Jiwa Ksatria Jilid 09

 
Dalam hati Tok-kow Ing merasa sangat pilu. Ia menahan air matanya jangan sampai mengalir turun, sambil mengeluarkan sedikit makanan kecil, ia berkata,

“Harap kalian maafkan yang aku tidak dapat menanak nasi bagi kalian, makanlah sedikit dendeng daging ini sebagai santapan malam.”

“Bibi tak usah repot mengurus kita, harap kau suka memberitahukan persoalannya,” berkata Tiat Leng. “Kalian telah melihat peti mati dalam kamar itu bukan?”

“Siapakah yang meninggal dunia dalam rumah ini?”

“Kalau kuceritakan. orang yang meninggal dunia ini tentu sudah dikenal oleh saudara Can. Ia adalah itu orang yang pernah menjadi tetanggamu di lembah Phoan-liong-kok, dan yang pernah hendak merampas harta benda kakek luarmu, Lauw Cin!”

Jawaban itu sesungguhnya di luar dugaan Can Pek Sin, untuk sesaat ia terperanjat, kemudian baru berkata: “Bagaimana Lauw Cin bisa meninggal di sini? dan di mana Lauw Bong, itu anaknya, sekarang berada?”

“Lauw Bong sebetulnya juga berdiam disini. Beberapa hari berselang baru berlalu. Ia juga tidak tahu kalau ayahnya sudah binasa. Em, em, Lauw Bong juga menceritakan dirimu kepada kita, katanya mereka ayah dan anak adalah orang-orang yang sangat dibenci oleh Thie kong-kongmu, tetapi sebaliknya ia memuji kau ada harganya sebagai kawan.”

Berkata sampai di situ, ia berdiam, matanya menatap Can Pek Sin.

“Aku percaya Lauw Bong bukan seorang jahat, meskipun ada sedikit perselisihan paham, tetapi aku tidak membencinya,” berkata Can Pek Sin.

Tok-kow Ing agaknya merasa lega, ia lalu berkata,

“Itu baik, kalau begitu tidak halangan aku ceritakan kepadamu. Terjadinya peristiwa ini justru timbul karena usaha Lauw Cin dan anaknya yang ingin merampas harta benda peninggalan kakek luarmu ini.”

Can Pek Sin terkejut, ia berkata:

“Apakah kematian Lauw Cin karena luka-lukanya yang berat itu?”

Memang dalam pertempuran malam itu, Lauw Cin terluka parah, sedang dalam pertempuran yang kalut itu, Can Pek Sin juga pernah memberikan tikaman dua kali kepadanya. Mengingat kejadian itu, hatinya merasa menyesal.

Tok-kow Ing berkata pula sambil geleng-gelengkan kepala:

“Bencana ini terjadi karena soal perampasan harta benda itu, tetapi kematian Lauw Cin bukanlah karena lukanya malam itu. Sebelum aku menjelaskan urusan ini, lebih dahulu aku akan menceritakan asal mulanya.

“Kalian tentunya juga merasa curiga, apa sebab kakakku bisa bekerja sama dengan Lauw Cin untuk merampas harta kekayaan itu?

“Kakakku mempunyai dua saudara angkat, yang satu adalah Lauw Cin yang lain adalah Hee Kauw Ing, yang waktu dalam belakangan ini, mendirikan kekuatan sendiri di kalangan rimba hijau. Lauw Cin paling tua, Hee Kauw Ing nomor dua dan kakakku yjang termuda dalam urutan itu.

Hee Kauw Ing yang disebut oleh Tok-kow Ing tadi adalah orang baru muncul sesudah diadakan pertemuan besar antara orang-orang dari kalangan rimba hijau. Ia tidak mempunyai tempat tetap, tetapi mempunyai caranya yang tersendiri untuk melakukan gerakannya.

“Mereka orang-orang golongan rimba hijau ini kebanyakan memilih tempat-tempat perbatasan dengan kota-kota besar sebagai daerah operasinya. Oleh karena di antara kepala daerah satu tempat dengan kepala daerah lain tempat, selalu saling berebut pengaruh dan kekuasaan, sehingga sering timbul bentrokan sendiri, bahkan baku hantam untuk merampas kekuasaan.

“Hal ini memberi kesempatan baik bagi operasi orang-orang itu. Di mana terjadi bentrokan itu, mereka lalu menggunakan kesempatan tersebut untuk melakukan perampokan kepada orang-orang yang kaya dan orang-orang dari pembesar negeri. Setelah berhasil lalu angkat kaki, dengan demikian tentara negeri susah menangkapnya.

“Orang-orang gagah yang selalu bermusuhan dengan tentara negara yang korup itu, dianggapnya sebagai musuh negara dan disebut sebagai penyamun.

“Nama Hee Kauw Ing cukup dikenal oleh tentara kerajaan, karena usahanya sering membuat kepala- kepala daerah dan kepala pasukan tentara kerajaan sakit kepala. Selama beberapa tahun ini anak buahnya dapat kemajuan pesat, walaupun belum dapat dibandingkan Tiat Mo Lek, tetapi juga merupakan pasukan tenaga kuat dari golongan rimba hijau.

“Hee Kouw Ing masih tetap menganggap Tiat Mo Lek sebagai Beng-cu rimba hijau, tetapi sebenarnya pengaruh Tiat Mo Lek masih belum dapat menguasai dirinya. Tiat Leng juga pernah mendengar ayahnya pernah menyebut nama itu, dan pernah memujinya sebagai salah seorang gagah dari kalangan rimba hijau.

Tok-kow Ing setelah berdiam sejenak lalu berkata pula:

“Mereka bertiga satu sama lain sangat cocok, agaknya ingin melakukan suatu usaha besar. Mereka menganggap Tiat cecu hanya berdiam dan menjaga pengaruh kekuasaannya sendiri, kekurangan semangat dan ambisi untuk melakukan cita-citanya yang besar. Mereka tidak setuju tindakan Tiat cecu itu, maka ingin melakukan sendiri usaha dan cita-cita besarnya. Namun demikian mereka juga tidak menentang ayahmu. Mereka ingin setelah berhasil mendirikan kekuatannya, segera berunding dengan ayahmu untuk rencana selanjutnya.

“Tindakan mereka dan pandangan mereka sangat berlainan dengan ayahmu. Aku seorang bodoh, aku tidak dapat mengatakan siapa yang benar dan siapa yang salah. Aku hanya ingin minta nona Tiat, supaya keinginan dan cita-cita mereka itu kau beritahukan kepada ayahmu.”

Tok-kow Ing khawatir Tiat Mo Lek timbul salah paham terhadap kakaknya, maka terlebih dahulu ia menjelaskan duduk perkaranya soal perampasan harta benda itu. Siasatnya Tok-kow Ing ini sudah tentu tidak dapat dimengerti oleh Tiat Leng yang masih muda, maka seketika itu ia lalu terima baik dan mengangguk-anggukkan kepalanya.

Tok-kow Ing selanjutnya berkata pula:

“Pasukan Hee Kauw Ing ini terpencar dimana-mana, kadang-kadang mereka juga mengalami kesulitan. Dalam tahun-tahun belakangan ini mereka telah menduga bahwa harta kekayaan peninggalan Ong Pek Thong, mungkin berada di lembah Phoan-liong-kok, maka mereka mencari akal, menyuruh Lauw Cin mengundurkan diri dari rimba hijau. Kemudian berpindah ke lembah Phoan-liong-kok sebagai tempat tinggalnya untuk mengasingkan diri, tetapi tujuannya sebetulnya ialah hendak mengambil harta kekayaan itu.”

Can Pek Sin menghela napas panjang, kemudian berkata:

“Lauw Cin ayah dan anak sesungguhnya juga cukup menderita. Sayang mereka tidak mau berbicara kepadaku, andaikata ia mau menceritakan maksudnya padaku, aku bagi kepada mereka setengah dari harta kekayaan itu, juga tidak berarti apa-apa.”

Tiat Leng lalu berkata sambil tertawa:

“Kau sungguh baik hati dan royal, tetapi apakah Thie kong-kongmu itu idzinkan kau berbuat, demikian?”

Sementara itu dalam hati Tiat Leng merasa heran, Lauw Bong sudah merampas tunangannya mengapa ia agaknya sedikitpun tidak membenci Lauw Bong. Apakah terhadap perbuatan Thie Po Leng yang sudah mencinta orang lain dianggapnya sepi saja?

Tok-kow Ing tidak mempunyai pikiran untuk membicarakan urusan Lauw Bong, ia melanjutkan kata- katanya:

“Kakakku meskipun angkat saudara dengan Hee Kauw Ing, tetapi urusan ini masih belum diketahui oleh orang luar, kakakku juga belum terjunkan diri ke kalangan rimba hijau secara terang-terangan. Di kalangan Kang-ouw ia masih tetap merupakan seorang pendekar yang suka merantau. Setelah Lauw Cin berpindah dan berdiam di lembah Phoan-liong-kok, kakakku lantas bertugas sebagai penghubung antara ia dengan Hee Kauw Ing.

“Kali ini kakakku diam-diam datang ke lembah Phoan-liong-kok, menemui Lauw Cin. Kebetulan Lauw Cin mendapatkan gambar peta tempat disembunyikan harta kekayaan itu. Kakakku terpaksa bekerja dengannya. Di luar dugaan, usaha mereka hendak merampas harta kekayaan itu ternyata tidak berhasil, bahkan Lauw Cin dan anaknya terluka parah.

“Kakakku mengantar mereka pergi dari lembah itu. Sebetulnya hendak diantar ke tempat kediaman Hee Kauw Ing. Tetapi jejak Hee Kauw Ing tidak menentu, cuma diketahui daerah operasinya yang letaknya sangat jauh, apalagi setelah tiba di tempat itu belum tentu dapat menemukannya. Saat itu, di kalangan Kang-ouw sudah tersiar kabar bahwa Lauw Cin telah mengawinkan anaknya dengan cucu perempuan Thie Sui dan mendapat bagian setengah dari hartanya. Lauw Cin dahulu merupakan berandal besar di kalangan Kang-ouw, dengan sendirinya mempunyai musuh tidak sedikit, ditambah lagi dengan berita bohong yang tersiar luas itu sehingga ada orang yang mengejar jejak mereka.”

Can Pek Sin dalam hati lalu berpikir: Kabar angin itu mungkin disiarkan oleh Touw Goan. Kabar angin itu meskipun tidak sesuai dengan keadaannya yang sebenarnya, tetapi juga masih ada sumbernya.

Sementara itu Tok-kow Ing sudah melanjutkan penuturannya lagi:

“Kakakku menganggap tidak mempunyai cukup kekuatan untuk melindungi Lauw Cin dan anaknya, sampai ke tempat Hee Kauw Ing, maka terpaksa mengantar mereka ke rumah kita yang letaknya paling dekat. Ia menjelaskan duduk perkaranya, dan minta kita supaya sudi menerima mereka, agar mereka merawat luka-lukanya.

“Kakakku khawatir bahwa soal perampasan harta kekayaan itu, akan menimbulkan salah paham Tiat cecu, maka ia minta kita suami istri menjual muka, mengundang ayahmu kemari. Surat undangan itu aku kirim dua hari kemudian setelah Lauw Cin berada di rumah kita.”

Tiat Leng dalam hati lalu berpikir: Dugaan To kong-kong ternyata tidak meleset. Tetapi ta tidak menyangka bahwa Lauw Cin dan anaknya berdiam di sini merawat dirinya.

Tok-kow Ing berkata pula:

“Setelah kakak meninggalkan Lauw Cin dan anaknya tinggal di rumah kita, dengan seorang diri ia pergi mencari Hee Kauw Ing. Sebetulnya ia sudah berkata akan kembali dalam waktu satu bulan, tetapi hingga sekarang masih belum kelihatan ia pulang.

“Luka Lauw Cin sangat parah, luka Lauw Bong agak ringan. Kira-kira setengah bulan merawat diri di rumah kita, lukanya sudah sembuh. Lauw Bong melihat kakak belum pulang, hatinya merasa cemas, maka ia segera pergi menyusul untuk mencari kabar. Sampai pada tiga hari berselang, luka Lauw Cin sebagian sudah sembuh, tetapi pada malam harinya, telah kedatangan musuh besarnya!”

“Siapakah musuh besar Lauw Cin itu?” demikian Can Pek Sin bertanya.

“Seorang memakai kerudung di mukanya yang mempunyai kepandaian yang tidak dapat kita ketahui dari golongan mana.

“Malam itu, secara tiba-tiba seorang memakai kerudung telah datang di rumah kita, ia kata hendak menemui paman Li mu. Kita tidak mengijinkan ia masuk rumah, terpaksa keluar untuk menjumpainya. Waktu itu kita masih mengira sahabat dari dunia Kang-ouw yang datang hendak meminjam uang, siapa tahu bahwa dugaan kita itu ternyata meleset.

“Orang berkerudung itu begitu bertemu muka dengan kita lalu berkata: Aku sudah tahu bahwa Lauw Cin dan anaknya merawat diri di sini, harap kalian mau menyerahkannya.

“Pamanmu sudah menolak. Orang berkerudung itu tertawa dingin, ia juga tidak berkata apa-apa sebaliknya sudah mengunjukkan kepandaiannya yang mengejutkan. Pertama dengan ilmunya Kim-kong- ciang ia menghancurkan dua singa batu kita, setelah itu ia mengayunkan tangannya menghajar pohon Kui yang besar itu.

“Malam itu, rembulan terang. Dia setelah memukul pohon tersebut, tidak antara lama daun pohon rontok- rontok berterbangan, beherapa di antaranya melayang di depan kita, sehingga kita dapat melihat dengan jelas bahwa daun pohon itu semua sudah menjadi layu.”

Can Pek Sin yang berpengetahuan luas berbagai pelajaran ilmu silat, segera berkata dengan perasaan terkejut:

“Apakah itu dilakukan oleh seorang saja? Kalau begitu kepandaian orang itu benar-benar sukar dijajaki.”

“Serangan ilmu tangan kosong orang itu meskipun hebat, tetapi juga belum tentu perlu ditakuti, apakah ia bisa menangkan kepandaian Hoa Ciong Tay dan ayahku!” demikian Tiat Leng berkata. “Bukan begitu maksudku. Kau harus tahu bahwa ilmu Kim-kong-ciang itu adalah salah satu kepandaian golongan Budha. Sebetulnya berasal dari Siao-lim-pay, merupakan salah satu ilmu silat dari tiga ilmu silat terhebat golongan Siao-lim, juga merupakan pukulan tangan yang paling keras. Sebaliknya pukulan yang diarahkan kepada pohon besar itu, adalah salah satu pukulan tangan yang paling ganas dalam golongan sesat, ilmu pukulan itu dinamakan Hu-kut-ciang.

“Satu dari golongan Budha dan satu dari golongan sesat, yang satu keras dan yang lain lunak. Ayahku yang berpengetahuan begitu luas tentang ilmu silat juga belum pernah mengatakan ada seorang yang mahir dalam dua macam ilmu silat yang sifatnya berlainan itu. Pantas paman Li kata tidak dapat mengenali asal usul kepandaiannya,” berkata Can Pek Sin.

Tok-kow Ing lalu berkata:

“Apabila saat itu Tiat cecu berada di sini, belum tentu dikalahkan olehnya. Tetapi bagi kita telah mengerti bahwa kepandaian kita tidak sanggup menghadapinya.

“Orang berkerudung itu setelah mempertunjukkan dua rupa kepandaiannya kembali mengancam kepada kita: Apakah kalian mau seperti daun pohon atau singa batu itu? Jikalau kalian tidak mau, maka aku nasehati kalian supaya menyerah kan Lauw Cin! Maksud orang itu sudah jelas, ia dapat menggunakan ilmu kim-kong-ciang nya untuk meremukan batok kepala kita, atau melukai tubuh dalam kita dengan ilmu Hu-kut-ciang yang harus mengalami nasib bagaikan daun pohon itu yang rontok perlahan-lahan dan akhirnya binasa!”

“Kita mengerti bahwa kita bukan tandingannya tetapi juga tidak mau manda diancam begitu saja. Maka kita tetap menolaknya.

“Selagi kita sudah siap hendak bertempur dengannya, tiba-tiba Lauw Cin keluar sambil berkata:

“Aku si orang she Lauw ada disini, ku hendak bunuh atau hendak cingcang terserah kepadamu, tetapi kau jangan persulit sahabatku ini!”

“Pamanmu sudah tentu tidak membiarkan orang itu menangkap Lauw Cin, maka ia lalu berdiri merintangi di hadapan Lauw Cin. Tidak diduga justru pada saat itulah telah terjadi suatu peristiwa yang menyedihkan.”

Can Pek Sin dan Tiat Leng meski sudah tahu bagaimana akhirnya, tetapi ketika mendengar cerita ke bahagian yang amat tegang itu, masih khawatir, maka segera bertanya:

“Apakah yang telah terjadi?”

“Lauw Cin setelah mengatakan tunggu dulu, segera menghunus goloknya dan secara tiba-tiba ditusukan ke dadanya sendiri.”

Can Pek Sin dan Tiat Leng terkejut, sehingga berseru serentak:

“Jadi Lauw Cin telah bunuh diri?”

Mereka hanya mengira bahwa Lauw Cin terbunuh oleh orang berkerudung itu maka perbuatan Lauw Cin itu sesungguhnya di luar dugaan mereka.

Tok-kow Ing menghela napas, ia berkata pula:

“Benar kepandaian orang berkerudung itu terlalu tinggi, Lauw Cin tahu bahwa ia tidak dapat bersembunyi lagi. Karena ia tidak ingin kita terbawa-bawa oleh urusannya, juga tidak ingin dirinya sendiri terjatuh di tangan orang itu, maka ia mengambil keputusan untuk menghabiskan jiwanya sendiri.

“Kami suami isteri tidak sempat memberi pertolongan. Sebelum menarik napasnya yang penghabisan Lauw Cin masih bisa berkata dengan suara bengis: Seorang gagah melakukan suatu perbuatan harus berani bertanggung jawab. Kau bermusuhan dengan aku, sekarang aku serahkan jiwaku kepadamu, tentunya kau sudah merasa puas.

“Li tayhiap dengan aku merupakan sahabat yang baru kenal, hanya karena belas kasihnya, ia telah memberikan tempat kepadaku untuk merawat luka-lukaku. Sebetulnya tidak ada sangkut paut sedikitpun juga dengan diriku, maka kau tidak boleh menyusahkannya. Setelah mengucapkan perkataan itu, ia lalu menutup mata.”

Can Pek Sin yang mendengarkan cerita itu, bulu badannya berdiri, dalam hatinya berpikir Lauw Cin ternyata masih setia kawan, tetapi dengan perbuatannya itu belum tentu akan diturut keinginannya oleh musuhnya itu.

Dugaannya Can Pek Sin ternyata benar, karena Tok-kow Ing segera berkata:

“Sayang Lauw Cin telah mengorbankan jiwanya dengan sia-sia. Orang berkerudung itu ternyata malah belum mau mengerti, Baru saja ia putus nyawanya, orang berkerudung itu sudah berkata sambil tertawa terbahak-bahak: Apa kau sudah cukup dengan kematian saja? Mengapa begitu enak? Aku bukan saja menghendaki jiwa Lauw Cin, tetapi yang paling penting adalah harta kekayaan yang didapatkan oleh Lauw Cin secara mudah itu. Ha, ha. ha, Lauw Cin sudah mati tetapi masih ada kalian, di mana adanya harta kekayaan, sekarang aku akan bertanya kepada kalian!

“Aku menerangkan kepadanya bahwa kita tidak mengetahui harta kekayaan itu, tetapi orang itu malah berkata: Apakah kau kira aku percaya obrolan Lauw Cin? Dia juga bukan orang yang setia kawan, ia tahu benar tindakanku kejam, karena aku sudah datang kemari, biar bagaimana ia tidak akan dapat lolos dari kematian maka ia berlagak sebagai orang gagah. Kematiannya itu, tentunya ingin supaya aku melepaskan kalian serta menyelamatkan harta kekayaannya itu, ha, ha, ha, apa kalian kiraku bisa terjebak dengan akal buruknya itu?

“Pamanmu sebetulnya sudah sangat murka karena kematian Lauw Cin, dihina pula demikian rupa, bagaimana bisa tahan? Maka akhirnya kita suami istri bertempur dengan iblis itu.

“Sungguh memalukan, dengan berdua kita melawannya seorang diri, tetapi hanya dalam waktu tigapuluh jurus, pamanmu sudah kena serangan orang itu. Pamanmu sebetulnya ingin adu jiwa dengannya, di luar dugaan orang itu tidak bertindak lebih jauh. Setelah melakukan serangan itu segera mengundurkan diri seraya berkata:

“Li Hong Chun, kau sudah terkena seranganku Hu-kut-ciang. Hanya dengan obat pemunahku kau baru bisa hidup. Kuberi waktu tiga hari kepadamu, tiga hari kemudian kau baru bisa mati!”

Dalam hati Can Pek Sin lalu berpikir: Cara yang digunakan oleh iblis itu adalah serupa dengan caranya Hoa lo-cianpwee yang hendak memaksa Tian Sin Cie menyerahkan harta kekayaannya.

Tok-kow Ing melanjutkan:

“Iblis itu bukan saja menggunakan jiwa pamanmu untuk mengancam, bahkan sudah siap dengan tindakannya yang lebih buas dan kejam. Selagi hendak berlalu, ia telah berkata akan datang lagi tiga hari kemudian, ia berkata hendak mengambil harta benda itu dari tangan kita. Jikalau tidak ia hendak membasmi seluruhnya orang-orang dalam rumah tangga kita. Supaya pamanmu hidup sendiri sebagai orang cacat!”

Can Pek Sin yang mendengarkan cerita itu bulu romanya kembali berdiri, dalam hatinya berpikir: Perbuatan iblis itu sungguh kejam.

Karena tidak dapat mengendalikan hawa amarahnya maka lalu berkata:

“Kurang ajar, ini benar benar terlalu menghina. Sekalipun kita harus korbankan jiwa, juga perlu melayani perbuatannya.”

Li Hong Chun segera duduk dan berkata:

“Jangan, kalian harus pergi sebelum jam satu malam.” Tok-kow Ing berkata:

“Ya, kita sudah bertekad hendak mengadu jiwa dengan iblis itu. Kalau kalian turut menjadi korban, belum tentu ada faedahnya, sebaliknya tidak ada orang yang akan menyampaikan kabar kematian kita.” Li Hong Chun lalu berkata pula:

“Kepandaian iblis itu sesungguhnya memang tinggi sekali. Menurut penilaianku, untuk dewasa ini, barangkali hanya ayah Tiat Leng saja yang bisa menandingi. Justru karena takut iblis itu melakukan pembunuhan terhadap orang yang tidak berdosa, maka aku bubarkan semua orang-orangku.

“Bagaimana aku sekarang mengijinkan kalian terbawa-bawa? Aku cuma minta supaya nona Tiat sampaikan kabar kematian kita ini kepada Tiat cecu, minta kepadanya supaya suka menyelidiki siapa adanya iblis itu, lalu memberitahukan kepada adik menantuku, aku sudah merasa sangat bersyukur. Aku juga tidak berani minta Tiat cecu menuntut balas.”

Can Pek Sin masih ingin berbicara, tetapi Tiat Leng diam-diam memberi isyarat dengan matanya, gadis itu lalu berkata:

“Kalan begitu semoga paman dan bibi dilindungi Tuhan, sehingga ada orang yang datang menolong. Sekarang kita meminta diri.”

Tok-kow Ing mengantar mereka sampai di luar pintu, setelah menyaksikan mereka sudah naik di atas kudanya baru menutup pintu lagi.

Tiba di batas desa, Can Pek Sin menghentikan kudanya dan berkata,

“Adik Leng, aku tidak dapat membiarkan orang mati konyol tanpa memberi pertolongan. Sebaiknya kau pulang mengabarkan kepada ayahmu, dan aku hendak pergi memberi pertolongan kepada mereka suami isteri.”

“Kalau mau pergi sudah tentu kita harus pergi bersama. Iblis itu meskipun lihai, tetapi dengan bergandengan tangan kita belum tentu tidak sanggup menghadapinya, ditambah lagi dengan bibi Ing, mungkin dapat memukul mundur iblis itu.

Can Pek Sin berpikir sejenak lalu berkata:

“Biar bagaimana lebih baik ada salah seorang yang tinggal.” Tiat Leng pura-pura marah dan berkata:

“Apa hanya kau seorang yang boleh menjadi orang gagah? Can Toako kau jangan takut kita berdua bergandengan tangan, aku yakin lebih menang dari pada Li Hong Chun, belum tentu kita pasti binasa.”

Karena Tiat Leng berkeras hendak mengawaninya, Can Pek Sin tidak berdaya, maka terpaksa balik bersama-sama. Kuda tunggangan mereka dilepas di tempat pegunungan, lalu balik ke rumah keluarga Li, secara diam-diam mereka naik ke atas pohon besar untuk sembunyikan diri…..

********************

Malam itu cuaca gelap. Can Pek Sin dan Tiat Leng yang sembunyi di atas pohon, entah berapa lama, masih belum melihat bayangan seorang pun juga. Selagi dalam keadaan cemas, Can Pek Sin yang bermata jeli, tiba-tiba dapat melihat di tempat yang sangat jauh ada setitik hitam. Ia lalu berkata dengan suara perlahan:

“Sudah datang! Lekas siap!”

Perasaan Tiat Leng menjadi tegang, dalam tangannya menggenggam segumpal jarum Bwee-hoa-ciam, ia tunggu kalau bayangan orang itu sudah dekat, segera akan diserang kedua matanya dengan jarum itu. Sekalipun tidak akan buta, tetapi juga cukup untuk membuat kuncup hatinya.

Titik hitam itu semakin besar, dalam waktu sekejap mata saja, sudah tampak dengan tegas bayangannya seseorang.

Dalam hati Can Pek Sin berpikir: Kepandaian ilmu meringankan tubuh orang ini bagus sekali, nampaknya masih di atas adik Leng. Apabila tidak mujur aku nanti harus kalah dari tangan musuh kuat itu, mungkin sulit meloloskan diri. Can Pek Sin berpikir demikian bukan karena takut, melainkan memikirkan keselamatan diri Tiat Leng. Ia harap apabila keadaan terpaksa, Tiat Leng bisa kabur dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya dengan seorang diri.

Belum lenyap pikirannya, bayangan hitam itu sudah mendekat, Tiat Leng tiba-tiba berkata dengan suara perlahan:

“Eh, salah, mengapa seorang wanita!”

Pohon besar itu meski daunnya jarang, tetapi karena cuaca gelap, maka dua anak muda yang bersembunyi di atas pohon itu tak mudah dilihat orang.

Kedatangan bayangan wanita itu agaknya sangat tergesa-gesa untuk menjumpai orang di dalam rumah, meski sudah berada di depan pintu, ia belum menghentikan kakinya. Segera melompati dinding tembok dan masuk ke dalam rumah.

Karena orang yang datang itu bukan si Iblis besar musuhnya Tok-kow Ing, maka jarum dalam genggaman tangan Tiat Leng tak jadi digunakan.

Can Pek Sin yang menyaksikan gerakan bayangan wanita itu melompati dinding tembok harus dibantu dengan sebelah tangannya yang menekan tembok, ia sudah tahu bahwa ilmu meringankan tubuh wanita itu cukup sempurna, tetapi tenaganya agak kurang. Maka dalam hatinya segera berpikir: Andaikata orang itu merupakan musuhnya keluarga Li, rasanya bibi Tok-kow Ing masih dapat melayaninya.

Tiat Leng sementara itu berkata sambil berbisik-bisik di telinga Can Pek Sin:

“Heran, kepandaian meringankan tubuh wanita itu sama benar dengan kepandaian yang suhu berikan kepadaku! Aku sedang curiga, apakah wanita itu adalah suciku yang belum pernah ku lihat itu?”

Suhu Tiat Leng sebetulnya mempunyai tiga orang murid. Murid kedua Su Tiauw Ing sudah meninggal dunia, Tiat Leng adalah muridnya yang terakhir, masih ada muridnya yang pertama Liong Seng Hiang, sudah menikah dengan Bok Khong, usianya jauh lebih tua dari pada usia Tiat Leng.

Tentang diri toa-suci ini, Tiat Leng belum pernah melihatnya. Karena ia takut kesalahan mata, maka tidak berani menegur sembarangan.

“Kukira sekarang, sudah liwat jam satu malam, entah jam berapa iblis itu akan datang? “Sebaiknya kau masuk lihat dulu, apakah ia adalah sucimu atau bukan?” berkata Can Pek Sin. “Itu tidak baik, apabila kalau paman Li tahu kita belum pergi, ia nanti akan mengusir kita lagi.”

“Sucimu pasti lebih banyak pengetahuannya. Kalau kau sudah mengenalnya, kita boleh menghadapi musuh bersama-sama.”

Tiat Leng memang sudah lama ingin berjumpa dengan sucinya yang belum pernah dilihatnya itu, tetapi ia takut diusir oleh Li Hong Chun, maka masih merasa sangsi.

Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara siulan panjang. Sebelum suara itu lenyap, seorang berkerudung sudah berada di bawah pohon, kecepatan bergerak orang itu jauh lebih hebat daripada perempuan itu tadi.

Tiat Leng khawatir kesalahan menyerang orang yang tidak berdosa, selagi hendak menegasi urang itu lelaki atau perempuan. orang yang sudah berada di bawah pohon tiba-tiba mendongakkan kepala sambil membentak:

“Siapa yang berada di atas pohon? Lekas turun!”

Tiat Leng dapat dengar itu adalah suaranya orang lelaki, segera menyerang dengan jarumnya.

Sebentar kemudian nampak berkeredepnya sinar emas, entah dengan cara bagaimana orang itu menggunakan tangannya, segumpal jarum itu sudah melesat membalik ke arah Tiat Leng. Untung kepandaian meringankan tubuh Tiat Leng dan Can Pek Sin hebat. Begitu melancarkan serangannya, badannya segera melesat ke atas dan melompat turun dari atas pohon, sehingga jarum itu menancap di atas pohon.

Orang berkerudung itu lalu berkata sambil tertawa terbahak-bahak:

“Aku kira Li Hong Chun mengundang orang yang berkepandaian tinggi bagaimana, tidak tahu nya hanya kau bocah yang masih bau air susu.”

Belum lagi menutup mulutnya, Can Pek Sin sudah membalikkan badan di tengah udara, dengan menggunakan gerak tipu burung rajawali melayang dari udara, menukik turun menikam dengan pedangnya.

Orang itu nampaknya sangat terperanjat, ia berkata:

“Eh, dalam usia yang masih begini muda, ternyata sudah bisa menggunakan ilmu yang meniru gaya binatang terbang, sesungguhnya tidak kuduga. Can Goan Siu pernah apa dengan kau?”

Orang berkerudung itu meski mulutnya berbicara, tetapi tangannya mengeluarkan serangan yang diarahkan ke udara. Serangan Can Pek Sin oleh karenanya telah terhalang, sehingga ujung pedangnya sedikit miring dan luput mengenakan sasarannya.

Orang itu maju setindak, mendahului gerakan Can Pek Sin, hendak menyambar mata kaki sebelum Can Pek Sin menginjak tanah.

Perhitungannya ternyata sangat jitu, ia berdiri tepat di belakang punggung Can Pek Sin. Pada saat itu Can Pek Sin terpisah dengan tanah satu tombak lebih, di dalam posisi demikian sudah tentu sulit untuk jumpalitan lagi ke atas, untuk mengelakkan sambaran tangan musuhnya.

Untung ilmu meringankan tubuh Tiat Leng hebat sekali, meskipun bergerak belakangan, tetapi tiba lebih dulu. Selagi tangan orang itu hendak menyambar kaki Can Pek Sin, Tiat Leng sudah menggerakan gerak tipu burung gereja menerkam tonggeret, menikam belakang orang itu dengan ujung pedangnya.

Orang berkerudung itu ternyata hebat sekali kepandaian ilmu silatnya, begitu terdengar di belakang dirinya ada hembusan suara angin, sudah tahu kalau Tiat Leng hendak menikam jalan darah Thian-cu-hiat. Jalan darah itu adalah salah satu jalan darah kematian bagi manusia. Sekalipun orang berkerudung itu sudah melatih ilmu menutup jalan darah, juga tidak berani membiarkan dirinya ditikam.

Dalam keadaan demikian terpaksa ia menggeser sedikit kakinya dan mengebutkan lengan bajunya untuk menangkis pedang Tiat Leng, hingga lengan bajunya itu berlobang.

Ujung pedang Tiat Leng seperti menyentuh barang keras, hingga mental balik. Kalau ia tidak lekas tarik kembali serangannya, ujung pedang pasti akan melukai jidatnya.

Kedua pihak bergerak dengan cepat, baru saja orang berkerudung itu menangkis serangan Tiat Leng, kaki Can Pek Sin sudah menginjak tanah, ia lalu menggerakan pedangnya membabat pinggang orang itu.

Orang berkerudung itu sambil mengeluarkan bentakan: “Ilmu pedang bagus sekali!” mendadak sudah geser kakinya dan membalikkan badannya, jari tangan telunjuknya menyentil, tepat mengenakan ujung pedang Can Pek Sin, bersamaan dengan itu, lengan bajunya juga sudah berhasil menyingkirkan serangan Tiat Leng.

Pergelangan tangan Can Pek Sin dirasakan panas, ia terperanjat, dalam hatinya berpikir: Kepandaian orang ini nampaknya tidak di bawah Hoa lo-cianpwee.

Tetapi ia tidak takut, segera maju menyerang lagi.

Orang itu tidak berhasil mementalkan pedang Can Pek Sin, agaknya juga merasa heran. Ia berkata sambil tertawa: “Kalian berdua bocah ini ternyata mempunyai kepandaian yang cukup berarti, aku sebetulnya tidak suka melayani orang-orang yang namanya belum terkenal. Tetapi malam ini berlaku kecualian, untuk memberi kesempatan bagi kalian mencoba-coba beberapa jurus.

Ucapan orang itu sangat sombong, tetapi kepandaiannya, memang juga tinggi sekali. Dengan sepasang tangan kosong, ia menghadapi dua pedang Can Pek Sin dan Tiat Leng. Hanya dalam waktu sepuluh jurus, sudah berhasil mendesak Can Pek Sin dan Tiat Leng sedemikian rupa, sehingga cuma bisa menangkis saja.

Tetapi ilmu pedang Can Pek Sin yang sangat ganas dan ilmu pedang Tiat Leng yang sangat aneh, semua merupakan ilmu pedang kelas wahid yang jarang tampak di dunia Kang-ouw, maka orang itu juga tidak berani pandang ringan.

Dengan ilmu Kim-kong-ciang orang itu mendesak Can Pek Sin, kemudian berkata kepada Tiat Leng sambil tertawa:

“Kau bocah perempuan ini murid siapa? Lekas kau terangkan, supaya jangan kesalahan tangan!”

“Kau perduli apa aku murid siapa? Kau hendak mencelakakan diri paman Li, maka aku hendak mengadu jiwa denganmu,” jawabnya Tiat Leng.

“Meski kau tidak mau menerangkan, aku juga dapat menduga asal usulmu. Ilmu pedangmu ada beberapa jurus adalah ilmu pedang keluarga Toan yang dinamakan Hui-liong-kiam-hoat. Toan Kui Ciang cuma mempunyai seorang anak lelaki, tidak mempunyai anak perempuan. Yang lain hanya Tiat Mo Lek yang mengerti ilmu pedang Hui-liong-kiam-hoat itu. Maka kau pastilah anak perempuan Tiat Mo Lek.”

Ia hanya mengenali ilmu pedang Hui-liong-kiam-hoat Tiat Leng, tetapi tidak dapat melihat ilmu pedang pelajaran Sin Cie Kow.

“Kalau benar mau apa? Kalau kau takut ayahku, kau harus lekas menyingkir dari sini!”

“Aku justru hendak memancing ayahmu datang kemari, untuk menguji kepandaiannya. Baiklah karena kau adalah anak Tiat Mo Lek, aku boleh ambil kau menjadi murid. Setelah kau angkat aku menjadi guru, kau nanti bisa tahu sendiri bahwa kepandaianku lebih tinggi dari pada kepandaian ayahmu!”

“Omong kosong! Jangan kata kepandaianmu yang pasti tidak akan memenangkan ayahku, taruh kata menang kau mau apa? Sekalipun orang-orang kuat dalam rimba persilatan sudah mati semua, aku juga tidak sudi angkat kau satu iblis golongan sesat sebagai guru.”

Orang itu tertawa terbahak-bahak, kemudian ia berkata:

“Ayahmu adalah kepala berandal, dengan aku sebetulnya juga hampir sama. Ada orang mengatakan bahwa dia adalah satu pendekar, tetapi juga ada yang mengatakan ia satu iblis. Perbedaannya antara yang baik dan yang jahat memang sangat sulit.

“Harus ditilik siapakah orangnya yang mengatakan dia ‘iblis’, orang jahat semacammu ini sudah tentu bisa mengatakan ayahku sebagai iblis.”

“Dalam usia yang begini muda, kau ternyata pandai bicara! Kau begini keras kepala apakah kau tidak takut mati?”

“Kalau takut mati kita tidak akan menemui kau di sini. Lihat pedang!”

Can Pek Sin yang sudah mundur, maju lagi, dua anak muda itu semua sudah bertekad hendak menempur musuh jahat itu.

Orang berkerudung itu karena merasa malu hingga menjadi marah, ia berkata sambil tertawa dingin “Baik kau tak suka menjadi muridku, aku justru menghendaki itu.”

Kedua tangannya digunakan untuk melayani dua orang itu. Ia melayani Can Pek Sin dengan menggunakan ilmu kim-kong-ciang yang mengandung kekerasan dan menghadapi Tiat Leng menggunakan ilmu untuk menangkap musuh dalam keadaan hidup-hidup dengan gerak tipu yang sangat aneh.

Untung karena ia ingin menangkap hidup Tiat Leng, maka Tiat Leng dapat menghindarkan serangannya hingga sepuluh jurus dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya yang gesit dan lincah.

Tetapi kepandaian orang berkerudung itu sesungguhnya masih terlalu tinggi buat dua orang itu. Begitu sang waktu berjalan lebih lama, dua anak muda itu nampak semakin sulit dalam perlawanannya.

Selagi Tiat Leng dalam keadaan berbahaya, pintu depan rumah keluarga Li telah terbuka, dari dalam berjalan keluar dua orang perempuan pertengahan umur. Seorang di antaranya Tok-kow Ing, yang lain adalah perempuan yang baru datang itu tadi. Tok-kow Ing segera berkata:

“Kalian berdua mundur, biarlah aku yang menghadapi mereka!”

Sudah tentu Tiat Leng tidak mau mundur. Orang berkerudung itu juga tidak memberi kesempatan baginya untuk meloloskan diri. Namun demikian untuk sementara ia tidak menurunkan tangan kejam, ia hanya membendung diri dua anak muda itu dengan serangan tangannya yang hebat.

Orang berkerudung itu yakin benar dapat menundukan kedua lawannya, maka dengan sikap tenang- tenang ia berkata:

“Nyonya Li, apakah kau hendak mewakili suamimu untuk melawan aku? Sudah kukatakan lebih dahulu maka sekarang tidak perlu banyak bicara lagi. Jikalau kau suka menyerahkan harta kekayaan itu, aku nanti memberimu obat pemunah untuk menolong jiwa suamimu.”

“Harta kekayaan tidak ada, kalau kau ingin jiwa di sini ada dua! Tetapi kau hanya boleh membunuh kita suami istri berdua saja, tidak boleh mengganggu dua anak ini,” demikian Tok-kow Ing berkata.

“Ini ada dua buah perkara, tidak boleh dirangkaikan menjadi satu. Kau tidak usah khawatir, aku tidak akan membunuh bocah perempuan ini, bahkan aku hendak mengambilnya sebagai murid.”

“Kalau kau tidak mau menyerahkan harta kekayaan itu, aku akan mengambil jiwamu lebih dulu.”

Dengan secara nekad, Tok-kow Ing menikam dengan pedangnya. Orang berkerudung itu tertawa bergelak-gelak, dengan telapakan tangannya digunakan sebagai golok untuk menyerang lawannya.

Serangan Tok-kow Ing ternyata mengenakan tempat kosong, sebaliknya kepalanya dirasakan dingin, telapakan tangan orang itu sudah membabat di atas kepalanya, hingga rambutnya sebahagian besar terpapas kelimis, sehingga Tok-kow Ing sesaat itu seperti menjadi pendeta perempuan.

Ini hanya merupakan suatu peringatan buat Tok-kow Ing, karena orang berkerudung itu maksudnya hanya hendak mendapatkan harta kekayaan, maka belum mau mengambil jiwanya.

Di antara tiga orang itu, adalah Can Pek Sin yang berkepandaian paling tinggi. Ketika melihat gelagat tidak baik, buru-buru melakukan serangan dari samping untuk menyingkirkan bahaya yang mengancam Tok- kow Ing. Tetapi karena perbuatan itu, telah kehilangan kesempatan untuk bekerja sama dengan Tiat Leng, bahkan memberikan kesempatan bagi orang berkerudung itu untuk menyerang satu persatu.

Orang berkerudung itu tiba-tiba menggeser kakinya, kembali berada dihadapan Tiat Leng, yang menggunakan ilmu menangkap lawan. menyambar tulang Pi-pe-kut di pundak Tiat Leng.

Perempuan yang keluar bersama Tok-kow Ing tiba-tiba berseru:

“Jangan ganggu Sumoyku!”

Suara itu datang dengan diikuti orangnya, yang menggerakkan pedang dan dengan kecepatan bagaikan kilat sekali gus menyerang bagian atas tengah dan bawah orang berkerudung itu.

Orang berkerudung itu meski tidak mengerti, tetapi juga tidak boleh tidak menggunakan waktu untuk menyingkirkan diri dari serangan hebat itu. Sebentar terdengar tiga kali suara “trang, trang, trang,” perempuan berbaju hitam itu mundur tiga langkah, tetapi dengan demikian Tiat Leng sudah terlepas dari bahaya.

Perempuan berbaju hitam menarik napas lega lalu berkata:

“Apakah kau Tiat Leng sumoy? Aku adalah Liong Seng Hiang. Aku adalah sucimu!”

Kiranya Liong Seng Hiang telah dapat mengenali ilmu pedang yang dimainkan oleh Tiat Leng justru ilmu pedang perguruannya, maka dengan sangat nekad ia memberikan pertolongannya.

Usia Liong Seng Hiang jauh lebih tua dari pada usia Tiat Leng, ilmu pedang yang digunakan meskipun bersamaan tetapi daya kekuatannya jauh berbeda. Tok-kow Ing yang agak lemah, tetapi juga bukan orang sembarangan. Tadi ia telah dipapas rambutnya oleh orang berkerudung, sudah tentu karena kepandaian orang itu terlalu tinggi, tetapi sebab yang lain ialah karena hati dan pikiran Tok-kow Ing kurang tenang, maka tidak dapat menyambut serangan aneh dan secara tiba-tiba yang dilancarkan oleh orang itu.

Kini setelah bergandengan tangan dengan Liong Seng Hiang, Can Pek Sin dan Tiat Leng, keadaannya jauh berbeda. Walaupun kepandaian orang berkerudung itu masih jauh lebih tinggi daripada kepandaian setiap orang di antara mereka. tetapi mereka berempat bergandengan tangan ini berarti bahwa orang itu harus menghadapi musuhnya dari empat penjuru, hingga tidak mudah untuk melukai satu di antaranya.

Tok-kow Ing semula sangat mengkhawatirkan Tiat Leng, gadis cilik itu pikirannya tidak mengukur kekuatan sendiri, sehingga terluka di tangan musuhnya. Tetapi setelah bertempur secara bergandengan tangan cukup lama ia telah dapat kenyataan, meskipun usia dua anak itu masih terlalu muda tetapi kepandaiannya agaknya masih lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri, hingga diam-diam merasa malu sendiri.

Hilang rasa khawatir, semangat Tok-kow Ing segera terbangun kembali. Empat orang itu, ternyata bisa bekerja sama baik sekali sehingga hampir dapat mengimbangi musuhnya.

Meskipun orang berkerudung itu hanya menggunakan sepasang tangan kosong untuk menghadapi empat bilah pedang tetapi masih nampak sedikit lebih unggul. Namun demikian karena ia harus menggunakan banyak kekuatan tenaga dalam maka tenaganya dihamburkan juga lebih banyak dari empat lawannya. Meski kekuatan tenaga dalamnya sudah sempurna, tetapi lama kelamaan, pasti akan terdesak.

Tok-kow Ing sebagai orang yang sudah banyak pengalaman, segera dapat lihat tanda-tanda itu maka harapannya semakin bertambah.

Selagi harapan Tok-kow Ing semakin bertambah, tidak diduga suaminya mendadak keluar dari dalam.

Li Hong Chun yang terluka oleh ilmu Hu-kut-ciang, apabila tidak ada obat pemunahnya, sepuluh hari kemudian, daging dan tulang-tulangnya perlahan-lahan mulai membusuk dan akhirnya binasa. Luka demikian itu meskipun hebat, tetapi jalannya sangat perlahan. Li Hong Chun yang baru tiga hari terkena serangan itu, hingga masih mempunyai cukup tenaga.

Seperti juga isterinya, Li Hong Chun yang masih belum tahu kepandaian Can Pek Sin dan Tiat Leng, khawatir akan terbawa-bawa binasa di tangan musuhnya, maka ia segera keluar untuk memberi bantuan. Sebagai seorang gagah, ia sebetulnya sudah bertekad bulat malam ini untuk mengadu jiwa dengan musuhnya.

Tok-kow Ing yang mengkhawatirkan kesehatan suaminya, ketika melihat suaminya keluar, karena perasaan terkejut dan khawatir, hingga membuat kalut gerakannya, ia buru-buru berseru:

“Engko Hong, kita sudah dapat menghadapi musuh ini, kau lekas balik!”

Li Hong Chun yang sudah keluar sudah tentu tidak mau masuk lagi, apalagi saat itu ia dapat lihat orang berkerudung itu sedang berada di atas angin. Tok-kow Ing berempat masih belum terlihat dapat mengimbangi kekuatan musuhnya. Ia baru saja keluar, belum dapat melihat kesanggupan mereka menghadapi musuh yang tangguh itu, hanya mengira si isteri itu semata-mata hendak menipu dirinya supaya ia masuk ke rumah. “Isteriku, bukankah kita sudah berjanji akan sehidup semati! Biar bagaimana kita juga harus bersama- sama menghadapi musuh kita!”

Sehabis berkata itu segera mementang busurnya:, sebatang anak panah melesat keluar ke arah orang berkerudung.

Li Hong Chun mendapat nama julukan pemanah sakti, kepandaian ilmu silat lainnya tidak demikian tinggi, tetapi kepandaiannya memanah hebat sekali. Panahnya itu ditujukan ke arah tenggorokan musuhnya, arah itu nampaknya sangat jitu.

Orang berkerudung itu sebetulnya dapat menolak anak panah itu dengan kekuatan tenaga tangannya, tetapi di bawah serangan empat pedang jikalau ia gunakan salah satu tangannya untuk menyambut anak panah, sudah tentu ia akan terluka oleh ujung pedang. Keadaan serupa itu berarti suatu ancaman sangat besar bagi orang berkerudung itu.

Sementara itu anak panah itu sudah berada di hadapannya. Dalam keadaan demikian orang berkerudung itu segera timbul akalnya. Sekonyong-konyong ia mementang mulutnya untuk menyambut anak panah itu yang kemudian digigit oleh giginya.

Setelah itu disemburkannya kembali seraya berkata sambil tertawa dingin:

“Kepandaian yang tidak berarti, kau juga ingin juga pertunjukan. Kiranya kau sudah bosan hidup!”

Anak panah yang berbentuk pendek itu segera meluncur keluar bagaikan disambitkan oleh kekuatan tangan dan tepat berbenturan dengan anak panah kedua yang dilepaskan oleh Li Hong Chun, hingga kedua batang anak panah melayang balik.

Li Hong Chun sebetulnya masih hendak melepaskan anak panah yang ketiga, tetapi baru melepaskan dua anak panah, sudah kehabisan tenaga, sebelum anak panah yang ketiga itu melesat keluar sudah kesambar oleh dua batang anak panah yang melayang balik, sehingga jatuh roboh di tanah. Masih untung anak panah itu tadi, saling bentur di tengah jalan, sehingga kekuatannya jauh lebih kurang, dengan kekuatan semburan dari mulut orang itu tidak menimbulkan luka berat bagi Li Hong Chun.

Tok-kow Ing yang sudah khawatirkan suaminya ketika mendengar suara jatuhnya sang suami, ilmu pedangnya semakin kalut.

Orang berkerudung itu sesungguhnya hebat, begitu melihat ada kesempatan baik, segera digunakan sebaik-baiknya, sambil berseru: “Lepas tangan!” Ia sudah berhasil merebut pedang dari tangan Tok-kow Ing.

Orang berkerudung itu setelah berhasil membuka lubang, segera tertawa bergelak-gelak, pedang di tangannya dikibaskannya dan terputus menjadi dua. Dua potong pedang itu digunakan sebagai senjata rahasia, masing-masing disambitkan ke arah Can Pek Sin dan Liong Seng Hiang.

Can Pek Sin melintangkan pedangnya untuk menyambuti senjata itu, ternyata tidak sanggup walaupun sepotong pedang itu berhasil terpukul jatuh, tetapi ia sendiri sudah mundur sampai enam-tujuh langkah, baru bisa berdiri tegak.

Kekuatan tenaga dalam Liong Seng Hiang tidak sekuat Can Pek Sin, maka ia tidak berani menyambuti, terpaksa melompat menyingkir, dengan menggunakan ilmu yang meringankan tubuh. Sekalipun ia dapat bergerak cepat, tetapi tidak urung juga masih tersambar oleh ujung pedang hingga tangannya terluka.

Orang berkerudung itu setelah berhasil memukul mundur Tok-kow Ing dan Can Pek Sin, serta melukai Liong Seng Hiang, badannya sudah bergerak bagaikan burung elang menerkam kelinci, ia melesat ke depan Tiat Leng, lalu berkata sambil tertawa terbahak-bahak:

“Bocah perempuan kau hendak lari kemana? Lebih baik kau ikut aku sebagai murid!”

Belum lenyap suara tertawanya, tiba-tiba terdengar suara orang perempuan yang amat tajam: “Kau manusia apa? Berani mengganggu muridku?” Orangnya masih belum kelihatan, tetapi suaranya sudak menggema di telinganya. Itulah suara yang dikeluarkan dari mulut dengan menggunakan kekuatan tenaga dalam.

Orang berkerudung itu terkejut, dalam hatinya lalu berpikir: Pantas Li Hong Chun berani menentang aku, kiranya masih tersembunyi bala bantuan yang demikian tinggi. Orang perempuan yang berkepandaian tinggi di kalangan Kang-ouw, jumlahnya dapat dihitung dengan jari, apakah orang yang datang itu adalah Biauw Hui Sin-nie?

Orang berkerudung itu selalu menganggap dirinya sendiri terlalu kuat, maka ia tidak takut sekalipun yang datang itu adalah Biauw Hui Sin-nie sendiri, tetapi dengan munculnya seorang kuat lagi tangannya yang hendak menyambar Tiat Leng terpaksa ditarik kembali, supaya jangan sampai dianggap sebagai orang tua terlalu menghina kepada anak kecil.

Sesaat kemudian seorang perempuan berbaju kuning sudah tiba di hadapannya. Cara berpakaian perempuan ini sangat aneh, seperti pendeta perempuan tetapi ada sanggul di atas kepalanya, dibelakang punggungnya ada membawa sebatang kebut yang biasa dibawa-bawa oleh kaum Imam atau Pendeta. Di pinggangnya menggantung sebilah pedang panjang, usianya ditaksir kira-kira baru empatpuluhan.

Biauw Hui Sin-nie dalam rimba persilatan tingkatannya paling tua, usianya paling sedikit sudah tujuhpuluh tahun ke atas. Karena dandanannya berlainan, usianya juga tidak cocok, maka perempuan itu sudah tentu bukanlah Biauw Hui Sin-nie.

Tiat Leng segera lari kehadapan perempnan itu, dengan sikapnya yang sangat manja ia berkata:

“Suhu, orang ini telah melukai Liong suci, dan hendak memaksa aku menjadi muridnya. Suhu harus membela kita!”

Perempuan gagah yang berkepandaian tinggi sekali, di dalam kalangan Kang-ouw jumlahnya memang sedikit sekali, setelah berpikir cukup lama, orang berkerudung itu tiba-tiba teringat kepada seseorang, dalam terkejutnya ia segera menyapa:

“Apakah kau Sin Cie Kow yang mempunyai nama julukan pedang tanpa kenal kasihan itu?”

Orang yang berkerudung itu sebetulnya tidak tahu kalau Sin Cie Kow dan Tiat Leng mempunyai hubungan antara guru dengan murid, tetapi Khong-khong Jie adalah suami Sin Cie Kow, hal ini diketahui olehnya. Kalau ia tadi terkejut, ini bukan berarti takut kepada perempuan itu, tetapi takut kalau Khong-khong Jie ditambah dengan Sin Cie Kow. Karena ia tahu benar bahwa suami istri itu dalam rimba persilatan daerah Tiong-goan merupakan orang yang paling susah dilayani, hingga banyak orang segan berurusan dengan mereka.

Ia sungguh tidak menduga bahwa anak perempuan Tiat Mo Lek itu, ternyata adalah murid mereka. Ini dengan demikian berarti bahwa orang berkerudung itu sudah menanam bibit permusuhan dengan kedua suami isteri itu.

Sin Cie Kow sudah menghunus pedangnya, dan berkata dengan nada suara dingin:

“Oh, kiranya kau hendak merebut muridku? Ha, ha, ha, tidak halangan. Walaupun aku dinamakan pedang tanpa kenal kasihan, tetapi asal kau sanggup menangkan pedangku ini aku juga boleh berunding lebih jauh.”

Orang berkerudung itu karena melihat Sin Cie Kow hanya seorang diri, hatinya tambah besar pikirnya, “Asal Khong-khong Jie tidak datang bersamanya, bertempur satu lawan satu, aku tidak usah takut kepadanya.

Orang berkerudung itu tahu benar, adat Sin Cie Kow yang tidak boleh diganggu, maka pertempuran itu sudah tidak dapat dielakkan lagi. Ia segera berkata:

“Aku tidak tahu nona kecil ini muridmu, karena kau menganggapnya sebagai pusaka, sebagai orang jujur tidak mau berebut barang orang, perlu apa aku harus berebut dengan kau, untuk mendapatkan dirinya?”

Tiat Leng lalu berkata sambil tertawa dingin: “Apa? kau orang jujur sudah jelas kau takut kepada suhuku. Suhu, ia barusan sangat galak, maka suhu tidak boleh memberi ampun kepadanya karena ia berkata manis.”

Orang berkeradung itu ketawa terbahak-bahak, kemudian berkata:

“Sin Cie Kow, meskipun aku tidak ingin berebut murid denganmu, tetapi malam ini kita sudah bertemu, kesempatan ini sesungguhnya jarang kujumpai, maka aku juga ingin belajar kenal dengan ilmu pedangmu.”

Ia menantang lebih dulu, ini juga berarti sebagai jawaban tidak langsung terhadap ejekan Tiat Leng tadi. Sin Cie Kow bertanya kepada muridnya:

“Seng Hiang. bagaimana dengan kau?”

“Tidak apa-apa,hanya sedikit luka yang tidak berarti, harap suhu jangan khawatir,” jawabnya Liong Seng Hiang.

“Baiklah. Leng-jie, kau obati luka sucimu, kemudian mundur sedikit,” demikian ia berkata kepada muridnya kemudian berpaling dan berkata kepada orang berkerudung itu:

“Masih mujur nasibmu, muridku hanya mendapat luka ringan saja. Seumur hidupku, aku balas setiap perbuatan sesuai dengan apa yang dilakukan oleh musuhku. Dengan cara bagaimana kau melukai muridku, dengan cara itu pula ku akan melukai dirimu. Maka malam ini kau tidak khawatir akan melayang jiwamu.”

Orang berkerudung itu baru tahu apa maksud Sin Cie Kow tadi menanyakan keadaan luka muridnya. Sesaat itu ia naik pitam, bentaknya dengan suara keras:

“Sin Cie Kow, kau terlalu tidak pandang mata orang. Baik, kita boleh bertempur sungguh-sungguh. Kalau kau mempunyai kepandaian, kau boleh membunuh mati aku tetapi kalau aku melukai dirimu, kau juga jangan sesalkan perbuatanku.”

“Sudah habiskah kata-katamu? Lihat pedang!” berkata Sin Cie Kow, kemudian ujungnya ditujukan kepada orang itu.

Ilmu pedang yang sama, tetapi digunakan oleh Sin Cie Kow, jauh lebih hebat dari pada Liong Seng Hiang dan Tiat Leng.

Orang berkerudung itu berseru terkejut, dengan kaki belum menggeser dari tempatnya, badannya sudah melesat ke tempat sejauh satu tombak. Serangan pedang yang begitu cepat dari Sin Cie Kow, ternyata dapat dielakan olehnya, hanya hawa dingin dari pedang itu yang terasa benar di badannya orang berkerudung itu.

Ketika serangan pertama Sin Cie Kow mengenakan tempat yang kosong, serangan kedua dan ketiga segera menyusul dengan berurutan.

Orang berkerudung itu lalu berkata:

“Pedang tanpa kenal kasihan benar-benar bukan hanya nama kosong belaka! Namun demikian juga belum tentu mampu melukai diriku. Dan sekarang sambutlah serangan tanganku!”

Selama orang berkerudung itu bicara, Sin Cie Kow sudah melancarkan serangannya sampai tujuh kali, serangan yang terakhir telah membuat lobang lengan baju orang itu, tetapi tidak melukai dirinya.

Orang berkerudung itu melakukan serangannya dengan kedua tangan, tangan kanan menghajar batok kepala orang dengan satu gerakan gunung Thay-san menindih kepala, sedang tangan kirinya menusuk biji mata Sin Cie Kow dengan jari tangan.

Sin Cie Kow yang sebagian besar waktu hidupnya dalam kalangan Kang-ouw, juga entah berapa banyak orang kuat yang pernah dijumpai, tetapi juga belum pernah melihat serangan yang demikian ganas dan aneh seperti orang itu. Bukan hanya itu saja, serangan dari kedua tangan itu bahkan menggunakan dua rupa ilmu silat, yang satu keras dan yang lain lunak!

Ia hanya tahu serangan yang keluar dari tangan kanan adalah serangan dengan ilmu Kim-kong-ciang, tetapi serangan tangan kiri mengandung bau amis, itu ia masih belum tahu bahwa itu adalah serangan yang dinamakan Hu-kut-ciang.

Sin Cie Kow khawatir serangan itu mengandung racun, maka tidak berani menyentuh. Karena pada saat itu pedangnya sudah terlanjur dengan gerakannya menikam, hingga sudah tidak keburu ditarik kembali. Tetapi ia memang hebat, dalam keadaan demikian berbahaya, ia telah mengunjukan ketabahannya dan kelincahannya. Dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh yang luar biasa, ia melesat tinggi dengan satu gerak tipu burung dali menyusup ke awan, badannya seolah-olah timbul sayap, setelah berputaran di tengah udara, lalu melayang sejauh tiga tombak!

“Kau hendak lari kemana?” demikian terdengar suara hardikan orang berkerudung. “Lihat saja siapa yang kabur?” jawab Sin Cie Kow sambil tertawa dingin.

Secepat kilat tangannya sudah tambah satu senjata, yang berupa kebutan. Dengan kedua senjata di tangannya, ia menyerang dari atas. Kebutan digunakan untuk menyerang kepala, sedang pedang digunakan untuk mengorek biji mata. Karena ia sangat benci perbuatan orang itu yang menyerang matanya dengan jari tangan, maka ia sekarang, membalas dengan menggunakan pedangnya.

Serangan dengan kedua rupa senjata itu juga merupakan salah satu serangan luar biasa dahsyatnya dalam rimba persilatan. Orang berkerudung itu hendak menggentak senjata lawannya dengan kekuatan tangannya, siapa tahu bahwa serangan Sin Cie Kow lebih cepat. Tatkala ujung pedang bergetar, tiba-tiba mental balik dan menikam jalan darah di bawah ketiak orang berkerudung itu.

Orang berkerudung itu terperanjat, ia segera kerutkan badannya, sehingga lolos dari lubang jarum.

Kedua pihak masing-masing berhasil mengelakkan serangan lawannya, dengan demikian satu sama lain tak ada yang dirugikan.

Sin Cie Kow yang menggunakan dua senjata di dua tangannya, juga menggunakan ilmu serangan keras dan lunak, dengan demikian hingga dapat mengimbangi kekuatan musuhnya. Namun demikian Sin Cie Kow diam-diam juga merasa malu, karena dengan sepasang senjata ia menghadapi lawannya dengan bertangan kosong.

Semakin lama Sin Cie Kow semakin heran. Ini bukan disebabkan karena kepandaian orang itu yang terlalu tinggi, melainkan karena ia tak dapat meraba dari golongan mana kepandaian orang berkerudung itu.

Harus diketahui bahwa Khong-khong Jie dalam rimba persilatan merupakan salah seorang yang berpengetahuan sangat luas dalam ilmu silat. Sin Cie Kow yang sudah pernah menemui banyak orang kuat, setelah mereka menjadi suami isteri, satu sama lain tak jarang menukar pikiran atau merundingkan bermacam ilmu silat berbagai cabang.

Sekalipun masih belum bisa dikatakan tahu semua ilmu silat berbagai cabang, tetapi ilmu silat yang digunakan oleh tokoh-tokoh kelas satu, sedetikpun mereka dapat meraba dengan jitu. Tetapi sekarang Sin Cie Kow yang sudah bertempur seratus jurus lebih dengan orang berkerudung itu, bukan saja masih belum mengetahui siapa orang yang sedang dihadapinya itu, bahkan golongan ilmu silatnya juga tak diketahuinya.

Ia hanya tahu gerak tipunya yang aneh, yang mempunyai gabungan dari kepandaian golongan benar dan golongan sesat. Ini merupakan suatu kejadian yang ia belum pernah alami.

Diam-diam ia juga merasa heran, orang itu berkepandaian demikian tinggi, mengapa tidak berani menunjukkan muka aslinya? Apakah yang ditakuti? Bajingan-bajingan yang berkedok dalam kalangan dunia Kang-ouw, kebanyakan terdiri dari orang-orang kelas dua atau tiga. Orang yang benar-benar mempunyai kepandaian tinggi, tidak perduli dari golongan mana, selalu suka berterus terang, tidak nanti memakai kerudung di mukanya. Bulak balik ia berpikir, tetapi masih belum mengerti, maka terpaksa menghadapi lawannya dengan tekun. Dengan tanpa dirasa, pertempuran ita sudah berjalan tigaratus jurus lebih.

Selama itu, kedua pihak sudah mengeluarkan seluruh kepandaiannya, hingga merupakan suatu pertempuran ganas luar biasa yang belum pernah ada pada sebelumnya.

Kepandaian kedua pihak nampak berimbang.

Tetapi Sin Cie Kow mendapat dua keuntungan. Pertama, karena orang berkerudung itu tadi sudah bertempur dengan Liong Seng Hiang berempat cukup lama, kekuatan tenaganya sudah terhambur tidak sedikit. Kedua, orang itu menghadapi lawannya hanya dengan menggunakan sepasang tangan kosong. Dalam keadaan gelap seperti malam itu, sekalipun masih dapat melihat senjata orang, tetapi hanya dengan menggunakan daya pandangan matanya, tidak dapat membedakan jalannya serangan pedang Sin Cie Kow yang dilakukan begitu cepat, maka harus dibantu dengan daya pendengaran telinganya.

Dengan demikian, mau tidak mau orang itu harus berlaku sangat hati-hati, baik tenaga maupun pikiran yang digunakan, jauh lebih banyak daripada Sin Cie Kow. Dengan adanya dua faktor ini, maka waktunya semakin panjang, lebih menguntungkan bagi Sin Cie Kow.

Namun demikian, Sin Cie Kow yang sudah bertempur tigaratus jurus lebih dan belum berhasil menjatuhkan musuhnya, diam-diam juga merasa bingung.

Ia adalah seorang yang suka menang sendiri, sebelum bertempur ia sudah buka mulut besar, pasti hendak menuntut balas satu goresan pedang kepada musuhnya. Apabila tidak terbukti, bagaimana ia harus menghadapi muridnya?

Dalam cemasnya, ia mengeluarkan serangannya yang paling berbahaya, senjata kebutannya disodorkan maju, pedangnya membabat melintang. Orang berkerudung itu mengira ia menggunakan ilmu pedang Tat- mo-kiam-hoat, maka lebih dahulu melakukan serangannya, menyambar pergelangan tangannya. Tetapi ternyata bahwa serangan Sin Cie Kow itu bukanlah ilmu pedang seperti yang orang berkerudung itu duga, baru meluncur setengah jalan, gerak pedangnya sudah berobah dengan mendadak, membabat ke arah di mana musuh itu menyingkir.

Orang itu terperanjat, untung ia berkepandaian sangat tinggi, gesit gerakannya, dengan memutar ujung kakinya, jari tangan kirinya malah mengancam jalan darah pundak Sin Cie Kow.

Sin Cie Kow memutar pedangnya bagaikan angin cepatnya, dengan gerak serangan yang amat dahsyat balas menyerang musuhnya. Pertempuran dalam jurus itu merupakan suatu pertempuran jarak dekat, keadaannya sangat berbahaya.

Tok-kow Ing, Liong Seng Hiang, Tiat Leng dan lainnya yang menyaksikan jalannya pertempuran. Semua telah merasakan bahwa pertempuran dalam babak itu merupakan suatu pertempuran yang sangat mengkhawatirkan.

Sin Cie Kow sudah menang di atas angin, ia hanya khawatir tidak dapat menjatuhkan lawannya, sehingga kehilangan muka. Tetapi kehhawatiran mereka adalah apabila Sin Cie Kow kalah, mungkin Li Hong Chun suami istri tidak bisa hidup lagi.

Tiat Leng meskipun masih terlalu muda, tetapi cerdik dan banyak akalnya. Sambil menonton pikirannya terus bekerja, bagaimana dapat membantu suhunya. Sudah tentu ia juga tahu bahwa kepandaiannya sendiri selisih jauh dengan kepandaian musuhnya. Apabila menggunakan senjata, tidak dapat memberi bantuan apa-apa, sedangkan adat suhunya juga tidak mengidzinkan ia membantu. Maka ia hanya dapat menggunakan akal, tidak boleh menggunakan tenaga.

Selagi jalannya pertempuran meningkat keadaan paling gawat, Tiat Leng tiba-tiba dapat pikiran hendak menakut-nakuti musuhnya. Diam-diam ia memungut beberapa lembar daun dari tanah, lalu ditiupnya, hingga daun-daun itu berterbangan di tengah udara, dan menimbulkan suara keresekan.

Daya pendengaran orang berkerudung itu sangat tinggi, sedikit suara saja di dalam telinga orang itu sudah dianggapnya sebagai orang yang sedang berjalan malam. Tiat Leng setelah meniup daun itu, lalu pura-pura mengeluarkan suara terkejut dan kegirangan, ia sengaja berseru:

“Sukong, apa kau sudah datang? Kita ada di sini, keluarlah!”

Disinilah kecerdikan Tiat Leng, ia tidak menggunakan batu untuk menyambit, sebaliknya menggunakan daun yang ditiup dengan mulut. Maksudnya ialah supaya orang berkerudung itu percaya kalau Khong- khong Jie benar-benar telah datang.

Harus diketahui bahwa ilmu meringankan tubuh Khong-khong Jie terhitung orang nomor satu dalam kalangan Kang-ouw, kalau ia datang seharusnya tidak mengeluarkan suara-suara yang dapat didengar oleh pendengaran orang biasa.

Suami isteri selamanya berdua-duaan muncul dalam kalangan Kang-ouw, hal ini sudah diketahui oleh orang berkerudung itu. Kedatangan Sin Cie Kow seorang diri pada malam itu, ia sudah merasa sangsi bahwa Khong-khong Jie mungkin juga segera akan datang, maka setelah bertempur pikirannya selalu tidak tenang dan telinganya selalu waspada.

Justeru karena kecurigaannya itu, maka ketika mendengar suara keresekan, dianggapnya Khong-khong Jie benar-benar sudah datang.

Pada saat itu kedua pihak sedang bertempur sengit dalam jarak dekat, orang berkerudung itu ketika mendengar suara seruan Tiat Leng, yang telah benar-benar membuktikan kecurigaannya, bukan kepalang terkejutnya.

Dalam pertempuran antara tokoh-tokoh terkuat, sedikitpun tidak boleh berlaku 1engah. Terkejutnya orang berkerudung itu, yang datangnya secara tiba-tiba telah digunakan oleh Sin Cie Kow sebaik-baiknya. Dengan kecepatan bagaikan kilat, pedangnya sudah meluncur, sekalipun orang berkerudung segera berkelit, tetapi kain yang menutupi mukanya sudah tersontek oleh ujung pedang, pipi sebelah kirinya tergores, sehingga meninggalkan bekas sepanjang tiga dim.

Orang berkerudung itu menggeram, dan lantas kabur.

Meski cuaca malam itu gelap, tetapi tatkala kerudung yang menutupi muka orang itu tersontek, Sin Cie Kow sudah dapat lihat wajah asli orang itu, sekalipun belum dapat melihat dengan jelas, tetapi sudah cukup untuk mengenalinya. Orang itu ternyata mempunyai potongan muka yang menonjol tinggi bagian pelipisnya, hidungnya bengkung bagaikan hidung burung garuda, dari potongan raut mukanya itu sudah dapat dipastikan bahwa orang itu bukanlah orang dari suku Han.

Sin Cie Kow kini baru tersadar, kiranya karena orang itu adalah orang suku Hwee, maka di waktu bertempur dengan orang suku Han, tidak suka mukanya dilihat oleh lawannya.

Dalam waktu sekejap itu, Tiat Leng juga sudah dapat lihat wajahnya orang itu, lalu mengeluarkan seruhan: “Eh!”

Can Pek Sin lalu berkata:

“Orang berkerudung itu bukankah salah satu dari empat orang suku Hwee, yang kita jumpai siang hari tadi?”

“Memang benar, kau juga mengenalnya empat orang itu matanya dan lagak lagunya seperti bajingan, aku sudah menduga bukan orang-orang baik. Tadi siang kau bukan masih membela mereka.”

“Aku tokh bukan seorang yang dapat meramal watak manusia, tadi siang mereka berjalan menuju ke selatan, bagaimana aku tahu kalau salah satu di antaranya bisa balik kemari, bahkan merupakan satu iblis yang hendak mencelakakan diri paman Li?”

“Tiga yang lainnya entah ke mana? Untung yang datang malam ini hanya seorang saja.”

Sin Cie Kow menyimpan pedangnya lagi, kalau mengingat jalannya pertempuran yang amat dahsyat tadi ia masih merasa ngeri, pikirnya: Kalau bukan si setan cilik Tiat Leng ini yang banyak akalnya menakut- nakutinya, benar-benar belum bisa diketahui siapa yang lebih unggul! Tiga kawannya itu entah bagaimana kepandaiannya? Apabila semua mempunyai kepandaian seperti ia dan mereka akan datang lagi, aku pasti tidak sanggup menghadapinya.

Sementara itu Tok-kow Ing suami isteri sudah maju untuk memberi hormat. Tiat Leng juga menghaturkan selamat kepada suhunya.

Sin Cie Kow lalu berkata sambil mendelikan matanya:

“Perlu apa kau memberi selamat? Aku sebetulnya ingin menggores lengan tangannya, seperti apa yang ia perbuat terhadap sucimu, tetapi sekarang hanya dapat meninggalkan cacat di mukanya saja. Inilah merupakan kesalahan tanganku yang pertama sejak aku terjun di dunia Kang-ouw selama tigapuluh tahun.”

“Tidak perduli ia terluka di mana, iblis itu toh sudah terjungkal di tangan suhu. Mengapa suhu masih marah-marah?”

“Hem, tahukah kau apa sebabnya aku marah? Aku justru marah kepadamu, kau baru saja main gila, apa kau kira aku tidak tahu? Karena mengingat perbuatan itu terdorong oleh perasaan cinta kepada gurumu, maka kali ini aku tidak memberi hukuman engkau, tetapi lain kali tidak boleh kau ulangi lagi!”

Perangai Sin Cie Kow sama dengan suaminya, tidak perduli menang atau kalah selalu akan mengandalkan kepandaiannya sendiri, maka itu meskipun dalam hati suka memuji kecerdikan Tiat Leng, namun di luarnya tidak boleh tidak harus memberi teguran. Tiat Leng tahu benar adat suhunya maka ia pura-pura seperti orang penasaran sambil menyahut “Ya.”

Li Hong Chun mengajak semua tetamunya masuk ke dalam rumah. Mereka duduk mengobrol di ruangan tamu, tidak antara lama hari mulai terang.

Sin Cie Kow menatap wajah Li Hong Chun, kemudian berkata, “Li Chungcu, apakah kau terluka?”

“Benar, tiga hari berselang dilukai oleh tangan beracun iblis itu. Katanya tangan beracun itu bernama Hu- kut-ciang, hanya obat pemunahnya yang dapat menolong.”

“Apa? Hu-kut-ciang? Aku tidak percaya begitu hebat, yang tidak dapat disembuhkan dengan tanpa obat pemunahnya.”

Tok-kow Ing lalu menyela dengan perasaan girang:

“Sin Lihiap, kalau begitu kau pasti mempunyai obat manjur lain yang dapat menyembuhkan lukanya. Tolonglah jiwa Hong Chun ini.”

“Aku adalah seorang yang tidak mengerti obat-obatan atau menyembuhkan orang sakit, tetapi aku percaya pel Siao-hoan-tan buatan ketua gereja siao-lim-sie bisa menyembuhkan racun ini,” berkata Sin Cie Kow.

Gereja Siao-lim-sie letaknya di atas gunung Siong-san yang letaknya masih ribuan pal dari situ, maka ketika mendengar jawaban itu, suami istri Li Hong Chun merasa kecewa, hatinya berpikir: Jikalau aku bisa pergi berobat ke gunung Siong-san, bukankah lebih baik berobat kepada To Pek Ing di gunung Hok-gu- san.

Sin Cie Kow berkata pula sambil tertawa:

“Apakah kau anggap perjalanan ke gunung Siong-san itu jauh sehingga tidak keburu menolong? Jangan khawatir meskipun aku tidak dapat mengundang ketua gereja Siao-lim-sie dengan segera, tetapi obatnya itu, di sini aku ada sedia.”

Li Hong Chun suami istri girang sekali, lalu berkata:

“Pui-tho Siansu ternyata sudi memberikan obat pel Siao-hoan-tan kepada kalian, untuk dewasa ini, mungkin hanya kalian suami istri yang mendapat kehormatan itu.” Kiranya ketua gereja Siao-lim-sie itu, selalu tidak suka mengadakan hubungan dengan orang orang Kang- ouw.

“Mana dia mau memberikan begitu saja? Itu adalah didapatkan oleh Khong-khong Jie dengan jalan pertaruhan dengan Pui-tho Siansu. Ia hendak mencuri pil Siao-hoan-tan itu, Pui-tho Siansu memberikan padanya batas waktu tiga hari, tetapi pada malam hari kedua Khong-khong Jie sudah berhasil mendapatkan obat itu. Cuma, dengan demikian ketua itu lalu bersahabat dengan Khong-khong Jie.”

Tok-kouw Ing masih merasa sangsi, ia berkata: “Entah pil itu dapat mengusir racun dari serangau Hu-kut- ciang atau tidak?”

“Pui-tho Siansu pernah membuka mulut besar bahwa pel Siao-hoan-tan nya itu dapat memunahkan segala racun, juga dapat menambah kekuatan badan. Jikalau tidak manjur, aku nanti akan pergi ke gereja Siao- lim-sie untuk menurunkan mereknya.”

Li Hong Chun setelah makan obat itu, bersemedi di tempat tidurnya untuk membantu jalannya obat. Tok- kow Ing juga minta maaf kepada para tetamunya, lalu mengikuti sang suami untuk menjaga.

Tiat Leng baru mendapat kesempatan berbicara dengan suhunya dan sucinya, ia bertanya:

“Suhu, suci, bagaimana kalian bisa datang kemari? Apakah sudah tahu malam ini akan terjadi apa-apa.”

Menurut apa yang Tiat Leng tahu, hubungan suhunya dengan Li Hong Chun tidak begitu erat maka ia merasa agak heran.

“Kedatangan sucimu kemari hendak mencari adiknya,” berkata Sin Cie Kow. “Karena aku merasa tidak tega, maka kemudian menyusul ke mari. O ya, Can hiantit kabarnya di rumah Thie Sui kan berdiam hampir satu tahun lamanya, mungkin dalam urusan ini kau juga tahu sedikit. Seng Hiang, kau ceritakan dulu urusan adikmu kepada mereka.”

Kiranya adik perempuan Liong Seng Hiang ialah Liong Seng Hong perempuan yang dahulu pernah dijumpai Can Pek Sin di rumah keluarga Lauw.

Suami Liong Seng Hiang, Bok Khong, dengan Lauw Bong adalah saudara misan, mereka tinggal sebagai tetangga, Liong Seng Hong dengan Lauw Bong merupakan dua sahabat sejak kanak-kanak, tetapi belum mengadakan perjanjian untuk sehidup semati. Kemudian Lauw Bong mengikuti ayahnya berkelana di dunia Kang-ouw dan menerjunkan diri di kalangan rimba hijau, hingga kedua pihak putus perhubungan.

Liong Seng Hiang menarik napas panjang, kemudian baru berkata:

“Adikku dengan Lauw Bong telah banyak tahun berpisah, namun masih tetap tidak melupakannya. Aku sebetulnya hendak menikahkannya dengan orang lain, tetapi ia selalu menolak hingga aku tidak berdaya. Entah bagaimana, pada musim semi tahun ini, ia telah dapat kabar bahwa keluarga Lauw berdiam di lembah Phoan-liong-kok, ia lalu diam-diam pergi mencari Lauw Bong.

“Tidak antara lama, Lam Hee Lui yang hendak pergi ke kota Yang-ciu mengurus sedikit urusan, mampir di rumahku. Aku pernah minta kepadanya untuk mampir ke lembah Phoan-liong-kok untuk mencari keterangan tentang adikku. Hingga sekarang tiga bulan lebih sudah berlalu, adikku belum pulang, Lam Hee Lui juga tidak mengirim orang untuk memberi kabar.

Berkata sampai di situ Liong Seng Hiang dengan perasaan tidak enak bertanya kepada Can Pek Sin,

“Aku pernah mendengar desas desus di luaran, katanya ketika Lauw Bong berdiam di lembah Phoan- liong-kok, hubungannya erat sekali dengan cucu perempuannya Thie Sui, dua anak muda itu kabarnya diam-diam sudah menikah. Apakah itu benar?

Pertanyaan itu sesungguhnya tidak enak bagi Can Pek Sin, namun itu terpaksa harus menjawab katanya:

“Urusan mereka aku sendiri juga tidak jelas. Tetapi menurut apa yang aku lihat di rumah keluarga Thie, perkataan hubungan erat itu, sebetulnya kurang tepat.”

Tiat Leng tertawa kecil, kemudian berkata: “Can toako, perlu apa kau harus menutupi rahasia mereka? Gambar peta mengenai harta kekayaan kakek luarmu itu, bukan Thie Po Leng yang mencuri dan kemudian dengan diam-diam diberikan kepada Lauw Bong? He, he, asal hati kedua pihak saling mengerti, perlu apa harus erat hubungannya?”

Sin Cie Kow menyela sambil tertawa:

“Dalam usia yang masih terlalu muda, bagaimana kau mengerti dua hati saling mengerti?” Liong Seng Hiang berkata sambil menghela napas:

“Aku selama ini tidak mendapat kabar tentang adikku, hatiku selalu tidak tenteram. Kemudian Hee Kauw Ing ada mengirim orang mengantar surat kepadaku, aku baru tahu kalau Lauw Cin dan anaknya berdiam di rumah Li Tayhiap ini merawat dirinya.

“Menurut keterangan Hee Kauw Ing tindakan itu ialah untuk menjaga jangan sampai ada orang yang menyulitkan Lauw Cin. Oleh karena kita dengan keluarga Lauw masih merupakan famili, maka ia memberitahukan kepada kita, supaya kita bisa pergi menengoknya dan memberi bantuan tenaga. Aku juga mengharap agar dari mulutnya Lauw Bong sendiri, mendapat keterangan tentang jejak adikku maka aku segera datang kemari.”

Hee Kauw Ing adalah saudara angkat Lauw Cin. Can Pek Sin yang mendengar keterangan Liong Seng Hiang bahwa ia telah menerima surat dari Hee Kauw Ing, maka ia segera mengetahui bahwa Tok-kow U, juga sudah tiba di rumah Hee Kauw Ing.

Sin Cie Kow berkata:

“Aku dengan sukongmu lima hari berselang dari kota Yan-ciu, telah berjumpa dengan anak buah Hee Kauw Ing. Aku sebenarnya tidak kenal Lauw Cin, tetapi aku tidak tega Seng Hiang, maka juga segera datang kemari. Sebetulnya aku hendak datang bersama dengan sukongmu tetapi ia kata hendak ke Gui- pok untuk mencari seseorang, maka kita lalu berpencaran. Ia menganggap bahwa siapa saja yang menyusahkan diri Lauw Cin, aku pasti sanggup menghadapi. Tak disangka orang Hwee itu demikian lihai!”

“Tatkala aku meninggalkan lembah Phoan-liong-kok, pernah berjumpa dengan adikmu, kemudian paman Lam Hee Lui kebetulan juga datang. Tetapi waktu itu Lauw Cin dan anaknya sudah pergi dari rumahnya. Adikmu ketika mendengar kabar Lauw Bong terluka segera pergi menyusul, nampaknya sudah bisa berhasil, jikalau tidak pasti ia datang kemari untuk menengoknya,” berkata Can Pek Sin.

“Kemana lagi perginya Lam Hee Lui?” berkata Liong Seng Hiang.

“Kabarnya paman Lam pergi ke Kota Yang-ciu membantu salah satu sahabat merampas ransum Negara.”

“Kalau begitu, aku terpaksa harus berusaha mencari adikku lagi. Hem, Tiat Sumoy dengan cara bagaimana pula kau bisa datang kemari? Sekarang adalah giliranmu yang harus memberi keterangan.”

Tiat Leng bersikap seolah-olah sedang memikirkan sesuatu, tiba-tiba ia bertanya kepada suhunya: “Sukong pergi ke Gui-pok mencari siapa?”

“Sukongmu nampaknya tergesa-gesa sehingga ia lupa memberitahukan kepadaku, aku juga tidak menanyakan kepadanya.”

Tiat Leng agak merasa heran, pikirnya: Suhu jarang berpisah dengan sukong, mengapa sukong hendak mencari orang, suhu tidak menanya? Untuk menanya namanya seseorang, sesungguhnya tidak susah, sekalipun repot juga tidak sampai kelupaan.

Can Pek Sin lalu berkata:

“Khong-khong Cianpwee apakah pergi ke Gui-pok? Pada dua bulan berselang, kita pernah liwat di sana. Waktu kita berlalu, Tiat Ceng masih ada di sana. Tetapi, sekarang barang kali juga pergi lagi.”

Sin Cie Kow berkata: “O ya, kabarnya kalian di Gui-pok telah berjumpa dengan pasukan tentara Tian Sin Cie, apakah itu betul? Mengapa pula Tiat Ceng harus berdiam di sana?”

Hati Tiat Leng tergerak ia lalu berkata:

“Di Gui-pok kita bukan cuma berjumpa dengan pasukan tentara negeri saja, tetapi juga ketemu dengan seorang tokoh kuat yang berkepandaian luar biasa.”

“Siapakah orang itu, mengapa ia sudah berhasil membuat kagum anak perempuan Tiat Mo Lek?” Demikian Sin Cie Kow berkata sambil tersenyum, agaknya tidak membenarkan ucapan muridnya, tetapi kemudian tiba-tiba tergerak hatinya, pikirnya: Apakah orang itu?

“Orang itu malah mengatakan kenal dengan suhu,” berkata Tiat Leng. Ia lalu menceritakan pertemuannya dengan Hoa Ciong Tay dan apa yang telah terjadi di kota Gui-pok.

Sin Cie Kow terkejut bercampur girang, dalam hatinya berpikir: Pantas Khong-khong Jie hendak ke Gui- pok, kiranya benar-benar ‘dia’.

“Malam itu engko Ceng di kantor kepala daerah terkena panah beracun, justeru Hoa Ciong Tay lo- cianpweelah yang menolong dirinya. Waktu kita pergi, sisa racun dalam badan engko Ceng masih belum bersih sama sekali, maka ia harus berdiam di sana untuk merawat diri, di sana ia dirawat oleh Hoa locianpwee dan putrinya.

“Suhu, aku lupa memberitahukan padamu, enci Hoa itu baik sekali memperlakukan engko Ceng.” “Oh ya? Apakah nona Hoa itu cantik?”

“Ia berparas cantik. Aku lihat ia menaruh hati terhadap engko Ceng.” Sin Cie Kow lalu berkata sambil tertawa,

“Kau setan cilik ini meski masih muda tetapi hatimu sudah seperti orang dewasa, selalu suka memperhatikan soal-soal demikian. Segala perlakuan orang yang baik sekali dan ada maksudnya selalu kau perhatikan. Jikalau benar-benar demikian alangkah baiknya.”

“Hoa lo-cianpwee ini agak aneh, ia kata kenal dengan suhu, tetapi katanya pula ingin menjumpai sukong. Tetapi waktu kita berpisah dengannya, ia berpesan pula supaya aku dihadapan sukong jangan menyebut- nyebut namanya. Aku tak tahu apa sebabnya?”

“Bagaimana kau tahu apa sebabnya. Orang itu adatnya memang agak aneh, mungkin dia dengan sukongmu ada perselisihan paham yang belum dibereskan!”

Sebetulnya, Sin Cie Kow tahu apa sebabnya, ia hanya merasa tak enak menerangkan kepada orang yang tingkatannya lebih muda.

Kiranya di masa muda Hoa Ciong Tay juga merupakan seorang sahabatnya yang mengagumi dirinya, bahkan sudah meminangnya. Tetapi karena dalam hati Sin Cie Kow sudah diisi oleh Khong-khong Jie hingga menolak permintaannya, kemudian dua orang itu tidak bertemu lagi.

Di masa mudanya perangai Sin Cie Kow memang agak aneh. Kecuali Khong-khong Jie yang terhitung salah seorang sahabatnya yang terpandang dalam matanya. Hanya Hoa Ciong Tay, seorang yang masih suka bergaul, maka meskipun ia tidak menerima pinangan Hoa Ciong Tay. Tetapi kehilangan satu sahabat seperti Hoa Ciong Tay itu, ia juga marasa sayang. Beberapa tahun kemudian, Sin Cie Kow mendengar kabar bahwa Hoa Ciong Tay sudah menikah ia baru merasa lega hatinya, selalu urusan yang telah lalu itu, perlahan-lahan juga dilupakannya.

Khong-khong Jie semula tidak tahu perhubungan mereka tetapi ia dengan Hoa Ciong Tay satu sama lain hanya dengar namanya saja.

Hoa Ciong Tay mempunyai hubungan baik dengan Leng Ciu Siangjin dan golongan Leng-san-pay di daerah barat, sedangkan Khong-khong Jie dan Sin Cie Kow telah timbul perselisihan paham dengan Leng Ciu Siangjin. Entah bagaimana dalam kalangan rimba persilatan tiba-tiba tersiar kabar, katanya Leng Ciu Siangjin hendak undang Hoa Ciong Tay membantu pihaknya untuk menghadapi Khong-khong Jie.

Khong-khong Jie yang memang sudah lama ingin mencari Hoa Ciong Tay menguji kepandaiannya, ketika mendengar kabar itu, ia lalu pergi seorang diri. Di luar dugaan Hoa Ciong Tay sengaja tidak mau menjumpai, sehingga Khong-khong Jie menubruk tempat kosong. Kemudian beberapa kali Khong-khong Jie melanjutkan usahanya untuk mencarinya, juga tidak berhasil menemukan.

Tidak berapa lama, Khong-khong Jie menikah dengan Sin Cie Kow.

Khong-khong Jie adalah seorang pencuri nomor satu di dalam dunia Kang-ouw, sehingga mendapat julukan pencuri sakti. Sahabatnya terdiri dari orang-orang berbagai golongan. Setelah ia menikah, salah satu sahabatnya yang usil mulut berkata kepadanya bahwa Hoa Ciong Tay bukan tidak tahu Khong-khong Jie mencarinya hendak mengadu kepandaian, juga tidak karena takut baru pergi menyingkir tetapi karena kala itu tahu bahwa Khong-kong Jie hendak menikah dengan Sin Cie Kow. Karena tidak ingin menyusahkan hati Sin Cie Kow, maka tidak suka mengadu kepandaian dengan Khong-khong Jie.

Perkataan itu boleh diartikan bahwa Hoa Ciong Tay masih tetap mencintai Sin Cie Kow. Karena takut kalau dalam pertandingan itu kesalahan tangan sehingga melukai Khong-khong Jie, hal itu tentu akan menyusahkan hati Sin Cie Kow.

Khong-khong Jie yang mendengar obrolan itu, sudah tentu merasa tidak senang. Terhadap persoalan Hoa Ciong Tay yang dahulu pernah meminang Sin Cie Kow dianggapnya masih merupakan soal kedua. Apa yang membuat dirinya merasa tersinggung, ialah adat Khong-khong Jie yang tinggi hati. Ia menganggap Hoa Ciong Tay berkata demikian berarti pandang rendah kepandaiannya, maka tidak boleh tidak ia harus mencarinya untuk diminta tanggung jawabnya.

Khong-khong Jie juga lantaran itu pernah ribut mulut dengan istrinya. Setelah diberi penjelasan oleh Sin Cie Kow, baru baik kembali. Tetapi biar bagaimana sedikit banyak masih ada bekasnya, dan setelah kejadian hari itu, mereka suami istri sama sekali tidak menyebutkan nama Hoa Ciong Tay.

Kali ini Hoa Ciong Tay berkata hendak pergi ke kota Gui-pok untuk mencari seseorang, tetapi tidak menyebutkan namanya orang itu. Sin Cie Kow waktu itu sebetulnya juga sudah dapat menduga? Maka setelah mendengar ucapan Tiat Leng ternyata dua-duanya benar. Khong-khong Jie adalah mendengar kabar kedatangannya Hoa Ciong Tay di kota Gui-pok, barulah pergi ke sana untuk mencarinya.

Dalam hati Sin Cie Kow berpikir: Kedatangannya Hoa Ciong Tay kali ini ke daerah Tiong-goan, untuk ada keperluan apa? Kalau menurut keterangan Tiat Leng tadi, nyata ia masih belum melupakan aku. Semoga mereka berdua jangan sampai berjumpa. Jikalau tidak, apabila keduanya jadi bertempur, pasti ada satu yang terluka, biar bagaimana sangat menyulitkan diriku.

Kemudian berpikir pula: Kiranya anak perempuan Hoa Ciong Tay juga sudah dewasa, semoga ia dengan Tiat Ceng benar-benar bisa terangkap jodoh. Kalau mereka menjadi keluarga, maka perselisihan paham itu dengan sendirinya hendaknya bisa menjadi beres.

Tiat Leng berkata:

“Sewaktu kita hendak pergi, pernah berjanji dengan Hoa lo-cianpwee dan putrinya, nanti setelah luka engko Ceng sembuh minta mereka supaya mengantar pulang ke gunung Hok-gu-san. Waktu itu kita masih belum tahu bahwa markas besar di gunung Hok-gu-san sudah dihancurkan oleh pasukan tentara. Sekarang sudah kira-kira dua bulan engko Ceng mungkin sudah sembuh, mereka juga seharusnya sudah berlalu dari kota Gui-pok.” Bicara sampai di situ sejenak ia berdiam kemudian berkata pula sambil tertawa:

“Sukong ke kota Gui-pok entah mencari siapa? Sayang waktunya kurang tepat, kalau ia pergi siangan sedikit, sukong tentu bisa menjumpai mereka.”

Hati Sin Cie Kow merasa lega pikirnya: Asal mereka tidak berjumpa itulah yang paling baik untuk selanjutnya aku boleh berusaha untuk membikin mengerti kepadanya.

Hari kedua waktu pagi-pagi sekali mereka telah berkumpul lagi. Di situlah Sin Cie Kow menanyai muridnya: “Leng-jie, kalian hendak kemana?”

“Aku dan Can toako hendak pergi ke gunung Kim-kee-nia untuk mencari ayah. Markas kita di gunung Hok- gu-san setelah dihancurkan oleh tentara pemerintah, ayah bersama orang-orangnya balik ke gunung Kim- kee-nia lagi, suhu. Dan suhu sendiri hendak kemana? Baiklah bersama-sama kita pergi ke gunung Kim- kee-nia? Ayah dan ibu selama ini selalu menanyakan dirimu.”

“Aku memang berpikir hendak menengok ayah ibumu, tetapi aku ingin pergi ke kota Gui-pok lebih dulu, sesudah itu baru bersama-sama pergi dengan sukongmu.”

Sin Cie Kow meskipun menduga Hoa Ciong Tay, sudah berlalu dari kota Gui-pok, tetapi ia masih merasa khawatir terjadi apa-apa di luar dugaannya, maka ia ingin pergi dulu ke kota Gui-pok setelah bertemu dengan suaminya baru tenteram.

Tiat Leng berkata pula:

“Suci bagaimana dengan kau? Kau mempunyai kedudukan sebagai nyonya rumah yang kaya raya barang kali kurang tepat berkunjung ke gunung kita?”

Muka Liong Seng Hiang nampak merah, katanya:

“Kita juga sering mengadakan hubungan dengan sahabat-sahabat dunia Kang-ouw, aku sebetulnya tidak menghiraukan soal itu. Hanya, aku masih belum dapat menemukan adikku, barangkali masih belum bisa menjadi tamumu. Aku ingin melakukan perjalanan ke kota Yang-ciu, semoga bisa bertemu dengan Lam Hee Lui, dari ia mungkin aku bisa dapat dengar kabar tentang adikku.”

Liong Seng Hiang sedari dahulu ingin menikahkan adiknya dengan Lam Hee Lui, meskipun dari Lam Hee Lui ingin mencari kabar tentang diri adiknya, harapannya tipis sekali, tetapi ia masih ingin menjumpai sekali lagi pemuda itu.

Sin Cie Kow berkata:

“Entah bagaimana hasil bekerjanya pel Siao-hoan-tan? Asal Li Hong Chun tidak apa, kita juga boleh pergi. Leng-jie, coba kau pergi melihatnya.”

Selagi Tiat Leng hendak masuk, tiba-tiba terdengar suara tindakan kaki, Li Hong Chun suami isteri sudah keluar dari kamar.

Dengan muka berseri-seri Tok-kow Ing berkata: “Pel Siao-hoan-tan ini benar-benar sangat manjur, luka Hong Cun sudah sembuh.”

Li Hong Chun maju dan menyatakan terima kasih kepada Sin Cie Kow. Sin Cie Kow lalu berkata:

“Tidak perlu kau berlaku merendah. Siao-hoan-tan didapatkan oleh Khong-khong Jie, aku hanya meminjam tangannya saja. Baiklah, kalau kau sudah tidak apa-apa kita hendak pergi.”

Tok-kow Ing berkata:

“Mari kita makan lebih dulu, kita juga hendak pergi.” Cie Kouw berkata:

“Tidak usah kita akan makan di perjalanan.”

“Disini ada sedia makanan mie, untuk membuat makanan tidak memerlukan banyak waktu.” Tiat Leng lalu berkata sambil tertawa:

“Kalau begitu aku tidak malu-malu lagi dengan bibi Ing. Oh ya, daging dendeng tadi malam itu enak sekali, makan mie dengan daging dendeng sudah cukup, tidak perlu masak sayur lagi.” Tiat Leng dan Can Pek Sin semalaman hanya makan sedikit, maka perutnya sudah merasa lapar.

Di waktu makan, Tiat Leng menanyakan rencana suami isteri Li Hong Chun selanjutnya. Tok-kow Ing berkata:

“Kita ingin pergi ke kota Yan-ciu menumpang di rumah Hee Kauw Ing, kakakku juga ada di sana.”

“Kalau begitu, kalian akhirnya juga menerjunkan diri ke dalam rimba hijau,” berkata Tiat Leng sambil tertawa.

“Sekarang apa daya, kita tokh tidak bisa berdiam disini lagi,” berkata Li Hong Chun sambil tertawa getir.

Mereka suami isteri takut kalau iblis itu datang mencari musuh lagi, hingga mereka terpaksa menyingkir jauh berlindung di rumah Hee Kauw Ing.

“Hee Kauw Ing adalah kakak angkatku, maka kita harus pergi ke sana. Kali ini kakakku membantu keluarga Lauw merampas harta kekayaan Thie Sui, soal ini harap kau menjelaskannya sebaik-baiknya kepada ayahmu. Tentang maksud hati Hee Kauw Ing juga minta kau sampaikan sekalian,” berkata Tok- kow Ing.

Nyonya itu khawatir Tiat Mo Lek mungkin timbul salah paham terhadap kakaknya, maka ia ulangi lagi permintaannya yang semalam sudah diucapkannya.

“Bibi jangan khawatir, ayah bukan seorang yang berpikiran sempit, ia juga memuji Hee Kauw Ing sebagai seorang gagah dalam rimba hijau.”

Selama mereka bicara, tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda, yang justru menuju ke perkampungan itu.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar