Jiwa Ksatria Jilid 14

  
Dahulu sewaktu terjadi perebutan pengaruh rimba hijau di antara keluarga Ong dan keluarga Touw, Ong Pek Thong pernah minta bantuan tenaga Khong-khong Jie, sedangkan lima saudara keluarga Touw minta bantuan Toan Kui Ciang.

Dalam pertandingan itu Khong-khong Jie berhadapan dengan Toan Kui Ciang. Mereka telah berjanji akan bertempur satu lawan satu, siapa yang menang dan siapa yang kalah tidak boleh mencampuri pertikaian dua keluarga itu. Toan Kui Ciang adalah seorang pendekar perantauan pada kala itu, sebetulnya tidak ingin campur tangan dalam urusan perebutan pengaruh itu, tetapi oleh karena masih tersangkut famili dengan keluarga Touw, apa boleh buat ia memberikan bantuannya kepada keluarga Touw itu.

Usul yang diajukan oleh Khong-khong Jie, telah diterima baik oleh Toan Kui Ciang, akhirnya dalam pertempuran itu dimenangkan oleh Khong-khong Jie. Toan Kui Ciang, mentaati janjinya, mengundurkan diri dalam pertikaian itu, dengan demikian sehingga keluarga Touw kehilangan tenaga pembantu yang paling dihandalkan.

Puteri Ong Pek Thong, Ong Yan Ie lalu menggunakan ilmu pedangnya yang didapatnya dari Hui Cin Sin- nie, telah membinasakan ke lima saudara Touw. Ong Yan Ie kemudian menjadi isteri Can Goan Siu, juga merupakan ibunya Can Pek Sin. Dan Touw Goan itu adalah anak laki-laki salah seorang lima saudara Touw itu yang kalah dan dapat lolos dari lobang maut. Permusuhan dan dendam mendendam antara dua keluarga itu berlangsung terus, semua itu karena terjadinya pertempuran Hui-houw-san itu. Keluarga Touw selama menjagoi di rimba hijau memang pernah melakukan banyak kejahatan, tetapi setelah keluarga Ong menggantikan kedudukannya juga tidak tampak adanya banyak perobahan, maka setelah terjadinya peristiwa pembunuhan besar-besaran itu, Khong-khong Jie juga kemudian merasa menyesal.

Justru karena Khong-khong Jie menyesal yang kala itu tidak mencegah terjadinya peristiwa itu, maka ia tidak tega membunuh Touw Goan. Tetapi ia juga tidak ingin Can Pek Sin binasa di tangan Touw Goan.

Terlepas dari kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang tua dua keluarga itu, pada saat ini, jalan yang ditempuh oleh Touw Goan dan Can Pek Sin sangat berlainan. Touw Goan berangan-angan hendak meneruskan usaha keluarganya yang hendak menjagoi rimba hijau. Ia bisa melakukan apa saja tanpa memilih cara. Sedangkan Can Pek Sin ayah bundanya sudah lama keluar dari jalan sesat, maka begitu dilahirkan sudah mempunyai darah dari orang golongan baik-baik, maka setiap tindakannya selalu mengutamakan keadilan dan kebenaran.

Oleh karena itu, maka Khong-khong Jie kali ini meskipun mulutnya mengatakan tidak membantu pihak yang manapun juga, ia hanya hendak bertindak sebagai pemisah, namun dalam hatinya terhadap Touw Goan, hanya tidak tega membunuh, sedangkan terhadap Can Pek Sin ia merasa sayang.

Touw Goan yang menerima kembali senjatanya dari Khong-khong Jie, rasa takutnya mulai berkurang. Ia juga heran akan tindakan Khong-khong Jie itu, karena ia takut Khong-khong Jie akan menanyakan padanya soal perhubungannya dengan tentara negeri, maka ia buru-buru kabur.

Begitu melihat Touw Goan kabur, Soa Thiat San semakin takut. Dalam keadaan takut itulah ia telah terpukul mundur oleh Chiu Tong, jatuh ke tempat sejauh tiga tombak lebih.

Khong-khong Jie lalu menghampirinya, ia berkata sambil tertawa terbahak-bahak:

“Hitung-hitung kau bernasib baik, hari ini kujumpaimu justru kau dalam keadaan terluka. Namun di sini masih banyak jumlahnya orang yang mengawani aku berkelahi, sekalipun kau tidak luka aku juga merasa enggan menghajar kau.”

Soa Thiat San diam saja, tatkala Khong-khong Jie sudah berlalu dari sampingnya, ia baru berani bangkit dan buru-buru lari ke dalam rombongan orang banyak tidak berani muncul lagi.

Ketika Khong-khong Jie menjumpai istrinya sedang bertempur dengan Pak-kiong Hong, segera berkata sambil tertawa:

“Ha, kiranya tiga murid Soat-san Lo-koay semua berada di sini. Orang yang menggunakan senjata anak- anakan tembaga ini aku belum pernah bertempur dengannya, istriku, serahkanlah orang ini kepadaku!”

Setelah itu ia tidak perduli disetujui atau tidak oleh istrinya, sudah lantas saja maju menggempur Pak-kiong Hong.

Pak-kiong Hong tahu bahwa orang itu adalah Khong-khong Jie, ia sangat terkejut. Tetapi karena keadaan sudah mendesak, ia berpikir lebih baik turun tangan lebih dahulu, maka segera putar senjata yang berupa anak-anakan itu, menyerang dada Khong-khong Jie, sedangkan bagian tangan anak-anakan itu digunakan untuk menotok lima bagian jalan darah di perut Khong-khong Jie.

Khong-khong Jie yang diserang demikian rupa, agaknya masih acuh tak acuh bahkan masih bisa berkata sambil tertawa terbahak-babak:

“Di antara murid Soat-san Lo-koay adalah kau yang bertenaga paling besar, tetapi kekuatan tenaga dalam masih kalah setingkat dengan suteemu, nampaknya suhumu agak berat sebelah. Ilmu totokanmu dengan menggunakan senjata anak-anakan mu ini masih boleh juga tetapi dalam ilmu menotok jalan darah, adalah Hoa Ciong Tay yang paling mahir dan terhitung orang nomor satu dalam dunia ini. Kalau dibanding dengannya kau masih jauh sekali perbedaannya. Sekalipun ilmu pedangku Wan-kong-kiam-hoat, juga masih lebih baik dari seranganmu ini, kalau kau tidak percaya, aku boleh coba perlihatkannya kepadamu.”

Khong-khong Jie berkelahi sambil mengoceh, bukan saja sudah mengeritik kepandaian lawannya, tetapi juga membentangkan kepandaian orang lain, termasuk kepandaiannya sendiri. Ia bicara terus tanpa berhenti, namun tangannya bergerak secepat kilat. Entah dengan cara bagaimana, pedang pendeknya tiba-tiba saja sudah berada di tangannya. Sebentar hanya tampak berkelebatnya sinar pedang yang kemudian disusul oleh suara “ting-ting, tang-tang,” berulang-ulang. Sementara itu ujung pedangnya sudah menotok senjata lawannya, sehingga di badan senjata anak-anakan itu terdapat banyak bekas lobang.

Khong-khong Jie berkata sambil tertawa:

“Bagaimana? Apabila pedangku ini kugunakan di badanmu, bukankah badanmu itu sudah berobah seperti sarang tawon!”

Dengan nada suara gusar Pak-kiong Hong menjawab:

“Kalau kau gunakan untuk menyerang badanku, barangkali tidak mudah mengenakan sasarannya!”

“Benar, benar. Kalau kau menggunakan senjatamu untuk menutup rapat dirimu, dalam seratus jurus memang tidak mudah aku mengenakan sasaran di badanmu tetapi kalau kau tidak dapat memukul aku, itu berarti aku masih bisa mencari kesempatan. Dan apabila kau sedikit lengah saja aku dapat melukaimu, maka apabila kau dapat bertempur denganku sampai seratus jurus lebih, aku yakin pasti dapat membuat dirimu menjadi sarang tawon, kau percaya atau tidak?”

Selama mulutnya berbicara, pedangnya menyerang semakin gencar. Karena apa yang dikatakan oleh Khong-khong Jie itu memang benar, Pak-kiong Hong juga mengaku kebenarannya itu, maka hatinya merasa takut.

Sementara itu orang-orang dari Hay-ho-pang ketika mengetahui kedatangan Khong-khong Jie, semangatnya bangun lagi. Tetapi karena jumlah musuh terlalu banyak, juga tidak mudah keluar dari kepungan.

Toan Khek Gee yang menyaksikan keadaan demikian lalu berkata:

“Suheng, yang penting kita harus membantu kawan-kawan kita keluar dari kepungan pasukan tentara negeri, tidak perlu melayani segala orang yang begituan.”

Khong-khong Jie baru tersadar, maka segera menjawab:

“Benar, kepandaian orang ini aku sudah kenal baik, ia tidak dapat melawanku. Aku membunuhnya juga tidak ada artinya, biarlah kuampuni jiwanya.”

Dengan cepat ia segera meninggalkan Pak-kiong Hong dan lari ke arah Su-khong Beng.

Lam Hee Lui dan Lam Chun Lui berdua saudara tahu benar tabiat Khong-khong Jie, ketika melihat Khong- khong Jie menghampiri, segera mengundurkan diri.

Khong-khong Jie memasukkan pedangnya, kemudian berkata sambil tertawa terbahak-bahak:

“Su-khong Beng, hari itu kau menggunakan siasat bergiliran menyusahkan diriku, hari ini kau tidak bisa menggunakan siasat itu lagi.”

Su-khong Beng melihat suhengnya tidak sanggup melawan Khong-khong Jie, dalam hatinya diam-diam terperanjat, tetapi juga penasaran atas ejekan Khong-khong Jie itu, ia balas mengejek:

“Baiklah, hari ini kau suami istri yang menggunakan siasat bergiliran melawan aku.”

Setelah berkata demikian kedua tangannya lalu bergerak mengarah tujuh bahagian penting di anggauta badan Khong-khong Jie.

Di bawah ancaman serangan yang demikian hebat itu, Khong-khong Jie menggunakan jari tangannya sebagai ganti pedang. Dengan demikian maka jarinya itu merupakan serangan ilmu pedangnya yang sekaligus dapat menotok sembilan bahagian jalan darah. Serangannya itu ternyata lebih hebat dari pada serangan Su-khong Beng. Su-khong Beng mengeluarkan seluruh kepandaiannya, untuk mengimbangi serangan lawannya. Waktu kedua tangan saling beradu, Su-khong Beng hampir tidak bisa berdiri tegak.

Khong-khong Jie lalu berkata sambil tertawa:

“Dalam gerak tipu serangan Kin-na-ciu-hoat pada dewasa ini, seharusnya kalian ayah dan anak berdua yang terhitung paling mahir. Namun demikian, kau masih bukan tandinganku, paling-paling kau bisa melawan aku sampai tigaratus jurus. Sayang hari ini tenagamu sudah banyak berkurang, aku juga tidak ada waktu untuk berkelahi lebih lama denganmu. Biarlah di kemudian hari aku mencari kesempatan lagi untuk melayani kau sampai puas. Nanti kau akan tahu sendiri bahwa perkataanku ini bukanlah omong kosong belaka.”

Mendengar ucapan itu yang agaknya tidak akan menyulitkan dirinya, hingga Su-khong Beng diam-diam merasa girang. Di luar dugaan Khong-khong Jie tiba-tiba berkata pula:

“Aku Khong-khong Jie selalu mengutamakan kepandaian tulen, aku cuma mengijinkan kalian menggunakan siasat bergilir, tetapi aku tidak akan menggunakan siasat demikian untuk menarik keuntungan darimu. Tetapi hari itu aku dalam keadaan bahaya kau telah membokong aku, perbuatanmu ini sangat rendah dan memalukan, maka sedikit banyak kau harus diberi sedikit hajaran!”

Selama berbicara itu, kedua tangannya bergerak dengan cepat, dalam waktu sekejapan sudah melancarkan serangan hampir duapuluh jurus. Ketika sampai pada ucapan yang terakhir, serangannya mendadak berubah gencar, sehingga Su-khong Beng tidak sanggup menahan terpaksa mengelakkan diri, tetapi sekalipun sudah cepat ia bergerak, tetapi tidak urung tangan Khong-khong Jie sudah berhasil menampar pipinya.

Setelah menghajar Su-khong Beng, Khong-khong Jie tertawa puas lalu mengajak suteenya pergi. Tiga murid Soat-san Lo-koay hanya dapat membiarkan mereka pergi, siapapun tidak berani mengejar.

Selanjutnya Khong-khong Jie bersama-sama Sin Cie Kow, Toan Khek Gee dan dua saudara Lam mengamuk ke dalam rombongan tentara negeri. Sementara itu Cho Peng Goan juga sudah berjumpa lagi dengan isterinya U-bun Hong-nie.

U-bun Hong-nie sedang bertempur sengit dengan Khu Pit Tay, karena baru sembuh dari lukanya, agak berat melawan orang she Khu itu. Dalam keadaan demikian Cho Peng Goan telah datang pada waktu yang tepat.

Ilmu golok Cho Peng Goan dalam rimba persilatan sudah lama terkenal, apalagi Khu Pit Tay ini pernah dijatuhkan olehnya, maka hanya beberapa jurus saja Khu Pit Tay sudah kabur dalan keadaan terluka.

Sementara itu Tiat Ceng dan Hoa Khiam Hong juga merasa agak berat melawan Thay Lok. Cho Peng Goan ketika mengetahuinya segera menghampiri dan minta Tiat Ceng dan Hoa Khiam Hong mengundurkan diri.

Dengan cepat Cho Peng Goan menyerang Thay Lok. Thay Lok tetap melawan dengan menggunakan sepasang tangannya yang beracun. Karena kekuatan tenaga Cho Peng Goan sudah sempurna, maka serangan tangan beracun Thay Lok hanya menimbulkan rasa pening saja, tidak mempengaruhi kekuatan dan kepandaiannya.

Kalau dua orang itu merupakan lawan yang setimpal sebaliknya dengan dua kawan Thay Lok yang lain, mereka yang menghadapi U-bun Hong-nie, Tiat Ceng dan Hoa Khiam Hong. Dalam waktu sangat singkat sudah menderita kekalahan, masing-masing telah kabur dalan keadaan terluka.

Karena melihat tiga kawannya sudah kabur semua, Thay Lok tidak berani meneruskan pertempurannya dengan Cho Peng Goan, maka akhirnya ia juga kabur.

Setelah lawannya semua kabur, U-bun Hong-nie segera mengajak suaminya untuk melawan tentara negeri yang mengurung mereka itu.

Lalu bersama-sama dengan Khong-khong Jie suami isteri dan Toan Khek Gee suami istri serta persaudaraan Lam, mereka lalu mengamuk ke dalam barisan tentara negeri. Terutama Khong-khong Jie, dengan ilmu totokannya yang luar biasa, dalam waktu sekejap mata saja sudah merobohkan beberapa puluh orang, sehingga orang-orang rombongan Chiu Tong bisa berkumpul menjadi satu.

Tentara negeri meskipun jumlahnya ribuan jiwa, tetapi semua takut kepada Khong-khong Jie, mereka hanya berani berkaok-kaok tetapi tidak berani mendekati.

Hanya tiga murid Soat-san Lo-koay yang tidak begitu takut terhadap Khong-khong Jie, namun demikian ketiga-tiganya yang sudah pernah dirobohkan oleh Khong-khong Jie, maka juga tidak berani melawan dan membiarkan rombongan orang itu menerobos keluar dari kepungan tentara negeri.

Pak-kiong Hong yang bertindak sebagai pemimpin rombongan tentara negeri yang melakukan serangan terhadap rombongan orang-orang itu, meskipun dalam pertempuran yang sudah berhasil menenggelamkan kapal-kapal kedua rombongan, tetapi orang-orang terpenting dari Hay-ho-pang tiada satupun yang tertangkap, maka masih penasaran ketika melihat Khong-khong Jie dan kawan-kawannya berhasil lolos keluar dari kepungan tentaranya. Segera mengeluarkan perintah pada barisan anak panah untuk menyerang dengan panah masing-masing.

Dihujani olah anak panah demikian hebat, orang-orang rombongan Chiu Tong meski bisa menangkis dengan senjata masing-masing, tetapi di antara anak buah Chiu Tong juga ada yang binasa karena serangan anak panah itu.

Pemimpin pasukan anak panah itu merasa bangga akan hasilnya, dengan mengandalkan kepandaiannya yang memang mahir sekali, ia menujukan anak panahnya kepada Khong-khong Jie.

Khong-khong Jie sebetulnya bisa menyambut serangan anak panahnya, dan kemudian balas menyerang, tetapi tidak berbuat demikian, karena merasa mendongkol dengan sikap pemimpin rombongan anak panah itu. Ia lalu melesat tinggi, kemudian dengan satu gerakan luar biasa ia memenggal kepala pemimpin pasukan anak panah itu.

Keberanian dan kepandaian luar biasa Khong-khong Jie telah membuat takut pasukan anak panah itu, maka waktu Khong-khong Jie balik ke rombongannya, pasukan anak panah itu tidak berani menyerang lagi.

Sebetulnya betapapun tinggi kepandaian Khong-khong Jie, juga tidak mungkin menghabiskan tentara negeri yang jumlahnya ribuan jiwa itu, tetapi tentara negeri itu meskipun jumlahnya banyak karena yang bertindak sebagai pemimpin rombongan, masing-masing takut akan kehilangan kepalanya, maka tidak ada satupun yang bergerak. Dengan demikian hingga Khong-khong Jie dan kawan-kawannya sudah lolos dari kepungan tentara negeri.

Ketika mereka tiba di tepi laut, segera menampak kapal-kapal tentara negeri yang jumlahnya kurang lebih tigapuluh buah berlabuh di pulau itu, kapal-kapal itu semua merupakan kapal besar, Ciok Kam Tong dari Hay-ho-pang yang menyaksikan itu lalu berkata:

“Bagus, mereka menenggelamkan pasukan kapal kita maka sekarang kita boleh merampas kapal- kapalnya, hanya sayang kita tidak dapat merampas semuanya!”

Khong-khong Jie berkata sambil tertawa:

“Tidak dapat kita rampas boleh kita bakar saja!”

Chiu Tong menyetujui usul itu, ia berkata sambil bertepuk tangan:

“Bagus, bagus! Kalau kita bakar habis kapal mereka, mereka tentu tidak bisa mengejar kita.”

Begitulah mereka segera berpencar melaksanakan rencana mereka, karena kapal-kapal itu hanya terjaga oleh beberapa puluh orang, sudah tentu tidak dapat berbuat apa-apa. Ketika melihat kapal-kapalnya dibakar, mereka telah kabur ke dalam air.

Chiu Tong berhasil mendapat sebuah kapal besar, dengan kapal itu mereka bersama rombongan mereka meninggalkan pulau tersebut.

Di atas kapal Ciok Kam Tong berkata: “Kita sudah tidak bisa pulang ke Yang-ciu, harap Pangcu memberi petunjuk, kita harus berlindung ke mana dulu?”

“Kira-kira seratus pal di luar sungai Tiang-kang, ada sebuah pulau kecil, pulau itu diduduki oleh sahabat baikku Chiu Seng. Kita boleh menumpang tinggal beberapa hari di sana setelah saudara -saudara kita yang terluka nanti sembuh, baru kembali ke Yang-ciu untuk membuat perhitungan dengan mereka.”

Dalam pembicaraan antara orang-orang gagah itu, semua menyesalkan perbuatan Touw Goan yang berserikat dengan tentara negeri.

Terutama Khong-khong Jie kini juga menyesal atas perbuatannya yang melepaskan Touw Goan, mungkin merupakan suatu kesalahan besar yang akan menimbulkan akibat di kemudian hari.

Cho Peng Goan yang saat itu baru mendapat kesempatan berbicara dengan isterinya telah berkata:

“Kay Ceecu yang baru saja pulang dari rumah saudara, adiknya, telah mendapat sedikit kabar tentang keadaan di negara Su-tho-kok. Sejak kau meninggalkan kedudukanmu sebagai ratu keadaan dalam negeri itu menjadi kalut. Saudara misanmu ingin mengangkat diri menjadi raja, tetapi rakyat tidak suka. Di bawah tunjangan negara Hwee-kie, ia bertindak selaku pejabat kepala pemerintah. Nampaknya negara Hwee-kie akan mengirim tentaranya untuk menduduki negara Su-tho-kok.”

U-bun Hong-nie mengerti maksud suaminya, ia berkata:

“Apakah kau menghendaki aku pulang?” Cho Peng Goan menganggukkan kepala.

U-bun Hong-nie berkata sambil tertawa getir:

“Sudah cukup lama aku menderita, sebetulnya aku tidak ingin menjadi ratu lagi.”

“Kau salah. Apabila kau cuma ingat hidup kesenangan suami isteri, rakyat pasti akan sesalkan kita. Kau menjadi ratu biar bagaimana lebih baik daripada negara itu diduduki oleh negara Hwee-kie.”

U-bun Hong-nie sebetulnya juga tidak ingin negara dan rakyatnya diduduki oleh orang lain, tetapi ia juga berat berpisah dengan suaminya, maka ia kemudian berkata:

“Kecuali kau juga pulang bersama-sama aku.”

Kali ini giliran Cho Peng Goan yang tertawa getir, katanya:

“Aku bukannya tidak ingin tinggal bersama-sama kau tetapi aku takut rakyat negaramu tidak senang. Aku lebih takut hal ini akan digunakan oleh orang-orang yang menentang kau sebagai bahan dan alasan untuk menyerang kau. Semua ini disebabkan karena aku orang suku Han bukan orang suku Su-tho.”

U-bun Hong-nie berkata dengan sikap sungguh-sungguh:

“Toako, kau juga salah. Orang-orang yang berserikat dengan negara Hwee-kie itu, biar bagaimana tokh akan menentang aku. Aku percaya, setelah mengalami bencana kali ini, rakyat pasti tidak bisa dipermainkan oleh orang-orang itu lagi. Mereka pasti akan menyambut kedatanganmu dengan senang.”

Cho Peng Goan masih ragu-ragu, tiba-tiba Khong-khong Jie berkata sambil tertawa:

“Kau takut apa, aku suka melindungi kalian suami istri pulang. Toan sutee, marilah kita dua keluarga pergi ke negara Su-tho.”

Toan Khek Gee yang hubungannya dengan Cho Peng Goan seperti saudara sendiri, sudah tentu terima baik usul suhengnya: “Biar bagaimana sekarang ini aku tidak mempunyai pekerjaan apa-apa, sudah semestinya aku mengantar Cho toako dan toaso pulang ke negaranya. Ceng-tit, kalau kau pulang ke gunung tolong kau beritahukan kepada ayahmu,” demikian ia berkata.

Su Yak Bwee lalu berkata sambil tertawa:

“Ceng-tit, ketika kau mendapat luka di kota Gui-pok, nona Hoa telah merawatmu siang hari malam. Kali ini ia menjadi tetamumu, kau harus baik-baik perlakukannya, untuk membalas budinya!”

Hoa Ciong Tay adalah sahabat baik ayah Toan Khek Gee, dan selama di kota Gui-pok, Toan Khek Gee juga banyak mendapat bantuannya. Mereka suami istri tidak tahu bahwa Hee Liang Siang bermaksud menikahkan anak perempuan Lam Chiu Lui kepada Tiat Ceng, maka dalam hati mereka, mengharap supaya Tiat Ceng dan Hoa Khiam Hong bisa terangkap jodoh.

Tiat Ceng adalah seorang pemuda yang sudah berusia delapanbelas tahun, mengerti perasaan malu maka dengan muka merah ia berkata:

“Bibi selalu suka menggoda orang saja.”

Sebaliknya dengan Hoa Khiam Hong, ia adalah gadis yang dibesarkan di daerah luar perbatasan. Hatinya masih putih bersih, sifatnya masih kekanak-kanakan, tidak mengerti perbedaan antara lelaki dan perempuan. Ia menganggap perkataan Su Yak Bwee yang mengandung sifat menggoda itu benar-benar, buru-buru berkata:

“Di atas gunung kalian sana pasti sangat ramai, aku harap bisa bergaul dengan kalian seperti orang sendiri. Kalian jangan merendah terhadap aku, dan menganggap aku seperti orang luar.”

Perkataan itu sangat tidak enak dirasakan oleh Lam Chiu Lui, ia lalu berkata:

“Nona Hoa, kau jangan khawatir, Tiat Ceng pasti bisa menganggap kau sebagai orang sendiri.”

Kalau Toan Khek Gee suami istri mengharapkan Tiat Ceng dan Hoa Khiam Hong bisa terangkap jodoh, tetapi tidak demikian dengan pikiran suhengnya Khong- khong Jie. Pada saat itu persoalan Tiat Ceng ini menyusahkan pikirannya.

Karena Khong-khong Jie pernah diminta oleh ibu Lam Chiu Lui, dengan kedudukannya sebagai suhunya Tiat Ceng, dimintanya supaya bertindak menjadi comblang untuk menjodohkan Lam Chiu Lui dengan Tiat Ceng. Pada beberapa hari berselang, ia masih berjanji pada Lam Chiu Lui bahwa urusan itu ia yang akan membereskannya, ini berarti bahwa soal pernikahan itu ia akan lakukan seperti apa yang diminta oleh Ibunya Lam Chiu Lui.

Tetapi kini ia sudah menjadi sahabat baik dengan Hoa Ciong Tay, sudah tentu tidak bisa berlaku berat sebelah, tidak heran kalau persoalan itu telah menyusahkan hatinya.

Untuk menghadapi segala musuh yang betapapun tangguhnya, Khong-khong Jie selalu punya akal, tetapi menghadapi soal perjodohan itu, ia tidak mengerti sama sekali, sehingga kehilangan akal. Tetapi akhirnya ia menemukan suatu pikiran yang dianggapnya benar, maka segera berkata:

“Ceng-jie, kau dengan paman-paman kecil dan bibi kecil keluarga Lam, bukankah lama sudah tidak berjumpa? Sekarang kalian sama-sama sudah dewasa dan hendak menceburkan diri di kalangan Kang- ouw, ayahmu pasti merasa gembira. Kalian boleh menggunakan kesempatan ini, semua berkumpul di gunung ayahmu untuk waktu yang lebih lama. Nona Hoa juga boleh mengawani bibi kecilmu.”

Usia Lam Chiu Lui sebaya dengan Tiat Ceng, tetapi karena ayah Lam Chiu Lui kedudukannya setingkat dengan ayah Toan Khek Gee, Tiat Mo Lek adalah saudara misan Toan Khek Gee, maka menurut urutan kedudukan Lam Chiu Lui lebih tua setingkat dari pada Tiat Ceng. Menurut kebiasaan Khong-khong Jie kalau menyebut Lam Chiu Lui dihadapan Tiat Ceng selalu dikatakannya bibi kecil.

Lam Chiu Lui yang mendengar perkataan Khong-khong Jie itu, wajahnya menjadi merah. Maksud Khong-khong Jie ialah hendak membiarkan mereka sama-sama mendapat kesempatan. Tiat Ceng suka kepada siapa, dan memilih siapa, itu adalah urusan Tiat Ceng sendiri. Tetapi perkataannya itu terlalu menyolok dan terang-terangan supaya Tiat Ceng yang mengundang Lam Chiu Lui ke rumahnya.

Sebaliknya dengan Hoa Khiam Hong, ketika mendengar perkataan Khong-khong Jie lalu berkata sambil bertepuk tangan dan tertawa:

“Bagus, bagus, aku justru ingin minta pelajaran menjahit kepada enci Lam. Beberapa hari berselang aku melihat enci Lam bisa menjahit bajunya sendiri, aku merasa kagum akan kepandaiannya itu. Kalau aku katakan mungkin akan membuat tertawaan kalian. Ibuku meninggal dunia terlalu muda, hingga tidak sempat mengajari aku menjahit. Semua pakaianku adalah hasil dari curian ayahku saja.

“Di daerah padang pasir sana keadaannya tidak seperti kalian di sini, yang terdapat banyak toko pakaian. Dan aku sendiri tidak dapat menjahit, maka aku terpaksa memakai pakaian yang didapatkan oleh ayah, meskipun di luarnya kelihatan baik, tetapi banyak yang tidak cocok dengan diriku.”

Semua orang mendengar kata-kata Hoa Khiam Hong yang masih kekanak-kanakan itu pada tertawa. Khong-khong Jie berkata sambil tertawa:

“Kalau kau ingin mencuri barangnya, boleh belajar denganku. Kepandaian yang lain, aku belum tentu mengalahkan ayahmu. Hanya kepandaian mencuri ini, ayahmu pasti menyerah kepadaku.”

“Aku belum pernah dengar seorang gadis yang suka mencuri barang orang, kepandaian semacam itu aku tidak mau belajar. Paman Khong-khong Jie, aku harap dalam perjalananmu ke negara Su-tho ini, apabila berjumpa dengan ayah, harap kau ingatkan kepadanya, jangan lupa menyambut aku pulang. Aku takut tidak bisa belajar menjahit, sedangkan pakaianku yang lama sudah pada pecah, sehingga tidak ada orang yang mencarikan untukku lagi.

“Baiklah aku pasti pulang bersama-sama dengan ayahmu. Apabila tidak berhasil menemui ayahmu, urusan pakaianmu kau serahkan padaku, aku nanti akan carikan untukmu.”

Karena kata-kata jenaka dari Khong-khong Jie itu membuat suasana nampak bebas dan gembira. Dalam perjalanan itu, masing-masing mencari kawan sendiri-sendiri untuk merundingkan tindakan selanjutnya.

Tiat Ceng pergi mencari Can Pek Sin. Ia menyaksikan Can Pek Sin seperti sedang memikirkan apa-apa lalu berkata kepadanya:

“Can toako dulu sewaktu kau ke gunung Hok-gu-san tidak berjumpa dengan ayah, ayah ingin bertemu denganmu, maka kali ini kau boleh pulang bersama-sama denganku.”

Can Pek Sin berpikir sejenak baru menjawab:

“Tentang ini, hem-hem, sebaiknya nanti kita akan bicarakan lagi.”

Tiat Ceng pada saat itu juga melihat Thie Po Leng berdiri seorang diri di lain sudut hingga Tiat Ceng merasa heran, katanya pula:

“Kalian berdua ada apa lagi? Dengan pengalaman kali ini seharusnya lebih erat perhubungannya. Mengapa kau selalu agaknya ribut saja dengan enci Thie. Oo ya, biarlah aku yang mengundang ia bersama-sama pergi ke tempat ayahku...”

Can Pek Sin menggoyangkan kepalanya, lalu berkata dengan suara rendah: “Ia tidak akan pergi.”

Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara Khong-khong Jie memanggilnya:

“Siao-sin kemari!”

Can Pek Sin lalu pergi menghampiri, selagi hendak bertanya, Khong-khong Jie sudah berkata lagi sambil tertawa terbahak-bahak: “Aku lihat kau selalu termenung-menung seperti tidak gembira, apakah itu disebabkan karena kali ini kau tidak berhasil menuntut balas? Kau jangan kesal, aku memberi beberapa pelajaran kepadamu, aku tanggung di kemudian hari kau akan dapat membunuh Touw Goan.”

Kiranya Khong-khong Jie sebab tidak suka membunuh Touw Goan dengan tangan sendiri, sedangkan perbuatan Touw Goan kali ini membuat ia sangat menyesal telah melepaskannya, maka ia lalu timbul hasrat untuk membantu Can Pek Sin mencapai maksudnya. Ini juga berarti ia hendak meminjam tangan Can Pek Sin untuk membunuh Touw Goan.

Can Pek Sin sangat girang ia segera mengucapkan terima kasih, tetapi tidak lalu duduk untuk mendengar keterangan Khong-khong Jie.

Khong-khong Jie saat itu tiba-tiba berkata lagi tertawa terbahak-bahak:

“Oo ya, aku seharusnya tidak berat sebelah, Po Leng kau juga kemari. Aku akan membelajari kalian serupa kepandaian yang harus dilakukan olah kalian berdua bersama-sama.”

Thie Po Leng setelah mengalami pertempuran antara mati dan hidup bersama-sama Can Pek Sin kali ini, perasaannya terhadap Can Pek Sin agak timbul banyak perobahan. Di satu pihak ia merasa bersyukur terhadap pnmuda itu, tetapi di lain pihak ia masih berat meninggalkan Lauw Bong, maka ia lebih suka menjauhkan diri dari Can Pek Sin. Tetapi ketika dipanggil oleh Khong-khong Jie, bahkan hendak diberi pelajaran serupa kepandaian untuk menuntut balas, ia agak terpaksa menghampiri juga.

“Aku lihat kepandaian kalian, sebetulnya dapat mengalahkan Touw Goan, tetapi kalian kesatu karena terbatas kekuatan tenaga, dan kedua kalian kurang cukup sempurna menggunakan kepandaian kalian sehingga malah dirugikan. Tentang kekuatan tenaga tidak dapat dipaksa, tetapi aku ada mempunyai cara yang lebih singkat dipelajari, boleh digunakan supaya kepandaian kalian digunakan sebaik-baiknya.

“Pertama, aku hendak pelajarkan kalian caranya melatih ilmu meringankan tubuh, kemudian, aku hendak mengajar kalian dengan cara bagaimana supaya bisa bekerja sama yang baik. Asal kalian mau berlatih sungguh-sungguh, tidak usah setengah tahun, aku tanggung apabila bertempur satu lawan satu dengan Touw Goan, setidak-tidaknya tidak sampai dikalahkan olehnya, tetapi apabila kalian berdua bersama bergandengan tangan, sudah pasti dapat membunuhnya.”

Khong-khong Jie bukan saja berkepandaian tinggi, ia bahkan merupakan guru yang paling baik. Sebab terhadap ilmu silat golongan mana saja, ia mempelajari sedalam-dalamnya, maka ia mengetahui baik segala kekuatan dan kelemahan orang lain, sudah tentu petunjuk pelajaran yang diberikan kepada Can Pek Sin dan Thie Po Leng, merupakan suatu pelajaran yang sangat berharga bagi mereka.

Karena Can Pek Sin dan Thie Po Leng sudah mempunyai dasar baik, maka terhadap pelajaran yang diberikan Khong-khong Jie, segera cepat dimengerti dan dengan cepat sudah dipelajari sebaik-baiknya. Selama tiga hari dalam perjalanan, mereka sudah melatih berulang-ulang, hasilnya ternyata sangat mengagumkan.

Setelah mereka tiba di pulau itu, kedatangan mereka disambut oleh Chiu Seng sebagaimana layaknya.

<>

Setelah berdiam beberapa hari di pulau itu, hanya beberapa yang terluka yang masih ditinggal sampai mereka sembuh, yang lain dengan beruntun meninggalkan pulau tersebut.

Can Pek Sin merupakan orang yang pertama meninggalkan pulau itu, sebab Thie Po Leng yang sudah merasa putus harapan, hanya ingin pulang, untuk menunggu kuburan Yayanya. Ia tidak tertarik lagi urusan dalam dunia Kang-ouw.

Can Pek Sin sebetulnya merasa berat meninggalkan Tiat Ceng, tetapi ia sudah berjanji kepada yayanya hendak mencari enci Lengnya, dan sekarang Thie Po Leng hendak pulang, bagaimana ia tidak mengawani pulang? Maka terpaksa meninggalkan Tiat Ceng untuk sementara. Waktu berangkat, Tiat Ceng mengantar mereka itu sampai ke atas kapal. Di waktu berangkat Can Pek Sin menyatakan kemenyesalannya tidak bisa pulang ke gunung bersama-sama Tiat Ceng, dan minta Tiat Ceng sanpaikan maaf kepada ayahnya.

Tiat Ceng berkata sambil tertawa:

“Aku sebetulnya tidak dapat memaafkan kau, tetapi karena kau pergi bersama-sama enci Leng, apa aku harus kata? Aku hendak menyampaikan berita kalian ini kepada ayah, ayah pasti akan merasa gembira.”

Pada saat itu Thie Po Leng sudah berada di atas kapal. Can Pek Sin yang sudah mendengar perkataan Tiat Ceng, mukanya menjadi merah, ia buru-buru berkata dengan suara rendah:

“Saudara jangan salah paham, aku hanya ingin membantu enci Leng untuk memperbaiki kuburan Yaya. Thie yaya perlakukan aku begitu baik, aku juga ingin menyumbangkan baktiku untuk membalas budinya.”

“Aku tahu. Tetapi kau juga tidak perlu menyangkal urusanmu dengan enci Leng. Kau dengannya dibesarkan bersama-sama, yayanya juga sudah lama menganggap kau sebagai cucu menantu, jikalau kalian bisa menjadi suami isteri itu memang sudah sewajarnya, apa jang perlu dikhawatirkan.

“Kalian baik lagi seperti sediakala aku percaya bukan saja ayahku yang mendengarnya akan merasa girang begitupun adikku yang satu ini juga akan merasa gembira. Meskipun ia dulu pernah mencela perbuatan enci Leng dihadapanmu, tetapi juga merupakan suatu perbuatan yang akan membela dirimu. Sebaiknya setelah kalian menyelesaikan urusan Thie yaya, bisa bersama-sama ke gunung Kim-kee-nia, sehingga kita berempat bisa berkumpul lagi seperti di masa anak-anak.”

Di dalam hati sanubari Tiat Ceng, selama itu ia memandang adiknya Tiat Leng sebagai seorang gadis cilik, yang masih belum mengerti apa-apa. Sedikitpun tak pernah menduga bahwa antara Tiat Leng dengan Can Pek Sin juga timbul rasa cinta kasih.

Can Pek Sin yang mendengar itu, perasaannya tidak keruan, pikirannya menjadi kalut, ia tidak tahu bagaimana harus menjawab.

Karena kapal hendak berangkat, setelah semua orang sudah naik ke kapal akhirnya Can Pek Sin terpaksa meninggalkan Tiat Ceng.

Sebelum berangkat ia masih sempat berkata kepada Tiat Ceng dengan suara perlahan:

“Aku pasti akan menjumpai kalian selekas mungkin. Tetapi belum tentu datang bersama-sama dengan enci Leng. Apa yang kukata tadi semua adalah sejujurnya, benar-benar supaya kau jangan salah mengerti. Hem, hem, di hadapan adik Leng, sebaiknya kau jangan sebutkan urusanku dengan encie Leng. Aku nanti akan bicara sendiri dengannya.”

Sewaktu mendengar pesan wanti-wanti ini, barulah Tiat Ceng merasa sedikit heran. Tetapi Can Pek Sin sudah berada di atas kapal, yang saat itu sudah berlayar, sehingga ia tidak mendapat kesempatan untuk menanyakan lebih jauh.

Kapal itu sangat besar, dua ekor kuda Can Pek Sin dan Thie Po Leng juga diberangkatkan bersama-sama. Setelah mendarat di pantai, mereka melanjutkan perjalanannya dengan naik kuda.

Lama dalam perjalanan itu, karena masing-masing memikir pada pengalamannya sendiri-sendiri, mula- mula masih agak kurang bicara, tetapi perlahan-lahan mereka bisa ngobrol atau bersenda gurau. Namun demikian Thie Po Leng masih selalu menghindarkan urusannya dengan Lauw Bong dan apa yang telah terjadi terhadap dirinya di lembah Phoan-liong-kok.

Dengan demikian, sehingga pembicaraan mereka terbatas kepada hal-hal yang sudah lampau di masa mereka masih kanak-kanak.

Thie Po Leng terhadap Can Pek Sin perasaannya sudah timbul sedikit perobahan, dan Can Pek Sin juga timbul kembali cinta kasihnya yang lama. Mereka meski belum menjadi suami istri, sehingga belum bisa dikatakan perselisihan suami istri. Tetapi mereka sejak kecil hidup bersama-sama, bukan saja di mata orang sudah anggap mereka sebagai tunangan, tetapi dalam hati mereka sendiri juga sudah anggap demikian, maka setelah mengalami badai asmara ini, perasaan satu sama lain telah terluka. Bagi Can Pek Sin, ia terhadap Thie Po Leng selalu mengandung perasaan kasih sayang yang sangat tebal. Sekalipun di waktu Thie Po Leng salah paham terhadap dirinya sehingga membencinya, tetapi ia masih tetap tidak berobah.

Sementara itu apakah kasih sayang ini merupakan kasih sayang antara persaudaraan ataukah kasih sayang antara dua kekasih, ia sendiri juga tidak mengerti. Hanya ia tahu benar bahwa orang yang dicintai oleh Thie Po Leng adalah Lauw Bong, maka ia semakin tidak mau setelah mengalami kesusahan dan sudah akhir kembali, ia akan menimbulkan salah mengerti lagi kepada Thie Po Leng.

Beberapa kali Can Pek Sin ingin membuka tabir yang memisahkan mereka itu, dan hendak terus terang menyatakan kepada enci Lengnya bahwa suka merengkokkan jodoh antara enci Lengnya dengan Lauw Bong. Akan tetapi Thie Po Leng selalu menghindarkan diri membicarakan soal Lauw Bong, sehingga ia tidak dapat kesempatan untu membicarakannya.

Dua hari mereka melakukan perjalanan di darat, hari itu perjalanannya sedang menuju ke kota Tiong-cu. Thie Po Leng tiba-tiba berobah pula sikapnya, banyak diam jarang bicara, bahkan kadang-kadang seperti bingung. Can Pek Sin yang menyaksikan perobahan itu diam-diam merasa heran.

Di perjalanan itu beberapa kali berjumpa dengan rombongan orang-orang yang berpakaian necis, agaknya seperti orang yang hendak mengunjungi pesta kawin sahabatnya. Terhadap itu Can Pek Sin juga tidak menaruh di hati.

Jalan tidak berapa lama, tiba-tiba ia merasa Thie Po Leng ketinggalan jauh di belakangnya, ia terpaksa hentikan kudanya untuk menunggu, kemudian ia berkata:

“Enci Leng, kau sudah lelah, di depan sana ada rumah minuman, mari kita berhenti dulu sebentar.”

Thie Po Leng terpaksa menurut, mereka lalu ambil tempat duduk. Dengan tidak disengaja Can Pek Sin dapat lihat papan tanda jalan yang kebetulan berada di depan rumah minuman itu menunjukkan bahwa kota itu adalah kata Poh-ie.

Can Pek Sin tersadar, dalam hatinya berpikir: Pantas enci Leng seperti orang bingung, kiranya kini telah memasuki kota tempat kelahiran Lauw Bong. Ia lalu mengawasi Thie Po Leng. Thie Po Leng menundukkan kepala.

Can Pek Sin bertanya kepada pelayan rumah minuman itu,

“Aku jalan tergesa-gesa, sehingga tidak perhatikan keadaan jalan, kiranya sudah tiba di kota Poh-ie. Hem, hem, disini ada tinggal seorang kaya yang bernama Bok An, apakah kau tahu?”

“Tentang Bok loya itu kita orang di kota ini siapa yang tidak tahu? Kau dengan Bok loya sudah kenal, ataukah mendengar namanya saja?” demikian pelayan itu berkata.

“Sudah lama aku mendengar namanya, tetapi belum mendapat kesempatan bertemu muka, hanya orang tuaku sudah kenal dengan Bok loya.”

“Kalau bagitu, apabila kau hendak bertemu dengan Bok loya, inilah kesempatan yang paling baik.” “Oh, apa sebabnya?”

“Hari ini justru hari ulang tahun keenampuluh Bok loya. Di sepanjang jalan kalian tadi tentunya juga menjumpai orang-orang yang datang hendak memberi selamat. Bok loya paling suka bergaul, maka aku katakan, jikalau kau hendak menjumpainya, kesempatan yang paling baik. Sudah cukup kau membawa kartu nama tidak perlu memberi barang antaran, biar bagaimana Bok loya tokh tidak mengharap barang antaranmu.”

Pelayan itu sudah tahu, biasa banyak orang Kang-ouw yang datang minta pertolongan kepada Bok An. Ia mengira Can Pek Sin juga orang Kang-ouw yang sedang berada dalam kesusahan, maka ia memberikan petunjuk baginya.

Can Pek Sin setelah mengucapkan terima kasih dan membayar uangnya, lalu melanjutkan perjalanannya. Thie Po Leng mengikuti, waktu sudah tidak ada lain orang ia baru bertanya: “Siao-sin, benarkah kau hendak memberi selamat kepada Bok An?” Dengan sikap sejujurnya Can Pek Sin menjawab:

“Enci Leng, perkataanku ini sudah lama aku ingin mengutarakan kepadamu. Kau jangan anggap aku masih mempunyai ganjalan apa-apa terhadap Lauw Bong. Malam itu di lembah Phoan-liong-kok aku pernah bersama-sama dengannya menghadapi musuh, sudah lama kita sudah bersahabat. Hari ini kita sudah sampai di kotanya dan kebetulan pula hari ulang tahun Bok An. Mengapa kita tidak menggunakan kesempatan ini, untuk sekalian pergi ke rumah Bok An untuk mencari keterangan diri Lauw Bong?”

Kiranya keluarga Bok dan keluarga Lauw dahulunya adalah tetangga. Adik perempuan Lauw Cin, adalah istri Bok An. Murid kepala Sin Cie Kow, Liong Seng Hiang kemudian menikah dengan anak lelaki Bok An, yang bernama Bok Khong. Dengan demikian Bok Khong dan Lauw Bong tersangkut famili.

Adik perempuan Liong Seng Hiang, ialah Liong Seng Hong, karena sejak kecil tinggal di rumah kakaknya, sehingga berkenalan dengan Lauw Bong, perhubungan itu lama-lama berupa cinta kasih.

Tetapi sejak Lauw Cin dan Lauw Bong ayah dan anak itu menjadi berandal di kalangan Kang-ouw lantas berlalu dari kota Poh-ie, dengan keluarga Bok sudah beberapa tahun tidak ada hubungannya lagi.

Can Pek Sin berkata pula:

“Ayah Lauw Bong sudah meninggal di rumah keluarga Li, dibinasakan oleh Thay Lok. Apakah tentang kematian ayahnya itu Lauw Bong sudah tahu atau belum? Sekalipun hanya berdasarkan persahabatan di kalangan Kang-ouw, aku juga seharusnya pergi ke rumah keluarga Bok untuk menyampaikan berita ini. Lauw Bong tidak mempunyai banyak famili mungkin tidak ada orang yang datang untuk memberi berita kepadanya. Namun demikian, keluarga Bok mungkin juga tahu tentang beritanya.”

Thie Po Leng merasa bingung, lama baru bicara:

“Siao-sin, apakah kau ingin bersamaku pergi mencari Lauw Bong? Hem, apakah maksudmu itu hanya semata-mata urusan diriku?”

“Benar, untuk aku juga untuk kau. Enci Leng, aku tidak suka melihat kau menderita, selama beberapa hari ini. Walaupun kau masih suka bicara dan tertawa, tetapi dalam hatimu sebetulnya tidak gembira. Kita sama-sama dibesarkan di suatu tempat, bagaimana aku tidak mengetahui pikiranmu? Enci Leng, ingatkah kau pada malam penghabisan kita ada di lembah Phoan-liong-kok. Kau pernah berkata denganku, bahwa kau dengan Lauw Bong...”

“Siao-sin, kau jangan bicara soal itu lagi, aku teringat apa yang aku pernah berkata, tetapi, kau..., kau tidak tahu...”

Apa yang terjadi hari itu terbayang kembali di otak Thie Po Leng.

Memang benar pada hari itu ia pernah berkata pada Can Pek Sin bahwa seumur hidupnya itu ia sudah bertekad hidup bersama-sama dengan Lauw Bong, tidak akan meninggalkannya lagi.

Akan tetapi perobahan dalam penghidupannya manusia kadang-kadang bisa terjadi tidak seperti yang dikehendaki. Siapa menduga malam itu telah terjadi peristiwa yang tidak terduga-duga, sehingga rencana mereka hendak merampas harta kekayaan telah gagal dan akhirnya menjadi kematian yayanya. Dan sumpah sehidup semati dengan Lauw Bong, akhirnya juga tidak terlaksana.

Selain dari pada itu, dia juga tidak menduga Lauw Bong pernah menjadi kekasih Liong Seng Hong. Bagaimana Lauw Bong terhadap Liong Seng Hong, ia tidak tahu. Tetapi cinta kasih Liong Seng Hong terhadap Lauw Bong ternyata sudah begitu mendalam, hal ini ia sudah tahu.

Lagi pula ia juga tidak menduga bahwa Can Pek Sin yang pernah dibencinya karena salah paham, perasaan dan sikapnya terhadap dirinya ternyata masih jujur seperti sedia kala. Pemuda itu bukan saja tidak menyesalkan perbuatannya, sebaliknya malah dalam segala hal memikirkan dirinya. Oleh karena adanya semua perobahan itu, maka penderitaan dalam hati Thie Po Leng, sebetulnya bukan hanya disebabkan semata-mata memikirkan Lauw Bong saja, tetapi pikiran itu, sudah tentu tidak dapat dinyatakan kepada Can Pek Sin.

Can Pek Sin menganggap dirinya mengetahui benar apa yang dipikirkan oleh enci Leng nya itu, maka, dia lantas berkata:

“Aku tahu, aku tahu kau memikirkan Lauw Bong. Aku juga tahu selama satu tahun ini kau telah mencari kabar di mana adanya Lauw Bong, maka sekarang kita sudah tiba di kota kelahirannya. Kita ada harapan untuk mendapatkan kabar beritanya atau mungkin juga dapat menemukannya, tetapi sebaliknya kau hendak menyingkir. Perlu apa kau harus berbuat demikian?”

Pikiran Thie Po Leng sangat kalut, setelah berdiam cukup lama akhirnya berkata,

“Memang benar, aku tidak mempunyai keteguhan hati untuk mengusir godaan hatiku, sekalipun aku hendak menyingkir juga tidak mungkin. Aku pikir sebaiknya bereskan saja persoalan ini, tidak perduli bagaimana akhirnya, hendak berpisah atau bertemu lagi, duka atau suka, biar bagaimana harus ada keberesan.”

Karena itu, maka akhirnya ia terima baik permintaan Can Pek Sin untuk pergi bersama-sama ke rumah keluarga Bok An.

Ketika Can Pek Sin dan Thie Po Leng tiba di rumah keluarga Bok An, rombongan musik sedang menyambut kedatangan seorang seperti perwira dalam tentara negeri dengan empat pengawalnya.

Can Pek Sin tidak suka masuk bersama-sama dengan perwira itu, ia menunggu dengan enci Leng nya.

Setelah perwira itu masuk ke dalam, datang pula seorang tua seperti orang desa memakai baju panjang kain kasar, yang agaknya sudah lama tidak dicuci. Walaupun demikian kedatangannya itu sudah disambut dengan musik sebagaimana mestinya. Pengurus dalam rumah tangga, bahkan dari dalam keluar untuk menyambutnya sendiri. Cara manyambutnya lebih menghormat dari pada penyambutan terhadap perwira tadi.

Can Pek Sin dan Thie Po Leng diam-diam merasa heran, dia tidak tahu orang seperti orang desa ini entah dari golongan apa, karena mereka tidak ingin turut disambut secara berlebih-lebihan, maka masih berdiri jauh-jauh di luar pintu.

Setelah orang tua itu masuk, untuk sementara belum ada tetamu lainnya datang, maka Can Pek Sin lalu mangajak Thie Po Leng masuk.

Thie Po Leng seolah-olah sedang memikirkan apa-apa, ia masih tetap berdiri dalam keadaan bingung. “Enci Leng, kau sedang memikirkan apa?” demikian Can Pek Sin menegur.

“Siao-sin, bicaralah terus terang, waktu Yayaku hendak menutup mata, benarkah sudah mengampuni kesalahanku? Benarkah tidak membenci ayah dan anak dari keluarga Lauw?”

“Enci Leng, kapan aku pernah membohongimu? Yaya hanya mengharap kau hidup bahagia. Yaya bahkan menyesal tidak seharusnya menakut-nakuti Lauw Bong. Yaya benar-benar ingin kalian hidup beruntung sampai di hari tua.”

Seumur hidupnya Can Pek Sin sebetulnya belum pernah membohong, hanya dalam urusan itu ia tidak boleh tidak harus membohongi Thie Po Leng, Ia sengaja putar balik pesan Yayanya yang terakhir. Tetapi justru, karena ia tidak biasa membohong, maka suara nada pembicaraannya sedikit kurang wajar.

Dengan muka merah Thie Po Leng mengawasi sejenak. Dalam hatinya ia berpikir: Siao-sin ini benar seperti apa yang aku duga, apa yang terpikir dalam hatinya itu tidak sama dengan ucapan yang keluar dari mulutnya.

Ternyata Thie Po Leng salah menganggap dirinya Can Pek Sin, yang mengira Can Pek Sin masih menyinta dirinya. Ia juga mengira pemuda itu masih mempunyai pikiran jelus terhadap Lauw Bong, maka bagaimanapun ia berusaha untuk menutupinya. Tetapi dari nada suara yang agak tidak wajar dapat menunjukkan ada berlainan dengan isi hatinya. Namun demikian, walaupun Thie Po Leng menduga salah kepada Can Pek Sin, tetapi hatinya merasa sangat girang.

Orang-orang keluarga Bok yang menyambut kedatangan tamu biasa, ketika melihat sepasang muda mudi yang sikapnye ragu-ragu itu, diam-diam merasa agak heran, maka lalu menanyanya.

Can Pek Sin lalu menjawab:

“Kita hendak memberi selamat kepada Bok loya.”

Orang yang menyambut itu dalam hati berpikir: Tetamu yang datang hari ini, siapa yang tidak akan turut memberi selamat? Jawaban ini sebetulnya bukan berarti jawaban.

“Apakah kalian ada membawa kartu nama?” bertanya orang itu dengan nada suara dingin. “Karena kita datang terburu-buru, sehingga lupa membawa kartu nama.”

“Baiklah, kau tunggu disini dulu.”

Orang itu memberi tanda dengan tangannya kepada pelayan yang lainnya. Tidak lama kemudian seorang pelayan keluar dengan membawa sebuah nampan yang terisi sebuah uang recehan, dan berjalan menghampiri Can Pek Sin.

Can Pek Sin tercengang, ia bertanya:

“Apakah maksudmu ini?’

“Hari ini tetamu yang datang terlalu banyak, majikan kita barangkali tidak dapat menyambut satu persatu. Kedatangan kalian, atas nama majikan aku ucapkan banyak-banyak terima kasih. Karena kalian berdua nampaknya datang dari tempat jauh, maka sedikit uang ini, bukan berarti apa-apa. Harap kalian sudi menerimanya,” berkata orang yang menyambut tadi.

Thie Po Leng dengan alis berdiri, berkata sambil tertawa dingin:

“Apakah kau anggap kita ini datang untuk mengemis?”

Setelah itu ia mengeluarkan beberapa uang mas diletakkan dalam nampan itu, lalu berkata pula:

“Terima kasih atas penyambutanmu yang begitu baik, sedikit mas ini untuk hadiah kalian, ini tidak berarti apa-apa harap kalian sudi menerimanya.”

Orang yang menyambut itu merasa sangat malu, mukanya merah padam. Ia sudah lama mengikuti keluarga Bok sebetulnya juga seorang Kang-ouw kawakan, tetapi kali ini ternyata telah salah mata, maka untuk sesaat lamanya ia terdiam tidak tahu bagaimana harus berbuat.

Pengurus rumah tangga keluarga Bok yang mendengar ribut-ribut di luar pintu buru-buru menghampiri, lalu berkata sambil tertawa berseri-seri:

“Orang tua ini memang tolol, harap saudara-saudara kecil tidak taruh di hati. Jikalau kalian tidak membawa kartu nama, bolehkah kiranya memberitahukan nama kalian yang mulia, agar dapat kami memberitahukannya kepada majikan kami?”

Peristiwa itu telah menarik perhatian orang banyak. Oleh karena Can Pek Sin tadi telah melihat di antara para tetamu yang berkunjung ke situ ada seorang perwira tentara, maka ia agak bersangsi untuk memberi jawaban. Tidak demikian dengan Thie Po Leng yang sedang-sedangnya panas hati. Tanpa berpikir lebih lanjut ia berkata:

“Aku seorang she Thie, asal dari lembah Phoan-liong-kok.”

Pengurus rumah tangga itu nampaknya terkejut. Sesaat ia terpaku, lalu katanya: “Oh, jadi nona adalah nona keluarga Thie dari lembah Phoan-liong-kok? Bolehkah aku numpang bertanya, masih pernah apa nona dengan Thie Sui, Thie lo-enghiong?”

“Beliau adalah Yayaku? Majikanmu mungkin mengenalnya.”

Meskipun pengurus rumah tangga itu mengatakan “ya, ya” di mulutnya, tak urung tertampak nyata perubahan di parasnya. Ia kemudian membubarkan orang-orang yang datang mengerumuni.

Setelah semua orang bubar, baru pengurus itu bertanya lagi dengan suara perlahan: “Dan Siangkong ini...?”

Can Pek Sin menjawab:

“Aku she Can, namaku Pek Sin. Juga dari lembah Phoan-liong-kok.”

Pengurus rumah tangga itu semakin terperanjat. Kiranya, meskipun Bok An sesungguhnya ada merupakan orang rimba persilatan malah termasuk dalam golongan tua, tetapi ia adalah seorang yang kaya raya, maka mereka sedikit banyak, hendak menjauhi orang dari golongan rimba hijau. Ia lebih suka mengadakan perhubungan diam-diam tidak secara terang-terangan.

Can Pek Sin tahun yang lalu muncul di dunia Kang-ouw dengan persaudaraan Tiat, dalam peristiwa perampasan harta bendanya telah membuat namanya agak terkenal. Hubungan keluarga Can dengan Tiat Mo Lek sampai dua generasi, banyak diketahui oleh orang-orang Kang-ouw.

Oleh karenanya maka pengurus rumah tangga itu tidak berani mengambil keputusan, akhirnya berkata: “Harap kalian tunggu sebentar, nanti hamba akan beritahukan kepada majikan.”

Tindakan pengurus rumah tangga itu, semakin menimbulkan keheranan orang banyak, sehingga tamu- tamu lainnya yang tadi tidak ambil perhatian, kini juga memperhatikan dua muda mudi itu, di antara orang banyak itu timbullah suara kasak-kusuk yang membicarakan diri mereka.

Thie Po Leng yang beradat keras, hampir saja naik darah. Can Pek Sin takut sang enci itu menimbulkan onar, beberapa kali mencegahnya dengan isyarat mata.

Tidak lama kemudian pengurus rumah tangga itu keluar lagi, dengan sikap yang sangat hormat mempersilakan mereka masuk bahkan diajaknya sendiri.

Pengurus rumah tangga itu ajak mereka melalui lorong kemudian masuk ke dalam melalui taman yang terdapat gunung-gunungan, bukan menuju ke ruang tamu, tetapi menuju ke dalam taman bunga.

Gedung keluarga Bok itu sebetulnya sangat ramai. Tetapi mereka berada di dalam taman, di situ hanya terdengar suara-suara burung, tidak terdengar suara orang bicara.

Thie Po Leng merasa heran, maka lalu bertanya:

“Kita dengan keluarga Bok bukan famili bukan keluarga, bagaimana kau bawa kita kemari? Apakah suruh kita memberi selamat di tempat ini?”

Can Pek Sin juga berkata:

“Apakah Bok loya tidak sudi menerima kita?”

Dengan wajah berseri-seri pengurus rumah tangga itu berkata:

“Kalian berdua adalah tetamu luar biasa, bagaimana kita berani perlakukan sembarangan, ini adalah...” “Adalah apa?” bertanya Thie Po Leng. Sebelum pengurus rumah tangga itu menjawab tampak sepasang suami istri pertengahan umur keluar dari dalam rumah menyambut mereka. Can Pek Sin segera mengenalnya bahwa orang perempuan itu adalah kakak Liong Seng Hong, ialah Liong Seng Hiang, dan yang laki itu tentu adalah suaminya, Bok Khong.

Pengurus rumah tangga itu lalu memperkenalkan kedua tetamunya kepada tuan rumah muda suami istri itu lalu berlalu.

Bok Khong suami istri dengan sikap ramah tamah berkata:

“Kedatangan saudara berdua kita tidak dapat menyambut sebagaimana mestinya, harap saudara suka maafkan. Ayah kita tidak berani menerima penghormatan begitu besar, maka menyuruh kita dari tingkatan muda yang menyambut, harap saudara-saudara jangan kecil hati.”

Disambut demikian rupa Can Pek Sin malah merasa tidak enak.

Liong Seng Hiang nampaknya lebih suka terhadap Thie Po Leng sambil menarik tangannya ia berkata:

“Aku dengan Can siaohiap beberapa bulan berselang pernah bertemu muka, tetapi dengan nona baru kali inilah kita bertemu. Namun demikian nama nona sudah lama aku dengar. Karena di dalam ruangan tamu suasananya agak ramai, kurang leluasa kita bicara. Jikalau nona tidak anggap kita sebagai orang luar, mari kita masuk ke dalam untuk beromong-omong antara kita berempat saja.”

Thie Po Leng yang justru tidak suka berkumpul dengan para tamu, maka ia menerima baik undangan nona rumah itu.

Demikianlah nyonya rumah itu mengajak tetamunya masuk ke kamar buku Bok Khong.

Di samping pintu kamar Liong Seng Hiang berkata: “Adik, kita kedatangan tamu luarbiasa, kau tebak siapa? Lekas menyambut!”

Dari dalam kamar buku itu keluar seorang gadis yang segera berkata sambil tertawa terbahak-bahak:

“Angin apa yang meniup kalian datang kemari? Aku sendiri juga baru pulang pada beberapa hari berselang. Sungguh tidak diduga bisa berjumpa dengan kalian.”

Gadis itu bukan lain dari pada Liong Seng Hong. Sebetulnya ia sudah tahu kedatangan Can Pek Sin dan Thie Po Leng, tetapi encinya tahu pertikaian antara ia dengan Thie Po Leng, karena khawatir adatnya yang jelek itu tidak dapat menyambut secara baik, maka tidak diijinkan keluar. Kakak dan adik itu sudah berunding lebih dahulu, setelah tetamunya berada di dalam, barulah Liong Seng Hong diperbolehkan mengunjukkan diri.

Thie Po Leng sebetulnya sudah siap untuk menghadapi Liong Seng Hong di rumah keluarga Bok itu, maka pertemuan itu tidak mengherankan. Namun demikian, karena selama itu kesannya terhadap Liong Seng Hong tidak begitu baik, apalagi jikalau mengingat kembali kejadian-kejadian yang tidak menyenangkan di masa yang telah lalu, semua itu kini mempengaruhi hatinya, sehingga sikapnya jadi sangat tawar.

“Adikku ini tidak mengerti aturan, kabarnya pernah berlaku salah terhadap nona. Tetapi seperti apa yang pepatah telah bilang, bila tidak berkelahi dulu tidak akan saling mengenal, kiranya dalam hal ini nona tentu tidak dibuat pikiran,” berkata Liong Seng Hiang itu sambil tertawa.

Thie Po Leng terpaksa menjawab:

“Asal saja Jie siocia tidak memikirkan persoalan itu, hanya sedikit pertikaian kecil apakah artinya?”

“Jikalau kita tidak berkelahi, kita tidak akan saling kenal mengenal. Apalagi dalam perkelahian dengan nona Thie itu, sedikit banyak ada baiknya juga buat nona Thie. Bukankah kalian berdua sekarang sudah berada bersama-sama disini? Can Siaohiap, setidak-tidaknya kau juga harus mengucapkan terima kasih padaku yang sudah mendamaikan kalian kembali,” berkata Liong Seng Hong sambil tertawa.

Muka Thie Po Leng berobah seketika, ia berkata dengan nada suara dingin: “Jie siocia memang seorang pandai, bukan saja pandai mainkan golok dan pedang, tetapi juga pandai, menjadi guru pendamai. Sesungguhnya sangat mengagumkan! Sayang aku seorang kasar dan bodoh, sekalipun aku hendak coba belajar denganmu, mungkin juga tidak bisa. Ini terpaksa mengecewakan kebaikanmu.”

Kedua gadis itu jadi saling mengejek dengan kata-katanya yang sangat pedas.

Liong Seng Hong sebetulnya ingin memperbaiki hubungannya dengan Thie Po Leng, tetapi karena kata- katanya yang menyinggung perasaannya, sehingga dibalas dengan ejekan yang lebih tajam. Dengan demikian telah membuat dirinya jadi serba salah, maka seketika itu juga berobah wajahnya dan ia balik bertanya:

“Apakah artinya ucapanmu ini?”

“Dan apa maksudnya ucapanmu tadi?” kontan pertanyaan itu dibalas dengan jawaban yang lebih tajam. Liong Seng Hiang lalu berkata sambil tertawa:

“Adikku ini kurang pandai bicara, nona Thie, harap kau jangan kecil hati. Kau datang dari tempat jauh marilah minum teh dulu, kemudian baru kita ngobrol secara baik dan teratur.”

Setelah Thie Po Leng minum teh, dengan secara terus terang ia bertanya kepada Liong Seng Hiang, apa maksudnya nyonya rumah mengundang mereka itu?

Liong Seng Hiang menjawab sambil tertawa:

“Nona datang dari tempat jauh, sepantasnya aku yang. lebih dulu minta keterangan nona.” “Hari ini adalah hari ulang tahunnya Bok loya, kedatanganku ini rasanya tokh tidak salah.”

“Bolehkah kita bicara secara blak-blakkan? Rasanya kau bukan khusus untuk memberi selamat saja, pasti masih ada maksud lain, betul tidak?”

“Kau tokh sudah tahu maksud kedatangan kita, perlu apa kita banyak bicara lagi?” “Tetapi, aku merasa sedikit heran!”

“Apa yang dibuat heran?”

“Nona Thie, apakah kedatanganmu ini karena urusan Lauw Bong?”

“Kalau benar kau mau apa? Dia adalah tetanggaku di lembah Phoan-liong-kok. Apa salahnya kalau aku juga sekalian menengoknya?”

Liong Seng Hong lantas nyeletuk sambil tersenyum aneh dan tertawa mengejek: “Kau sudah mempunyai Can Pek Sin, apakah masih perlu mencari Lauw Bong?”

“Aku adalah seorang gadis desa, tidak pernah membaca kitab, sehingga tidak mengerti aturan perihal lelaki dan perempuan. Aku mencari bekas tetanggaku, aku merasa bahwa tindakanku itu adalah terang dan tidak mengandung maksud lain. Orang lain bagaimana menganggapnya itu ada urusannya sendiri. Siao-sin dengan aku sejak kecil tinggal bersama-sama, hal itu Lauw Bong juga tahu. Kenapa, aku datang bersama-sama dengan Siao-sin. Apakah tidak pantas dalam matamu?”

Dibantah demikian rupa, Liong Seng Hong merasa malu, mukanya merah padam, untuk sesaat lamanya ia tidak dapat menjawab dan hendak berlaku kasar.

Can Pek Sin tidak ingin terjadi pertengkaran, maka buru-buru memindahkan pembicaraan itu mengenai dirinya, katanya,

“Aku dengan Lauw toako, meskipun belum dalam perhubungannya, tetapi juga pernah bergandengan tangan melawan musuh. Tahun yang lalu ketika aku berada di rumah Li Hong Chun Tayhiap, aku mendapat tahu tentang kematian ayah Lauw toako, selama itu aku ingin mengabarkan berita ini kepadanya, tetapi selalu tidak mendapat kesempatan. Kali ini aku mengawani enci Leng mencari dia, aku juga ingin bertemu dengannya. Entah berada di sini atau tidak?”

Liong Seng Hiang lalu berkata:

“Tentang kematian ayah Lauw Bong di tangan Thay Lok, hal ini sudah lama aku tahu. Oh ya, kala itu kita pernah bertemu bersama-sama di rumah keluarga Li.”

Maksud nyonya rumah itu ialah mereka dapat memberitahukan sendiri kepada Lauw Bong, tidak perlu merepotkan Can Pek Sin.

Can Pek Sin hanya ingin meredahkan suasana yang sudah mulai tegang itu, bukan semata-mata hendak menyampaikan kabar, maka ia berkata:

“Sekalipun aku tak ada urusan lain tetapi juga aku ingin bertemu dengan Lauw toako.” “Can siaohiap tidak ada urusan lain, biarlah nanti aku bicara dulu dengan nona Thie.”

Ia tidak berkata Lauw Bong ada di rumah atau tidak tetapi sudah mengalihkan pembicaraannya ke lain soal.

Nyonya rumah itu teryata pandai bicara. Ia dapat memaksa Thie Po Leng duduk, lalu berkata dengan suara lemah lembut:

“Nona Thie, adikku tidak pandai bicara, tetapi ia bermaksud baik. Kita dahulu meski belum pernah bertemu muka, tetapi biar bagaimana aku sudah anggap nona seperti orang sendiri. Maafkan kalau aku kurang pandai bicara, aku ingin berbicara dari hati ke hati dengan nona.”

Karena sikap nyonya rumah yang ramah tamah itu, sudah tentu Thie Po Leng tidak bisa marah lagi, maka terpaksa ia berkata:

“Terima kasih nyonya Bok sudi pandang muka kepada kita, silakan nyonya terangkan maksud selanjutnya.”

“Lauw Bong dengan kita masih tersangkut famili. Setelah ayahnya meninggal dunia, orang yang menjadi angkatan tuanya juga hanya loya kita. Urusan Lauw Bong, sedikit banyak kita boleh turut campur tangan. Urusan Lauw Bong selama ada di lembah Phoan-liong-kok kita tidak begitu jelas, tapi hubungannya dengan nona kita sudah tahu. Nona ingin menyerahkan harta benda peninggalan Ong Pek Thong kepada Lauw Bong, walaupun hal itu kemudian tidak berhasil. Tetapi kebaikan nona terhadap Lauw Bong bukan hanya dia yang merasa berterima kasih, tetapi kita setelah mengetahui itu, semua juga sangat bersyukur. Sangat bersyukur karena dia mendapat sahabat baik seperti nona ini.”

Karena apa yang diucapkan oleh nyonya rumah itu memang sebenarnya, sudah tentu Thie Po Leng tidak bisa membantah. Dalam hatinya merasa tidak enak, lalu ia buru-buru berkata:

“Aku tidak biasa berkata-kata dengan perkataan merendah. Apakah perkataan nyonya tadi, bukankah ingin berbicara dari hati ke hati? Bicaralah terus terang.”

“Baik, nona Thie adalah seorang yang berterus terang, aku juga akan berbicara secara blak-blakkan. Aku hanya ingin tahu kedatangan nona ini, apakah semata-mata hanya ingin bertemu dengan bekas tetanggamu itu saja, ataukah ada lain maksud?”

“Aku tidak mengerti maksud perkataan nyonya ini?” Liong Seng Hiang berkata sambil tersenyum:

“Sebagai anak gadis, biar bagaimana tidak dapat hidup seorang diri di dunia Kang-ouw sehingga tua. Ayah bunda Lauw Bong sudah meninggal dunia, keluarganya hanya kita keluarga Bok. Bagi kita sudah tentu mengambil perhatian istimewa mengenai urusan yang menyangkut kepentingan seumur hidupnya. Apabila ia mempunyai tujuan kepada orang yang tepat baginya, Loya kita dengan sendirinya dapat berlaku sebagai ganti ayahnya. “Nasib kalian serupa benar, apalagi satu sama lain sudah pernah mengenal masing-masing hatinya. Maka aku juga merasa senang kalian bisa tinggal bersama-sama. Maka aku ingin tanya kepada nona, kedatanganmu ini yang hendak menengoknya itu dalam kedudukan sebagai sahabat baik? Ataukah...”

Thie Po Leng merasa malu juga merasa terdesak. Maksud nyonya rumah itu meskipun sudah jelas, tetapi perkataannya masih samar-samar. Ia juga tidak dapat menangkap, kesalahannya nyonya rumah maka ia pura-pura tidak mengerti, sehingga balik menanya:

“Ataukah apa?”

“Apakah nona Thie ingin aku menjelaskan? Kalau begitu aku terpaksa hendak menanya kepada nona, kau dengan Lauw Bong sudah pernah mengikat perjanjian apa?”

Pertanyaan Liong Seng Hiang ini sudah jelas tanpa tedeng aling-aling lagi.

Itu memang yang merupakan suatu soal yang ingin diketahui oleh Liong Seng Hong. Bagi Liong Seng Hiang sendiri sebetulnya tidak suka adiknya menikah dengan Lauw Bong. Tetapi oleh karena mengingat adiknya itu memang benar-benar demikian dalam cintanya kepada Lauw Bong, maka sedapat mungkin ia berbuat apa-apa untuk kebaikan adiknya.

Rencana Liong Seng Hiang ialah: Apabila Thie Po Leng hanya mengakui Lauw Bong sebagai sahabat, sudah tidak perlu dikata lagi, tetapi apabila Thie Po Leng mengaku terus terang sudah mengikat perjanjian dengan Lauw Bong maka ia menasehati adiknya supaya melupakan kakasihnya itu, kemudian dengan perantaranya melangsungkan pernikahannya dengan Lam Hee Lui.

Namun rencana Liong Seng Hiang itu menyulitkan kedudukan Thie Po Leng. Dengan Lauw Bong, Thie Po Leng memang pernah mengikat janji akan sehidup semati, akan tetapi setelah terjadinya banyak kejadian yang di luar dugaaanya, telah membuat hatinya tidak tetap. Ia juga tidak tahu harus baik kembali dengan Lauw Bong ataukah tidak? Pikiran Thie Po Leng yang masih ruwet itu terhadap Can Pek Sin sendiri ia masih tidak mau berkata terus terang, apalagi terhadap Liong Seng Hiang?

Maka seketika itu selebar mukanya menjadi merah, ia berkata:

“Lauw Bong sebetulnya berada disini atau tidak? Aku hanya ingin minta kalian supaya aku bisa bertemu satu kali saja dengannya. Perkara lainnya, aku minta kalian jangan campur tangan.”

Thie Po Leng tidak mau menjawab langsung pertanyaan Liong Seng Hiang, tetapi juga tidak berani bertindak terlalu keras. Karena pikirannya saat itu meskipun belum tetap, tetapi sedikit banyak masih mengharap bisa baik hubungannya dengan Lauw Bong. Apabila bertindak terlalu keras bagaimana selanjutnya. Namun demikian pembicaraannya dengan kakak beradik Liong itu terpaksa kandas.

Liong Seng Hong mendongkol, selagi hendak balas mengejek, telah dilarang oleh encinya. Pada saat itu, seorang pelayan perempuan tiba-tiba masuk ke dalam.

Pelayan itu lalu menutup pintu, dengan sikap gugup berkata kepada Liong Seng Hiang: “Minta nyonya bicara ke dalam.”

Liong Seng Hiang khawatir akan menimbulkan perasaan tidak senang Thie Po Leng, maka lalu berkata: “Semua bukan orang luar, katakanlah ada urusan apa?”

Pelayan itu menghampiri Liong Seng Hiang dan berbisik-bisik di telinganya itu. Thie Po Leng yang tidak suka perbuatan secara demikian hatinya merasa tidak senang.

Selagi hendak bertanya, segera dapat melihat muka Liong Seng Hiang berubah pucat. Sebelum pertanyaannya dikeluarkan, Liong Seng Hiang sudah berkata lebih dahulu:

“Can siao-hiap, nona Thie, aku merasa sangat menyesal kalian berdua datang dari tempat jauh, kita tidak dapat menyambut sebagaimana mestinya, hanya disebabkan, karena... kita disini ada sedikit kericuhan. Aku merasa tidak enak untuk menahan kalian berdua lebih lama di sini. Aku minta maaf kepada kalian, dan tentang urusan ini dikemudian hari aku akan menjelaskan kepada kalian lagi.”

“Perlu apa dijelaskan lagi? Kedatangan kita memang agak gegabah, tuan rumah tidak suka, apakah kita masih perlu membandel di sini? Kau tidak mengusir secara terus terang, aku sudah merasa banyak terima kasih. Baiklah, Siao-sin, mari kita pergi,” berkata Thie Po Leng sambil tertawa dingin.

“Harap nona Thie jangan salah mengerti. Urusan ini sebetulnya sangat terpaksa, aku sesungguhnya merasa tidak enak terhadap kalian,” berkata Liong Seng Hiang. Ia sebetulnya ingin menjelaskan sebab musababnya, tetapi akhirnya dibatalkan.

Thie Po Leng tidak berkata apa-apa lagi, segera keluar dengan membuka pintu sendiri. Liong Seng Hiang berkata:

“None Thie, tunggu dulu. Mari ikut aku keluar dari pintu belakang.”

“Kedatangan kita cara terus terang, mengapa harus takut? Aku datang dari pintu besar seharusnya juga keluar melalui pintu besar. Aku ingin melihat siapa yang berani merintangi?”

“Bukan itu maksudku, kita bukannya bermusuhan denganmu, hanya khawatir benar-benar ada bahaya!”

“Keluarga Bok di dalam rimba Persilatan bukanlah orang sembarangan. Asal kalian tidak mempersulit aku, apakah di dalam rumah keluarga Bok ada bahaya?”

Sementara itu Thie Po Leng sudah berjalan keluar, Can Pek Sin yang lebih hati-hati, mengikuti,di belakangnya seraya berkata:

“Enci Leng, tuan rumah mungkin tidak apa-apa yang menyulitkan kita, sebaiknya kita turuti maksudnya saja.”

Liong Seng Hiang yang sudah menyusul itu, kemudian berkata,

“Benar, benar, kita memang tidak bermaksud untuk menyulitkan kalian.”

Sementara itu Thie Po Leng yang berjalan melintasi sebuah gunung-gunungan, tiba-tiba melihat seorang perwira dengan empat pengawalnya sudah berada dihadapannya.

Perwira itu berusia kira-kira tigapuluh tahun, tangannya membawa pecut yang terbuat dari baja asli menuding Can Pek Sin dan Thie Po Leng, perwira itu berkata:

“Nona ini bukankah nona Thie dari lembah Phoan-liong-kok? Kakekmu Thie Sui adalah orang tingkatan tua dari kalangan rimba hijau. Aku juga sudah lama mengetahuinya, aku merasa beruntung dapat bertemu denganmu di sini.”

“Kau manusia apa? Kita keluarga Thie belum pernah mengadakan hubungan dengan orang-orang kerajaan. Aku juga tidak melanggar undang-undang negeri, tidak perlu aku takut kepadamu. Apa maksudmu, kau merintangi perjalanan kita?”

Perwira itu tertawa terbahak-bahak dan berkata:

“Nona Thie, kau tidak mengenal aku, he, he, bocah she Can, kau seharusnya masih mengenali aku?”

Can Pek Sin waktu hendak masuk ke gedung keluarga Bok itu, memang sudah melihat sepintas lalu tetapi masih belum tahu siapa adanya perwira itu. Kini telah berhadapan baru ia mengenali bahwa perwira itu adalah U-tie Cun, yang dahulu pernah bertempur dengannya di jalan kota Gui-pok.

Kedatangan U-tie Cun, ke keluarga Bok itu sebetulnya hendak mencari jejak Lauw Bong. Di luar dugaan ia telah bertemu dengan Can Pek Sin. Karena kedatangan Can Pek Sin dengan Thie Po Leng itu pernah menarik perhatian orang banyak, sudah tentu ia juga sudah mengetahuinya. Karena ia masih memandang muka Bok An, tidak mau segera bertindak. Setelah memberi selamat kepada tuan rumah baru pura-pura hendak pulang. Tetapi bukannya ia pulang melainkan mengadakan pemeriksaan ke dalam taman, dan benar saja di situ telah berpapasan dengan mereka itu.

Can Pek Sin yang dihalangi olehnya, seketika menjadi marah, lalu membentak:

“Disini bukan Gui-pok, kau berada di rumah Bok loya, apa kau berani berbuat sesukamu?” Sambil tertawa terbahak-bahak U-tie Cun berkata:

“Kalian menyaru sebagai tamu, yang datang untuk memberi selamat, mencuri masuk ke gedung keluarga Bok. Aku justru hendak mewakili Bok loya untuk menangkap kalian dua maling cilik!”

Bok Khong suami istri saling berpandang sejenak, Liong Seng Hiang lalu berkata: “Toako, kita tidak bisa...”

Belum lagi mengeluarkan kata-kata selanjutnya, tiba-tiba U-tie Cun sudah berkata:

“Mau dikata maling kecil sebetulnya juga cukup besar! He-he, dalam usia kalian memang maling kecil, tetapi dipandang dari perbuatannya kalian sudah termasuk golongan maling besar!

“Kalian yang satu adalah cucu perempuannya berandal besar Thie Sui, sedang yang satu lagi adalah keponakan pemimpin rimba hijau Tiat Mo Lek, siapa yang berani melindungi kalian? Kalian juga jangan pikir hendak menggunakan peraturan dunia Kang-ouw, sehingga melibatkan orang-orang keluarga Bok ke dalam kesulitan!”

Ucapan itu ditujukan kepada Bok Khong suami istri. Sebab menurut peraturan dunia Kang-ouw, apabila ada terjadi apa-apa di rumah orang tingkatan tua dalam rimba persilatan yang mendapat nama baik, jangan kata menangkap orang, sekalipun perkelahian biasa saja itu juga sudah merupakan suatu penghinaan terhadap tuan rumah. Oleh karena itu, maka U-tie Cun sengaja berkata demikian, kecuali hendak melepaskan keluarga Bok dari hubungannya dengan kedua anak muda itu, juga merupakan suatu ancaman, supaya keluarga Bok jangan turut campur tangan.

Thie Po Leng yang masih dalam keadaan marah lalu berkata sambil tertawa dingin:

“Siapa mau minta perlindungan keluarga Bok? Mungkin hanya kau sendiri kawanan anjing dan penjilat yang mengandalkan pengaruh kerajaan yang berani berbuat sewenang-wenang terhadap rakyat biasa! Baiklah kalau kalian hendak menangkap orang, tangkaplah!”

U-tie Cun berkata sambil tertawa menyeringai:

“Bagus, nona adalah seorang yang suka berkata terus terang. Tetapi kau sesungguhnya terlalu memandang rendah kita, sekarang aku hendak menyuruhmu belajar kenal dengan diriku!”

Thie Po Leng, lalu menikam dengan pedangnya. U-tie Cun menggunakan pecut bajanya untuk menangkis pedang Thie Po Leng. Setelah kedua senjata beradu, pedang Thie Po Leng hampir terpental, tangannya merasa panas. U-tie Cun yang sudah berhasil baik untuk menyingkirkan pedang Thie Po Leng, pecutnya menyapu dari tiga jurusan.

Can Pek Sin segera melesat ke tengah udara, kemudian dengan secara menukik menikam U-tie Cun juga dari tiga jurusan. Serangan Can Pek Sin itu dilakukan dengan menggunakan ilmu pedang Ngo-khim-kiam- hoat. U-tie Cun kenal baik dengan ilmu pedang itu, ia membatalkan maksudnya hendak menyerang Thie Po Leng, segera menyambut serangan Can Pek Sin.

Can Pek Sin tidak menunggu dulu sampai pecutnya U-tie Cun menyambar dirinya. Ia berjumpalitan di tengah udara kemudian melayang turun dari udara dengan satu gerakan memutar. Ia berbalik menyerang belakang U-tie Cun.

U-tie Cun ternyata juga lihay, di belakang kepalanya seolah-olah mempunyai mata, pecutnya dibalikkan, dengan tanpa menoleh ia berhasil memunahkan serangan Can Pek Sin. Thie Po Leng tidak mau tinggal diam, selama itu, dengan beruntun ia sudah menikam tiga kali, sehingga membuat U-tie Cun sangat repot.

Empat pengawalnya yang melihat perwiranya agak repot, maka semua lalu maju mengurung dua anak muda lawannya yang tangguh itu.

Liong Seng Hiang bermaksud hendak memberi bantuan, tetapi dengan kedudukan sebagai nyonya mantu keluarga Bok, tindakan itu akan membawa akibat besar di kemudian hari, maka ia tidak berani bertindak lancang. Dalam keadaan bingung ia berbisik kepada suaminya:

“Sebaiknya kau lekas panggil loya keluar!”

Pertempuran dalam kamar itu sudah mengejutkan para tetamu, tidak perlu diundang Bok Khong, Bok An sudah keluar sendiri.

Bok An tidak kenal dengan Can Pek Sin atau Thie Po Leng, tetapi dari orang-orangnya, ia sudah tahu kedudukan mereka. Ketika melihat mereka bertempur dengan U-tie Cun, sudah tentu`tidak perlu menanya sebab-sebabnya, hanya dalam hatinya mengeluh.

U-tie Cun yang merasa kedudukannya sudah kuat, berkata kapada Bok An sambil tertawa terbahak-bahak:

“Maaf, aku telah mengejutkan Bok loya. Dua bangsat cilik ini yang satu adalah cucu perempuan Thie Sui, yang lain adalah anak laki-laki Can Goan Siu. Mereka adalah segolongan dengan Tiat Mo Lek, orang yang hendak ditangkap oleh pembesar kita. Entah bagaimana dua bangsat cilik ini bisa menyusup ke dalam rumahmu. Aku yang datang untuk memberi selamat kepadamu, sudah tentu turut membantu tuan rumah. Maaf aku tidak keburu memberitahukan kepada Bok loya, dan sekarang Bok loya hendak menangkap sendiri ataukah mengijinkan aku yang menangkapnya!”

Karena U-tie Cun selalu mengatakan bangsat kecil menyusup ke rumah keluarga Bok, ucapan itu berarti menghindarkan Bok An dari kesalahannya. Sudah tentu Bok An tidak bisa membelanya. Tetapi apabila ia tetap membiarkan kedua anak muda itu ditangkap, tentunya nanti tak ada muka dan wibawa lagi di  kemudian hari di dalam rimba persilatan? Maka hal itu sesungguhnya menyulitkan kedudukannya.

Liong Seng Hong yang sudah biasa berkelana di dunia Kang-ouw, di dalam keluarga Bok kedudukannya hanya sebagai penumpang saja, sehingga tidak perlu banyak pikir seperti encinya. Meskipun terhadap Thie Po Leng mempunyai kesan tidak baik, tetapi ia adalah seorang yang bersifat jujur dan tegas. Melihat keadaan tidak adil itu, lalu timbul hasratnya hendak membela. Enci nya tidak berani maju bicara, maka ia lalu maju ke dekat Bok An untuk membicarakan soal itu.

Dengan alis dikerutkan Bok An berkata:

“Kau budak ini perlu apa mencampuri urusan orang lain, apa kau mau cari bahaya!”

“Loya, dua orang itu untuk memberi selamat hari ulang tahunmu. Di dalam rimba persilatan loya mendapat nama begitu baik, kalau tetamunya telah tertangkap di dalam rumahmu, apabila urusan ini tersiar keluar, pasti akan menjadi buah tertawaan orang-orang gagah seluruh dunia?” kata Liong Seng Hong dengan berani.

Terlihat muka Bok An menjadi merah, untuk sesaat itu pikirannya sangat kalut. Ia tidak tahu bagaimana harus bertindak.

U-tie Cun berkata sambil tertawa terbahak-bahak:

“Nona ini siapa? Ucapanmu itu keliru! Berandal dari gunung Kim-kee-nia masuk ke dalam rumahmu, apabila dibiarkan mereka lari ini akan menodai nama baik Bok loya. Markas besar Tiat Mo Lek di gunung Hok-gu-san sudah dibasmi oleh tentara kerajaan dan sekarang berpindah ke gunung Kim-kee-nia. Kedudukannya di sana tidak lama juga akan dihancurkan. Bagaimana Bok loya boleh takut kepada kepala berandal sehingga tidak berani berbuat terhadap dua bangsat kecil ini?”

“Mereka berandal atau bukan, aku tidak tahu. Aku hanya tahu mereka adalah tetamu kita yang datang untuk memberi selamat!” berkata Liong Seng Hong. “Rasanya ini kurang tepat! Kalau mau dikata tetamu, mengapa aku yang berada di ruangan tamu tidak melihat mereka datang memberi selamat kepada Bok loya? Mereka pasti datang secara diam-diam, maksudnya hendak mengacau rumah keluarga Bok. Ha-ha, kalian jangan sampai tertipu! Mereka boleh pergi begitu saja, tetapi Bok loya yang mempunyai gedung besar dan harta banyak tokh tidak bisa meninggalkan begitu saja!”

Perkataan U-tie Cun itu, benar saja sudah menggoyahkan hati Bok An. Orang tua itu telah mengingat betapa jerih payahnya untuk mendapatkan harta kekayaannya, sehingga saat itu hatinya menjadi lemah, terpaksa tidak berani bertindak apa-apa.

Liong Seng Hong tidak tahu pikiran Bok An, ia masih mendumal tidak berhentinya. Bok An mengerutkan alisnya dan berkata kepadanya:

“Kau jangan menimbulkan banyak urusan lain bagiku. U-tie Thay-jin yang datang melakukan tugas, apakah kau ada hak untuk bicara? Lekas kau balik ke kamar.”

Dengan tiba-tiba tangannya mendorong Liong Seng Hong sambil menotok jalan darahnya karena ia khawatir gadis itu akan mengeluarkan perkataan yang tidak enak sehingga dapat menyulitkan kedudukannya.

Liong Seng Hong tidak menduga Bok An akan menotok jalan darahnya. Ia sangat murka, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa.

Bok An lalu berkata kepada menantu perempuannya:

“Nyonya mantu, antar adikmu masuk ke dalam. Untuk selanjutnya kau harus baik-baik mengawasi dirinya. Kau menikah dengan orang keluarga Bok, harus tahu bahwa kami keluarga Bok sangat terpandang oleh orang-orang golongan putih dan golongan hitam. Kami juga tidak memihak yang manapun juga. Laranglah adikmu untuk selanjutnya jangan bergaul dengan orang-orang Kang-ouw yang tidak jelas kedudukannya!”

Bok An menggunakan kesempatan itu, dengan seenaknya memindahkan tanggung jawab ke atas diri Liong Seng Hong.

U-tie Cun sangat girang, ia berkata sambil tertawa terbahak-bahak:

“Bok loya ternyata sangat adil, kita juga tidak akan menyusahkan Bok loya. Kali ini aku menjalankan tugas di rumahmu, sehingga mambikin rusak tamanmu, sudah tentu kita akan menggantinya.”

Sudah tentu ia juga tahu Bok An tidak inginkan penggantian kerugian. Maksud dari perkataannya itu ialah hendak memberi kisikan supaya Bok An mementingkan harta kekayaannya sendiri. Bok An adalah seorang cerdik sudah tentu mengerti maksudnya.

Liong Seng Hiang menangis, tetapi Bok An adalah ayah suaminya, bagaimana ia berani membantah, terpaksa ia membimbing adiknya masuk ke dalam.

Karena Bok An sudah menyatakan sikapnya, maka orang-orangnya yang terpencar di empat penjuru sudah tentu tidak berani berbuat apa-apa.

U-tie Cun dengan empat pengawalnya mengurung Can Pek Sin dan Thie Po Leng. Meski pertempuran sudah berlangsung cukup lama, tetapi ia masih belum berhasil menangkap dua tawanannya. Tetapi Can Pek Sin dan Thie Po Leng juga tidak berhasil melepaskan diri dari kepungan.

Can Pek Sin dan Thie Po Leng yang usianya masih sangat muda, dalam pertempuran yang begitu lama, lagi pula harus menghadapi lawan tangguh dan empat pengawalnya yang juga termasuk orang-orang kuat, badan mereka sudah mandi keringat. Perlahan-lahan tenaganya juga mulai habis.

Bok Khong yang menyaksikan keadaan demikian, hatinya merasa pilu, ia tidak tega melihat ke dua anak muda itu tertangkap, lalu berkata kepada ayahnya:

“Ayah, mari kita balik ke ruangan tetamu melayani tetamu kita!” Sebelum Bok An menjawab, dari rombongan orang-orang keluarga Bok, tiba-tiba muncul seseorang yang berkata dengan suara lantang:

“Kalian masuk ke dalam melayani tetamu biasa, biarlah aku yang melayani tetamu agung dari kerajaan ini!”

Mendengar suara itu, orang-orang keluarga Bok pada terkejut, sedangkan Bok Khong segera berseru: “Piauw, piauw...!”

Belum lagi mengeluarkan perkataannya, mulutnya sudah ditutup oleh ayahnya.

Kiranya orang yang baru muncul itu bukan lain dari pada Lauw Bong sendiri yang sudah beberapa bulan lamanya sembunyi di rumah keluarga Bok.

Sewaktu hendak merayakan hari ulang tahun itu Bok An sudah pesan, kepadanya supaya jangan keluar. Tidak diduga pada saat yang sangat genting itu, ia sudah lari keluar, bahkan menantang U-tie Cun. Bok An yang menyaksikan itu sudah tentu bukan kepalang terkejutnya, juga bukan kepalang amarahnya, tetapi ia juga tidak bisa berbuat apa-apa.

Lauw Bong mengeluarkan goloknya dan berkata pada U-tie Cun:

“Kau tahu bahwa kedatanganmu kawanan kuku garuda ini pasti hendak mencari aku. Sebagai orang gagah, berani berbuat harus berani bertanggung jawab. Kedatanganku sebetulnya hendak memberi selamat kepada pamanku, kebetulan telah berjumpa dengan kalian. Bagaimana aku dapat membiarkan kalian sampai kecewa? Baik aku sekarang menyerahkan diri, tetapi asal kalian mampu menangkap aku! U- tie Cun, kau dengar, aku seorang she Lauw, mereka orang she Bok. Perkara orang she Lauw tidak ada hubungannya dengan orang she Bok!”

Kiranya kedatangan Can Pek Sin dan Thie Po Leng sudah diketahui oleh Lauw Bong. Kedatangan mereka itu sudah tentu pula ia tidak dapat membiarkan mereka mendapat susah, maka ketika mengetahui mereka hendak ditangkap oleh U-tie Cun, dengan tanpa memperdulikan larangan Bok An ia lantas unjukan diri.

U-tie Cun yang mendengar perkataan Lauw Bong lalu tertawa terbahak-bahak:

“Bagus, kau benar-benar seorang gagah! Asal kau suka menyerahkan diri, sudah tentu aku tidak akan membawa-bawa pamanmu!”

Setelah berkata demikian, ia lalu meninggalkan Can Pek Sin dan Thie Po Leng, kemudian menyerang Lauw Bong.

Bok An sudah tahu Lauw Bong marah terhadap sikapnya, tetapi dengan ucapan Lauw Bong yang berarti akan tanggung jawab sendiri semua kesalahannya, membuat hatinya merasa lega, sehingga diam-diam merasa berterima kasih.

Tetapi tidak demikian dengan Bok Khong. Ia merasa sangat malu, terhadap perbuatan ayahnya. Ia juga merasa pilu, karena tidak mempunyai keberanian menentang kehendak ayahnya. Ia yang semula hendak mengajak masuk ayahnya, kini sebaliknya berdiri seperti patung, tidak bisa bergerak sama sekali.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar