Jiwa Ksatria Jilid 15

  
Can Pek Sin dan Thie Po Leng yang terlepas dari bahaya, hatinya merasa lega. Tetapi kepandaian Lauw Bong masih tidak sebanding dengan mereka, untuk menghadapi U-tie Cun, sudah tentu sangat berat, maka baru beberapa jurus saja, keadaannya sudah sangat berbahaya.

Thie Po Leng dan Can Pek Sin segera menerobos keluar dari kepungan empat pengawal U-tie Cun, dan lari menghampiri Lauw Bong sambil berseru:

“Engko Bong...!”

Tetapi ia hanya dapat mengatakan itu saja, ia tidak tahu apa yang harus dikatakan lagi. “Terima kasih yang kau dan saudara Can, telah datang menengokku,” berkata Lauw Bong. Thie Po Leng yang mendengar ucapan itu hatinya merasa bimbang. Kedatangan kepada keluarga Bok hari itu sebetulnya tidak berani mengharap dapat menemukan Lauw Bong. Sungguh tidak terduga akhirnya telah berjumpa. Lebih-lebih tidak terduga bahwa Lauw Bong telah muncul pada saat yang sangat gawat itu. Dengan tanpa takut bahaya ia telah keluar hendak membantu dirinya.

Perasaannya terhadap Lauw Bong yang sebetulnya sudah mulai dingin saat itu, mulai hangat lagi.

Kedatangan Thie Po Leng itu membuat Lauw Bong tidak begitu berat menghadapi U-tie Cun. Tetapi Can Pek Sin yang melawan empat pengawal dengan seorang diri, tampaknya agak berat.

Thie Po Leng dan Lauw Bong perlahan-lahan mendesak U-tie Cun ke arah Can Pek Sin. U-tie Cun yang tidak berhasil menjatuhkan lawannya, juga tidak berhasil mencegah mereka yang hendak menggabungkan diri dengan Can Pek Sin.

Can Pek Sin yang berkelahi dengan penuh semangat, akhirnya dapat menggabungkan diri dengan Lauw Bong. Ia berkata sambil tertawa terbahak-bahak:

“Lauw toako, hari ini kembali kita bergandengan tangan lagi untuk menghadapi lawan.”

Pemuda yang berjiwa besar itu, mengunjukkan sikap jujur dan sewajarnya, hingga membuat Lauw Bong diam-diam merasa malu.

Meskipun Can Pek Sin dan Thie Po Leng mendapat bantuan Lauw Bong melawan musuhnya yang terdiri dari lima orang, sudah mulai agak ringan, tetapi juga tidak mudah dapat menembus kepungan U-tie Cun.

Can Pek Sin dan Thie Po Leng karena menghadapi musuh tangguh, harus menggunakan ilmu pedang yang diajarkan oleh Khong-khong Jie. Dengan demikian bukan berarti mereka hendak meninggalkan Lauw Bong. Tiga orang itu masih tetap terkepung oleh lima musuhnya, tetapi kerja sama yang baik dari dua orang itu membuat Lauw Bong seolah-olah bertempur dengan seorang diri. Karena Lauw Bong merupakan lawan paling empuk bagi pihak si perwira, maka Can Pek Sin dan Thie Po Leng mau tak mau sesekali harus membantunya.

Demikianlah, dalam pertempuran itu Lauw Bong satu kali terkena serangan pecut U-tie Cun. Masih untung sebagian serangan tersebut telah tertahan oleh Can Pek Sin, tidak telak mengenai sasaran, tidak sampai membuat luka parah.

Kini, dengan terlukanya Lauw Bong, tugas Can Pek Sin dan Thie Po Leng jadi makin berat, karena di samping harus mempertahankan diri mereka merasa perlu pula menjaqa keselamatan jiwa kawan.

U-tie Cun yang mengetahui keadaan lebih menguntungkan dirinya, sambil tertawa besar lantas berkata:

“Bocah she Lauw! Mengingat kau adalah keponakan Bok loya, sekali ini dosamu kuhapuskan!” dan sambil menunjuk Can Pek Sin dan Thie Po Leng meneruskan: “Kepada dua sahabat ini, supaya lekas letakkan senjata dan ikut kami pulang supaya dapat keringanan hukuman. Aku sebenarnya masih sayangi jiwa kalian.”

Lauw Bong dengan suara lantang berkata:

“Tangan boleh putus kepala boleh pecah! Aku tak sudi menyerah kecuali bila kau dapat membunuhku!”

Lauw Bong yang sudah hampir tak tahan dalam gusarnya seolah-olah memancar tenaga baru ke seluruh tubuhnya, dengan nekad menerjang lawannya.

Bok Khong agak mulai tenang, sekali lagi mengajak ayahnya ke dalam dengan berkata: “Ayah, kau tidak suka campuri urusan ini, marilah kita kembali ke ruang tamu.”

Baru saja mengakhiri perkataannya, tiba-tiba terdengar seorang tua berkata:

“Anak tidak perlu repot-repot, aku sendiri sudah datang hendak menonton keramaian.”

Seorang tua berpakaian baju panjang kain kasar, dalam sekejap sudah berada di samping mereka. Bukan kepalang terkejutnya Bok An, dengan cepat ia berkata:

“Saudara Thia, maafkan penyambutan yang kurang sempurna, mari kita balik ke ruangan tamu saja.”

Can Pek Sin dan Thie Po Leng mengenali orang tua seperti orang desa itu, yang disebut oleh Bok An saudara Thia, adalah orang desa yang dilihatnya di depan pintu gerbang gedung keluarga Bok, ketika ia datang ke gedung itu.

Sekarang orang tua seperti orang desa itu dengan tangan membawa pipa tembakaunya yang panjang, dan ia terus bicara, sambil sebentar-sebentar menyedot pipanya. Sikapnya seenaknya saja seperti tidak berhadapan dengan orang dari pasukan negeri. Sebaliknya Bok An yang berlaku sebagai tuan rumah, dan merupakan salah seorang terkemuka dalam rimba persilatan, sikapnya itu demikian menghormat terhadap dirinya.

Orang tua seperti orang desa itu adalah guru silat kenamaan di daerah San-tung. Ia bernama Thia Tek Wie, ia berkepandaian sangat tinggi. Itulah sudah sewajarnya dan tidak merupakan soal bagi Bok An, hanya adatnya yang keras dan aneh, yang paling ditakuti oleh Bok An. Sebab orang tua itu kalau sudah ‘mengadat’ tidak perduli berhadapan dengan pembesar negeri atau orang berpengaruh. Ia berani mendampratnya apabila ia bertindak tidak benar. Kepandaian ilmu silat Bok An belum tentu berada di bawahnya, tetapi karena khawatir orang tua itu akan menimbulkan onar, mau tidak mau ia harus berlaku sabar dan bersikap menghormat dihadapannya.

Tak disangka bahwa sikap Bok An itu tidak dihargai sama sekali. Ketika mendengar perkataan itu ia bahkan tertawa terbahak-bahak, kemudian berkata:

“Bagi kita orang-orang yang berilmu silat, paling senang melihat orang melakukan pertandingan ilmu silat. Bagaimana kau malah usir aku kembali ke ruangan tamu? Hem, tahukah kau bahwa aku paling jemu pergaulan dengan orang-orang dari kalangan pemerintah.”

Bok An tidak berani menjawab, tetapi dalam hati berpikir, apabila hanya melihat saja tidak menjadi halangan apa-apa.

Di luar dugaan, Thia Tek Wie menyaksikan pertempuran itu sebentar, lalu berkata pula:

“Bertanding cara begini, sesungguhnya sangat tidak adil! Di satu pihak terdiri dari lima orang golongan tua, tetapi di lain pihak hanya tiga orang dari angkatan muda. Ini bukankah suatu perbuatan yang menindas terhadap golongan muda, atau dengan lain perkataan, mengeroyok lawannya dengan jumlah yang lebih banyak? Selama aku ingat keadaan begini tidak patut!”

“Ini bukan pertandingan, melainkan melakukan tugas!” berkata Bok An dengan suara perlahan. Sementara itu dalam hatinya berpikir: Kurang ajar orang tua ini masih pura-pura tidak tahu.

“Apa katamu? Pasukan pemerintah yang hendak melakukan tugas di rumahmu? Tugas apa itu?” bertanya Thia Tek Wie dengan suara lantang.

Dengan muka merah Bok An menjawab:

“Saudara Thia, jangan bicara terlalu keras. Urusan dalam pemerintahan, kita jangan turut campur.”

“Aha, pemuda yang bersenjata golok itu bukankah anak Lauw Cin? Dia tokh masih keponakanmu bukan? Hem, kurang ajar, hari ini adalah hari ulang tahunmu. Kalau hendak menangkap orang juga tidak boleh dilakukan hari ini, apalagi di dalam gedungmu. Ini sungguh tidak memandang mata kepadamu. Kau boleh bersabar tetapi aku tidak, aku akan membela keadilan!”

“Saudara Thia, jangan!”

“Mengapa jangan? Apakah kau hendak membantu orang luar menangkap keponakanmu sendiri?”

“Bukan, bukan, aku selamanya tidak mau campur tangan dalam urusan dunia Kang-ouw, baik dari golongan hitam maupun golongan putih.” “Bagus, bagus! Kalau kau benar-benar tidak mau turut campur tangan, biarlah aku yang akan turun tangan. Ini juga tidak ada sangkut pautnya denganmu! Baik, urusan tidak adil ini, aku hendak campur tangan.”

Bok An dibuatnya tidak berdaya, tetapi meskipun ia dalam hati mendongkol, namun tidak berani merintangi perbuatan orang tua itu.

Thia Tek Wie menyedot pipanya, ia tidak menghiraukan Bok An. Dengan tindakan yang lebar menghampiri medan pertempuran.

Thia Tek Wie kelihatannya seperti orang desa yang ketolol-tololan, sedangkan U-tie Cun adalah keturunan keluarga orang kuat yang selamanya berdiam di kota raja. Selama dua tahun terakhir meskipun tidak bertugas di kota Gui-pok, juga masih merupakan orang dari golongan pemerintah, bukannya orang golongan dalam rimba persilatan.

Ia tidak begitu dengar nama Thia Tek Wie, karena melihat orangnya ketolol-tololan, tidak dipandang mata sama sekali.

Maka ia segera berkata sambil tertawa dingin:

“Orang she Thia, kau adalah tetamu keluarga Bok. Aku seharusnya mengalah terhadapmu, tetapi karena kau hendak campur tangan, maka kau jangan sesalkan kalau aku tidak memberi muka padamu.”

Ucapan itu separoh ditujukan kepada Thia Tek Wie separoh juga ditujukan kepada Bok An.

Bok An tidak berani berkata apa-apa, tetapi tidak demikian dengan Thia Tek Wie, dia segera menjawab sambil tertawa terbahak-bahak:

“Aku selamanya tidak ingin mendapat muka dari siapapun juga, kau tidak perlu membawa-bawa keluarga Bok. Aku hanya meminjam tempat keluarga ini untuk tempat berkelahi.”

“Baik, kau ingin berkelahi!” berkata U-tie Cun.

“Jangan tergesa-gesa, sebentar lagi barulah giliranmu,” berkata Thia Tek Wie.

Ternyata pada saat itu Lauw Bong sedang terdesak mundur oleh lawannya, seorang dari pasukan negeri. Thia Tek Wie adalah seorang ahli ilmu silat kenamaan, ia tahu bahwa U-tie Cun tidak dapat dikalahkan dalam dua-tiga jurus, maka ia tinggalkan dulu.

Sementara itu, ia sudah bergerak secara tiba-tiba melalui bawah pecut U-tie Cun.

U-tie Cun menggerakkan pecutnya demikian cepat tetapi serangannya yang demikian hebat itu, ternyata sudah dielakkan demikian mudah oleh Thia Tek Wie.

Kini barulah U-tie Cun sangat terkejut, ia baru mengetahui sudah berhadapan dengan lawan tangguh. Di lain saat, Thia Tek Wie sudah bergebrak dengan orang yang tadi menjadi lawannya Lauw Bong.

Orang itu menggunakan senjata sebuah gada yang panjangnya tigapuluh kaki lebih, sedangkan senjata Thia Tek Wie hanya menggunakan pipa panjangnya. Namun demikian senjata itu digunakan demikian rupa, hanya satu tangkisan saja dengan senjatanya sudah berhasil menahan senjata gada yang berat itu.

Orang itu marah sekali, gadanya segera digunakan untuk menghajar kepala orang tua itu. Thia Tek Wie menyambutnya sambil berkata:

“Kepandaian seperti ini, kalau sanggup melawan aku sampai tiga jurus, kau boleh keluar sebagai pemenang.”

Tiba-tiba ia membentak: “Lepaskan senjatamu!” Pipa panjangnya bergerak ke atas, tepat mengenakan pergelangan tangan lawannya. Pipa yang masih ada api dari tembakaunya itu, sudah tentu masih panas. Orang itu bukan saja kulitnya merasa panas, tetapi tulang dan urat-uratnya juga dirasakan tegang, sambil berteriak kesakitan, benar saja ia segera melepaskan senjata dari tangannya, dan tangannya itu tidak bisa diangkat lagi.

Thia Tek Wie baru berpaling menghadapi U-tie Cun sambil tertawa terbahak-bahak.

Bukan kepalang terkejut dan marahnya U-tie Cun, yang menyaksikan orang bawahannya dibikin terpental senjatanya oleh orang tua itu hanya dalam satu kali pukul saja, maka ia segera membentak dengan suara keren menantang:

“Orang she Thia, kau jangan lari, sambutlah serangan senjataku!”

“Mengapa aku harus lari! Kalau aku takut kau, apakah aku berani campur tangan urusan ini?”

U-tie Cun sementara itu sudah melancarkan serangannya, ia menggunakan gerak tipu yang paling ampuh dalam ilmu pecut dari keturunan keluarganya.

Gerak tipu serangan itu pernah membuat Lauw Bong mengalami kekalahan, juga pernah membuat Can Pek Sin tidak berdaya. Kini ia gunakan lagi untuk menghadapi Thia Tek Wie. Ia tahu bahwa orang tua itu jauh lebih kuat dari pada dua lawan terdahulu, maka ia menggunakan tenaga sepenuhnya.

Thia Tek Wie nampaknya juga dikejutkan oleh serangan hebat itu, ia berkata:

“Ilmu pecut keluarga U-tie, benar-benar hebat dan bukan hanya nama kosong belaka. Tetapi kau gunakan untuk menyerang aku, barangkali belum tentu memenuhi keinginanmu!”

Di bawah serangan yang gencar, ia putar pipa panjangnya sedemikian rupa. Dua senjata itu dalam waktu singkat sudah beradu hampir duapuluh kali, sehingga menimbulkan suara amat nyaring, tetapi senjata pipa panjangnya yang terbuat dari bahan-bahan kayu itu ternyata tidak sampai patah oleh senjata pecut yang terbuat dari baja.

U-tie Cun melanjutkan serangannya dengan gerak tipu itu, karena ia tahu dengan menggunakan gerak tipu itu meskipun tidak mendapat kemenangan, tetapi juqa tidak akan dikalahkan, dianggapnya Thia Tek Wie pasti menyambut serangannya itu dengan tangan dan perhatian sepenuhnya, asal ia sedikit lengah, maka akan segera diserbunya.

Tak disangka bahwa Thia Tek Wie sudah mendapat siasat untuk memecahkan gerak tipu serangannya itu. Tepat pada saat ia melakukan serangannya lagi lebih hebat, Thia Tek Wie tiba-tiba berkata sambil tertawa:

“Tuan besar paling suka mendapat muka, aku si orang tua dari desa akan menghormati dulu padamu dengan tembakau pipaku ini.”

Mulutnya dibuka lebar, asap tebal menyembur keluar. Kiranya orang tua itu mempunyai semacam kepandaian yang bisa menyedot asap rokok ke dalam perutnya, setelah itu disemburkannya kembali.

U-tie Cun meskipun suka merokok, tetapi disembur asap rokok secara tiba-tiba, sesaat jadi gelagapan.

Ia buru-buru pejamkan matanya, dan tangan kirinya melancarkan serangan jarak jauh untuk membuyarkan asap rokok, tetapi dengan demikian maka kekuatan serangan pecutnya banyak berkurang.

Di lain saat Thia Tek Wie membentak keras:

“Kau juga harus lemparkan senjatamu!”

Dengan satu serangan yang sama seperti digunakan kepada lawannya yang pertama, yaitu pipanya yang ada apinya itu menyelomot pergelangan tangan U-tie Cun.

U-tie Cun mengerang, dan benar saja senjata pecutnya terlepas dari tangannya, tetapi kepandaiannya jauh lebih tinggi dari orang bawahannya. Meskipun serangan Thia Tek Wie mengenainya dengan tepat, tetapi sebelum pecutnya terlepas, tangannya sendiri tergores oleh ujung pecut, namun ia ada mempunyai ilmu ampuh, luka itu hanya luka di kulit saja, tapi sebaliknya dengan U-tie Cun, satu tulang tangannya telah remuk. Bukan kepalang terkejutnya Bok An yang menyaksikan kejadian itu, dalam cemasnya ia lalu berseru: “Saudara Thia, harap jangan...”

Belum habis ucapannya, Thia Tek Wie sudah cepat-cepat menyelanya:

“Bagaimana? Apa kau anggap seranganku kuramg kejam? Baiklah, bagaimana juga aku sudah melanggar dosa terhadap seorang pembesar negara, baik dihukum kurungan maupun dihukum mati, sudah tidak kuhiraukan lagi. Bok Ceng-cu, jikalau kau merasa kurang puas, asal kau mengeluarkan sepatah kata saja, aku boleh juga membunuh anjing pembesar negeri ini!”

Bok An yang sudah ketakutan lalu berpikir: Orang tua ini adatnya. aneh. Jikalau aku mintakan maaf kepadanya, barangkali ia semakin menggila. Dia benar-benar melakukan pembunuhan di rumahku!

Kepandaian Bok An belum tentu kalah terhadap Thia Tek Wie, tetapi sedikit banyak dia masih ingin menjaga kedudukannya sendiri. Jikalau terang-terangan melindungi pasukan negara dan bermusuhan dengan Thia Tek Wie, niscaya ia akan kehilangan kedudukannya di dalam rimba persilatan. Akibat itu lebih buruk dari pada keluarganya ditangkap oleh pembesar negeri.

Maka, ia terpaksa menundukkan kepala tidak berani bersuara lagi.

U-tie Cun yang sudah remuk sebatang tulang tangannya, sudah tidak dapat melanjutkan pertampuran lagi. Semula dalam benaknya masih terlintas suatu pikiran ingin memaksa Bok An membantu pihaknya untuk menggertak Thia Tek Wie. Tetapi setelah mendengar perkataan Thia Tek Wie, ia segera tahu bahwa Bok An tidak dapat digunakan untuk menggertak orang tua itu. Ia takut Thia Tek Wie benar-benar akan turun tangan lebih kejam, maka ia juga tidak berani membuka mulut, buru-buru melarikan diri.

Tiga orang bawahan U-tie Cun yang bertempur dengan Can Pek Sin, Thie Po Leng dan Lauw Bong bertiga, sudah tentu merasa berat.

Dua orang sudah terluka di tangan Can Pek Sin dan Thie Po Leng. Sehabis menjatuhkan lawannya Thie Po Leng segera menggantikan Lauw Bong dan Lauw Bong sementara itu segera mengejar U-tie Cun.

Kalau tadi Thia Tek Wie berkata hendak membunuh U-tie Cun, perkataan itu hanya untuk menakut-nakuti Bok An saja. Ia dengan Bok An merupakan sahabat lama. Meskipun merasa jemu terhadap perbuatan Bok An, tetapi biar bagaimana ia masih tidak ingin menyulitkan kedudukannya, maka ketika U-tie Cun kabur, ia juga tidak mengejar.

Tidak demikian dengan Lauw Bong. Lauw Bong masih muda dan bardarah panas, ia tadi pernah dihajar oleh pecut U-tie Cun. Rasa sakitnya masih belum hilang, sudah tentu ia ingin membalas hinaan itu.

Bok An tidak berani merintangi perbuatan Thia Tek Wie, tetapi terhadap Lauw Bong ia berani. Maka segera mencegahnya.

Lauw Bong meskipun tahu pamannya itu tidak mau melindungi dirinya tetapi ia juga tidak menduga bahwa Bok An melarang tindakannya.

Untuk sesaat Lauw Bong berdiri melengak, tiba-tiba ia melemparkan goloknya, dan memberi hormat kepada Bok An seraya berkata:

“Tit-jie sudah satu bulan lebih mengganggu paman, Tit-jie sangat berterima kasih atas kebaikan paman! Kali ini Tit-jie menyulitkan paman, hal ini membuat Tit-jie merasa sangat tidak enak. Tetapi, harap paman jangan khawatir, mulai hari ini, Tit-jie tidak akan menginjak gedung keluarga Bok lagi, supaya tidak menyulitkan paman.”

Setelah berkata demikian, ia segera berlalu. Dengan muka merah padam Bok An berkata:

“Baik, kau pergilah! Pamanmu hanya berkata beberapa patah kata saja, kau sudah marah terhadap pamanmu! Bagus, selanjutnya kau jangan menginjak rumahku lagi.” Karena Lauw Bong berlalu, Thie Po Leng dan Can Pek Sin sudah tentu juga ikut pergi. Sementara itu U-tie Cun dan anak buahnya, juga sudah tidak tampak batang hidungnya.

Di dalam taman itu hanya tinggal Thia Tek Wie dan Bok An dua orang tua saja. Thia Tek Wie berkata sambil menepuk pundak Bok An:

“Lao Bok kau telah mengusir pergi keponakanmu sendiri, apakah kau ingin mengusir aku lagi?” “Saudara Thia, kau jangan bersenda gurau!” jawab Bok An agak gugup.

“Baiklah, karena kau tidak mengusir aku, mari kita balik ke ruangan tetamu. Aku masih ingin minum arakmu, sedang kau juga harus mengawani tetamu. Jangan khawatir, ada demikian banyak sahabat dalam rimba persilatan. Apakah kau masih takut tiada orang yang akan membantumu?”

“Saudara Thia, kau..., kau jangan sebut-sebut urusan yang sudah lalu itu tadi.”

Bok An adalah seorang kaya dan mempunyai kedudukan baik, sudah tentu tidak ingin Thia Tek Wie menceritakan keburukannya terhadap kawan-kawannya.

<>

Mari kita sekarang mengikuti perjalanan Lauw Bong. Sekeluarnya dari rumah keluarga Bok, pelayan yang biasa mengurus dirinya sudah membawakan seekor kuda untuknya. Pelayan itu sudah tahu bahwa Lauw Bong sudah tidak dapat ditahan lagi, maka ia minta supaya pemuda itu, baik-baik menjaga dirinya sendiri.

Lauw Bong menolak pemberian kuda oleh pelayannya itu, tetapi pelayan itu berkata:

“Ini adalah kuda tungganganku sendiri, yang kubeli dengan dipotong gajiku setiap bulan. Jadi ini bukan barangnya keluarga Bok! Siangkong, kau jangan mengeluarkan uang, kalau kau memberi uang kepadaku, itu berarti bahwa kau memandang rendah diriku!”

Sambil mengucurkan air mata dan menghela napas panjang Lauw Bong berkata:

“Sungguh tidak disangka paman yang kaya raya dan mendapat nama baik di dalam rimba persilatan, sebaliknya dapat dikalahkan oleh...”

Ia sebetulnya ingin mengeluarkan perkataan kalah dengan seorang pelayan, tetapi ia urungkan maksudnya untuk mengeluarkan perkataan itu, ia segera melompat ke atas kuda tanpa menoleh lagi.

Can Pek Sin dan Thie Po Leng jalan bersama-sama dengan menggunakan kuda tunggangan sendiri.

Can Pek Sin sengaja memberikan kesempatan supaya Lauw Bong jalan berdampingan dengan Thie Po Leng, tetapi Lauw Bong sebaliknya merasa likat berjalan berdampingan dengan Thie Po Leng.

Entah karena rasa mendongkolnya terhadap pamannya masih belum lenyap, ataukah disebabkan perasaaa lain? Lauw Bong yang berjumpa lagi dengan Thie Po Leng yang sudah berpisah lama, seharusnya banyak kata-kata yang akan diucapkan. Tetapi sejak meninggalkan gedung keluarga Bok, dalam perjalanan itu mulutnya terus membungkam, bahkan selalu menghindarkan kudanya jalan berendeng dengan Thie Po Leng.

Thie Po Leng pada saat itu sebetulnya juga ada banyak perkataan yang akan diucapkan, tetapi ia tidak tahu bagaimana harus memulai, karena Lauw Bong tidak mengajaknya bicara, sudah tentu ia juga merasa tidak enak, untuk mengganggu kekasihnya itu.

Dua orang itu sudah sepuluh pal lebih terpisah dari rumah keluarga Bok, namun sepanjang jalan itu tiada sepatah perkataan yang keluar dari mulut masing-masing. Akhirnya Can Pek Sin yang memecah kesunyian itu:

“Lauw toako, kau tidah usah berduka. Seorang famili seperti Bok An itu, baik jangan dikenalnya saja. Kau masih banyak sahabat baik, seperti pelayan yang memberikan kuda kepadamu tadi. Dan masih ada enci Leng yang menjelajahi dunia Kang-ouw untuk mencari kau, terhadap kau sesungguhnya sungguh- sungguh. Meskipun kau kehilangan seorang famili, tetapi bertemu lagi dengan seorang sahabat yang paling akrab, seharusnya kau merasa gembira.”

Can Pek Sin biasanya tidak pandai bicara, tetapi kali ini perkataannya yang sungguh-sungguh itu benar- benar telah mengharukan hati Lauw Bong. Maka ia menjawab:

“Ya, aku seharusnya mengucapkan terima kasih pada kalian yang sudah datang menengok aku. Saudara Can, meskipun perhubunganmu dengan aku masih belum dalam, tetapi kebaikanmu terhadap sahabat, benar-benar sangat mengesankan aku.”

Perkataan Can Pek Sin tadi sebetulnya ingin mempereratkan hubungan Thie Po Leng dengan Lauw Bong, tak disangka Lauw Bong sudah mengelakkannya dengan pintar sekali, bahkan perkataannya itu segera dibalikkan kepada dirinya sendiri.

Can Pek Sin merasa cemas, terpaksa ia kemudian bicara dengan terus terang:

“Kau dengan enci Leng sudah lama tidak bertemu, dan tokh tidak mendapat kesempatan untuk bicara. Sekarang kalian seharusnya masing-masing mengutarakan isi hati sendiri!”

“O ya! Nona Thie, aku juga merasa berterima kasih yang kau sudah datang menengok aku. Kalian ingin pergi kemana?” berkata Lauw Bong hambar.

Thie Po Leng tercengang, dalam hatinya berpikir: Sekalipun disebabkan ada orang ketiga sehingga kau merasa tidak enak menunjukkan cinta kasihmu terhadap aku, tetapi juga tidak seharusnya berlaku begitu dingin dan hambar!

Ia menduga sikap hambar Lauw Bong itu terhadap dirinya hanya ada dua kemungkinan, ialah kesalahan paham terhadap hubungannya dengan Can Pek Sin, atau disebabkan dengan kedatangan Liong Seng Hong.

Kalau disebabkan karena sebab-sebab yang pertama, jiwa Lauw Bong sesungguhnya terlalu sempit. Tetapi kalau disebabkan oleh sebab-sebab yang kedua, hal ini membuat Thie Po Leng merasa lebih tidak enak.

Ia adalah seorang yang tinggi hati. Sebetulnya perbuatan Lauw Bong tadi yang membantu padanya tanpa menghiraukan jiwanya sendiri, cinta kasihnya terhadap pemuda itu yang sudah pudar, telah timbul lagi. Tetapi sekarang ketika menyaksikan sikapnya yang dingin dan hambar, cinta kasihnya yang sudah panas, tanpa disadari juga dingin lagi dengan sikap Lauw Bong itu. Maka ia juga berkata dengan suara dingin:

“Aku hendak pulang untuk sembahyang dihadapan kuburan Yaya.”

Mendengar Thie Po Leng menyebut tentang kematian yayanya, Lauw Bong merasa semakin pilu rasanya, dan ia berkata:

“Kejadian malam itu, aku... aku merasa sangat menyesal sekali...” Can Pek Sin buru-buru berkata:

“Urusan yang sudah lalu, perlu apa diungkap lagi? Yaya tidak menyalahkan kau, disaat hendak menutup mata masih... masih mengharap...”

Can Pek Sin ingin memperbaiki hubungan mereka, kebohongan yang dikarangnya sendiri, selagi hendak diulangi lagi, Thie Po Leng tiba-tiba memotong perkataannya dan berkata:

“Siao-sin, kau jangan katakan lagi!”

Pikiran dan perasaan Thie Po Leng pada saat itu, bagaimana diketahui oleh Can Pek Sin? Walaupun mereka pernah dibesarkan bersama-sama. Ia hanya menganggap enci Leng nya itu merasa malu mendengar keterangan itu.

Sesudah tertawa menyeringai, ia berkata pula: “Ya, waktu berkumpul bagi kalian di kemudian hari masih banyak, baiklah nanti sesudah di lembah Phoan- liong-kok, aku akan tuturkan lagi. Mari sekarang kita lekas jalan.”

Dalam hati Can Pek Sin mengira Lauw Bong akan berjalan bersama-sama dengannya, maka tidak pikir untuk minta keterangan Lauw Bong. Di luar dugaannya, Lauw Bong tiba-tiba menghentikan kuda dan berkata:

“Saudara Can, nona Thie, terima kasih kuucapkan atas kunjungan kalian kepadaku. Di dalam dunia ini tak ada perjamuan yang tak akan berakhir. Sekarang kita juga sudah harus berpisah. Semoga dikemudian hari kita bisa berjumpa lagi.”

Can Pek Sin terkejut, ia berkata:

“Apa? Apakah Lauw toako tidak akan pulang bersama-sama kita?”

“Di lembah Phoan-liong-kok aku sudah tidak mempunyai rumah dan sanak keluarga, untuk apa aku pulang ke sana? Kali ini aku datang kemari dari rumah pamanku yaitu Hee Kauw Ing, maksudku hanya untuk mengurus pekerjaan ayah yang belum selesai, di sini tugasku sudah selesai sudah tentu aku akan kembali ke rumah paman Hee,” berkata Lauw Bong sambil tertawa getir.

Jawaban Lauw Bong ini sesungguhnya di luar dugaan Can Pek Sin, hampir saja ia merasa tidak enak untuk menegur, tetapi akhirnya ia berkata juga:

“Bagaimana kau dapat mengatakan bahwa di lembah Phoan-liong-kok sudah tidak mempunyai sanak saudara? Bukankah enci Leng ini adalah sanak saudaramu? Apakah kau tidak harus turut bersembahyang dihadapan kuburan Yayanya?”

Ia merasa bahwa perkataannya itu lebih tepat diucapkan oleh Thie Po Leng sendiri, maka ia menggunakan isyarat dengan matanya kepada Thie Po Leng, supaya gadis itu turut bicara.

Tetapi pikiran Thie Po Leng pada saat itu terlalu kalut. Di satu pihak ia mendongkol karena sikap Lauw Bong yang dingin terhadapnya, di lain pihak ia merasa berat hendak berpisah lagi dengan Lauw Bong yang baru saja baru bertemu muka lagi.

Pada saat itu justru tiba di jalan persimpangan tiga.

Lauw Bong sudah akan memutar kudanya, melanjutkan perjalanannya sendiri. Thie Po Leng dengan menahan mengalirnya air mata, dengan suara mengandung rasa mendongkol dan pedih ia berkata:

“Bagus, Lauw Bong, pergilah menempuh perjalananmu sendiri. Kau boleh melupakan lembah Phoan-liong- kok, juga boleh melupakan semua perkataan kita yang sudah lalu. Selanjutnya aku juga tidak akan mencari kau lagi.”

Thie Po Leng sendiri tidak tahu, bahwa hati dan pikiran Lauw Bong sendiri sebetulnya lebih menderita dari padanya. Lauw Bong sebetulnya tidak ingin berlaku hambar terhadapnya, hanya disebabkan ia merasa bahwa Thie Po Leng lebih tepat kalau berjodoh dengan Can Pek Sin. Dipandang dari sudut manapun juga, Can Pek Sin tepat menjadi suaminya Thie Po Leng. Maka, ia terpaksa harus mengeraskan hatinya, sengaja menunjukkan sikap dingin terhadap Thie Po Leng, supaya gadis itu baik lagi dengan Can Pek Sin.

Di luar dugaan sesudah ia mengambil keputusan itu dan hendak berpisah dengan Thie Po Leng, dari mulut gadis itu tiba-tiba mendengar ucapan yang memilukan itu. Thie Po Leng menuduh ia melupakan ucapan yang pernah dikeluarkannya, jelaslah sudah bahwa gadis itu menyesalkan padanya yang sudah mengingkari sumpah janjinya sendiri.

Lauw Bong dalam hati merasa sangat pilu, tetapi ia hanya dapat mengeluh saja pada saat itu. Kalau menurut perasaan hatinya sendiri, ia sebetulnya ingin menghampiri dan memeluk Thie Po Leng untuk mengulangi janjinya yang lama.

Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda, seorang gadis berbaju merah dengan menunggang kuda tinggi besar lari ke arahnya. Gadis itu bukan lain dari pada Liong Seng Hong. Liong Seng Hong telah menyaksikan Lauw Bong dan Thie Po Leng berada di persimpangan jalan, kuda masing-masing menuju menghadap ke jurusan yang berlainan, agaknya hendak berpisahan. Gadis itu diam-diam merasa girang. Ia tidak menyapa lebih dulu kepada Thie Po Leng, sudah berkata kepada Lauw Bong:

“Engko Bong, mengapa kau pergi juga tidak mengutus pelayan memberitahukan kepadaku? Pamanmu berlaku tidak pantas terhadap kau, tetapi aku tokh tidak bersalah apa-apa terhadapmu!”

Lauw Bong terkejut, dengan cepat ia menjawab:

“Aku tidak menyangka kau juga bisa keluar dari rumah paman, kau, bukankah...?”

Sebelum melanjutkan kata-katanya, Liong Seng Hong sudah berada dihadapannya. Dengan nada suara mendongkol gadis itu berkata:

“Memang benar aku pernah ditotok jalan darahku oleh pamanmu. Iparku di luar tahu ayahnya telah membuka totokanku. Hem, sungguh tidak disangka Bok An bisa berbuat demikian terhadap kita. Jikalau bukan karena memandang muka enciku, aku benar-benar akan menamparnya dulu baru pergi.”

Sudah berkata beberapa lama, Liong Seng Hong baru ingat kepada Thie Po Leng dan Can Pek Sin, maka ia baru berkata kepada mereka dengan perasaan tidak enak:

“None Thie, ketika kau datang, aku tidak membawamu menjumpai Lauw toako. Itu disebabkan karena sudah diatur oleh enci. Bok Chengcu adalah ayah suami enciku. Ia sudah mengeluarkan larangan, tidak mengijinkan siapapun juga mengabarkan kedatangan Lauw Bong. Maka enciku juga terpaksa menurut. Nona Thie, kau jangan menyesalkannya. Syukurlah akhirnya kalian bertemu muka juga. Dan sekarang bagaimana? Bukankah kalian berjalan satu jurusan? Em, em, aku kira ada banyak hal, kau hendak katakan kepada engko Bong. Bagaimana begitu cepat sudah akan berpisah lagi?”

Thie Po Leng sebetulnya boleh berpisah dengan Lauw Bong, tetapi juga boleh tidak berpisah. Andaikata Lauw Bong mau berkata beberapa patah kata yang baik, keretakan antara mereka segera dapat diperbaiki. Tetapi karena Lauw Bong bersikap dingin terhadapnya, dan sekarang muncul lagi Liong Seng Hong, ucapan Liong Seng Hong itu, telah menetapkan Thie Po Leng akan berpisah dengan Lauw Bong. Dengan demikian, Thie Po Leng mau tidak mau terpaksa mengeraskan hatinya, benar-benar mengambil keputusan harus berpisah dengan Lauw Bong.

Katanya dengan suara hambar:

“Aku sudah kata bahwa aku hanya ingin menengok tetanggaku yang lama. Untuk apa aku bicara lama dengannya? Dia mempunyai tujuannya sendiri, begitu juga dengan aku, sudah tentu tidak dapat berjalan ke satu jurusan.”

Liong Seng Hong diam-diam merasa girang, perduli perpisahan itu disebabkan karena Can Pek Sin ataukah bukan, tetapi sudah berkata demikian, selanjutnya tentu tidak akan mencari Lauw Bong lagi.

Lauw Bong berkata:

“Nona Thie bersama Can siaohiap hendak pulang ke lembah Phoan-liong-kok, sedangkan aku hendak ke rumah paman Hee Kauw Ing. Dan kau sendiri?”

Ia tahu Liong Seng Hong akan mengikuti dirinya, tetapi ia masih pura-pura menanya.

“Aku berlalu dari rumah keluarga Bok, kemana lagi harus pergi? Kemana kau pergi, ke situ juga aku serta,” berkata Liong Seng Hong sambil tertawa.

“Baiklah, paman Hee Kauw Ing sana sedang membutuhkan orang. Baik juga kau pergi bersamaku. Mari kita jalan. Saudara Can, nona Thie, semoga kalian di jalan tidak mendapat rintangan apa-apa,” berkata Lauw Bong.

Ia bukan hendak mengalihkan cinta kasihnya terhadap Thie Po Leng kepada orang lain, tetapi karena hendak merekokkan jodoh Thie Po Leng dengan Can Pek Sin. Ia sengaja berlaku mesra terhadap Liong Seng Hong, supaya Thie Po Leng marah kepadanya. Liong Seng Hong dengan muka berseri-seri, melarikan kudanya mengikuti Lauw Bong.

Sementara itu Thie Po Leng dengan mulut membisu membedal kudanya menuju lembah Phoan-liong-kok.

Can Pek Sin dalam hati mengeluh, tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia telah menyaksikan dua kekasih itu, yang satu menuju ke timur, yang lain menuju ke barat. Ini berarti suatu tanda keretakan bagi mereka.

Ia mengejar Thie Po Leng seraya berkata sambil menghela napas:

“Enci Leng, bagaimana bisa terjadi demikian?”

“Kau suruh aku berbuat bagaimana? Apakah harus menarik tangannya melarang ia pergi? Hem, kalau ia mau pergi biarlah dia pergi, siapa sudi memberati diri orang lain?” berkata Thie Po Leng mendongkol.

Can Pek Sin merasa sedih, menurut alam pikirannya, Lauw Bong tidak seharusnya bersikap dingin terhadap Thie Po Leng. Benarkah Lauw Bong seorang pemuda mata keranjang yang sesudah dapat yang baru lalu membuang yang lama?

Ia tidak dapat menduga perasaan hati Thie Po Leng juga ia tidak dapat menduga perasaan hati Lauw Bong. Bagaimana ia dapat menduga bahwa Lauw Bong berbuat demikian, semata-mata karena disebabkan ia sendiri.

Ketika ia angkat muka, Thie Po Leng sudah lari jauh maka ia segera berseru:

“Enci Leng, kau baru saja habis melakukan pertempuran sengit, kau harus sayangi dirimu sendiri! Dan juga tidak perlu berlaku tergesa-gesa, perlu apa harus melarikan kudamu demikian pesat?”

Hati Thie Po Leng merasa pilu, ia tidak menduga bahwa Can Pek Sin masih memperhatikan dirinya begitu besar.

Meskipun ia merasa bersyukur atas perhatian Can Pek Sin terhadap dirinya, tetapi terhadap ucapannya itu seolah-olah tidak didengarnya, ia melarikan kudanya semakin kencang.

Kuda tunggangan Can Pek Sin adalah kuda pilihan peninggalan ayahnya. Meskipun usianya sudah agak tua, tetapi larinya lebih pesat dari pada kuda tunggangan Thie Po Leng. Maka tidak lama kemudian, ia sudah berhasil menyusul dan jalan berendeng dengannya. Pada saat itu ia baru melihat bahwa kedua pipi Thie Po Leng merah membara, keringat membasahi dahinya, keadaan itu seperti keadaan orang dihinggapi penyakit demam mendadak.

Ia terkejut, segera menegurnya:

“Enci Leng, kau kenapa?”

Ia ulur tangannya hendak menghentikan kuda tunggangannya, tetapi Thie Po Leng mendorongnya dan berkata kepadanya dengan napas tersengal-sengal:

“Kau jangan pedulikan aku!”

Belum lagi melanjutkan kata-katanya, mulutnya itu tiba-tiba menyemburkan darah segar.

“Enci Leng, aku menghendaki kau pulang ke rumah dalam keadaan selamat, kau sekarang tidak boleh terburu-buru sampai ke rumah. Di depan ada sebuah kota kecil, aku dengan kau mencari tabib lebih dulu. Enci Leng, dahulu aku selalu dengar kata-katamu, tetapi kali ini kau yang harus dengar kataku,” berkata Can Pek Sin.

“Baiklah, Siao-sin, aku menurut kau,” berkata Thie Po Leng sambil menangis.

Ia memperlambat jalan kudanya, setelah tiba di kota kecil itu, lalu mencari rumah penginapan untuk beristirahat. Pengurus rumah penginapan menyaksikan Thie Po Leng seperti dalam keadaan sakit, lalu berkata sambil mengerutkan alisnya:

“Nyonya muda ini apakah mendapat serangan panyakit di perjalanan?”

Thie Po Leng yang badannya merasa panas, mendengar dirinya disebut nyonya muda, pipinya menjadi semakin merah.

Can Pek Sin lalu menjawab:

“Kita kakak beradik. Enciku ini mungkin mendapat penyakit demam, badannya sedikit tidak enak, aku mau menyewa kamar di hotelmu ini untuk beristirahat kira-kira dua hari. Sepotong uang perak ini kuberikan kepada kalian sebagai tanda uang muka, tolonglah lekas sediakan kamar yang baik. Kalau masih ada lebih boleh tak usah kau kembalikan.”

Karena uang perak itu beratnya sepuluh tail, pengurus rumah penginapan merasa sangat girang karena ia jarang mendapatkan tetamu yang demikian royal, maka sikapnya berobah seketika.

“Orang yang melakukan perjalanan, paling takut mendapat sakit di jalanan, tetapi tuan jangan khawatir dalam rumah penginapan ini. Anggaplah seperti rumahmu sendiri, kita pasti akan merawatnya dengan hati-hati. Kalian beristirahat dulu, kalau ada keperluan apa-apa, perintahkan saja,” demikian ia berkata.

“Apakah ada kamar kelas satu yang luas keadaannya?” bertanya Can Pek Sin. “Ada, ada. Kalian menghendaki sebuah kamar ataukah dua buah perlunya?” “Dua buah.”

“Kebetulan ada dua buah kamar yang letaknya berdampingan. Apakah kalian ingin mengundang tabib? Apakah kalian ingin makan dan minum? Apakah kalian membutuhkan orang untuk merawat? Aku nanti boleh suruh istriku untuk merawat nona.”

Perlakuan dan sikap pengurus rumah perginapan yang berlebih-lebihan itu, Thie Po Leng merasa tidak enak maka ia lalu berkata sambil tertawa:

“Penyakitku bukanlah penyakit berat, tidak memerlukan perawatan khusus, berikan aku sedikit bubur dan beberapa rupa sayur sudah cukup. Aku hanya perlu beristirahat dengan tenang, juga tidak perlu mengundang tabib. Sebaliknya aku minta supaya kau menyuruh seorang pembantu untuk merawat baik- baik kedua kudaku.”

“Baik, baik. Nona jangan khawatir, kita pasti akan merawatnya dengan baik.”

Pengurus rumah perginapan itu mengantar mereka ke kamar masing-masing, seorang pelayan membawa kuda mereka ke dalam istal.

Thie Po Leng mengira penyakitnya itu akan baik sesudah tidur. Tak disangka setelah ia merebahkan dirinya kepalanya merasa pening, sekujur badannya terasa seperti dipanggang.

Can Pek Sin menemani ia makan bubur, lalu berdiam di kamarnya menunggui dirinya.

Thie Po Leng yang menyaksikan Can Pek Sin telah demikian open terhadap dirinya, perasaannya semakin tidak keruan. Penyakitnya yang disebabkan karena terganggu pikirannya ditambah dengan terlalu lemah, dengan semakin risau pikirannya itu, penyakitnya dirasakan semakin berat.

Ketika panas badannya makin tinggi pikiran Thie Po Leng perlahan-lahan mulai tidak terang. Selewatnya tengah malam, saban-saban mengigau, sebentar menyebut Lauw Bong, sebentar lagi menyebut Siao-sin. Kalau ia tersadar dan menampak Can Pek Sin masih duduk di sampingnya, lalu ia menarik tangan anak muda itu sambil mengucurkan air mata.

Can Pek Sin belum mempunyai pengalaman merawat orang sakit, sudah tentu merasa ketakutan, ia tidak tahu bagaimana harus berbuat. Ucapan Thio Po Leng dalam tidurnya, mengunjukkan betapa kalut pikirannya. Betapapun bodohnya Can Pek Sin juga dapat memahami perasaan enci Lengnya itu terhadap Lauw Bong. Cinta kasih enci Lengnya tercampur dengan rasa benci, sedangkan terhadap dirinya telah timbul lagi cinta kasihnya yang lama.

Memang, sejak mereka berdua berjumpa lagi, samar-samar Can Pek Sin sudah merasakan bahwa enci Lengnya ada timbul perasaan itu, tetapi kali kini lebih jelas setelah diutarakan dalam igauannya.

Ia yang menunggu di samping pembaringannya, ketika mendengar ratapan hati gadis itu, hatinya sendiri juga merasa kalut. Dalam otaknya sekilas lintas terbayang bayangan Lauw Bong, juga terbayang bayangan Tiat Leng. Ia masih ingat di lembah Phoan-liong-kok, enci Lengnya itu pernah membuat kalung kembang yang dikalungkan di leher Lauw Bong. Di perjalanan ke kota Yang-ciu, ketika Tiat Leng berpisah dengannya, mengawasi dirinya dengan air mata meleleh. Semua itu, kejadian yang telah lalu terulang kembali dalam hatinya.

Diam-diam ia menghela napas, pikirnya: Cinta kasihku dengan enci Leng sudah putus, seharusnya tidak terperosok ke jaring asmara lagi.

Ia bingung menghadapi orang sakit, tetapi tidak berani memanggil pengurus hotel untuk bantu merawat, sebab perkataan dalam tidur Thie Po Leng tidak pantas didengar oleh orang luar.

Selewatnya tengah malam akhirnya Thie Po Leng bisa tidur pulas. Can Pek Sin baru bisa menghela napas lega dan balik ke kamarnya sendiri, tetapi malam itu ia bolak balik di tempat tidurnya, hingga terang tanah ia masih belum juga dapat tidur.

Pagi-pagi sekali ia pergi menengok Thie Po Leng yang ternyata sudah tersadar, keadaannya nampak lebih sehat sedikit, ia lalu menegur:

“Enci Leng, hari ini kau merasa bagaimana?”

“Tidak apa-apa, hanya kepala saja yang masih merasa pening. Hem, tadi malam aku merasa panas, pikiranku tidak keruan, apakah aku mengigau?”

Hati Can Pek Sin tergoncang, ia tidak mau berkata terus terang, maka jawabnya:

“Tidak berkata apa-apa. Hem, aku pikir kau jangan keras kepala. Hari ini harus mengundang tabib untuk memeriksa penyakitmu.”

Pada saat itu pengurus rumah penginapan itu juga datang menengok. Ketika Can Pek Sin menyatakan hendak mengundang tabib, ia lalu berkata:

“Kemarin aku juga sudah menasihatkan kalian supaya mengundang tabib. Kota ini meskipun kecil, tetapi juga ada tabib pandai. Jikalau kau berhasil mengundangnya, aku tanggung penyakit kakakmu akan sembuh dengan segera.”

“Dimana tempat tinggalnya tabib itu?” bertanya Can Pek Sin girang.

“Sayang tempat tinggalnya agak jauh, terpisah dari sini masih sejauh kira-kira empat-limapuluh pal. Dan lagi, tabib itu adatnya sangat aneh, ia keluar pintu memeriksa orang sakit tergantung dengan kesenangan hatinya. Ia berdiam di desa, jarang sekali datang ke kota. Tahun yang lalu, aku hanya tiga kali melihatnya. Meskipun di tempat lebih dekat masih ada dua tabib lain, tetapi kepandaiannya kalah jauh.”

“Perjalanan empat atau limapuluh pal apa artinya? Dengan menunggang kuda tengah hari aku bisa balik kembali. Lekas kau beritahukan nama dan tempat tinggalnya tabib itu. Aku hendak pergi mengundangnya.”

Setelah diberitahukan nama dan tempat tinggalnya, Can Pek Sin pergi mengundang tabib itu. Dalam perhitungannya tengah hari sebetulnya bisa kembali, tak diduga sehingga hampir magrib, masih belum tampak bayangannya sekalipun…..

********************

Thie Po Leng yang menantikan kembalinya Can Pek Sin, sehingga lewat tengah hari masih belum pulang, hatinya mulai gelisah. Untung di siang hari itu badannya tidak panas, semangatnya juga mulai baik. Ia ingat perkataan pengurus rumah penginapan, bahwa tabib itu adatnya aneh. Ia anggap Can Pek Sin mungkin masih berusaha untuk minta pertolongan tabib itu.

Ia telah mengambil keputusan, apabila Can Pek Sin sampai lohor belum pulang, ia akan pergi mengunjungi tabib itu sendiri, supaya dapat keterangan yang jelas apa yang terjadi. Ia mencoba menggerakkan kaki tangannya, merasa masih sanggup menunggang kuda.

Selagi dalam keadaan gelisah itu, tiba-tiba mendengar suara tindakan kaki kuda, yang berhenti di depan rumah penginapan, pikirnya itu adalah Can Pek Sin kembali, ia merasa sangat girang. Selagi hendak keluar menyambut, tiba-tiba terdengar suara seorang wanita yang mengeluarkan pujian: “Kudanya bagus sekali!”

Thie Po Leng tarkejut, karena suara itu agaknya sudah pernah kenal, tetapi mengapa, wanita itu telah memuji kuda tunggangannya?

Diam-diam ia mengintip dari lubang kunci, apa yang dilihatnya, membuatnya sangat terkejut, tetapi juga tercampur girang.

Wanita yang baru sampai itu ternyata adalah Tiat Leng. Di luar rumah perginapan, seorang pelayan rumah penginapan sedang membersihkan kudanya sendiri, pelayan itu ketika melihat kedatangan Tiat Leng, lantas meninggalkan pekerjaannya dan menyambut kedatangan kuda Tiat Leng.

Thie Po Leng sedang risau pikirannya karena urusan asmara. Ia juga tahu bahwa Tiat Leng malam itu bersama Tiat Ceng pernah datang ke lembah Phoan-liong-kok. Kakak beradik itu juga tahu peristiwa yang terjadi pada malam itu.

Oleh karena itu, maka Thie Po Leng merasa malu untuk menjumpai Tiat Leng, sedapat mungkin ia hendak meninggalkan supaya jangan sampai bertemu muka dengannya.

Dalam anggapannya, Tiat Leng masih satu gadis cilik yang belum mengerti apa-apa, ia takut apabila ditanyakan tentang hubungannya dengan Lauw Bong.

Sementara itu Tiat Leng sudah minta kamar kepada pengurus rumah perginapan. Pengurus rumah penginapan setelah memandangnya sejenak, lalu bertanya: “Nona kecil, apakah kau hanya seorang diri saja?”

“Kenapa? Apakah rumah penginapanmu ini tidak memperbolehkan tetamu seorang diri yang menginap?” demikian Tiat Leng balik bertanya.

“Bukan begitu. Tetapi nona kecil, kau tidak dikawani oleh orang tua, hal ini...” Tiat Leng memelototkan matanya dan berkata:

“Oo, jadi kau takut kalau aku tidak membayar sewa kamar? Baik, sepotong perak ini kau ambil, aku hanya menginap satu malam, kau boleh hitung sewa kamar dan uang makan sekalian. Kalau tidak cukup besok aku tambah, kalau ada lebih kau tak usah kembalikan.”

Uang perak itu seberat sepuluh tail, jangankan untuk membayar sewa kamar dan uang makan satu malam, sekalipun untuk setengah bulan juga masih cukup.

Pengurus rumah penginapan itu terkejut, selagi hendak menyambut uang perak itu, tiba-tiba teringat bahwa semua kamar sudah penuh, maka ia merasa bingung sendiri.

“Bagaimana? Apakah kau masih anggap kurang?” bertanya Tiat Leng. “Bukan, bukan. Sesungguhnya disini sudah tidak ada kamar kosong.”

“Aku tidak percaya, jikalau benar tidak ada kamar kosong, mengapa tadi kau tidak menerangkan?” “Nona kecil jangan marah, biarlah aku memikirkan suatu jalan yang sebaik-baiknya. Hem, hem, disini ada seorang tetamu wanita yang berdiam di satu kamar. Jikalau kau suka tinggal bersamanya, aku nanti pergi rundingkan dengannya, entah ia suka atau tidak?”

Pelayan rumah penginapan tiba-tiba menyela:

“Yang kau maksudkan apakah tetamu wanita yang sedang sakit itu? Dia mempunyai seorang kawan adik lelaki, hal ini barangkali kurang tepat.”

“Kau tahu apa? Justru karena ia sedang sakit, maka perlu dikawani orang. Adik lelakinya tokh tidak dapat menunggu ia semalam suntuk. Nona kecil, kau jangan marah, tetamu wanita itu tidak mendapat sakit berat, hanya deman saja,” berkata pengurus rumah penginapan.

Tiat Leng mengambil kembali uang peraknya seraya berkata:

“Aku tidak suka mengawani orang sakit.” Pengurus itu buru-buru berkata:

“Tunggu dulu, aku sekarang ingat! Masih ada kamar untukmu!”

Tiat Leng sebetulnya juga tidak ingin pergi, karena kedatangannya itu justru dalam perjalanan ke kota Yang-ciu yang hendak mencari Can Pek Sin. Ia dengar pelayan rumah penginapan tadi mengatakan ada tetamu wanita yang sedang sakit bersama adik lelakinya, maka ia merasa tertarik, sehingga dalam hatinya berpikir: Apakah ada kejadian yang demikian kebetulan?

Ketika mendengar perkataan pengurus rumah penginapan, yang katanya ada kamar kosong, diam-diam juga merasa girang, tetapi ia masih pura-pura menegurnya:

“Tadi kau kata tidak ada kamar kosong, mengapa sekarang mendadak ada?”

“Aku baru ingat bahwa ada tetamu yang pesan kamar, tetapi besok ia baru datang.” Sang pelayan menunjukkan sikap ketakutan, tiba-tiba berkata,

“Bagaimana kau dapat memastikan kalau tetamu yang pesan kamar itu besok baru datang? Bagaimana kalau ia datang hari ini?”

“Sudah tentu aku tahu, kau tidak usah banyak mulut.”

Tiat Leng meskipun masih muda dan kurang pengalaman, tetapi dari pembicaraan mereka juga merasa bahwa dalam soal itu agak mencurigakan. Oleh karena ia butuh kamar, maka ia tidak menanya lebih lanjut.

Setelah pelayan itu mengantar ia ke kamar yang dimaksudkan, lalu berkata pada pelayan itu:

“Rumah penginapan ini rupanya banyak dikunjungi oleh tetamu, sehingga ada orang yang perlu pesan lebih dahulu. Siapakah tetamu yang pesan kamar itu?”

Pelayan itu dengan sikap ketakutan menjawab:

“Hal ini aku sendiri kurang jelas. Sebaiknya kau tanya kepada pengurus.”

Tiat Leng tersenyum, ia mengeluarkan sepotong uang recehan, diberikan kepada pelayan itu seraya berkata:

“Aku tahu, pengurus rumah perginapan ini dengan menanggung resiko besar menyewakan kamar ini kepadaku. Bagaimana aku dapat menanyakan kepadanya? Sebaiknya kaulah yang menerangkan kepadaku, dan uang ini boleh kau ambil sebagai hadiah!” Pelayan itu menyambut uang recehan dari tangan Tiat Leng, lalu melongok keluar. Ia menampak pengurus rumah penginapan sedang duduk mengantuk, maka ia baru berani memberi keterangan dengan suara perlahan:

“Terus terang, rumah penginapan kita ini juga melakukan pekerjaan bagi orang-orang dari golongan hitam. Tetapi kau tidak perlu takut, orang golongan hitam yang bermalam disini, tidak akan mengganggu atau merampok tetamu yang menginap di sini.”

Dalam hati Tiat Leng diam-diam merasa geli, karena ayahnya sendiri adalah Beng-cu atau pemimpin dari golongan rimba hijau, bagaimana ia takut kepada orang golongan hitam?

Maka ia lalu berkata:

“Peraturan itu aku tahu. Tetapi entah orang golongan hitam dari mana?”

“Bagaimana kau telah tahu peraturan dari golongan hitam?” bertanya pelayan itu terkejut.

“Meskipun aku belum pernah ketemu orang-orang golongan hitam, tetapi aku sering melakukan perjalanan di luar. Sekalipun tidak lihat juga sudah pernah dengar.”

Pelayan itu karena sudah mendapat uang, ia tidak pikir lebih panjang sehingga ia berkata terus terang,

“Kabarnya orang dari golongan mengejar sukma, pemimpin mereka pernah menginap di sini, ia adalah seorang laki-laki buas yang mukanya berewokan. Baru aku melihat potongan mukanya saja sudah takut.”

Nama itu Tiat Leng belum pernah dengar, sehingga dianggapnya orang-orang dari golongan kelas yang tidak termasuk hitungan dalam dunia Kang-ouw. Ia tidak tahu bahwa pemimpin golongan mengejar sukma itu adalah Soa Thiat San yang mempunyai julukan tangan mengejar sukma dalam tujuh langkah.

“Pantas kau tadi begitu ketakutan. Kiranya kau takut kalau pemimpin itu datang hari ini, kalau ia tidak mendapat kamar lalu mengejar sukmamu,” berkata Tiat Leng sambil tertawa.

Wajah pelayan itu berobah seketika, ia berkata: “Aku, tidak takut, aku hanya seorang pelayan, kalau ia hendak marah tentu marah kepada pengurus.”

“Kau tidak perlu bingung, kalau dia datang, biarlah aku yang menghadapinya. Tidak perduli ia pemimpin golongan mengejar sukma atau bukan, aku tidak percaya ia benar-benar dapat mengejar sukmaku.”

Pelayan itu berpikir: Nona kecil ini sangat sombong barangkali juga pandai ilmu silat. Tetapi ia tidak tahu betapa buasnya pemimpin itu!

“Sudahlah, kita tidak usah bicarakan soal ini lagi. Aku ingin bertanya kepadamu urusan lain. Kau tadi berkata tentang tetamu wanita yang sakit, berapa kira-kira usianya wanita itu? Dan ia tinggal di kamar mana?” berkata Tiat Leng sambil tertawa.

“Nampaknya masih muda, usianya belum ada duapuluh tahun. Nah, ia tinggal di kamar depan kamarmu ini.”

Kamar yang didiami Thie Po Leng justru di seberang kamar yang didiami oleh Tiat Leng, yang hanya terpisah oleh ruangan dalam rumah.

Tiat Leng terperanjat, ia bertanya pula:

“Dan adiknya bagaimana?”

“Adik lelakinya tadi pagi, pagi-pagi sekali sudah naik kuda pergi mengundang tabib, sampai sekarang belum juga kembali.”

“Apakah tempat tinggal tabib itu sangat jauh?”

“Tidak terlalu jauh juga tidak terlalu dekat, barangkali empat-limapuluh pal dari sini.” “Adiknya memerlukan mengundang tabib kalau begitu penyakit tetamu wanita itu tidak ringan, bukan hanya demam saja?”

“Benar, tadi pengurus membohongi kau. Karena dia ingin supaya kau tinggal satu kamar dengan wanita itu. Bagaimana ia berani mengatakan kalau sakitnya berat?”

Tiat Leng berpikir sejenak, lalu bertanya:

“Menurut pemandanganmu, mereka berdua mirip dengan kakak beradik betul atau tidak?” Pelayan itu terkejut, ia berkata,

“Aku tidak memperhatikan, juga tidak tampak ada apa-apa yang mencurigakan. Kenapa? Apakah kau pikir mereka bukan kakak beradik benar-benar?”

Tiat Leng merasa bahwa pertanyaan itu sesungguhnya juga keterlaluan, maka ia tertawa dan berkata:

“Bukan begitu, aku hanya merasa heran. Aku ini orang yang suka mengurus urusan lain orang. O ya, aku masih ingin menanyakan sesuatu hal. Kuda merah yang kau tadi bersihkan itu kuda siapa?”

“Itulah kuda tunggangan tamu wanita itu. Kau masih ingin tanya apa lagi? Aku takut dipanggil oleh pengurus rumah perginapan.”

“Sudah tidak ada lagi, kau pergilah!”

Setelah pelayan itu berlalu, Tiat Leng duduk seorang diri sambil berpikir: Kakak beradik ini entah benar mereka atau bukan?

Apa yang mengherankan Tiat Leng adalah tentang diri tetamu wanita itu. Kalau ia benar adalah Thie Po Leng, bagaimana bisa demikian mudah mendapat penyakit di jalanan? Lagi pula kamar wanita itu justru berada di seberangnya. Kalau benar Thie Po Leng, tentu ia seharusnya mengenali suaranya. Sekalipun dia sedang sakit juga bisa keluar menanya.

Pikiran Tiat Leng tidak tenteram, ia ingin menengok tetamu wanita itu, tetapi takut kesalahan sehingga menimbulkan tertawaan orang.

Sebetulnya dalam hati Tiat Leng saat itu timbul pertentangan. Ia mengharap dapat berjumpa dangan Can Pek Sin, tetapi juga takut bahwa tetamu yang dikatakan kakak beradik itu benar-benar Thie Po Leng dengan Can Pek Sin.

Sebagai seorang gadis remaja, Can Pek Sin adalah pemuda yang pertama-tama yang menempati hatinya. Tumbuhnya asmara itu, semakin lama semakin mendalam sehingga tidak mudah disingkirkan lagi.

Maka walaupun Can Pek Sin tidak didampingnya, ia juga selalu memikirkan dan mendoakan dengan sungguh, keselamatan pemuda itu. Justru karena sudah ada bibit cinta terhadap Can Pek Sin, maka sehabis bertemu dengan ayahnya di bukit Kim-kee-nia, ia lalu mencari alasan, pamitan kepada ayahnya, untuk turun gunung lagi pergi mencari engkonya.

Justru karena itu, maka ia sangat takut apabila kakak beradik itu benar-benar adalah Can Pek Sin dan Thie Po Leng.

Apa yang dialami selama ia berada bersama-sama dengan Can Pek Sin, kini terbayang lagi dalam otaknya.

Thie Po Leng yang berada di kamar seberangnya, pikirannya juga sedang kalut. Tetapi ia tidak tahu bahwa Tiat Leng juga jatuh cinta kepada Can Pek Sin. Ia hanya takut bertemu muka dengan Tiat Leng hanya untuk menghindarkan timbul luka dalam hatinya.

Tetapi ia berpikir lagi, biar bagaimana Can Pek Sin tokh harus kembali. Kalau ia kembali, biar bagaimana juga akan bertemu dengan Tiat Leng. Kalau nanti ia sendiri ketemu dengannya, bukankah lebih tidak enak? Hari semakin gelap, Can Pek Sin masih belum ada pulang. Thie Po Leng mulai bingung, ia baru memikir hendak berunding dengan Tiat Leng.

Selagi hendak pergi menghampiri kamarnya Tiat Leng, tiba-tiba terdengar suara elahan napas yang keluar dari mulut Tiat Leng.

Tiat Leng yang dalam pandangan Thie Po Leng itu, dianggapnya masih anak-anak yang belum mengenal susah maka elahan napas itu menimbulkan rasa herannya.

Apa yang lebih mengejutkan dan mengherankan itu ialah sesudah menghela napas Tiat Leng menyebut- nyebut Can toako dengan suara perlahan.

Mendengar ucapan itu, Thie Po Leng lalu berpikir: Aku kira ia hanya mencari engkonya, tetapi tidak tahunya ia sedang memikirkan diri Siao-sin.

Dengan berjalan mengendap-endap ia keluar dari kamarnya, berjalan menuju ke belakang jendela.

Tiat Leng yang sedang kalut pikirannya duduk termenung sambil bertopang dagu, sedikitpun tidak tahu di luar jendela ada orang yang mengintip.

Ia berkata seorang diri: “Can toako, Can toako! Bagaimana kau mengetahui isi hatiku?”

Thie Po Leng yang mendengar ratapan hati itu, ia telah mengerti segala-galanya. Kini baru sadar bahwa Tiat Leng kini sudah bukan satu gadis cilik lagi seperti apa yang dibayangkan. Tiat Leng sudah menjadi gadis remaja yang mengerti soal cinta. Juga membutuhkan cinta.

Beberapa lamanya Thie Po Leng berdiri bingung di bawah jendela, sementara itu Tiat Leng yang di dalam kamar sudah menulis berpuluh-puluh nama Can Pek Sin di atas mejanya.

Ketika angin malam meniup, Thie Po Leng baru sadar bahwa Can Pek Sin sudah akan kembali, maka ia harus balik ke kamarnya sendiri.

Baru saja ia hendak masuk ke kamar sendiri, telah dilihat oleh pengurus rumah penginapan, dengan terheran-heran pengurus itu berkata:

“Apakah nona sudah merasa enakan? Adikmu masih belum kembali, barangkali masih terhalang di rumah tabib itu. Kau jangan khawatir, aku pikir sebentar lagi ia pasti pulang.”

“Bolehkah aku pinjam alat tulis dan minta sepotong kertas darimu?” bertanya Thie Po Leng yang sama sakali tidak menghiraukan ucapan pengurus tadi. Ia mengambil alat tulis dan kertas dari meja pengurus, lalu menulisnya dengan tergesa-gesa. Setelah dilipatnya, ia berkata kepada pengurus:

“Kalau sampai malam adikku itu masih belum kembali tolong kau berikan surat ini kepada tetamu perempuan yang tinggal di seberang kamarku itu.”

Setelah itu ia berjalan menuju keluar.

“Nona, kau hendak kemana?” bertanya pengurus itu dengan terperanjat. “Aku hendak keluar jalan-jalan sebentar.”

“Nona, kau masih belum sembuh betul, bagaimana boleh keluar?” “Kau jangan ambil pusing!”

“Aku bagaimana berani mengurus urusan nona, hanya adikmu itu telah memesan kita supaya hati-hati menjaga kau. Kalau sekarang kau pergi dan ia nanti kembali, bukankah akan menyalahkan aku.”

Thie Po Leng yang sedang kalut pikirannya, melihat tindakannya dirintangi oleh pengurus rumah penginapan, amarahnya lalu meluap, ia berkata dengan nada gusar:

“Aku kata kau tak usah pusingkan urusanku, maka kau janganlah perdulikan aku!” Tangannya lalu mendorong kepada pengurus rumah penginapan itu. Meskipun berada dalam sakit, dan mendorong dengan ringan, tetapi dorongan Thie Po Leng itu sudah cukup untuk merobohkan pengurus rumah penginapan itu.

Ketika pengurus itu ditarik bangun oleh pelayan, Thie Po Leng ternyata sudah naik ke atas kudanya dan menghilang ke jalan raya.

Pengurus itu selagi hendak menyuruh pelayan untuk mengantarkan surat Thie Po Leng ke kamar Tiat Leng, telah melihat Tiat Leng sedang datang ke arahnya.

Kiranya Tiat Leng yang sedang ngelamun, tiba-tiba dikejutkan oleh suara daun tertiup angin, dari berlarinya Thie Po Leng. Ia terperanjat, lalu menegurnya:

“Siapa di luar!”

Teguran itu tidak mendapat jawaban. Ia melongok keluar jendela, hanya menampak bergerak-geraknya daun pisang, karena Thie Po Leng sudah tidak ada di situ.

Tiat Leng timbul rasa curiganya, sebab suara tadi benar-benar suara tindakan kaki orang. Ketika ia menengok ke kamar seberangnya, pintu jendela nampak terbuka, tetapi dalam kamar tidak terdengar suara apa-apa.

Dalam hati Tiat Leng lalu berpikir: Apakah tamu wanita di kamar seberang itu yang datang mengintai, tidak perduli dia Thie Po Leng atau bukan, aku coba pergi mengintainya.

Tiat Leng keluar dari kamarnya dan menuju ke jendela kamar sebelah. Ketika ia melongok ke dalam, kamar itu kosong, karena Thie Po Leng saat itu sudah keluar.

Tiat Leng terkejut, sebab menurut keterangan pelayan tetamu wanita itu sakitnya berat, mengapa bisa pergi?

Tertarik olah perasaan heran, Tiat Leng pergi bertanya kepada pengurus. Pengurus itu menjawab sambil tertawa:

“Kiranya kalian sudah saling mengenal, justru aku yang tidak tahu.”

“Bagaimana kau tahu kalau aku kenal dengannya? Sedangkan aku sendiri masih belum tahu siapa tetamu wanita itu?” bertanya Tiat Leng heran.

“Dia meninggalkan sepucuk surat untukmu, bacalah dulu.”

Tiat Leng membuka surat itu, lebih dulu ia melihat tanda tangannya, benar saja tertulis dengan dua huruf: Po Leng.

Biarpun Tiat Leng sudah menduganya kalau ia, tetapi saat itu ketika menampak tulisan tangannya, hatinya juga berdebar, ia sendiri juga tidak tahu itu disebabkan karena girang atau sedih?

Surat itu bunyinya sangat singkat. Thie Po Leng hanya memberitahukan bahwa Can Pek Sin pergi mengundang tabib. Apabila sampai malam masih belum kembali, ia minta supaya Tiat Leng pergi menyusul. Tentang alamat tabib itu, boleh menanya kepada pengurus penginapan.

“Benar saja aku sudah kenal wanita itu,” berkata Tiat Leng sambil tertawa getir.

“Betul tidak, apakah kataku tadi? Jikalau dia tidak kenal bagaimana bisa meninggalkan surat untukmu? Tetapi sahabatmu itu sungguh aneh. Aku juga tidak habis mengerti mengapa sampai ia tidak mau menjumpai kau sebaliknya meninggalkan saja!”

“Berapa lama ia sudah pergi?” “Belum berapa lama.”

“Tahukah kau kemana ia pergi?” “Bagaimana aku tahu?”

“Jalan menuju ke mana apakah kau juga tidak tahu?” Seorang pelayan lalu berkata:

“Tuan pengurus ini tadi didorong oleh nona itu, sehingga jatuh di tanah, barangkali sekarang ia masih pusing kepalanya.”

“Pantas kau tidak tahu,” berkata Tiat Leng sambil tertawa. Pelayan itu berkata pula:

“Dia pergi dengan menunggang kuda, kudanya itu larinya pesat sekali, sebentar saja sudah tidak tertampak. Aku sedang repot menolong tuan pengurus, maka juga tidak tahu ia menuju ke mana.”

Hati Tiat Leng merasa bimbang, karena saat itu sudah gelap, dianggapnya Can toakonya mungkin akan kembali. Karena ia tidak tahu Thie Po Leng menuju ke mana ia tidak dapat mengambil keputusan baik mengejar Thie Po Leng, ataukah menunggu pulangnya Can Pek Sin lebih dulu?

<>

Mari kita ikuti perjalanan Thie Po Leng. Setelah meninggalkan rumah penginapan itu, pikirannya semakin bingung dan kosong. Ia ingat pertanyaan pengurus rumah penginapan: Hendak kemana? Lalu ia tertawa sendiri. Sebab ia sendiri juga tidak tahu harus ke mana? Meskipun dunia luas tetapi rasanya sudah tiada satu tempatpun yang tepat bagi dirinya.

Ia tidak ingin bertemu lagi dengan Can Pek Sin, juga tidak suka pergi ke rumah Hee Kauw Ing mencari Lauw Bong. Pulang ke rumahnya sendiri? Ia juga takut disusul oleh Can Pek Sin dan Tiat Leng.

Dalam cuaca gelap itu, ia kaburkan kudanya tanpa tujuan. Tiba-tiba mendengar suara derap kaki kuda, dari depan lari mendatangi tiga penunggang kuda.

Ketika Thie Po Leng mendapat lihat siapa adanya tiga penunggang itu, bukan kepalang terkejutnya. Karena tiga penunggang kuda itu bukan lain dari pada Soa Thiat San yang diikuti oleh Siu Gouw dan Pao Thay.

Kiranya Soa Thiat San yang takut dicari oleh Khong-khong Jie, ia tidak berani berdiam di kota Yang-ciu lagi. Sejak pertempuran dengan Chiu Tong dari Hay-ho-pang dan mengalami kekalahan, saudara angkat Touw Goan dan anak buahnya telah hancur di tangan pasukan pemerintah dan berlalu lebih dulu, hendak membangun kekuatan lagi di daerah utara.

Soa Thiat San sebetulnya ingin menggabungkan diri dengan pasukan pemerintah, tetapi masih takut kepada Khong-khong Jie, maka ia juga menyeberang sungai Tiang-kang hendak menggabungkan diri dengan Touw Goan. Malam itu ia hendak menginap di kota kecil itu, maka di tengah jalan berpapasan dengan Thie Po Leng.

Soa Thiat San tertawa terbahak-bahak kemudian berkata:

“Aku sedang memikirkan barang apa hendak kupersembahkan kepada Touw toako, kebetulan berjumpa denganmu. Sayang bocah she Can itu, mengapa tidak jalan bersama-sama denganmu?”

Siu Gouw berkata sambil tertawa:

“Budak ini mempunyai paras cantik, kalau toako bisa mendapatkan dirinya barangkali lebih senang daripada mendapatkan bocah she Can itu.”

“Baik, kalau begitu kalian tangkaplah,” berkata Soa Thiat San sambil tertawa. Karena ia hendak memegang derajatnya sebagai pemimpin satu golongan, dan dianggapnya dua pembantunya itu pasti sanggup menghadapi Thie Po Leng, maka ia tidak mau turun tangan sendiri.

Siu Gouw dan Pao Thay seqera menyerbu Thie Po Leng. Pao Thay tiba lebih dulu, menyerang dengan senjata goloknya.

Soa Thiat San tiba-tiba berseru:

“Tidak boleh melukai orangnya, juga tidak boleh melukai kudanya!”

Sebab kuda tunggangan Thie Po Leng itu adalah kuda bagus yang jarang ada. Sewaktu di kota Yang-ciu Soa Tiat San sudah ada pikiran hendak merampas kuda Thie Po Leng itu.

Pao Thay sudah tentu menurut. Ia memiringkan goloknya hendak memukul jatuh pedang Thie Po Leng, tetapi Thie Po Leng balas menikam dengan pedangnya.

Pao Thay adalah orang kuat ketiga dalam golongan mengejar sukma. Apabila Thie Po Leng tidak sakit, masih dapat menangkan dirinya. Tetapi waktu itu tenaganya banyak berkurang, hingga pedangnya benar- benar terpukul jatuh. Selagi Pao Thay hendak menyambar dirinya, kuda Thie Po Leng sudah lari menerjang ke depan musuh majikannya.

Siu Gouw memegat dari depan. Ia menggunakan tambang panjang untuk melasso kuda tunggangan Thie Po Leng itu.

Thie Po Leng menyerang dengan tangan kosong, sayang kekuatan tenaganya sudah hampir kehabisan. Meskipun ia menggunakan serangan dengan kekuatan tenaga dalam, tetapi tidak berhasil mengelakkan tambang itu hingga kudanya kena terikat oleh tambang Siu Gouw.

Thie Po Leng terlempar jatuh di tanah. Pao Thay tertawa terbahak-bahak, ia juga melompat turun dari atas kudanya dan berkata:

“Apakah kau masih ingin lari?”

Sebelum bertindak lebih jauh, tiba-tiba terdengar suara keliningan dan derap kaki kuda yang datangnya dengan cepat sekali.

Soa Thiat San terperanjat, ia segera menegurnya: “Sahabat dari golongan mana?”

Semula ia menduga ada rombongan penunggang kuda, di luar dugaan ketika ia melihat kuda yang datang itu tenyata cuma dua ekor, penunggangnya adalah seorang laki-laki dan seorang wanita. Wanita itu mengenakan gaun warna merah tua, di atas gaunnya terdapat banyak keliningan kecil. Waktu kudanya lari pesat, keliningan itu mengeluarkan suara gemerincing seolah-olah itu adalah rombongan barisan berkuda.

Karena cuma melihat dua orang saja Soa Thiat San kurang begitu memperhatikan: “Golongan mengejar sukma akan menangkap orang!” demikian ia berseru, “Kalian mau liwat tak apa asal tidak mencampuri urusan orang lain!”

Thie Po Leng yang terjatuh sudah segera lompat bangun. Meski masih berada dalam keadaan sakit, tapi untuk sekedar menggunakan kepandaiannya meringankan tubuh tidaklah terlalu sukar baginya, hanya kurang gesit saja. Tetapi justru Pao Thay paling tidak bisa bergerak cepat karena tidak mahir ilmunya meringankan tubuh, sehingga tak berhasillah ia yang hendak menangkap nona itu.

Wanita berpakaian merah yang menyaksikan kejadian itu mendadak mengeluarkan seruan tertahan: “Eh!”

“Itu bukankah cucu perempuannya Thie Sui?!” Kemudian tiba-tiba ia membentak dengan suara keras:

“Tidak perduli kau dari golongan mengejar sukma atau mengejar setan, tetapi urusan ini aku sudah katakan akan turut campur tangan.”

Ia segera mengambil sebuah keliningan, dengan keliningan kecil itu ia menyerang Pao Thay. Dua orang tersebut bukan lain daripada suami istri Tok-kow U dan Li Hong Chiu, sepasang pendekar kenamaan di dunia Kang-ouw.

Tok-kow U dahulu pernah merencanakan pencurian harta kekayaan Thie Sui di lembah Phoan-liong-kok dengan Lauw Cin ayahnya Lauw Bong. Setelah usahanya itu gagal, Tok-kow U melarikan diri bersama istrinya dan menumpang di rumah saudara angkatnya, Hee Kauw Ing.

Karena perginya Lauw Bong yang sudah beberapa bulan belum juga kembali, menimbulkan kekhawatiran Hee Kauw Ing, maka ia minta Tok-kow U suami istri pergi ke rumah Bok An untuk mencari keterangan. Demikianlah dengan secara kebetulan di situ bertemu dengan Thie Po Leng yang sedang dalam bahaya.

Suami istri itu sudah tentu tahu hubungan Thie Po Leng dengan Lauw Bong, sudah tentu mereka tidak membiarkan Thie Po Leng mendapat kesulitan.

Li Hong Chiu yang beradat keras lantas turun tangan lebih dulu. Ia mahir menggunakan senjata rahasia dan keliningan kecil, itu merupakan senjata satu-satunya yang sangat ampuh.

Pao Thay yang hendak menangkap Thie Po Leng, tiba-tiba mendengar suara keliningan menyambar ke arahnya, sesaat kemudian senjata tunggal Li Hong Chiu itu sudah mengancam. Sebetulnya senjata rahasia yang mengeluarkan suara itu berarti lebih dulu memberi peringatan kepada lawannya. Tetapi Pao Thay masih belum berhasil mengelakkan serangan tersebut, sehingga keliningan itu mengenakan pergelangan tangannya, goloknya terlepas jatuh dan lengan tangan kanannya tidak dapat digerakkan lagi.

Sementara itu Tok-kow U dan Li Hong Chiu sudah melompat turun dari kudanya. Li Hong Chiu pergi melindungi Thie Po Leng, sedang Tok-kow U segera mencegat Siu Gouw.

Kepandaian ilmu silat Siu Gouw dalam golongan mengejar sukma, hanya di bawah Soa Thiat San seorang saja. Karena melihat Tok-kow U ada seorang pelajar yang berparas cakap, ia tidak pandang-mata. Tanpa pikir panjang lagi sudah menyerang dengan goloknya.

Kepandaian Tok-kow U jauh di atas istrinya, ia menggunakan kipas di tangannya sebagai senjata. Untuk menyambuti serangan golok Siu Gouw, dengan mudah ia dapat menangkis golok yang berat itu.

Siu Gouw terperanjat, ia mengerahkan kekuatan tenaganya ke ujung golok, lalu menikam.

Tok-kow U melipat kipasnya, kemudian menekan golok Siu Gouw dengan ujung kipas. Kipas yang bentuknya kecil itu dapat menekan golok yang lebih besar. Ternyata Siu Gouw tidak berkutik, golok yang besar itu hampir terlepas dari tangannya.

Dengan muka marah padam dan susah payah, Siu Gouw baru berhasil menarik kembali goloknya.

Tok-kow U segera maju menyerang, kipasnya digunakan sebagai senjata totokan untuk menotok jalan darah lawannya.

Siu Gouw harus mengeluarkan seluruh kepandaiannya, ia putar goloknya bagaikan titiran untuk mengelakkan serangan totokan Tok-kow U. Meskipun ia berhasil menghindarkan totokan itu, tetapi badannya sudah mandi keringat, napasnya tersengal-sengal.

Siu Gouw terkejut, demikianpun Tok-kow U ia berpikir: Entah dari mana asal usulnya kawanan berandal ini? Kepandaian pemimpinnya masih belum ketahuan tetapi kekuatan orang ini sudah termasuk salah satu orang kuat dalam golongan hitam, pantas Thie Po Leng tidak berdaya menghadapi mereka.

Tok-kow U tidak tahu asal usul tiga orang dari golongan mengejar sukma itu, tetapi Soa Thiat San sudah mengetahui siapa adanya Tok-kow U. Sebab tokoh dunia Kang-ouw yang menggunakan kipas sebagai senjata totokan jalan darah, pada waktu itu hanya Tok-kow U seorang saja, maka namanya sudah lama didengar oleh Soa Thiat San.

Tetapi karena ia mengandalkan kepandaiannya yang tinggi, maka sedikitpun tidak merasa takut. Ia segera juga melompat turun dari kudanya dan menegurnya: “Bukankah tuan ini adalah Tok-kow U yang bergelar Pelajar kipas besi? Aku dengan kau ibarat air sungai dengan air sumur yang satu sama lain tidak saling mengganggu. Mengapa kau hendak mencampuri juga dalam urusanku ini?”

“Hem! Apakah kau boleh malang melintang sesukamu, sebaliknya tidak mengijinkan aku membela keadilan?” berkata Tok-kow U gusar.

“Baik, kalau kau memang hendak demikian, aku hendak mencoba kekuatan orang gagah yang hendak membela keadilan.”

Meskipun Soa Thiat San menentang Tok-kow U, tetapi orangnya bergerak ke arah Li Hong Chiu dan Thie Po Leng. Ia memang sengaja hendak menangkap Thie Po Leng, yang akan dijadikan barang tawanan.

Ia melihat Li Hong Chiu agak mudah dihadapi, ia hanya agak jeri terhadap senjata rahasianya, maka ia menggunakan akal busuk itu, supaya Li Hong Chiu tidak mengira dirinya akan diserang.

Namun Li Hong Chiu sudah siap siaga, dengan alis berdiri ia mendamprat:

“Kawanan anjing tidak tahu malu, sambutlah senjataku!”

Tangannya segera diayun, lima buah keliningan yang tergenggam dalam tangannya dilontarkan ke arah lima bagian jalan darah Soa Thiat San.

Soa Thiat San menyambut dengan serangan tangan kosong, di antara munculnya hembusan angin, lima buah keliningan itu saling membentur sendiri, kemudian berjatuhan di tanah.

Ia tertawa terbahak-bahak, tetapi sebelum sirap suara tertawanya, sebuah keliningan melayang kepadanya. Hebat juga kepandaian orang she Soa itu, dengan satu gerakan sambil menundukan kepala, keliningan itu meluncur melewati kepalanya. Jikalau ia tidak berbuat demikian, keliningan itu pasti akan mengenai jalan darah di atas pelipisnya.

Soa Thiat San naik darah, selagi hendak menyerbu Li Hong Chiu, tiba-tiba terdengar suara jeritan Siu Gouw, karena jari tangannya sudah terpapas oleh kipas Tok-kow U.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar