Jiwa Ksatria Jilid 08

 
Dalam waktu sangat singkat, delapan peti itu sudah diperiksa secara demikian, selesai memeriksa ia baru berkata sambil tertawa,

“Semua sudah kuperiksa, ternyata tidak ada yang ditukar disini. Hoa lo-cianpwee, kau boleh melakukan tukar menukar dengan mereka.”

Seorang perwira yang menyaksikan dengan mulut ternganga, saat itu dengan tanpa sadar mengeluarkan suara, “A, aaaa!”

Suara itu entah suatu pujian ataukah rasa terkejutnya.

Sementara itu terdengar pula suara seorang berkata dengan nada dingin: “Bocah ini mempunyai kekuatan tenaga cukup besar yang dapat digunakan untuk menggertak orang-orang yang tidak mengerti!” Orang yang mengeluarkan perkataan itu ternyata adalah itu laki-laki berbadan pendek kecil yang berdiri di sisi Pak-kiong Hong.

Toan Khek Gee dengan sinar matanya yang tajam, mencari orang yang berbicara itu. Pak-kiong Hong yang takut timbul terjadi keonaran cepat-cepat berkata:

“Tuan Hoa, sekarang obat pemunah itu dapatkah kau berikan padaku?” Hoa Ciong Tay lalu menjawab:

“Baiklah, saudara Toan, kau bawa kereta itu kemari. Barang-barang dalam kereta itu sebetulnya memang milik kita yang telah ditahan beberapa hari dalam kantor kepala daerah kalian. Empat ekor kuda yang  menarik kereta ini aku anggap sebagai bunganya, apakah kalian tidak menolak? Nah, sekarang barang ini kuterima, aku akan berikan obat pemunahnya kepadamu.”

Pak-kiong Hong ketika mendengar disebutnya perkataan ‘saudara Toan’, hatinya bercekat ia lalu menanya,

“Kiranya saudara kecil ini adalah seorang she Toan, entah siapa namamu yang mulia?” Hoa Ciong Tay tertawa terbahak-bahak kemudian ia berkata:

“Mungkin kau sudah pernah mendengar namanya. Dia adalah Toan Khek Gee, sutenya Khong-khong Jie, masih pernah famili dengan Tiat Mo Lek.”

Pak-kiong Hong terperanjat, dalam batinnya berpikir: Kiranya adalah dia, pantas begitu hebat.

Toan Khek Gee baru saja hendak menggiring kuda kereta, laki-laki pendek itu tiba-tiba merintangi seraya berkata,

“Tunggu dulu!”

“Kau mau apa?” demikian Toan Khek Gee bertanya.

Laki-laki pendek kecil itu sebaliknya berkata kepada Hoa Ciong Tay:

“Bagaimana kita bisa tahu obat pemunahmu ini asli atau palsu?”

Wajah Hoa Ciong Tay berubah seketika, ia berkata sambil tertawa dingin:

“Ucapanku si orang she Hoa, belum pernah ada orang yang merasa curiga. Kalau kalian tidak percaya, sudah saja kita tak perlu mengadakan pertukaran ini.”

Pak-kiong Hong buru-buru berkata:

“Harap tuan Hoa, jangan salah paham. Tuan Hoa adalah seorang terhormat dalam rimba persilatan, bagaimana kita berani tidak menaruh percaya? Hanya pemimpin kita pernah memberi pesan. Maaf kalau kata-kataku itu salah. Aku sekarang mempunyai suatu cara pemecahan, entah tuan Hoa suka terima atau tidak?”

“Cara pemecahan bagaimana yang kau maksudkan?”

“Harap supaya putrimu ikut kita, kereta ini kita tinggal disini. Apabila obat pemunah racun ini nampak hasilnya, segera kita pulangkan putrimu. Cara demikian apakah tuan anggap adil?”

Hoa Ciong Tay mendadak gusar ia berkata dengan suara keras:

“Apakah kalian menghendaki anakku sebagai barang tanggungan? Kurang ajar! Bawalah pulang keretamu, tidak perlu kau tukarkan dengan obat lagi!”

Toan Khek Gee berkata sambil tertawa: “Hoa lo-cianpwee tidak perlu gusar. Kalian menghendaki barang tanggungan? Biar aku saja yang pergi! He, he, barangkali Tian Sin Cie lah sendiri yang tidak berani menjumpai aku!”

Pak-kiong Hong melihat gelagat tidak baik, terpaksa berkata sambil menahan sabar:

“Aku tadi sudah berkata bahwa hal ini bukanlah maksudku sendiri, melainkan junjungan kita. Jikalau tuan Hoa tidak setuju, biarlah aku sendiri yang tanggung jawab. Buat aku sendiri sudah tentu percaya penuh pada tuan Hoa. Kita sekarang boleh melakukan pertukaran dan harap tuan Hoa maafkan kesalahanku tadi.”

Hoa Ciong Tay perdengarkan suara di hidung, baru berkata:

“Begitu baru pantas sebagai manusia.”

Toan Khek Gee lalu menggiring kereta itu masuk pekarangan rumah. Hoa Ciong Tay juga menyerahkan kedua botol kepada Pak-kiong Hong sambil berkata:

“Dalam botol ini terisi tiga butir obat pemunah, setiap tiga hari makan sebutir, pasti akan sembuh penyakitnya.”

Pak-kiong Hong terima botol itu, lalu diberikan kepada seorang perwira bawahannya seraya berkata: “Kalian boleh pulang dahulu, harus berlaku hati-hati, kalau hilang kalian harus tanggung jawab!”

Perwira itu menerima baik pesan itu, lalu minta diri dengan membawa rombongannya berikut empat perwira yang terluka.

Pak-kiong Hong sendiri dan laki-laki pendek kecil itu masih belum berlalu. Hoa Ciong Tay lalu bertanya kepadanya dengan nada suara dingin:

“Jenderal Pak-kiong Hong, masih ingin memberi pelajaran apa?”

“Tuan Hoa, kita juga terhitung orang-orang yang saling tidak mengenal apabila tidak bertempur. Sayang dalam dua kali pertandingan, tuan telah berlalu secara tergesa-gesa sehingga aku belum sempat menyaksikan seluruh kepandaianmu.”

“Apakah jenderal Pak-kiong Hong menghendaki pertandingan yang ketiga kalinya? Baiklah, aku sekarang sedang menganggur, tidak halangan untuk mengiringi kehendakmu!”

Di luar dugaan Pak-kiong Hong berkata: “Bukan demikian maksudku, kali ini aku hanya ingin berdiri sebagai penonton.”

Hoa Ciong Tay tercengang ia berkata:

“Kalau begitu siapa yang hendak maju?” “Suteeku!”

Laki-laki pendek kecil itu lalu berkata:

“Aku sudah lama, aku mengakui kepandaian tuan yang sudah lama mendapat banyak pujian itu, maka aku juga ingin belajar kenal. Sudilah kiranya tuan memberi pelajaran?”

Laki-laki pendek kecil itu usianya mungkin belum lebih tigapuluh tahun, tetapi sinar matanya menunjukkan bahwa ia adalah seorang kuat. Dalam matanya ahli persilatan begitu melihat segera dapat tahu kalau orang itu hebat sekali kekuatan tenaga dalamnya.

Dengan hati bercekat Hoa Ciong Tay berkata:

“Oh, kau adalah suteenya jenderal Pak-kiong? Kalau begitu, Su-kkong lo-cianpwee dari gunung Soat-san itu adalah ayahmu ataukah gurumu?”  Laki-laki itu berkata dengan sikap sombong:

“Beliau adalah ayahku. Tetapi tuan Hoa, kau tidak perlu banyak pikiran, dalam pertandinganku dengan kau

ini, siapa yang akan menang atau kalah aku tidak akan memberitahukan kepada ayah.”

Kiranya Su-khong To dari gunung Soat-san itu pada dewasa itu marupakan satu iblis yang herkedudukan paling tinggi dalam golongan sesat, usianya sudah delapanpuluh tahun lebih. Tetapi karena seumur hidupnya berdiam di gunung Soat-san dan belum pernah menginjak kaki ke daerah Tiong-goan, maka orang-orang rimba persilatan daerah Tiong-goan, sedikit sekali yang tahu dirinya.

Laki-laki pendek kecil itu bernama Su-khong Beng, anak bungsu Su-khong To, juga merupakan anak satu- satunya yang dilahirkan dalam usia yang sudah lanjut. Tidak heran kalau sangat disayang oleh ayahnya. Maka walaupun ia masih pernah adik seperguruan Pak-khiong Hong, tetapi karena mendapat warisan kepandaian ayahnya, maka kepandaian ilmu silatnya lebih tinggi dari pada suhengnya.

Pak-kiong Hong karena khawatir ia sendiri tidak dapat menandingi Hoa Ciong Tay, lalu mengundang adik seperguruan itu untuk membantu. Kebetulan sekali jatuh pada hari itu juga.

Walaupun Su-khong Beng berkata demikian, tetapi Hoa Ciong Tay mau tidak mau harus memikirkan akibatnya. Dalam hatinya lalu berpikir: Kepandaian ilmu silat golongan Soat-san, merupakan suatu kepandaian yang sangat jahat dan ganas. Meskipun aku tidak takut, tetapi dalam pertandingan, apabila aku tidak melukainya, pastilah ia yang melukai padaku, jikalau menghendaki kedua pihak tidak ada yang luka rasanya tidak mungkin.

Iblis tua itu cuma mempunyai, seorang anak, jikalau aku melukai kepadanya, apakah iblis tua itu mau mengerti? Sekalipun iblis tua itu belum tentu dapat mencabut nyawaku, tetapi biar bagaimana merupakan suatu hal yang menyulitkan. Apalagi usia bocah ini nampaknya belum lebih dari tigapuluh tahun, jauh sekali perbedaannya dengan usiaku. Kalau aku bertanding dengan seorang tingkatan muda, sekalipun menang juga tidak patut dibuat bangga, tetapi kalau tidak dapat kemenangan sebaliknya malah menjadi bahan tertawaan.

Selagi Hoa Ciong Tay masih bersangsi, Toan Khek Gee tiba-tiba tertawa dan berkata:

“Kau ingin bertanding dengan Hoa lo-cianpwee, tingkatanmu agak kurang sesuai, sebaiknya main-main beberapa jurus denganku saja. Bukankah kau tadi pernah berkata bahwa aku cuma mempunyai kekuatan tenaga beberapa kati saja, yang cuma dapat dipergunakan untuk menggertak orang biasa? Baik, sekarang aku ingin melihat kepandaian apakah sebetulnya yang kau punyai?

Guru Toan Khek Gee sama tingkatannya dengan iblis dari gunung Soat-san itu, sedangkan usianya juga lebih muda dari pada Su-khong Beng, kalau ia yang maju untuk menandinginya itulah yang paling tepat. Tetapi Su-khong Beng banggakan kepandaiannya sendiri, sifatnya juga terlalu sombong. Mendengar perkataan Toan Khek Gee, lalu berkata sambil tertawa dingin:

“Pantaskan si bocah ini bertanding denganku?”

“Pantas atau tidak, harus dicoba dahulu baru tahu. Kau omong terlalu besar, baiklah aku memberi Fuur kepadamu sepuluh jurus!” berkata Toan Khek Gee dingin.

Su-khong Beng gusar sekali, ia berkata dengan suara keras:

“Kau bocah ini barangkali sudah bosan hidup, dalam tiga jurus aku akan mencabut nyawamu!” Ucapannya itu segera ditutup dengan suatu serangan hebat.

Serangannya itu ternyata mengandung suara menderunya angin sehingga mengejutkan Toan Khek Gee, maka ia tidak berani berlaku gegabah. Dengan menggunakan ilmunya yang meringankan tubuh, ia menghindarkan serangan tersebut.

Serangan Su-khong Beng yang mengenakan tempat kosong, diam-diam juga terperanjat, dengan cepat ia membalikkan tangannya untuk menyambar. Gerakan ini lebih hebat, tiga bagian atas badan Toan Khek Gee semua terancam di bawah telapakan dan jari tangannya. Walaupun ia sendiri juga merupakan seorang ahli dalam serangan totokan, tetapi juga mengagumi serangan lawannya itu.

Su-khong Beng mengeluarkan gerak tipu menyambak, dan menotok yang hebat itu. Dalam anggapannya betapapun gesit Toan Khek Gee dapat mengelakkan, juga tidak luput dari bahaya hancur tulang dan uratnya.

Tidak disangka kegesitan dan kelincahan Toan Khek Gee, ternyata jauh di luar dugaannya, pemuda itu sambil mengeluarkan, perkataan: “Sungguh hebat! sayang tidak kena!” Badannya cuma menggeser dan berkelit, serangan hebat Su-khong Beng kembali mengenakan tempat kosong.

Bukan, kepalang terkejut dan gusarnya Su-khong Beng ia maju lagi sambil membentak: “Kau hendak lari kemana?”

“Aku sudah berkata akan memberi fuur sepuluh jurus kepadamu, dengan cara bagaimana aku bisa lari?” berkata Toan Khek Gee sambil tertawa dan berdiam diri untuk menantikan serangan Su-khong Beng lawannya.

Pemuda itu di luarnya masih tertawa-tawa mengejek lawannya, namun dalam hatinya diam-diam juga waspada. Kiranya baru saja sewaktu ia berkelit, meski nampaknya sangat tenang, tetapi sebetulnya sudah mengeluarkan seluruh kepandaiannya.

Sementara itu Su-khong Beng sudah melanjutkan serangannya yang ketiga, dua kali serangannya yang terdahulu, masih jauh kalah hebatnya dari serangannya kali ini. Bayangannya nampak seperti ribuan tangan yang sedang bergerak, kekuatan yang keluar dari serangan itu menyerang dari delapan penjuru angin.

Hoa Ciong Tay dan putrinya yang berdiri menonton di tempat sejarak sepuluh tombak lebih juga merasakan hebatnya sambaran angin itu.

Pada saat itu Hoa Ciong Tay sendiri juga merasa khawatir. Dengan cepat ia maju dua langkah siap sedia untuk memberi bantuan apabila terjadi hal-hal yang tidak diingini.

Pak-kiong Hong sambil menenteng senjatanya mengawasi gerak gerik Hoa Ciong Tay. Tatkala melihat Hoa Ciong Tay maju, ia segera berkata sambil tertawa:

“Tuan Hoa, kita tadi tokh sudah berkata akan berdiri sebagai penonton!”

Sebelum menutup mata, tiba-tiba terdengar suara siulan panjang Toan Khek Gee, badan pemuda itu nampak melesat tinggi ke atas melayang keluar dari ribuan bayangan tangan itu.

Pak-kiong Hong sungguh tidak menduga bahwa ilmu kepandaian meringankan tubuh anak muda itu ada sedemikian mahirnya, maka dengan tanpa sadar juga memberi pujian.

Ia tidak tahu bahwa Toan Khek Gee kali ini dengan beruntun tujuh rupa gerak tipu ilmu silat akhirnya baru lolos dari kurungan bayangan, maka mendengar pujian Pak-kiong Hong, sebaliknya malah menunjukkan senyum masam.

Toan Khek Gee masih belum tahu bahwa kekuatan tangan yang keluar dari serangan Su-khong Beng, dapat melukai urat-urat dan tulang dalam daging, apabila terkena serangannya sekalipun tidak mati juga akan menjadi seorang bercacat.

Justru karena serangan yang sangat ganas itu, maka Hoa Ciong Tay merasa khawatir keselamatan diri Toan Khek Gee.

Tetapi Hoa Khiam Hong nampak sangat girang menyaksikan pertandingan itu ia berkata:

“Orang pendek kecil itu tadi bukankah pernah omong besar, bahwa dalam tiga jurus hendak mencabut nyawa orang? Dan sekarang tiga jurus ternyata sudah berlalu!”  Toan Khek Gee berkata sambil tertawa:

“Dia yang berkata tiga jurus, sebaliknya aku sudah berkata memberi fuur kepada sepuluh jurus! Mari,

masih ada tujuh jurus lagi kau boleh gunakan sesukamu!” Dengan muka merah padam Su-khong Beng membentak:

“Siapa sudi menerima fuurmu? Mengapa kau tidak berani bertanding benar-benar denganku?” Sambil ketawa terbahak-bahak Toan Khek Gee menyahut:

“Serangan tidak dapat mengenakan diriku, itu adalah kepandaianmu sendiri yang tidak berguna bagaimana kau kata bukan bertanding?”

Hoa Ciong Tay kerutkan keningnya, dalam hati berpikir: Bagaimana Toan Khek Gee begitu gegabah masih hendak memberi fuur lawannya sepuluh jurus?

Mana ia tahu bahwa Toan Khek Gee ada mempunyai perhitungannya sendiri. Tadi setelah ia mencoba tiga jurus, ia sudah tahu kekuatan lawannya lebih tinggi dari kekuatannya sendiri. Jikalau ia melawan dengan kekerasan barangkali tidak sanggup melawan sampai sepuluh jurus. Tetapi apabila ia hanya berkelit, dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mahir sekali, masih sanggup melayaninya sehingga sepuluh jurus. Setelah sepuluh jurus berlalu maka ia dapat mengejek lawannya dan tidak perlu bertanding benar-benar lagi.

Su-khong Beng yang dibikin malu sedemikian rupa benar-benar telah naik pitam, ia pikir lawannya sudah memberi fuur tiga jurus, kalau ia dikatakan merupakan suatu kejadian yang memalukan, biar bagaimana hal itu tokh sudah terjadi. Apakah ia dapat memaksa lawannya balas menyerang?

Maka ia lalu membentak dengan suara keras:

“Baik, kau hendak mencari mati, ini adalah kau sendiri yang menginginkan!” Dengan cepat ia menerjang pula dan melancarkan serangannya secara ganas.

Toan Khek Gee ternyata sangat lincah dan tangkas, betapapun cepat serangan lawannya ia dapat mengelakkan lebih cepat lagi.

Hoa Khiam Hong terus menghitung, sebentar saja tiga jurus sudah berlalu, ia segera menyebut angka enam.

Su-khong Beng setelah melancarkan serangannya tiga jurus yang tidak mendapat hasil apa-apa, sikapnya nampak kendor. Toan Khek Gee juga menggunakan kesempatan itu untuk mengatur pernapasannya sebentar. Tiba-tiba ia merasa di badannya ada alat dingin yang membuat jalan pernapasannya akan terhambat.

Kiranya serangan tangan Su-khong Beng yang dapat melukai urat nadi dan tulang-tulang dalam tubuh manusia. Toan Khek Gee yang melayani sampai enam jurus sudah terkena pengaruhnya serangan tersebut. Untung kepandaian yang ia pelajari sudah mempunyai dasar yang sangat kuat, apalagi ia tidak melawan dengan kekerasan maka tidak menyebabkan halangan baginya.

Setelah marasakan keadaan dalam badannya, ia baru terkejut, tetapi saat itu Su-khong Beng sudah melancarkan lagi serangannya.

Toan Khek Gee yang sudah agak terpengaruh tenaga murninya, seketika itu ia merasa tidak dapat mengelakkan serangan lawannya secara leluasa lagi. Kemana saja ia menyingkir, selalu masih dapat merasakan hebatnya sang lawan itu.

Sedikit perobahan itu, sudah tentu tidak dapat dilihat oleh Hoa Khiam Hong, hingga masih menghitungnya dengan gembira sampai ke angka sembilan.

Tetapi ayahnya dapat melihat perobahan itu diam-diam ia terkejut. Toan Khek Gee meskipun merasakan agak sulit untuk mengelakkan serangan lawannya, tetapi biar bagaimana sudah berhasil mengelakkan tiga jurus lagi, ini berarti ia cuma menunggu jurusnya yang terakhir.

Su-khong Beng diam-diam juga terkejut, ia tidak tahu kemahiran ilmu silat Toan Khek Gee justru pada ilmunya meringankan tubuh. Dalam hatinya berpikir: Bocah ini ternyata sudah dapat mengelakkan seranganku sampai sembilan jurus, jurus terakhir mungkin juga tidak dapat melukai dirinya. Jikalau ia balas menyerang mungkin aku tidak dapat melawannya.

Dengan demikian satu persatu itu ia taklukkan. Tepat pada saat, tiba-tiba tertampak bayangan seorang wanita lari mendatangi sambil berkata:

“Khek Gee, kau sedang berkelahi dengan siapa?”

Perempuan yang datang itu adalah istri Toan Khek Gee, Su Yak Bwee. Karena sudah lama ia menunggu, masih belum dapat melihat suaminya kembali, karena ia khawatir terjadi apa-apa atas diri suaminya, maka ia pergi mencari.

Toan Khek Gee berkata sambil tertawa:

“Sahabat ini hendak menguji kepandaianku ia ingin tahu aku dapat memberikan fuur padanya sepuluh jurus atau tidak. Sekarang tinggal jurus terakhir, kau tunggu saja.”

Su Yak Bwee tertawa geli, ia berkata:

“Minta orang memberi fuur sampai sepuluh jurus, apakah itu masih berarti satu orang gagah? Khek Gee, kau benar-benar keterlaluan. Semua orang sedang menantikan pulangmu dengan hati cemas, tetapi kau sendiri masih punya kegembiraan bertanding, dengan orang-orang. Tokh bukan seorang lawan kuat sebaiknya jangan dilanjutkan lagi!”

Su Yak Bwee tidak melihat pertandingan tadi, bagaimana ia tahu, bahwa Su-khong Beng yang bertanding dengan suaminya itu, kepandaiannya masih di atas suaminya. Toan Khek Gee yang nampaknya masih tertawa-tawa dan tenang-tenang saja sebetulnya sudah hampir kehabisan tenaga, jurus terakhir itu ia masih sanggup menyambuti atau tidak, masih merupakan suatu pertanyaan.

Untung Su-khong Beng juga merasa jerih, sehingga jurus terakhir itu ia tidak berani melancarkan sembarangan dengan demikian maka Toan Khek Gee mendapat kesempatan untuk bernapas dan mengumpulkan kekuatannya.

Tiat Ceng sebetulnya sudah berada di dalam rumah, karena Hoa Khiam Hong menyuruh ia beristirahat, maka saat itu ia sedang rebahan di pembaringan. Ketika mendengar suara Su Yak Bwee, dalam girangnya, ia lalu lari keluar untuk menjumpai bibi itu seraya berkata:

“Bibi Su, bibi Su!”

Munculnya Tiat Ceng sangat menggirangkan Su Yak Bwee, ia lalu berkata sambil memegang tangan anak muda itu:

“Bagus, kau baik-baik saja, itu sudah cukup menggirangkan. Tahukah kau bagaimana sibuknya kita semua mencari kau? Eh, mengapa wajahmu nampak kurang sehat?”

“Tidak apa-apa, barang-barang yang hilang telah kembali lagi. Dan ini adalah Hoa lo-cianpwee.” Demikian Tiat Ceng menjawab sambil memperkenalkan bibinya kepada Hoa Ciong Tay.

Hoa Ciong Tay lalu berkata:

“Su-lihiap, sebentar kita mengobrol lagi. Saudara Toan, isterimu sedang menantikanmu, karena kau sudah memberi fuur sepuluh jurus, biarlah sekarang aku yang menggantikanmu!”

Sebagai seorang ahli dalam ilmu silat, ia sudah tahu kalau Toan Khek Gee hampir kehabisan tenaga. Sepuluh jurus kemudian, pasti tidak sangup melayani musuhnya lagi, maka ia menggunakan kesempatan itu, minta Toan Khek Gee mengundurkan diri. Su-khong Beng setelah menyerang hebat kepada lawannya sampai sembilan jurus, juga sudah kehilangan banyak tenaga. Ketika mendengar perkataan Hoa Ciong Tay, dalam hati diam-diam mengeluh. Ia takut Hoa Ciong Tay benar-benar akan membuktikun ucapannya, maka serangan terakhir semakin tidak berani melakukan secara sembarangan lagi.

Maksud Pak-kiong Hong semula sebetulnya minta suteenya melawan Hoa Ciong Tay, sedang ia sendiri yang hendak merampas kembali kereta barang-barang itu. Siapa tahu tiba-tiba muncul Toan Khek Gee, dan hasil dari pertandingan itu, suteenya sendiri juga masih belum sanggup melawan, bagaimana ia berani melawan Hoa Ciong Tay lagi.

Apalagi saat itu datang pula Su Yak Bwee. Sebagai orang kang-ouw, sudah tentu ia tahu dan pernah dengar nama jago betina yang telah menggemparkan dunia Kang-ouw itu. Dengan demikian, maka Pak- kiong Hong juga tidak berani mewujudkan rencananya lagi.

Su-khong Beng masih menghadapi Toan Khek Gee dalam posisi bersiap-siap hendak melakukan serangannya terakhir, tetapi sebegitu jauh masih belum berani turun tangan.

Toan Khek Gee lalu berkata:

“Kalau kau tidak segera mengeluarkan seranganmu, aku sudah tidak ada waktu melayani kau lagi!” Pak-kiong Hong lalu berkata sambil ketawa terbahak babak:

“Hanya main-main saja, bukan pertandingan benar-benar, rasanya sudah cukup lama sutee, karena Toan siaohiap masih ada urusan, maka kita tidak perlu merintanginya. Marilah kita pulang!”

Karena melihat gelagat tidak baik, perwira itu telah mengambil keputusan untuk berlalu.

Su-khong Beng juga sedang mencari kesempatan untuk mengundurkan diri, ketika mendengar perkataan suhengnya segera menyahut:

“Baiklah kita simpan tenaga untuk pertemuan di lain waktu. Di lain hari apabila ada kesempatan aku akan minta pelajaran dari kalian lagi.”

Orang yang sangat sombong itu, sikapnya kini ternyata sudah berubah seratus delapanpuluh derajat. Sikap sombongnya telah lenyap sama sekali.

Toan Khek Gee tertawa terbahak-bahak kemudian berkata:

“Sampai berjumpa lagi. Tolong kalian beritahukan kepada Tian Sin Cie, supaya jangan lagi memikirkan yang bukan-bukan. Jikalau tidak, dengan mudah sekali aku dapat mengambil jiwa ia dengan anaknya?”

Su-khong Beng tidak berani menjawab, dengan cepat meninggalkan tempat tersebut bersama suhengnya. Setelah kedua musuh itu berlalu, Toan Khek Gee lalu berkata lagi sambil tertawa:

“Sungguh berbahaya! Jikalau ia melakukan serangannya yang terakhir, sekalipun aku dapat mengalahkan, barang kali juga mendapat sedikit luka.”

Di waktu menghadapi musuh, sikap pemuda itu terus nampak tenang, wajahnya tidak merah, napasnya juga tidak memburu, tetapi kini setelah selesai bertanding barulah kelihatan basah kuyup sekujur badannya. Di atas badannya mengepul hawa putih, dibanding dengan keadaannya di waktu bertanding jauh sekali perbedaannya.

Kiranya untuk menghadapi serangan Su-khong Beng yang bisa melukai urat-urat dan tulang-tulang dalam daging, Toan Khek Gee harus menggunakan kekuatan tenaga dalamnya yang sudah sempurna untuk menahan, agar musuhnya tidak dapat meraba kepandaiannya.

Dan kini setelah musuhnya pergi, ia baru mendapat kesempatan mengatur pernapasannya, untuk mengeluarkan hawa dingin yang berada dalam tubuhnya. Semua orang yang menyaksikan terperanjat. Su Yak Bwee juga baru tahu kehebatan musuh itu, maka lalu sesalkan suaminya yang suka mau menang saja.

Toan Khek Gee lalu berkata sambil tertawa:

“Aku cuma dapat memberi fuur sepuluh jurus kepadanya, jikalau harus bertanding benar-benar, mungkin aku tidak sanggup melawannya.”

Sementara itu Hoa Khiam Hong juga berkata kepada Tiat Ceng:

“Engko Ceng, bagaimana kau tidak dengar kata. Sekarang kembali kau berada di luar? Baru saja kau makan obat, seharusnya tidur-tiduran.”

Tiat Ceng berkata sambil tertawa:

“Karena aku mendengar suara bibi Su, bagaimana aku tahan berada di dalam kamar?” “Baiklah, sekarang kau boleh balik lagi,’’ demikian Hoa Khiam Hong berkata.

Su Yak Bwee yang mendengar dan melihat hubungan dua muda mudi itu sedemikian mesra, dalam hati sudah mengerti. Ia lalu berkata sambil tertawa:

“Tiat Ceng, kapan kau berkenalan dengan adik ini?” Dengan muka merah Tiat Ceng menjawab:

“Aku kira adik Leng sudah memberitahukan kepadamu Hoa lo-cianpwee ini telah membantu banyak kepada kita. Tadi malam ketika aku terkena panah beracun di kamar Tian Sin Cie juga Hoa lo-cianpwee yang menolong jiwaku.”

Setelah semua orang masuk ke dalam rumah, Hoa Ciong Tay baru berkata:

“Racun dalam tubuh Tiat Ceng masih belum bersih seluruhnya, perlu aku harus rawat sendiri. Barangkali masih perlu beristirahat beberapa hari di sini sehingga tidak pulang bersama-sama denganmu.”

Su Yak Bwee berkata:

“Apakah Tian Sin Cie tidak akan mengutus orang datang kemari lagi?” Hoa Ciong Tay lalu berkata:

“Baru saja dengan susah payah ia minta obat pemunah dariku, kembali telah digertak oleh Khek Gee. Aku kira ia tidak berani datang lagi untuk mencari onar. Apa lagi mereka barang kali juga menganggap bahwa kita setelah mendapat kembali barang-barang itu, pasti akan kabur jauh-jauh. Andaikata dia datang tak akan cari kemari. Sebaliknya adalah kalian supaya lekas kirim barang kereta ini ke atas gunung, supaya jangan terjadi hal-hal yang tidak diingini lagi.”

Dua suami istri itu tahu benar tinggi kepandaiannya Hoa Ciong Tay, jikalau ia dan putrinya begitu sayang kepada Tiat Ceng, sudah tentu tidak perlu merasa khawatir.

Toan Khek Gee lalu berkata:

“Begitupun baik, kalau begitu kita minta diri lebih dulu.” Hoa Ciong Tay berkata:

“Nanti setelah luka Tiat Ceng sembuh aku akan mengantarkannya pulang ke gunung Hok-gu-san. Harap kau sampaikan salamku kepada Tiat cecu, minta ia supaya jangan khawatir.”

“Dengan adanya lo-cianpwee yang merawat, apakah kita perlu khawatir? Tiat cecu sejak anak-anak sudah mengikuti ayah almarhum berkelana di dunia Kang-ouw. Terhadap lo-cianpwee, juga sudah lama tahu, kalau ia dapat bertemu dengan Hoa lo-cianpwee, entah bagaimana girangnya? Harap saja supaya Hoa lo- cianpwee lekas datang.”

Hoa Ciong Tay seperti mengingat sesuatu, ia berkata sambil tertawa:

“Ah, kau pandai memuji. Tiat Mo Lek telah mendapat pelajaran dan warisan kepandaian ayahmu dengan Mo Khia Lojin, merupakan satu jago dan seorang gagah nomor satu pada dewasa ini. Kedatanganku kali ini ke daerah Tiong-goan, sebetulnya juga ingin menjumpainya.”

Toan Khek Gee suami istri naik ke atas kereta, selagi hendak pergi, Hoa Ciong Tay tiba-tiba berkata: “Saudara Toan, suhengmu Khong-khong Jie sekarang ada dimana?”

Toan Khek Gee menyahut:

“Suhengku dan susoku selalu berkelana di dunia Kang-ouw, jejaknya tidak menentu. Sekarang, aku juga tak tahu dimana mereka berada. Apakah Hoa lo-cianpwee kenal dengan mereka?”

“Susomu bukankah Sin Cie Kow yang bergelar Bu-ceng-kiam?” “Benar.”

“Tentang suhengmu sudah lama aku dengar namanya, tapi belum pernah bertemu muka. Mengenai susomu, pada tiga tahun berselang, aku pernah bertemu dengannya.”

“Baiklah, nanti apabila aku bertemu dengan mereka aku akan ceritakan. Suhengku paling suka berkenalan dengan orang-orang yang berkepandaian tinggi. Ia pasti akan merasa girang apabila bertemu dengan lo- cianpwee.”

Hoa Ciong Tay berpikir sejenak lalu berkata:

“Di hadapan suhengmu lebih baik jangan sebut namaku. Apabila ada jodoh kita bertemu baru mengadakan perkenalan, tidak usah merepotkan suhengmu mencari aku. Sekarang waktunya sudah siang kalian boleh berangkat!”

Toan Khek Gee tidak tahu bahwa Hoa Ciong Tay di masa mudanya pernah meminang Sin Cie Kow tapi tidak berhasil mendapatkan dirinya. Ia cuma merasa bahwa ucapan jago tua itu ada sedikit aneh, tetapi dianggapnya orang-orang yang berkepandaian tinggi sedikit banyak mempunyai adat aneh maka ia juga tidak tanya lagi.

Waktu Toan Khek Gee tiba di rumah keluarga Pui bersama kereta barangnya, sudah hampir tengah malam. Pui Pek Hu, Can Pek Sin dan Tiat Leng sekalian masih belum tidur menantikan padanya. Ketika mendengar suara kereta dan kuda, buru-buru keluar menyambut.

Dalam girangnya Tiat Leng lalu berkata dengan suara nyaring,

“Paman Toan, kau benar-benar hebat, pantas kau pergi demikian lama. Kiranya sudah berhasil merampas kembali barang-barang kita!”

Toan Khek Gee berkata sambil tertawa:

“Semua ini adalah jasanya Hoa Ciong Tay lo-cianpwee. Engkomu juga berada di sana.” “Kenapa engko tidak ikut kau pulang?”

“Kau jangan khawatir, di sana ia ada nona Hoa yang merawatnya, nampaknya senang sekali. Mari kita bicara di dalam.”

Setelah Toan Khek Gee menceritakan apa yang telah terjadi, Pui Pek Hu lalu berkata:

“Disini aku juga tidak bisa tinggal lebih lama lagi. Karena barang-barang berharga itu kita sudah rampas kembali, besok kita berangkat bersama-sama dengan kalian.” Toan Khek Gee berkata dengan girang:

“Dengan adanya kau turut membantu di sepanjang jalan, aku boleh berangkat ke kota Yang-cu. Aku sudah berjanji dengan bibi Hee, hendak membantu Lam Hee Lui.”

Su Yak Bwee yang paling memperhatikan keadaan Jie Im Nio, lalu berkata,

“Hanya tidak tahu enci Im yang habis melahirkan apakah dapat melakukan perjalanan jauh?”

Belum lagi menutup mulutnya, tiba-tiba terdengar suara tangis anak bayi. Jie Im Nio sudah keluar dari kamar sambil menggendong oroknya, kemudian berkata sambal tertawa:

“Yak Bwee, kau juga terlalu pandang aku lemah. Untuk berjalan mungkin aku tidak sanggup, tetapi duduk di atas kereta apakah tidak sanggup? Anak jangan menangis, bibi Su sayang padamu.”

Su Yak Bwee menyambut orok dari tangan Jie Im Nio setelah ditimang-timang, orok itu benar saja berhenti menangis. Ia lalu berkata sambil tertawa:

“Anak ini baik sekali, juga mendengar kata orang tua. Ia seperti mengenali aku yang menyambut dia yang muncul di dalam dunia. Enci Im Nio, perkara merawat anak sama sekali aku tidak mempunyai pengalaman, aku cuma tahu kau yang sehabis melahirkan perlu beristirahat. Tetapi kalau kau anggap boleh membawanya, sebaiknya kita lekas meninggalkan tempat ini.”

Jie Im Nio berkata:

“Nampaknya kau senang sekali pada anak kecil, kalau begitu kau juga lekas mendapatkan seorang anak, apabila bayi perempuan, kita boleh berbesan.”

“Cis. sudah menjadi ibu kata-katanya masih melancung.”

<>

Keesokan harinya, di waktu masih pagi-pagi sekali, mereka sudah melakukan perjalanannya.

Pui Pek Hu suami istri dengan Can Pek Sin dan Tiat Leng pergi mengantar kereta barang menuju ke gunung Hok-gu-san, sedangkan Toan Khek Gee suami istri menuju ke kota Yan-ciu.

Di dalam kereta kini diperlengkapi dengan bol-sak untuk Jie Im Nio dan anaknya. Di sekitarnya tertumpuk delapan peti besi besar, sehingga merupakan sebuah kamar tidur darurat.

Pui Pek Hu yang bertindak sebagai kusir, sedangkan Can Pek Sin dan Tiat Leng berjalan di muka dengan menunggang kuda.

Can Pek Sin yang berjalan bersama dengan Tiat Leng, jalan belum antara lama, lalu berkata kepada Tiat Leng:

“Adik Leng, apakah kau tidak pergi melihat Engkomu?” Tiat Leng menjawab sambil tertawa:

“Dia sudah ada enci Hoa yang merawat, kalau aku pergi sebaliknya akan mengganggu mereka.” Tiat Leng kembali tertawa, tiba-tiba berkata pula:

“Can toako, aku beritahukan kepadamu suatu rahasia.” “Rahasia apa?”

“‘Di waktu masih kecil aku pernah mencuri dengar ayahku yang sedang berunding dengan ibu. Ibu ingin sekali mengambil menantu perempuan dari keluarga Lam, katanya dua orang itu usianya sebaya, tentang tingkatan agak berbeda tidak menjadi soal. Tetapi ayah mengatakan sebaiknya membiarkan anak-anak itu memilih pasangannya sendiri nanti setelah dewasa. Sungguh tidak diduga engkoku sekarang benar-benar telah memilih sendiri pasangannya.”

Anak perempuan keluarga Lam yang disebutkan oleh Tiat Leng adalah anak perempuan Lam Cee In, adik perempuan Lam Hee Lui yang bernama Lam Cu Lui.

Lam Cee In dengan Toan Kui Ciang sama tingkatannya, tetapi lebih tua dari Tiat Mo Lek, perbedaan usia mereka tidak ada sepuluh tahun. Oleh karena Lam Cee In baru kawin setelah berusia tigapuluh tahun, anak perempuan satu-satunya merupakan anak yang ketiga, tahun itu berusia delapanbelas tahun, cuma lebih tua satu tahun dari pada Tiat Ceng.

Dalam soal perkawinan dijaman itu, tidak tertalu mementingkan soal tingkatan, antara Lam Cee In dengan Toan Kui Cang juga hanya merupakan sahabat baik tetapi bukan keluarga. Tiat Mo Lek memang adalah anak angkat Toan Kui Ciang, hubungannya dengan keluarga Lam lebih jauh lagi, di masa hidupnya Lam Cee In juga memanggil Tiat Mo Lek saudara kecil.

Maka ibu Tiat Ceng waktu merundingkan soal perkawinan itu, juga tidak merasa tidak melanggar tradisi dunia.

Can Pek Sin dalam hati berpikir: Adik Leng kalau bicara suka dilebih-lebihkan, segala urusan demikian juga dikatakan rahasia.

Namun di luarnya masih mengunjukan tertawa, kemudian ia berkata:

“Bagaimana kau tahu kalau engkomu sudah dapat pilihan? Tahun ini ia sudah berusia tujuhbelas tahun, bersahabat dengan satu-dua orang sahabat, juga merupakan hal yang biasa!”

“Kau jangan menganggap usiaku masih muda tidak mengerti urusan. Hari itu enci Hoa, bertekad hendak bertanding dengan engkoku, aku sudah dapat mencium gelagat bahwa dalam hal ini mengandung maksud mencari jodoh. Lagi pula kemudian setiap kali aku bicara dengan engkoku kalau aku menyebut tentang diri Nona Hoa, sikap engkoku seperti dengan kau...”

“Bagaimana pembicaraanmu ini tiba-tiba melantur ke atas diriku? Apa yang seperti denganku?”

“Sama seperti sikap setiap kali aku menyebut diri enci Thie. Sikapmu bukankah mengunjukkan ingin menyebut namanya tetapi nampaknya agak takut? He, mungkin kau sendiri masih belum tahu perobahan sifat itu!”

Can Pek Sin yang dibuka rahasia hatinya, lalu diam. Tiat Leng berkata pula:

“Betul tidak? Baru saja aku menyebut lagi, kau nampaknya sudah jengkel. Ah, Can toako, bukan aku mengatakan dirimu, Thie Po Leng demikian rupa memperlakukan kau, perlu apa kau sesali dirimu sendiri? Ah, lebih baik di waktu masih anak, kala itu antara kau, aku, engkoku dan enci Thie bermain bersama- sama. Kau perlakukan kita sama saja, tidak nanti akan timbul banyak kerewelan!”

Tiat Leng dalam usianya yang hampir menanjak enambelas tahun, mengenai urusan kaum pria dan wanita, kalau dikata mengerti tetapi dikata tidak mengerti juga mengerti sedikit.

Hatinya masih berbau kanak-kanakan, tetapi hendak berlaku seperti orang dewasa.

Can Pek Sin yang sebetulnya juga sedang kesal ketika mendengar ucapan ke- kanak-kanakan itu, juga merasa geli, sehingga ia berkata tertawa:

“Kapan aku perlakukan dingin kepadamu. Sekarang ini aku terhadap kau, bukankah serupa saja seperti waktu anak-anak?”

“Biar bagaimana tidak seperti sikapmu terhadap enci Thie!” “Adik Leng, bukankah kau tadi suruh aku jangan menyebut dia lagi? Mengapa kau sekarang menyebut ia lagi? Kau tidak mengerti kalau sekarang aku pikirkan dirinya enci Po Leng, semata-mata hanya ingin membalas budi keluarganya terhadap diriku. Baiklah selanjutnya jangan menyebut-nyebut dia lagi.”

Sepasang biji mata Tiat Ceng yang hitam dan bening nampak berputaran, agaknya ingin mengatakan sesuatu, tetapi diurungkan. Sejenak kemudian ia baru berkata sambil tertawa:

“Baiklah asal kau tidak menyebut dia aku juga tidak akan sengaja membuat kau merasa jengkel.”

Selama itu Can Pek Sin memandang Tiat Leng sebagai adik kecil, meskipun ia merasa adik kecil itu masih sedikit kekanak-kanakan, tetapi ia juga merasa bersyukur perhatiannya terhadap dirinya.

Tetapi Can Pek Sin tidak tahu bahwa adik kecil itu sudah merupakan seorang gadis yang menanjak usia remaja, bukanlah sebagai anak kecil yang sama sekali tidak mengerti urusan. Terhadap Can Pek Sin ia semula merasa simpati tetapi kemudian perlahan-lahan mulai tumbuh cintanya.

Dua muda-mudi yang menunggang kuda dengan jalan bersama, sepanjang jalan berkata-kata sambil tertawa-tawa, sehingga tidak merasa kesepian.

Kereta yang membawa muatan yang terlalu berat itu jalannya sangat perlahan-lahan, hampir satu bulan baru tiba di gunung Hok-gu-san. Tetapi dalam hati Tiat Leng, hari-hari itu dirasakan terlalu cepat berlalunya.

Tiba di gunung Hok-gu-san, hati mereka mulai merasa lega. Tetapi ketika memasuki pedalaman pegunungan setelah berjalan dua hari, mendadak merasakan bahwa keadaan di gunung agaknya tidak beres.

Mereka sebetulnya menghitung-hitung bahwa kawanan pasukan tentara yang menjaga di gunung itu pasti akan menyambut kedatangan mereka, tetapi setelah memasuki daerah pegunungan ternyata tidak satupun yang datang menjemput. Hari ketiga, terpisah dengan markas cuma tinggal perjalanan kira-kira empat atau limapuluh pal lagi. Jalanan di atas gunung semakin berbahaya, kereta tidak dapat dijalankan lagi, adalah keadaan yang demikian sebaiknya, ada anak buah di atas gunung yang datang mengangkat peti-peti besar itu. Tetapi di sepanjang jalan keadaan nampak sepi sunyi, tidak kelihatan bayangan seorangpun.

Tiat Leng lalu berkata:

“He, kenapa tidak terdapat seorang pun anak buah ayah? Sekarang kita tidak dapat naik lagi bagaimana?”

Di antara mereka berempat, Tiat Leng yang usianya paling muda dan tenaganya paling lemah sedangkan Jie Im Nio baru mulai pulih kesehatannya sehabis melahirkan, tetapi juga tak boleh mengeluarkan terlalu banyak tenaga. Apabila hendak mengangkut delapan peti berat yang besar itu, sudah tentu tak dapat dilakukan oleh Pui Pek Hu dan Can Pek Sin berdua saja.”

Pui Pek Hu berkata:

“Aku menunggu di sini, kalian naik ke atas gunung pergi melihat.”

Sebagai seorang Kang-ouw kawakan, Pui Pek Hu sudah tahu bahwa keadaan demikian pasti telah terjadi apa-apa di atas gunung, maka hatinya merasa tidak tenang.

Can Pek Sin dan Tiat Leng berdua naik ke atas gunung dan menggunakan ilmunya meringankan tubuh, ketika tiba di tempat bekas markas besar, lalu berseru: “Celaka!”

Ternyata bagunan besar yang memakan tempat sepanjang beberapa pal itu, kini telah berubah menjadi runtuhan puing semuanya.

Tiat Leng ketakutan sehingga untuk sesaat berdiri termangu-mangu, Can Pek Sin lalu menghiburnya seraya berkata:

“Sekalipun ada terjadi apa-apa, dengan kepandaian Ayahmu, juga tidak akan mendapat susah. Mari kita mencari lagi, masih ada orang yang ketinggalan atau tidak?” Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara orang berkata: “Apakah siao-cecu pulang?” Tiat Leng segera menyahut:

“Adalah aku dengan Can toako!”

Sepuluh orang lebih nampak keluar dari dalam rimba, yang berjalan paling depan adalah seorang tua berjenggot panjang, di belakang punggungnya mengendong kantong obat. Ia adalah tangan kanan dan pembantu utama Tiat Mo Lek, To Pek Ing, yang di dalam rimba persilatan tingkatannya masih lebih tinggi setingkat dari pada Tiat Mo Lek.

Dengan cepat Tiat Leng lari menghampiri, dengan suara gemetar ia bertanya: “To khong-khong, apakah yang telah terjadi? Bagaimana dengan ayah?”

To Pek Ing menghela napas panjang kemudian berkata:

“Markas kita di atas gunung ini pada sebulan berselang, telah diserang oleh tentara kerajaan kemudian dibakar. Untung kerugian jiwa manusia tidak banyak, ayahmu sudah melarikan diri dengan sejumlah besar anak buahnya.”

Hati Tiat Leng mulai lega, ia berkata pula:

“Dahulu beberapa kali serangan tentara kerajaan dapat dipukul mundur, mengapa kali ini tak berhasil memukul mundur mereka?”

To Pek Ing kembali menghela napas dan berkata:

“Tahun ini tanaman sawah kita tidak banyak hasilnya, rangsum yang sulit. Pasukan tentara kerajaan dari tiga kota telah datang serentak menyerang markas kita. Sebetulnya kita masih dapat bertahan dengan menjaga tempat-tempat yang strategis.

“Di luar dugaan di antara anak buah kita yang baru, karena tidak sanggup menahan susah, dan ada beberapa pula kepala pasukan yang kena dibeli oleh musuh, sehingga melakukan pengkhianatan. Dalam waktu satu malam, beberapa tempat yang strategis telah terjatuh di tangan musuh, dengan demikian musuh yang mendapat bantuan kaum yang pengkhianat, bisa masuk dengan leluasa. Ayahmu terpaksa mengambil keputusan melepaskan markasnya di gunung ini.”

“Kemana ayah telah pergi?”

“Ayahmu dahulu sebetulnya berdiam bersama Sin Ceecu di atas gunung Kim-kee-nia. Pada delapan tahun berselang ketika gunung itu diduduki oleh tentara kerajaan, baru pindah ke gunung Hok-gu-san ini. Tetapi selama delapan tahun ini anak buah Sin ceecu yang lama membangun kembali usahanya di gunung Kim- kee-nia.

“Kali ini sebelum berangkat ayahmu telah berunding dengan aku. Rencana kita yang telah tetapkan ialah anak buah yang dibawa oleh ayahmu, setiba di bawah gunung, segera berpencaran menuju ke gunung Kim-kee-nia untuk membangun kekuatan tetapi perjalanan sangat jauh. Mereka sudah tiba bersama atau belum, sekarang masih belum menerima kabar.

“Aku dengan ayahmu masing-masing memikul satu tugas. Tugas ayahmu lebih berat ia harus membawa anak buahnya untuk menerobos kepungan musuh. Tugasku agak ringan, dengan serombongan kecil saudara-saudara kita tinggal disini, merawat kawan-kawan yang terluka. Di bawah gunung ini ada sebuah gua yang letaknya sangat rahasia, gua itu dapat memuat beberapa ratus orang, di sanalah kita berdiam. Untung kaum penghianat itu tidak mengetahui rahasia tersebut.

“Kita boleh merasa bersyukur, dapat tempat perlindungan yang begitu baik, meski musuh mengadakan penggeledahan beberapa kali, tetapi tidak berhasil menemukan kita. Setelah mereka membakar bangunan-bangunan kita, karena menganggap gunung ini merupakan gunung tandus, akhirnya juga angkat kaki. “Rombongan kecil orang-orang kita ini, jumlahnya cuma seratus lebih, kemudian ditambah tiga ratus lebih saudara-saudara kita yang terluka. Sekarang jumlahnya hampir limaratus jiwa. Dalam gua itu masih ada redikit ransum, cukup untuk ditahan sementara waktu. Kekurangannya kita tambah dengan jalan berburu atau mencari buah-buahan di atas gunung.

“Saudara-saudara yang terluka sebagian besar sudah sembuh, hari ini kita pikir hendak turun gunung hendak mencari makanan, tidak diduga telah bertemu dengan kalian. Hem, A-leng, bukankah kau pergi bersama-sama dengan engkomu? Mengapa ia sekarang tidak ikut pulang?”

To Pek Ing anggap tugasnya sendiri agak ringan, sebetulnya yang tertinggal di gunung menjaga tempatnya, pekerjaan ini barang kali lebih sulit dari pada saudara-saudaranya yang nerobos kepungan musuh.

Tiat Leng berkata sambil menangis:

“To kong-kong, kau terlalu payah! Engko Ceng untuk sementara belum bisa pulang, hal ini nanti aku akan ceritakan lagi. Kedatangan kita hari ini ada bersama-sama dengan Pui susiok suami isteri, dan membawa pulang sedikit barang.”

To Pek Ing sangat girang ia berkata:

“Apakah Pui tayhiap suami isteri juga datang? Ada dimana? dan barang apa yang kalian bawa pulang?”

“Ketahuilah To kong-kong, kita membawa pulang barang-barang simpanan yang sangat berharga peninggalan kakek luar Can toako. Semuanya ada delapan peti besar barang-barang mas dan permata!”

Berkata sampai di situ, Tiat Leng menarik napas kemudian berkata pula,

“Sayang kita datang terlambat. Andai kata lebih pagi dua bulan, barang-barang itu dapat digunakan untuk menambah rangsum.”

“Apa? kalian telah menemukan barang-barang berharga peninggalan Ong Pek Thong? Masih belum terlambat, justru sekarang inilah waktunya paling tepat. Baiklah, sekarang mari kita sambut dulu suami isteri Pui Pek Hu, nanti akan aku beritahukan lagi tentang ceritaku.”

Can Pek Sin berkata:

“Kereta itu tidak bisa naik gunung, Pui tayhiap menunggu di bawah gunung kira-kira duapuluh pal dari sini.”

To Pek Ing segera memilih duapuluh lebih anak buahnya yang bertenaga kuat, bersama-sama dengan Can Pek Sin dan Tiat Leng, pergi menyambut Pui Pek Hu suami isteri.

Setelah kedua pihak saling bertemu, Pui Pek Hu dan Jie Im Nio yang mengetahui nasib yang telah dialami oleh mereka itu, turut merasa duka.

To Pek Ing lalu berkata:

“Kita merupakan orang-orang yang tidak akan terbasmi habis, asal yang masih hidup tidak perlu khawatir.”

Delapan peti besar itu masing-masing beratnya kira-kira limaratus kati, dipikul oleh duapuluh orang nampaknya masih sukar berjalan naik ke atas gunung.

To Pek Ing meski sudah lanjut usianya, tetapi kepandaian sangat tinggi. Ia yang berjalan paling depan dengan gerak kakinya yang sangat gesit. Bukan saja Can Pek Sin dan Tiat Leng menganggap dirinya tidak nempil, sekalipun Pui Pek Hu suami isteri diam-diam juga sangat kagum.

Setiba di dalam gua, orang-orang yang tinggal di dalam gua untuk merawat lukanya, ketika melihat Tiat Leng pulang dengan membawa delapan peti besar barang-barang mas dan permata, semua serentak maju mengerumun sambil melompat kegirangan dan menanyakan keadaan di luar.

Setelah keadaan menjadi tenang, To Pek Ing baru mulai bicara dengan Pui Pek Hu. Ia berkata sambil tertawa: “Kita disini selembar daun teh pun tidak ada, apa boleh buat kita cuma dapat menyuguhi tetamu dengan air tawar saja.”

Pui Pek Hu lalu berkata:

“Aku tidak bisa ikut memikul bersama-sama kesusahan kalian, sudah sangat merasa malu. Semua adalah orang-orang sendiri, To lo-cianpwee jangan berlaku merendah. Bagaimana tindakan lo-cianpwe selanjutnya? Apabila memerlukan tenaga boanpwee, sekalipun terjun ke lautan api, juga tidak akan menolak.”

“Tiat suhengmu sekarang barangkali sudah sampai di gunung Kim-kee-nia, gunung itu mendadak bertambah banyak orang, pasti juga merasa sulit. Aku pikir sebagian dari pada barang-barang berharga ini kirimkan kepada mereka, supaya dapat dijual untuk membeli rangsum. Yang sebagian lagi aku pikir hendak kusuruh orang turun gunung untuk menjualnya dengan diam-diam, lalu kita gunakan untuk menyumbang keluarga saudara-saudara kita yang gugur dalam pertempuran.

“Rombongan orang-orang yang dibawa oleh Tiat Mo Lek kali ini, berjalan secara berpencar, ada yang datang lebih dulu, juga ada yang datang terlambat. Orang-orang yang mempunyai keluarga, merupakan rombongan yang terakhir. Sekarang ini mungkin masih belum berangkat. Nama dan alamat orang-orang itu cuma aku sendiri yang tahu, untuk memberikan mereka ongkos jalan dan rumah tangga, hanya aku sendiri dengan membawa orang-orangku yang dapat melakukan.

“Gunung Kim-kee-nia terpisah kira-kira beberapa ribu pal dari sini, apakah perlu aku membantu mengantar?”

“Rencanaku begini: Barang-barang yang diantar ke gunung Kim-kee-nia akan kuberikan kepada seratus orang yang membawa secara berpencaran. Setiap orang satu kantong kecil, mereka harus menyaru sebagai pelarian. Dengan cara demikian aku percaya dapat mengelabui mata pembesar kerajaan. Apa lagi dengan jalan berpencaran, sekalipun ada satu-dua orang yang tertangkap, kerugian juga sangat terbatas. Ini jauh lebih baik daripada diangkut sekaligus.

“Aku ingin minta Pui tayhiap suami isteri tinggal disini membantu kita. Aku hendak turun gunung untuk mengadakan hubungan dengan saudara kita. Paling cepat juga masih harus memakan waktu sepuluh hari atau setengah bulan baru bisa kembali.

“Tentara kerajaan setelah membakar markas besar kita dalam waktu singkat rasanya tidak akan balik lagi, tetapi kita juga masih perlu merawat diri, untuk menjaga segala kemungkinan. Pui tayhiap apabila sudi menggantikan tugasku, untuk menjaga tempat ini, maka aku boleh merasa lega. Hanya saja terpaksa menyusahkan kalian suami isteri harus berdiam di gua, yang gelap ini.”

Pui Pek Hu mengerti bahwa orang tna itu dengan maksud baik menjaga kesehatan isterinya, karena tidak ingin Jie Im Nio yang habis melahirkan membawa-bawa oroknya yang baru berusia satu bulan harus melakukan perjalanan jauh lagi. Tetapi ia merasa tidak enak tidak dapat melakukan sesuatu untuk membantu jago tua itu, terpaksa menerima usulnya.

Jie Im Nio lalu berkata sambil tertawa:

“Anak yang sejak kecil mengalami sedikit kesukaran, ada baiknya bagi dirinya dikemudian hari. Aku sendiri justru karena dilahirkan dalam keluarga yang kaya raya, maka setelah dewasa harus mengalami banyak latihan, baru dapat membiasakan penghidupan dunia Kang-ouw.”

To Pek Ing berkata sambil menganggukkan kepala:

“Itu juga benar. A-leng, bagaimana rencanamu dengan Pek Sin? Kau hendak berdiam disini atau pergi mencari ayahmu?”

Menurut pikiran Can Pek Sin semula, setelah barang-barang peninggalan kakek luar diserahkan ke atas gunung, selesailah sudah urusannya, dan ia akan pergi mencari Thie Po Leng. Tetapi di hadapan orang banyak ia tidak dapat mengutarakan maksudnya.

Sesaat Can Pek Sin masih belum dapat mengambil keputusan, Tiat Leng sudah berkata: “Di sini kita tidak bisa membantu apa-apa, aku pikir sebaiknya kita pergi ke gunung Kim-kee-nia untuk mencari ayah.”

Dalam ucapannya itu ada menggunakan perkataan ‘kita’, sudah tentu termasuk Can Pek Sin. To Pek Ing berkata sambil menganggukkan kepala:

“Ya, aku juga pikir begitu ada lebih baik. Kalian dengan seratus saudara-saudara yang membawa barang permata itu, boleh jalan sendiri-sendiri, tetapi karena satu tujuan, apabila ada terjadi apa-apa, satu sama lain harus saling membantu. Dalam setiap hal kita harus memperhitungkan, akibatnya yang paling buruk, juga harus siap siaga mengadakan penjagaan yang paling sempurna.

“Aku mengharap seratus saudara-saudara itu dapat mencapai tujuannya sampai selamat, satupun jangan ada yang mendapat gangguan.”

Karena ucapannya orang tua itu, Can Pek Sin sudah tentu tidak bisa berkata apa-apa lagi. Tiat Leng lalu berkata:

“Jika engkoku kembali, harap To kong-kong beritahukan kepadanya, minta kepadanya supaya mengajak Hoa lo-cianpwee dan putrinya ke gunung Kim-kee-nia untuk berjumpa dengan kita.”

“Baik, Hoa lo-sianseng itu dahulu juga sahabat karibnya Toan tayhiap. Kalau nanti ia datang kemari, aku pasti akan menyambut dengan baik,” berkata To Pek Ing, kemudian ia tiba-tiba ingat sesuatu, maka lalu berkata pula:

“Aku juga ada satu urusan ingin minta kalian bantu uruskan.” “Urusan apa?” tanya Tiat Leng,

“Leng-jie, apakah kau masih ingat paman Li yang mempunyai julukan pemanah sakti itu?”

“Apakah yang kau maksudkan paman Li Hong Chun? Bagaimana aku bisa lupa? Ia mempunyai seorang adik perempuan yang mendapat julukan Kim Leng Lihiap atau jago wanita Kliningan emas, Li Hong Chiu. Sepasang pendekar bersaudara ini kemudian menjadi dua pasang kemantin. Li Hong Chun kawin dengan Tok-kouw Ing dan Li Hong Chiu menikah dengan Tok-kow U. Betul tidak?”

“Sedikitpun tidak salah. Kau si bocah ini nampaknya perhatikan benar soal-soal perkawinan... Eh, kong- kong bicara main-main denganmu, jangan kau marah dulu. Dan sekarang mari kita bicarakan soal yang penting bagi kalian.”

“Siapa menyuruhmu orang sudah tua masih suka bersenda gurau?”

“Setelah markas kita dibakar oleh musuh, kira-kira pada setengah bulan berselang, Li Hong Chun pernah mengirim orang datang ke gunung mengantar surat. Tiba di bawah gunung, ia sudah tahu kalau markas kita sudah musnah, sehingga tidak berani naik. Kemudian ia berjumpa dengan salah satu saudara kita yang membuka kedai minuman di bawah gunung, hingga surat dari Li Hong Chun baru sampai di tanganku. Tetapi surat itu ternyata untuk ayahmu.”

“Apa yang ditulis dalam surat itu?”

“Surat itu cuma merupakan surat undangan untuk ayahmu yang ditanda tangani oleh Li Hong Chun suami isteri.”

“Ada urusan apa Li Hong Chun mengirim surat undangan itu?”

“Ini memang agak aneh. Pada umumnya surat undangan itu disebutkan persoalannya, tetapi surat undangan itu bukan saja tidak disebut persoalannya, bahkan tanggalnya juga tidak disebutkan.”

Pui Pek Hu berkata dengan heran: “Apakah artinya itu? Apakah surat undangan tidak disertai tanggal? Bolehkah orang yang diundang datang sembarangan waktu menurut sesukanya?”

“Nanti aku cari surat undangan itu untuk kau lihat, mungkin kau mengerti.”

Ternyata bagian terakhir kata-kata surat undangan itu ada terdapat sebaris tulisan yang ditulis dengan huruf kecil yang berbunyi:

“Harap saudara setelah menerima surat undangan ini, dalam waktu satu bulan segera datang kekediamanku.”

Setelah berpikir sejenak, Pui Pek Hu berkata:

“Nampak Li Hong Chun punya suatu urusan, yang perlu dirundingkan dengan Tiat suheng. Tetapi ia tahu Tiat suheng sangat repot, maka cuma bisa mengharapkan dalam waktu satu bulan supaya datang ke rumahnya. Urusan yang hendak dirundingkan itu berlainan dengan urusan yang menyangkut soal perkawinan atau kematian, sehingga tidak perlu ditetapkan harinya. Asal Tiat suheng bisa datang, itu sudah cukup.”

Tiat Leng lalu berkata sambil tertawa:

“Urusan Li Hong Chun ini, agaknya aku dapat menebak sebagian.” “Oh, kalau memang tahu, coba ceritakanlah,” berkata To Pek Ing.

“Urusan ini ada sangkut pautnya dengan Can toako, Can toako, biarlah kau yang menceritakan.” Can Pek Sin lalu berkata:

“Adik Leng, yang kau maksudkan apakah urusan yang menyangkut diri Tok-kow U itu?” “Aku pikir, kecuali urusan itu, rasanya sudah tidak ada urusan lain lagi.”

“Apakah Tok-kow U timbulkan urusan lagi? Kalian jangan coba main kucing-kucingan, lekaslah ceritakan duduknya perkara,” berkata To Pek Ing.

Can Pek Sin berkata:

“Tok-kow U dengan Lauw Cin dan Law Bong, ayah dan anak yang menyusup ke lembah Phoan-liong-kok, telah bekerja sama hendak merampas harta benda peninggalan kakek luarku ini. Malam itu aku bersama Thie kong-kong pernah bertempur hampir satu malam suntuk dengan mereka.”

Ia lalu menceritakan apa yang telah terjadi pada malam itu, sementara mengenai Lauw Bong yang diam- diam jatuh cinta kepada Thie Po Leng, sehingga Thie Sui bermusuhan dengan ayah dan anak itu, ia tidak mau menceritakan.

“Kalau begitu, mungkin lantaran urusan itu Li Hong Chun hendak memberi keterangan kepada Tiat Mo Lek, supaya tidak menaruh dendam kepada Tok-kow U. Heran, Tok-kow U selama ini baik sekali hubungannya denga pihak kita, mengapa kali ini ia harus membantu Lauw Cin merampas harta benda peninggalan kakek luarmu?” berkata To Pek Ing.

“Mungkin juga itu ada maksudnya Tok-kow U, tetapi minta adik menantunya yang keluar nama, dan minta Tiat suheng supaya bantu menyelesaikan dendaman ini,” berkata Pui Pek Hu.

To Pek Ing lalu berkata:

“Tidak perduli lantaran urusan itu atau bukan, karena mengingat hubungan Li Hong Chun dengan ayahmu, A-leng, dan karena iapun mengirim surat undangan, maka kita juga tidak bisa tinggal diam. Li Hong Chun tinggal di desa Kui-chiu-chung, kali ini kebetulan kalian harus melalui desa itu. A-leng, baiklah kau wakili ayahmu menemui paman Li itu. Pek Sin, usiamu lebih tua, lebih mengerti urusan, apalagi urusan ini mungkin juga ada menyangkut dirimu, maka kau perlu pergi bersama-sama dengan A-leng.” Can Pek Sin tidak dapat menolak, maka ia terima baik permintaan itu. Hari kedua pagi sekali, sudah turun gunung bersama Tiat Leng.

Sebelum berangkat. To Pek Ing dan Jie Im Nio masih memberi pesan kepada dua muda-mudi itu.

<>

Kali ini mereka tidak membawa barang apa-apa, hingga bisa berjalan dengan bebas. Tiba di jalan datar, Tiat Leng lalu berkata:

“Kuda tunggangan kita ini sebetulnya merupakan kuda-kuda jempolan. Selama dua bulan ini, karena mengikuti kereta, setiap hari cuma lari seratus pal lebih, mungkin mereka sudah merasa kurang puas. Hari ini aku akan lemaskan tulang-tulangku suruh mereka lari sepuas-puasnya!”

Sehabis berkata, ia lalu bedal kudanya, hingga kuda itu lari bagaikan terbang.

Can Pek Sin ketika melalui jalan di mana tahun yang lalu pernah berjumpa dengan dua saudara Tiat, kenangan lama timbul lagi. Ia sungguh tidak menduga bahwa selama satu tahun itu telah mengalami banyak perobahan yang tidak disangka-sangka.

Tiat Leng telah dapatkan dirinya anak muda itu jauh ketinggalan, lalu kedut kembali kudanya, kemudian menegurnya sambil bertanya:

“Can toako, kau teringat apa lagi?”

Can Pek Sin yang saat itu juga sudah mengejar, lalu menjawab:

“Tidak mengingat apa-apa. Aku sebetulnya tidak ingin lari terlalu pesat. Bukankah To kong-kong pernah memberi pesan, supaya dalam perjalanan ini kita perhatikan saudara-saudara kita yang membawa barang- barang perhiasan itu?”

“Tadi malam mereka sudah turun gunung, tetapi sekarang kita masih belum menemukan mereka. Apalagi maksud To kong-kong ialah suruh kita jalan di depan mereka, agar apabila terjadi apa-apa, umpama kita menjumpai tentara kerajaan, harus memberi tanda kepada mereka, supaya mereka bisa menyingkir.”

“Kuda kita cepat, tidak takut menyandak jejak mereka. Baiklah, kalau kau senang melarikan kudamu, biarlah aku mengiringi kehendakmu.”

Sebaliknya dengan gadis itu, setelah mendengar ucapan demikian, tiba-tiba tidak larikan kudanya lagi. Ia seperti ingat sesuatu, tiba-tiba berkata sambil tertawa:

“Benarkah kau tidak ingat apa-apa? Sebaliknya dengan aku, kini teringat suatu kejadian lama.” “Kejadian apa?”

“Kau ingat atau tidak, tahun yang lalu bukankah kita berjumpa di tempat ini? Kala itu aku dengan engko Ceng ajak kau naik ke gunung tetapi kau ternyata sangat tergesa-gesa hendak melakukan perjalananmu ke lembah Phoan-liong-kok untuk menjumpai enci Leng. Tidak disangka hari ini kau malah berjalan bersama-sama dengan aku.”

“Bukankah kau pernah berkata sendiri, bahwa kau tidak idzinkan aku menyebut dia lagi?”

“Maaf, cuma sebut satu kali saja. Aku tahu dihadapan kuburan Thie kong-kong kau pernah bersumpah, biar bagaimana kau akan mencari jejak enci Leng, baru impas hutangmu, bukankah begitu?”

Can Pek Sin mau tidak mau terpaksa mengaku, ia berkata:

“Benar, tetapi ia cuma berarti aku hendak membalas budi Thie kong-kong, yang sudah perlakukan aku begitu baik.” “Aku tidak kata kau ada mengandung maksud lain, tidak perlu kau memberi penjelasan begitu cepat. Can toako, kali aku telah mencarikan tugas semacam ini untuk kau, seharusnya kau mengucapkan terima kasih kepadaku.”

Can Pek Sin tercengang, ia berkata:

“Apa artinya ucapanmu ini?”

“Aku tidak percaya kau tidak mengerti. Li Hong Chun adalah adik menantu Tok-kow U, dan Tok-kow U adalah sahabat karibnya Lauw Cin ayah dan anak. Bukankah kau mencurigakan enci Leng lari bersama- sama dengan Lauw Bong? Jika kita nanti tiba di rumah Li Hong Chun, bukankah lantas mendapat tahu kabar tentang diri enci Leng?”

Can Pek Sin yang dibeber rahasia hatinya merasa agak malu. Tiat Leng berkata pula sambil tertawa:

“Meski aku tidak menghargai perbuatan enci Leng, tetapi biar bagaimana kita adalah sahabat-sahabat baik dan kawan bermain sejak kanak-kanak. Aku juga mengharap agar kau lekas, dapat menyelesaikan tugasmu ini. Baiklah, mari kita jalan, selanjutnya aku tidak akan membicarakannya lagi.”

Mereka berjalan sangat cepat, hari kedua sudah dapat menyusul para saudara dari atas gunung yang menyaru sebagai orang pelarian.

Tidak salah dugaan To Pek Ing. Pasukan tentara kerajaan dari tiga kota setelah membakar habis markas besar di gunung Hok-gu-san mengira bahwa bencana gangguan kawanan berandal sudah disingkirkan, lalu balik ke masing-masing tempatnya untuk melakukan tugas lain.

Sepanjang jalan mereka tidak mengalami apa-apa, di hari keduabelas sudah tiba di kota yang dituju.

Setelah menanya penduduk kota, Can Pek Sin tahu bahwa dengan jalan yang menuju ke barat kira-kira lima atau enampuluh pal lagi adalah desa Kui-chiu-chung.

Tiat Leng berkata:

“Li Hong Chun janjikan ayah dalam waktu satu bulan datang ke rumahnya, kini kita telah tiba sebelum lewat batas waktu itu.”

Selama bicara, tiba-tiba dapat melihat dua penunggang kuda melarikan kudanya demikian cepat melalui sampingnya, ia lalu berkata pula:

“Eh, ini ada dua orang dari suku Hwee.”

Can Pek Sin yang sedang memikiri urusannya sendiri tidak begitu ambil perhatian, setelah mendengar perkataan Tiat Leng lalu berkata:

“Apa iya?”

“Sekarang masih bulan sembilan, hawa belum begitu dingin, tetapi dua orang tadi berpakaian dengan bulu binatang yang tebal. Orang suku Han tidak akan berdandan demikian. Dan lagi topi kulit mereka serta golok yang berupa arit, semua ini merupakan dandanan khas orang-orang suku Hwee.”

Kira-kira pada sepuluh tahun berselang, waktu terjadi pemberontakan An Lok San, kerajaan Dinasty Tong pernah minta bantuan kerajaan suku Hwee, untuk bantu menindas kaum pemberontak, maka beberapa tempat daerah utara benua Tiongkok, hingga kini di mana-mana masih terdapat sisa tentara suku Hwee itu. Hanya di bagian pedalaman, orang-orang Hwee yang keluar membawa senjata jarang tertampak, maka Tiat Leng merasa agak heran.

Jalan belum antara lama di belakangnya terdengar suara keliningan kuda, kembali dua orang yang berdandan suku Hwee, melampaui mereka.

Tiat Leng berkata: “Dua orang ini bukan dua orang yang tadi itu. Eh, eh, mengapa hari ini berjumpa dengan banyak tentara anjing itu?”

Can Pek Sin berkata:

“Di antara orang suku Hwee juga ada yang baik jangan memaki orang sembarangan.”

Dua orang suku Hwee itu agaknya mendapat dengar makian Tiat Leng tadi, pada berpaling mengawasi padanya. Mungkin karena menganggap Tiat Leng merupakan satu gadis cilik, mungkin juga karena harus mengejar waktu, hingga mereka tidak membuat perhitungan. Dalam waktu sekejap mata saja dua orang itu sudah lari.

Can Pek Sin tiba-tiba ingat sesuatu, ia berkata:

“Paman Toan pernah mengatakan hendak mengunjungi Cho Peng Goan tayhiap, sayang kemudian karena repot dengan urusan lain, cuma menyebutkan sepintas lalu saja, tidak menyebutkannya lagi. Cho tayhiap adalah sahabat karib ayah di masa masih hidup, waktu masih kanak-kanak aku pernah melihat padanya, kini aku juga memikirkan dirinya.”

“Oh, karena kau berjumpa dengan orang-orang Hwee ini lantas teringat diri Cho tayhiap, tetapi beberapa orang Hwee tadi, menurut pandanganku semua bukan orang-orang dari Negara Su-tho-kok, belum tentu dari mereka kau dapatkan beritanya Cho tayhiap. Sebaiknya kita lekas ke desa Kui-chiu-chung untuk menyelesaikan urusan kita.”

“Sudah tentu kita pergi ke Kui-chiu-chung lebih dulu. Aku cuma karena ingat urusan itu, aku ceritakan padamu.”

Dua orang itu melarikan kudanya dengan pesat, perjalanan empat-limapuluh pal itu, dicapai dengan cepat.

Keluarga Li di dalam perkampungan itu namanya sangat terkenal. Di perjalanan mereka sudah menanyakan orang, hingga sudah tahu bahwa gedung kediaman keluarga itu ada terdapat sebuah pohon kui, yang sang besar dan dua singa yang terbuat dari batu sebagai tanda khusus.

Waktu itu matahari sudah miring ke barat, ketika dua orang itu tiba di depan pintu keluarga Li, pintu besar tertutup rapat.

Tiat Leng meski usianya masih sangat muda, tetapi sejak masih kecil ia sudah mengikuti gurunya, ayahnya juga merupakan beng-cu rimba hijau, maka sedikit banyak mengetahui urusan dunia Kang-ouw. Ketika melihat keadaan demikian, hatinya merasa heran, ia lalu berkata:

“Eh, hari masih belum gelap, bagaimana siang-siang sudah tutup pintu?” Can Pek Sin juga dapat lihat suatu kejadian ganjil, ia berkata:

“A Leng, kau lihat pohon ini. Sekarang baru musim kemarau, belum waktunya musim dingin, mengapa daun pohon ini begini jarang? Nampaknya hampir seperti gundul.”

Tiat Leng naik ke tangga batu depan rumah seraya berkata:

“Can toako, lekas kau lihat, dua singa dari batu ini keadaannya semakin aneh!”

Keadaan singa yang terbikin dari batu itu memang mengunjukkan ketidak wajarnya. Sebuah singa kepalanya menghadap ke pintu besar, tetapi yang lain menghadap keluar. Sudah jelas bahwa singa dari batu itu sudah digeser oleh tangan orang.

Dua singa yang terbikin dari batu itu beratnya mungkin kira-kira delapanratus kati, suatu bukti bahwa orang yang menggeser itu tenaganya besar sekali.

Tiat Leng lalu berkata:

“Entah siapa yang melakukan pekerjaan iseng ini, nampaknya bertenaga besar sekali.”  Can Pek Sin juga merasa heran, ia berkata:

“Kedua suami istri Li Hong Chun, meskipun namanya di kalangan kang-ouw belum dapat dibanding

dengan sukongmu, atau dengan ayahmu dan pasangan paman Toan, tetapi juga cukup terkenal. Siapakah yang berani main gila di rumahnya?”

Tiat Leng seketika itu timbul pula pikiran ke kanak-kanakannya, ia segera berkata: “Aku tidak dapat menggeser singa batu ini. Can toako, kau coba mungkin, mungkin orang dalam rumah masih belum tahu dipermainkan orang. Dengan demikian kita berarti menutupi tuan rumah, jangan sampai kehilangan muka.”

Can Pek Sin, sebetulnya tidak ingin mengunjukkan kepandaiannya, tetapi karena mendengar kata yang cukup beralasan itu, ia lalu geser kedua singa batu itu seperti keadaan semula. Tiat Leng juga membantu usahanya melakukan itu.

Tetapi ketika ia menggeser singa batu itu, kembali menemukan suatu kejadian, yang mengherankan. Bagian kepala dua singa batu itu semua ada tanda retak, sama-sama terdapat tanda telapakan tangan.

Can Pek Sin yang mengenal baik kepandaian ilmu silat berbagai cabang, seperti ketika ia menyaksikan keadaan yang demikian juga terperanjat, ia lalu berkata:

“Ini ada semacam kepandaian tangan kosong yang dinamakan Tay-lek Kim-kong-ciang, kekuatan tenaganya orang ini tidak lemah. Namun Li Hong Chun sendiri bukanlah seorang yang terkenal dengan kekuatan tenaga tangannya!”

“Aku hanya tahu Li Hong Chun namanya terkenal di kalangan Kang-ouw, dengan ilmunya menggunakan anak panah, tidak pernah dengar ia melatih telapakan tangan dengan menggunakan kekuatan tenaga dalam. Apalagi sekalipun ia mempunyai kepandaian semacam itu, juga tidak akan menggunakan singa batunya, di depan rumah sendiri untuk mencoba kekuatannya,” berkata Tiat Leng.

“Kita tidak usah perdulikan, ketahui dulu Li Hong-cun nanti kita bicarakan lagi.”

Tiat Leng lalu mengetuk pintu, tetapi sekian lama belum ada orang yang membuka pintu. Can Pek Sin bertambah heran, ia berkata dengan suara pelahan:

“Bolehkah kita masuk melalui atap rumah?”

Tetapi pada saat itu, dari dalam tiba-tiba terdengar suara tindakan kaki, dan tidak antara lama, pintu itu terbuka.

Can Pek Sin dan Tiat Leng meskipun belum banyak pengalaman, tetapi juga dapat menduga bahwa orang dalam rumah berlaku hati-hati. Setelah mengintip dari lobang pintu baru berani membuka. Jikalau tidak, pasti tidak akan menunggu begitu lama.

Keadaan itu tambah mencurigakan hati mereka. Apa sebabnya Li Hong Chun suami isteri yang terkenal gagah, harus melakukan penjagaan demikian hati-hati?

Ketika daun pintu terbuka, nampak seorang perempuan setengah tua berparas cantik, ia adalah istrinya Li Hong Chun yang bernama Tok-kow Ing. Perempuan itu parasnya nampak gelisah, bajunya yang nampak melembung. Bisa diduga bahwa dalam baju itu ada disembunyikan senjata tajam, agaknya sudah siap untuk menghadapi musuh.

Tok-kow Ing mengamat-amati mereka sejenak, baru bertanya:

“Kalian siapa? Ada keperluan apa datang kemari?”

Ia pernah melihat Tiat Leng waktu masih berusia lima tahun, karena sekarang Tiat Leng merupakan gadis remaja, maka meskipun merasa bahwa potongan muka itu tidak asing, tetapi ia tidak ingat kalau gadis cilik di hadapannya itu adalah anak perempuan Tiat Mo Lek.

Tiat Leng segera menjawab sambil tertawa. “Bibi Ing, apa kau sudah tidak mengenali aku? Aku adalah Tiat Leng!” Tok-kow Ing berseru kaget baru berkata lagi: “Oh, kau adalah Tiat Leng?” Tiat Leng lalu memberikan surat undangan kepada bibinya seraya berkata:

“Kedatanganku ini hanya sebagai wakil ayah.”

Tok-kow Ing setelah melihat surat undangannya, percaya benar bahwa dia itu adalah Tiat Leng, sehingga hatinya merasa lega. Tetapi lain soal timbul dalam hatinya, membuat ia semakin berduka.

“Mengapa ayahmu tidak datang bersamamu? Apakah ini kakakmu?” bertanya Tok-kow Ing setelah melihat surat undangan dan menyaksikan Can Pek Sin.

“Bukan dia adalah Can toako. Ayahnya adalah paman Can Goan Siu, bibi Ing mungkin juga kenal?” jawab Tiat Leng.

Tok-kow Ing tercengang, kedatangan Can Pek Sin agaknya di luar dugaannya.

“Oh! kiranya saudara Can. Kabarnya ayah bundamu telah meninggal dunia? Maaf aku mendengar kabar sudah terlambat, sehingga tidak bisa datang untuk mengantar jenazah.”

“Markas kita di atas gunung Hok-gu-san sudah dihancurkan oleh tentara kerajaan, ayah sudah pergi ke gunung Kim-kee-nia. Surat undangan bibi ini telah diterima oleh kong-kong setelah ayah pergi, hingga To kong-kong menyuruh aku datang kemari untuk mewakili ayah berkunjung kepada paman Li dari bibi Tok- kow,” berkata Tiat Leng.

Tok-kow Ing nampaknya merasa kecewa, ia menghela napas, kemudian berkata:

“Sungguh tidak diduga kalian di sana juga mengalami kejadian tidak enak, sehingga ayahmu tidak bisa datang.”

Can Pek Sin agaknya curiga, dalam hatinya berpikir: Orang yang mengantar surat sudah jalan setengah bulan lebih dulu dari pada kita, seharusnya sudah pulang. Bagaimana ia masih belum tahu kalau di atas gunung sudah dihancurkan oleh tentara kerajaan?

Pemuda itu tidak tahu bahwa orang yang disuruh mengantar surat itu dalam perjalanan pulangnya sudah dibunuh oleh tentara kerajaan.

Sesudah bicara sekian lama, Tok-kow Ing baru sadar bahwa ia sudah lupa menyuruh tetamunya itu masuk ke dalam rumah, ia nampaknya merasa tidak enak, maka lalu berkata:

“Aku merasa girang kalian telah datang ke mari, mari masuk ke dalam!”

Can Pek Sin dan Tiat Leng mengikuti Tok-kow Ing masuk ke rumah. Ruangan rumah yang demikian luas, ternyata tidak kelihatan seorang pelayan pun juga, sehingga nampaknya sepi sunyi.

Keluarga Li itu sebetulnya merupakan salah satu keluarga cukup kaya, seharusnya mempunyai beberapa orang pelayan.

Ketika berada dalam ruangan tamu, Tok-kow Ing menyilahkan kedua tamunya duduk, setelah itu ia baru berkata sambil tertawa getir:

“Pelayan kita sudah pergi semua, kalian duduk dulu, aku hendak menyeduh teh.” Tiat Leng segera berkata:

“Kita tidak haus, sebaiknya bibi minta paman keluar, supaya kita bertemu dengannya.” Tok-kow Ing sejenak merasa sangsi, kemudian baru berkata dengan nada agak gugup: “Tentang paman kalian, emm, kedatangan kalian tidak kebetul...”  Tiat Leng tidak sabar, segera bertanya:

“Apakah paman Li tidak ada di rumah?”

“Dia ada di rumah. Tetapi, tetapi...” “Apakah paman tidak sudi menemui kita?”

“Mana bisa terjadi begitu? Sudah tentu bukan. Hanya... aku sendiri juga tidak tahu ia bisa menemui kalian atau tidak?”

Di sebelah timur ruangan tamu itu ada sebuah kamar yang terbuka daun jendelanya. Sewaktu Tiat Leng bicara, hidungnya dapat mencium bau harumnya dupa. Ketika ia memasang mata, dari lobang jendela kamar itu nampak mengepul asap dupa.

Tertarik dengan perasaan heran, dengan tanpa pikir perbuatannya melanggar kesopanan atau tidak, ia sudah berdiri melongok dari lobang jendela.

Apa yang disaksikan membuat ia terperanjat, karena di tengah-tengah kamar itu terdapat sebuah peti mati dan satu meja sembahyang di hadapannya, di atas meja sembahyang itu ada dupa hio, yang sedang mengepul asapnya. Kecuali itu, sudah tidak terdapat apa-apa lagi .

Dalam terkejutnya, Tiat Leng lalu berkata:

“Lho apakah paman Li...?”

Sebelum ia melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba terdengar suara tindakan kaki, lalu terdengar suara Li Hong Chun yang agak berat:

“Untung aku masih hidup. Apakah nona Tiat dan saudara Can yang datang?” Tok-kow Ing terkejut ia berkata:

“Bagaimana kau turun dari pembaringan?” Dengan cepat ia segera membimbingnya.

Tiat Leng menarik napas lega, ia merasa geli sendiri sedang dalam hatinya berpikir: Bibi Ing tidak berkabung, sudah tentu orang yang mati bukan suaminya. Tetapi siapakah orangaya yang meninggal di sini?

Ia segera maju dengan Can Pek Sin untuk memberi hormat kepada tuan rumah itu. Wajah Li Hong Chun nampak pucat pasi, jelas seperti orang menderita sakit.

Tiat Leng lalu bertanya:

“Apakah paman Li tidak enak badan? Harap jangan berlaku merendah, sebaiknya paman rebah di pembaringan mengobrol dengan kita.”

Li Hong Chun tidak masuk ke kamar, ia batuk-batuk kemudian berkata dengan suara hambar: “Aku dipukul orang hingga terluka!”

“Siapakah orangnya?” bertanya Tiat Leng.

“Pembicaraan kalian tadi aku sudah dengar semuanya. Karena ayahmu tidak datang, kau juga tidak perlu bertanya lagi. Lekas kalian pergi!”

Tuan rumah mengusir tetamunya, ini merupakan suatu kejadian ganjil, sehingga kedua tetamunya meajadi tertegun, namun mereka tidak mau pergi.

Li Hong Chun sesalkan isterinya: “Kau juga tidak bisa pikir, sudah tahu Tiat Mo Lek tidak bisa datang, mengapa kau ajak mereka masuk? Apakah kau ingin Nona Tiat dan Can Pek Sin ikut terlibat dalam urusan ini?”

Tiat Leng yang mempunyai perangai seperti ayahnya, ketika mendengar perkataan Li Hong Chun itu semakin tidak mau pergi, ia berkata:

“Paman Li ada kesulitan apa? Meski usiaku masih muda dan tenagaku belum cukup kuat sehingga tidak dapat membantu banyak kepada paman, namun aku juga tidak takut terbawa-bawa.”

Li Hong Chun mengerutkan keningnya, ia berkata sambil mengusapkan tangannya:

“Bukan aku tidak ingin menahan kau, terus terang aku beritahukan kepadamu. Aku ada mempunyai satu musuh besar yang sangat lihai, kecuali ada ayahmu di sini, baru dapat menghadapinya. Walaupun kalian tidak takut terbawa-bawa, tetapi aku khawatir kalian akan mengantarkan jiwa secara sia-sia. Bagaimana aku merasa enak terhadap ayahmu.”

Tiat Leng semakin ingin tahu duduk perkaranya, maka ia bertanya lagi:

“Siapakah musuh paman itu? Kapan ia datang. Kalau paman tidak mau menceritakan, kita tidak akan berlalu!”

Tok-kow Ing bergerak hatinya, ia lalu berkata,

“Engko Hong, musuh kita paling cepat juga selewatnya jam satu malam ini baru datang. Sekarang masih ada banyak waktu. Meskipun kita nanti harus mati, tetapi sesudah mati juga ingin supaya ada orang yang tahu. Kebetulan nona Tiat datang kemari, biarlah ia nanti yang mengabarkan kepada ayahnya.

Li Hong Chun menarik napas kemudian berkata:

“Baiklah, kalau begitu kau ceritakan kepadanya. Tetapi aku jelaskan lebih dulu, setelah kalian mengetahui soal ini, harus lantas pergi.”

Tiat Leng dalam hati lalu berpikir: Asal kau sudah memberitahukan kepadaku, pergi atau tidak tergantung aku sendiri.

Can Pek Sin juga berpikir demikian, maka keduanya lalu menerima baik.

Tok-kow Ing membimbing suaminya masuk ke kamar tidur, Li Hong Chun lalu berkata sambil tertawa getir:

“Kita suami isteri barang kali juga hanya dalam waktu beberapa jam ini masih bisa berkumpul. Kau tidak usah repot-repot mengurusi diriku, lebih baik kau ceritakan kepada nona Tiat.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar