Jiwa Ksatria Jilid 11

  
Can Pek Sin tidak dapat menduga apa maksudnya, maka lalu berkata:

“Aku juga hendak pergi ke Yang-ciu.”

“Kalau begitu, kita boleh jalan sama-sama,” berkata si Hee Ciu.

“Ong toako ini baru saja habis berkelahi, tentunya sudah lelah. Biarlah ia tidur dulu,” berkata sang kakak. “Baiklah, Ong toako, kita juga tidur bergiliran.”

Nampaknya dua saudara ini juga waspada terhadap mereka.

Satu malam itu dilewatkan tanpa ada kejadian apa-apa lagi. Besok harinya, pagi-pagi sekali mereka sudah bangun, pagi itu udara cerah.

Can Pek Sin bersama rombongan orang-orang itu ketika tiba di tepi sungai, di situ sudah terdapat banyak perahu besar dan kecil yang mencari muatan.

Tukang-tukang perahu berdiri di bagian atas setiap perahu. Ketika melihat kedatangan rombongan itu, semua memberi hormat kepada sang toako itu menurut peraturan terhadap Pangcunya atau pemimpinnya. Can Pek Sin baru tahu bahwa semua perahu itu ternyata adalah kepunyaan orang itu.

Dua pemuda itu jalan bersama dengan Can Pek Sin, tidak lama berkata kepada mereka: “Mari kita mencari lain perahu.”

Perkataan itu diucapkan sangat perlahan, tetapi ternyata dapat didengar oleh pemimpin kawanan tukang perahu itu, lalu berkata sambil tertawa terbahak-bahak:

“Sungai di daerah sekitar ini sudah menjadi daerah kekuasaan kita, kau hendak mencari lain perahu juga tidak bisa mendapatkannya. Kita satu sama lain sudah kenal, juga boleh dikatakan sudah menjadi sahabat, kau tidak perlu merendah, naiklah di atas perahuku.”

Karena Can Pek Sin menganggap apabila pemimpin itu hendak mencelakakan dirinya, dengan jumlah orang mereka yang lebih banyak tentunya sudah bertindak. Lagi pula karena sudah tidak ada jalan lain, maka terpaksa menerima tawarannya.

Dua pemuda itu saling berpandangan sejenak, si kakak lalu berkata:

“Baik, terima kasih atas kebaikan Pangcu, kita juga tidak berlaku merendah lagi.”

Sebetulnya Pangcu itu tadi berbicara dengan Can Pek Sin dan belum mengajak mereka. Dalam keadaan demikian, sudah tentu ia tidak dapat menolak dua pemuda itu. Sambil tertawa terbahak-bahak dan tidak menunjukkan sikap sesuatu, Pangcu itu berkata:

“Bagus, aku paling senang orang-orang bersifat polos, mari semua naik di atas perahuku!”

Namun dalam hatinya diam-diam berpikir: Ini adalah kalian sendiri yang mencari mampus, jangan kalian menyesalkan diriku.

Mereka numpang perahunya pangcu itu, yang jauh lebih besar dari pada perahu lainnya.

Kuda Can Pek Sin ditambatkan di bagian belakang dengan kuda pangcu, di bagian depan untuk tempat orang.

Perahu itu kecuali Can Pek Sin dan dua pemuda itu, masih ada pangcu bersama lima enam anak buahnya. Laki-laki yang tadi malam berkelahi dengan Can Pek Sin juga ada di situ.

Udara baik, tetapi di permukaan sungai ada angin, ombak juga cukup besar.

Ketika perahu itu berada di tengah sungai, pangcu itu tiba-tiba berkata kepada dua saudara itu: “Apakah kalian pandai berenang?”

“Kalau pandai mau apa? dan kalau tidak bagaimana?” jawabnya pemuda yang usianya lebih tua dengan sikap keren.

“Tidak apa-apa, hanya iseng-iseng menanya saja. Karena pada umumnya berjalan di atas air lebih berbahaya dari pada di daratan. Kalau pandai berenang setidak-tidaknya ada lebih baik dari pada tidak bisa!” jawab Pangcu itu sambil tertawa.

Can Pek Sin merasa gelagat tidak baik, tetapi sebelum ia dapat memikirkan, Pangcu itu sudah bertanya kepadanya:

“Kita tokh sudah bersahabat, siapakah namamu? Rasanya sudah boleh memberitahukan terus terang.” “Aku she Ong, bukankah tadi malam aku juga beritahukan kepada kedua saudara ini?” jawab Can Pek Sin. Pangcu itu tiba-tiba tertawa tergelak-gelak, kemudian berkata:

“Saudara kecil, kau tidak cukup bersahabat di hadapan orang yang benar. Perlu apa harus membohong? Bukankah ayahmu adalah Can Goan Siu, betul tidak?”

Can Pek Sin memang sudah menduga bahwa pangcu itu pasti sudah mengenali dirinya, maka ia juga menjawab terus terang “Betul, tetapi aku memakai she kakek luarku itu tokh bukan berarti satu pelanggaran bukan?”

“Kau suka menggunakan she apa saja, ini adalah urusanmu sendiri, tidak ada hubungannya denganku. Akan tetapi tahukah kau siapa aku ini?”

“Tidak tahu, bolehkah aku menumpang tanya nama besarmu?”

“Aku bernama Soa Thiat San, ini adalah adikku yang kedua Siu Gouw, dan ini adalah adikku yang ketiga, Pao Thay. Semua ini kalian tadi malam sudah pernah melihatnya.”

Pao Thay adalah laki-laki yang semalam berkelahi dengan Can Pek Sin.

Ketika Soa Thiat San memperkenalkan namanya sendiri, dua saudara Hee itu saling melirik tetapi tidak berkata apa-apa.

Can Pek Sin segera mengangkat tangan memberi hormat seraya berkata:

“Sungguh beruntung aku bisa bertemu dengan Pangcu. Entah Pangcu ada keperluan apa dengan diriku?”

“Kita sebagai orang yang suka berterus terang tidak suka melakukan perbuatan yang gelap, aku justru ada satu persoalan yang ingin kubicarakan terus terang denganmu. He, he, sekarang kau sudah tahu namaku, tahukah asal usulku?”

Sikap Pangcu ini sangat sombong, seolah-olah nama besarnya itu harus diketahui oleh semua orang di dalam dunia.

Can Pek Sin sangat mendongkol, maka menjawabnya dengan suara hambar:

“Maaf pengetahuanku yang masih sangat dangkal, aku baru pertama kali ini mendengar nama besar Pangcu. Soal pangcu sebetulnya pernah melakukan perbuatan apa di dunia Kang-ouw, sedikitpun aku tidak tahu.”

Soa Thiat San kembali tertawa terbahak-bahak, lalu berkata:

“Kalau begitu aku sebutkan satu nama seorang lagi, kau pasti tahu?” “Siapa?’

“Touw Goan yang mempunyai nama julukan tangan perisai besi!”

Karena orang she Soa itu menyebutkan nama musuh besarnya, maka wajah Can Pek Sin seketika itu lalu berubah, ia lalu berkata:

“Toaw Goan sekalipun sudah dibakar menjadi abu aku juga masih mengenali! Numpang tanya, apakah hubungannya Soa Pangcu dengan Touw Goan?”

“Touw Goan adalah saudara angkatku. Kujelaskan lagi aku adalah menjadi toako dari orang-orang ini, dan Touw Goan adalah toakoku. Ha, ha, ha, saudara kecil, mengapa sikapmu agak tidak beres!”

Can Pek Sin tiba-tiba berbangkit dan berkata: “Baiklah, mari kita bicara terus terang, orang she Touw itu adalah musuh besarku yang membunuh mati ayah bundaku! Soa Pangcu kau hendak berbuat apa terhadap diriku?”

“Inilah justru urusan yang hendak kubicarakan denganmu. Kau sesungguhnya menyulitkan kedudukanku. Kalau aku melepaskan kau, aku merasa tak enak terhadap toakoku, dan kalau aku tangkap kau serta kuantarkan kepadanya, ini berarti mencelakakan dirimu.

“Sekarang begini saja, kau sendiri melompat ke dalam sungai, kau pertaruhkan keuntunganmu. Siapa tahu kau akan bertemu orang yang bisa menolong dirimu. Aku akan ambil kudamu untuk kupersembahkan pada toakoku, dengan demikian berarti aku sudah menyelesaikan tugasku. Sementara kalian berdua, ia maksudkan dua saudara she Hee, maaf, karena kalian bersama-sama dengan dia, juga mendapat perlakuan yang sama.” Ia mengucapkan perkataan itu dengan tenang dan seenaknya saja, seolah-olah tindakannya yang memaksa orang terjun ke dalam sungai itu baginya merupakan persoalan biasa.

Can Pek Sin gusar, ia berkata,

“Baik, kalau kau mempunyai kepandaian silahkan kau bertindak!”

“Ah, aku sebetulnya tak ingin mendapat nama-nama busuk karena menghina satu bocah, akan tetapi kalau kau mendesak aku bertindak, aku juga tak bisa berbuat lain!”

Ia berlagak seperti terpaksa melakukan tindakannya, sehabis mengucapkan demikian, tangannya lalu mendorong Can Pek Sin.

Can Pek Sin mahir ilmu menangkap tangan orang, ketika menyaksikan Soa Thiat San mendorong dirinya, ia lalu membentak: “Bagus, bagus!” tangan kanannya memutar, dan tangan kirinya bergerak menyambar pergelangan tangan lawannya. Dengan cara itu pula semalam ia pernah mematahkan tangan Pao Thay.

Tetapi Soa Thiat San tidak boleh dibandingkan dengan Pao Thay, meskipun caranya ada sama tetapi tidak berguna sama sekali.

Ketika jari tangannya mencekal pergelangan tangan Soa Thiat San, pangcu itu menggerakkan lengan tangannya, dan tangan itu seketika berubah bagaikan besi kerasnya. Jangan kata Can Pek Sin tak sanggup mematahkan, bahkan lima jarinya dirasakan sakit. Kalau bukan karena sudah cukup sempurna kekuatan tenaga dalamnya, jari tangannya sendiri mungkin sudah patah lebih dulu.

Di lain pihak tangan kiri Soa Thiat San sudah menyerang dirinya, Can Pek Sin terpaksa menangkis hendak memunahkan serangan lawannya. Tak disangka tangan Soa Thiat San seolah-olah mengandung hawa pergisap, tangan Can Pek Sin dibuatnya tidak berdaya.

Sambil membentak: “Turun!” Soa Thiat San mendorong tubuh Can Pek Sin ke dalam sungai.

Can Pek Sin mundur dua langkah, ia juga memasang kuda-kuda dengan kekuatan tenaga sepenuhnya.

Saat itu perahu bergoncang keras, kiranya Can Pek Sin menggunakan ilmu memberatkan tubuh untuk mempertahankan diri, sehingga papan perahu yang diinjaknya melesak ke dalam, untung papan itu sangat tebal, sehingga tidak sampai pecah.

Tangan Can Pek Sin yang mencekam satu tangan Soa Thiat San tetap tidak berani melepaskannya sementara tangan yang lain digunakan untuk menyambut serangan pangcu itu, sehingga hampir seluruh kekuatannya dikerahkan untuk memperhatikan dirinya. Meskipun tidak sampai terdorong dan tercebur dalam sungai, tetapi keadaannya juga sangat berbahaya.

Sewaktu Soa Thiat San bertempur dengan Can Pek Sin, Siu Gouw dan Pao Thay terus mengawasi dua saudara itu. Pao Thay tiba-tiba tertawa cengar cengir, kemudian berkata kepada pemuda yang usianya lebih muda dengan suara perlahan:

“Kalau kau suka menurut aku, aku boleh memohonkan ampun bagimu. Jikalau tidak, aku terpaksa akan menceburkan kau ke dalam sungai untuk umpan makanan ikan.”

Kiranya Pao Thay adalah seorang yang gemar pipi licin, ia sudah dapat melihat bahwa pemuda yang berparas putih bersih ini adalah seorang gadis.

Gadis itu setelah dibuka rahasianya oleh Pao Thay, ia merasa malu dan gusar. Dengan satu gerakan yang cepat luar biasa, tangannya sudah menampar muka Pao Thay.

Pao Thay segera menjadi kalap, sambil berseru: “Budak hina, kau tidak tahu diri!” Lalu membentang kedua tangannya, dengan mengandalkan tenaganya yang besar, ia hendak menubruk dan memondong tubuh gadis itu. Kakak gadis itu segera bertindak mengeluarkan serangannya, tetapi Siu Gouw yang merupakan orang kedua dalam kawanan bajak laut itu, dengan satu gerakan tangan, sudah menyanggah kepalan tangan pemuda itu.

Gerakannya itu dapat digunakan untuk menahan serangan lawannya, tetapi juga dapat digunakan untuk menyerang dengan meminjam kekuatan tangan lawannya.

Tak disangka kepalan tangan pemuda itu mengandung kekuatan sangat hebat. Ketika tangan Siu Gouw kebentur dengan kepalannya, hanya mampu memusnahkan sedikit kekuatannya, sebaliknya ia sendiri yang terdorong mundur dua langkah. Serangan pemuda itu dilanjutkan untuk menyerang belakang pinggang Poa Thay, oleh karena kepandaian Poa Thay tidak setinggi Siu Gouw, maka serangan itu mengenakan dengan telak dan Poa Thay jatuh terjengkang.

Setelah menjatuhkan Poa Thay, pemuda itu tidak memperdulikan lagi, sebaliknya melanjutkan serangannya kepada Soa Thiat San, dengan alis berdiri ia berkata dengan suara keras:

“Orang she Soa, apakah kau juga tahu bahwa siapa aku ini?”

Soa Thiat San tadi malam sudah tahu kepandaiannya pemuda itu yang masih di atas kepandaian Can Pek Sin, maka ia segera lepaskan Can Pek Sin dan menangkis serangan pemuda itu.

Tatkala dua tangan beradu, pemuda itu mundur dua langkah, Soa Thiat San juga bergoyang-goyang, sehingga diam-diam memuji, kemudian ia bertanya:

“Bagus kepandaianmu, kau anak siapa?”

Pemuda itu melototkan matanya, ia berkata dengan suara lantang:

“Soa Thiat San, apakah kau masih ingat peristiwa di kota Hoay-yang limabelas tahun berselang? Kala itu siapakah yang kau serang dengan cara menggelap?”

“Oh! Apakah kau anaknya Lam Cee In, yang hendak menuntut balas ayahmu?”

“Betul, hari ini kita sudah berjumpa di sini, aku Lam Chun Lui justru hendak menuntut balas dendam ayahku!”

Kiranya ayah Lam Chun Lui, limabelas tahun berselang waktu membantu kerajaan Tong Tiat ia menjaga kota Hoay-yang. Dalam pertempuran itu ia berhadapan dengan Yo Bok Lao, dan waktu itu Soa Thiat San yang menjadi murid termuda Yo Bok Lao, telah membantu gurunya, tetapi karena kepandaiannya belum cukup tinggi maka ia menggunakan anak panah menyerang Lam Cee In dari belakang.

Meskipun kematian Lam Cee In tidak sanggup melawan musuhnya yang jumlahnya lebih besar, tetapi serangan anak panah yang menggelap ini juga merupakan satu sebab sehingga ia tidak dapat meloloskan diri.

Beberapa tahun kemudian, Yo Bok Lao dibunuh oleh Tiat Mo Lek, karena Soa Thiat San adalah murid terakhir Yo Bok Lao, yang ketika itu belum keluar pintu. Setelah gurunya meninggal, kitab pelajaran ilmu silat gurunya, lalu dibawa kabur.

Sepuluh tahun lebih ia menyembunyikan diri sehingga berhasil memperoleh ilmu kepandaian suhunya yang paling ampuh, yang dinamakan serangan tangan mencabut nyawa dalam tujuh langkah. Dengan kepandaian yang ampuh itulah ia menggunakan sebagai modal untuk berkelana di kalangan Kang-ouw.

Tetapi karena ia masih khawatir belum mampu menandingi Tiat Mo Lek, maka ia tidak berani menginjakkan kaki di daerah utara, sebaliknya membangun perkumpulan bajak laut di daerah sungai Tiang-kang.

Asal usul orang she Soa itu mirip dengan Touw Goan. Dua orang itu merupakan orang kuat dalam golongan hitam, maka akhirnya mengangkat saudara. Thiat San angkat Touw Goan sebagai toako, ia bercita-cita hendak mendirikan kekuatan, di daerah selatan untuk melawan kekuatan Tiat Mo Lek.

Perjalanan Lam Chun Lui kali ini, adalah ingin mencari kakaknya, Lam Hee Lui. Sejak masih anak-anak Lam Chun Lui sudah mendengar cerita dari ibunya tentang diri ayahnya, maka nama Soa Thiat San itu teringat betul dalam otaknya. Ketika Soa Thiat San memperkenalkan namanya ia segera mengetahui bahwa ia adalah musuh yang dulu melukai ayahnya.

Lam Chun Lui meskipun mulutnya berbicara, akan tetapi serangannya berjalan terus. Soa Thiat San yang melayani dua lawan, nampaknya sangat repot.

Siu Gouw yang menyaksikan itu segera mencabut goloknya seraya berkata:

“Bocah, sungguh besar keberanianmu, kau berani menuntut balas kepada Pangcu, apakah kau bosan bidup?”

Ia segera menyerang Lam Chun Lui dengan goloknya.

Lam Chun Lui memperdengarkan suara dingin, segera balikkan badannya, juga menghunus golok pusakanya.

Ketika dua senjata itu saling beradu lalu menimbulkan lelatu api. Siu Gouw yang melatih ilmu keras, tenaganya sangat besar, tetapi dalam mengadu tenaga itu ternyata ia tidak berhasil menarik keuntungan. Ketika dua senjata beradu bahkan goloknya sendirilah yang gompal sehingga diam-diam merasa terkejut.

Sementara itu Lam Chun Lui sudah balas menyerang, dengan hebatnya. Meskipun Siu Gouw menggunakan gerak tipu-tipu anehnya namun juga tidak berhasil dan goloknya gompal lagi, sedangkan ujung golok Lam Chun Lui hendak menembusi dadanya.

Akan tetapi Soa Thiat San yang selalu memasang mata dan telinga, ketika mengetahui saudaranya dalam keadaan bahaya, segera melancarkan serangan, yang memaksa Lam Chun Lui harus menyingkir, sehingga dengan demikian jiwa Siu Gouw terbebas dari ancaman maut. 

Can Pek Sin menggunakan kesempatan itu juga sudah menghunus pedangnya dan menikam dada musuhnya.

Soa Thiat San yang mahir ilmu serangan tangan kosong masih tetap tidak menggunakan senjata apa-apa.

Sekali gus Can Pek Sin menyerang tiga jurus dengan sembilan perobahannya ilmu pedangnya yang mendapat warisan ayah bundanya, tidaklah heran kalau setiap serangannya sangat hebat sekali.

Tetapi ilmu serangan tangan Soa Thiat San ternyata lebih hebat lagi. Dalam waktu yang amat singkat, ia juga sudah merobah serangannya sampai tujuh kali untuk memunahkan serangan Can Pek Sin.

Dengan demikian pertempuran itu telah berobah menjadi dua pemuda itu berhadapan dengan dua lawan. Meskipun kepandaian Siu Gouw masih belum dapat dibandingkan dengan kepandaian dua pemuda itu, tetapi selisihnya juga tidak jauh.

Di lain pihak Lam Chiu Lui kini sudah terkurung oleh kawanan bajak laut yang dipimpin oleh Poa Thay. Karena kepandaian beberapa bajak laut itu juga cukup tinggi maka meskipun Lam Chiu Lui sudah menggunakan pedangnya yang gesit dan gerakan badannya yang lincah, namun masih belum berhasil melepaskan diri dari kepungan.

Perahu itu meski cukup luas, tetapi biar bagaimana ruangannya sangat terbatas, tidak dapat dibandingkan dengan tanah lapang. Lam Chun Lui ia ingin membantu adiknya, selalu terhalang oleh musuhnya sendiri.

Karena jumlah orang pihak Soa Thiat San ada lebih banyak, maka kalau pertempuran itu berlangsung terus, sudah tentu di pihaknya tiga orang pemuda itu yang akan dirugikan. Akan tetapi apabila pertempuran tidak lekas selesai, perahu itu mungkin juga bisa terbalik.

Tiga orang pemuda itu semuanya tidak pandai berenang, bertempur dalam keadaan terombang-ambing di atas perahu. Perutnya seperti dikocok terutama Lam Chiu Lui, hampir saja muntah. Selagi mereka dalam keadaan bahaya, jauh di permukaan air sungai tiba-tiba tertampak sebuah perahu kecil, yang sedang datang ke arah mereka dengan lajunya. Di atas perahu itu ada berdiri seorang yang romannya sangat aneh. Orang itu kepalanya besar, tetapi tubuhnya pendek tidak cukup lima kaki tingginya. Usianya kira-kira sudah empat atau limapuluh tahunan, tetapi mukanya seperti anak-anak.

Dalam dunia, orang yang serupa itu hanya seorang saja. Soa Thiat San yang selalu memasang mata dan telinga ketika melihat kedatangan perahu kecil dan orang yang berdiri dalam perahu yang bentuknya aneh itu, segera terperanjat. Diam-diam hatinya berpikir: Mengapa aku harus berjumpa dengan iblis ini? Semoga ia tidak menyulitkan aku!

Sebelum lenyap pikirannya, sudah terdengar suara orang aneh itu yang berkata sambil tertawa terbahak- bahak:

“Pertempuran di darat sudah banyak yang kulihat, tetapi pertempuran di atas air aku belum pernah mencoba. He, he, boleh juga rasanya ini! He, kalian ini siapa? Mengapa harus berkelahi di atas perahu?”

Lam Chun Lui sangat girang, ia buru-buru memanggil dengan suara nyaring:

“Khong-khong cianpwee, inilah aku, Lam Chun Lui! Can toakoku juga ada di sini. Ayah Can toako adalah Can Goan Siu Tayhiap. Kita dikepung oleh bajak laut. Kepala bajak laut adalah Soa Thiat San yang dahulu melukai ayahku secara menggelap!”

Kiranya orang aneh itu bukan lain dari pada Khong-khong Jie. Ia dengan keluarga Lam sudah mempunyai hubungan dua turunan. Di waktu anak-anak, Lam Chun Lui sudah kenal baik dengannya.

Khong-khong Jie adalah seorang yang paling suka mencari onar terutama suka sekali mempermainkan orang-orang jahat yang suka berlaku sewenang-wenang. Biasanya ia suka mencari urusan saja. Ia belum pernah berkelahi di atas air, maka ketika menampak di atas perahu besar ada orang bertempur, ia sudah ingin mencobanya, dan kini setelah mendengar keterangan Lam Chun Lui sudah tentu ia akan campur tangan.

Sambil tertawa terbahak-bahak Khong-khong Jie menyahut:

“Siao Lam, jangan khawatir, aku segera datang! Ha, ha, aku kira siapa, kiranya adalah muridnya si bangsat tua Yo Bok Lao. Dulu aku pernah bertempur sebentar dengan bangsat tua itu, aku belum merasa puas, ia sudah kabur. Sayang kemudian dibunuh oleh Tiat Mo Lek. Kalau tidak aku masih ingin mengajak dia bertempur lagi. He, he, kabarnya kau sudah berhasil mewarisi kepandaian suhumu, maka pertempuran yang belum habis itu, sekarang kau boleh mewakili suhumu yang selanjutnya.”

Soa Thiat San meskipun belum pernah bertemu muka dengan Khong-khong Jie, tetapi tentang pertempuran Khong-khong Jie dengan suhunya ia juga sudah mengetahuinya pertempuran itu meskipun belum selesai. Sebetulnya adalah suhunya yang berada di pihak yang kalah. Pikir saja gurunya sendiri dulu sudah takut bertemu lagi dengan Khong-khong Jie, bagaimana sekarang ia berani menghadapi?

Saat itu perahu kecil Khong-khong Jie itu sudah terpisah tidak jauh dengan perahu besar Soa Thiat San. Khong-khong Jie yang ilmu meringankan tubuhnya sudah mencapai taraf tertinggi, jikalau perahunya terpisah dekat, ia pasti biasa melompat ke atas perahu besar. Apalagi sekalipun Soa Thiat San bisa menyingkir dari atas air, juga akhirnya dapat dikejar di atas daratan.

Sudah tentu saja Soa Thiat San ketakutan, tetapi dalam keadaan terdesak, orang kadang-kadang timbul akalnya. Karena ia mendengar bahwa Khong-khong Jie belum pernah bertempur di atas air, maka pastilah tidak pandai berenang.

Ia segera mengeluarkan perintah kepada orang-orangnya:

“Tukang perahu, dayung ke tengah, Lo Jie, Lo Sam, kalian semua ikut aku!”

Setelah memberikan perintahnya, ia segera terjun ke dalam sungai. Perbuatan itu segera ditiru oleh orang- orangnya.

Khong-khong Jie yang menyaksikan keadaan yang demikian, lalu berkata sambil menggeleng-gelengkan kepala: “Sial, bangsat yang tidak ada gunanya itu, barangkali sudah takut mendengar namaku, hingga mereka lebih suka menjadi setan air tetapi tidak berani melayani aku!”

Ia mengira perbuatan Soa Thiat San itu karena takut kepada dirinya.

Tidak berapa lama, perahu kecil yang ditumpangi itu tiba-tiba tergoncang hebat, tukang perahu segera mengerti apa yang akan terjadi maka lalu berkata:

“Celaka, kawanan setan air itu hendak menenggelamkan perahu kita!”

Khong-khong Jie memasang telinga, benar saja di antara suara ombak air, samar-samar terdengar suara ketokan kayu.

Kiranya Soa Thiat San yang mengetahui tidak sanggup melawan Khong-khong Jie, maka mereka yang pandai berenang di dalam air itu, pada menyelam di dalam air dan hendak menenggelamkan perahu Khong-khong Jie. Khong-khong Jie sekalipun berkepandaian tinggi, tetapi karena tidak pandai berenang, tentu mudah diguling kan.

Khong-khong Jie sangat murka terhadap perbuatan rendah kawanan bajak laut itu. Pada saat itu, sebatang anak panah tiba-tiba meluncur dari dalam air, tetapi anak panah itu tidak menyerang Khong- khong Jie sebaliknya mengarah si tukang perahu, dianggapnya apabila tukang perahu sudah mati, Khong- khong Jie pasti lebih tidak berdaya lagi.

Untung tukang perahu itu cerdik, ketika tampak kepala orang muncul dipermukaan air, segera tengkurap, sehingga anak panah itu menancap di atas perahu.

Khong-khong Jie marah sekali, ia berdiri di kepala perahu, dari jauh melancarkan serangan ke arah permukaan air itu. Segera terdengar suara gemuruh, air muncar setinggi satu tombak lebih. Kepala orang yang menyerang dengan anak panah tadi baru saja hendak menyelam, sudah kena dihajar oleh serangan tangan itu, sehingga binasa seketika.

Khong-khong Jie berseru:

“Siapa yang hendak menyerang, seranglah aku!”

Tetapi kawanan bajak laut itu semua sudah mengetahui betapa lihai Khong-khong Jie, maka tidak ada satupun yang berani keluar, mereka sembunyi di bawah perahu hendak membikin lobang dasarnya perahu. Kalau perlu bernapas, mereka harus berenang ke tempat yang agak jauh, baru berani keluar di permukaan air.

Khong-khong Jie menyuruh tukang perahu lekas mendayung perahunya mengejar perahu besar itu.

Soa Thiat San setelah meninggalkan perahunya, tukang-tukang perahu yang masih di atas perahunya semua patuh kepada perintahnya. Mereka mendayung perahu itu ke tengah sungai yang airnya deras, kemudian mereka terjun ke dalam air meninggalkan perahu itu terombang-ambing di atas air.

Can Pek Sin bertiga karena masih kurang pengalaman, ketika mengetahui maksud jahat itu ternyata sudah tidak berhasil mencegahnya. Karena mereka tidak pandai berenang, terpaksa menyaksikan perahu itu herputaran dengan tanpa berdaya. Untung perahu itu adalah perahu besar, kalau perahu kecil mungkin sudah lama tenggelam ke dalam air.

Rencana Soa Thiat San hendak menenggelamkan perahu Khong-khong Jie lebih dulu, kemudian balik lagi untuk membereskan jiwa tiga pemuda itu.

Rencananya itu nampaknya berjalan lancar, sehingga Soa Thiat San dan orangnya hanya menenggelamkan perahu Khong-khong Jie lebih dulu.

Perahu kecil itu di bawah perlindungan Khong-khong Jie, dengan susah payah baru dapat menyusul perahu besar itu, tetapi di bawah perahu, Soa Thiat San sedang bekerja membuat lobang, supaya lekas tenggelam. Selagi perahu kecil itu terpisah cuma kira-kira sepuluh tombak saja dengan perahu besar, air sungai tiba- tiba mengalir masuk, karena dasar perahu itu sudah terdapat banyak lobang.

Air mengalir masuk semakin lama semakin banyak, perahu itu sedikit demi sedikit sudah mulai tenggelam. Khong-khong Jie mulai menyesal mengapa ia tidak belajar berenang.

Dalam keadaan demikian, tiba-tiba ia timbul satu akal. Dengan satu pukulan tangan ia hancurkan papan perahu, kemudian mengambil beberapa potong di antaranya. Setelah itu, kakinya menotol dan badannya melesat tinggi ke tengah udara.

Soa Thiat San tidak menduga Khong-khong Jie akan berbuat demikian, sudah tentu dikejutkan oleh perbuatan itu. Tetapi ia masih mengira Khong-khong Jie tidak dapat mencapai ke atas perahu besar, diam- diam mendoa agar Khong-khong Jie tercebur ke dalam sungai.

Soa Thiat San muncul kepalanya di permukaan air, untuk menyaksikan perbuatan Khong-khong Jie itu. Ia segera dapat melihat bahwa orang aneh itu berjumpalitan di tengah udara, selagi badannya meluncur turun, sebelum tercebur ke dalam air, tangannya melemparkan sepotong papan. Papan itu merapung ke atas air, dan kaki Khong-khong Jie secepat kilat menginjak di atasnya. Setelah itu, kembali badannya melesat lagi ke atas.

Berulang-ulang ia menggunakan cara demikian, sehingga akhirnya melompat naik ke dalam perahu besar. Semua orang yang menyaksikan itu pada heran.

Kepandaian semacam itu memang sudah pernah mendengarnya, tetapi dianggapnya bagaikan dongengan saja, tak disangka Khong-khong Jie dapat melakukan dengan baik sekali.

Lam Chun Lui bertiga ketika melihat kedatangan Khong-khong Jie, sudah tentu sangat girang. Tetapi Khong-khong Jie setelah terlepas dari bahaya, ketika memikirkan bahwa dirinya hampir saja menjadi setan air sungai Tiang-kang sangat mendongkol.

Semakin dipikir Khong-khong Jie semakin mendongkol, ia memaki-maki di atas perahu:

“Hai, Soa Thiat San kawanan tikus! Mari kau tenggelamkan perahu ini sekalian. Hem, kau tidak bisa membinasakanku, awas aku nanti akan beset kulitmu.”

Soa Thiat San sudah tentu tahu betapa kuat dan kokoh perahunya sendiri itu yang tidak dapat dilobangi dari bawah. Apalagi perahu itu sedang berada di tengah air yang mengalir deras. Sekalipun mereka pandai berenang, juga tidak berani menyelam di dalam air yang arusnya deras itu.

Khong-khong Jie sudah terkenal dengan tangan besinya, Soa Thiat San tahu benar adat manusia aneh itu. Terhadap orang yang bermusuhan terhadapnya, sedikitpun tidak mau memberi ampun, maka setelah mendengar ancamannya itu, ia lalu mengajak kawan-kawannya kabur.

Khong-khong Jie yang menyaksikan Soa Thiat San dan kawan-kawannya sudah kabur, hatinya merasa penasaran, tetapi karena ia tidak pandai berenang, sehingga tidak berdaya sama sekali.

Perahu kecil yang semula ditumpangi oleh Khong-khong Jie, kini sudah tenggelam, tetapi tukang perahunya dengan memegangi sepotong papan berenang menghampiri perahu besar yang ditumpangi Khong-khong Jie. Begitu berada di atas perahu, segera mengeluarkan semacam terompet yang segera ditiupnya.

Khong-khong Jie yang merupakan seorang Kang-ouw ulung, ketika menyaksikan perbuatan tukang perahu itu. segera mengetahui bahwa itu adalah orang dari salah satu golongan bajak laut, maka segera menegur:

“Oh, apakah kau memanggil kawan-kawanmu? Kau dari golongan mana? Siapakah pemimpinmu?” Tukang perahu itu berlutut dihadapannya seraya berkata: “Hamba adalah anak buah Hay-ho-pang yang berkedudukan di kota Yang-ciu, Pangcu hamba bernama Chiu Tong. Hari ini Pangcu telah mendapat khabar tentang kedatangan tayhiap. Sudikah kiranya tayhiap membuang sedikit waktu untuk berkunjung ke Yang-ciu sebentar?”

Khong-khong Jie paling takut mendapat perlakuan begitu menghormat, maka segera membimbing bangun tukang perahu itu seraya berkata:

“Kau tadi sudah mengeluarkan tenaga untuk menyeberangkan aku di sungai ini. Aku masih belum mengucapkan terima kasih kepadamu. Tentang Chiu Pangcu, aku juga sudah lama pernah mendengar namanya, di kemudian hari aku pasti akan mengunjunginya.”

Lam Chun Lui segera menyelak:

“Numpang tanya, ada seorang bernama Lam Hee Lui, apakah juga berada di tempat kalian?”

“Lam tayhiap justru karena di tempat kita sana. Pada dua bulan berselang, ketika kita merampas ransum kerajaan, banyak sekali mendapat bantuan Lam tayhiap. Apakah kau...” berkata tukang perahu itu.

“Aku adalah adik lelakinya.”

“Ah, ini kebetulan sekali. Kalau kau hendak mencari saudaramu, akan kutunjukan jalan kepada kalian. Dan Can siaohiap ini apakah juga ingin ke Yang-ciu? Bolehkah Can siaohiap ikut sekalian?”

Tukang perahu itu tadi dari pembicaraan Lam Chun Lui sudah mengetahui tentang diri Can Pek Sin, karena ia juga bermusuhan dengan Touw Goan maka pasti akan memberi bantuan pada pihaknya.

Can Pek Sin berkata:

“Aku justru hendak menjumpai pangcumu dan Lam toako.”

“Perahu ini adalah perahu kepunyaan Soa Thiat San, dengan cara bagaimana kalian bertiga dapat menumpang perahu ini?”

“Setelah kita berada di atas perahu, baru tahu bahwa dia adalah Soa Thiat San.” “Kalian bertiga, benar-benar sangat berani.”

“Keberanianmu sendiri juga tidak kecil. Hari ini aku mencari perahu hendak menyeberangi sungai ini, mereka semua tidak berani. Ketika aku menanyakan sebabnya, satupun tiada yang berani menjawab. Sekarang aku baru tahu, kiranya hari ini Soa Thiat San hendak menyeberangi sungai, maka lebih dulu sudah mengeluarkan perintah untuk menutup semua perjalanan di atas air. Hanya kau yang berani menyeberangkan, apakah kau tidak takut berbuat salah terhadap Soa Thiat San, sehingga merepotkan golonganmu sendiri?” demikian Khong-khong Jie berkata.

“Soa Thiat San memang sedang bermusuhan dengan kita dari Hay-ho-pang. Semua kekuatan kita lebih besar dari padanya, tetapi sekarang ia telah bergabung dengan Touw Goan, sehingga kita agak sulit menghadapinya. Dengan terus terang, karena roman tayhiap yang sangat berbeda dengan orang lain, meskipun hamba tidak berani menanya nama tayhiap, tetapi juga sudah tahu siapa tayhiap itu.”

Khong-khong Jie tertawa terbahak-bahak, kemudian berkata:

“Kiranya begitu, aku justru ingin mengejar Soa Thiat San itu, maka aku pasti hendak membantu kalian.”

Can Pek Sin, diam-diam merasa terkejut dan girang. Kedatangannya ke Yang-ciu sebetulnya hendak mencari keterangan enci Leng nya, tidak diduga musuh besarnya juga berada di sana, mungkin akan dijumpai sekalian.

Selama bicara, dihadapannya tampak beberapa perahu layar, yang ternyata adalah kepunyaan Hay-ho- pang. Tukang perahu itu tadi merupakan salah seorang yang ditugaskan menjadi mata-mata di sekitar perairan itu, segera memerintahkan beberapa anak buah perahu layar itu supaya naik ke atas perahu besar, agar sama-sama membawa perahu itu menyeberang ke tepi sungai. Khong-khong Jie dengan ayah bunda Can Pek Sin mempunyai hubungan baik tetapi belum pernah datang ke rumahnya, maka ini adalah untuk pertama kali ia berjumpa dengannya. Setelah tukang perahu itu berlalu bersama, kawan-kawannya mendayung perahu besar itu, ia lalu memberi hormat kepada Khong- khong Jie sebagaimana selayaknya seorang tingkatan muda terhadap orang tingkatan tua.

Khong-khong Jie berkata:

“Kejadian yang menimpa keluargamu sudah kuketahui. Can-hiantit, aku mendengar kabar beberapa bulan berselang kau bersama-sama Tiat Ceng dan Tiat Leng pernah lewat ke kota Gui-pok dan terjadi perkelahian dengan tentara di kota tersebut itu, apakah itu betul?”

“Betul. Kalau begitu Khong-khong cianpwee juga sudah mengetahui perkara ini.”

“Hem, aku ingin minta keterangan seseorang darimu. Di kota Gui-pok apakah kalian pernah bertemu dengan seorang yang bernama Hoa Ciong Tay?”

“Kita justru bertemu dengan Hoa locianpwee itu, yang memberikan bantuannya tidak sedikit sehingga tidak mendapat kesulitan dari tentara negeri itu. O ya, Hoa lo-cianpwee malah pernah menyebut nama Khong- khong cianpwee di hadapan kita, katanya ingin bertemu denganmu.”

“O ya? Tahukah kau dimana sekarang ia berada?”

“Aku bersama Tiat Leng sewaktu meninggalkan kota Gui-pok, karena Tiat Ceng mendapat sedikit luka, Hoa lo-cianpwee bersama putrinya untuk sementara berdiam di sana merawat Tiat Ceng. Ini semua telah terjadi pada tiga bulan berselang apakah sekarang masih berdiam di sana atau tidak, aku sendiri juga tidak tahu.”

Dua saudara Lam itu ketika mendengar Can Pek Sin membicarakan Tiat Ceng, nampaknya sangat menaruh perhatian, Lam Chun Lui segera bertanya:

“Mengapa Tiat Ceng terluka? Siapakah yang kau maksudkan dengan Hoa lo-cianpwee itu? Aku seperti belum pernah mendengar keluarga Tiat mempunyai sahabat demikian. Bagaimana ia mau merawat Tiat Ceng?”

Lam Chiu Lui juga bertanya:

“Oh, Hoa lo-cianpwee itu masih mempunyai seorang putri, berapakah usianya? Cantik atau tidak?”

Kiranya antara keluarga Lam dan Tiat, dua keluarga itu mempunyai hubungan sangat baik. Ibu Lam Chun Lui pernah bermaksud hendak menjodohkan putrinya dengan Tiat Ceng.

Oleh karena usia dua anak itu masih terlalu muda, sedangkan Tiat Ceng waktu itu juga masih belajar ilmu silat kepada Khong-khong Jie maka belum pernah dibicarakan secara resmi.

Namun demikian keluarga kedua pihak sudah ada maksud itu, Khong-khong Jie sebagai guru Tiat Ceng, sudah tentu juga mengetahui persoalan itu.

Sebaliknya Can Pek Sin yang sama sekali tidak mengetahui soal itu, ketika ditanya demikian, dalam hatinya lalu berpikir: Anak perempuan selalu suka mencari keterangan, kecantikan perempuan lain, adik Leng mempunyai kesukaan demikian juga, sama juga dengan nona Lam ini.

Maka seketika itu ia lalu tertawa dan menjawab:

“Nona Hoa itu, usianya sebaya denganmu, ia juga cantik seperti kau.” Pipi Lam Chiu Lui kemerah-merahan, katanya agak marah,

“Can toako, mengapa kau bawa-bawa diriku? Aku bagaimana dapat dibandingkan dengan orang lain?’

Can Pek Sin yang baru berkenalan dengan nona itu, sudah tentu merasa tidak enak ditegur secara demikian.  Khong-khong Jie lalu berkata sambil tertawa:

“Lam tit-lie, kau tidak usah marah. Tentang muridku itu, aku bisa mengurusnya. Dengan cara bagaimana

Tiat Ceng bisa berjumpa dan bergaul dengan Hoa Ciong Tay dan anaknya? Can hiantit, coba kau ceritakan!”

Lam Chiu Lui, semakin malu, dengan pura-pura mengambek ia berkata,

“Kapan aku marah. Paman Khong-khong, kau hendak mengurus muridmu atau tidak ada hubungan apa dengan aku?”

Khong-khong Jie berkata sambil tertawa:

“Baik, sekarang kau boleh memaki aku, di kemudian hari, kau barangkali, akan minta pertolonganku.”

Can Pek Sin bingung mendengar pembicaraan mereka, tetapi karena Khong-khong Jie meminta kepadanya untuk menceritakan apa yang telah terjadi di kota Gui-pok, maka ia menuturkan semua apa yang telah terjadi. Akhirnya ia berkata:

“Hoa lo-cianpwee itu dengan kita meski bukan sanak saudara, tetapi beliau sangat baik dan seorang yang budiman. Paman Toan pernah datang ke tempat kediaman mereka menengok Tiat Ceng, kabarnya mereka sangat baik memperlakukan Tiat Ceng. Khong-khong cianpwee, kau tentunya juga merupakan sahabat lama dengan Hoa lo-cianpwee? Mungkin karena memandang kau, maka perlakuan cianpwee itu, dengan cara perlakuan istimewa.”

Khong-khong Jie menjawab dengan suara wajar:

“Hem, betul, dengan Hoa Ciong Tay aku juga merupakan sahabat lama.”

Kiranya Khong-khong Jie adalah seorang yang suka menang sendiri. Sudah lama ia ingin mengadu kepandaian dengan Hoa Ciong Tay. Sejak ia tahu bahwa di masa mudanya Hoa Ciong Tay pernah jatuh cinta kepada istrinya, terhadapnya sedikit banyak timbul perasaan cemburu, maka ia ingin mencari kesempatan hendak mengadu kekuatan.

Setelah dia mendapat kabar, bahwa Hoa Ciong Tay pernah muncul di kota Gui-pok, ia pergi mencarinya, tetapi tidak berhasil menemukan. Ia menduga bahwa Hoa Ciong Tay kali ini berkunjung lagi ke daerah Tiong-goan, pasti ingin menjumpai beberapa jago daerah Tiong-goan.

Sebagai orang terkuat golongan daerah Tiong-goan sudah tentu terhitung Tiat Mo Lek. Tetapi markas Tiat Mo Lek di gunung Hok-gu-san, sudah dihancurkan oleh pasukan tentara negeri. Ke mana perginya Tiat Mo Lek, masih merupakan satu rahasia. Khong-khong Jie sendiripun juga belum tahu, ia menduga sekalipun Hoa Ciong Tay hendak mencari Tiat Mo Lek, juga masih memerlukan suatu masa, sampai pada waktu Tiat Mo Lek membangun kekuatan lagi.

Tempat lain yang mungkin menjadi sasaran sebagai tempat berkumpulnya orang-orang kuat daerah Tiong- goan, mungkin kota Yang-ciu, karena Chiu Pangcu pada dua bulan berselang sewaktu hendak merampas rangsum kerajaan pernah meminta bantuan banyak kawan-kawan.

Dan setelah berhasil merampasnya, terjadi pula perebutan pengaruh antara Chiu Pangcu ini dengan golongan Soa Thiat San. Karena Soa Thiat San minta bantuan Touw Goan, dan Touw Goan ini pasti juga mengundang banyak kawan-kawannya, maka sahabat Chiu Tong yang diminta bantuannya, sebagian besar tentunya belum pulang.

Dengan demikian rimba persilatan daerah Kang-lam, kini sedang menghadapi suatu pergolakan hebat, dan Khong-khong Jie sebagai orang yang suka segala keramaian itu, maka memerlukan datang ke Yang- ciu, dengan pengharapan bisa berjumpa dengan Hoa Ciong Tay. Sekalipun tidak dapat menjumpainya, juga dapat mengikuti keramaiannya.

Tetapi sekarang dari keterangan Can Pek Sin, ia mendapat kabar tanpa sesuatu kekhawatiran dalam hatinya, karena apabila betul muridnya jatuh cinta kepada anak perempuan Hoa Ciong Tay, hal ini akan menyulitkan kedudukannya. Sebab ia dengan Lam Cee In merupakan persahabatan yang paling akrab, dan juga tahu bahwa nyonya Lam itu ingin menjodohkan anak perempuannya kepada Tiat Ceng. Bagaimana ia dapat tinggal berpeluk tangan tidak membantunya?

Dilain pihak, keterangan Can Pek Sin itu juga bahwa Hoa Ciong Tay juga merupakan seorang budiman, tidak perduli apa maksudnya menolong Tiat Ceng, sedikit banyak merupakan budi baginya, sehingga tidaklah pantas kiranya kalau ia berbuat keterlaluan kepada orang yang pernah menolong muridnya sendiri.

Can Pek Sin dengan dua saudara Lam sama sekali tidak mengetahui pertikaian antara dua orang itu. Meski mulutnya mengatakan sahabat lama dengan Hoa Ciong Tay, tetapi romannya menunjukkan perasaan tidak senang. Semua ini mengherankan bagi anak muda itu.

Ketika perahu besar itu tiba ke tepi sungai, semua orang lalu naik ke darat, Khong-khong Jie lalu berkata:

“Baik, sekarang aku hendak mengejar Soa Thiat San. Jie Lui, kau tidak perlu kesal hati, semua kau serahkan saja sama paman Khong-khong Jie ini.”

Rombongan Soa Thiat San yang sudah berjalan setengah jam berselang, sepanjang jalan masih meninggalkan bekas kaki kuda. Khong-khong Jie mengerahkan ilmu meringankan tubuh mengejar mengikuti jejak kaki kuda itu. Sebentar sudah menghilang dari depan mata mereka.

Orang Hay-ho-pang yang bertindak sebagai tukang perahu tadi berkata:

“Khong-khong tayhiap benar-benar seorang luar biasa pada dewasa ini, semoga ia berhasil dapat menangkap Soa Thiat San. Ini berarti mengutungkan sebelah tangan Touw Goan!”

Sementara itu Lam Chun Lui berkata kepada adiknya sambil tertawa:

“Adik, paman Khong-khong agaknya sangat perhatikan dirimu.” Dengan wajah merah Lam Chiu Lui berkata,

“Paman Khong-khong meskipun berkepandaian luar biasa, tetapi bicaranya seperti orang gila. Aku sendiri juga bingung.”

Dengan jawaban itu, Can Pek Sin segera mengerti sebagian, tetapi karena dirinya sendiri sedang banyak urusan, maka juga tidak ada pikiran mengurusi urusan orang lain.

<>

Orang Hay-ho-pang yang bertindak sebagai tukang perahu itu mencarikan tiga ekor kuda bagi Can Pek Sin bertiga, sebelum malam telah tiba di kota Yang-ciu.

Can Pek Sin yang masih memikirkan nasib enci Leng nya, di tengah jalan bertanya kepada tukang perahu itu:

“Kabarnya kemarin telah terjadi suatu kejadian aneh. Seorang perempuan muda belia telah melukai salah seorang anak buah Soa Thiat San yang terkenal kuat. Apakah kau tahu kejadian ini?”

“Tahu! Orang-orang dari golongan kita banyak yang menyaksikan sendiri!” “Bagaimana macamnya perempuan itu?”

“Siapa namanya perempuan itu, kita tidak tahu. Kita hanya dapat menduga perempuan itu berusia kira-kira duapuluh tahun, mengenakan pakaian berwarna merah, menunggang kuda berbulu merah juga. Can Kongcu, kau menanyakan tentang perempuan itu, apakah kau kenal kepadanya?”

“Kemarin ketika aku berteduh di dalam gubuk itu, aku mendengar orang-orang Soa Thiat San yang menceritakan kejadian ini, katanya mereka hendak merampas kuda perempuan itu sehingga terjadi perkelahian tersebut. Karena di kalangan Kang-ouw tidak banyak jumlahnya perempuan muda yang berkepandaian tinggi, maka aku minta keterangan darimu.” Lam Chiu Lui lalu berkata:

“Pendapatmu itu tidak benar, bukankah usia Tiat Leng lebih muda. Kalau ia berada di sini, belum tentu dikalahkan oleh perempuan itu. He, he, apa susahnya untuk melukai seorang anak buah Soa Thiat San saja?”

“Nona Lam, maafkan aku tak pandai bicara. Maksudku bukan hendak mengatakan bahwa perempuan tidak bisa dibandingkan dengan orang lelaki, kepandaianmu sendiri sekalipun banyak orang kuat golongan lelaki di kalangan kang-ouw, barangkali jarang yang dapat menandingi. Tetapi karena pengetahuanku sangat terbatas, tidak banyak yang kuketahui perempuan muda yang berkepandaian tinggi, maka aku menanyakan kepadanya.”

Lam Chun Lui segera berkata sambil tertawa,

“Adik, orang memuji dirimu seharusnya kau merasa gembira!” Tukang perahu itu juga berkata sambil tertawa:

“Tentang perempuan berbaju merah itu, dahulu aku belum pernah melihatnya. Aku hanya mendengar kabar ilmu goloknya sangat ganas. Orang yang dilukai olehnya itu adalah salah satu kepala bajak laut Soa Thiat San yang menduduki kursi keempat. Hanya satu gerakan saja sudah dibacok dua kali olehnya. Perempuan itu berpakaian merah, kuda tunggangannya juga berbulu merah, nampaknya sesuai benar dengan adatnya yang berangasan.”

Can Pek Sin meski belum mengetahui jelas, tetapi dari gambaran yang diberikan oleh tukang perahu itu ia dapat menduga pasti bahwa perempuan baju merah itu bukanlah Thie Po Leng.

Tukang perahu itu berkata pula:

“Kabarnya perempuan berbaju merah itu kemarin juga menuju ke kota Yang-ciu. Mungkin nanti malam setelah kita tiba di pusat, boleh mencari kabar tentang dirinya.”

Can Pek Sin karena anggap tidak ada sangkut pautnya dengan perempuan itu, maka juga tiada maksud untuk mencari keterangan lagi.

Mereka melanjutkan perjalanannya, tiba-tiba dapat melihat seekor kuda yang dilarikan dengan cepat menuju ke arah mereka.

Tukang perahu itu lalu berkata:

“Eh, itulah perempuan yang kamu tanyakan tadi.”

Kiranya perempuan muda yang berada di atas kuda tunggangannya itu adalah seorang perempuan muda yang berpakaian merah dan kuda tunggangannya pun berwarna merah.

Lam Chiu Lui lalu berkata:

“Kuda merahnya itu benar saja kuda jempolan, barangkali lebih bagus daripada kuda putih tunggangan kau. Pantas saja anak buah Soa Thiat San hendak merampas kudanya.”

Sebentar kemudian, perempuan berbaju merah itu sudah mulai dekat, dan romannya juga dapat dilihat dengan nyata.

Ketika Can Pek Sin menyaksikan perempuan itu, diam-diam terperanjat, pikirannya: Oh, kiranya adalah dia. Mengapa aku tadi tidak ingat?

Perempuan berbaju merah itu bukan lain dari pada Liong Seng Hong yang dahulu pernah berkalahi dengan Can Pek Sin ketika berada di rumah Lauw Bong di lembah Phoan-liong-kok

Ketika Liong Seng Hong melihat Can Pek Sin, lalu memperdengarkan suara dinginnya, kemudian mengayun pecutnya, dan kuda merah itu menerobos di antara mereka. Pecut tadi hampir mengenakan Can Pek Sin. Lam Chiu Lui yang kudanya justru berada di belakang Can Pek Sin juga hampir kena pecut itu. Ia sangat marah, segera balas memecut tetapi kuda perempuan berbaju merah itu larinya kencang sekali, ia sudah kabur jauh.

Lam Chun Lui berkata dengan perasaan heran:

“Perempuan ini sungguh tidak tahu aturan, tanpa memberi peringatan sudah menerjang ia tentunya beranggapan kita anak buahnya Soa Thiat San.”

Lam Chiu Lui berkata:

“Sayang pecutku tadi tidak mengenakan dirinya. Aku justru ingin lihat sampai dimana tinggi kepandaiannya?”

“Can toako tokh tidak marah, mengapa justru kau yang uring-uringan?” berkata sang kakak sambil tertawa. Karena ia sudah melihat bahwa perempuan berbaju merah itu, kemarahannya ditujukan kepada Can Pek Sin.

Dalam waktu yang sangat singkat itu, rupa-rupa pikiran yang timbul dalam otak Can Pek Sin, kemudian ia berpikir: Sekalipun masih belum lenyap dendamnya terhadap diriku, tetapi biar bagaimana ia adalah sahabatnya Lauw Bong. Seharusnya aku harus memberitahukan kepadanya supaya ia lekas menyingkir.

Pada saat itu perempuan berbaju merah itu sudah terpisah jauh. Can Pek Sin tiba-tiba memutar balik kuda tunggangannya, sehingga mengejutkan Lam Chiu Lui. yang segera menegurnya,

“Can toako, kau mau apa?”

“Aku hendak berkata beberapa kata kepadanya!” jawab Can Pek Sin, karena khawatir tidak dapat mengejar maka ia tidak memberi keterangan yang lebih jelas.

Kuda putih Can Pek Sin bisa lari lebih cepat dari pada kuda berbulu merah itu, sebentar saja sudah lari sepuluh pal lebih, sehingga akhirnya dapat mencapai Liong Seng Hong.

Liong Seng Hong tahu dirinya dikejar segera menghentikan kudanya, ia mengawasi Can Pek Sin dengan sinar mata gusar kemudian menegurnya dengan suara bengis:

“Perlu apa kau mengejar aku? Apakah kau ingin berkelahi lagi?”

Can Pek Sin juga mendongkol, tetapi ia masih mengendalikan perasaannya, jawabnya:

“Nona Liong, kau jangan salah paham, aku hanya ingin memberitahukan kepadamu sesuatu urusan.”

Liong Seng Hong agaknya merasa bahwa jawaban anak muda itu di luar dugaannya, katanya dengan nada suara dingin:

“Urusan apa?”

“Betulkah kau pernah melukai salah seorang anak buah Soa Thiat San?”

“Betul, kemarin aku pernah melukai seorang bajak laut, tetapi aku tidak tahu ia anak buah siapa, dan kau mau apa?”

“Nona Liong sukakah kau berlaku sabar sedikit? Apakah kau kira aku orang golongan mereka? Aku justru hendak memberi kabar kepadamu.”

Liong Seng Hong juga tahu bahwa Can Pek Sin bukanlah orang golongan mereka, maka ia merasa tidak enak sendiri, dengan sikap agak sabar ia bertanya:

“Kabar apa?”

“Soa Thiat San sudah mengetahui perkara itu, dia adalah salah satu jagoan daerah Kang-lam, barangkali ia akan mencarimu untuk menuntut balas...” “Oh, kau sungguh baik, aku harus mengucapkan terima kasih kepadamu. Namun demikian kau juga tidak menghawatirkan diriku.”

“Nona Liong, aku tahu kau berkepandaian tinggi, tetapi Soa Thiat San sesungguhnya juga tidak boleh dipandang ringan. Aku pernah bertempur dengannya, ilmu serangannya yang memindahkan nyawa dalam tujuh langkah sangat lihai sekali. Dengan sejujurnya apabila berkelahi sendirian aku masih belum sanggup menandinginya.”

Liong Seng Hong hanya perdengarkan suara di hidung, agaknya tidak percaya keterangan Can Pek Sin. Can Pek Sin berkata pula:

“Menurut pikiranku, sebaliknya kau lekas meninggalkan daerah Kang-lam, supaya jangan sampai ketemu lagi dengan orang-orangnya Soa Thiat San.”

“Kau pintar sekali mencarikan pikiran buat orang lain. Tetapi bagaimana andaikata aku tidak suka berlalu dari sini?”

Can Pek Sin tidak menghiraukan ejekannya, ia berkata pula,

“Aku tidak tahu ada urusan penting apa kau perlu berdiam di daerah Kang-lam ini, tetapi apabila kau memang betul perlu harus berdiam di sini, aku ingin minta kepada Chiu Pangcu supaya mengundangmu ke sana. Lam Hee Lui juga berada di sana, bukankah kau juga kenal dengannya? Jikalau kau berdiam di tempat mereka. Soa Thiat San tidak akan berani mengganggumu lagi.”

Liong Seng Hong alisnya nampak berdiri, ia berkata dengan sengit:

“Kau sungguh baik hati, ingin minta Lam Hee Lui melindungi aku. Menyesal sekali, aku tidak dapat menerima kebaikan ini. He, he, kau takut kepada Soa Thiat San, ini adalah urusanmu sendiri. Apakah kau kira aku Liong Seng Hong dapat digertak dan ditakuti olehnya?”

Can Pek Sin sangat mendongkol tetapi ia masih menyabarkan diri, katanya: “Baiklah, kau anggap saja aku suka mengurusi orang lain. Sekarang aku minta diri!” Tiba-tiba Liong Seng Hong berkata,

“Tunggu dulu!”

Can Pek Sin yang masih sangat mendongkol terpaksa menghentikan kudanya dan bertanya: “Nona Liong ada urusan apa?”

“Meskipun aku tidak menerima budi kebaikanmu, tetapi bagaimanapun juga aku harus mengucapkan terima kasih kepadamu. Dahulu, kita pernah berkelahi, dan kini kau telah perlakukan aku sebagai seorang sahabat. Kita satu sama lain masih belum mengetahui nama masing-masing. Aku hanya tahu, mereka panggil kau Can toako, apakah kau seorang she Can?”

Can Pek Sin ditanya secara baik, perasaan mendongkolnya sebagian besar telah lenyap, jawabnya:

“Nama nona Liong aku sudah pernah dengar dari Lam tayhiap. Aku memang seorang she Can namaku Pek Sin.”

Liong Seng Hong tersenyum dan berkata:

“Hari itu di rumah Lauw Bong kau pernah berkata bahwa Thie Po Leng adalah encimu, aku semula mengira bahwa kau benar-benar adalah adiknya. Kiranya hanya bersaudara berlainan she.”

Muka Can Pek Sin merah seketika, katanya, “Thie Sui lo-cianpwee adalah sahabat paling akrab kakek luarku di masa hidupnya, maka sejak masih kanak-kanak aku juga bahasakan Kong-kong kepadanya. Maka cucu perempuannya juga seperti juga dengan enciku sendiri. Apa nona Liong masih ada keperluan lain lagi?”

Liong Seng Hong yang menyaksikan sikap Can Pek Sin dalam hatinya lalu berpikir: Nampaknya bocah ini tidak bohong, hubungannya dengan Thie Po Leng mungkin bukan hanya berbatas antara enci dan adik saja.

Kiranya sejak ia berkelahi dengan Can Pek Sin pada hari itu, ia sudah mendengar tentang riwayatnya. Kira ia hanya sengaja menahan Can Pek Sin dengan lain tujuan. Maka setelah mendengar keterangannya lalu tertawa dan berkata:

“Apakah kau hanya semata-mata hendak memberi kabar, sehingga perlu mengejar aku? Sebaliknya aku anggap kau seharusnya masih ada lain urusan yang ingin minta keterangan dariku!”

Ucapan Liong Seng Hong itu justru mengenakan hati Can Pek Sin, memang Can Pek Sin ingin minta keterangan Liong Seng Hong tentang beritanya Lauw Bong, tetapi kemudian karena sikapnya Liong Seng Hong yang tidak bersahabat itu, sehingga tidak ingin bertanya lagi.

“Nona Liong karena kau menanya demikian, tidak halangan aku menceritakannya kepadamu. Aku tahu kau adalah sahabat Lauw Bong. Aku dengan Lauw Bong meskipun dahulu pernah terjadi sedikit perselisihan paham, tetapi semua itu sudah selesai dan kita sudah menjadi sahabat. Dengan terus terang, kedatanganku justru hendak mencari keterangan tentang dirinya, apakah nona Liong tahu?”

“Ucapanmu ini barang kali masih kurang jujur? Apakah kau hanya ingin mencari kabar tentang diri Lauw Bong saja?”

Muka Can Pek Sin jadi merah, tetapi ia mengerti bahwa ucapan Liong Seng Hong itu mengandung maksud, maka terpaksa ia bersabar dan berkata:

“Apabila nona Liong juga mengetahui kabar tentang diri enci Thie, harap minta nona Liong memberi keterangan sekalian.”

“Kabar tentang Lauw Bong, aku tidak tahu, tetapi mengenai diri Thie Po Leng aku tahu sedikit. Namun demikian sekarang aku tidak bisa memberitahukan kepadamu. Jikalau kau percaya ucapanku, nanti jam tiga tengah malam kau boleh menjumpai aku lagi.”

Can Pek Sin terkejut, “Untuk apa?”

“Aku sudah kata bahwa sekarang aku tidak bisa memberitahukan kapadamu. Kau tidak perlu menanyakan sebabnya. Kau juga tidak boleh memberitahukan perjanjian ini kepada orang lain.

“Pendek kata apabila kau percaya aku, nanti malam kau boleh datang, aku tidak akan mencelakakan dirimu. Kau nanti tahu sendiri bahwa ada orang yang akan memberi kabar kepadamu tentang diri enci Leng mu.”

Hati Can Pek Sin menjadi bimbang, tetapi karena banyak waktu untuk berpikir lalu bertanya: “Entah di mana letaknya tempat untuk mengadakan pertemuan itu?”

“Apakah malam ini kau hendak menginap di markas Chiu pangcu?” “Benar.”

“Kalau kau keluar dari pusat Hay-ho-pang, boleh mengikuti jalan di tepi sungai menuju ke utara. Kira-kira tigapuluh pal, kau akan melihat sebuah pagoda putih, itulah tempat dimana nanti malam kita hendak mengadakan pertemuan. Ingat kau jangan membocorkan rahasia.”

“Terima kasih, aku sudah tahu.”

“Kau datang atau tidak terserah kepadamu sendiri. Baiklah, aku sekarang hendak pergi.”  Setelah berkata, lalu menggentak kudanya, dibalikkan ke lain jurusan. Can Pek Sin juga memutar kudanya untuk balik kepada dua saudara Lam.

Tiba di situ, Lam Chiu Lui segera menegur kepadanya sambil tertawa:

“Can toako, kau kata tidak kenal dengan perempuan itu. Mengapa kau mengejarnya untuk diajak berbicara?”

“Pertama memang aku kira tidak kenal, tetapi setelah aku tegasi, baru aku ingat siapa dia,” jawah Can Pek Sin dengan muka merah.

“Siapakah dia?”

“Adik, bagaimana kau selalu suka dengan urusan orang lain?” demikian tegurnya kepada Lam Chiu Lui.

“Apakah salahnya, hanya bertanya saja? Kita tidak gampang-gampang menjumpai pendekar wanita yang begitu cantik dan gagah. Bagaimana tidak boleh mengetahui namanya?” berkata sang adik yang mengandung ejekan terhadap Can Pek Sin.

Can Pek Sin berkata sambil tertawa:

“Kalau aku sebutkan namanya barangkali kalian juga sudah tahu atau setidak-tidaknya pernah dengar. Dia bahkan masih merupakan sahabat toako kalian. Aku dengannya hanya pernah bertemu muka satu kali saja. Namanya bahkan Lam toako yang memberitahukan kepadaku. Dia adalah adik perempuan Liong Seng Hiang.”

Lam Chiu Lui terperanjat ia berkata sambil tertawa:

“Aku kira siapa, kiranya adalah Liong Seng Hong. Benar saja seperti apa yang sudah pernah kudengar, dia adalah seorang perempuan galak dan judes. Untung toako belum sampai...”

Bicara sampai di situ, Lam Chun Lui melototkan matanya, sehingga sang adik mengurungkan niatnya. Ia tertawa terkekeh-kekeh, tidak melanjutkan ucapannya.

Lam Chun Lui melarang adiknya menceritakan urusan Liong Seng Hong dengan toakonya, karena ia salah paham dan mengira Can Pek Sin jatuh cinta kepada perempuan galak itu.

Can Pek Sin juga mengerti bahwa perbuatannya tadi menimbulkan perasaan curiga kakak beradik itu, tetapi ia juga tidak perlu memberi penjelasan. Mereka bertiga lalu melanjutkan perjalanannya. Di waktu senja baru tiba di tempat kediaman Chiu Tong.

Itu ada sebuah gedung model benteng, terletak beberapa pal di luar kota Yang-ciu.

Gedung itu merupakan tempat kediaman Chiu Tong, juga digunakan sebagai markas besar partay Hay-ho- pang. Sewaktu mereka tiba di gedung tersebut, Chiu Tong sudah menyambut kedatangan mereka bersama-sama Lam Hee Lui.

Karena Chiu Tong sedang membutuhkan bantuan tenaga, ketika kedatangan tiga jago tingkatan muda itu, merasa sangat girang.

Lam Chun Lui dan adik perempuannya, karena hubungannya dengan Lam Hee Lui yang masih menjadi toako atau kakak tertuanya, maka dengan Chiu Tong boleh dikata masih terhitung orang sendiri.

Can Pek Sin dengan Chiu Tong merupakan sahabat baru yang baru pertama kali bertemu, tidak mempunyai hubungan appa-apa, maka Chiu Tong juga memperlakukan kepadanya sebagai tetamu terhormat.

Setelah saling berkenalan, Chiu Tong lalu mengundang mereka masuk ke ruangan dalam. Tiba di ruangan dalam, Lam Hee Lui segera bertanya kepada Can Pek Sin: “Saudara, Can, sejak pertemuan kita pada tahun yang lalu, kau ternyata membuat nama di kalangan Kang-ouw. Aku kira kau sudah bersama-sama Tiat Ceng dan adiknya ke tempat ayah mereka. Bagaimana seorang diri kau datang ke mari?”

“Markas besar paman Tiat di gunung Hok-gu-san, sudah dihancurkan oleh pasukan tentara negeri,” jawab Can Pek Sin. “Sekarang mereka sudah pindah ke gunung Kim-kee-nia. Karena aku hendak mencari keterangan tentang diri seorang sahabat, barulah aku datang kemari. Apakah paman Toan masih ada di sini?”

“Khek Gee suami isteri sudah pergi ke lain tempat, tetapi mereka masih akan kembali. Siapa yang hendak kau cari?”

Can Pek Sin merasa tidak enak menyebutkan nama Thie Po Leng, maka ia berkata:

“Aku ingin mencari kabar tentang dirinya Lauw Bong. Karena ayahnya meninggal dunia, aku diminta oleh Li Hong Chun chungcu, untuk menyampaikan berita ini kepadanya.”

Lam Hee Lui nampak agak heran, katanya:

“Kepandaian Lauw Cin juga lumayan, ia meninggal secara bagaimana?”

“Ia binasa di tangan orang suku Hwee-khie. Iblis itu bernama Thay Lok, kabarnya ada salah satu orang kuat dari daerah barat,” jawab Can Pek Sin, ia segera menuturkan apa yang telah terjadi di kampung Kui- chiu-chung.

Lam Hee Lui meski hubungannya dengan Lauw Cin tidak begitu erat, tetapi karena mengingat sesama orang rimba persilatan daerah Tiong-goan maka lalu berkata,

“Orang gagah dari Hwee-khie berani bertingkah di daerah Tiong-goan, jikalau aku berjumpa dengan Thay Lok, aku juga ingin menguji kepandaiannya.”

Setelah omong-omong tentang lain soal, Lam Hee Lui berkata pula:

“Hari ini sebelum kau tiba, sudah ada orang datang minta keterangan kepadaku tentang kabar beritanya Lauw Bong. Tetapi aku justru tidak tahu di mana adanya Lauw Bong sekarang? Saudara Can, sayang kau terlambat setengah hari. jikalau tidak kau bisa bertemu dengan orang itu. Coba kau tebak siapa orang itu?”

Selagi, Can Pek Sin hendak menjawab, sudah didahului oleh Lam Chiu Lui:

“Apakah enci Liong dari keluarga Liong?” berkata gadis itu sambil tertawa, “Can toako tadi sudah berjumpa dengannya!”

“Oh, kiranya kalian sudah berpapasan dengan dia. Bagaimana? Apakah enci Liong itu masih marah kepadamu?” berkata Lam Hee Lui.

“Adat enci Liong itu benar-benar galak sekali. Tetapi toako, kau tidak usah khawatir, Can toako tadi tidak berkelahi dengannya, bahkan mencari padanya dan berbicara berduaan,” demikian Lam Chiu Lui berkata.

“O, ya? Kalau begitu tidak perlu aku mendamaikan kalian lagi.” Lam Chiu Lui tertawa terbahak-bahak, lalu berkata:

“Toako, mengapa kau tidak menahannya? Ibu berkata bahwa kepandaian enci Liong itu baik sekali, kalau kau tadi menahannya, aku ingin belajar kenal dengan kepandaiannya! Dan apakah hubungannya dengan Lauw Bong?”

“Lauw Bong dahulu adalah tetangganya. Dalam rimba hijau ia juga terhitung salah seorang jago angkatan muda. Ketika ia mendengar keteranganku tidak mengetahui dimana adanya Lauw Bong, segera pergi lagi. Tentunya pergi mencari keterangan di tempat lain.”

“Oh! kalau begitu, ia dengan Lauw Bong tentunya mempunyai hubungan erat sekali?” Nona itu sebetulnya masih ingin berkata lagi, tetapi ucapannya yang sudah hampir keluar itu ditelannya kembali.

Ketika malam tiba, Chiu Tong mengadakan perjamuan makan bagi para tamunya. Di meja perjamuan, Chiu Tong menceritakan tentang jalannya perampasan ransum negara yang dilakukannya pada sebulan berselang, sedangkan Can Pek Sin juga menceritakan bagaimana telah kebentrok dengan Soa Thiat San dan anak buahnya.

Ketika Chiu Tong mendengar Khong-khong Jie menanam permusuhan dengan Soa Thiat San, diam-diam merasa girang.

Waktu perjamuan makan selesai, sudah hampir jam sebelas malam. Maka Chiu Tong mempersilahkan para tetamunya tidur.

Can Pek Sin tidur dalam satu kamar dengan Lam Chun Lui, sehingga jam dua malam, Lam Chun Lui sudah tidur, tetapi Can Pek Sin masih belum dapat tidur.

Ia masih memikirkan soal perjanjiannya dengan Liong Seng Hong, ia harus pergi atau tidak! Sementara itu hatinya berpikir: Liong Seng Hong meski adatnya galak, tetapi bukan orang jahat, tiada suatu alasan ia harus menipu aku.

Dengan susah payah aku datang kemari, maksudku justru mencari enci Leng, dan sekarang sudah mendapat kesempatan untuk mendapatkan beritanya. Bagaimana aku boleh meliwatkan begitu saja? Tetapi mengapa Liong Seng Hong berlaku demikian misterius?

Meski hatinya penuh rasa curiga, tetapi ia sudah mengambil keputusan hendak pergi.

Maka diam-diam ia bangun, menukar pakaian peranti jalan malam. Selagi hendak keluar kamar kembali ia berpikir: Jikalau Lam Chun Lui sadar tengah malam dan melihat aku tidak ada, bukankah akan menimbulkan buah tertawaan? Perlukah aku beritahukan kepadanya? Tetapi Liong Seng Hong melarang aku memberi tahukan kepada orang ketiga?

Selagi Can Pek Sin masih merasa ragu, Lam Chun Lui tiba-tiba sudah bangun dan kemudian duduk, dengan setengah bergurau ia menegurnya:

“Saudara Can, kau mengenakan pakaian malam hendak ke mana?” Dengan muka merah Can Pek Sin menjawab gelagapan:

“Aku hendak menemui seorang sahabat, sebelum fajar menyingsing, aku akan kembali. Lam jiko, tolong bantu pegang rahasia, aku tidak ingin mengganggu mereka.”

Menampak gerak gerik Can Pek Sin demikian penuh rahasia, Lam Chun Lui agak heran, katanya sambil tertawa.

“Sahabat siapa yang kau hendak jumpai? Apabila kau tidak suka memberitahukan kepadaku sudah saja!”

Mendengar perkataan Lam Chun Lui demikian, Can Pek Sin sebaliknya merasa tidak enak, maka ia terpaksa berkata terus terang:

“Dia adalah nona Liong yang tadi siang berpapasan dengan kita itu, adalah sedikit urusan ia hendak bicarakan denganku.”

“Oh, kiranya begitu. Kalau begitu kau pergilah, siaotee pasti akan bantu pegang rahasia,” kata Lam Chun Lui sambil tertawa.

Can Pek Sin tahu bahwa pemuda itu sudah salah paham, tetapi ia juga tidak mau menerangkan.

Ia keluar dari lobang jendela, dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh. Meski gedung itu terdapat banyak peronda malam, tetapi mereka umumnya berjaga-jaga terhadap orang yang datang dari luar, maka tidak menduga ada orang keluar dari rumah. Keluar dari gedung pusat Hay-ho-pang, Can Pek Sin lari menuju ke tempat yang, ditunjuk oleh Liong Seng Hong.

Sepanjang jalan ia berpikir: Ia mengatakan setelah aku tiba di tempat yang dijanjikan, sudah tentu ada orang yang akan memberitahukan kabar tentang diri enci Leng, entah siapa orang ini?

Dalam waktu sekejap Can Pek Sin sudah lari sejauh tigapuluh pal lebih, benar saja di bawah bukit tampak sebuah pagoda putih.

Waktu itu jam tiga tengah malam, rembulan terang benderang. Dari jauh tampak dua bayangan orang sedang bergerak-gerak, telinganya sayup-sayup juga menangkap suara beradunya dua senjata.

Can Pek Sin terkejut, pikirannya: Ia janjikan aku datang kemari, mengapa di sini ada orang berkelahi? Ia mempercepat gerak kakinya, setelah berada agak dekat, bukan kepalang terkejutnya.

Kiranya dua bayangan yang bergerak-gerak dekat pagoda itu, bukan lain daripada dua perempuan muda yang sedang bertempur sengit. Satu adalah Liong Seng Hong, sedang yang lain adalah Thie Po Leng!

Can Pek Sin melengak, ia lalu berseru:

“Enci Leng! Kau, bagaimana kau berantam dengan nona Liong?” Thie Po Leng hanya memperdengarkan suara dingin tidak menjawab.

Sebaliknya dengn Liong Seng Hong, nona itu tertawa terbahak-hak, kemudian berkata:

“Aku tokh tidak membohongimu. Sekarang biarlah kau lihat sendiri enci Lengmu, bukankah ini lebih baik dari pada memberi kabarnya kepadamu?”

Setelah ia bicara dengan Can Pek Sin, segera menahan pedang Thie Po Leng dengan goloknya, kemudian berkata padanya:

“Nona Thie, aku tahu yayamu sudah mempertunangkan kau kepada pemuda she Can ini. Sekarang ia cari kau hendak diajak pulang. Kau pikir bagaimana? Jikalau kau ikut pulang dengannya, permusuhan antara kita segera kuhapus, kita tidak perlu berantam lagi.”

Ternyata pada waktu kemarinnya, Liong Seng Hong tiba di tempat itu sebelum tengah hari dan telah menyeberangi sungai, turun hujan lebat sehingga ia harus mencari rumah penginapan. Apa boleh buat, secara kebetulan Thie Po Leng juga menginap di rumah penginapan itu.

Mereka pada waktu sebelumnya belum pernah bertemu muka, tetapi Liong Seng Hong sudah tahu hubungan antara Thie Po Leng dengan Lauw Bong. Sebaliknya dengan Thie Po Leng, ia tidak tahu siapa nona baju merah itu.

Dalam rumah penginapan itu, hanya mereka berdua. Kaum wanita yang masih muda belia satu sama lain tahu bahwa mereka adalah wanita kalangan Kang-ouw, dengan sendirinya ia lalu saling belajar kenal.

Ketika Liong Seng Hong mendengar namanya, segera mengetahui bahwa nona itu ternyata adalah musuhnya sendiri, dalam kalangan asmara.

Liong Seng Hong tidak menimbulkan keributan di rumah penginapan, maka saat itu tidak menyatakan sikapnya.

Menjelang pagi hari, ia baru memasuki kamar Thie Po Leng.

Sudah tentu Thie Po Leng terperanjat atas kedatangan Liong Seng Hong di waktu pagi hari yang masih gelap itu. Ketika ditegurnya, nona itu tidak menjawab, sebaliknya mengeluarkan sebilah belati, sehelai kertas yang sudah ditancap di atas meja dengan ujung belatinya. Kemudian berkata dengan nada suara dingin,

“Perempuan tidak tahu malu, kau lihat sendiri!” Di atas kertas itu kecuali ditulis perkataan-perkataan yang tidak sedap, juga diterangkan supaya jam tiga tengah malam itu datang ke bawah pagoda itu untuk mengadakan pertandingan ilmu silat.

Thie Po Leng sangat marah, waktu itu juga sudah hendak bertindak, tetapi Liong Seng Hong sudah kabur.

Setelah Thie Po Leng membaca tulisan yang ditinggalkan, ia baru tahu sebab musababnya, sudah tentu ia terima baik tantangannya.

Tetapi Liong Seng Hong mekipun galak dan berbuat menuruti hatinya sendiri, biar bagaimana bukanlah orang dari golongan jahat. Karena ia hanya hendak mengumbar kemarahannya terhadap Thie Po Leng, yang dianggapnya merebut kekasihnya, maka ia menantang berkelahi. Namun setelah berlalu dari kamar Thie Po Leng, ia baru merasa bingung sendiri.

Setelah berada sendirian, ia memikirkan persoalan itu. Apakah malam ini ia harus mengajak berkelahi Thie Po Leng? Dan bagainama memberi hajaran padanya? Sudah tentu ia tidak boleh membunuhnya. Ia hanya ingin mengajar atau memaki saja sudah cukup. Tetapi apakah gunanya baginya? Apalagi di kemudian hari apabila Lauw Bong mengetahui hal itu, bukankah akan lebih bersimpati kepada Thie Po Leng?

Ia berpikir bulak balik, tidak mendapatkan suatu akal sebaik-baiknya untuk memperingatkan Thie Po Leng. Sehingga ia berpapasan dengan Can Pek Sin di tengah jalan, ia baru dapatkan suatu akal, yang dianggapnya sangat sempurna.

Ia ingin menggunakan Can Pek Sin untuk melibat Thie Po Leng, dianggapnya Can Pek Sin masih mencintai nona itu. Asal Thie Po Leng terlibat lagi oleh Can Pek Sin, sehingga tidak bisa melepaskan diri, dengan sendirinya tidak akan menjadi rintangan baginya dalam perhubungan cintanya dengan Lauw Bong.

Liong Seng Hong mengira bahwa akalnya itu sangat sempurna, tidak tahunya antara Thie Po Leng dan Can Pek Sin juga sudah terbit salah paham. Maka ketika Thie Po Leng melihat Can Pek Sin kemarahannya semakin memuncak.

Ia teringat kejadian malam itu, di mana Lauw Bong dan ayahnya ketika datang ke rumahnya hendak mencuri harta bendanya, adalah Can Pek Sin yang membantu Yaya nya mengikat dirinya. Urusannya dengan Lauw Bong yang telah bersepakat hendak mencuri harta benda itu, juga hanya Can Pek Sin yang tahu. Sudah tentu saja dianggapnya adalah pemuda itu yang memberitahukan kabar itu kepada Yaya nya.

Thie Po Leng sifatnya lebih pendiam dari pada Liong Seng Hong, tetapi lebih keras. Ketika dihina tanpa sebab oleh Liong Seng Hong, kemarahan dalam hatinya tidak terbendung, setelah mendengar omongan Liong Seng Hong bahwa kedatangan Can Pek Sin adalah atas undangan nona galak itu, sudah tentu hawa amarahnya semakin berkobar.

Liong Seng Hong yang sebetulnya hendak menghentikan pertempuran itu, sebelum usahanya berhasil, Thie Po Leng sudah mengeluarkan serangannya yang mematikan. Karena ganasnya serangan itu, hampir saja Liong Seng Hong tertikam oleh ujung pedangnya.

Liong Seng Hong marah, katanya dengan suara keras:

“Aku berunding baik-baik denganmu, ternyata kau tidak tahu diri. Apakah kira aku takut kepadamu?” Thie Po Leng tidak menjawab, kembali menikam dengan pedangnya.

Liong Seng Hong menangkis dengan goloknya, karena menggunakan tenaga kurang cukup, ujung pedang Thie Po Leng masih berhasil melobangi baju Liong Seng Hong.

Liong Seng Hong marah benar-benar, dengan cepat ia balas menyerang bertubi-tubi, serangannya itu sebentar mengarah ke bawah sebentar ke atas, aneh luar biasa. Kiranya Liong Seng Hong dahulu juga biasa menggunakan senjata pedang, oleh karena hari itu pedangnya telah direbut oleh Lam Hee Lui, ketika keduanya berselisih di rumah Lauw Bong, dalam gusarnya, ia lalu bersumpah selanjutnya tidak akan menggunakan senjata pedang. “Namun demikian senjata goloknya masih menggunakan ilmu pedang. Oleh karena ilmu pedang itu ada pelajaran dari golongan Sin Cie Kow, apalagi dengan ilmu pedang digunakan untuk senjata golok, sudah tentu merupakan suatu tipu serangan yang menyendiri.

Tetapi Thie Po Leng juga bukan bangsa lemah, kakeknya dahulu adalah berandal besar di kalangan Kang- ouw. Kepandaian ilmu silatnya termasuk golongan ganas dan telengas, yang selalu mengumpamakan begitu turun tangan sudah harus melukai lawannya.

Thie Po Leng yang mendapatkan warisan seluruh kepandaian kakeknya, sekalipun pada saat itu tidak ingin mengambil jiwa Liong Seng Hong, tetapi setiap serangannya sedikitpun tidak mengenal kasihan.

Kedua wanita itu karena berkelahi dengan sengit dan sungsuh-sungguh, sehingga serangan dari kedua pihak sangat berbahaya. Can Pek Sin yang menyaksikan merasa sangat khawatir, karena ia tidak menghendaki ada salah satu yang terluka, maka lalu berseru:

“Enci Leng, jangan berkelahi lagi. Nona Liong, harap kau juga mengalah sedikit.” Thie Po Leng menjawab sambil ketawa dingin:

“Can Pek Sin, kau jago boleh maju sekalian! Kau sudah cukup menyusahkan diriku, apakah masih ada muka memanggilku enci Leng? Yaya pernah mengajarimu ilmu kepandaiannya. Sekarang kau boleh menggunakannya semua untuk menghadapi aku, mari majulah.”

Meskipun mulutnya berbicara, tetapi tangannya terus bergerak, selama berbicara itu, ia sudah menyerang sampai tujuh kali.

Liong Seng Hong yang juga dalam keadaan gusar lalu berkata:

“Can Pek Sin, kalau kau mau, boleh saja kau dengan encimu berdua mengeroyok aku, atau kalau tidak mau berbuat demikian, kau boleh pergi dari sini. Jangan banyak bicara! Hem, mengapa aku harus mengalah?”

Can Pek Sin yang tidak dapat sambutan baik dari kedua pihak, lalu memberi penjelasan:

“Aku sedikitpun tidak bermaksud untuk membantu siapapun juga. Enci Leng, aku tahu kau masih membenci aku, tetapi dengarlah dulu keteranganku!”

Sementara itu Thie Po Leng sudah megggunakan satu gerak tipu yang ganas hendak memotong putus lengan Liong Seng Hong, tetapi Liong Seng Hong ternyata juga sangat lihai. Ia sambut serangan itu, dengan satu gerak tipu yang lihai juga, sehingga Thie Po Leng dengan cepat merobah gerak tipunya, dengan demikian kedua senjata lalu saling beradu.

Mereka berdua tidak memperdulikan Can Pek Sin, serangannya semakin ganas, dan pihak manapun yang kurang hati-hati, bisa segera binasa di ujung senjata.

Dalam keadaan demikian Can Pek Sin juga tidak berdaya untuk memisahkan mereka, tiba-tiba ia berseru:

“Enci Leng, tahukah kau bahwa Yaya sudah meninggal? Sebelum menutup mata Yaya telah berpesan menyuruhku menyampaikan kata-kata kepadamu. Pandanglah muka Yayamu. Ikut aku pulang untuk bersembahyang bersama-sama di hadapan kuburannya!”

Thie Po Leng malam itu sejak lari dari rumahnya secara diam-diam, dianggapnya Lauw Bong pasti sudah binasa di bawah golok Yayanya. Ia tidak tahu kedatangan Touw Goan yang turut campur tangan, sehingga tentang kematian Yaya nya itu sedikitpun tidak ada dalam pikirannya.

Selama hampir setengah tahun ia merantau di dunia Kang-ouw, oleh karena ia masih terang terlalu muda lagi pula cantik parasnya, maka merasa segan bergaul dengan segala orang Kang-ouw. Dengan demikian sudah tentu sedikitpun tidak mengetahui berita tentang diri Lauw Bong dan kematian Yayanya.

Walaupun dalam hatinya boleh dikata masih membenci Yaya nya, tetapi perasaan kasih sayang antara cucu dan kakek, biar bagaimana masih ada. Selama dalam pengembaraannya itu hampir setiap malam mengucurkan air mata jikalau mengingat peristiwa yang menyedihkan yang terjadi di rumah tangganya.

Maka saat itu, ketika dengan secara mendadak mendengar kabar kematian kakeknya, benar-benar bagaikan disambar geledek, seketika itu juga ia hampir jatuh pingsan.

“Dengan cara bagaimana Yaya meninggal? Apakah terbinasa di tangan Lauw Bong dan ayahnya?” demikian ia bertanya.

Dalam keadaan demikian sudah tentu ia tidak mendapat kesempatan untuk meminta keterangan yang lebih jelas, karena pikirannya bingung, sehingga ilmu pedangnya juga lalu kalut!

Liong Seng Hong yang sedang memusatkan pikirannya ke dalam pertempuran itu, maka tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Can Pek Sin. Saat itu ia sedang menggunakan salah satu gerak tipu untuk menyerang lawannya. Karena tidak terburu menarik kembali serangannya itu, goloknya meluncur menyerang Thie Po Leng.

Thie Po Leng yang mulai kalut serangannya, terbuka lowongan, sehingga golok hampir menembusi dadanya. Untung Can Pek Sin bertindak dengan cepat, ia sudah menghunus pedangnya untuk menangkis golok Liong Seng Hong itu.

Liong Seng Hong yang masih marah lalu membentak:

“Bagus, kalian enci adik boleh maju serentak! Hem, Thie Po Leng, kau sungguh hebat sampai dapat menundukkan dua hati orang lelaki, sehingga semuanya rela berkorban untukmu.”

Can Pek Sin menahan golok Liong Seng Hong, dengan perasaan agak mendongkol ia berkata: “Nona Liong, enci Leng sedang mendengar berita duka, bagaimana kau masih menghinanya?”

Liong Seng Hong mendadak tersadar, kini ia baru mengetahui apa sebabnya ilmu pedang Thie Po Leng menjadi kalut dengan mendadak. Meskipun dalam hati Liong Seng Hong merasa malu, tetapi mulutnya tidak mau mengaku salah, ia malah balas menanya:

“Apa kau kata? Aku sama sekali tidak mengerti?”

Thie Po Leng yang sedang berduka, sudah tentu tidak mempunyai pikiran untuk menanggapi perempuan itu. Ia ingin segera berada di hadapan kuburan Yaya nya untuk menangis sepuas-puasnya.

Pada saat itu, otaknya terlintas kejadian-kejadian di mana dahulu Yaja nya pernah mendesaknya supaya menikah dengan Can Pek Sin, dalam hatinya berpikir: Yaya sudah meninggal bagaimana aku harus pulang, tetapi aku tidak bisa pulang bersama-sama Pek Sin. Yaya, maafkan cucumu yang tidak berbakti, tidak dapat menuruti perintahmu.

Can Pek Sin selagi menahan golok Liong Seng Hong, tidak memperhatikan apa yang dipikirkan oleh Thie Po Leng, sementara itu Thie Po Leng sudah menggunakan kesempatan tersebut untuk lari meninggalkan dirinya.

Tetapi sebelum lari jauh, tiba-tiba terdengar suara orang membentaknya:

“Jangan lari, berandal perempuan yang berani mati. Apakah kau pikir masih bisa kabur?” Kemudian terdengar pula orang berkata sambil tertawa:

“Soa Pangcu, bukan perempuan ini, melainkan perempuan yang bersenjatakan golok itu. He! pemuda yang bersama-sama dengannya itu bukankah si bocah she Can itu? Bagaimana mereka agaknya sedang berkelahi?”

Can Pek Sin yang saat itu telah mendengar pembicaraan dua orang itu, diam-diam terkejut ketika ia berpaling ke arah mereka. Ia segera dapat melihat bahwa orang yang merintangi Thie Po Leng itu bukan lain dari pada Soa Thiat San dan Siu Gouw. Kiranya daerah itu termasuk daerah kekuasaan golongan Soa Thiat San. Kedatangan Liong Seng Hong dan Thie Po Leng di tempat itu sudah diketahui oleh mata-mata Soa Thiat San, sehingga segera dilaporkannya.

Soa Thiat San yang hendak membuat perhitungan terhadap Liong Seng Hong segera datang sendiri bersama Siu Gouw yang dahulu dilukai oleh Liong Seng Hong.

Siu Gouw berkata pula sambil tertawa terbahak-bahak:

“Bukankah ini lebih baik? Sebetulnya kita hendak satu orang, sebaliknya kini dapat menangkap tiga. Perempuan itu boleh juga, toako, apakah kau tiada berminat terhadapnya?”

“Benar, bocah she Can ini juga musuh kita. Perempuan ini kalau bukan kawan bocah itu, tentunya kawan bandit perempuan itu. Kau tangkap dia, aku nanti hadiahkan kepadamu.”

Thie Po Leng meski pikirannya tidak kalut tetapi tentang pembicaraan dua orang itu, yang bermaksud hendak menangkap dirinya, ia masih tahu. Seketika itu ia menjadi gusar, maka waktu Siu Gouw maju menghampirinya, segera ditikam dengan pedangnya.

Siu Gouw yang menggunakan golok besar dan berat, segera menangkis pedang Thie Po Leng, kemudian mengulur tangannya hendak menangkap diri nona itu.

Thie Po Leng memutar pedangnya menyerang tangan Siu Gouw.

Siu Gouw yang hendak menggunakan gerak tipu tangan kosong merebut senjata lawannya hampir saja tangannya tertikam oleh ujung pedang.

Ia terpaksa menarik kembali tangannya dan melawan dengan goloknya. Hanya beberapa jurus saja telah dapat kenyataan bahwa ilmu pedang Thie Po Leng mulai kalut, maka ia berpikir hendak menangkapnya lagi.

Tetapi di luar dugaannya, selagi sudah hendak berhasil menangkap dirinya, Thie Po Leng tiba-tiba melancarkan serangannya dangan satu gerak tipu yang luar biasa bagusnya, sehingga hampir saja ia tertikam lagi. Terpaksa diurungkannya niatnya dan melawan lagi dengan goloknya. Ia merasa sangat heran, mengapa ilmu pedang perempuan itu sebentar bagus dan sebentar kalut?

Kiranya Thie Po Leng yang pikirannya masih kalut, sudah tentu ilmu pedangnya juga menjadi kalut, tetapi orang yang belajar ilmu silat, setiap kali menghadapi bahaya, dengan sendirinya segera timbul pikirannya untuk berbuat sedapat mungkin untuk melindungi dirinya. Itulah sebabnya, setiap kali berada dalam bahaya, segera mengeluarkan gerak tipunya yang luar biasa.

Karena Siu Gouw juga merupakan salah seorang yang terkuat di dalam golongan Soa Thiat San. Kalau di waktu biasa, mungkin Thie Po Leng juga tidak mudah menjatuhkannya. Apalagi kini dalam keadaan pikiran kalut, sudah tentu ia agak dirugikan kedudukanya. Meskipun beberapa kali ia berhasil menghindarkan dirinya tertangkap oleh Siu Gouw, tetapi biar bagaimaan agak sulit untuk bertahan lebih lama, maka dalam beberapa jurus lagi, keadaannya sudah sangat berbahaya.

Sekarang mari kita lihat Can Pek Sin. Ketika menyaksikan enci Leng nya dipegat oleh orang-orangnya Soa Thiat San, sudah tentu tidak banyak bicara lagi dengan Liong Seng Hong. Ia segera menarik kembali pedangnya dan lari memburu ke arah enci Lengnya.

Kedatangan Can Pek Sin tepat pada waktunya, dengan pedangnya ia sudah berhasil mendesak mundur Siu Gouw, sehingga Siu Gouw tidak bisa berbuat apa-apa lagi terhadap Thie Po Leng.

Dan anak buah Soa Thiat San segera memberi bantuannya, dengan demikian Thie Po Leng dan Can Pek Sin harus menghadapi tiga lawannya.

Pada saat itu seorang yang berdiri di samping Soa Thiat San berkata dengan suara serak: “Kiranya bocah ini lagi. Bocah ini sesungguhnya suka campur tangan urusan orang lain!” Logat suaranya menandakan orang itu bukan orang daerah Tiong-goan. Can Pek Sin yang mendengar suara itu segera menengok ke arahnya, ternyata adalah Thay Lok dari Hwee-kie yang pernah melukai Li Hong Chun dengan ilmunya Hu-kut-ciang.

Bukan kepalang terkejutnya Can Pek Sin, tetapi sudah terlanjur menghadapinya, terpaksa tidak memikirkan akibatnya lagi.

Soa Thiat San berkata sambil tertawa:

“Apakah tuan kenal dengan bocah ini?”

“Hem, hem, bocah ini masih belum pantas menjadi tandinganku, tetapi kalau Pangcu ingin aku menangkapnya, boleh saja aku sediakan tenaga.”

“Untuk memotong ayam perlu apa harus menggunakan golok besar? Hanya beberapa anak-anak tingkatan muda, bagaimana aku berani minta tuan bantu mengeluarkan tenaga? Sudah cukup tuan menyaksikan pertunjukkan saja.”

Kiranya Soa Thiat San yang dulu pernah kenal dengan Thay Lok, ketika mengetahui Thay Lok menuju ke daerah Kang-lam mengejar Cho Peng Goan, ia segera mengundangnya untuk menghadapi Khong-khong Jie.

Anak buah Soa Thiat San yang dibawa malam itu, hanya Siu Gouw yang terhitung berkepandaian cukup tinggi, karena semula dianggapnya hanya untuk menangkap Liong Seng Hong seorang saja. Sudah tentu tidak perlu membawa orang banyak-banyak. Kalau ia mengajak Thay Lok bersama-sama maksudnya hanya menjaga diri Khong-khong Jie yang suka muncul secara tidak terduga-duga.

Saat itu setelah Siu Gouw sudah bertempur dengan Can Pek Sin, karena ia khawatir anak buahnya tidak sanggup melawan, sehingga ditertawakan Thay Lok, maka ia terpaksa bertindak sendiri menangkap Liong Seng Hong.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar