunya.

Sin Cie Kow memandang kepada sang suami.

Apa boleh buat, Khong-khong Jie menganggukan kepala. “Baiklah. Suhumu terlalu mengolok kepadamu, dan agaknya ia kurang rela bila tidak berkumpul denganmu.”

Maka, mereka mengambil putusan seperti apa yang telah ditetapkan.

Itu malam, secara diam-diam, Bok-lie memanggil Can Pek Sin. Pemimpin pasukan gerilya ini telah menyiapkan gambar peta keraton Su-tho-kok, diserahkannya secarik kertas berisi catatan, dan berkata kepada si pemuda:

“Bukan aku meragukan ilmu kepandaian Khong-khong tayhiap, tapi untuk menjamin kelancaran gerakan pasukan. Hubungilah O-hok dengan alamat yang tercatat di atas sini. Setelah berada di ibukota, kau segera menghubunginya dan katakan apa yang kau tahu. Dengan demikian ia dapat membikin persiapan untuk membantu Khong-khong tayhiap. Tapi hal ini lebih baik kau kerjakan seorang diri dan di luar tahu Khong-khong Jie.”

Ilmu kepandaian Bok-lie tidak dapat digolongkan ke dalam kelas satu, tapi pengalaman perang dan siasat bertempur dari pembantu merangkap pengawal pribadi U-bun Hong-nie ini luas sekali. Setelah hidup bersama dengan Can Pek Sin hampir satu bulan, ia tahu sifat-sifat dan perangai si pemuda, maka ia menyerahkan tugas berat itu kepadanya.

Di hari kedua, setelah menyambuti gambar peta keraton Su-tho-kok dari Bok-lie, Khong-khong Jie mengajak sang istri, Can Pek Sin dan Tiat Leng berempat melakukan perjalanan menuju ke arah ibu kota Su-tho-kok.

Setelah lewat dari setengah bulan, guguran salju sudah tidak ada bekas-bekasnya, padang rumput tidak terlalu basah. Dengan ilmu meringankan badan yang mereka miliki, jarak delapanratus lie itu dilewatkan hanya tiga hari.

Pada hari keempat, mereka telah berada di ibu kota negeri Su-tho-kok. Khong-khong Jie memilih sebuah rumah penginapan. Ia tidak ingin membawa-bawa Tiat Leng dan Can Pek Sin turut serta menerjang keraton, maka katanya:

“Aku ingin mengadakan penyelidikan, kalian tunggu saja di tempat ini.”

Sin Cie Kow setuju, ia percaya kepada ilmu kepandaian suaminya, apalagi niat Khong-khong Jie hanya membikin penyelidikan pendahuluan. Maka iapun tidak turut serta.

Setelah Khong-khong Jie meninggalkan mereka, Can Pek Sin menarik tangan Tiat Leng dan meminta gadis itu berusaha meminta ijin kepada Sin Cie Kow agar ia mendapat kesempatan untuk menemui O-hok. Di dalam hal ini, Tiat Leng segera mengabulkannya, dikatakan bahwa Can Pek Sin ingin menemui seorang kawan, tapi ia tidak menyebut nama O-hok sebagai orang yang ingin dicari oleh si pemuda.

Sin Cie Kow tidak keberatan dan membiarkan Can Pek Sin pergi seorang diri.

Khong-khong Ji pergi terlebih dahulu, tetapi ia pulang lebih lambat dari pada Can Pek Sin. Malam itu ia tiba dengan girang, katanya kepada tiga orang:

“Cie Kow, mari kita masuk ke dalam keraton. Sebaiknya berangkat jam dua, maka jam tiga kita akan berhasil menolongnya. Paling lambat jam empat, kita akan sudah kembali lagi di tempat ini. Pek Sin kecil dan Tiat Leng berdua tidak usah turut serta, kalian tunggu saja kabar baik di sini.”

Khong-khong Jie mengucapkan kata-katanya dengan hati besar, tapi Tiat Leng masgul karena tidak dapat turut serta menolong bibi U-bun Hong-nie nya, menonton keramaian.

“Sukong, kau berjanji untuk mengajak aku menonton keramaian, mengapa kini kau membatalkan niatmu itu?” berkata Tiat Leng.

“Khong-khong Tayhiap pergi untuk menolong bibi U-bun Hong-nie, mana ada keramaian yang dapat ditonton? Ilmu kepandaian kita belum dapat memadai mereka. Bila turut serta akan mengganggu kelancaran kerja saja. Lebih baik kita tunggu kabar baik mereka. Kau sudah berada di ibu kota Su-tho, keramaian kota telah disaksikan, bukan?”

“Pek Sin kecilmu ini memang lebih mengerti urusan,” Khong-khong Jie memuji.

Dengan mengajak Sin Cie Kow, Khong-khong Jie meninggalkan Can Pek Sin dan Tiat Leng di dalam rumah penginapan.

Setelah suhu dan sukongnye pergi, Tiat Leng meminta kebenaran:

“Can toako, aku tidak memaksa kau membantah usulku yang ingin turut serta, mengapa kau berpihak kepada sukongku itu? Kalian bersekongkol menghadapi aku?”

“Kau boleh turut menyaksikan keramaian,” berkata Can Pek Sin tertawa. “Aku telah menjanjikan O-hok untuk melakukan gerakan pada malam ini, ada terlebih baik membantu gerakan O-hok sekalian, bukan?”

Dijelaskannya rencana O-hok itu, maka Tiat Leng berhasil mengembalikan rasa gembiranya yang sudah hampir tidak terlihat.

Diceritakan Khong-khong Jie suami istri menuju ke arah keraton negara Su-tho-kok, dengan ilmu meringankan badan mereka yang hebat, sebentar saja telah berada di tempat tersebut. Menurut gambar peta pemberian Bok-lie, mereka menuju ke tempat di mana dahulu U-bun Hong-nie menempatkan dirinya, tempat yang diberi nama Ngo-hong-lauw.

Khong-khong Jie mengheningkan cipta, ia memasang kupingnya, tidak lama tertawa.

“Ha, U-bun Hong-nie ditahan di tempat lamanya ini,” berkata jago silat itu. Tidak salah bila mengatakan Khong-khong Jie sebagai seorang cikal bakal tukang copet, pendengarannya sungguh tajam. Suara U-bun Hong-nie di loteng Ngo-hong-lauw telah dapat didengar olehnya. Seperti apa yang O-hok dan Bok-lie duga, setelah tentara Hwee-kie berhasil menawan U-bun Hong-nie, maka tidak berani membunuh bekas Ratu yang telah dijatuhkan dari takhta kerajaannya, diserahkannya kepada Gi-na, saudara misan U-bun Hong-nie yang merebut kekuasaan kerajaan.

Setiap hari, raja boneka Gi-na yang tidak mempunyai kekuasaan penuh, harus menyodorkan sebuah Surat pernyataan. U-bun Hong-nie dipaksa menanda tangani Surat pernyataan tersebut, pada isi surat pernyataan disebut bahwa Ratu U-bun Hong-nie telah menyerahkan seluruh kekuasaan kepada saudara misannya yang bernama Gi-na itu.

Surat penyerahan kekuasaan itu sangat dibutuhkan. Tidak dapat menjalankan pemerintahannya bila tidak mempunyai surat penyerahan kekuasaan tersebut. Sebagian besar dari rakyat Su-tho-kok masih menjunjung tinggi Ratu mereka yang arif bijaksana. Sebelum Ratu U-bun Hong-nie menyerahkan kekuasaan kerajaan, gerakan-gerakan para pemberontak tidak mungkin dapat dipadamkan.

Sudah dikatakan bahwa raja Gi-na itu hanya pandai menjilat bangsa Hwee-kie saja, setiap kali ia berkunjung ke loteng Ngo-hong-lauw, tentu disertai oleh para jenderal negara Hwee-kie, wakil negara Hwee-kie yang turut menyaksikan pendesakan penyerahan kekuasaan kepada U-bun Hong-nie. Di hari ini ialah panglima tertinggi Hwee-kie yang bernama Tho-pa Cek dan anak panglima tersebut yang bernama Tho-pa Goan.

Khong-khong Jie dan Sin Cie Kow telah berada di atas Ngo-hong-lauw, mereka dapat menyaksikan apa yang terjadi.

Panglima Tho-pa Cek dan putranya Tho-pa Goan pernah berkunjung ke kota Tiang-an. Khong-khong Jie dapat mengenali dua manusia ini, ia segera membisiki istrinya:

“Ha, sungguh kebetulan sekali. Kau mendapat tugas untuk menolong Ratu U-bun Hong-nie, dan aku bersedia menangkap panglima tertinggi Hwee-kie, Tho-pa Cek, dengan demikian rakyat Su-tho-kok dapat keringanan banyak. Eh, raja yang tidak berkekuasaan Gi-na itupun tidak kalah pentingnya, yang mana harus kutawan? Panglima Hwee-kie Tho-pa Cek atau raja yang tidak berkuasa Gi-na?”

“Tho-pa Cek jauh lebih penting dari pada raja yang tidak mempunyai kekuasaan Gi-na itu,” Sin Cie Kow mengajukan usul.

Khong-khong Jie percaya penuh akan ilmu kepandaian isterinya, dengan satu kali comot ia percaya dapat menangkap orang yang telah di arah. Badannya melesat naik, dan dengan tipu ‘Burung bangau mencelat naik’, ia melayang ke arah loteng Ngo-hong-lauw.

Di luar dugaan, manakala kaki Khong-khong Jie baru berpijak di pinggir bangunan, papan yang diinjak itu telah belah menjadi dua bagian.

Ilmu meringankan badan Khong-khong Jie telah berada pada puncaknya, badannya dapat melayang enteng melebihi bulu angsa. Ia berhasil menghindari diri dari jebakan musuh yang dipasang di tempat tersebut.

Bangunan itu dibuat demikian rupa. Bila diketahui bahwa ada orang luar yang tidak bermaksud baik, maka banyak anak panah mengarah Khong-khong Jie.

Khong-khong Jie telah melayang tinggi, tidak ada satu anak panahpun yang mengenai dirinya. Ia tertawa berkakakan berteriak keras:

“Tho-pa Cek, masih kenalkan kepadaku?”

Khong-khong Jie memperberat badannya, ia menurun dan siap menawan panglima kerajaan Hwee-kie Tho-pa Cek yang berada di dalam bangunan itu.

Sebelum Khong-khong Jie berhasil masuk ke dalam bangunan, tiba-tiba terdengar satu suara geraman membentak,

“Pergi!”

Satu kekuatan yang hebat luar biasa mendesak Khong-khong Jie. Khong-khong Jie terdorong keluar oleh pukulan ini, ia tidak berhasil memasuki loteng Ngo-hong-lauw.

“Eh, tidak seharusnya Su-khong Beng mempunyai kekuatan yang sehebat ini?” berpikir Khong-khong Jie di dalam hati.

Ternyata jago yang ada di negara Su-tho itu, Su-khong Beng yang terhitung kelas satu.

Maka Khong-khong Jie menduga kepada orang ini yang membokongnya. Ia tidak menduga kepada Tho-pa Cek dan Tho-pa Goan yang dapat dilihat jelas, dan kedua orang itupun tidak mempunyai kemampuan untuk mengusir dirinya.

Di atas bangunan, Khong-khong Jie tidak berhasil masuk untuk menawan orang. Di bawah bangunan, Sin Cie Kow harus menghadapi tiga musuh kuat, mereka adalah Su-khong Beng, Thay Lok dan Touw Goan.

Khong-khong Jie telah berada di bawah bangunan, ia melihat Su-khong Beng yang menyerang istrinya. Maka diketahui bahwa orang di atas bangunan yang membokong dirinya bukanlah anak Soat-san Lo-koay itu.

“Hei,” tuding Khong-khong Jie ke arah Su-khong Beng. “Kau adalah bekas pecundangku. Panggil jago lainnya untuk menandingi aku.”

“Orang yang dapat menandingimu belum waktunya keluar. Lebih baik kau melawan aku dahulu,” jawab Su-khong Beng sombong.

Khong-khong Jie naik darah, dengan jari tangan ia memainkan ilmu pedang Wan-kong-kiam-hoat, serangan pertamanya mengarah sembilan jalan darah Su-khong Beng.

Su-khong Beng adalah anak Su-khong Tho dengan julukan Soat-san Lo-koay yang terkenal. Ilmu kepandaiannya tidak dapat dipandang ringan, ia pernah melawan Khong-khong Jie dan dapat bertahan sehingga lebih dari seratus jurus, biar tidak berhasil menjatuhkannya, tapi tetap bertahan dan dapat mempermainkannya. Maka ia tidak takut. Dilihat Khong-khong Jie menyerang, ia membentangkan kedua tangannya, dengan cengkeraman-cengkeraman yang hebat berusaha mengimbangi serangan Khong- khong Jie.

Khong-khong Jie gagal melontarkan serangan pertama, disusul dengan serangan yang kedua dan berikutnya. Mereka mengadu ilmu untuk kedua kalinya.

Sin Cie Kow mempunyai ilmu kepandaian di atas Thay Lok dan Touw Goan, tapi dua manusia itu telah bergabung menyerangnya. Keadaan istri Khong-khong Jie agak berada di bawah angin.

Dikatakan Thay Lok dan Touw Goan mendesak lawannya, tapi bukan berarti mereka dapat menangkap Sin Cie Kow dengan mudah, Ilmu pedang Bu-ceng-kiam Sin Cie Kow telah terkenal lama, untuk menundukkannya mungkin harus memakan waktu lebih dari duaratus jurus.

Diceritakan Khong-khong Jie yang mendapat perlawanan Su-khong Beng, semakin lama, serangan Khong-khong Jie semakin hebat. Sepuluh jurus kemudian, Su-khong Beng telah bermandikan keringat dingin.

Khong-khong Jie pernah menempur manusia kerdil Su-khong Beng, ilmu kepandaian cengkeram- cengkeramnya memang hebat. Sebagai seorang jago yang mahir di dalam beberapa macam ilmu, tidak lama kemudian, Khong-khong Jie telah berhasil mencari cara bagaimana harus menghadapinya. Bila dahulu Su-khong Beng dapat bertahan lebih dari seratus jurus, kini ia hanya kuat menghadapi Khong- khong Jie sepuluh jurus, setelah itu, ia tidak berdaya sama sekali.

Su-khong Beng menghadapi krisis kekalahan mutlak, di saat ini terdengar suara seorang yang menggema pertempuran:

“Bagus, kau si monyet kecil ternyata mempunyai ilmu Wan-kong-kiam-hoat, kepandaianmu ini lebih hebat dengan apa yang gurumu dahulu miliki. Mengingat hal ini, aku bersedia mengawanimu bertempur.” Seorang tua berambut putih melayang turun dari anak loteng Ngo-hong-lauw. Orang inilah yang mengeluarkan kata-kata tadi dan langsung menubruk ke tempat Khong-khong Jie.

Wajah dan potongan badan Khong-khong Jie memang mirip dengan seekor kera, hanya ilmu kepandaiannya terlalu tinggi, maka tidak ada yang berani menyebut kemiripan ini, kecuali beberapa tokoh tinggi yang mempunyai ilmu kekuatan sama dengan dirinya.

Wajah Su-khong Beng menunjukkan rasa girang, cepat ia lompat keluar gelanggang pertempuran.

Khong-khong Jie tidak dapat mengejar. Ia telah diserang dari atas oleh orang tua berambut putih yang ternyata adalah ayah Su-khong Beng yang bernama Su-khong Tho, tokoh silat yang lebih terkenal dengan julukan Soat-san Lo-koay.

Tigapuluh tahun yang lalu, Soat-san Lo-koay Su-khong Tho pernah menderita kekalahan besar di bawah tangan Cang-leng-cu yang menjadi guru Khong-khong Jie. Dendam ini tidak pernah dilupakan olehnya.

Tigapuluh tahun ia menyekap diri di puncak gunung Soat-san, memperdalam ilmu untuk siap menuntut balas. Selama itu, belum pernah Soat-san Lo-koay turun gunung, tidak ada yang tahu apa maksud Su- khong Tho. Hanya Khong-khong Jie pernah mendengar cerita gurunya, maka ia dapat mengetahui maksud yang terkandung pada Soat-san Lo-koay.

Mengetahui siapa orangnya yang membokongnya tadi, Khong-khong Jie ada niatan untuk menjajal ilmu kepandaian Soat-san Lo-koay Su-khong Tho. Ia tidak menyingkir atau melarikan diri, sebaliknya memapaki datangnya serangan itu.

Dua kekuatan beradu, masing-masing belum tahu sampai di mana kekuatan lawan, maka sifatnya hanya berupa experimen saja, dua-dua menarik mundur badan mereka dan siap membuat posisi baru.

“Kau adalah bekas pecundang guruku,” kata Khong-khong Jie. “Kini aku mengerti, mengapa ilmu kepandaianmu tidak dapat kemajuan?”

“Kau mana tahu?” debat Soat-san Lo-koay Su-khong Tho. “Di saat melatih diri dengan gurumu, aku telah mengalah dan memberi kesempatan banyak kepadanya. Dengan demikian, ia baru dapat mencapai kemenangan. Sayang gurumu telah meninggal dunia dan tidak dapat memberi tahu dimana letak kelemahan Wan-kong-kiam-hoat itu. Tetapi tidak mengapa, kulihat ilmu kepandaianmu cukup lumayan, agaknya kau telah dapat memadai ilmu kepandaian gurumu dahulu. Mari kita teruskan pertandingan ini, saksikanlah bagaimana aku akan memecahkan ilmu Wan-kong-kiam-hoat itu.”

“Bagus,” berkata Khong-khong Jie. “Telah sepuluh tahun aku tidak menggunakan pedang, tapi derajatmu masih setingkat dengan guruku, untuk menjajal ilmu pedang Wan-kong-kiam-hoat aku harus memberi perlawanan.”

Soat-san Lo-koay menatap sekian lama, setelah memperkuat posisinya ia berkata: “Majulah.”

Khong-khong Jie telah mengeluarkan pedangnya yang lama tak digunakan, jurus pertama ia menyerang dengan melempangkan pedang tersebut, maka tampak titik-titik berkilap dari bayangan ujung pedang yang menuju ke arah lawan. Bagaikan hujan salju yang bertaburan, ia memainkan ilmu pedang Wan-kong-kiam- hoat.

Seperti apa yang sang anak miliki, Soat-san Lo-koay Su-khong Tho pandai ilmu cengkeraman- cengkeraman itu, yang beda ialah kekuatan Su-khong Tho beberapa kali lipat di atas kekuatan Su-khong Beng itu. Badannya bergerak, maka sebagian atas tubuh Khong-khong Jie telah berada di bawah kekuasaannya.

Pedang Khong-khong Jie mengincar lawan. Cengkeraman-cengkeraman tangan Soat-san Lo-koay menguasai keadaan di sekitar badan atas Khong-khong Jie. Mereka sama-sama menyerang, masing- masing berada di posisi berbahaya.

Dua orang tidak ada niatan untuk mati bersama. Sebelum serangan lawan berhasil, mereka mengganti tipu dan membatalkan serangan yang dilontarkan kepada lawannya. “Hal ini bukan berarti dapat memecahkan ilmu pedang Wan-kong-kiam-hoat,” Khong-khong Jie mengucapkan kata-kata ejekan.

Soat-san Lo-koay tidak bicara, ia menyerang dengan lebih cepat lagi. Maka Khong-khong Jie harus memberikan perlawanan dengan hati-hati.

Khong-khong Jie dan Soat-san Lo-koay Su-khong Tho dapat mengimbang kekuatan mereka dan pertempuran dengan keadaan sama kuat, sama ulet.

Sin Cie Kow yang harus menghadapi dua lawan itu semakin keteter, semakin terdesak.

Thay Lok terkenal dengan telapak tangan yang dapat mengeluarkan racun. Touw Goan yang menggunakan tameng dan gaetan tidak boleh dibuat lengah. Menghadapi dua lawan kuat yang seperti ini, tidak mengherankan bila Sin Cie Kow terdesak.

Di saat hampir mencapai jurus-jurus keseratus, telah banyak kesalahan-kesalahan yang Sin Cie Kow buat, hampir jiwanya terancam.

Bersyukur kepada Tuhan bahwa nama Sin Cie Kow tidak dapat lepas dengan llmu pedang Bu-ceng-kiam. Thay Lok dan Touw Goan telah berada di posisi kemenangan, mereka tidak perlu terlalu cepat menyelesaikan pertempuran, takut bila sang lawan menjadi nekad dan mengadu jiwa, pedang Bu-ceng- kiam dapat menyerang dari arah yang tidak disangka-sangka. Bila sampai terjadi hal tersebut, bukankah akan mengecewakannya? Ada terlebih aman menyerang dengan perlahan, Sin Cie Kow tentu akan kehabisan tenaga, itu waktu mereka boleh turun tangan, maka dengan satu tepukan, pastilah berhasil.

Karena cara Touw Goan dan Thay Lok bertempur tadi, kelengahan Sin Cie Kow tidak berakibat satu kekalahan.

Khong-khong Jie masih menempur Soat-san Lo-koay dapat dilihat bahwa kedudukan sang istri tidak menguntungkan. Tapi ia tidak berhasil memberikan bantuan. Soat-san Lo-koay Su-khong Tho mendesak dengan tentu, satu kelengahan akan mengakibatkan kekalahan.

Disaat ini, tiba-tiba terdengar suara ledakan saling susul menggema di keraton negara Su-tho-kok. Beberapa pengawal keraton berteriak:

“Celaka! Daerah Timur telah terjadi pemberontakan, mereka membakar rumah dan mengadakan pembunuhan.”

Lonceng bahaya segera dibunyikan.

Di atas loteng Ngo-hong-lauw, panglima kerajaan Hwee-kie, Tho-pa Cek dan anaknya Tho-pa Goan telah mendapat laporan. Mereka memandang kepada ‘Raja tidak berkekuasaan’ Gi-na tanda ketidak puasan.

Gi-na tidak berhasil membujuk Ratu U-bun Hong-nie untuk menyerahkan mandat kekuasaan kenegaraan kepada dirinya, saudara misan ini ternyata berkeras kepala, suatu hal yang membingungkan.

Gi-na seorang raja yang tidak berkekuasaan hanya untuk mengelabui rakyat dari negara tersebut. Tho-pa Cek dan Tho-pa Goan mengetahui akan hal ini, segera memberi perintah kepada tentaranya untuk memadamkan pemberontakan.

Para tentara penjajah tersebut bergerak menuju ke arah pintu Timur, di sana terjadi pemberontakan untuk memulihkan kekuasaan Ratu mereka, dan menjatuhkan raja boneka Gi-na yang tidak dapat menenangkan keadaan.

Panglima tentara Hwee-kie Tho-pa Cek dan Tho-pa Goan tidak turut gelanggang pertempuran, mereka harus menjaga keselamatan raja Gi-na dan sang tawanan U-bun Hong-nie.

Pertempuran berkobar semakin besar, suara hiruk pikuk dari para rakyat yang berontak menggema di seluruh angkasa. Soat-san Lo-koay Su-khong Tho dapat mendengar suara gaduh itu, sebagai orang undangan Raja Gi-na, ia menguatirkan keselamatannya. Karena inilah ia tidak dapat memusatkan seluruh perhatiannya untuk menghadapi Khong-khong Jie.

Khong-khong Jie dapat melihat suatu kekosongan tiba-tiba saja ia bergeser ke kiri, badannya bergerak cepat menerjang Thay Lok dan Touw Goan yang mengepung isterinya.

Ilmu kepandaian Thay Lok cukup tinggi, ia membalikkan telapak tangan memukul Khong-khong Jie, dengan lain tangan menangkis serangan Sin Cie Kow.

Touw Goan harus menggeser badan, ia menghadapi Khong-khong Jie dan meninggalkan Sin Cie Kow. Di dalam anggapannya, Thay Lok dapat bertahan untuk mmghadang kemajuan nyonya tersebut. Ia memusatkan seluruh perhatian menghadapi serangan Khong-khong Jie, gaetan diulurkan ke arah pedang yang datang.

Khong-khong Jie mengerahkan seluruh kekuatan tenaga, maka gaetan Touw Goan dibuat terpental terbang.

Sin Cie Kow tidak tinggal diam, pedang berkilauan cepat, maka ‘Sret’ Pundak Touw Goan telah terpapas, potongan baju beterbangan.

Touw Goan menderita kerugian tersebut hanya di dalam waktu yang paling singkat. lenyaplah daya tempurnya, ia lompat ke samping dan melarikan diri.

Thay Lok lebih pintar lagi, karena Sin Cie Kow tidak menyerang dirinya, ia mempunyai banyak kesempatan, setelah memukul Khong-khong Jie dengan satu balikan tangan, ia telah kabur terlebih dahulu.

Serangan Khong-khong Jie tadi telah membawa hasil sempurna, ia berhasil menolong keadaan istrinya yang terdesak.

Menurut peraturan, tidak seharusnya Touw Goan dan Thay Lok dapat dikalahkan secepat itu, bila mereka dapat bekerja sama, beberapa serangan Khong-khong Jie dapat dihadapinya. Hanya serangan Khong- khong Jie jauh berada di luar dugaan mereka. Siapa sangka orang yang telah berada di bawah kurungan Soat-san Lo-koay Su-khong Tho dapat keluar lepas dan bebas? Ditambah dengan ilmu meringankan badan Khong-khong Jie dan cara Thay Lok yang melarikan diri terlebih dahulu, maka Touw Goan menderita kerugian seperti tadi.

Soat-san Lo-koay Su-khong Tho sangat murka, bentaknya:

“Monyet kecil, kemana kau melarikan diri?”

Kelengahan Soat-san Lo-koay juga merupakan satu faktor kekalahan di pihaknya. Di saat ia menyerang kembali, Khong-khong Jie telah berhasil menolong istrinya dari kepungan Touw Goan dan Thay Lok.

Hasil Khong-khong Jie didapat karena rejekinya yang bagus, ia tidak ada niatan untuk meneruskan pertempuran itu. Dengan menarik tangan Sin Cie Kow, ia segera melarikan diri.

Soat-san Lo-koay harus menjaga keselamatan Raja Gi-na, tapi ia tidak ingin melepaskan Khong-khong Jie dan Sin Cie Kow begitu saja. Untuk mengalahkan dua orang ini, ia harus mendapat bantuan seseorang, maka katanya:

“Su-khong Beng, Touw Goan, segera kalian ke Ngo-hong-lauw menjaga keselamatan raja. Thay Lok, kau ikut aku untuk mengejar mereka.”

Di dalam loteng Ngo-hong-lauw telah ada Tho-pa Cek ayah dan anak, kekuatan mereka telah cukup hebat. Kini Soat-san Lo-koay mengirim lagi Su-khong Beng dan Touw Goan memperkuat pertahanan itu, diperkirakan tidak mungkin terjadi suatu apa.

Dengan mengambil misal ada seorang tokoh kuat seperti Khong-khong Jie kedua yang menyerang Ngo- hong-louw, Tho-pa Cek, Tho-pa Goan, Su-khong Beng dan Touw Goan seharusnya dapat menghadapinya. Apa lagi mengingat tidak mungkin ada Khong-khong Jie kedua. Soat-san Lo-koay Su-khong Tho telah memikir masak langkah tadi. Ia boleh mengejar dua buronannya dengan tenang, ia harus membalas dendam atas kekalahannya yang jatuh di tangan guru Khong-khong Jie dan sekalian memperkuat kedudukan raja Gi-na dengan menawan musuh-musuh raja boneka ini.

Kekuatan tenaga Soat-san Lo-koay Su-khong Tho berada di atas Khong-khong Jie, tetapi ilmu meringankan badan Khong-khong Jie berada di atas manusia ini. Dengan menenteng Sin Cie Kow, Khong- khong Jie tidak terburu-buru pergi, ia menoleh memandang Soat-san Lo-koay berkata:

“Hei, kau berani membikin pengejaran? Mari... dapatkah kau mengejar diriku?”

Soat-san Lo-koay Su-khong Tho telah terlambat beberapa saat, ia harus mengatur orang-orangnya terlebih dahulu. Ditambah ilmu meringankan badannya tidak dapat menyaingi Khong-khong Jie, mana mungkin ia menyandak?

Khong-khong Jie dan Sin Cie Kow telah melayang jauh, Soat-san Lo-koay Su-khong Tho sukar memikir pengejaran. Barisan tentara Hwee-kie tersusun rapi, terdengar pemimpin mereka berteriak:

“Lepas panah!”

Maka anak panah lepas dari busurnya, ribuan anak panah ini mengarah Khong-khong Jie dan Sin Cie Kow.

Untuk menyampok dan menyingkirkan diri dari beberapa batang anak panah memang tidak sukar, tetapi yang datang berjumlah ribuan, tidak mudah mereka menyingkirkan diri.

Masih beruntung Khong-khong Jie berkepandaian tinggi, berbadan enteng dan berotak encer. Dengan tidak melepaskan tangan yang menggandeng sang istri, ia menutulkan kedua kakinya, badan mereka melayang naik dan berada pada puncak tiang bendera.

Ternyata, untuk meningkatkan gengsi mereka, tentara Hwee-kie memasang tiang ini di keraton kerajaan Su-tho-kok. Pada puncak tiang tersebut berkibar bendera Hwee-kie yang gagah perkasa, suatu lambang bahwa kerajaan Su-tho harus tunduk di bawah bendera negara persemakmuran Hwee-kie.

Bagi para pembesar Su-tho yang hanya pandai mengeduk keuntungan diri sendiri dan golongannya pribadi, mereka tidak menaruh di dalam hati atas berkibarnya bendera tersebut. Tetapi bagi mereka yang masih mempunyai sifat-sifat kebangsaan, menganggap lambang bendera Hwee-kie itu sebagai suatu penghinaan besar. Di saat ini, tiang bendera tersebutlah yang menolong jiwa Khong-khong Jie suami istri.

Bagaikan dua ekor burung yang terbang, Khong-khong Jie dan Sin Cie Kow telah berada di puncak tiang bendera, hujan anak panah berhasil dihalau oleh mereka. Setelah menempatkan dirinya pada atas tiang tersebut, Khong-khong Jie mengeluarkan suara tertawa puas, ia merobek bendera Hwee-kie yang terpancang di sana, memukul jatuh beberapa anak panah yang dilepas oleh beberapa tentara Hwee-kie yang bertenaga besar.

Soat-san Lo-koay Su-khong Tho marah besar, menggeram menyelak keluar dari rombongan tentara Hwee-kie, tangannya digerakkan, maka ‘Hut’ memukul patah tiang bendera itu.

Khong-khong Jie masih tertawa, ia telah mengajak istrinya ‘terbang’ meninggalkan tiang bendera yang telah patah itu, tidak lama mereka telah berada pada tembok keraton.

Karena harus menghindari serangan anak panah, kemudian tiang bendera yang dijadikan barang andalan patah, gerakannya Khong-khong Jie dan Sin Cie Kow tertahan. Di saat mereka tiba di atas tembok keraton, Soat-san Lo-koay Su-khong Tho telah menantikan di tempat itu.

Khong-khong Jie memancarkan sinar mata berapi-api. “Su-khong Tho, kau kira aku takut kepadamu?” geramnya.

Soat-san Lo-koay Su-khong Tho tidak banyak bicara, terdengar ia membentak: “Turun kembali!” Ia melontarkan serangan untuk memaksa Khong-khong Jie suami istri balik kembali ke daerah keraton negeri Su-tho-kok.

Membarengi kata-kata Soat-san Lo-koay yang menyuruh Khong-khong Jie suami istri turun kembali, Khong-khong Jie tidak kalah kerasnya membentak:

“Minggir!”

Khong-khong Jie telah menyerang ke arah Soat-san Lo-koay untuk memaksa tokoh silat ini menyingkir dari atas tembok benteng keraton.

Bila untuk menghadapi serangan Khong-khong Jie seorang, Soat-san Lo-koay Su-khong Tho masih mampu menandinginya, bahkan ia mempunyai banyak harapan untuk menunggu kedatangan Thay Lok yang pasti dapat membantu dirinya. Dengan demikian Khong-khong Jie tidak lepas dari kurungan anak panah para tentara Hwee-kie.

Sin Cie Kow memahami hal ini, ia tidak berpeluk tangan, pedangnya digeser sedikit dan menyerang Soat- san Lo-koay itu.

Khong-khong Jie menyerang depan berdepan, Sin Cie Kow membantu sang suami dari samping sisi, arah tujuan mereka sama untuk menyingkirkan Soat-san Lo-koay Su-khong Tho.

Soat-san Lo-koay Su-khong Tho belum tahu kelihayannya ilmu pedang Sin Cie Kow, anggapnya nyonya ini lebih mudah untuk dihadapi, tidak perlu ditakuti, maka ia tidak memandang mata dan meneruskan serangannya yang ingin memaksa Khong-khong Jie turun dari tembok benteng keraton negara Su-tho itu.

Karena kelengahan inilah, hampir Su-khong Tho menderita kerugian. Pedang Sin Cie Kow berganti arah dan dari posisi yang sangat sulit menyerang kekosongan lawannya.

Soat-san Lo-koay Su-khong Tho terkejut, ia harus memiringkan pundaknya agar tidak terluka, karena inilah ia terdesak mundur sehingga tiga langkah, hampir saja jatuh dari atas tembok keraton.

Kesempatan kecil ini sangat menguntungkan Khong-khong Jie, ditarik lagi tangan Sin Cie Kow, suami istri ini melayang turun dari tembok benteng keraton, tidak lupa mengejek lawannya berkata:

“Soat-san Lo-koay, kau tunduk kepada perintahku, he? Baiklah. Akupun tidak ingin melukaimu. Selamat berjumpa pada lain kali.”

Soat-san Lo-koay Su-khong Tho marah-marah, ia sangat uring-uringan kepada dirinya sendiri. “Monyet kecil, sampai ke ujung langitpun akan kukejar,” katanya sakit hati.

Sampai saat ini, baru tampak Thay Lok datang naik ke atas tembok keraton.

“Thay Lok, mari ikut aku mengejar mereka,” berkata Soat-san Lo-koay Su-khong Tho kepada orang itu.

Thay Lok tidak berani menghadapi Khong-khong Jie seorang diri, tapi disamping dirinya masih ada Soat- san Lo-koay yang gagah perkasa, ia membesarkan hati turut mengejar.

Khong-khong Jie dan Sin Cie Kow melarikan diri. Sebelum mereka berhasil pulang ke rumah penginapannya, tiba-tiba saja muncul tentara Hwee-kie dari lorong-lorong jalan. Mereka menghujani dua tokoh silat itu dengan hujan anak panah. Ternyata tentara Hwee-kie telah disebar luaskan, mereka siap menunggu mangsa di segala tempat.

Khong-khong Jie dan Sin Cie Kow lompat naik ke atas genting, mereka berlari-larian di atas wuwungan rumah orang. Tetapi tentara Hwee-kie itu tidak melepaskannya, panah tetap berseliwiran

Karena gangguan ini, perjalanan Khong-khong Jie terlambat, tidak lama kemudian, Soat-san Lo-koay Su- khong Tho dan Thay Lok telah menyusul datang. “Masih kau belum mau menyerah?” berkata Soat-san Lo-koay Su-khong Tho kepada lawan itu, “Mengakuilah akan kekalahanmu.”

“Siapa yang akan kalah?” tantang Khong-khong Jie tertawa.

Dan untuk sekian kalinya, dua tokoh silat ini mengadu kepandaian di sana.

Thay Lok berhadapan dengan Sin Cie Kow. Tukang panah tentara Hwee-kie telah mengurung mereka.

Soat-san Lo-koay Su-khong Tho bertenaga hebat, tetapi sang lawan mempunyai ilmu meringankan badan yang paling istimewa, sukar sekali untuk mengalahkannya. Bila Khong-khong Jie mau, dengan mudah ia dapat melarikan diri meninggalkan Soat-san Lo-koay Su-khong Tho yang tentu tidak berdaya.

Sayang Sin Cie Kow terdesak oleh Thay Lok yang mendapat bantuan para tukang panah itu. Khong-khong Jie tidak dapat meninggalkan istrinya, iapun tidak dapat melepaskan diri dari kurungan Soat-san Lo-koay Su-khong Tho untuk menolongnya. Keadaan suami istri itu agak sulit juga.

Semakin lama, keadaan Khong-khong Jie suami istri semakin terjepit.

“Tidak disangka aku yang pernah malang melintang di dalam rimba persilatan dengan belum pernah mendapat tandingan harus terjungkal di negara kecil ini,” berkata Khong-khong Jie di dalam hati.

Di saat kekuatiran Khong-khong Jie bertambah, tiba-tiba terdengar suara teriakan-teriakan yang gemuruh. Dari lorong lain bermunculan rakyat Su-tho, di tangan mereka memegang bermacam-macam senjata. Dengan senjata yang beraneka ragam ini, mereka menyerang tentara Hwee-kie.

Terjadi pemberontakan yang besar-besaran, rakyat Su-tho itu siap memulihkan kekuasaan Ratu mereka. U-bun Hong-nie lebih pandai menjaga rakyatnya dari kekuasaan bangsa asing.

Para rakyat yang bergerak tidak terbatas pada itu saja. Dari lain lorong muncul tentara kerajaan dengan senjata lebih bagus dari pada gerakan rakyat itu, senjata mereka agak lengkap, dan dengan senjata ini mereka memukul barisan tentara Hwee-kie. Tentara Hwee-kie berhasil dibuat kucar kacir.

Thay Lok yang mendapat bantuan tentara Hwee-kie kehilangan pegangan, mengetahui hal ini. Cepat Khong-khong Jie lompat ke arah istrinya, mereka berhasil menggabungkan diri.

Khong-khong Jie dan Sin Cie Kow menggabungkan diri dengan massa rakyat dan tentara Su-tho itu. Dari rombongan mereka tampak seorang berwajah hitam yang seperti pantat kuali. Orang ini adalah salah satu dari empat pengawalnya Ratu U-bun Hong-nie yang bernama O-hok.

Khong-khong Jie segera mengenali pemimpin pasukan gerilya, dan yang lebih menggirangkannya ialah di belakang O-hok tampak seorang pemuda, itulah Can Pek Sin yang ingin ditemuinya.

“Hei, Pek Sin kecil,” berkata Khong-khong Jie. “Di mana Tiat Leng kau tinggalkan? Dari mana kau dapat mengumpulkan demikian banyak orang?”

“Mereka adalah kaum veteran yang O-hok kumpulkan. Dan Tiat Leng masuk ke dalam keraton untuk menolong bibi U-bun Hong-nie.” Can Pek Sin memberi keterangan singkat.

Pertempuran masih terjadi kalut, di kedua sisinya masih terdapat banyak musuh yang mengancam keselamatan jiwa.

“Mengapa kau membiarkannya seorang diri masuk ke dalam keraton?” berteriak Sin Cie Kow kaget. “Bukan seorang diri. Tapi ada kawan yang menemaninya,” Can Pek Sin memberi keterangan.

Sebelum Sin Cie Kow sempat bertanya siapa yang mengawani Tiat Leng masuk ke dalam keraton, Soat- san Lo-koay Su-khong Tho dan Thay Lok telah mengejar datang.

Khong-khong Jie dan Sin Cie Kow boleh tidak takut kepada keadaan kalut, mereka dapat memukul musuh sambil bicara. Tetapi untuk menghadapi Soat-san Lo-koay Su-khong Tho dan Thay Lok, tentu tidak mungkin sama sekali. Mereka sangat berhati-hati menghadapi dua lawan tangguh ini. Tentara Hwee-kie berpengalaman tempur, senjata mereka serba ada, tetapi rakyat Su-tho hanya bersenjata pisau dan golok, di antaranya terdapat juga pentung kayu biasa. Mereka kurang berpengalaman, hanya semangat tempur mereka yang menyala-nyala. Beberapa di antaranya telah naik ke atas genting, dengan genting-genting itulah mereka melempari musuh-musuhnya.

Hanya tentara veteran yang O-hok pimpin itu mendapat kemenangan. Mereka adalah veteran-veteran yang tidak puas terhadap raja boneka Gi-na dan tunduk kepada Ratu lama U-bun Hong-nie sebagai pengawal tentara kerajaan Su-tho. O-hok dapat mengetahui hal ini dan mengumpulkannya. Pasukan inilah yang dijadikan pasukan inti untuk mengusir para pasukan penjajah Hwee-kie.

Sayang jumlah pasukan inti ini terlalu kecil, tidak mudah mendapat kemenangan segera, pasukan Hwee- kie berjumlah besar dan sukar terkalahkan.

Jumlah pasukan Hwee-kie cukup besar, tapi rakyat Su-tho-kok lebih besar beberapa kali dari jumlah pasukan penjajah tadi. Rakyat jelata telah lama menantikan saat ini, mereka marah kepada raja Gi-na yang selalu tunduk kepada perintah Hwee-kie, tidak ubahnya negara Su-tho menjadi negara jajahan.

Rakyat yang bergerak, semakin lama semakin banyak.

Seluruh lorong dan jalan penuh sesak. Semakin lama, semakin sukar pula tentara Hwee-kie itu untuk menerjang keluar dari kepungan rakyat itu.

Soat-san Lo-koay Su-khong Tho dan Thay Lok harus menempur Khong-khong Jie dan Sin Cie Kow di dalam keadaan perang kalut. Tidak ada orang yang dapat mendekati empat orang ini, dan mereka pun harus siap waspada terhadap datangnya panah nyasar.

Gerakan rakyat semakin bergelora. Mereka melempar apa yang ada, mereka menggunakan papan pintu untuk mengadakan perlawanan terhadap tentara Hwee-kie, maka sebagian besar tentara Hwee-kie terbasmi.

“Usir tentara Hwee-kie!” sorak beberapa orang. “Usir tentara Hwee-kie!” sambut rakyat terbanyak. “Hura, kita telah mendapat kemenangan.”

“Ha... lihat. Pintu Timur telah menjadi lautan api.” “Keraton pun telah dibakar!”

“Hidup Ratu U-bun Hong-nie.” “Hidup negeri Su-tho-kok.”

Di antara suara hiruk pikuk itu, tiba-tiba terdengar lonceng bahaya keraton dibunyikan. Suara ini memecah keramaian rakyat yang bergerak untuk menggulingkan tentara Hwee-kie.

Bila lonceng keraton dibunyikan, itulah arti bahwa di sana telah terjadi sesuatu apa.

Soat-san Lo-koay Su-khong Tho dan Thay Lok terkejut, mereka segera maklum bahwa keadaan tidak menguntungkan pihaknya.

Soat-san Lo-koay Su-khong Tho memandang ke arah Timur, karena gerakan di mulai dari pintu Timur, kebakaran pada tempat itu sudah sangat jamak. Dilihat lagi ke arah keraton dan betul saja terlihat asap yang mengepul naik.

Panglima tentara kerajaan Hwee-kie Tho-pa Cek ayah dan anak berada di dalam keraton, ditambah dengan kekuatan Touw Goan, dan Su-khong Beng yang lihay, seharusnya tidak mungkin dapat terjadi sesuatu. Kini lonceng bahaya telah dipukul, asap mengulak naik dari arah tersebut. Mungkinkah keraton telah jatuh ke dalam tangan para rakyat yang berontak? Mungkinkah Tho-pa Cek, Tho-pa Goan, Touw Goan dan Su- khong Beng tidak dapat mempertahankannya?

Thay Lok sangat pandai melarikan diri. Suatu ketika dirinya terasing dari gelanggang pertempuran. Kebetulan beberapa tentara Su-tho menyerbu masuk, maka dengan tidak memberi tahu kepada Soat-san Lo-koay Su-khong Tho, Thay Lok pulang ke dalam keraton.

Soat-san Lo-koay Su-khong Tho belum cukup kuat untuk menghadapi serangan bersama Khong-khong Jie suami istri. Si pembantu bernyali kecil Thay Lok telah melarikan diri. Apa boleh buat, iapun meninggalkan, lawannya kembali ke dalam keraton.

Rakyat telah mendapat kemenangan mutlak, mereka mulai menyerang benteng keraton.

Tentara Hwee-kie telah membuat satu benteng yang kokoh kuat. Melihat beberapa orang yang mencoba merembet tembok benteng, mereka segera menghujaninya dengan anak panah.

Serangan untuk merebut keraton gagal.

Korban rakyat tidak sedikit, Khong-khong Jie mengetahui bahwa untuk membobolkan pertahanan tentara Hwee-kie, yang kokoh itu tidak mudah, katanya keras:

“Biar aku masuk ke dalam keraton lagi.”

O-hok memasang kuping tajam, maka terdengar olehnya tanda terompet dibunyikan. Terompet-terompet itu adalah tanda-tanda gerakan mereka untuk menghubungkan satu dan lain pasukan yang terpecah belah.

“Tidak usah masuk ke dalam keraton lagi.” Ia mencegah niatan Khong-khong Jie. “Mereka telah berhasil dan menuju ke arah pintu Timur, mari kita menyambutnya.”

Hasil yang didapat berada di luar dugaan. O-hok sekalian membujuk rakyat untuk membatalkan niatan mereka yang ingin menyerbu keraton. Mereka mundur dengan teratur dan menuju ke arah pintu Timur. Di sini mereka harus menyambut kehadirannya Ratu U-bun Hong-nie.

Khong-khong Jie tahu bahwa yang diartikan dengan ‘mereka’ oleh O-hok itu adalah U-bun Hong-nie sekalian. Ia hanya tahu bahwa di antaranya tentu terdapat Tiat Leng yang sangat disayang oleh Sin Cie Kow. Maka mereka menuju ke arah pintu Timur.

Menyaksikan pertempuran besar tadi, hati Khong-khong Jie telah terbuka. Bukan sedikit pertempuran yang dilakukan olehnya, hanya sekali ini ia merasakan kekuatan rakyat yang tidak bertenaga, massa yang bergolak, akan menjatuhkan segala apa yang melintang di hadapannya.

Can Pek Sin memandang Khong-khong Jie dengan wajah takut. Pemuda ini takut kena marah atas tindakannya yang membiarkan Tiat Leng pergi dari samping sisinya.

Mengetahui dirinya dipandang, cepat Khong-khong Jie bertanya:

“Eh, menurut pendapatmu, siapakah yang mempunyai kekuatan terhebat?”

Can Pek Sin tidak menyangka akan pertanyaan ini, ia berpikir sebentar dan memberikan jawaban, “Tentu saja kau si orang tua.”

Khong-khong Jie menggoyangkan kepala berkata:

“Bukan. Bukan diriku.”

“...!!??” Can Pek Sin memandangnya dengan penuh pertanyaan.

“Dan juga bukan Soat-san Lo-koay Su-khong Tho,” Khong-khong Jie menyambung kata-katanya tadi. “Terlebih bukan ayah Tiat Leng, Tiat Mo Lek yang menjadi beng-cu seluruh rimba persilatan.” Jago-jago yang dapat melawan Khong-khong Jie, kecuali Soat-san Lo-koay Su-khong Tho dan ayah Tiat Leng yang bernama Tiat Mo Lek, mana mungkin ada orang ketiga? Tetapi Khong-khong Jie telah menyangkalnya terlebih dahulu. Siapakah tokoh kuat yang diartikan olehnya?

“Siapakah yang mempunyai kekuatan terhebat?” bertanya Can Pek Sin yang mengajukan pertanyaan tersebut.

“Massa rakyat,” berkata Khong-khong Jie perlahan. “Tenaga rakyat yang bergerak itulah yang terhebat.”

“Kau tidak menyalahkan diriku?” bertanya Can Pek Sin yang kuatir kena marah membiarkan Tiat Leng pergi menerjang bahaya.

“Dengan alasan apa marah kepadamu?”

“Aku tidak menurut perintahmu dan menunggu kalian di dalam rumah penginapan. Sedari pertama kali tiba di ibu kota negara Su-tho-kok ini, aku telah bekerja menurut rencana sendiri. Dengan diam-diam menghubungi O-hok dan siap melakukan gerakan untuk membantu kalian.”

O-hok turut mendengar percakapan mereka, tiba-tiba ia turut berbicara:

“Berhasilnya rencana bukan jasaku seorang. Apa yang dapat kugerakkan hanya tidak ada seribu kaum veteran. Dan rakyat yang bergerak itu jauh beberapa kali lipat dari jumlah yang kudapat kumpulkan. Tenaga rakyat inilah yang menentukan kemenangan. Suatu hal yang berada di luar perhitunganku.”

“Bukan di luar hitungan, tapi tenaga yang terlupakan.”

Mereka telah tiba di pintu Timur, di sini kekuatan gerilya berpusat, daerah basis kekuatan U-bun Hong-nie, gerakan mulai dari tempat ini.

Pintu kota telah bobol rusak, dari dalam keraton masih terjadi pertempuran kalut. Rombongan orang yang berontak kepada raja Gi-na berlarian keluar, pakaian mereka compang camping, di belakang mereka mengejar pasukan tentara Hwee-kie yang ingin menumpas pemberontakan.

Dilihat dari pakaian yang mereka kenakan, orang-orang yang sedang dikejar itu bukan rakyat kota. Pakaian mereka ada yang terbuat dari kulit binatang. Rombongan ini adalah rombongan para pemburu yang Hau-khan kumpulkan.

“Lihat!” berkata O-hok. “Bukan rakyat kota saja yang berontak, para pemburu dari gunung-gunung pun membantu kita.”

Dari rombongan orang muncul seorang pemuda berambut kuning, dengan pakaiannya yang terbuat dari kulit binatang. Pemuda ini menerjang ke arah Can Pek Sin dan berteriak:

“Can, kau telah tiba!”

Pemuda berambut kuning itu adalah pemimpin pasukan pemburu yang bernama Hau-khan. Seluruh badannya telah bermandikan luka, ia menderita luka yang agak parah.

Menyaksikan keadaan Hau-khan yang menguatirkan, Can Pek Sin segera berteriak: “Saudara Hau-khan. Kau mengapa...?”

“Aku harus memberi tahu kepadamu bahwa...” Hau-khan telah berada di depan Can Pek Sin, tetapi ia tidak meneruskan kata-katanya, badannya sempoyongan jatuh.

Can Pek Sin maju memayangnya. “Jangan kau banyak bicara,” katanya. “Lukamu agak parah.” Hau-khan dengan napas sengal-sengal berkata:

“Ratu kita telah tertolong dan nona Tiat mu turut dengannya. Mereka tidak menderita sesuatu apa.”  O-hok sangat girang mendapat kabar ini.

“Dimana mereka?” tanyanya.

Hau-khan menunjuk ke suatu tempat. “Lihat!” katanya. “Mereka telah datang.”

Sampai di sini, Hau-khan telah kehabisan tenaga, badannya jatuh lunglai dan pemuda kuat ini jatuh pingsan. Ia terlalu banyak mengeluarkan darah.

Untuk jelasnya ada lebih baik kita melihat bagaimana Tiat Leng menolong Ratu negara Su-tho-kok U-bun Hong-nie.

<>

Ternyata Hau-khan yang mengumpulkan orang telah menyelusup masuk ke dalam ibu kota terlebih dahulu. O-hok telah mendapat berita, maka ia tahu kedatangan rombongan Hau-khan ini.

Can Pek Sin setelah tiba di ibu kota Su-tho-kok segera meminta permisi dan mencari O-hok menceritakan kedatangan Khong-khong Jie suami isteri.

O-hok telah diam beberapa waktu di ibu kota, ia telah menghubungi kaum veteran yang tidak puas dengan kebijaksanaan raja Gi-na, tenaga inilah yang akhirnya menjadi pasukan inti mereka.

Rencana O-hok ialah menyiapkan sebuah pasukan berpura-pura mengadakan serangan dan tekanan terhadap keraton. Tenaga ini hanya untuk mengalihkan perhatian pihak raja Gi-na dan tentara Hwee-kie, dengan lain kekuatan mereka ingin merebut Ratu mereka yang tertawan.

Pasukan yang ditugaskan menyerang keraton tidak dibenarkan memasuki atau menerjang benteng keraton, hal ini disebabkan kurangnya kekuatan mereka. Tentu saja, gerakan rakyat yang berada di luar dugaan itu belum diperhitungkan masak-masak, maka harus disayangkan sekali.

Tiat Leng diminta kesediaannya untuk menyamar menjadi seorang pelayan keraton. Hau-khan menyamar menjadi seorang pengawal keraton, dengan orang-orang yang telah O-hok sediakan, mereka langsung diberi tugas untuk menolong Ratu U-bun Hong-nie.

Di saat Khong-khong Jie suami istri menempur Soat-san Lo-koay Su-khong Tho sekalian, Tiat Leng dan Hau-khan telah menempatkan diri mereka di dalam keraton itu juga. Karena belum waktunya untuk melakukan gerakan, mereka bersembunyi dan tidak melakukan suatu apa.

Kawan-kawan Hau-khan yang berjumlah hampir tigaribu orang itulah yang mulai melakukan gerakan. Mereka menyerang pintu timur, melepas api menuju ke arah keraton.

Di saat ini, Khong-khong Jie dan Sin Cie Kow telah melarikan diri, Soat-san Lo-koay Su-khong Tho dan Thay Lok mengejarnya. Su-khong Beng, Touw Goan telah kembali ke loteng Ngo-hong-lauw untuk menjaga keselamatan raja.

Dua tenaga yang terkuat dari pihak Hwee-kie telah mengejar Khong-khong Jie dan waktu yang O-hok tetapkan untuk ‘menyerang’ keraton hampir tiba.

Tiat Leng dan Hau-khan bersama dua orang dalam mengadakan perembukan. “Mari kita menjalankan tugas kita,” berkata Tiat Leng.

Tiga orang lainnya setuju, maka mereka mulai menuju ke arah loteng Ngo-hong-lauw.

Patut diketahuinya bahwa setiap malam jam tiga, telah ditetapkan seorang pelayan keraton untuk memberi obat ke loteng Ngo-hong-lauw. Pelayan keraton ini yang ditugaskan menjaga Ratu U-bun Hong-nie.

U-bun Hong-nie telah menjadi seorang tawanan. Raja Gi-na takut saudara misan ini bunuh diri, maka pada makanan yang tersedia, ia mencampurnya dengan sedikit obat lemas sehingga membuat U-bun Hong-nie tidak bertenaga. Untuk menjaga agar tidak terjadi cacad pada saudara misannya, Raja Gi-na harus menyediakan obat lainnya, obat inilah yang harus diantar oleh pelayan keraton. Sekarang Tiat Leng memegang peran sebagai pelayan keraton yang bertugas untuk mengantar obat dan sekalian mengawani U-bun Hong-nie. Hau-khan menyamar menjadi pengawal keraton yang menjaga keselamatan obat tadi. Dua orang lainnya mengawani mereka.

Setelah tiba di atas loteng, sinar pandangan mata U-bun Hong-nie yang bentrok dengan Tiat Leng menunjukkan rasa kagetnya. Sang Ratu segera mengenali siapa adanya si pelayan keraton.

Raja Gi-na berperasaan tajam, perubahan wajah U-bun Hong-nie tak lepas darinya. Dan di dalam ingatan dirinya yang ada, belum pernah ia melihat ada seorang pelayan keraton seperti apa yang tampak di hadapan mereka.

Para pelayan keraton tidak berkepandaian, selalu mereka terlambat mengantar obat. Hari ini ternyata lebih cepat beberapa saat dari waktu yang ditetapkan.

Gi-na menunjuk ke arah Tiat Leng seraya membentak:

“Hei, siapa namamu?”

Tiat Leng telah mengetahui bahwa ada sesuatu yang menimbulkan kecurigaan orang, obat yang dibawa segera dilemparkan ke arah Raja Gi-na, dan lari menuju ke arah U-bun Hong-nie.

Badan kecilnya Su-khong Beng bergerak, cepat ia berteriak:

“Tangkap pemberontak!”

Dengan kedua tangan, manusia kerdil ini memukul ke arah Tiat Leng yang membelakanginya.

Hau-khan tidak tinggal diam, ia tahu bahwa kedok samarannya telah terbuka. Badan pemuda rambut kuning ini bergerak dan menerima pukulan Su-khong Beng.

Hau-khan mempunyai tenaga simpanan yang cukup besar, betul ia belum pernah melatih silat, suatu hal yang harus disayangkan. Dengan tenaga kekuatan ini, ia menyambuti kekuatan Su-khong Beng.

Sebagai anak dari Soat-san Lo-koay Su-khong Tho yang ternama, Su-khong Beng mempunyai tenaga hebat yang luar biasa. Hau-khan berhasil dipukul mundur tiga langkah dengan memuntah darah dari mulutnya.

Hau-khan terpukul mundur, tetapi Su-khong Beng yang menerima tenaga pemuda berambut kuning inipun telah tergoyah dari posisi kedudukan semula. Kedua tangannya yang memukul dirasakan kesemutan, dengan badan bergoyang-goyang.

Tho-pa Cek datang menyerang. Hau-khan tidak dapat menghindarinya, pundak kirinya tertusuk dan mengeluarkan darah lagi.

Touw Goan dengan tameng dan gaetan di tangan tidak tinggal diam, tetapi jago buronan dari Tiong-goan ini harus berhadapan dengan dua orang gagah Su-tho yang mengawani Tiat Leng dan Hau-khan.

Tiat Leng berhasil mendekati U-bun Hong-nie, dibangunkannya Ratu itu sambil berkata: “Bibi Hong-nie makanlah obat pemunah badan lemas ini.”

Tiat Leng memasukan obat tersebut ke dalam mulut Ratu U-bun Hong-nie.

Obat pemunah racun lemas tersimpan di gudang obat-obatan. Orang yang ditugaskan menjaga gudang obat-obatan adalah orang yang pro kepada U-bun Hong-nie, maka setelah O-hok menghubunginya, dengan suka rela ia menyerahkan obat yang diminta.

Kepandaian raja Gi-na ialah merengek-rengek kepada bangsa asing Hwee-kie untuk meminta perlindungannya, memajukan diri menyaksikan jalannya pertempuran dengan hati berdebar-debar. Su-khong Beng tidak akan membiarkan Tiat Leng menolong U-bun Hong-nie. Manusia kerdil ini merangsak maju dengan hebat.

Panglima tentara Hwee-kie Tho-pa Cek pandai menggunakan siasat perang, tetapi apa yang sedang dihadapi bukanlah perang besar-besaran. Di sini hanya terjadi pertempuran perseorangan. Ia tidak berdaya karena sang anak, Tho-pa Goan telah berada di dalam rangkulannya Hau-khan yang bertenaga besar.

Touw Goan telah berhasil membunuh satu dari dua jago O-hok yang ditugaskan mengantarkan Tiat Leng dan Hau-khan ke dalam keraton. Kini masih mendesak sisa musuhnya dengan hebat.

Tiat Leng harus memperhatikan U-bun Hong-nie, berhadapan dengan si manusia kerdil Su-khong Beng yang gagah, si gadis terdesak hingga di pinggir tempat tidur.

“Semua berhenti!”

Tiba-tiba terdengar satu suara yang menggelegar. Inilah suara Hau-khan yang turut menyaksikan keadaan buruk bagi pihaknya. Ia telah berhasil menawan anak seorang panglima, Tho-pa Goan telah dijadikan barang jaminannya.

Manakala Hau-khan membentak tadi, Touw Goan telah menyelesaikan sisa musuhnya, dan siap membunuh Tiat Leng yang mulai keteter.

Hau-khan meletakkan pedang pada leher Tho-pa Goan, segera ia membentak lagi: “Lekas suruh semua orang berhenti!”

Kata-katanya ditujukan kepada Tho-pa Cek.

Panglima tentara Hwee-kie ini tidak berdaya, segera ia berteriak:

“Tuan Touw, harap kau dapat bersabar.”

Perintah Tho-pa Cek mana mungkin tidak dapat diturut? Touw Goan dan Su-khong Beng menghentikan serangan mereka yang diarahkan kepada Tiat Leng.

Touw Goan dan Su-khong Beng adalah jago-jago undangan Raja Gi-na untuk memelihara kedudukan raja tolol ini. Untuk mendapat kedudukan tinggi, tentu Touw Goan dan Su-khong Beng harus tunduk kepada perintah Raja Gi-na.

Tetapi raja Gi-na mengandalkan negara Hwee-kie untuk mengalahkan sang saudara misan, U-bun Hong- nie, ia harus ta’at kepada perintah panglima tentara Hwee-kie yang bernama Tho-pa Cek tadi.

Dengan demikian, orang yang paling berkuasa di itu tempat adalah si panglima tentara Hwee-kie Tho-pa Cek.

Tanpa meminta pendapat Raja Gi-na lagi, Tho-pa Cek memberi perintah kepada Touw Goan dan Su- khong Beng menghentikan gerakan.

Setelah keadaan agak tenang, Tho-pa Cek berhadapan dengan Hau-khan berkata: “Apa yang kau mau?”

“Kalian tidak boleh menghalang-halangi maksud kami yang ingin keluar dari keraton ini,” berkata Hau-khan keras. “Setelah berada di luar pintu, tentu kami kembalikan anakmu.”

Sudah waktunya Raja Gi-na membuka suara, dengan gemetaran ia berkata: “Mereka ingin membawa lari si bekas Ratu U-bun Hong-nie, di dalam hal ini...” “Satu tukar satu, permintaan yang adil.” Tho-pa Cek tidak perduli kesukaran raja Gi-na setelah berhasil melepaskan U-bun Hong-nie dari kekuasaan mereka.

“Bagaimana bila mereka tidak memegang janji?” Touw Goan mencoba memberi peringatan.

“Kami tidak dapat disamakan dengan kalian,” bentak Tiat Leng marah. “Kata-kata yang telah diucapkan tidak mungkin ditarik kembali.”

“Kalian dapat menyediakan pasukan panah, bila kami tidak menepati janji, pasukan panah ini dapat digunakan bukan?” Hau-khan turut bicara.

Di dalam hati panglima tentara Hwee-kie Tho-pa Cek, jiwa anaknya lebih penting dari pada jiwa seorang bekas Ratu negara Su-tho itu, ia segera memberi perintah:

“Baik. Biarkan mereka pergi.”

Di saat ini, rombongan pemburu yang menjadi kawan-kawan Hau-khan telah menyerang masuk di pintu timur. Rakyat yang bergerakpun telah masuk ke dalam keraton. Terjadi pertempuran yang sengit.

Jumlah tentara Hwee-kie di dalam keraton jauh lebih besar dari rakyat yang dapat menerobos kepungan- kepungan mereka. Di sini mereka terkurung rapat lagi. Tentara Hwee-kie telah siap membasmi rombongan yang masuk perangkap tadi.

Hau-khan telah berhasil menawan anak panglima, maka tentara Hwee-kie tidak dapat mengurungnya, mereka dipaksa memberi jalan. Tertolonglah rakyat yang terkepung itu.

Mereka masih belum puas, maka dengan membakar apa yang mereka temukan, keraton Ngo-hong-lauw telah dibakar.

Setelah keluar dari keraton, U-bun Hong-nie telah dapat memulihkan tenaganya. Ia menyuruh Hau-khan melepaskan orang jaminan itu.

Hau-khan melepas Tho-pa Goan.

Panglima Hwee-kie Tho-pa Cek tidak memegang janji, setelah mengetahui bahwa anaknya berhasil lolos dari bahaya, ia menyiapkan lain pasukan untuk membikin pengejaran. Sedianya ingin menangkap U-bun Hong-nie lagi.

Pasukan pemburu dan rakyat yang bergerak mengadakan perlawanan, mereka harus melawan dengan mundur, arah mereka ialah pintu Timur.

Tidak lama, pasukan ini bergabung dangan pasukan O-hok yang memberi bantuan.

Dari jauh, Tho-pa Cek dapat melihat Khong-khong Jie turut berada di dalam pasukan baru ini, ia tidak berani menyentuh Khong-khong Jie, maka ditarik pulang pasukan tersebut dan bertahan di dalam keraton.

Khong-khong Jie dan Sin Cie Kow sangat gembira melihat bahwa Tiat Leng tidak menderita sesuatu apa.

Tiat Leng segera menceritakan pengalamannya, mereka ikut mengundurkan diri dengan pasukan-pasukan yang telah tergabung menjadi satu itu.

Sehingga di sini, maka cerita telah bergabung kembali. Khong-khong Jie dapat mengetahui apa yang telah dilakukan oleh Tiat Leng di dalam keraton Ngo-hong-lauw.

U-bun Hong-nie telah dapat memulihkan tenaganya yang disusut oleh saudara misan sendiri itu, ia menghaturkan terima kasihnya.

“Beruntung Khong-khong cianpwee turut membantu, maka segala sesuatu dapat berjalan dengan lancar.”

“Betul,” O-hok turut bicara. “Dia telah menyeret Soat-san Lo-koay Su-khong Tho dan Thay Lok, dua tokoh kuat di pihak mereka. Khong-khong tayhiap membuat pahala yang terbesar di dalam pertempuran ini.” “Bila Soat-san Lo-koay Su-khong Tho dan Thay Lok masih berada di Ngo-hong-lauw, belum tentu Tiat Leng sekalian dapat keluar dengan aman,” U-bun Hong-nie berkata.

“Jangan kalian mengkultus individukan aku,” berkata Khong-khong Jie tertawa. “Pahala yang terbesar seharusnya jatuh pada Hau-khan. Entah siapa yang menjadi guru pemuda itu? Tidak kusangka masih ada orang yang kuat menerima pukulan si kecil Su-khong Beng.” 

Potongan badan Su-khong Beng memang tidak normal, maka Khong-khong Jie menyebutnya sebagai ‘si kecil’, tetapi ia tidak berpikir terlebih dahulu bahwa dirinya pun tidak lebih besar dari pada orang. Bukan sedikit kawan-kawan lama yang memanggilnya dengan julukan ‘monyet kecil’.

“Dia belum belajar silat,” Can Pek Sin memberi keterangan tentang asal usul Hau-khan. “Kekuatannya dan ilmu-ilmunya didapat dari penghidupan dengan para binatang di rimba, mengikuti gerakan-gerakan binatang itu, keahliannya sungguh hebat. Dahulu, aku dan Lauw Bong hampir dikalahkan olehnya.”

Khong-khong Jie agak terkejut:

“Wah, seorang pemuda yang berbakat bagus,” pujinya.

Hau-khan terlalu banyak mengeluarkan darah, sehingga saat ini masih belum juga ia tersadar dari pingsannya.

Tiat Leng menguatirkan keselamatan orang, segera ia berkata:

“Sukong, kau harus berusaha menolong dirinya.”

“Tidak usah kau minta,” berkata Khong-khong Jie tertawa. “Mana mungkin kubiarkan ia mati penasaran?”

U-bun Hong-nie dapat mengetahui bahwa luka Hau-khan tidak ringan, Ratu Su-tho-kok inipun sangat menguatirkan.

“Dapatkah ia ditolong?” U-bun Hong-nie berkata.

“Orang lain tentu tidak dapat menolongnya,” berkata Khong-khong Jie. “Hanya aku yang sanggup memberikan pertolongan kepadanya.”

“Ha...” Sin Cie Kow menepuk pundak sang suami, “Penyakit lamamu kambuh lagi?”

“Kau tidak tahu bahwa di dalam saku bajuku masih tersedia sebutir obat Siauw-hoan-tan pemberian ketua partai Siauw-lim-pay,” berkata Khong-khong Jie. “Bila tidak ada obat ini, mungkinkah aku berani berjanji?”

<>

Mereka telah menempatkan dirinya pada sebuah desa, O-hok telah menyiapkan segala sesuatu yang dianggap perlu.

Khong-khong Jie menyalurkan tenaga dalamnya ke badan Hau-khan, tenggorokan si pemuda berkerokokan dan memuntahkan darah hitam. Setelah itu, Khong-khong Jie membantu menghidupkan jalan darah si pemuda yang tersumbat. Setengah jam kemudian, wajah Hau-khan yang pucat mulai bersemu merah.

Tiat Leng telah menyediakan segelas air, Khong-khong Jie mengambil air tersebut, dimasukkannya obat Siauw-hoan-tan ke dalam mulut Hau-khan. Dengan bantuan air, obat tersebut dapat dimasukkan ke dalam isi perutnya.

“Setelah memakan Siauw-hoan-tan, tiga hari kemudian, luka-lukanya akan sembuh semua,” berkata Khong-khong Jie.

Obat Siauw-hoan-tan ciptaan Siuw-lim-sie sangat mujarab, tapi bila tidak ada tenaga dalam Khong-khong Jhe yang istimewa, belum tentu Hau-khan tertolong. Khong-khong Jie tidak mau menelan semua jasa-jasa dan mengucapkan kata-kata tadi, suatu bukti bahwa sikap sombongnya si tokoh silat itu telah banyak berubah. Hau-khan membuka kedua matanya, tampak ia telah terbaring di suatu tempat yang asing. Di hadapannya berdiri Khong-khong Jie dengan potongan badannya yang agak mirip dengan makhluk hutan, tentu ia menjadi kaget.

“Eh,” teriaknya. “Dimana aku berada? Di rimba raya? Mengapa ada...?”

Mata Hau-khan yang agak kabur menganggap Khong-khong Jie sebagai makhluk kera, ia tidak tahu bahwa ‘kera’ ini yang telah menolong jiwanya.

Can Pek Sin cepat menarik tangan sang kawan, katanya:

“Dia adalah Khong-khong tayhiap, tokoh mandraguna di negara Han. Luka-lukamu dialah yang menyembuhkan.”

Hau-khan menelan kata-kata berikutnya, hampir ia menduga kepada makhluk kera, ia membentangkan kedua matanya lebar-lebar. Ia masih kurang percaya dengan keterangan Can Pek Sin.

Manusia yang mempunyai bentuk potongan seperti kera ini mempunyai kepandaian tinggi? Tokoh mandraguna di negara Han?

Banyak sekali keragu-raguan pemuda berambut kuning itu, sehingga lupa mengucapkan terima kasih. Khong-khong Jie tertawa, ditunjukkan wajah membodor berkata:

“Beberapa orang menyebut diriku sebagai seekor ‘monyet tua’, inginkah kau menjadi seekor ‘monyet kecil’?”

Khong-khong Jie pandai bahasa Su-tho, ia mengucapkan kata-kata tadi di dalam bahasa tersebut.

Sebagai penduduk negeri Su-tho-kok, Hau-khan tentu mengerti bahasa daerahnya. Yang tidak dimengerti ialah apa arti maksud dari kata-kata tadi?

Can Pek Sin berteriak girang, katanya segera:

“Saudara Hau-khan, Khong-khong tayhiap ini ada niatan untuk menerima kau sebagai muridnya. Suatu rejeki besar yang tidak sembarang orang dapat harapkan.”

“Berguru kepadanya?” jawab Hau-khan ragu-ragu. “Apakah ilmu kepandaian yang dimiliki?”

Khong-khong Jie semakin senang dengan sifat jujur Hau-khan, ia tidak menjadi gusar, sebaliknya tertawa berkakakan.

“Kau lihat,” katanya. “Burung itu sedang bertengger di atas pohon, bukan? Dapatkah kau menangkapnya?

Hau-khan memandang pohon yang Khong-khong Jie tunjuk, di sana tampak seekor burung sedang bertengger.

“Pohon itu sangat tinggi,” Hau-khan memberi jawaban, “Tetapi aku sanggup untuk mendakinya. Hanya disayangkan bahwa burung yang kau maksudkan masih bersayap, ia tentu terbang bila kutiba di dekatnya. Aku hanya dapat menangkap anak burung yang belum pandai terbang atau telur mereka di sarang burung.”

“Nah perhatikanlah kepandaian yang kupunyai,” berkata Khong-khong Jie yang mencelatkan diri melayang ke pohon yang ditunjuk tadi.

Mengetahui ada orang yang mendekatinya, burung tersebut segera membentangkan kedua sayap dan terbang melayang.

Burung itu hanya dapat terbang beberapa senti dari tempat semula, Khong-khong Jie yang sudah berada di sana mengulurkan tangan membentak: “Turun!”

Burung yang dimaksud jatuh ke dalam telapak tangan Khong-khong Jie.

Khong-khong Jie bukan saja telah memperlihatkan ilmu meringankan badan yang tiada taranya, berbareng mendemontrasikan kekuatan tenaga dalam yang hebat. Dengan satu gerakan cepat, ia lompat naik pohon, dengan mengerahkan tenaga dalamnya, ia menyedot burung yang ingin terbang itu.

Can Pek Sin dan Tiat Leng bertepuk tangan menyaksikan tontonan yang menakjubkan.

“Hebat... hebat!” Tiat Leng mengeluarkan pujian. “Hanya sukongku yang dapat mempunyai kemahiran seperti ini.”

Hau-khan tidak mengerti bagaimana cara Khong-khong Jie menangkap burung yang bersayap segar. Ia hanya mengetahui bahwa orang yang mempunyai bentuk ukuran seperti ‘makhluk kera’ di hadapannya itu sangat hebat sekali.

“Suhu!!” Hau-khan menjatuhkan diri, memanggil sambil memberi hormat. Tiat Leng sangat gembira, ia maju mendekati Hau-khan dan memanggil:

“Sutee!”

Setelah memandang ke arah Sin Cie Kow, Tiat Leng berkata:

“Suhu, aku telah kau terima sebagai murid. Sudah semestinya kini dia memanggilku sucie, bukan?” Khong-khong Jie berlaga akan memukul, katanya:

“Memang kau yang mau menang sendiri. Baiklah, mulai hari ini dia harus memanggil sucie kepadamu.” Untuk selanjutnya, Khong-khong Jie memberi keterangan kepada muridnya yang baru diterima.

“Hau-khan,” katanya. “kau masih mempunyai seorang suheng yang bernama Tiat Ceng, saudara tua dari Tiat Leng, dan Tiat sucie mu ini adalah murid dari ibu gurumu. Kau adalah murid kedua yang kuterima.”

Orang banyak mengucapkan selamat atas pengangkatan murid barunya Khong-khong Jie. Keadaan di sekitar tempat situ mulai diliputi oleh suasana gembira.

Ratu U-bun Hong-nie telah terlepas dari keadaan bahaya. Untuk merayakan kemenangan itu, kini mereka mengadakan jamuan makan.

Mereka mengucapkan selamat atas kebebasan Ratu U-bun Hong-nie! Selamat buat kemenangan pertempuran!

Selamat bagi pengangkatan murid baru Hau-khan!

>>>>> T A M A T <<<<<
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar