Jiwa Ksatria Jilid 05

 
Tiat Leng tidak terluka berat, sebelum pedang yang jatuh di tangan, sudah berhasil disambar lagi. Tiat Leng yang sifatnya suka menang sendiri, karena agak lengah, telah dirugikan oleh lawannya, sesaat amarahnya lalu berkobar. Setelah menyambar kembali pedangnya, ia segera melancarkan serangannya lagi kepada Pok Sui Thian.

Sebaliknya dengan Pok Sui Thian yang saat itu pikirannya mulai kalut sehingga hampir saja tertusuk oleh ujung pedang Tiat Leng, namun demikian pakaiannya juga sudah tertabas sepotong.

Tiat Ceng bukan khawatirkan Can Pek Sin, tetapi karena ia menganggap Pok Sui Thian adalah orang yang berkepandaian paling tinggi di antara mereka berempat. Jikalau dibiarkan musuh kuat itu lolos, mungkin Can Pek Sin semakin sulit kedudukannya. Maka ia terpaksa menghadapi musuh kuat ini dengan sepenuh tenaga mengharap dapat melukainya, sehingga ia dapat membantu sahabatnya.

Dengan demikian kedua belah pihak sama-sama ingin lekas mengakhiri pertempuran, Pok Sui Thian biar bagaimana sudah mempunyai banyak pengalaman. Setelah mengalami dua kali bahaya, pikirannya mulai tenang kembali. Kakak beradik yang ingin mencari keuntungan dari situ, sebaliknya malah diserang balik oleh lawannya sehingga keadaannya sangat berbahaya.

Dalam pertempuran sengit itu tiba-tiba terdengar suara ‘Teng’, ternyata tusuk konde di atas kepala Tiat Leng telah terpukul jatuh oleh tongkat Pok Sui Thian. Jikalau ia tidak lekas-lekas menarik pedangnya, hampir saja dahinya terluka.

Tiat Ceng terperanjat, ia lalu berkata kepada adiknya:

“Adik kau menggunakan siasat berputaran untuk melibat dirinya, sudah cukup asal kau berhasil membuat dia tidak bergerak. Jangan terburu napsu merebut kemenangan.”

Karena menganggap kepandaian Pok Sui Thian terlalu tinggi, Tiat Ceng terpaksa merobah siasatnya yang semula.

Di lain pihak dua saudara Pan bertiga yang hendak merampas kereta barang sehingga Can Pek Sin harus menghadapi tiga lawannya.

Pan Lo-jie ingin menumpahkan kemarahannya kepada Can Pek Sin, maka begitu bergerak tombaknya sudah ditujukan kepada lima bagian jalan darah penting di anggota badan lawannya. Can Pek Sin menangkis dengan pedangnya, bukan saja sudah berhasil mematahkan serangan Pan Lo-jie, bahkan ujung pedangnya, berhasil mengancam bagian jalan darah di dada lawannya.

Pan Lo-toa yang menyaksikan adiknya dalam bahaya, segera membacok dengan goloknya. Karena kekuatan tenaga kedua pihak berimbang, maka meski pedang Can Pek Sin dapat disingkirkan, tetapi Pan Lo-toa sendiri terpental mundur satu langkah.

Pan Lo-toa karena luka di tangan kanannya belum sembuh betul, terpaksa menggunakan tangan kiri, dengan demikian gerakannya agak kurang leluasa.

Can Pek Sin dapat melihat kelemahannya itu maka pedangnya lalu menikam tangan kanan sehingga membuat repot Pan Lo-toa.

Say Ban Hiong yang menyaksikan keadaan demikian lalu berkata sambil tertawa: “Pan Lo-toa, kau beristirahatlah dulu, biarlah aku yang menggantikan!”

Senjata orang tua itu, adalah sepasang martil yang diperlengkapi dengan rantai, sehingga dapat digunakan untuk menyerang sejarak tiga tombak. Ketika senjata itu mengenakan ujung pedang Can Pek Sin, pedang Can Pek Sin sumpel sepotong.

Pan Lo-toa dengan jalan jumpalitan, melompat bangun, kemudian berkata dengan suara gusar:

“Bocah, hari ini kalau aku tidak berhasil membunuh mati kau aku bersumpah tidak akan menjadi orang lagi.”

Dengan tanpa menghiraukan rasa sakit di lengan tangan kanannya, ia malah menyerbu mendahului Say Ban Hiong, untuk mengerubuti Can Pek Sin dengan ilmu golok dan tombak mereka yang sudah terkenal itu.

Say Ban Hiong yang menyaksikan perbuatan orang she Pan itu, hanya tertawa saja sedang dalam hatinya berpikir: Biarlah kau mengalami sedikit kesusahan dulu baru aku nanti bertindak terhadap bocah itu!

Dua saudara Pan itu, dengan bergandengan tangan sebetulnya dapat memenangkan Can Pek Sin, tetapi karena Pan Lo-toa menggunakan tangan kiri, sedangkan Can Pek Sin berkelahi secara mati-matian sehingga serangannya dilakukan dengan sangat ganas, dengan demikian malah pihak dua saudara itu yang dicecer oleh pedang lawannya.

Setelah dua saudara itu repot menghadapi lawannya, barulah Say Ban Hiong bertindak, sepasang senjatanya menyerang dengan hebat.

Can Pek Sin yang sudah bertempur sekian lama, tenaganya sudah mulai berkurang. Pedangnya terlepas dari tangannya oleh senjata Say Ban Hiong, terpaksa ia menggunakan ilmu yang meringankan tubuh dengan jalan berputaran mengitari kereta untuk mengelakkan serangan lawannya.

Say Ban Hiong lalu berkata sambil tertawa terbahak-bahak:

“Apa kau masih ingin kabur?”

Ia segera melompat ke atas kereta sambil memutar senjatanya.

Di lain pihak dua saudara Pan itu juga memutar senjatanya masing-masing membantu Say Ban Hiong mengeroyok Can Pek Sin.

Can Pek Sin tidak mau melepaskan kereta barangnya, juga tak mau kabur sendiri, tetapi di bawah kepungan dua rombongan orang tua, ia ingin menerjang keluar untuk bergabung dengan dua saudara Tiat, juga sudah tidak bisa. Keadaannya kian lama kian berbahaya, sehingga beberapa kali hampir binasa di bawah tangan musuh-musuhnya.

Dalam keadaan yang gawat itu, tiba-tiba terdengar siulan panjang dan nyaring. Say Ban Hiong yang berada di atas kereta segera dapat melihat seorang setengah umur herusia kira-kira empatpuluhan berdandan sebagai seorang pelajar dengan disertai oleh seorang gadis berusia kira-kira enam atau tujuhbelas tahun, bagaikan lajunya anak panah, lari mendatangi.

Say Ban Hiong terperanjat lalu menegur:

“Sahabat dari golongan mana? Berhenti sebentar mari kita berbicara dulu!” Laki-laki pelajar itu berkata sambil ketawa dingin:

“Sungguh tidak tahu malu tiga orang tua mengerubuti satu anak-anak!”

Dengan tanpa menghentikan kakinya, sudah mengancam masuk ke medan pertempuran.

Juga tak tahu bagaimana ia bergerak, beberapa anak buah rombongan itu yang hendak merintangi majunya laki-laki itu semua pada jatuh ke tanah, sehingga terbukalah jalan baginya.

Say Ban Hiong yang berada di atas kereta, dapat mengenali bahwa laki-laki itu dapat menggunakan ilmu kekuatan tenaga dalam yang tertinggi, sehingga membuatnya semakin terkejut dengan cepat ia berkata:

“Maksud tuan mau apa, marilah kita bicara baik-baik dulu!” Laki-laki itu berkata:

“Dengan maksud apa kalian datang kemari? Apakah masih perlu menanyakan maksud kedatanganku?” Say Ban Hiong berkata dengan perasaan girang:

“Oh, kiranya kedatangan tuan juga lantaran kereta barang ini, ini mudah sekali untuk berunding.

Ia paling takut bahwa orang yang baru datang ini, ada sahabatnya Tiat Mo Lek, yang datang hendak membantu dua saudara Tiat itu. Tetapi kini setelah mendengar keterangan bahwa maksud kedatangannya itu lantaran kereta barang permata itu, dalam hatinya lalu berpikir, paling-paling dibagi sebagian untuknya, maka ia tidak begitu khawatir lagi.

Gadis kecil itu tiba-tiba memperdengarkan suara bentakannya:

“Ayahku tidak mengijinkan kalian menghina orang lemah, mengapa kalian masih belum berhenti bertempur?”

Dari nada suaranya itu, seolah-olah gadis itu hendak bertindak sebagai orang kuat yang harus melindungi golongan yang lemah.

Say Ban Hiong lalu berkata:

“Ya, kiranya bocah ini juga tidak bisa kabur kemana-mana, biarlah tuan yang menyelesaikannya persoalan ini.”

Can Pek Sin yang terlepas dari bahaya, untuk sementara dapat menarik napas lega dalam hatinya merasa kikuk, heran tetapi juga geli.

Inilah pertama kalinya mendengar seorang mengatakan dirinya lemah, sedang orang yang berkata demikian itu cuma seorang gadis kecil yang usianya tidak lebih tua dari pada usianya sendiri. Maka dalam hatinya lalu berpikir: Kedua orang ini entah dari golongan mana, kalau memang hendak merampas kereta, mengapa tidak mengijinkan mereka melukai aku? dan entah bagaimana pula kepandaian gadis cilik ini, mengapa omongannya demikian sombong?

Laki-laki setengah umur itu sambil mendongakkan kepala ke atas berkata dengan suara tenang, “Baik, aku paling mudah diajak bicara, kalian menginginkan perundingan cara bagaimana?”

Say Ban Hiong dengan menindas perasaannya sendiri berkata sambil herseri-seri: “Kalian ayah dan anak kita hitung satu bagian, di sini ada delapan buah peti, jadi satu bagian dua peti. Dengan pembagian cara demikian, tuan tentunya boleh merasa puas!”

Laki-laki itu memelototkan matanya dan berkata:

“Tidak bisa!”

Dua saudara Pan, berkata dengan suara besar:

“Kau datang terlambat, tetapi kita masih memberi bagian secara adil, ini sudah berarti memberi muka kepadamu, apakah masih ingin dapat lebih banyak lagi?”

Say Ban Hiong tidak ingin menanam bibit permusuhan lebih banyak, maka lalu berkata sambil menggoyang-goyangkan tangannya:

“Tidak usah ribut, mari kita bicara baik-baik. Dan bagaimana maksud tuan?” Laki-laki itu berkata:

“Kalian semua enyah dari sini, dengan demikian aku dapat mengampuni jiwa kalian.” Say Ban Hiong terperanjat dan berkata:

“Jadi kau ingin makan sendiri?”

Laki-laki itu berkata sambil tertawa dingin:

“Kuampuni jiwa kalian, ini sudah berarti memberi muka kepada kalian.”

Dua saudara Pan lalu naik darah, mereka mengeluarkan lagi senjata masing-masing dan berkata dengan serentak:

“Mana ada aturan demikian, kalau tuan ingin kawan makan kawan, juga harus menurut peraturan golongan hitam, agar kita dapat melihat kepandaianmu.”

Laki-laki itu berkata dengan nada suara dingin:

“Kalian manusia macam apa, adakah itu harga menguji kekuatanku? Bukankah kalian cuma orang-orang yang menghina anak kecil saja? Baiklah Hong-jie, hajar mereka untukku!”

Gadis kecil itu nampaknya sangat girang, setelah menyahut “baik,” ia maju menghampiri mereka. Laki-laki itu berkata pula:

“Tunggu dulu, di antara mereka bertiga ada satu yang lengan tangannya sudah terluka, kita tidak boleh membinasakan orang yang luka. Kau rampas saja senjata mereka sudah cukup.”

Gadis kecil itu berkata pula:

“Baik, anakmu mengerti, dua manusia busuk sekalipun ia luka, aku juga tak sudi membunuhnya!”

Sementara itu ia sudah berada di hadapan dua saudara Pan, bahkan tidak mengeluarkan senjata sama sekali.

Dua saudara Pan itu, merupakan jago di dalam rimba hijau, sebetulnya mereka harus menghargakan diri sendiri, tidak boleh bertempur dengan satu gadis cilik dan bertangan kosong pula, tetapi karena mereka dalam keadaan murka, dan gadis cilik itu agaknya juga ada yang dia andalkan, jikalau dua saudara Pan itu tidak bertindak, mungkin benar-benar akan dirampas senjatanya.

Pan Lo-toa membentak dengan suara keras: “Tuan terlalu menghina orang, jangan sesalkan kita sebagai orang tua menghina seorang anak-anak!”

Dua saudara itu yang sudah biasa bertempur bahu membahu, segera bergerak berbareng, golok dan tombak menyerang gadis cilik itu.

Cepat bagaikan kilat, pada saat demikian, gadis cilik itu sudah meloloskan ikat pinggangnya yang berupa kain sutra yang berwarna merah, hanya dengan satu kibasan yang ringan saja ikat pinggang sutra itu sudah bergerak bagaikan seekor naga, dengan cepat menggulung tombak di tangan Pan Lo-jie.

Gadis cilik itu berkata sambil tertawa terbahak-bahak:

“Bangsat, apa kau kata orang tua menghina anak kecil, apakah kau kira bisa menghina aku?”

Sementara mulutnya masih berbicara, tangannya tidak tinggal diam, tatkala ikat pinggang itu berhasil menggulung senjata tombak, ia tarik dengan perlahan senjata tombak itu, lalu membentur senjata golok kakaknya, ketika gadis cilik itu berseru, “Lepas tangan!” senjata golok dan tombak itu telah terlepas dari tangan dua saudara Pan dan jatuh bersama di tanah.

Sebetulnya jika dibanding kepandaian ilmu silat mereka, meskipun dua saudara Pan habis bertempur dan satu di antaranya terluka, gadis cilik itu masih belum mampu menandingi mereka. Tetapi karena gadis cilik itu menggunakan gerak tipu yang aneh dan bagus sekali, bahkan dilancarkan secara mendadak diluar dugaan mereka, ia meminjam kekuatan tenaga lawannya untuk memberi pukulan, supaya senjata mereka saling beradu, demikianlah dalam satu pukulan saja sudah merampas senjata mereka.

Dua saudara Pan itu dikalahkan secara tidak mengerti tetapi keadaan sudah sedemikian rupa mereka juga tidak ada muka untuk berdiam lebih lama lagi. Lawannya cuma merupakan seorang gadis cilik, tentu mereka tidak merasa perlu untuk mengucapkan apa-apa lagi, maka lalu kabur bersama anak buahnya.

Can Pek Sin yang menyaksikan kejadian itu diam-diam merasa heran, pikirnya: Gadis cilik ini meski menggunakan kecerdikan akal, tetapi biar bagaimana masih terhitung suatu kepandaian tinggi, pantas ia berani buka mulut besar, kepandaiannya memang tinggi sekali, barangkali aku sendiri juga belum tentu bisa memenangkannya.

Laki-laki setengah umur itu berkata sambil menunjuk Say Ban Hiong:

“Kau bagaimana? Apa juga ingin main-main dua jurus dengan anakku?”

Say Ban Hiong berpikir bahwa dirinya sendiri pasti tidak dapat memenangkan laki-laki setengah umur itu, tetapi ia juga sayang meninggalkan kereta berharga itu. Ketika mendengar pertanyaan demikian dengan segera ia lalu menjawab:

“Apakah tuan cuma menyuruh putrimu saja yang bertindak, tidak suka turun tangan sendiri untuk memberi pelajaran?”

Laki-laki itu berkata sambil tertawa dingin: “Kepandaianmu memang lebih tinggi setingkat dari pada dua saudara Pan itu, tetapi masih belum ada harganya bertanding denganku. Asal kau bisa mengalahkan anakku, barang berharga dalam kereta itu boleh kau ambil, aku tidak akan rintangi.”

Say Ban Hiong berkata dengan hati girang:

“Baik, dengan adanya ucapanmu ini, aku terpaksa mengunjukkan kejelekanku. Nona kecil, kita hanya main-main beberapa jurus saling duel saja, jangan sampai merusak persahabatan kita, bagaimana?”

Dalam anggapan orang tua itu ia dapat memenangkan gadis cilik itu, tetapi ia juga harus memikirkan pembalasan dari ayahnya, maka bicara sangat merendah. Dalam kata-katanya itu juga mengandung maksud untuk memberitahukan kepada ayahnya bahwa ia tak berani melukai putrinya.

Tetapi gadis cilik itu tidak mengerti maksud yang terkandung dalam perkataannya, ia tertawa geli lalu berkata pada ayahnya:

“Ayah, orang ini takut aku melukai badannya sehingga ia perlu minta-minta dulu padaku! Ayah pikir apakah anakmu perlu mengampuninya?” Sang ayah lalu menjawab:

“Kita pandang sama, rampas saja senjatanya sudah cukup. Supaya jangan dikatakan oleh dua saudara Pan, bahwa kita berlaku berat sebelah.”

Gadis cilik itu setelah menyahut “baik” memutar ikat pinggangnya, dengan cara yang lama ia menggulung senjata Say Ban Hiong.

Say Ban Hiong dalam hati lalu berpikir: Aku tidak memberi kesempatan kepadamu untuk meminjam tenagaku memukul aku, aku ingin lihat apakah kau mampu merampas senjataku?

Ia menggunakan senjata di tangan kanannya untuk menjaga dirinya, senjata ditangan kanannya digunakan untuk menyerang gadis itu.

Senjata martil yang diperlengkapi dengan rantai ini, merupakan senjata aneh yang boleh digunakan secara keras tetapi boleh juga digunakan secara lunak. Ketika gerakan gadis cilik itu tidak berhasil menggulung senjatanya, martil orang tua itu sudah menyapu bagian kakinya.

Gadis kecil itu melompat tinggi sambil memutar ikat pinggangnya, sebentar kemudian sudah meluncur turun ke hadapan Say Ban Hiong dan hendak menyambar lehernya.

Say Ban Hiong tidak menduga ia bisa bergerak begitu gesit, dengan cepat menyerang dengan senjata di tangan kirinya, namun kali ini senjata itu telah dilipat oleh, ikat pinggang si nona kecil.

Say Ban Hiong cukup kuat tenaga dalamnya dengan cepat ia tarik kembali senjatanya. Gerak itu ia menggunakan gerak tipu menyendal, bukan saja dapat digunakan untuk mencegah merampas, tetapi juga boleh digunakan untuk melemparkan diri gadis cilik itu.

Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara bentakan laki-laki setengah umur itu: “Lepas tangan!”

Say Ban Hiong terperanjat, sementara itu senjata sudah dilipat oleh senjata si nona, dengan mengeluarkan suara “trang” dua martil itu saling beradu dan kemudian jatuh di tanah.

Kiranya laki-laki setengah umur tadi menggunakan suara bentakan dengan ilmu dari golongan Budha membuat Say Ban Hiong terperanjat dan terbang semangatnya, sehingga kekuatan tenaga dalamnya tidak dapat digunakan lagi.

Say Ban Hiong senjatanya dapat dirampas, keadaannya sangat menyedihkan tetapi kalau dibanding dengan keadaan beberapa anak buahnya yang coba ingin merintangi ayah si nona, bertindak terhadap pemimpin mereka, ternyata jauh lebih baik. Sebab beberapa anak buah itu, setelah mendengar suara bentakan itu lalu rubuh semuanya hidung dan telinganya mengeluarkan darah.

Say Ban Hiong sambil menundukan kepala ia berkata:

“Aku sangat kagum! Sudilah kiranya tuan meninggalkan namanya yang terhormat?’

Laki-laki itu berkata sambil tertawa dingin: “Kau masih belum pantas menanyakan namaku lekas enyah!”

Perkataan itu sungguh hebat, Say Ban Hiong tahu bahwa kepandaiannya sendiri jauh dari orang itu, terpaksa menahan sabar, lalu perintahkan anak buahnya menolong kawan-kawan yang terluka kemudian berlalu.

Ilmu kekuatan tenaga dalam Can Pek Sin berdasar dari pelajaran dari golongan orang-orang kebenaran, meski belum begitu tinggi kalau dibanding dengan Say Ban Hiong, tetapi lebih murni keadaan. Geraman laki-laki setengah umur tadi, cuma menimbulkan perasaan tidak enak dalam telinganya, tetapi tidak menimbulkan luka apa-apa.

Namun demikian dalam hatinya diam-diam juga merasa heran, pikirnya: Siapakah laki-laki pelajar itu? Ilmunya geraman singa ini, ayah juga bisa tetapi kekuatannya belum begitu hebat. Nona kecil ita meski dapat didikan langsung dari ayahnya tapi dengan hanya satu ikat pinggang kain sutra sudah berhasil merampas senjata Say Ban Hiong, kepandaian itu ternyata juga hebat sekali.

Sementara itu, tiba-tiba ia mendengar suara nona itu yang berkata kepada ayahnya:

“Ayah, masih ada satu bangsat tua yang belum mau berhenti, apa perlu aku juga merampas senjatanya?”

Yang dimaksudkan dengan perkataan bangsat tua oleh nona cilik itu adalah Pok Sui Thian, yang saat itu masih bertempur sengit dengan dua saudara Tiat.

Pok Sui Thian sebetulnya sudah berada di atas angin tetapi karena kedatangan laki-laki setengah umur dengan putrinya itu, telah mengganggu perhatiannya sehingga keadaaan menjadi berimbang.

Laki-laki itu berkata sambil tertawa:

“Hong-jie, senjata bangsat tua itu kau tidak dapat merampasnya. Biar aku sendiri yang mengusirnya! He, kalian dua bocah boleh beristirahat dulu.”

Tiat Ceng dan adiknya, juga tidak kenal siapa laki-laki itu, tetapi Tiat Ceng mengerti peraturan dalam rimba hijau, karena laki-laki itu hendak campur tangan. Selagi ia masih belum dapat membedakan, laki-laki itu kawan ataukah lawan, sudah tentu ia terpaksa mengundurkan diri dulu uutuk melihat keadaan selanjutnya.

Laki-laki setengah umur itu dengan kedua tangan dimasukan ke dalam sakunya berjalan dengan tenang menghampiri Pok Sui Thian.

Pok Sui Thian menancapkan senjata tombaknya di tanah, lalu mengeluarkan sepasang senjata Phoan- koan-pit, kemudian berkata dengan suara nyaring:

“Tuan mau apa?”

Laki laki itu berkata dengan suara datar:

“Apakah kau tidak mendengar, pembicaraan dengan Say Ban Hiong tadi? Sekarang aku hanya ingin bertanya kepadamu, kau mau apa?”

“Ini adalah barang makananku yang sudah rada di depan mulut, jikalau kau ingin juga hendak merebut, ha, ha, aku Pok Sui Thian juga bukan seorang yang suka perlakukan seenaknya! Sekarang tidak perlu banyak bicara, aku cuma ingin supaya kau minta makan kepada sepasang senjataku ini!”

Gadis cilik itu mendadak tertawa geli lalu berkata:

“Ini bukan berarti merampas makanan dari mulut macan, melainkan merampas dari mulut anjing. Aku beritahukan lagi kepadamu kalau hendak menggunakan senjata Phoan-koan-pit untuk menghadapi ayahku tidak ubahnya seperti main kampak dihadapan tukang kampak!”

Sang ayah berkata sambil tertawa:

“Hong-jie aku masih belum bergerak jangan kau menakutinya.” Pok Sui Thian berkata dengan suara gusar:

“Apakah kau kira aku Pok Sui Thian seorang yang mudah ditakut-takuti? Dengan perkataan anakmu ini kiranya kau juga pandai menggunakan senjata semacam itu, marilah kita coba-coba!”

Pok Sui Thian sejak muncul lagi di dunia Kang-ouw, belum pernah menemukan tandingan, laki-laki itu tadi hanya menunjukan kekuatan tenaga dalamnya, meskipun juga mengejutkannya, tetapi sebelum bertanding, bagaimana ia mau menyerah mentah-mentah.

Laki-laki itu tertawa terbahak-bahak lalu berkata:

“Kau jangan dengar ucapan anakku. Sudah sepuluh tahun lebih aku tidak menggunakan senjata Phoan- koan-pit, kalau tidak menemukan lawan yang benar-benar seimbang bagaimana aku mau menggunakan secara sembarangan? Apa lagi kau sudah bertempur sekian lama, aku lebih-lebih tidak boleh mencari keuntungan dari dirimu. Maka aku tidak usah khawatir asal senjata Phoan-koan-pit ini bisa malawan tiga jurus saja sepasang tangan kosong ini, aku ayah dan anak segera angkat kaki dari tempat ini biar kau telan sendiri makananmu.”

Pok Sui Thian bukan kepalang gusarnya, ia lalu membentak dengan suara keras: “Bagus sekali, aku si orang sempok pernah menghadapi banyak orang gagah, tetapi belum pernah melihat ada seorang sombong seperti kau ini! Aku justru ingin melihat betapa tinggi kepandaianmu!”

Laki-laki itu berkata sambil mengerutkan keningnya:

“Kalau begitu marilah, jangan omong-omong saja! Ingat, hanya tiga jurus saja!

Pok Sui Thian tidak dapat menindas perasaannya dihina demikian rupa maka lalu menggeram dengan hebat:

“Aku lihat bagaimana kau hendak menangkan aku dalam tiga jurus!”

Sepasang senjatanya lalu bergerak, melancarkan serangannya yang mematikan.

Gerak tipu itu dinamakan sepasang Naga keluar dari laut, ujung senjata mengarah empat bagian jalan darah di bagian bawah ketiak, sesungguhnya merupakan sesuatu gerakan totokan yang pandai sekali.

Laki-laki itu dengan sepasang tangannya masih tetap dalam sakunya hanya berputar-putaran mengelakkan serangan tersebut. Tiba-tiba lengan jubahnya yang besar bergerak-gerak berterbangan mengeluarkan suara nyaring, dan lengan baju itu berubah bagaikan besi kerasnya. Ketika sepasang senjata Pok Sui Thian menusuk di atas lengan baju itu, satu lobangpun tak berhasil menembusnya, sedang sepasang senjatanya itu sudah disingkirkan oleh kibasan lengan baju lawannya.

Pok Sui Thian hanya merasakan mukanya seperti disambar oleh hembusan angin hebat, ia melompat mundur tiga langkah, sementara nona cilik itu, sudah berkata sambil tertawa terpingkal-pingkal dan mengacungkan sebuah jarinya: “Ini jurus pertama.”

Pok Sui Thian maju menyerang lagi, kali ini senjata tangan kiri menotok jalan darah kie-bun-hiat, sedang senjata tangan kanan menotok jalan darah Ceng-ciok-hiat. Dua jalan darah ini merupakan jalan darah kematian bagi tubuh manusia. Pok Sui Thian yang menyerang dengan menggunakan kekuatan tenaga dalam, apabila serangan itu mengenakan dengan tepat betapapun kuatnya orang itu, juga takkan sanggup bertahan.

Tetapi laki-laki itu masih tetap menunjukkan sikapnya yang tenang, ia menantikan sampai sepasang dari senjata itu hampir menyentuh tubuhnya baru ia membentak dengan suara keras:

“Bagus!” kemudian mengulur tangannya untuk menyambar jalan darah Ciok-tie-hiat lawannya.

Gerakan itu dilakukan dengan gayanya yang bagus sekali, tempat yang di arahnya justru merupakan tempat yang tak terbuka sama sekali, dengan demikian, ia lolos dari ancaman senjata Pok Sui Thian.

Kepandaian Pok Sui Thian ternyata juga hebat sekali, dalam saat sangat berbahaya itu dengan tiba-tiba ia merobah gerak tipunya. Sambil memendekkan badannya, sepasang senjatanya digunakan untuk menyapu tangan lawannya. Gerakan ini bukan suatu gerakan totokan, melainkan gerakan dengan menggunakan ruyung.

Kiranya Pok Sui Thian juga dengan senjata ruyung atau tongkat, barusan ia menggunakan tongkat besi menghadapi dua saudara Tiat, dan kali ini menggunakan sepasang Phoan-koan-pit untuk menghadapi laki-laki yang belum dikenalnya itu. Dalam anggapannya karena laki-laki itu tak pernah menyaksikan pertempurannya dengan meggunakan senjata tongkat, ia merasa takut permainan senjata tongkatnya dapat diketahui oleh lawannya, sehingga mudah ditarik kelemahannya, dan kedua, dalam pertempuran jarak dekat, tidak leluasa menggunakan senjata tongkat, begitulah makanya menggunakan senjata Phoan- koan-pit nya.

Sungguh tidak disangka bahwa laki-laki itu ternyata juga merupakan ahli menotok jalan darah sehingga ia menjadi tidak berkutik. Sementara karena tangan laki-laki itu sudah hampir berhasil menotok jatan darahnya, ia tidak dapat menggunakan ilmu totokannya, untuk melawan terpaksa menggunakan ilmu tongkatnya.

Perobahan itu sesungguhnya sangat tepat karena itu merupakan satu-satunya jalan untuk mengelakkan serangan lawannya, andaikata serangan lawannya mengenakan dirinya, sang lawan itu sendiri juga akan terluka.

Laki-laki itu lalu berkata sambil tersenyum: “Bagus, sayang kau bertemu aku!”

Kemudian tangannya memutar balik sehingga serangan Pok Sui Thian mengenakan tempat kosong. Tetapi serangannya sendiri juga berhasil digagalkan oleh lawannya.

Sementara itu terdengar pula suara si nona kecil yang berkata:

“Jurus kedua hanya tinggal satu jurus saja!”

Sang ayah lalu berkata sambil tertawa: “Hong-jie, perlu apa kau tergesa-gesa? Tunggu saja!”

Pok Sui Thian yang sudah berhasil mematahkan dua jurus serangan lawannya, keberaniannya semakin besar, lalu bertanya kepadanya: “Dan kau bagaimana?”

Ia benci sekali terhadap laki-laki itu, maka sekarang balas bertanya dengan meniru sikap dan nada laki-laki tadi.

Sementara itu sepasang senjatanya sudah dikerahkan lagi melancarkan serangannya yang ketiga. Kali ini benar-benar sudah mengerahkan seluruh kepandaiannya, senjata di tangan kiri digunakan sebagai senjata totokan, sedangkan senjata di tangan kanan digunakan sebagai senjata ruyung, sehingga sekaligus dua senjata itu melakukan serangan-serangan menotok, menikam, membabat dan memukul.

Laki-laki itu menjawab dengan suara datar:

“Tidak apa-apa, hanya senjatamu itu terpaksa harus kau tinggalkan.”

Baru saja ia menutup mulutnya tiba-tiba terdengar suara ‘terang-terang’ dua kali, sepasang senjata Pok Sui Thian sudah terbang ke tengah udara.

Benar saja hanya dalam waktu tiga jurus saja, Pok Sui Thian sudah mengalami kekalahan hebat!

Kiranya laki-laki tadi dalam dua jurusan pertama cuma digunakan untuk meraba-raba kepandaian dan kekuatan lawannya. Setelah dapat tahu sampai dimana tingginya kepandaian musuh dan dalam jurus ketiga ia baru bertindak untuk merubuhkan lawannya.

Dengan wajah pucat pasi Pok Sui Thian bertanya:

“Apakah tuan adalah Hoa Ciong Tay yang mempunyai gelar nama ‘Pena penyapu ribuan tentara’ itu?” Laki-laki itu menjawab:

“Bukankah kau pernah sesumbar, hendak mengadu kepandaian denganku? Sekarang seharusnya kau sudah merasa puas bukan? Ha, ha, ha, kau bisa menyambuti tiga jurus seranganku tanpa terluka, juga sudah terhitung tidak mudah lagi. Sekarang senjatamu kau boleh bawa, dan pergilah dari sini!”

Pok Sui Thian setelah mendengar jawaban laki-laki itu yang ternyata benar adalah Hoa Ciong Tay, merasa sangat malu sekali sehingga tidak berani berkata sepatah katapun juga.

Ia lalu mengambil ketiga senjatanya, sambil menghela napas panjang ia segera berlalu.

Tiat Ceng bertiga, baru pertama kali ini mendengar nama Hoa Ciong Tay, hingga diam-diam merasa heran. Sedang dalam hati Tiat Ceng berpikir: Kalau didengar dari ucapan bangsat tua tadi, Hoa Ciong Tay ini seharusnya merupakan tokoh terkenal dalam rimba persilatan tetapi mengapa aku belum pernah dengar ayah menyebut namanya? Setelah Pok Sui Thian berlalu Tiat Ceng bertiga lalu maju memberi hormat kepada Hoa Ciong Tay seraya berkata:

“Terima kasih atas bantuan tenaga Hoa tayhiap.”

Dalam pikiran Tiat Ceng sesudah mengusir pergi berandal yang hendak merampas keretanya sekalipun bukan sahabat baik ayahnya, mungkin juga datang membantu dirinya karena memandang muka ayahnya, setidak-tidaknya dengan maksud baik.

Tidak disangka Hoa Ciong Tay lalu menjawab sambil tertawa terbahak-bahak:

“Tiat Siao-ceecu, kau keliru. Kalau aku mengusir orang-orang itu tadi, hanya untuk kepentinganku sendiri bukan untuk kau. Apa kau tidak dengar ucapan kepada orang-orang itu tadi, aku juga hendak merampas keretamu!”

Tiat Ceng merasa terkejut dan agak ragu-ragu, ia berkata pula:

“Apakah Hoa tayhiap ingin main-main dengan Boanpwee?”

Kiranya Tiat Ceng terus menganggap laki-laki itu adalah seorang gagah kenamaan yang suka mengembara dan adatnya senang main-main. Apa yang dikatakannya hendak merampas kereta barang, dianggapnya hendak mempermainkan kawanan berandal itu, bukan dianggap sungguh-sungguh.

Tetapi Hoa Ciong Tay berkata dengan sungguh-sungguh.

“Siapa akan main-main dengan anak-anak seperti kalian ini? Kalau bukan karena delapan peti barang permata ini, perlu apa aku datang kemari?”

Tiat Ceng lalu berkata:

“Kalau Hoa tayhiap menghendaki barang-barang kita sebetulnya boleh menyerahkan, tetapi...” Hoa Ciong Tay cuma dengar separuhnya, lantas memotong perkataannya:

“Tidak usah cerewet apa yang kau ingin ucapkan, aku sudah tahu. Barang ini adalah barang peninggalan Ong Pek Thong, kalian hendak bawa pulang untuk diberikan kepada ayahmu sebagai ransum, betul tidak? Hem! aku tidak perduli itu semua, sekalipun ayahmu ada disini, aku juga tetap hendak merampasnya! Aku juga bukan seorang pendekar, kau jangan panggil aku Tayhiap segala!”

“Hoa sianseng, kepandaianmu tinggi sekali, kita beberapa bocah ini sudah tentu kau tidak pandang mata. Tetapi karena kau tidak memandang persahabatan dalam rimba hijau, dan menginginkan juga kereta kita ini, maka maafkan jika kita juga tidak dapat memberikan dengan kedua tangan terbuka.”

“Benar, benar! Begitulah seharusnya. Sudah tentu aku tidak akan mengandalkan kedudukan sebagai orang tua untuk menghina anak-anak, nah, Tiat Siao-ceecu, kau boleh main-main beberapa jurus dengan anak perempuanku. Kalian berdua sebaya usianya, bukankah itu yang paling adil? Apakah kau bisa mengalahkan anakku, aku akan membiarkan kau pergi!”

Selagi Tiat Ceng hendak menjawab, Tiat Leng sudah maju menghampiri dan berkata:

“Satu anak perempuan mengajak berkelahi dengan anak laki-laki, bukankah itu sangat memalukan? Paling adil sebaiknya aku yang melawannya!”

Tiat Ceng lalu berkata:

“Adik Leng, jangan mengucap sembarangan, ini bukan permainan anak-anak lagi, kau masih bukan tandingannya.”

Tiat Leng berkata:

“Kalau begitu kau harus aku pukul lebih dulu. Kau adalah satu laki-laki, tenagamu besar apakah kau masih mempunyai muka menghina satu anak perempuan yang usianya lebih kecil darimu? Orang-orang kuat dalam rimba persilatan selalu mengutamakan keadilan, menghadapi lawan harus seimbang kekuatannya, barulah tidak kehilangan muka dan kedudukannya, peraturan ini aku juga mengerti. Kalau ayahnya tidak mau menarik keuntungan dari kita, kita juga seharusnya tidak boleh menarik keuntungan darinya.”

Ucapan itu meskipun masih berbau dan bersifat kekanak-kanakan, tetapi mengandung wibawa dan sifat gagah orang-orang Kang-ouw, tidak kecewa sebagai anak Tiat Mo Lek.

Nona kecil itu melihat sikap Tiat Leng yang polos dan masih kekanak-kanakan, dalam hati juga timbul rasa suka, maka lalu berkata sambil tertawa:

“Adik kecil, aku takut karena kau tadi sudah bertempur sekian lama, sehingga mempengaruhi tenagamu.” Tiat Leng berkata:

“Nona Hoa berapa usiamu tahun ini?” “Enambelas tahun.”

“Kau dengan kakakku sebaya usianya, tetapi juga cuma lebih tua dua tahun dari aku. Maka ucapan adik kecil tadi, perkataan kecil itu seharusnya kau buang saja. Begini saja kalau kau bisa mengalahkan aku, nanti kau bertanding lagi dengan kakakku. Sebab kalau kau dapat mengalahkan kakakku, barulah merupakan pasangan yang setimpal dengan kakakku.”

Tiat Leng mengucapkan kata-katanya dengan tak disengaja, tetapi dalam pendengaran nona kecil itu ternyata lain pula reaksinya. Seketika itu parasnya menjadi merah lalu ia berkata:

“Baik, aku lihat kepandaianmu bagus sekali, aku juga belum tentu bisa mengalahkanmu. Biarlah aku terima dulu pelajaranmu beberapa jurus saja!”

Sambil tersenyum Tiat Leng berkata:

“Jangan terlalu merendah, silahkan!”

Ia lihat gadis cilik yang baru saja begitu galak dan sombong terhadap Pan Lo-toa dan lain-lainnya. Tetapi terhadap dirinya sendiri jauh berlainan sehingga ia merasa sangat bangga.

Tiat Leng tak tahu, bahwa kedatangannya Hoa Ciong Tay dengan anaknya itu, bukan ingin merampas kereta barang permata, melainkan mengandung maksud lebih dalam. Ia ingin mencarikan suami bagi anaknya, maka ia menyuruh putrinya bertanding dengan Tiat Ceng.

Maksud ayahnya itu diketahui oleh gadisnya.

Maka waktu Tiat Leng tertawa, gadis itu selebar mukanya menjadi merah. Karena pikirannya agak terpengaruh sehingga ujung pedang Tiat Leng dengan tak setahunya sudah mengancam di depan dadanya.

Gadis kecil itu terkejut, cepat-cepat ia mengelak. Tiat Leng menarik kembali pedangnya dan berkata:

“Mengapa kau tidak mengeluarkan senjatamu, kau sesungguhnya terlalu memandang rendah diriku!”

Gadis kecil itu ketika mengetahui gerak badan Tiat Leng demikian gesit dan lincah ia tahu apabila cuma menggunakan ikat pinggang sutranya, tidak mungkin dapat merebut senjatanya, maka ia lalu berkata sambil tersenyum:

“Kau terlalu cepat, aku masih belum keburu mengeluarkan senjata! Baiklah, sekarang aku hendak membalas, kau harus hati-hati!”

Sementara itu ia lalu mengeluarkan sebuah pecut, lalu digunakan untuk menyerang Tiat Leng. Gerak pecut itu bagaikan ular yang, menyambar mengancam badannya dari berbagai jurusan. Gadis cilik itu sungguh hebat permainan pecutnya dan gayanya begitu lemas, ia bisa berubah sedemikian keras bagaikan sebatang tombak.

Dalam hati Tiat Leng lalu berpikir: Kekuatan gadis ini nampaknya lebih tinggi dari padaku, tetapi kelincahan dan kegesitannya, belum tentu dapat menandingi aku. Baiklah aku menggunakan kelincahanku untuk melawannya.

Dalam babak pertama, hampir saja membuat lawannya kewalahan, sehingga dianggapnya kegesitan dan kelincahannya lebih unggul dari pada lawannya, pada hal gadis kecil lawannya itu memang sengaja mengalah.

Tetapi ilmu meringankan tubuh Tiat Leng yang ia dapat belajar dari Khong-kong Jie suami isteri, juga merupakan satu kepandaian yang jarang ada tandingannya di dalam rimba persilatan.

Sewaktu ia menggunakan ilmunya yang meringankan tuhuh itu, hanya kelihatan berkelebatnya bayangan dirinya dan berkelebatnya sinar pedang. Sebilah pedangnya seolah-olah berobah menjadi ratusan bilah pedang, sehingga empat penjuru semua ada bayangannya.

Hoa Ciong Tay yang menyaksikan itu lalu memberi pujian sambil tertawa:

“Murid terakhir Sin Cie Kow, benar-benar hebat. Hong-jie, kau harus hati-hati menghadapinya.” Gadis cilik itu menyahut sambil tertawa:

“Anak tidak berani membikin noda nama ayah.”

Ia lalu merobah ilmu pecutnya, sebentar kemudiaa pecut itu bagaikan ribuan ekor ular yang berterbangan di tengah udara.

Tiat Leng terperanjat, ia baru tahu bahwa ucapan kakaknya yang sering mengatakan di atas langit masih ada langit, di atas orang pandai masih ada orang yang lebih pandai lagi, bukanlah omong kosong belaka.

Kalau ia kalah di tangan Touw Goan atau Pok Sui Thian itu masih dapat dimengerti, namun gadis cilik she Hoa ini, usianya juga cuma lebih tua dua tahun dari padanya, tetapi kepandaiannya nampak lebih unggul dari padanya. Kepandaian dan kekuatannya serta ilmu kepandaian yang meringankan tubuh, nampaknya juga tidak di bawah dirinya.

Dalam cemasnya Tiat Leng lalu mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Ilmu pedang warisan gurunya yang aneh dan hebat, dengan diimbangi oleh ilmu meringankan tubuh, nampaknya semakin hebat sehingga membuat kagum si gadis cilik.

Walanpun Tiat Leng sudah mengeluarkan seluruh kepandaian tetapi masih belum mampu menundukkan lawannya.

Tiat Ceng yang menyaksikan pertandingan itu diam-diam merasa heran, dalam hatinya berpikir: Ilmu meringankan tubuh gadis itu meskipun belum dapat dibandingkan dengan suhu, tetapi merupakan suatu ilmu yang tersendiri. Jikalau pertandingan ini berlangsung terus, mungkin adik nanti akhirnya dikalahkan.

Sementara itu pertandingan kedua pihak sudah sampai ke babak yang menentukan, pecut gadis itu sudah berhasil menembusi lapisan bayangan pedang, kemudian mengarah tangan Tiat Leng untuk menotok jalan darahnya.

Guru Tiat Leng juga seorang ahli ilmu menotok, meskipun Tiat Leng belum berhasil mempelajari seluruhnya tetapi juga sudah paham ilmu tersebut, maka begitu melihatnya ia segera dapat mengenali bahwa gadis lawannya itu hendak menotok jalan darah.

Tetapi saat itu seluruh dirinya sudah berada di bawah ancaman pecut, meskipun ia tahu benar lawannya hendak menotok jalan darahnya juga tidak bisa menyingkirkannya.

Tiat Leng selagi dalam keadaan cemas, ujung pecut gadis cilik itu tiba-tiba liwat melalui tangannya agak kesemutan, tetapi heran, bukan seperti ditotok, tangan itu bahkan masih dapat digunakan dengan leluasa. Gerakan kedua pihak sama-sama gesitnya, dengan sendirinya Tiat Leng sodorkan pedangnya, dalam keadaan demikian tiba-tiba terdengar suara ‘ser-ser’ dua kali, gadis kecil itu menarik kembali pecutnya dan herhasil merobek baju Tiat Leng, sebaliknya pedang Tiat Leng juga berhasil memapas sepotong baju lawannya.

Gadis cilik itu melompat keluar kalangan, menarik kembali pecutnya, kemudian berkata sambil tersenyum:

“Ilmu pedang nona Tiat, sungguh hebat, aku sangat kagum! Aku merasa beruntung menyelesaikan pertandingan ini kesudahan seri, kita boleh tidak usah bertanding lagi!”

Tiat Leng tahu bahwa lawannya itu sengaja mengalah, jikalau tidak, ia tadi sudah kena ditotok olehnya, bagaimana bisa memapas bajunya?

Hati Tiat Leng merasa tidak enak tetapi juga merasa bersyukur, ia berkata:

“Kau lebih tua dua tahun dariku, benar lebih tinggi kepandaian dari apa yang aku punyai. Baiklah, aku bukan tandinganmu, sekarang kau boleh bertanding dengan kakakku. Jikalau kau berhasil mengalahkan kakakku, aku baru benar-benar kagum kepadamu. He, siapakah namamu?”

Tiat Leng tidak mau berpura-pura, ia berani mengakui kekalahannya tetapi nampaknya masih ada penasaran, ucapan yang masih bersifat anak-anak itu, sehingga Hoa Ciong Tay yang mendengarkannya turut tertawa.

Gadis itu berkata:

“Adik kau masih belum kalah, kau hanya dirugikan karena usiamu masih terlalu muda. Dengan sejujurnya, apabila itu terjadi pada dua tahun yang lalu, pasti bukan tandinganmu, aku bernama Khiam Hong. Kalau tadi kita bertanding tentunya tidak saling mengenal, mari kita bersahabat.”

Tiat Leng merasa suka dengan sikap Hoa Khiam Hong yang ramah tamah, ia berkata:

“Baik, aku suka bersahabat denganmu. Tetapi, kau hendak merampas kereta kami, pertandingan ini mungkin masih akan tetap dilanjutkan. Jikalau kepandaianmu dapat menundukkan kakakku, maka kau hendak mengambil kereta, aku juga tidak akan sesalkan kau.”

Tiat Leng lalu balik dan berkata kepada kakaknya:

“Koko, sekarang adalah giliranmu.” Ia berhenti sejenak tiba-tiba bisik-bisik di telinga kakaknya: “Koko, aku harap kau dapat mengalahkannya. Tetapi ia baru saja pernah mengalah satu jurus terhadap aku, nanti kau juga memberikan kelonggaran kepadanya satu jurus. Jangan sampai melukai dirinya.”

Tiat Ceng berkata sambil ketawa:

“Aku mengerti. Bagaimana kita boleh menodai nama baik ayah?”

Hoa Khiam Hong tidak dapat menangkap apa yang dikatakan oleh Tiat Leng pada kakaknya tetapi dalam hatinya berpikir: Entah apa yang dikatakan oleh setan cilik itu kepada kakaknya? apakah mereka sudah dapat menebak maksud hati ayah?

Karena memikir demikian, maka dengan tanpa dirasa selembar mukanya menjadi merah.

Tiat Leng hatinya masih terasa ragu-ragu, ia menganggap kedatangan mereka itu tidak mengandung maksud jahat, tetapi mengapa hendak merampas kereta? Entah mereka itu orang golongan baik-baik atau dari golongan yang jahat?

Tiat Ceng lalu menghampiri Hoa Khiam Hong sambil berdiri dengan mendekap pedangnya ia berkata: “Nona Hoa, aku ingin menerima pelajaran darimu.”

Hoa Khiam Hong berkata:

“Tiat Kongcu terlalu merendah, seharusnya akulah yang menerima pelajaran darimu.” Tiat Leng lalu berkata:

“Kalian berdua semua tidak usah berlaku merendah, aku sudah ingin menyaksikan pertandingan ini. Mulailah!”

Dengan muka merah Hoa Khiam Hong berkata:

“Baiklah, kalau begitu maafkan aku berlaku kurang ajar.”

Seketika itu ia menggerakkan pecutnya menyerang ke arah Tiat Ceng.

Ia tahu bahwa sang kakak ini kepandaiannya jauh lebih tinggi dari pada adiknya, ia takut tak mampu menandingi sehingga dipandang rendah oleh pemuda itu, maka begitu bertindak ia sudah menggunakan ilmu pecut tertinggi dari pelajaran ayahnya.

Tiat Ceng yang menyaksikan pecut lemas di tangannya, jika digunakan sebagai senjata tombak bahkan mengandung ilmu totokan, diam-diam juga merasa kagum.

Pedang lalu digerakan untuk menyambut serangan si nona sambil melompat.

Gerak tipu itu adalah ilmu pedang warisan Tiat Mo Lek, gerakannya nampak tidak begitu lincah tetapi hebat.

Selagi pecut Hoa Khiam Hong hendak melibat gagang pedang tiba-tiba ia mendengar suara ayahnya yang memperingatkannya: “Hong-jie kau tidak mengukur dirimu sendiri, kekuatanmu bagaimana dapat dibandingkan dengan Tiat Kongcu?”

Hoa Khiam Hong mendengar peringatan ayahnya segera merobah gerak tipunya, ujung pedang hanya menotok di gagang pedang, sedang badannya sudah lompat balik sejauh satu tombak lebih. Dengan mengandalkan pecutnya yang panjang, kembali ia membabat dan menggulung.

Serangan pedang Tiat Ceng tadi sebetulnya ingin merampas pecut si nona, tetapi ketika melihat si nona itu merubah gerakannya sedemikian cepat, diam-diam juga merasa kagum.

Tiat Ceng yang masih di tengah udara sebelum kakinya menginjak tanah sudah disambar oleh pecut Hoa Khiam Hong. Dalam keadaan yang demikian nampaknya sudah tidak berhasil untuk menyingkir, tetapi ia segera berputaran di tengah udara sehingga serangan Hoa Khiam Hong mengenai tempat kosong.

Ilmu meringankan tubuh Tiat Ceng sudah mewarisi benar-benar kepandaian suhunya, meskipun kepandaian Hoa Khiam Hong juga hebat, tetapi jikalau dibandingkan ternyata masih kalah jauh. Tiat Ceng sambil mengeluarkan bentakan:

“Lepaskan senjatamu!” Ujung pedangnya hendak memapas jari tangannya!

Kalau ia membentak lebih dahulu, itu hanya sebagai tanda peringatan supaya dapat memaksanya melepaskan pecutnya, karena ia tidak ingin melukai tangannya.

Siapa tahu karena perbuatan itu, membuat Hoa Khiam Hong mendapatkan kesempatan untuk memindahkan pecutnya kemudian menyahut sambil tertawa: “Belum tentu!”

Pada saat itu tangan kirinya tiba-tiba sudah tambah sebilah pedang pendek, kiranya itu adalah pedang yang disembunyikan dalam lengan bajunya untuk digunakan jikalau keadaan terdesak.

Hal ini benar-benar di luar dugaan Tiat Ceng, karena kedua pihak berada dekat sekali, dan gerakan pedang Hoa Khiam Hong begitu gesit sehingga tahu-tahu sudah mengancam tangannya.

Jikalau ia melanjutkan serangannya pasti akan terluka kedua-duanya, untung Tiat Ceng tidak gugup dalam keadaan sangat berbahaya ini, mendadak ia rem kakinya, tangannya ditarik kembali. Tangan kiri menyambar pecut Hoa Khiam Hong, kakinya lalu memutar, dengan demikian sehingga Hoa Khiam Hong turut terbawa berputar, sehingga serangan pedangnya dengan sendirinya mengenakan tempat kosong. Setelah detik-detik yang berbahaya itu berlalu, Tiat Ceng tidak menantikan lawannya merobah gerak tipunya, sudah melompat menyingkir ke samping. Hoa Khiam Hong juga tidak berani mengejar dengan demikian sehingga kedua-duanya masing-masing mundur dua langkah.

Meskipun pertandingan berlangsung belum lama, tetapi masing-masing sudah menggunakan gerak tipu yang berbahaya, meskipun saat yang berbahaya segera telah berlalu, tetapi jika memikirkan keadaannya tadi barulah merasa kaget sehingga mengeluarkan keringat dingin.

Hal itu bukan hanya mereka berdua saja yang kaget, tetapi Tiat Leng dan Can Pek Sin yang menonton juga dibikin terheran-heran dan kemudian berteriak ketakutan. Hanya ayah Hoa Khiam Hong yang tetap tenang, waktu Tiat Leng dan Can Pek Sin berteriak ketakutan, ia malah tertawa terbahak-bahak serta memberi pujian: “Kepandaian meringankan tubuh yang bagus sekali, begitu juga ilmu pedangnya!”

Nampaknya ia sedikitpun tidak mengkhawatirkan anaknya, ternyata tangannya diam-diam sudah menggenggam sebuah batu kecil, apabila bahaya mengancam anaknya, ia sudah siap melepaskan batu untuk menolong anaknya.

Tiat Ceng setelah menarik napas lega, dengan sikap tenang ia menjawab pujian Hoa Ciong Tay.

“Terima kasih atas pujian Locianpwee, Boanpwee sesungguhnya merasa malu untuk menerima pujian itu. Hoa Khiam Hong yang sementara itu sudah mulai agak tenang lalu berkata sambil tersenyum:

“Jangan merasa bangga dulu, siapa menang siapa kalah masih belum tentu. Sambutlah seranganku ini!”

Dengan pecut di tangan kanan dan pedang pendek di tangan kiri, ia melancarkan serangan serentak kepada Tiat Ceng.

Kini kedua pihak sama-sama tidak berani berlaku ceroboh. Dua senjata Hoa Khiam Hong dapat digunakan baik sekali, gerakannya aneh dan banyak perubahan. Ujung pecut dan pedang sama-sama dapat digunakan untuk dapat menotok jalan darah lawan.

Tiat Leng yang menyaksikan kini baru tahu bahwa tadi waktu ia bertanding dengannya cuma menggunakan pecut, paling-paling hanya menggunakan lima bagian kepandaiannya. Kalau ia semula mengkhawatirkan kakaknya kesalahan tangan sehingga melukai Hoa Khiam Hong, tetapi kini sebaliknya mengkhawatirkan kakaknya sendiri.

Kalau di pihak Tiat Leng mengkhawatirkan kakaknya, sedangkan di pihak Hoa Ciong Tay saat itu sudah dapat melihat gelagat kurang baik dari anaknya.

Kiranya perbedaan ilmu pedang Tiat Mo Lek dengan lainnya, terletak pada titik berat, kaku dan hebat. Pedang digerakkan secara hebat dengan gerakan berat nampaknya kaku tetapi sebetulnya hebat. Ilmu pedang yang tidak menitik-beratkan kepada kegesitan dan kelincahan justeru merupakan ilmu pedang paling baik dan paling susah dipelajarinya. Meskipun kekuatan Tiat Ceng belum memenuhi syarat, tetapi ia sudah mendapatkan intisari dari pada ilmu pedang itu.

Karena Tiat Leng, sudah kenal betul dengan ilmu pedang itu maka dirasakan biasa saja.

Selain dari pada itu disamping itu karena hubungan tali persaudaraan sehingga hanya dapat melihat keadaan bagus di luar pihak lawannya, sebaliknya tidak tahu bahwa kakaknya sendirilah yang justru berada di atas angin.

Tetapi Hoa Ciong Tay yang banyak pengetahuan sudah banyak pengalaman sudah tentu dapat membedakan keadaan itu.

Hoa Ciong Tay diam-diam merasa heran, pikirnya: Kabarnya Tiat Mo Lek dan Khong-khong Jie, ada merupakan dua orang kuat pada dewasa ini. Dari murid mereka ini memang benar. Sayang Hong-ji barangkali tidak sanggup melawan sampai seratus jurus lebih, sehingga aku tidak dapat menyaksikan seluruh kepandaiannya.

Belum lagi hilang pikirannya, mendadak terdengar suara ‘trang’. pedang pendek di tangan Hoa Khiam Hong sudah terbang ke tengah udara. Tetapi Tiat Ceng sendiri setelah menerbangkan pedang lawannya, pedangnya sendiri juga segera di lemparkan ke atas menyusul mana badannya dengan cepat melompat keluar kalangan.

Hoa Khiam Hong tercengang, ia melihat Tiat Ceng lari ke arah jatuhnya pedang panjang. Sebelum pedang panjang jatuh di tanah ia telah berhasil menyambuti lagi.

Sedang pedang pendek Hoa Khiam Hong meluncur turun, ia lalu menyambutinya, sedang dalam hatinya diam-diam berpikir: “Apakah ia sengaja mengalah?”

Benar saja saat itu Tiat Ceng lalu berkata:

“Nona Hoa, senjata kita sama-sama terlepas dari tangan, boleh dikata satu sama lain tidak ada yang dirugikan. Kita tak perlu bertanding lagi!”

Perbuatan Tiat Ceng kali ini dilakukan dengan sangat bagus sekali, lebih wajar daripada Hoa Khiam Hong yang mengalah terhadap adiknya.

Ia menganggap dalam hati Hoa Khiam Hong pasti mengerti, apalagi dengan kepandaiannya dan pengetahuan Hoa Ciong Tay, tidak mungkin tidak dapat mengetahuinya. Maka pikirnya setelah Hoa Khiam Hong mengaku kalah, Hoa Ciong Tay juga akan mentaati janjinya ialah membiarkan dirinya berlalu.

Tetapi ia hanya menduga tepat separuhnya saja. Memang benar, Hoa Ciong Tay juga akan mengaku kalah, tetapi sebelum ia membuka mulut, telah didahului oleh ayahnya.

“Kalian berdua berkesudahan seri, maka tidak perlu bertanding lagi. Sekarang biarlah aku yang turun tangan sudah tentu aku tak dapat menarik keuntungan dari kepandaianku yang lebih tinggi dari pada kalian, maka kalian bertiga boleh maju berbareng!”

Tiat Ceng melengak, lalu berkata:

“Hoa locianpwee, ini...”

Hoa Ciong Tay berkata: “Kau tak mau melawan juga boleh, tetapi kereta ini akan kubawa.”

Tiat Ceng menganggap orang tua itu sengaja mencari gara-gara, tetapi ia sendiri yang suka mengakhiri pertandingan dengan anaknya dan menyatakan seri kesudahannya, sudah tentu ia tidak dapat menarik kembali lagi. Walaupun ia tak ingin menarik kembali perkataannya, tetapi dalam hati merasa sangat mendongkol maka ia berkata:

“Boanpwee adalah seorang bodoh dengan ini minta keterangan locianpwee, di dalam kalangan Kang-ouw, bukankah kita harus mengutamakan kepercayaan?”

Hoa Ciong Tay tertawa terbahak-bahak kemudian berkata:

“Kepercayaan sudah tentu harus kita utamakan, tetapi hal ini tak dapat digunakan dengan urusan perkara hari ini! Aku sudah berkata bahwa jika kau dapat mengalahkan anakku, aku akan melepaskan kalian pergi. Tetapi sekarang kalian berkesudahan seri, maka mau tidak mau kalian harus melawanku lagi!”

Hoa Ciong Tay sengaja hendak mengeruhkan keadaan, bukan saja mengejutkan Tiat Ceng tetapi Hoa Khiam Hong juga merasa tidak enak. Baru saja mengeluarkan perkataan ‘Ayah’, sang ayah sudah melarangnya melanjutkan perkataannya, berkata sang ayah itu:

“Hong-jie, kau berdiri di samping, kau perhatikan dengan seksama supaya juga boleh belajar sedikit pengalaman!”

Hoa Khiam Hong ketika mendengar perkataan itu segera ia mengerti perkataan ayahnya lalu mengundurkan diri ke samping.

Kiranya Hoa Ciong Tay kegemarannya ilmu silat sudah merupakan hobby satu-satunya. Segala ilmu silat kepandaian tertinggi yang ia belum pernah menyaksikan, ia selalu berusaha untuk dapat menyaksikan seluruhnya. Kali ini setelah ia mengasingkan diri sepuluh tahun lamanya, ketika balik lagi ke daerah Tiong- goan, sebetulnya ingin mencari Khong-khong Jie dan Tiat Mo Lek untuk bertanding, tetapi sifatnya yang ingin menang sendiri takut andaikata kalah ia akan kehilangan muka.

Kebetulan Tiat Ceng adalah anak Tiat Mo Lek juga menjadi murid Khong-khong Jie. Dengan adanya dua kepandaian yang tergabung dalam dirinya itu, maka Hoa Ciong Tay ingin mencobanya sendiri ia hendak memancing supaya pemuda itu mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Setelah percobaan itu, Hoa Ciong Tay segera dapat meraba kepandaian dua orang itu dan di kemudian hari apabila ia bertanding dengan dua jago tua itu, tidak akan dirugikan.

Disamping itu ia juga tahu bahwa Can Pek Sin adalah anak Can Goan Siu, Tiat Leng juga sudah mendapat warisan dari gurunya. Meskipun dua orang itu cuma menduduki tempat dalam hatinya, tetapi juga merupakan tokoh-tokoh terkemuka dalam rimba persilatan, maka ia ingin menggunakan kesempatan itu untuk menguji kepandaian mereka sehingga ia menyuruh tiga pemuda itu maju bersama.

Sebaliknya dengan Hoa Khiam Hong pikirannya agak berbeda dengan ayahnya. Ia kalah di tangan Tiat Ceng, ia mengira ayahnya hendak memberi petunjuk kepadanya bagaimana harus menghadapi gerakan Tiat Ceng. Ia tidak tahu meskipun ayahnya juga ada itu maksud, tetapi itu bukanlah maksud yang utama.

Meskipun Hoa Khiam Hong tidak dapat menerka seluruh hati ayahnya, tetapi sang ayah itu pasti tidak akan melukai tiga anak muda itu, juga pasti tidak akan merampas kereta barang berharga. Dugaan itu memang benar. Maka dengan sendirinya ia tidak mengkhawatirkan diri Tiat Ceng.

Tetapi Tiat Ceng sedikitpun tidak mengetahui maksud orang tua itu, karena barang-barang dalam delapan peti itu, semuanya merupakan barang-barang berharga, sehingga dianggapnya Hoa Ciong Tay benar- benar menghendaki barang tersebut.

Pemuda sedikit banyak berdarah panas, karena sikapnya Hoa Ciong Tay yang mendesak terus, sehingga reaksi Tiat Ceng juga kurang baik, seketika itu lalu berkata:

“Kalau Locianpwee, memang hendak menguji kita, walaupun Boanpwee tahu tidak mampu menandingi, terpaksa juga akan mengiringi kehendakmu. Adik Leng bersama aku melawan dan maju bersama, sementara itu Can Toako boleh berjaga-jaga.”

Tiat Ceng yang sedikit banyak mempunyai jiwa besar, tidak suka sekali maju tiga orang. Hoa Ciong Tay ketawa terbahak-bahak dan berkata:

“Apakah kau takut anakku akan merampas kereta? Kau tidak usah khawatir, sebaiknya kalian bertiga maju bersama!”

Can Pek Sin yang usianya lebih tua, juga lebih berhati-hati, ia juga tak suka berpeluk tangan sebagai penonton maka lalu berkata:

“Kalau begitu kita menurut saja. Hoa lo-cianpwee adalah tokoh kuat dari tingkatan tua, jikalau kita harus terikat oleh peraturan dunia Kang-ouw, malah itu sebagai pengakuan yang hormat terhadap tingkatan tua.”

Perkataan itu mengandung maksud supaya Tiat Ceng tidak menganggap kehilangan muka bagi diri sendiri karena mengeroyok seorang tua, yang penting pada dewasa itu ialah bagaimana dapat mengundurkan musuhnya dan melindungi barangnya.

Hoa Ciong Tay berkata sambil tertawa:

“Benar, begitulah baru benar! Anak, aku tidak ingin mencari keuntungan dari diri kalian, kalian juga jangan berlaku merendah.”

Tiat Ceng dengan menundukkan ujung pedangnya ke bawah seraya berkata: “Silahkan Locianpwee mengeluarkan senjata!”

Hoa Ciong Tay kembali tertawa dan berkata: “Bukankah kau tadi sudah mendengar sendiri? Sudah sepuluh tahun lebih aku belum pernah menggunakan senjata. Terhadap Pok Sui Thian aku masih bertangan kosong bagaimana aku boleh menggunakan senjata terhadap kalian?”

Kekuatan tiga pemuda itu jika digabung menjadi satu, sudah tentu jauh lebih kuat daripada Pok Sui Thian. Tiat Ceng bertiga yang masih berdarah muda ketika mendengar ucapan tersebut dalam hati merasa penasaran. Tiat Leng yang lebih dulu tidak dapat menahan kemarahannya ia lalu berkata:

“Baiklah dengan tangan kosong kau menyambut serangan kita! Tetapi pedangku ini tidak ada matanya, kau harus berhati-hati sendiri.” Perkataan itu ditutup dengan satu serangan yang mengarah dada.

Gerakan itu nampaknya seperti satu tikaman biasa saja, tetapi di dalamnya mengandung banyak perubahan-perubahan, gerakannya aneh sekali.

Hoa Ciong Tay berkata sambil tertawa:

“Bagus, di antara ilmu pedang dari berbagai ahli pedang, ilmu pedangmu inilah yang paling aneh gerakannya! Tetapi meskipun pedangmu ini tidak ada matanya juga tidak akan dapat melukai diriku!”

Sambil bicara kakinya bergerak seenaknya saja, dan yang mengherankan ialah serangan Tiat Leng yang aneh tadi, selalu mengenakan tempat kosong.

Can Pek Sin dengan pedang disertai dengan kekuatan tenaga tangan dengan cepat mendahului Tiat Leng melancarkan serangan, untuk menjaga serangan pembalasan.

Hoa Ciong Tay mengibaskan lengan bajunya, takala serangan tangan Can Pek Sin mengenakan sasarannya bagaikan memukul barang keras, sampai ia terpental mundur dan tangannya dirasakan sakit. Can Pek Sin lalu menabas dengan pedangnya, tetapi kali ini lengan baju itu begitu lunak seperti tidak ada apa-apa, ketika tersentuh oleh ujung pedang lalu membalik. Can Pek Sin tidak dapat menggunakan tenaganya, sedangkan lengan bajunya itu juga tidak mengalami kerusakan.

Can Pek Sin terperanjat, ia sungguh tidak menduga bahwa kekuatan tenaga dalam orang tua itu ada begitu hebat, dalam waktu sekejap mata saja, sudah dapat menggunakan kekerasan dan kelunakan menurut kehendak hatinya. Serangan pedangnya yang diberikuti kekuatan tenaga tangan, sebetulnya masih ada kelanjutannya tetapi ketika kebentur dengan kekuatan amat dahsyat itu ia tidak berani berlaku gegabah, maka cepat-cepat hentikan kakinya.

Hoa Ciong Tay kembali berkata sambil tertawa:

“Serangan pedangmu yang berikuti dengan kekuatan tenaga tangan itu ternyata kau sudah berhasil menggabungkan kepandaian dari golongan kebenaran dan golongan jahat, juga terhitung salah satu kepandaian yang jarang ada dalam rimba persilatan. Sayang gerakan pedangmu terlalu lunak sebaliknya kekuatan tenaga tangan kelewat hebat, kau seharusnya berusaha untuk memperbaiki itu.”

Kiranya ilmu pedang yang digunakan oleh Can Pek Sin adalah dari ibunya, itu adalah ilmu pedang keturunan Biauw Hui Sin-nie yang termasuk golongan Budha sehingga termasuk ilmu kepandaian golongan kebenaran. Tetapi ilmu pedang ini tepat dipakai oleh kaum wanita, bagi kaum pria sudah tentu agak lemah. Sebaliknya dengan ilmu serangan tangan kosong Can Pek Sin yang didapat dari pelajaran ayahnya, serangan itu amat dahsyat termasuk salah satu ilmu silat tertinggi dalam golongan sesat.

Atas ucapan orang tua itu tadi Can Pek Sin lalu menyatakan terima kasihnya. Tiat Ceng segera berkata:

“Aku juga ingin minta petunjuk Locianpwee.”

Pedangnya segera diputar sehingga mengeluarkan sambaran angin menderu-deru, ia menggunakan pedangnya sebagi golok membacok lawannya.

Hoa Ciong Tay sambil berseru bagus lalu menyentil dengan jari tangan manis, bacokan Tiat Ceng yang begitu hebat ternyata dapat disingkirkan. Tetapi walaupun Tiat Ceng mundur tiga langkah badan Hoa Ciong Tay sendiri juga bergoyang-goyang.” Hoa Ciong Tay lalu berkata: “Bagus! Ilmu pedangmu ini sudah mendapatkan khasiatnya berat dan kaku, apa yang belum cukup hanya kekuatan tenaga saja.”

Dengan demikian Hoa Ciong Tay seperti bertindak sebagai guru mereka yang memberi petnnjuk kepandaian masing-masing.

Hati Tiat Ceng merasa ragu-ragu ia menghentikan serangannya, selagi hendak ingin bertanya apa maksudnya, Tiat Leng sudah mendahului berkata:

“Eh, kali ini kita dengan dia bertempur benar-benar ataukah hanya main-main?”

Karena mereka bertiga meski sudah menyerang tetapi maju satu persatu bukanlah maju secara bersama. Sedangkan Hoa Ciong Tay yang berada di atas angin, juga tidak balas menyerang.

Di dalam alam pikirannya Tiat Leng apabila bertempur sungguh-sungguh, seharusnya maju berbareng mengeroyoknya. Dengan kekuatan tiga orang, pasti dapat menangkan Hoa Ciong Tay. Maka ucapannya tadi sebetulnya merupakan suatu desakan supaya sang kakak mengambil keputusan cepat.

Hoa Ciong Tay tertawa terbahak-bahak kemudian berkata:

“Aku sudah mengalah pada kalian setiap orang satu jurus, sekarang aku hendak balas menyerang!”

Mendadak ia melesat merapat dirinya Tiat Leng lalu mengulur dua jari tangannya hendak mengorek biji mata!

Tiat Ceng terkejut, cepat ia memberi pertolongan ujung pedangnya menikam jalan darah di belakang punggung Hoa Ciong Tay.

Orang tua itu seolah-olah di belakang punggungnya mempunyai mata, ia membalikkan badannya digunakan untuk menangkis juga untuk merebut senjata orang. Karena perawakannya lebih dari pada Tiat Ceng, maka tangannya itu menyabet leher Tiat Ceng, kembali ini adalah satu gerak tipu serangan yang sangat berbahaya!

Can Pek Sin lalu berseru:

“Jangan melukai orang!” Dengan cepat dia segera memburu dan menyerang dengan pedang.

Hoa Ciong Tay membalikkan badan dengan menggunakan kedua kakinya hendak menendang jalan darah Thay-yang-hiat. Serangan pedang Can Pek Sin tadi belum tentu dapat menikam diri lawannya, tetapi jika tertendang jalan darahnya jiwanya segera melayang!

Bukan kepalang kaget Can Pek Sin, untung ilmu kepandaiannya menyambar dengan menggunakan tangan warisan orang tuanya, merupakan salah satu ilmu silat terampuh dalam rimba persilatan. Dalam keadaan demikian ia hendak menyambar dengan sang tangannya, sedang tangannya melesat tinggi sehingga terhindar dari tendangan kaki lawan.

Sementara itu pedang Tiat Ceng dan Tiat Leng sudah menyerang dengan berbareng untuk membantu kawannya. Sedang Tiat Ceng herseru:

“Locianpwee harap tak bertindak kejam!”

Hoa Ciong Tay tertawa terbahak-bahak dan berkata:

“Mengapa tidak boleh menggunakan tangan kejam? Apakah kau kira aku sedang main-main dengan kalian? Siapa menyuruh kalian tidak tahu diri, berani melawan perintah dan berani melawan aku? Sekarang kau menyesal juga sudah terlambat!”

Selama berbicara ia sudah melancarkan serangannya terhadap tiga anak muda itu, setiap orang dihujani tiga kali serangan, bahkan setiap kalinya merupakan serangan mematikan!

Tiat Leng mulai panas hatinya, ia lalu berkata: “Koko, bagaimana kau boleh minta dikasihani terhadap musuh kuat?”

Tiat Ceng yang berulang-ulang diserang dengan pukulan-pukulan yang berbahaya, juga merasa panas hatinya maka segera menjawab:

“Baik, kita menggempurnya!”

Kedua kakak beradik itu lalu menggunakan ilmu pedangnya yang masing-masing lunak dan keras. Ilmu pedang itu bekerja sama sangat baik sekali sehingga berhasil menahan serangan Hoa Ciong Tay. Sedang Can Pek Sin juga mengeluarkan seluruh kepandaiannya, bertempur secara nekad.

Hoa Ciong Tay lalu, berseru:

“Bagus, beginilah baru merupakan suatu pertempuran yang memuaskan!”

Lengan bajunya berkibasan, di bawah serangan tiga pedang, ia menggunakan sepasang tangan kosongnya, kedua kakinya dan kadang-kadang lengan bajunya untuk menghadapi tiga lawan. Betapapun tinggi pemuda itu menyerang dengan serentak, tetapi ia masih bisa menghadapi dengan baik bahkan banyak melakukan serangannya.

Kiranya Hoa Ciong Tay tadi memang sengaja melakukan serangannya dengan kejam dan ganas, untuk menimbulkan kebencian dan kemarahan mereka, karena jika tidak demikian, bagaimana ia berhasil memancing tiga anak muda itu mengeluarkan seluruh kepandaiannya?

Tiat Ceng bertiga tidak tahu maksud hati Hoa Ciong Tay itu, mereka hanya khawatir terkena serangannya, maka mau tidak mau, semua harus mengeluarkan seluruh kepandaian untuk melawan.

Tiga pedang saling bergerak melakukan kewajibannya, setiap serangan ditujukan ke bagian berbahaya pada lawannya.

Hoa Ciong Tay beberapa kali menghadapi serangan yang sangat berbahaya, hatinya merasa terkejut sehingga tidak berani berlaku ceroboh.

Pertempuran makin lama makin hebat, di medan pertempuran hanya tampak berkelebatnya bayangan orang dan sinar pedang yang seperti ‘bergumulan, sehingga Hoa Khiam Hong yang menyaksikan, pandangannya menjadi kabur dan hampir tidak hisa bernapas.

Tiat Ceng tiba-tiba melesat tinggi, kemudian menikam dari atas dengan menggunakan totokan keturunan Khong-khong Jie. Tetapi karena usianya masih terlalu muda, belum begitu mahir seperti Khong-khong Jie, namun demikian ia juga dapat menikam tujuh bagian jalan darah dalam waktu satu jurus saja.

Hoa Ciong Tay sambil beseru: “Satu ilmu pedang bagus sekali!” Dengan lengan bajunya ia gunakan untuk menyampok pedang Tiat Ceng, sementara itu Can Pek Sin sudah menyerang dengan telapak tangannya. Tetapi Hoa Ciong Tay berhasil memunahkan serangan Can Pek Sin dengan serangan tangan kosong juga, namun ujung pedang Tiat Leng saat itu sudah mengancam jalan darah di belakang punggungnya.

Hoa Ciong Tay dalam babak permulaan cuma menggunakan gerak tipu percobaan, tetapi kemudian kegembiraannya meluap, bahwa kepungan dan serangan tiga bocah itu, mau tidak mau juga harus mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Untung ilmu kepandaiannya sudah mencapai ke suatu taraf tertinggi, sehingga dapat digunakan menurut kehendak hatinya. Walaupun bertanding dengan sungguh- sungguh juga tidak sampai dirinya terluka, juga tidak dapat melukai tiga lawannya.

Dengan tanpa dirasa pertandingan itu berlangsung hampir setengah jam lamanya, kepandaian Tiat Leng bertiga hampir sudah dikeluarkan seluruhnya.

Dari cara Ciong Tay membela diri dan mengelakkan setiap serangan mereka, bukan saja sudah berhasil mengetahui benar ilmu pedang dan ilmu serangan tangan mereka, tetapi juga sudah dapat meraba kekuatan tenaga mereka. Hoa Khiam Hong mengerti bahwa ayahnya tidak akan melukai lawannya, tetapi ketika melihat jalannya pertempuran yang begitu hebat, hatinya juga terkepat kepit, beberapa kali sampai dengan secara tidak sadar memanggil ayahnya:

“Ayah, kau...”

Hoa Ciong Tay segera tersadar, dalam hatinya berpikir: Kepandaian tiga bocah ini memang hebat, andaikata aku benar-benar hendak menjatuhkan mereka, setidak-tidaknya juga harus memakan seribu jurus lebih. Tetapi kepandaian mereka aku sudah tahu, untuk apa aku harus mencapai kemenangan itu?

Ia diam-diam lalu mengerahkan ilmu kekuatan tenaga dalamnya, dengan kedua lengan bajunya, ia menyampok tiga pedang, kemudian melompat keluar dari kalangan, lalu berkata sambil tertawa terbahak- bahak:

“Sudah bertempur sekian lama, sekarang kita boleh berhenti!” Tiat Ceng bertiga melengak dan menghentikan serangannya. Hoa Ciong Tay berkata sambil tertawa:

“Aku tidak dapat mengalahkan kalian, kalian juga tidak dapat menang terhadap aku. Pertandingan ini juga dihitung seri.”

Tiat Ceng masih ragu-ragu ia berkata:

“Kalau begitu bagaimana dengan kereta-kereta kita ini, kau masih ingin tahan atau membiarkan kita pergi?”

“Karena kesudahan seri apa aku masih perlu mengingkari janji untuk menyusahkan diri kalian? Kalian boleh pergi dengan hati lega. Setelah mengalami pertempuran hari ini, orang-orang golongan hitam, mungkin juga tidak ada yang berani merintangi lagi.”

Tiat Ceng bertiga kini baru tahu bahwa Hoa Ciong Tay benar-benar tidak mengandung maksud jahat. Karena saat itu mereka sudah lelah semuanya sehingga dalam hati semuanya telah mengerti, jika bertempur terus pasti akan kalah. Perkataan Hoa Ciong Tay yang menyatakan berkesudahan seri, semata-mata hanya hendak memberi muka kepada mereka.

Dengan demikian, sampaipun Tiat Leng yang sifatnya nakal dan masih kekanak-kanakan juga berterima kasih pada Hoa Ciong Tay. Karena sifatnya yang masih kekanak-kanakan, apa yang dipikir dalam hatinya, segera diutarakan melalui mulutnya, demikianlah ia berkata:

“Hoa locianpwee, aku hendak menyatakan terima kasih kepadamu, tetapi juga hendak memakimu!” Hoa Ciong Tay sengaja bertanya:

“Mengapa begitu?”

“Apa yang dikatakan oleh kakakku, memang tidak salah. Satu gunung masih ada lain lagi gunung yang lebih tinggi. Kepandaianmu memang benar lebih tinggi dari pada kepandaian kita bertiga. Aku tahu kau berlaku mengalah terhadap kita. Bukan cuma itu saja kau malah membantu kita mengusir beberapa penjahat itu. Bukankah ini kita harus menyatakan terima kasih kepadamu?

“Tetapi kau sebaliknya telah mempermainkan kita bertiga sehingga jantungku goncang keras dan hatiku berdebaran, karena takut akan terluka ditanganmu dan barang-barang kita itu kau bawa kabur. Bukankah perbuatanmu itu patut kumaki?”

“Tentang terima kasih aku tak sanggup menerima. Soal memaki aku juga agak keterlaluan. Aku tokh tidak mempermainkan kalian, melainkan ingin melihat kepandaian kalian bertiga!”

Tiat Ceng berkata: “Walaupun Cianpwee ingin menguji kepandaian kita, benar-benar kita tidak berani menerimanya. Bolehkah Hoa locianpwee memberi tahukan kepada kita tempat kediaman locianpwee? Nanti setelah kita pulang ke atas gunung, aku akan beritahukan kepada ayah, supaya beliau mengucapkan terima kasih pada locianpwe.”

“Aku adalah seorang bagaikan burung, yang tidak mempunyai kediaman tetap, sehingga tidak berani membikin susah ayahmu. Di kemudian hari saja apabila ada jodoh, aku pasti akan datang sendiri mengunjungi ayahmu.”

Tiat Leng berkata kepada Hoa Khiam Hong:

“Enci Hoa, bukankah kau tadi berkata suka bersahabat denganku? Mengapa harus tunggu lain waktu lagi? Sebaiknya kau sekarang jalan bersama-sama kita, di tempat kita sana kau boleh berdiam dan bermain sepuluh hari atau sebulan lamanya. Kau boleh melatih ilmu silat dengan kakakku, supaya aku juga bisa belajar sedikit darimu!”

Dengan muka merah Hoa Khiam Hong berkata sambil tersenyum:

“Terima kasih atas kebaikanmu, tetapi sekarang ini ayah masih banyak urusan.” “Ayahmu ada urusan, apakah kau tidak bisa pergi seorang diri?”

Hoa Ciong Tay tiba-tiba berseru:

“Celaka!”

Tiat Leng bertanya:

“Apa yang celaka? Kita sudah menjadi sahabat, apa kau masih tidak percaya anakmu berjalan sama-sama kita?”

“Bukan itu yang kumaksudkan. Ada lagi orang datang dalam rombongan besar.”

Belum lagi menutup mulutnya, benar saja terdengar suara derap kaki kuda yang lari menuju ke tempat itu. Hoa Khiam Hong lalu berkata:

“Kalian lekas lari!” Tiat Ceng berkata,

“Muatan kereta ini terlalu berat hingga tidak dapat dilarikan dengan cepat, sudah tentu akan terkejar oleh mereka.”

Hoa Ciong Tay berkata pula:

“Orang-orang itu belum tentu hendak merampas kereta kalian. Kita lihat dulu orang-orang dari golongan mana?”

Sementara itu dalam hatinya sudah mempunyai rencana. Apabila orang-orang yang datang itu orang- orang golongan rimba hijau ia akan keluar berbicara dengan mereka untuk memberi keterangan bahwa barang-barang itu kepunyaan Tiat Mo Lek, dengan demikian mereka tidak bisa mengganggu.

Pada saat itu rombongan orang yang menunggang kuda itu sudah tiba. Rombongan itu ada membawa sebuah bendera besar sebagai tanda dan rombongan kepala daerah Gui-pok.

Rombongan itu ternyata adalah tentara Tian Sin Cie yang menjadi kepala daerah Gui-pok. Yang merupakan kepala daerah yang terkuat. Pada masa itu tentara yang di bawah kekuasaannya jumlahnya beberapa ribu, semua merupakan orang-orang pilihan maka daya tempur mereka, lebih ulet dan kuat dari pada tentara pengawal kerajaan. Entah dengan cara bagaimana ia dapat kabar tentang harta kekayaan itu, sehingga ia menyuruh anaknya, Tian Yat, dengan membawa rombongan tentara untuk merampas kereta-kereta itu. Tatkala rombongan tentara itu tiba, lalu berpencar dan mengurung Hoa Ciong Tay berlima. Salah satu di antara mereka yang berpangkat opsir membentak dengan suara keras:

“Hai kawanan berandal, di waktu siang hari bolong kamu berani membawa barang-barang rampasan lewat daerah kita, apa di mata kamu sudah tidak ada undang undang?”

Ia lalu perintahkan anak buahnya untuk menangkap lima orang itu.

Pasukan tentara itu memang sudah mendengar kabar bahwa barang-barang yang berada di dalam kereta itu mempunyai harga yang tidak ternilai, maka segera bergerak. Ada yang hendak menangkap orang, ada yang hendak merampas barang-barang dalam kereta.

Tiat Ceng berkata dengan suara gusar:

“Apa undang-undang Negara? Tian Sin Cie sudah terang adalah seorang pembesar yang korup, ia suka memeras rakyatnya, masih merasa belum cukup. Begitu melihat uang matanya lantas menjadi hijau, sehingga menyuruh kalian untuk merampasnya! Mengapa kalian harus jual jiwa kepadanya?”

Perwira itu berkata: “Kau jangan banyak bicara! Tangkap dulu bangsat kecil ini!”

Tiat Ceng gusar, ia menghunus pedangnya, menikam rubuh beberapa orang, tetapi karena jumlah tentara kelewat banyak, ia masih tetap terkurung.

Dalam pertempuran kalut itu, seorang kepala pasukan lain mendatangi, ia memandang sejenak, lalu berkata:

“Pantas beberapa bocah ini berani berlaku galak, kiranya adalah anak-anaknya Tiat Mo Lek. Baiklah, biar aku yang mencoba-coba ilmu pedangnya keluarga Tiat.”

Ia segera memutar pecut bajanya, menyerang Tiat Ceng dari atas kuda.

Tiat Ceng mengangkat pedangnya menyambut serangan tersebut, kedua senjata itu lalu saling beradu. Tiat Ceng heran akan kekuatan tenaga orang itu. Ia tidak tahu Tian Sin Cie mempunyai anak buah yang berkepandaian demikian tinggi.

Kekuatan dan tenaga Tiat Ceng sebetulnya masih di atas kepala pasukan itu, cuma karena tadi, ia sudah bertempur dengan Pok Sui Thian dan kemudian dengan Hoa Ciong Tay, sehingga tenaganya terhambur tidak sedikit. Dengan demikian ia merasakan bahwa kekuatan tenaga kepala pasukan itu lebih besar dari padanya.

Can Pek Sin dan Tiat Leng lalu maju bersama, Tiat Leng yang sifatnya nakal pedangnya digunakan untuk menabas kutung dua kaki kuda yang dinaiki oleh kepala pasukan itu. Kepala pasukan itu juga cukup tangkas, ketika kudanya rubuh ia segera melompat dari atas tunggangannya sebelum kakinya menginyak ke tanah, pecut bajanya sudah digunakan untuk menyerang dan sudah berhasil menyingkirkan serangan pedang Can Pek Sin dan Tiat Ceng!

Kepala pasukan itu bernama U-tie Cun, ia merupakan adik sepupu wakil komandan tentara pengawal kerajaan. Orang ini terlalu sombong dengan nama dan pangkat, karena ia melihat pembesar kepala daerah Gui-pok, yang mempunyai pasukan terkuat sehingga hampir melampaui kekuatan pasukan kerajaan, sebab itu ia lebih suka mengabdi kepada Tian Sin Cie, tetapi tidak suka memangku jabatan kerajaan.

Can Pek Sin sementara itu berkata kepada Tiat Leng: “Adik Leng, kau jangan gugup, aku nanti bukakan jalan bagimu.”

Ia lalu mulai membuka serangannya, sambil melindungi Tiat Leng, ia menggunakan pedangnya, yang diikuti oleh serangan tangan, untuk menyingkirkan pecut baja U-tie Cun sedang tangannya sudah merubuhkan dua tentara yang menyerangnya dari samping,

Tiat Leng berkata: “Aku justeru tidak gugup.”

Ia lalu mengeluarkan ilmu pedangnya yang lincah dan gesit, dalam waktu sekejap mata saja, juga sudah berhasil menotok jalan darah dua orang pasukan tentara.

Biar bagaimana ia masih terlalu muda, juga masih belum mempunyai pengalaman dalam pertempuran besar serupa itu. Baru saja keluar dari rumah perguruan, sudah menghadapi serangan pasukan tentara yang demikian banyak jumlahnya meskipun mulutnya mengatakan tidak takut, hatinya sebetulnya merasa ngeri. Tetapi, itu bukannya takut menghadapinya pasukan tentara melainkan tidak berani membunuh orang, ia masih agak takut melihat darah mengucur. Maka ia cuma menggunakan ujungnya untuk menotok jalan darah, tidak digunakan untuk membunuh.

U-tie Cun yang terpukul mundur oleh mereka tetapi ia menang dalam senjatanya yang panjangnya kira- kira satu tombak, sebaliknya pedang Can Pek Sin dan Tiat Leng cuma kira-kira tiga setengah kaki panjangnya. U-tie Cun mundur ke suatu jarak yang tidak tercapai oleh pedang mereka kemudian memutar senjatanya sehingga tidak dapat maju lagi.

Sementara itu beberapa pasukan tentara maju mengurung dan memutuskan hubungan mereka dengan Tiat Ceng. Dengan demikian tiga anak muda itu terpecah menjadi dua rombongan menghadapi lawannya.

U-tie Cun setelah menyaksikan Can Pek Sin dan Tiat Leng terkepung oleh anak buahnya sendiri lalu mengundurkan diri untuk menghadapi Tiat Leng.

Ilmu kepandaian Tiat Leng memang mengutamakan ilmu pedangnya yang aneh, gerakannya yang lincah serta gesit, tetapi dalam kepungan begitu rapat, ilmu meringankan tubuhnya tidak dapat digunakan sama sekali, sedangkan senjata-senjata yang digunakan oleh musuhnya, kebanyakan terdiri dari tombak panjang dan sebagainya yang merupakan senjata panjang dan berat, apalagi waktunya semakin lama kekuatan tenaganya semakin berkurang. Untung ada Can Pek Sin yang berada di sampingnya dan melindungi dirinya secara mati-matian sehingga beberapa kali lolos dari bahaya.

Tiat Leng dalam hati diam-diam rasa bersyukur, pikirnya pantas ayah sering memujinya, sayang Thio Po Leng tidak mempunyai mata sehingga meninggalkannya. Hem! dikemudian hari apabila aku berjumpa dengannya, aku pasti akan memakinya, mengapa ia melukai hati Can toako?

Oleh karena dapat dorongan semangat dan perbuatan Can Pek Sin yang begitu nekad dan berani melawan musuhnya, pikiran Tiat Leng perlahan-lahan mulai tenang. Meskipun ia masih belum berani membunuh orang, tetapi ia sudah tidak takut melihat darah lagi.

Tiat Ceng yang menghadapi musuh dengan seorang diri apalagi ditambah seseorang yang berkepandaian tinggi seperti U-tie Cun keadaannya lebih berbahaya dari pada Can Pek Sin.

Hoa Ciong Tay mengajak anaknya sembunyi jauh-jauh, ia terus berdiri sebagai penonton. Pasukan tentara yang repot merampas barang-barang dan hendak menangkap orang, tiada seorangpun yang memperhatikan ayah dan anak itu.

Hoa Khiam Hong menyesalkan ayahnya iapun berkata:

“Ayah, jika bukan kau yang mencoba kepandaian mereka mungkin mereka sudah pergi jauh. Semua ini adalah gara-garamu, bagaimana kau boleh berpeluk tangan menonton saja?”

Hoa Ciong Tay berkata sambil tersenyum: “Hong-jie, kau lantaran setia kawan, ataukah lantaran Tiat Kongcu?”

“Ayah, dalam keadaan demikian kau masih bersenda gurau? Baik, kalau kau tidak suka pergi membantu, biarlah aku yang pergi bertindak sendiri!”

Hoa Ciong Tay menarik tangan anaknya dan berkata sambil tertawa: “Jangan tergesa-gesa, saatnya belum tiba!”

“Kau hendak tunggu kapan lagi?”  Hoa Ciong Tay tiba-tiba melompat keluar dan berkata sambil tertawa:

“Hong-jie ikut aku, saatnya sudah tiba.”

Pada saat itu jumlah pasukan tentara itu sudah tiba seluruhnya, di bawah bendera pemimpin pasukan seorang Jendral perang yang duduk di atas kudanya, menunjuk dengan pecutnya ke arah kereta yang penuh muatan barang permata itu sambil tertawa terbahak-bahak.

Hoa Ciong Tay segera melompat maju kemudian berkata:

“Ini adalah anak Tian Sin Cie, kita hendak menangkap berandal, harus menangkap kepalanya lebih duhulu!”

Hoa Khiam Hong kini baru mengerti maksud ayahnya. Karena jumlah tentara begitu besar, betapapun tinggi kepandaian ayahnya, juga tidak sanggup mengundurkan pasukan tentara, yang jumlahnya ribuan jiwa itu. Hanya dengan menangkap pemimpin mereka barulah ada harapan terlepas dari kepungan.

Hoa Ciong Tay mengajak anaknya menerjang masuk rombongan tentara itu, sedapat mungkin ia menghindarkan suatu pertempuran. Andaikata ia benar-benar menghadapi rintangan agak kuat, barulah mengeluarkan kepandaiannya untuk menghajar pasukan tentara itu.

Pasukan tentara yang melindungi Tian Yat menjadi keruh keadaannya, karena dalam waktu yang cepat sekali, Hoa Ciong Tay sudah berhasil menembus garis pertama yang sudah berada di depan kuda Tian Yat hanya beberapa puluh langkah saja.

Seorang perwira didamping Tian Yat, tiba-tiba perdengarkan suara geraman hehat, segera lompat turun dari kudanya dan berkata dengan suara keras:

“Sungguh berutal kawanan berandal ini berani tidak pandang mata kepada kita!”

Senjata yang digunakan oleh perwira itu bentuknya sangat aneh, ia merupakan sebuah tembaga yang berbentuk manusia berkaki satu. Kalau diputar bisa menimbulkan suara angin menderu tetapi jari-jari tangan orang-orangan tembaga itu dapat digunakan untuk menotok jalan darah sehingga orang-orangan itu benar-benar bagaikan orang hidup.

Senjata itu merupakan senjata berat, tetapi untuk digunakan sebagai senjata totokan harus dapat menggunakan kegesitan dan kelincahan bergerak.

Kini senjata orang-orangan tembaga yang digunakan oleh perwira itu, telah menggunakan dua rupa cara yang sifatnya berlainan itu. Walaupun Hoa Ciong Tay banyak pengetahuan dan pengalamannya, saat itu juga mengkerutkan keningnya.

Hoa Ciong Tay yang belum tahu benar keadaan lawannya, tidak berani berlaku ceroboh, sewaktu diserang oleh perwira itu, ia berkelit dan melompat ke samping.

Senjata orang-orangan itu tiba-tiba berubah arahnya dan monotok jalan darah Hoa Khiam Hong. Hoa Ciong Tay menggerakkan lengan bajunya, ia menarik ke samping diri anaknya, sedang tangannya menyambar sebatang tombak dari salah seorang tentara. Dengan senjata itu ia menusuk lawannya tetapi sebentar kemudian tiba-tiba terdengar suara serak, lapisan tembaga dan percikan api berterbangan, tombak Hoa Ciong Tay putus kepalanya, sedang orang-orangan dari tembaga itu nampak banyak lubang. Kiranya dalam waktu sekejap mata itu ujung tombak Hoa Ciong Tay sudah berhasil menusuk dan meninggalkan tujuhbelas atau delapanbelas bekas lubang di badan senjata itu.

Hoa Ciong Tay sudah berhasil menguji kekuatan tenaga perwira itu yang ternyata berimbang dengan kekuatannya sendiri, hanya sang lawan itu menang dalam senjatanya yang berat, sehingga hatinya diam- diam berpikir: Andaikata senjata Phoan-koan-pit aku bawa, boleh bertanding dengannya. Tetapi kini dengan sepasang tangan kosong, apalagi dengan jumlah orang yang lebih sedikit nampaknya sulit untuk mengalahkannya.

Perwira itu setelah memberi pujian: “Bagus sekali kepandaianmu!” kembali menyerang dengan senjatanya. Hoa Ciong Tay tiba-tiba mematahkan senjata tombak hanya mengambil sepotong saja digenggam dalam tangannya kemudian ia remas dengan tangannya, lalu diayun, dan sepotong senjata tombak itu berobah menjadi potongan besi berkeping-keping. Ternyata ia sudah menggunakan kepingan besi itu sebagai senjata rahasia untuk menyerang jalan darah musuhnya.

Perwira itu ketika menyaksikan kepandaian Hoa Ciong Tay yang luar biasa itu, diam-diam juga terperanjat dengan cepat ia memutar senjatanya untuk menghalau senjata yang menyerang dirinya bagaikan air hujan itu. Meskipun senjata itu terpukul jatuh, tetapi ada dua potong yang terbang melewati atas kepalanya dan melukai dua pengawal Tian Yat.

Tian Yat yang menyaksikan itu ketakutan setengah mati, ia buru-buru melarikan kudanya hendak menyingkir.

Perwira itu lalu menegur:

“Apakah kau Hoa Ciong Tay yang mempunyai gelar menyapu ribuan tentara dengan pena?”

Hoa Ciong Tay: “Adakah kau muridnya Soat-san Lo-koay yang bernama Pak-kiong Hong? Hem, sayang dengan kepandaianmu, orang gagah seperti kau suka menjadi kaki tangan Tian Sin Cie! Hari ini pihakku sedikit dan pihakmu berjumlah banyak sudah tentu aku tidak sanggup melawan kau. Kalau kau seorang laki-laki mari kita berjanji bertempur lagi satu lawan satu.”

Soat-san Lo-koay pada tigapuluh tahun berselang merupakan satu iblis yang berdiri di tengah-tengah antara golongan benar dan golongan sesat. Pada waktu itu namanya sama terkenalnya dengan guru Hoa Ciong Tay, sehingga Hoa Ciong Tay tahu bahwa iblis itu mempunyai seorang murid yang kini menjadi perwira itu, akan tetapi mereka berdua belum pernah bertemu muka. Setelah keduanya menyaksikan kepandaian masing-masing, baru dapat menduga.

Pak-kiong Hong berkata:

“Setiap waktu aku menantikan kedatanganmu di kantor kepala daerah.”

Ia mengucapkan demikian terang sudah menunjukan rasa khawatirnya, sehingga tidak berani terang- terangan mengajak bertempur Hoa Ciong Tay di tempat yang sunyi.

Hoa Ciong Tay berkata sambil ketawa dingin:

“Mungkin kau juga tidak berani, Hong-jie mari kita pergi!”

Sementara itu Pak-kiong Hong diam-diam berpikir kekuatan tenaga dalam Hoa Ciong Tay sudah mencapai ke taraf yang tidak ada taranya, maka aku terpaksa minta sutee ku turun gunuug, baru dapat mengalahkannya.

Ternyata guru perwira itu sudah menutup mata, sang guru itu hanya mempunyai seorang anak laki-laki, yang usianya lebih muda beberapa tahun dari pada usianya sendiri, tetapi karena sejak kecil sudah mengikuti belajar ilmu silat dengan ayahnya. Dan sebagai anak sendiri sudah tentu diberikan pelajaran sangat khusus, maka kepandaiannya adik sepeguruan itu lebih tinggi dari kepandaiannya sendiri yang masih dianggap sebagai kakak seperguruan.

Pak-kiong Hong tidak berani mengejar Hoa Ciong Tay, ia pura-pura melindungi pemimpinnya, lalu mengundurkan diri, Hoa Ciong Tay juga mengajak anaknya keluar dari kepungan.

Hoa Khiam Hong bertanya kepada ayahnya:

“Ayah, kau tidak berhasil menangkap Tian Yat, sekarang bagaimana kita harus bertindak?” Sang ayah lalu menjawab:

“Kita membantu mereka.”

“Bagaimana dengan barang-barang berharga di kereta?” Ternyata barang-barang di kereta itu, saat itu juga didorong oleh anak buah Tian Yat, di bawah perlindungan pasukan tentara berkuda, sedang meninggalkan medan pertempuran. Tiat Ceng kakak beradik dan Can Pek Sin bertiga masih dikepung oleh pasukan tentara, juga belum berhasil menggabungkan diri satu sama lain.

Hoa Ciong Tay berkata sambil menghela napas:

“Menolong jiwa orang lebih penting, kehilangan harta kita nanti boleh kita cari lagi.”

Ia tahu bahwa dengan adanya Pak-kiong Hong didamping Tian Yat, rencananya hendak menangkap pemimpin pasukan itu sudah tidak dapat dijalankan lagi. Harapannya pada dewasa itu supaya lekas bisa nyerobot keluar dari kepungan.

Untung Pak-kiong Hong tidak berani meninggalkan Tian Yat sehingga Hoa Ciong Tay dapat membuka jalan untuk memberi bantuan Tiat Ceng lebih dulu. Karena ia tahu bahwa putrinya paling khawatirkan pemuda itu, dan juga keadaan pemuda itu yang nampaknya paling berbahaya.

U-tie Cun yang memimpin rombongan pasukan tentara yang mengepung Tiat Ceng, ketika mendengar suara riuh, segera mengetahui bahwa pihak musuhnya mendatangkan bala bantuan. Tetapi sebagai seorang perwira yang sudah mempunyai banyak pengalaman peperangan, maka mereka segera memimpin anak buahnya, membentuk suatu barisan, untuk memperkuat barisan, ialah memperkuat barisan penjagaan, sedang ia sendiri masih melayani Tiat Ceng dengan tenang.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar