Jiwa Ksatria Jilid 03

 
Can Pek Sin terkejut, tapi akhirnya ia mengerti: Adapun maksud Yayanya membohongi musuhnya itu, tentu supaya orang she Lauw itu menduga Thie Po Leng telah menjualnya.

Lauw Bong yang mendengar perkataan tersebut seketika menjadi kalap, dengan wajah merah padam ia berseru:

“Thie Po Leng kau keluar!”

“Kodok buduk ingin makan daging angsa, kau manusia macam apa? Apa kau kira cucuku jatuh cinta padamu? Kau ingin bertemu padanya, tunggu lagi sampai di lain penitisan! Apa kau tidak lihat, dialah yang akan menjadi cucu mantuku! Siao-sin, maju! Kau bunuhlah dia!”

Laki-laki berewokan itu berkata kepada anaknya:

“Bong-jie, satu laki-laki tidak usah takut tidak akan mendapat isteri! Jangan bikin malu nama baik keluargamu! Jangan kau bersedih hati, hendak membalas dendam harus menggunakan golok, bukan dengan airmata!”

Lauw Bong menyahut: “Baik!” ia terpaksa tindas perasaan hatinya, dengan mata merah ia keluarkan senjata goloknya, dengan secara kalap menerjang Can Pek Sin.

Dalam keadaan demikian, sudah tidak ada lain jalan bagi Can Pek Sin kecuali melawan. Apalagi dengan Thie Sui ia sudah anggap sebagai Yayanya sendiri, meski ucapan Thie Sui itu bohong seluruhnya, ia juga tidak boleh membantah dihadapan orang banyak.

Setelah dua anak muda itu mulai bergebrak, Thie Sui lalu menantang:

“Bagus, Lauw Cin, mari sekarang kita berdua mengadu kekuatan!” Dengan tanpa banyak rewel, ia sudah menyerang dengan goloknya.

Lauw Cin ada menggunakan senjata sepasang phoan-koan-pit, senjata ini sangat ampuh untuk menotok jalan darah lawannya, tapi kekuatan tenaga dalamnya masih kalah jauh dengan Thie Sui. Lagi pula lengannya sudah terluka karena serangan golok terbang tadi, maka tidak sanggup menahan serangan Thie Sui yang amat dahsyat, hingga senjatanya hampir terlepas dari tangannya.

Thie Sui merangsak terus tak mau memberi ampun, goloknya menyerang tanpa mengaso. Lauw Cin mundur sampai tiga tindak, mulutnya sudah mulai mengeluarkan darah.

Waktu golok Thie Sui sudah hampir menamatkan riwayat Lauw Cin, Tok-kow U dengan senjata kipasnya mendadak menangkis golok Thie Sui sambil berkata:

“Thie lo-enghiong, aku ingin bicara sebentar.”

“Apa yang perlu dibicarakan lagi? Kalau kau hendak bagi harta dengan Lauw Cin, majulah berbareng! Jikalau tidak, jangan turut campur tangan!”

Tok-kow U menahan sabar, ia berkata:

“Memang benar kita hendak mengambil harta karun itu. Harta itu sebetulnya juga bukan milikmu. Dipendam terus dalam tanah bukankah sangat sayang? Aku dapat mewakili Lauw toako. Sekarang begini saja, harta itu kau ambil tiga bagian untuk hari tuamu dan kita tetap bersahabat. Kau pikir bagaimana?”

Thie Sui menjawab sambil ketawa dingin:

“Tok-kow U, kau anggap dirimu sebagai seorang pendekar budiman? Hm, kiranya juga cuma sebangsa maling yang merah mata kalau melihat uang!”

Tok-kow U yang dihina demikian, tidak sanggup menindas perasaannya lagi. Berkatalah ia dengan suara gusar:

“Tua bangka she Thie, kau jangan memfitnah orang! Harta itu di dalam tanganmu tidak ada gunanya, tapi tidak demikian kalau berada dalam tanganku, boleh aku ceritakan padamu, namun kau barangkali juga tidak bisa mengerti. Baiklah, kita bereskan menurut peraturan rimba hijau! Harta ini adalah peninggalan keluarga Ong yang didapat secara tidak halal. Karena itu setiap orang boleh mengambilnya! Aku Tok-kow U malam ini justru hendak mengambil harta karun itu.”

“Bagus, bagus! Asal kau mampu bikin jatuh golok dalam tanganku ini, kau boleh ambil!”

Goloknya yang memang masih belum berhenti diputar, kali ini balik diarahkan kepada diri Tok-kow U.

Tok-kow U berkata dengan suara gusar: “Tua bangka she Thie, apa kau kira aku benar-benar takut padamu?”

Kipasnya lalu diputar menempel ujung golok Thie Sui. Setelah itu setiap serangan Thie Sui yang keras dan hebat, selalu disambutnya dengan gaya yang luar biasa manis atau terkadang dibalasnya dengan serangan totokan.

Selama itu Thie Sui sudah melancarkan serangan goloknya tidak kurang dari tigapuluh enam jurus. Tapi tiada satu kalipun serangannya yang mengenakan sasaran.

Kipas Tok-kow U itu terbuat dari bahan baja. Kalau dilipat boleh digunakan sebagai senjata phoan-koan- pit, kalau dibuka boleh dipakai sebagai pedang Ngo-heng-kiam. Semacam senjata bisa digunakan menjadi dua rupa, benar-benar merupakan senjata luar biasa. 

Senjata phoan-koan-pit Lauw Cin, bentuknya lebih panjang tujuh chun dari pada senjata phoan-koan-pit biasa, meski kurang gesit, tapi kedahsyatannya jauh lebih- hebat dari pada phoan-koan-pit biasa.

Kini dengan bantuan tenaganya Tok-kow U, Thie Sui tidak dapat menyerang lagi dengan seratus persen tenaga, hingga serangannya yang mengutamakan serangan totokan jalan darah tidak dapat digunakan dengan terlebih leluasa.

Sepasang phoan-koan-pit dan satu kipas menyerang Thie Sui dengan hebat. Setiap serangan selalu ditujukan ke tempat jalan darah yang berbahaya, asal Thie Sui sedikit lengah saja pasti ia akan rubuh tertotok. Tapi Thie Sui yang sudah mempunyai pengalaman beberapa puluh tahun, juga tidak boleh dipandang ringan. Kalau lawannya menang dalam kegesitan dan kelincahan, adalah ia masih unggul dalam keganasan dan kehebatannya. Setiap serangannya bagaikan kampak besar yang membelah gunung, kalau diputar cuma kelihatan sinarnya yang membungkus dirinya, hingga kipas Tok-kow U tidak mampu menembusi sinar golok itu, sedangkan phoan-koan-pit Lauw Cin tidak mampu menyenggol sekalipun ujung bajunya.

Tapi, biar bagaimana Thie Sui sudah terlalu lanjut usianya. Ilmu goloknya juga termasuk golongan serangan keras yang harus menggunakan banyak tenaga, ia tidak menduga kedua lawannya mempunyai daya perlawanan demikian hebat, maka seratus jurus kemudian tenaganya lambat laun mulai berkurang. Kedua lawannya, usianya lebih muda. Tentu mereka masih sanggup bertahan, sedikitpun tidak kelihatan ada tanda-tanda mulai lelah, bahkan Tok-kow U nampak semakin bersemangat.

Kalau Thie Sui masih bertempur sengit, di pihaknya Can Pek Sin sudah nampak nyata siapa yang lebih unggul. Can Pek Sin belum mempunyai pengalaman bertempur, sedang dalam hatinya ada perasaan tidak tega melukai lawannya, maka dalam babak permulaan, ia dihajar terus-terusan oleh Lauw Bong sampai hampir tidak bisa berkutik. Tapi perlahan-lahan ia dapat pertahankan diri, beberapa kali hampir saja terluka kena bacokan golok Lauw Bong, hingga hatinya panas, dengan segera ia balas menyerang.

Golok Lauw Bong juga dapat digunakan untuk menotok jalan darah, gerak tipunya agak aneh. Tapi Can Pek Sin gesit dan lincah, meski dalam babak pertama agak gugup, tapi kemudian setelah hatinya tenang, bertempur semakin mantap, hingga semua serangan Lauw Bong selalu mengenakan tempat kosong.

Can Pek Sin ingat pesan Thie Sui, setelah seratus jurus lebih, benar saja ia segera dapat tahu kelemahan lawannya, maka ia lantas ambil keputusan hendak merubuhkannya, supaya bisa membantu Yayanya.

Namun demikian, hatinya masih merasa bimbang. Ia tahu kemampuannya sudah lebih dari cukup untuk merubuhkan lawannya, tapi ia masih belum yakin dapat merubuhkan lawannya tanpa menderita luka-luka.

Pertempuran berjalan semakin seru, Can Pek Sin dalam kerepotannya masih dapat menyaksikan jalannya pertempuran antara Yayanya dengan dua lawannya, ternyata Yayanya sudah mulai repot, nampaknya sudah tidak bisa tahan lebih lama lagi.

Sementara itu, Lauw Bong yang keburu napsu, hendak merubuhkan lawannya, bagian kaki terbuka lowongan. Can Pek Sin yang sudah tidak ragu-ragu lagi, kakinya menotol badannya melesat tinggi, ia telah menggunakan pelajaran keluarga Can yang dinamakan Ngo-khim-ciang-hoat, seolah-olah burung elang menerkam kelinci, menukik ke bawah dan menyambar pundak Lauw Bong.

Sebetulnya ia hendak bikin hancur tulang pi-pe-kut Lauw Bong, untuk memusnakan kepandaiannya. Tapi karena tidak tega hati atau kurang pengalaman, tempat yang disambar meleset sedikit, hingga cuma berhasil menyambar daging. Namun demikian, sudah cukup membuat Lauw Bong ketakutan setengah mati.

Pada saat itu, asal Can Pek Sin menurut pesan Yayanya, menggunakan ilmu pedang ‘Toan-bun-kiam- hoat’, ia bisa memapas kutung kedua kaki Lauw Bong. Tapi sebelum pedangnya meluncur turun, dalam otaknya mendadak terbayang bayangan Thie Po Leng yang mengawasi padanya dengan sinar mata gemas, hingga urungkan niatnya hendak mengutungi kaki lawannya.

Lauw Bong ketika melihat sikap sangsi Can Pek Sin, meski daging pundaknya kena kesambar, tapi karena bukan tempat berbahaya, dalam keadaan kritis itu, ia masih bisa menggunakan ilmu keturunannya, mendadak ia menendang dengan kakinya hingga pedang Can Pek Sin terlepas dari tangannya.

Lauw Bong tolong dirinya dengan jalan bergulingan, kemudian lompat berdiri untuk mencegah Can Pek Sin mengambil pedangnya. Meskipun ia berhasil lolos dari ujung pedang, tapi ia masih belum tahu bahwa semua itu disebabkan karena Can Pek Sin yang menaruh belas kasihan padanya.

Ia hanya merasa gemas dan benci, ia hendak membalas selagi lawannya kehilangan senjatanya. Ia menyerang dengan secara kalap, agaknya belum merasa puas jika belum menamatkan jiwa musuhnya.

Thie Sui meski sedang menghadapi dua lawan tangguh, tapi mata dan telinganya masih perhatikan cucunya. Kalau Lauw Bong tidak dapat tahu bahwa Can Pek Sin sengaja tidak mau turunkan tangan kejam, tapi tidak demikian dengan Thie Sui, ia sudah dapat lihat semua gerak gerik cucunya. Dalam hatinya merasa sayang, tetapi juga merasa jengkel, maka ia lantas memaki padanya:

“Siao-sin, bagaimana kau tidak mau dengar perintah Yayamu? Kau tidak mau bunuh padanya, dia yang akan bunuh kau! Kau pikir saja, apakah Yayamu juga harus korbankan tulang-tulangnya yang sudah tua bangkotan untuk menemani kau?”

Thie Sui yang sudah agak ripu, ditambah gusar, hingga permainan goloknya agak kacau, kesempatan ini digunakan sebaik-baiknya oleh Lauw Cin. Sambil membentak keras senjatanya meluncur. Thie Sui menendang dengan kakinya, apa mau tendangannya itu tidak mengenakan pergelangan tangan lawannya, malah lututnya terkena totokan senjata lawannya. Meski tidak mengenakan jalan darah, tapi tulang di bagian lutut hancur sepotong. Dilain pihak, Tok-kow U juga sudah menyerang dengan kipasnya yang digunakan sebagai pedang, hingga daging bagian pundak Thie Sui terpapas sepotong!

Lauw Cin yang sudah berhasil membalas sakit hatinya, lantas berkata sambil ketawa dingin: “Tua bangka she Thie, kau sekarang juga tahu kelihayanku bukan? Kalau kau takut mati, lekas serahkan harta kekayaanmu. Saran yang kita ajukan tadi masih berlaku, dan kau juga masih bisa pertahankan jiwamu!”

Thie Sui yang beradat keras, ketika mendengar perkataan itu lantas naik pitam. Ia membentak dengan suara keras:

“Bangsat kau berani menghina aku. Aku Thie Sui sudah beberapa puluh tahun malang melintang di dunia Kang-ouw, kapan pernah tunduk di hadapan musuh? Malam ini kalau bukan kau yang mampus, adalah aku yang mati!”

Sekalipun gerak kakinya kurang gesit, tapi masih bisa melawan dengan sengit, agaknya sudah bertekad bulat hendak bertempur sampai tetesan darah penghabisan.

Lauw Cin yang menyaksikan kenekadan orang tua itu merasa jeri, ia tidak berani berlaku gegabah.

Mari kita balik kepada Can Pek Sin. Setelah ditegur oleh Yayanya, hatinya merasa tidak enak, pikirnya: Ucapan Yaya memang benar, kalau aku sampai membawa-bawa Yaya hingga menjadi korban kecerobohanku, bagaimana aku bisa hidup lagi?

Setelah kehilangan senjatanya dan diserang dengan hebat oleh Lauw Bong, akhirnya naik darah. Ia lalu menggunakan gerak tipu ‘merebut senjata lawannya dengan tangan kosong’ pelajaran Yayanya, untuk menghadapi Lauw Bong tanpa kasihan lagi.

Di pihaknya Lauw Bong, setelah mendengar perkataan Thie Sui tadi, diam-diam merasa malu sendiri, karena ia kini baru tahu kalau Can Pek Sin tidak mau mengambil jiwanya, andaikata ia mau, pedang Can Pek Sin tentu sudah membikin kutung kedua kakinya. Karena memikir demikian, maka serangannya agak kendor.

Sementara itu, Thie Sui sudah terluka lagi, Can Pek Sin ketika menyaksikan badan Yayanya sudah mandi darah, matanya lantas merah. Dengan secara nekad ia melakukan serangan pembalasan.

Usahanya merebut senjata dari tangan lawannya ternyata telah berhasil. Perbuatannya itu sesungguhnya sangat berbahaya. Sebetulnya pergelangan tangannya yang tadi tertendang oleh kaki Lauw Bong, masih dirasakan sakit, seharusnya ia tidak sanggup melakukan tindakan yang berbahaya itu, tapi karena serangan Lauw Bong agak kendor, maka ia berhasil merebut senjatanya.

Walaupun hati Lauw Bong merasa malu, tapi ia tokh tidak sudi dibunuh oleh lawannya, dalam keadaan sangat berbahaya itu, dengan sendirinya ia berusaha untuk pertahankan jiwanya, begitulah ia juga mengeluarkan kepandaian simpanannya untuk menolong dirinya.

Baru saja Can Pek Sin berhasil merebut senjata lawannya, Lauw Bong sudah menggunakan tangan dan kaki dengan berbareng menyerang padanya.

Can Pek Sin sambil membentak: “Kau cari mampus!” menyerang lengan Lauw Bong dengan belakang golok, hingga lengan kirinya patah tulangnya. Lauw Bong menjerit, tapi kakinya masih menendang, yang juga berhasil membuat senjata di tangan Can Pek Sin terpental jatuh.

Lauw Bong terluka parah. Lauw Cin sebagai ayahnya, sudah tentu merasa pilu, dengan cepat ia lompat keluar dari kalangan.

Tapi Thie Sui tidak mau sia-siakan kesempatan yang baik itu, ia terus mengejar dan menyerang dengan hebat. Begitulah, serangannya itu telak mengenakan bagian perut Lauw Cin, hingga terluka, tapi Lauw Cin tidak perdulikan lukanya, ia terus berusaha melepaskan diri dari musuhnya, untuk melindungi jiwa anaknya.

Tok-kow sebetulnya tidak ingin berlaku kejam, tapi ketika menyaksikan keganasan Thie Sui, apalagi ia harus menolong jiwa sahabatnya, maka terpaksa turun tangan kejam. Senjata kipasnya, digagangnya ada diperlengkapi dengan alat rahasia, jikalau perlu, bisa digunakan sebagai senjata rahasia yang mengeluarkan sebatang anak panah. Begitulah, saat itu ia menggunakan kipasnya sebagai senjata rahasia untuk menyerang Thie Sui.

Jago tua itu yang sudah terluka kakinya, apalagi terpisah sangat dekat sekali, maka tidak berhasil mengelakkan diri dari serangan tersebut, hingga tangan kanannya yang terkena senjata itu tidak bisa digunakan lagi.

“Bagus, malam ini kita akan musna bersama-sama!” berseru Thie Sui, golok dipindahkan ke tangan kiri, dengan secara kalap menyerang Tok-kow U.

Kipas Tok-kow U yang sudah kehilangan satu tulang, kekuatannya agak berkurang, ia takut tidak sanggup menahan serangan golok jago tua itu, maka tidak berani menggunakan sebagai senjata rahasia lagi.

Thie Sui sudah kurang satu musuh kuat, meski cuma bisa menggunakan tangan kiri, juga masih berada di atas angin. Ia mendesak lawannya sedemikian rupa, hingga Tok-kow U terpaksa mundur terus-terusan.

Lauw Cin yang lompat keluar dari kalangan, segera menghadang di tengah tengah antara Can Pek Sin dan anaknya, ia angkat senjatanya, dengan badan berlumuran darah, ia berkata dengan suara bengis:

“Benar kata Thie Yayanya. Malam ini kita akan musnah bersama-sama! Bong-jie, maju! Kita tidak boleh antapin bocah ini!”

Can Pek Sin yang menyaksikan keadaan Lauw Cin yang sangat menakutkan, dalam hati juga merasa jeri, meski pergelangan tangannya terluka, tapi ilmu meringankan tubuhnya masih tidak terpengaruh. Dengan cepat ia lompat melesat, tapi Lauw Cin tetap mengejar. Di lain pihak, Thie Sui kini sudah berhasil melukai Tok-kow U, keduanya masih bertempur mati-matian.

Pertempuran itu sudah berlangsung hampir dua jam, fajar sudah menyingsing.

Can Pek Sin yang menyaksikan pertempuran hebat itu, pikirannya merasa kalut, pikirnya: Jika aku kabur, Yaya pasti mati. Apa boleh buat, meski aku tidak ingin melakukan pembunuhan, tapi malam ini agaknya sudah tidak dapat aku pertahankan pikiran demikian.

Dengan nekad, ia lompat ke tempat dimana pedangnya tadi telah jatuh, lalu menyontek pedangnya dengan ujung kaki dan sebentar sudah berada di dalam tangannya.

Lauw Cin tetap mengejar.

Can Pek Sin lalu membentak. “Menyingkir!” lalu membabat dengan pedangnya.

Kekuatan Lauw Cin jauh di atas Can Pek Sin, tapi ia sudah terluka parah. Ketika senjatanya beradu dengan pedang Can Pek Sin, ia terpental mundur sampai tiga tindak, mulutnya menyemburkan darah.

Lauw Bong segera memburu sambil berseru: “Jangan ganggu ayahku!”

Seperti juga dengan Can Pek Sin, saat itu pikiran Lauw Bong juga sangat kalut. Meski satu lengannya patah, tapi dendam sakit hatinya terhadap Can Pek Sin sudah tidak begitu dalam lagi. Ia mengerti, Can Pek Sin tadi menyerang padanya dengan geger golok, nyata tidak menghendaki jiwanya. Tapi kini, kini ayahnya dalam ancaman pedang Can Pek Sin! Mau tidak mau ia harus mencegahnya! Ia kertak gigi, dengan cuma satu tangan ia maju menolongi ayahnya.

Can Pek Sin lantas membentak: “Kau hendak menolong ayahmu, apakah aku tidak boleh menolong Yayaku? Siapa yang berani melukai Yaya, aku akan bunuh padanya. Minggir!”

Ia lalu menikam dengan pedangnya, Lauw Bong egoskan diri untuk mengelakan serangan tersebut. Kesempatan itu digunakan oleh Can Pek Sin untuk menolong Yayanya.

Lauw Bong menyingkir bukan karena takut Can Pek Sin, tapi karena mendengar ucapan anak muda tadi, ia mengerti maksudnya cuma hendak memberi pertolongan Yayanya, maka ia tidak mau berlaku nekad dengannya. Jikalau tidak, dengan kekuatan Lauw Bong dengan ayahnya, Can Pek Sin pasti tidak bisa lolos.

Tiba disamping Thie Sui, jago tua itu lantas berkata sambil ketawa bergelak-gelak:

“Siao-sin, kedatanganmu sangat kebetulan! Meski kakiku sudah terluka, tapi mereka juga cuma tinggal si pelajar miskin ini yang masih mempunyai tenaga melawan. Malam ini satupun jangan sampai ada yang hidup!”

Can Pek Sin sebetulnya ingin membujuk Yayanya supaya berdamai saja, tapi dalam keadaan demikian, bagaimana ia berani buka mulut?

Sementara itu, Lauw Cin dan anaknya sudah tiba mengepung padanya.

Di pihaknya Lauw Cin bertiga, hanya Tok-kow U yang lukanya agak ringan. Namun demikian, juga sudah kena dihajar dua kali dengan golok Thie Sui. Jika Lauw Cin dan anaknya tidak keburu memberi bantuan, mungkin ia sudah binasa di tangan Thie Sui.

Kedua pihak saat itu sudah gelap mata semuanya, setiap orang sudah terluka, bedanya cuma ada yang berat dan yang ringan. Siapa yang dapat tahan lebih lama, dialah yang akan mendapat kemenangan terakhir. Dalam pertempuran mati-matian itu, masing-masing sudah tentu menggunakan pukulan-pukulan yang ganas dan mematikan.

Can Pek Sin yang lukanya paling ringan, juga paling sadar ingatannya, tapi dalam pertempuran sengit demikian, jangan kata ia tidak mampu membujuk Yayanya, sedangkan ia sendiri juga tidak mampu kendalikan tangannya, sebab jikalau tidak, ia pasti akan dilukai oleh musuhnya.

Hari sudah mulai terang, Thie Sui sudah mulai kehabisan tenaga. Serangan-serangannya yang cepat dan hebat pada babak permulaan, kini sudah tak kelihatan lagi, pertempuran itu seperti ayam jago bertarung yang sudah mendekati babak menentukan. Masing-masing nampak sangat lelah, gerakannya sangat lambat, terutama di pihaknya Lauw Cin dan anaknya, gerakannya sudah tidak menurut peraturan lagi. Hanya Tok-kow U dan Can Pek Sin yang agak mendingan, tapi juga cuma mampu melindungi dirinya sendiri saja.

Kalau diadakan perbandingan di pihaknya Thie Sui berdua ada lebih baik dari pada pihaknya Lauw Cin bertiga. Lauw Cin keluar darah terlalu banyak, mukanya yang merah sudah berubah menjadi pucat pasi, jika pertempuran itu berlangsung satu jam lagi, sekalipun ia tidak mati di bawah golok Thie Sui, barangkali juga akan rubuh binasa karena kehabisan darah.

Lauw Bong sudah patah satu tangan, dengan tangan sebelah ia tidak bisa berbuat banyak.

Tok-kow U ada satu pendekar kenamaan, tapi saat itu juga sudah kehabisan tenaga, ia cuma bisa mengimbangi kekuatan Thie Sui saja, sudah tidak mampu bergerak melakukan serangan.

Thie Sui berkata sambil ketawa bergelak-gelak:

“Pribahasa ada kata, manusia mati karena harta, burung mati karena makanan. Aku hendak kubur jenazah kalian bertiga di bawah tumpukan harta itu, kalian seharusnya sudah merasa puas.” “Tua bangka she Thie, sekalipun kita binasa, kau sendiri juga tidak akan bisa hidup lebih lama lagi,” berkata Lauw Cin gusar.

“Usiaku sudah lanjut, sebetulnya memang sudah mesti mati. Kalian masih muda-muda dan gagah, lalu harus ‘jalan’ duluan daripadaku... haha... Apa lagi yang perlu kubuat sesalan?” katanya Thie Sui sambil tertawa terbahak-bahak.

Ia sebetulnya akan mengejek Lauw Cin dan anaknya supaya pertempuran bisa lekas berakhir.

Can Pek Sin dan Lauw Bong sama-sama merasa berduka, khawatir sekali kalau sampai ada yang mati, hingga sama-sama timbul hasrat hendak mendamaikan mereka. Lauw Bong takut mendapat malu, ia tak berani mengutarakan lebih dulu.

Can Pek Sin menarik napas. Selagi mencari kesempatan untuk mengutarakan maksudnya, mendadak terdengar suara Tok-kow U berkata:

“Tua bangka she Thie. Bagus sekali perbuatanmu! Ternyata kau sudah minta bala bantuan untuk mengurung kita? Bagus! sekarang suruhlah bantuanmu itu unjukkan muka! Kalau dia memang satu laki- laki, tidak perlu main sembunyi!”

Thie Sui tercengang ia berkata:

“Apakah melibat bayangan setan? Aku Thie Sui sudah cukup dengan golokku ini untuk mengambil jiwamu, perlu apa minta bantuan?”

Tok-kow U balikkan badannya, mendadak menegur dengan suara keras:

“Sahabat dari mana, hendak turut campur tangan?”

Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa terbahak-bahak, di belakang sebuah batu besar dekat gunung- gunungan, ada muncul seorang laki-laki.

Tok-kow U berkata pula sambil ketawa dingin:

“Sahabat tentunya tokh bukan bangsa hantu bukan...? Aha! kiranya kau!”

Bukan kepalang kagetnya orang she Tok-kow itu, orang yang baru muncul itu ternyata adalah Touw Goan.

“Hebat benar kalian bertempur, tapi belum ada yang menang dan yang kalah! Jangan khawatir, aku tidak akan membantu siapapun juga, kalian boleh lanjutkan pertempuran ini sehingga puas!” berkata Touw Goan sambil ketawa besar.

Can Pek Sin diam-diam menarik tangan Thie Sui dan berkata padanya dengan suara pelahan:

“Yaya, orang ini adalah musuhku yang membunuh ayah dan ibu. Kedatangannya ini tidak mengandung maksud baik!”

Can Pek Sin yang berhadapan dengan musuh besarnya, sebetulnya sudah meluap hawa amarahnya tapi karena Yayanya sedang terluka parah, ia tidak tahu bagaimana harus menghadapinya.

Tok-kow U merasa seperti diguyur dengan air dingin, wajahnya berubah seketika, ia berkata dengan suara gemetar:

“Touw Goan, apakah kau ingin memungut keuntungan setelah kita terluka parah semuanya?”

“Dihadapan orang jujur tidak perlu membohong, dugaanmu ini memang benar! Cuma, mengingat kau pernah menolong memberi obat padaku, aku tak akan mengganggumu. Urusan disini, jangan kau turut campur tangan lagi!”

Ternyata orang she Touw itu sudah lama sembunyi di situ. Ia takut unjukkan diri terlalu pagi, takut menghadapi mereka yang pasti akan bersatu padu menghadapi dirinya, suatu hal yang sama sekali tak diinginkan olehnya. Maka ia terus menantikan kesempatan yang paling baik, supaya bila sekali turun tangan dapat terbinasa semua lawannya. Saat itu meski pertempuran kedua pihak belum selesai, tapi orang-orangnya sudah lelah semua. Sudah tentu ia tahu karenanya, lantas unjukkan diri dengan tanpa khawatir lagi.

Dengan munculnya orang ini, pertempuran dengan sendirinya lantas berhenti.

“Touw Thocu!” Berkata Lauw Cin dengan suara gusar. “Perbuatanmu ini berarti kawan makan kawan sendiri. Apakah itu ada perbuatannya seorang gagah?”

“Harta benda ini sebetulnya memang kepunyaan keluargaku. Aku tidak memaki kau, kini sebaliknya kaulah yang memaki aku lebih dulu. Kau dengan berbagai daya upaya hendak mendapatkan harta benda ini, bukankah itu ada perbuatan kawan makan kawan? Heh, heh! Tidak perlu kita saling menuduh. Urusan ini rasanya cuma bisa dibereskan secara adil dengan patokan, siapa yang menang dialah yang kuat!” berkata Touw Goan sambil ketawa dingin.

Can Pek Sin saat itu lantas berkata kepada Yayanya:

“Yaya, orang ini barulah musuh kita yang paling buas dan paling berbahaya! Pertikaian antara kita dengan keluarga Lauw biarlah kita perhitungkan belakangan.”

Thie Sui anggukkan kepala.

Lauw Bong juga berkata kepada ayahnya:

“Ayah, pada saat ini kita harus bersatu padu dengan keluarga Thie untuk pertahankan diri. Ucapan bocah she Can ini memang benar. Pertikaian antara kita dengan orang tua she Thie itu kita perhitungkan belakangan saja.”

Lauw Cin yang menghadapi kejadian di luar dugaannya itu, membuat pikirannya yang sudah butak menjadi agak sadar. Ia tahu bahwa orang she Touw ini jauh lebih sulit dihadapinya daripada Thie Sui. Di bawah tangannya Touw Goan, lebih susah baginya untuk terlolos dari bahaya maut. Maka seketika itu ia lantas mengambil keputusan tegas. Jawabnya:

“Sekalipun aku terluka di tangan tua bangka she Thie itu, tapi ia sendiri juga mendapat luka tidak ringan, kita sama-sama terluka, rekening ini diperhitungkan atau tidak, sudah tidak menjadi soal lagi. Hei, tua bangka she Thie, apa kau dengan sesungguhnya hendak berserikat dengan aku untuk menghadapi musuh bersama? Sekarang tinggal menanti jawabanmu saja!” berkata Lauw Cin.

Touw Goan berkata sambil ketawa terbahak-bahak:

“Kalian sudah selesai berunding atau belum? Sebetulnya juga tidak ada gunanya untuk berunding, bagaimanapun juga kalian tokh akan kukirim ke akherat. Tentang rekening kalian, boleh diperhitungkan di alam baka saja!”

Karena lima orang itu sudah terluka dan kehabisan tenaga semuanya, kalau Touw Goan hendak turun tangan, sebentar saja dapat membinasakan mereka semua.

Thie Sui dengan mata mendelik dan suara bengis berkata:

“Bagus, bagus! Itulah satu enghiong benar-benar, sungguh galak ucapanmu! Kita beberapa tulang-tulang bangkotan ini, akan kita pertaruhkan denganmu! Kawan-kawan, mari kita maju!”

Thie Sui meski sudah terlalu letih, tapi biar bagaimana ada satu jago kawakan yang sudah mempunyai latihan beberapa puluh tahun, dalam gusarnya, ia telah pertaruhkan jiwanya hendak menggempur musuh yang baru datang itu. Ia gunakan sisa kekuatan tenaganya yang masih ada, goloknya diputar demikian rupa untuk menyerang musuhnya.

Touw Goan merasa jeri juga, ia tidak berani pandang ringan lawannya. Katanya sambil ketawa dingin: “Thie Sui, kalau kau memang sudah ingin mati, biarlah aku iringi kehendakmu lebih dulu!” Dengan tameng di tangan kiri, senjata yang berupa gaetan di tangan kanan lantas menggempur kepala Thie Sui.

Can Pek Sin diam-diam mendoa kepada arwah ayah bundanya: “Ayah ibu, lindungilah anakmu!” kemudian lompat melesat dan menikam urat nadi Touw Goan.

Lauw Cin tahu apabila Thie Sui binasa di tangan Touw Goan, ia sendiri juga tidak akan hidup, maka ia lalu satukan diri dengan Thie Sui, sama-sama menghadapi musuh tangguh itu. Begitu melihat Touw Goan sudah bergerak menyerang Thie Sui, ia juga putar senjatanya sepasang phoan-koan-pit, bantu Thie Sui menyerang Touw Goan.

Touw Goan menyambuti serangan Lauw Cin dengan tamengnya. Ujung senjata Lauw Cin patah seketika, dan ujung golok Thie Sui yang juga kesambar, patah sepotong. Kedua orang ini terpental mundur beberapa tindak. Tapi si jago tua tidak rubuh, bahkan ia masih bisa membimbing Lauw Cin yang hendak rubuh.

Sementara itu...

Pedang Can Pek Sin yang menyerang urat nadi Touw Goan telah disampok oleh gaetan orang she Touw itu hingga hampir terlepas dari tangannya. Anak muda ini menderita luka paling ringan, ia masih mempunyai cukup tenaga untuk melawan, ketika melihat gelagat kurang baik, segera mengeluarkan ilmu pedang ciptaan keluarga Can untuk memunahkan serangan Touw Goan. Ia malah masih bisa balas menyerang.

Touw Goan putar gaetannya. Selain bisa menyambuti serangan Can Pek Sin, ia juga sudah menyerang Lauw Bong yang waktu itu sedang maju akan membantu.

Serangan Touw Goan meluncur dengan hebatnya. Lauw Bong yang sudah agak payah, terpapas lagi pundaknya. Can Pek Sin mengancam dengan pedangnya untuk melindungi Lauw Bong yang hendak undurkan diri.

Dalam segebrakan saja Touw Goan dengan dua senjatanya sudah berhasil mendesak mundur ke empat lawannya. Ia merasa sangat bangga, hingga ketawa terbahak-bahak. Ketika kemudian ia maju menyerang lagi dengan tamengnya, adalah Lauw Cin yang dijadikan sasaran. Ia sudah dapat kenyataan bahwa dari empat lawannya itu, adalah Lauw Cin yang terluka paling parah. Karenanya, ia bermaksud hendak “bereskan” orang she Lauw itu lebih dulu.

Thie Sui yang masih membimbing Lauw Cin dengan satu tangannya buru-buru ayun goloknya membacok tameng yang sedang beraksi itu. Touw Goan lantas berkata sambil ketawa:

“Biarlah kalian berdua yang sedang bermusuhan kubereskan bersama-sama!”

Ia kerahkan seluruh kekuatan tenaganya. Tamengnya menindih lebih hebat golok Thie Sui hingga tidak terangkat lagi, bahkan tameng itu kini telah mengancam batok kepala Thie Sui!

Can Pek Sin buru-buru menghampiri buat menolong, tapi pedangnya sudah disingkirkan oleh senjata gaetan Touw Goan, hingga ia tidak bisa maju lagi. Saat itu, sesungguhnya sangat berbahaya sekali keadaannya Thie Sui!

Tok-kow U yang sejak tadi belum turun tangan, ketika menyaksikan keadaan demikian lantas berkata dengan suara lantang:

“Touw Thocu! Aku minta dengan sangat supaya kau suka ampuni dia!”

Tok-kow adalah satu pendekar yang telah mendapat nama. Tentu ia tidak mau menyerang secara menggelap. Ia telah mengeluarkan ucapannya itu untuk memperingati, tapi ia juga tidak tinggal diam.

Orang she Tok-kow ini juga sudah terluka, tapi kalau dibanding dengan Thie Sui dan Lauw Cin, masih agak mendingan keadaannya. Tenaganya memang sudah agak berkurang, tapi ia masih dapat menggunakan ilmunya menotok jalan darah yang memang menjadi kebisaannya. Terhadap orang she Tok-kow itu, Touw Goan tidak berani terlalu anggap remeh. Ketika dilihatnya kipas bergerak menotok, ia terpaksa tinggalkan Thie Sui, memutar tameng melindungi jalan darahnya, sedang senjata gaetannya menyodok dan menyendal guna menyingkirkan senjata kipas Tok-kow U, sekaligus maksudnya hendak memotong urat nadi orang she Tok-kow tersebut.

Can Pek Sin dan Lauw Bong maju bersama. Mereka dengan senjata masing-masing menyerang Touw Goan dari kedua sisi untuk menolong Tok-kow U.

Touw Goan berkata sambil ketawa dingin:

“Tok-kow U! Sudah kutunjukkan jalan hidup bagimu, tapi kau sekarang hendak mencari mati sendiri!”

“Touw Thocu,” jawab Tok-kow U dengan suara hambar, “terima kasih atas kebaikanmu. Tapi penilaianmu atas diriku ternyata keliru jauh sekali! Jikalau aku membiarkan kau membunuh habis kawan-kawanku, sedang aku sendiri lantas kabur begitu saja, bukankah aku akan menjadi seorang rendah yang takut mati?”

Lauw Cin tergerak hatinya.

“Tok-kow lotee, ini bukan urusanmu!” katanya. “Kau...”

“Lauw toako, tidak perlu banyak bicara lagi. Waktu kita angkat saudara dulu bukankah sudah kita berjanji, ada rezeki sama-sama dinikmati, ada bahaya sama-sama kita tanggapi?”

Touw Goan kerlingkan matanya.

“Tok-kow U,” ia berkata sambil ketawa dingin, “sekarang tenagamu cuma sisa tinggal tidak seberapa, apa kau masih hendak berlaga sebagai orang gagah? Benarkah kau ingin turut mereka mati bersama-sama?”

Touw Goan dahulu pernah berhutang budi kepada Tok-kow U. Kalau ia sekarang membunuhnya, ia khawatir kalau hal itu tersiar di dunia Kang-ouw akan mencemarkan nama baiknya, karena itu ia sebetulnya tidak ingin bertindak dan mengharap supaya Tok-kow U mengundurkan diri.

Di luar dugaannya, Tok-kow U malah menjawabnya sambil tertawa terbahak-bahak:

“Benar, kita semua sudah terluka. Kekuatan tenagamu sudah pulih. Kalau hendak membunuh kami sangat mudah sekali, tambah aku seorang, bagimu tentu tidak menjadi soal. Justru karena itu, maka aku Tok-kow U selagi masih belum binasa, ingin menerima pelajaranmu beberapa jurus saja!”

Ucapan itu mengandung sindiran hebat, kata-kata ‘kekuatan tenagamu sudah pulih’ sebetulnya merupakan satu ejekan bagi Touw Goan yang dulu sudah diberi obat sehingga tenaganya pulih kembali dengan cepat, tetapi kini membalas budinya dengan perbuatannya yang sangat rendah dan memalukan. Kecuali itu juga merupakan suatu keterangan bahwa dengan turut campurnya dalam pertempuran itu, bukanlah berarti mengeroyok dengan mengandalkan kekuatan banyak orang. Ucapan itu tidak memaki padanya secara langsung, tetapi sebetulnya lebih menyakiti hatinya.

Touw Goan karena malu berbalik menjadi gusar, bentaknya dengan suara keras:

“Baiklah, kalau kau memang akan mengutamakan kesetiakawanan, ingin dipuji sebagai seorang gagah perkasa, maka aku juga akan mengiringi kehendakmu.”

Ia bertindak maju sambil memutar kedua senjatanya, dalam waktu sekejap mata saja sudah melakukan serangan dengan beruntun terhadap ke lima lawannya.

Ia sudah dapat menduga bahwa Tok-kow U yang masih mempunyai daya perlawanan paling cukup, maka separuh kekuatannya digunakan untuk melayaninya.

Thie Sui berempat dengan tekad bulat melawan mati-matian, ternyata masih sanggup melayani, sampai duapuluh jurus lebih. Tapi Thie Sui yang sudah lanjut usianya, apalagi sudah bertempur setengah malam, paling dulu yang mulai payah. Ia merasakan matanya berkunang-kunang, hampir tidak dapat melihat ke mana arah senjata musuhnya. Can Pek Sin terus mendampingi Yayanya, setiap serangan musuh ditangkisnya dengan secara nekad. Thie Sui yang sudah merasa putus harapan, lalu berkata kepada cucunya:

“Siao-sin, lekas lari kau! Yayamu sudah hidup tujuhpuluh tahun, matipun tidak mengapa. Tetapi kau harus mempertahankan jiwamu, supaya dapat membalas dendam ayah bundamu!”

Tetapi bagaimana Can Pek Sin dapat meninggalkan Yayanya? Atas anjuran Yayanya itu iapun menjawab:

“Tidak, sebaiknya Yayalah yang mengundurkan diri. Bawalah enci Leng pergi dari tempat ini supaya ia dapat membalas dendam buat Lauw toako, itu juga sudah berarti membalaskan dendam untukku!”

Dalam menghadapi ancaman maut ia masih tidak melupakan enci Leng nya yang diikat dalam kamar, ia takut setelah Touw Goan membinasakan mereka, nanti juga membinasakan dirinya pula.

Lauw Bong yang mendengar pembicaraan itu diam-diam merasa malu terhadap diri sendiri, Thie Sui hanya dapat menghela napas dengan airmata berlinang-linang.

Touw Goan berkata sambil ketawa besar:

“Kalian ingin kabur? Satupun jangan harap bisa! Heh, heh! Bocah she Can, kau ternyata masih mempunyai jiwa kesatria! Aku sebetulnya sudah berjanji dengan ibumu tidak akan membunuhmu! Tetapi, siapa menyuruhmu malam ini harus berhadapan lagi denganku? Ini bukan berarti aku melanggar janjiku!”

Orang she Touw itu sungguh licik, ia memang bermaksud hendak membasmi habis keluarga Can, tetapi mulutnya masih mengucapkan kata-kata manis seakan-akan ia tidak bersalah.

“Bangsat, aku sebetulnya juga tidak akan membalas dendam, tetapi sekarang aku terpaksa akan mengadu jiwa denganmu! Kalau aku tidak dapat membinasakanmu, sekalipun jadi setan juga akan terus mengejar kau!” jawab Can Pek Sin.

“Kepandaianmu sudah mendapat banyak kemajuan. Terus terang, aku memang juga takut kau nanti menuntut balas dendam! Kalau kau sudah berkata demikian, tidak ada lain jalan kecuali akan mengiringi kehendakmu saja, supaya kau bisa lekas-lekas jadi setan gentayangan, supaya bisa lekas menuntut balas!”

Sementara itu, serangan yang dilancarkan olehnya juga semakin ganas, setelah menangkis serangan Tok- kow U, dengan menggunakan tujuh bagian kekuatan, tamengnya menyerang Can Pek Sin!

Kekuatan tenaga Can Pek Sin memang masih kalah jauh untuk menghadapi orang she Touw itu, apalagi sesudah bertempur setengah malaman? Tetapi bagi seorang yang belajar ilmu silat, dalam menghadapi bahaya maut, daya perlawanannya guna pertahankan jiwanya dengan sendirinya timbul begitu saja. Sekalipun kekuatan Can Pek Sin terang tidak sebanding dengan musuhnya, dan ia tidak berani menahan serangan musuhnya dengan mengadu kekerasan, tapi dengan sendirinya ia lalu mengeluarkan ilmu meringankan tubuh pelajaran ayah bundanya untuk mengelakkan serangan tersebut.

Tetapi Thie Sui yang sudah berkunang-kunang matanya, tidak sempat menyingkir, sehingga kebentur dengan serangan itu. Sekalipun Thie Sui sudah mengeluarkan seluruh kekuatan tenaganya, menggunakan goloknya untuk membacok tameng, tapi Touw Goan cuma terpental mundur satu tindak saja, sebaliknya Thie Sui yang terpental sejauh tiga tombak lebih!

Can Pek Sin sangat khawatir, ia memburu sambil berseru: “Yaya, kau...” Tetapi saat itu Touw Goan sudah mengejar, tidak memberi kesempatan orang tua tersebut menyingkir.

Thie Sui terluka parah, tetapi kekuatannya yang sudah mempunyai latihan puluhan tahun, sekalipun tidak bisa bangun, juga tidak sampai binasa. Ia mengeluarkan darah dari mulutnya, sambil merangkak ia berkata:

“Siao-sin, aku tidak apa-apa. Tapi aku tidak dapat melindungi kau lagi. Kau, kau lebih baik lekas lari!”

Can Pek Sin melihat Yayanya masih mampu bicara, hatinya agak lega, ia mengerahkan seluruh tenaganya untuk melawan Touw Goan lagi! Lauw Cin yang terluka paling parah, kembali kena dibentur oleh tameng Touw Goan, kedua senjatanya terlepas dari tangannya dan ia mundur terhuyung-huyung kemudian ditendang lagi oleh Touw Goan. Untung kipas Tok-kow U dan pedang Can Pek Sin berhasil menahan senjata gaetan Touw Goan. Kalau tidak, Lauw Cin pasti sudah mati di ujung senjata lawannya.

Ia tertendang jatuh, dengan berguling-guling ia baru lolos dari bahaya.

Lima orang cuma tinggal tiga, sudah tentu semakin berat menahan serangan musuh yang sangat ganas itu. Ilmu meringankan tubuh Can Pek Sin mahir sekali, gerakan badannya juga sangat lincah, nampaknya lebih leluasa menghadapi musuhnya. Kepandaian Tok-kow U meski terhitung paling tinggi, ilmunya meringankan tubuh juga cukup sempurna, tetapi sayang pahanya sudah terluka, gerakannya kurang lincah sehingga cuma mampu menggunakan tiga bagian kepandaiannya saja.

Touw Goan yang selalu mengincar dan mencari lowongan di tempatnya orang she Tok-kow itu, akhirnya mendapat kesempatan baik, ia berkata sambil ketawa dingin:

“Kau adalah ahli totokan, sekarang aku persilahkan kau coba-coba ilmu totokanku!”

Ujung senjata gaetannya lalu digunakan untuk menotok jalan darah Ie-kie-hiat hingga Tok-kow U rubuh seketika itu juga.

Oleh karena orang she Touw itu masih takut pembalasan sahabat-sahabatnya Tok-kow U maka ia tidak berani bertindak kejam, kalau tidak, ia tentu tidak mau memberi kesempatan hidup lagi kepadanya.

Setelah menotok rubuh Tok-kow U, Touw Goan berkata sambil ketawa:

“Bocah she Can, sekarang tibalah giliranmu!”

Can Pek Sin sudah tidak menghiraukan jiwanya lagi, ia sudah bertekad hendak mengadu jiwa dengan musuhnya, maka setiap serangannya dilakukan dengan sangat berani dan ganas pula. Dalam keadaan demikian, Touw Goan malah tidak mudah mencapai maksudnya, yang hendak mengakhiri pertempuran itu dengan lekas.

Ia tahu bahwa kepandaiannya sendiri jauh lebih tinggi daripada Can Pek Sin, sudah tentu tidak perlu buru- buru sehingga menempuh bahaya terluka bersama-sama. Dianggapnya, biar bagaimana ia tokh tidak akan lolos dari tangannya.

Can Pek Sin sudah mandi keringat, napasnya terengah engah, tetapi ia masih melawan dengan nekad.

Lauw Bong cuma bisa menggunakan sebelah tangan, ia masih bertekad membantu Can Pek Sin melawan musuhnya. Beberapa kali ia hampir menjadi korban senjata musuh.

Can Pek Sin khawatir pemuda itu nanti mati di tangan musuhnya, maka ia lalu berkata kepadanya: “Lauw toako, kau lekas lari! Nona Thie berada di dalam kamar, kau...” ia sebetulnya ingin minta pemuda itu membebaskan Thie Po Leng dan lari bersama-sama, tetapi sebelum sempat mengutarakan maksudnya, tameng Touw Goan sudah mengancam kepalanya. Ia menangkis dengan nekad, sehingga tidak sempat bicara lagi.

Dengan muka merah Lauw Bong menjawab:

“Saudara Can, sekarang aku sudah mengikat tali persahabatan denganmu. Keluar tenaga untuk sahabat, itu sudah menjadi kewajiban seorang kesatria, lelaki tidak perlu takut mati!”

Dengan gerakan satu tangannya, ia menyerang musuhnya dengan nekad. Touw Goan berkata sambil tertawa terbahak-bahak:

“Kau dua bocah yang sudah menghadapi kematian, masih berbicara soal setia kawan, sesungguhnya sangat mengagumkan!”

Dua buah senjatanya digerakkan berbareng untuk menyerang dua lawannya. Dua pemuda itu meski melawan secara mati-matian, tetapi juga hanya bisa menahan saja, sudah tidak mempunyai kekuatan untuk membalas menyerang.

Saat itu matahari sudah naik tinggi, dua pemuda itu sudah mulai kehabisan tenaga, mereka hanya menantikan kematian, mendadak terdengar suara ringkikan kuda.

Touw Goan segera dapat mendengar derap kaki sepasang kuda pilihan, yang sedang dilarikan ke arahnya. Kuda itu larinya cepat sekali, dan kemudian berhenti di luar tembok pekarangan.

Touw Goan mengerutkan kaningnya, hatinya berkecamuk: Apakah mereka orang-orang golongan hitam yang juga menginginkan harta benda itu?

Tetapi ia adalah seorang pemberani, hal itu tidak dihiraukannya, ia memusatkan perhatiannya supaya dapat lekas mengakhiri pertempuran.

Can Pek Sin yang mendengar suara kuda, hatinya tergerak, pikirnya: Apakah benar ada hal yang begini kebetulan? Mungkinkah mereka kakak beradik yang datang kemari hendak mencari aku?

Ia merasa ada harapan hidup lagi, maka semangatnya timbul kembali, daya perlawanannya juga bertambah hebat. Semua gerak tipu yang paling ganas, yang ia peroleh dari pelajaran Yayanya, telah dikeluarkan seluruhnya. Touw Goan yang tidak ingin mendapat luka, tidak bisa membunuhnya dalam waktu beberapa jurus saja.

Sementara itu, dua sosok bayangan orang melayang turun melalui tembok dinding pekarangan.

Touw Goan dengan tanpa menengok lalu menyapa: “Sahabat dari golongan mana hendak turut campur tangan dalam urusan ini?”

Salah seorang di antara mereka yang baru tiba itu sudah berkata:

“Can toako, apa artinya ini? Siapa laki-laki ini?” suaranya ternyata masih suara kanak-kanak.

Touw Goan tercengang, ia mulai memperhatikan dua orang yang baru datang itu, ternyata hanyalah dua muda-mudi yang usianya sebaya dengan Can Pek Sin.

Dua muda-mudi itu ternyata adalah Tiat Ceng dan Tiat Leng, kakak beradik anak Tiat Mo Lek.

Sejak ketika mereka berjumpa dengan Can Pek Sin di bawah gunung Hok-gu-san, sepulangnya di atas gunung, lalu menceritakan perihal Can Pek Sin kepada ayah mereka. Tiat Mo Lek mendengar kabar kematian suami isteri Can Goan Siu, sedangkan anaknya yang lewat di gunung, tetapi tidak menyampaikan kabar kematian itu kepadanya. Dalam hati ia merasa heran, ia segera dapat menduga bahwa dalam hal pasti ada sebabnya.

Tiat Mo Lek adalah sahabat paling karib Can Goan Siu suami isteri, maka untuk memelihara dan mendidik anak piatunya, dianggapnya sudah menjadi kewajibannya. Maka tindakan Can Pek Sin itu sebetulnya sangat melukai perasaannya. Kala itu ia ingin mencari Can Pek Sin sendiri, tetapi karena mengingat kedudukannya sebagai Beng-cu, yang tidak boleh seenaknya saja meninggalkan gunung, maka segera memerintahkan Tiat Ceng dan Tiat Leng yang mencari di tempat kediaman Thie Sui, serta minta kepada Thie Sui agar Can Pek Sin diperbolehkan ikut serta dengan mereka ke gunung Hok-gu-san.

Kuda tunggangan kakak beradik itu adalah kuda-kuda pilihan pemberian Toan Khek Gee. Dahulu Can Pek Sin pernah melihatnya, maka begitu mendengar suara ringkikannya segera dapat mengenalinya.

Kedatangan kedua saudara itu tepat pada waktunya, Can Pek Sin yang ditanya segera memberi jawaban sambil bertempur:

“Bangsat jahat ini hendak membunuh Yaya, juga hendak membunuh aku!” Adat Tiat Leng yang lebih berangasan daripada kakaknya, lantas berkata: “Tanya apa lagi? Kau lihat Can toako sudah terluka! Lekaslah bertindak!” Tiat Ceng saat itu sudah menyaksikan dengan tegas keadaan di tempat itu, ada tiga orang yang terluka parah dan menggeletak di tanah, belum bisa bangun. Di antara tiga orang itu, kecuali Lauw Cin seorang, Thie Sui dan Tok-kow U telah dikenalnya. Thie Sui sekujur badannya sudah mandi darah, keadaannya sangat payah. Sementara itu senjata Touw Goan masih terus mengancam Can Pek Sin.

Tiat Ceng yang terdidik baik oleh ayahnya, dalam menghadapi segala hal harus mengutamakan ‘aturan’ lebih dulu, baru boleh bertindak. Maka ketika baru tiba di tempat itu, ia hendak minta penjelasan lebih dulu. Tetapi kini setelah menyaksikan keadaan sekejam itu, hawa amarahnya juga tidak dapat dikendalikan lagi. Pikirnya: Thie kong-kong dan paman Tok-kow adalah sahabat-sahabat ayah, sekarang dilukai oleh orang itu sampai sedemikian rupa, sekalipun aku membinasakan orang itu, juga tidak keterlaluan!

Ia adalah muridnya Khong-khong Jie. Sedang ilmu meringankan tubuhnya dapat warisan dari ayahnya. Cepat ia bergerak untuk mendahului adiknya, dengan pedangnya ia menikam Touw Goan.

Ia menggunakan ilmu pedang ciptaan ayahnya sendiri, pedangnya diputar sedemikian rupa, bagaikan serangan golok yang hebat pengaruhnya. Ketika pedangnya beradu dengan tameng Touw Goan, dua senjata itu mengeluarkan percikan api, pedang Tiat Ceng tidak berhenti sampai di situ saja, dengan satu gaya setengah lingkaran, kembali ia berhasil menyingkirkan senjata gaetan Touw Goan.

Meski ia sendiri juga mundur dua langkah, tetapi dengan gerakannya yang luar biasa itu tadi sudah berhasil memunahkan dua serangannya Touw Goan.

Touw Goan masih dalam keadaan terkejut, Tiat Leng sudah menerjang lagi ke arahnya. Ia adalah muridnya Sin Cie Kow yang tersayang, meski usianya masih terlalu muda, tetapi ilmu pedangnya sudah mahir sekali.

Ilmu pedang Sin Cie Kow mempunyai banyak perubaban yang aneh-aneh. Tiat Leng yang sudah mendapat warisan suhunya, telah menggunakan serangannya yang mematikan. Gaya serangannya itu nampaknya sangat ringan tidak bertenaga. Touw Goan menggunakan tameng hendak menyampok pedangnya, siapa tahu gerakan pedang Tiat Leng mendadak herubah, mengarah ke timur tetapi yang dituju ke barat, semua serangannya ditujukan ke tempat-tempat yang tak diduga oleh lawannya.

Percuma saja Touw Goan mempunyai dua macam senjata, sedikitpun tidak mampu membendung serangan si nona cilik itu. Terpaksa ia kerutkan perutnya, badannya agak melengkung ke belakang, tetapi tidak urung masih terkait ujung pedang, sehingga ikat pinggangnya putus, untung tidak melukai perutnya.

Touw Goan sangat murka, ia lalu mengeluarkan seluruh kepandaiannya, senjatanya gaetan diputar sedemikian rupa, hingga seolah-olah ular beterbangan! Sedangkan senjata tamengnya digunakan untuk melindungi badannya begitu rapat.

Kalau serangan pertama Tiat Leng tadi berhasil dengan baik, itu hanyalah karena Touw Goan masih belum dapat meraba dari golongan mana ilmu pedang yang digunakan olehnya itu, dan kedua karena terlalu memandang ringan lawannya yang masih terlalu muda.

Tetapi dalam hal kepandaian yang sebenarnya, sudah tentu Tiat Leng masih kalah jauh. Maka setelah Touw Goan mengeluarkan seluruh kepandaiannya, pedang Tiat Leng hampir kena tergaet oleh senjata gaetan Touw Goan.

Tiat Ceng dengan cepat maju lagi, dengan kekuatannya yang lebih tinggi dari pada adiknya, barulah dapat memunahkan serangan orang she Touw itu.

Tiat Ceng setelah mendesak lawannya, lalu berkata kepada Can Pek Sin:

“Can toako, kau pergi lihat Yaya dulu, bangsat ini biarlah aku yang membereskan!”

Can Pek Sin setelah dapat melihat jalan pertempuran tadi, meski serangan Touw Goan begitu hebat, tetapi kedua kakak beradik itu masih dapat melawan dengan baik, sekalipun tidak bisa merebut kemenangan, tetapi juga tidak akan kalah. Karena ia sendiri saat itu sudah terlalu letih dan memang benar-benar sudah tidak sanggup melawan lagi, karenanya lalu mengundurkan diri dengan perasaan puas.

Lauw Bong lebih payah keadaannya, baru jalan beberapa tindak, sudah jatuh terduduk.  Can Pek Sin terkejut, lalu bertanya: “Lauw toako, mengapakah dikau?” “Tidak apa-apa, aku memerlukan istirahat sebentar,” jawab Lauw Bong.

Can Pek Sin membimbingnya dan membantunya menggerakkan tulang-tulang dan uratnya, lalu berkata:

“Lauw toako, ayahmu terluka parah, bantulah beliau mengobati luka-lukanya. Maafkan aku tidak dapat membantu.”

Lauw Bong merasa berterima kasih tetapi juga merasa malu terhadap diri sendiri.

Thie Sui dengan susah payah berusaha untuk duduk, ketika melihat Can Pek Sin menghampiri, airmatanya serentak mengalir deras, katanya:

“Siao-sin, kita malam ini telah mengalami kekalahan hebat.”

“Yaya jangan memikirkan itu, bangsat itu bertindak ketika orang dalam keadaan sudah kehabisan tenaga, bukan berarti Yaya kalah dalam tangannya. Sekarang harta itu masih utuh, dan kita juga sudah terlepas dari bahaya. Tiat Ceng bersama adiknya dapat menjatuhkan bangsat itu,” jawab Can Pek Sin.

Can Pek Sin mengeluarkan obat luka, dengan sangat hati-hati diulaskan di badan Yayanya. Thie Sui berkata sambil menghela napas:

“Siao-sin, kau lebih sayang daripada cucuku sendiri, aku sangat gemas terhadap si Po Leng itu, dia... Ah! Dia bukan saja sudah menyebabkan celaka aku, tetapi juga tidak patut terhadap dirimu.”

“Enci Leng meski berbuat agak kurang dipikir, tetapi itu bukan bermaksud hendak mencelakakan diri Yaya. Hendaknya Yaya mengampuni kesalahannya. Aku lihat, Lauw toako itu...”

Thie Sui mendadak marah, maka lalu menyela:

“Jangan kau sebut enci Leng mu, juga jangan sebut-sebut lagi bocah she Lauw itu. Kalau aku sudah mati, terserah apa yang akan mereka lakukan. Tetapi selagi aku masih hidup, aku, aku tidak akan idzinkan...”

Jago tua itu batuk-batuk, napasnya tersengal-sengal. Can Pek Sin lalu menengahi:

“Yaya, badanmu kuat, luka-luka luar ini tidak berarti apa-apa, tidak lama pasti akan sembuh. Setelah segala bahaya ini sudah lalu kita nanti akan bicarakan lagi. Sekarang yang perlu jagalah dirimu, jangan sampai lukanya bertambah hebat.”

Thie Sui mengawasi jalannya pertempuran antara tiga orang itu, mendadak timbul rasa khawatir, katanya sambil ketawa getir:

“Lukaku bisa sembuh atau tidak, masih merupakan satu pertanyaan. Tetapi mengenai pandanganmu bahwa keadaan sudah berbalik menjadi baik bagi pihak kita, masih terlalu pagi kau ucapkan. Yang sudah terang ialah bencana sudah berada di depan mata kita, aih, aku lihat sebaiknya kau jangan memperdulikan aku lagi, lekas berlalu dari sini, itu lebih baik bagimu!”

Can Pek Sin melepaskan pandangannya kearah dua saudara Tiat, yang memainkan pedangnya demikian bagus, dengan kerja sama yang sangat rapi, melawan musuhnya.

Toaw Goan meski kadang-kadang juga bisa melakukan serangan pembalasan, tetapi nyata dua saudara Tiat itu pelahan-lahan sudah berada di atas angin. Maka ia lalu berkata kepada Yayanya dengan perasaan heran:

“Aku lihat dua saudara itu bagus sekali permainan pedangnya, Yaya tidak usah khawatir.” Thie Sui berkata dengan suara pelahan: “Kau sudah lupa Touw Goan itu masih pernah apa dengan mereka! Sekarang mungkin mereka berdua saudara itu masih belum mengetahui, jika mereka tahu, aih, inilah merupakan satu bahaya besar!”

Karena Tiat Mo Lek dahulu adalah anak angkatnya Touw Leng Kham, dan Touw Goan adalah orang keturunan keluarga Touw. Jika dari urutannya, ia masih merupakan orang tingkatan tua bagi dua saudara Tiat itu, maka kekuatiran Thie Sui ini sesungguhnya memang bukan tidak beralasan.

“Yaya sesungguhnya terlalu banyak berpikir, aku dengan mereka berdua merupakan sahabat sepermainan sejak masih kanak-kanak,” kata Can Pek Sin.

“Bagaimana persahabatan ayah bundamu dengan Tiat Mo Lek? Bukankah lebih dalam daripada kalian orang-orang yang tingkatannya lebih muda? Ibumu masih tidak mengidzinkanmu untuk minta pertotongan kepada Tiat Mo Lek menuntut balas dendam, sampaipun keadaan yang sebenarnya juga melarang kau untuk memberitahukan kepadanya, semua itu apakah sebabnya? Bukankah juga karena kekuatiran itu? Aku sarankan sebaiknya kau lekas pergi saja.”

Can Pek Sin sebetulnya percaya kepada dua saudara Tiat itu, tetapi setelah mendengar keterangan Thie Sui, pikirannya mulai merasa tidak tenang. Pikirnya: Jika mau dikatakan mereka dua saudara itu berbalik membantu Touw Goan, rasanya tidak mungkin. Tetapi di antara mereka kedua pihak ada terjalin ikatan hubungan keluarga begitu dalam. Jika dua saudara itu mengetahui asal usulnya Touw Goan, dan kemudian tidak mau campur tangan, memang merupakan bencana besar bagiku!

Selagi masih berpikir, ia telah dapat melihat Tiat Leng dengan satu gerakan yang sangat manis, ujung pedangnya menikam jalan darah Kian-kin-hiat musuhnya. Touw Goan dengan menggunakan senjata gaetannya menangkis tikaman itu, tetapi Tiat Ceng sudah membabat dengan pedangnya dan mengenai tameng musuhnya hingga terdengar suara “trang” dan menimbulkan percikan api.

Touw Goan mundur satu langkah, tiba-tiba ia bertanya: “Siapa ayahmu?” “Apa maksudmu kau tanya ayahku?” demikian jawab Tiat Ceng.

“Kalian berdua sudah berani turut campur tangan dalam urusan ini, ayah bunda kalian tentunya juga orang-orang dari rimba hijau!”

“Kalau benar mau apa?”

“Kepandaian kalian boleh juga, ayahmu barangkali bukan orang sembarangan?”

“Apa kau ingin bersahabat? Hm, kau bangsat, tidak pantas menjadi sahabat ayah! Ayahku adalah...” menyela Tiat Leng sambil tertawa dingin, tetapi sebelum ucapan ‘Beng-cu’ keluar dari mulutnya, Tiat Ceng sudah memotong perkataan adiknya, ia berkata:

“Jangan menakutinya!”

Pemuda itu tidak ingin mengandalkan nama besar ayahnya, maka ia melarang adiknya menyebut kedudukan ayahnya, tetapi ia tidak tahu, dengan perbuatan ini ia juga sudah membocorkan rahasianya.

Sewaktu dua saudara itu baru tiba, ucapan ‘Can toako’ yang keluar dari mulut mereka berdua, sebetulnya sudah menarik perhatian Touw Goan, dan kini setelah mendengar pembicaraan mereka, segera dapat menduga asal usul mereka. Maka seketika itu ia lalu berkata sambil ketawa terbabak-bahak:

“Kau tidak mau menyebutkan aku juga sudah tahu. Ayahmu adalah Tiat Mo Lek, bukan?” “Kalau ya bagaimana?” berkata Tiat Leng.

Lagi-lagi orang she Touw itu tertawa terbahak-bahak dan berkata: “Kalau begitu, kita masih terhitung orang-orang sendiri!”

Tiat Ceng tercengang, katanya:

“Kau mengada-ada, siapa orang-orang sendiri dengan kau?” “Kalian seharusnya masih panggil aku paman!” berkata Touw Goan, “Ayah kalian pernah dibesarkan dan dididik oleh keluarga Touw, ia diangkat sebagai anak angkat oleh toa-pekku. Coba pikirkanlah sendiri, bukankah seharusnya panggil aku paman? Mengapa kalian tidak lekas berhenti bertempur? Ayah kalian menjadi Beng-cu rimba hijau, seharusnya dapat membedakan dengan tegas antara budi dan permusuhan, ia pernah berhutang budi dari keluarga Touw, apakah dalam urusan ini ia belum pernah menceritakan kepada kalian?”

Memang, urusan antara ayahnya dengan keluarga Touw, Tiat Ceng bersaudara sudah pernah dengar dari ayah mereka, tetapi keadaan yang sebetulnya masih kurang jelas bagi mereka.

Untuk sesaat Tiat Ceng tercengang, dalam hatinya berpikir: Ayah pernah berkata bahwa lima saudara Touw itu dahulu sebab tidak disukai oleh orang-orang rimba hijau, akhirnya telah timbul bentrokan dengan orang lain golongan, dan kesudahannya mati semua. Bagaimana kini mendadak bisa muncul keturunan keluarga Touw? Ayah bahkan menggunakan persoalan ini untuk memberi peringatan padaku, jangan karena ayah menjadi Beng-cu, lalu boleh berlaku sewenang-wenang. Cuma, meski ayah tidak setuju perbuatan ayah angkatnya, tetapi ia juga merasa sedih karena terputusnya keturunan keluarga Touw. Andaikata benar orang ini adalah keturunan keluarga Touw, tidak seharusnya aku bunuhnya mati.

Tiat Leng melihat sikap kakaknya, yang agaknya mulai percaya perkataan Touw Goan, lalu berkata sambil tertawa dingin:

“Bangsat ini entah dari mana mendapat keterangan hubungan ayah dengan keluarga Touw, sekarang lantas mengaku-ngaku sebagai keturunan keluarga Touw. Koko, kau jangan percaya obrolannya!”

Mendadak Can Pek Sin melompat bangun dan berkata:

“Dia bernama Touw Goan, meski aku tidak tahu benar asal usulnya, tetapi aku percaya perkataannya, rasanya tidak mungkin ia mengaku-ngaku saja!”

Thie Sui terkejut, ia menegur:

“Siao-sin, kau, apa kau katakan?”

“Satu laki-laki harus berani berlaku terus terang, aku percaya orang ini benar orang tingkatan tua dari saudara Tiat, tidak seharusnya aku mengelabuhi padanya, supaya ia tidak melakukan suatu perbuatan yang menyebabkan ia menyesal di kemudian harinya. Saudara Tiat, kalau kau cuci tangan tidak mau mencampuri urusan ini, itu terserah padamu sendiri. Aku cuma minta satu hal, Yaya tidak seharusnya turut tersangkut dalam persoalanku ini. Aku boleh binasa di tangan Touw Goan, tetapi aku minta supaya kau mau melindungi jiwa Yaya.”

Dengan suara lantang Tiat Ceng bertanya:

“Bagaimana kau tahu kalau orang ini tidak menyamar? Dan apakah sebabnya pula orang ini hendak membunuhmu?”

Touw Goan berkata sambil tertawa terbahak-bahak:

“Kalau aku bukan keturunan keluarga Touw, bagaimana dengan tanpa sebab aku membunuh ayah bundanya? Ibunya bocah ini, Ong Yan Ie, adalah musuh besarku yang dahulu membunuh mati ayahku dan empat paman dan mamangku. Aku cuma membunuh ayah dan ibunya dua orang saja, masih belum cukup untuk melampiaskan kebencian dalam hatiku. Kalau aku sekarang membunuhnya mati, rasanya juga tidak keterlaluan!”

Tiat Ceng kini baru sadar, dalam hatinya berpikir: Pantas Can toako tidak mau mengabarkan kematian ayah bundanya kepada ayah, kiranya karena kekuatiran ini. Jadi ia ingin menjadi satu laki-laki sejati yang berjiwa besar, tetapi ternyata terlalu salah besar mengukur diriku.

Dua saudara Tiat adalah orang-orang tingkatan muda, pikirannya sudah tentu berlainan dengan orang- orang tingkatan tua sebagai Thie Sui. Segala permusuhan dan budi-baik yang terjadi antara tingkatan tua, mereka hanya menganggapnya sebagai kisah saja, tidak terlalu dibesar-besarkan. Apalagi Tiat Mo Lek juga pernah berkata kepada mereka, permusuhan antara keluarga Touw dan keluarga Ong, sebetulnya hanyalah karena berebutan pengaruh dan harta kekayaan dunia, susah dikatakan siapa yang benar dan siapa yang salah.

Sementara itu perhubungan mereka berdua dengan Can Pek Sin, merupakan sahabat sejak masih kanak- kanak, sudah tentu tidak dapat disamakan dengan segala hubungan dengan orang tingkatan tua yang entah muncul dari mana itu.

Tiat Ceng merasa tergerak hatinya oleh sikap dan jiwa kesatria Can Pek Sin, maka lalu berkata dengan suara nyaring:

“Touw thocu, aku tidak perduli keteranganmu ini benar atau palsu, tetapi Tok-kow tayhiap dan Thie locianpwe yang ada disini, semuanya adalah sahabat-sahabat ayahku. Kalau kau benar-benar adalah saudara angkat dengan ayahku, tidak seharusnya engkau melukai padanya! Tetapi aku juga tidak ingin membunuhmu mati, asal kau segera berlalu dari sini, itu saja sudah cukup! Jikalau tidak...”

“Jikalau tidak bagaimana?”

“Aku boleh menganggapmu sebagai orang tingkatan tua, tetapi pedangku ini tidak mau memandangmu sebagai orang tingkatan tua dariku!”

“Bagus sekali hei perbuatanmu, kau ternyata sudah berani berlaku kurang ajar terhadap orang tingkatan tua!”

“Thie locianpwee dan Tok-kow siok-siok yang ada disini adalah orang-orang tingkatan tua bagiku, tetapi kau telah melukai mereka, dalam hal ini kaulah yang berlaku salah terlebih dahulu. Mengapa kau masih mau sesalkan aku berlaku kurang ajar?”

Tiat Leng yang khawatirkan keselamatan Can Pek Sin, ingin buru-buru mengusir pergi orang she Touw itu, maka lantas berkata kepada saudaranya:

“Koko, perlu apa banyak bicara dengannya? Ia tidak mampu melawan kita, sekarang hendak mengaku sebagai orang tingkatan tua kita, tetapi aku tidak sudi mengakui paman semacam dia itu.”

Gadis cilik itu sambil bicara, pedang di tangannya juga tidak mau diam, dengan menggunakan serangan- serangan yang mematikan ia menyerang musuhnya.

Tiat Ceng lalu berkata:

“Kalau kau tidak lekas pergi, aku akan berlaku tidak malu-malu lagi kepadamu!”

Ia segera keluarkan kepandaian ilmunya meringankan tubuh, dengan gerakannya yang sangat lincah, menghujani serangan gencar terhadap Touw Goan.

Dengan kepandaian yang dipunyai oleh Touw Goan, tidak mudah untuk menjatuhkan dua lawannya yang masih muda belia itu, tetapi dua saudara itu juga sulit merebut kemenangan dari tangan Touw Goan. Untuk mendapat keputusan siapa yang menang dan siapa yang kalah, sedikitnya harus seribu jurus ke atas, tetapi Touw Goan lebih dulu sudah bertempur setengah jam lebih dengan Thie Sui berempat, tenaganya sudah terhambur tidak sedikit. Dan kalau hendak bertempur lagi secara mati-matian dengan dua saudara Tiat itu, sudah tentu kekuatan tenaganya tidak dapat menuruti keinginan hatinya.

Karena khawatir Can Pek Sin dan Tok-kow U yang sudah mulai pulih tenaganya nanti turut bertindak, maka Touw Goan terpaksa mengambil keputusan hendak kabur.

Tiat Ceng melihat gelagatnya orang she Touw yang ingin melarikan diri itu, juga tidak menghalangi.

Kepandaian oiang she Touw itu ternyata cukup tinggi, meski sudah bertempur sekian jam lamanya, tetapi gerakannya masih sangat gesit, dengan satu gerakan ia sudah lompat melesat melalui dinding tembok pekarangan. Tiba di luar tembok mulutnya masih mengeluarkan perkataan besar:

“Dua bocah yang tidak tahu diri, hari ini aku membiarkan kalian merasa bangga dulu, aku hendak mencari Tiat Mo Lek untuk membuat perhitungan!” “Tidak tahu malu, masih berkata membiarkan kita merasa bangga dulu. Baiklah, kau mencari ayahku untuk membuat perhitungan! Hm, kalau ayah tahu bahwa kau telah membunuh mati paman dan bibi Can, apa kau kira ia akan lepaskan kau begitu saja?” berkata Tiat Leng sambil tertawa geli.

Tiat Ceng Lalu berkata:

“Jangan perdulikan manusia macam itu, mari kita lihat Thie kong-kong, bagaimana keadaan lukanya?” Can Pek Sin membimbing Thie Sui, ia berkata:

“Saudara Tiat, hari ini untung kalian telah tiba dalam waktu yang tepat, aku, aku tidak tahu bagaimana harus menyatakan terima kasihku kepada kalian.”

“Kau berkata demikian, agaknya berlaku terhadap orang luar saja. Ayah rindu sekali terhadap kau, sehingga memerintahkan kita untuk mencari dan menengokmu. Harap kau tidak anggap kita sebagai orang luar.”

Thie Sui merasa menyesal, ia tidak menyangka bahwa dalam pertempuran sengit untuk mempertahankan harta bendanya, kesudahannya ternyata di luar dugaannya sama sekali! Jika diingat bagaimana perasaannya sendiri tadi, yang mencurigakan sikapnya dua saudara Tiat, kini ia merasa sangat malu terhadap dirinya sendiri.

Tok-kow U saat itu sudah terbebas totokannya, ia mengucapkan terima kasih kepada kakak beradik itu.

Lauw Cin yang lukanya paling parah, tidak bisa berjalan, hingga menyuruh anaknya yang menghaturkan terima kasih kepada dua saudara Tiat itu.

Tiat Ceng merasa agak heran, ia menanya Tok-kow U:

“Tok-kow siok-siok, bagaimana kau tahu Touw Goan datang kemari untuk menuntut balas? Hingga perlu bantuan? Apakah lantaran hendak menengok Thie locianpwee, hingga secara kebetulan berjumpa dengannya? Dan siapakah jiwie ini?”

Ditanya demikian, Tok-kow U merasa malu terhadap diri sendiri, ia dengan Thie Sui cuma saling mengenal saja, tidak mempunyai hubungan erat. Ia ada seorang pendekar kenamaan yang tidak mempunyai tetap jejaknya, sudah tentu tidak boleh membohong terhadap orang-orang angkatan muda, maka ia lalu menjawab dengan gugup:

“Dalam urusan ini, hemm, juga boleh dikata kebetulan. Kedua sahabat itu...”

Selagi ia tidak dapat menyebutkan kedudukannya dua sahabatnya itu, Can Pek Sin sudah memberikan keterangannya:

“Jiwie ini adalah keluarga Lauw, mereka bertetangga dengan Yaya. Tok-kow tayhiap adalah sahabat baik empek Lauw, dan sedang datang bertamu di rumahnya. O, ya, empek Lauw lukanya tidak ringan, harap masuk istirahat dulu, nanti kita bicarakan lagi.”

Tiat Ceng yang mendengar keterangan Can Pek Sin, disangkanya mereka itu telah mendengar suara pertempuran, dan datang untuk memberi bantuan.

Ia yang sejak kanak-kanak sudah terdidik baik oleh ayahnya, setelah dewasa, juga mempunyai jiwa sebagai satu kesatria, yang suka menolong sesamanya dan suka bersahabat. Ketika melihat Lauw Bong patah sebelah lengannya, lekas-lekas berkata padanya:

“Lauw toako, lenganmu ini harus lekas disambung. Mari, aku tolong sambungkan. Can toako, tolong kau carikan sepotong kayu.”

Kepandaiannya menyambung tulang patah pemuda itu, didapat dari pelajaran suhunya Khong-khong Jie, yang merupakan satu pencopet sakti. Meski ia bukan satu ahli dalam hal pengobatan, tetapi ilmunya menyambung tulang patah, boleh dikata sudah tidak ada tandingannya. Sama mahirnya dengan ilmunya meringankan tubuh. Dengan cepat ia sudah berhasil menyambung tulang lengan Lauw Bong yang patah.

Lauw Bong memandang sejenak kepada Can Pek Sin, ia seperti ingin mengatakan sesuatu kepadanya, tetapi akhirnya diurungkan. Can Pek Sin lalu berkata padanya:

“Lauw toako, siaotee merasa sangat malu.”

Karena lengan pemuda itu telah patah ditangannya, maka ia merasa tidak enak, ketika menyaksikan sikap Lauw Bong, ia lalu mengucapkan perkataan penyesalan seperti di atas. Tetapi tidaklah demikian dengan Lauw Bong, apa yang dipikirkan sebetulnya adalah soal lain. Maka itu, ketika mendengar ucapan Can Pek Sin, ia lalu menyahut sambil tundukan kepala:

“Tidak, yang merasa malu seharusnya adalah aku!”

Mendengar percakapan antara dua pemuda itu, Tiat Ceng sangat heran, tetapi ia tidak berani menanyakan.

Lauw Bong menoleh dan berkata padanya dengan suara perlahan: “Terima kasih.” Lauw Cin tiba-tiba berkata:

“Bong-jie, apa kau bisa berjalan?”

“Aku tidak terluka parah, berjalan saja sudah tentu bisa.” “Baiklah, sekarang kau gendong aku.”

Lauw Bong menurut, Lauw Cin suruh ia bawa ke depan Thie Sui. Thie Sui berkata kepadanya dengan suara keras dan mata mendelik:

“Lauw Cin, kau mau apa? Aku beritahukan padamu, kita bagaikan jembatan dan jalanan, jembatan tinggal jembatan, jalanan tinggal jalanan, tidak mungkin bersatu. Kau jangan kira karena semalam pernah bergandengan tangan menghadapi Touw Goan, kau lalu menganggap boleh pinjam jembatan untuk meratakan jalanmu.”

Thie Sui ternyata masih mendendam perasaan sangat benci terhadap Lauw Cin dan anaknya yang telah memancing Thie Po Leng untuk melakukan perbuatan terkutuk itu, maka ucapannya itu sangat pedas, tanpa tedeng aling-aling.

Can Pek Sin sebetulnya hendak berusaha agar kedua keluarga itu hidup damai, tetapi ketika menyaksikan sikap Yayanya yang begitu keras, ia tidak berani mengutarakan pikirannya lagi.

Lauw Cin menjawab dengan nada suara dingin:

“Aku bukan ingin berdamai denganmu, juga bukan mengajakmu bertanding lagi. Kau Thie lo-enghiong tidak pandang mata kepada kita, kita juga tidak berani coba mengikat tali persahabatan dengan kau. Soal semalam telah gagal, untuk selanjutnya kita juga tidak akan datang lagi. Besok kita akan pindah dari lembah Phoan-liong-kok ini, kau boleh merasa puas hatimu. Tetapi, jika kau masih ingin membuat perhitungan, kapan saja kau mencari kita, kita tidak akan mengecewakan kedatanganmu. Apa yang aku hendak beritahukan padamu adalah ini saja, sekarang aku minta diri!”

Dua saudara Tiat sangat heran, tetapi mereka tidak tahu sama sekali pertikaian antara dua keluarga itu, sebagai orang tingkatan muda, sudah tentu tidak boleh campur tangan.

Hati Can Pek Sin sangat kusut, semula ia merasa iri hati terhadap Lauw Bong, tetapi kini karena memikirkan kepentingan enci Lengnya, ketika mendengar Yayanya menggunakan kata-kata kasar untuk memutuskan perhubungan mereka, betapa sedihnya hati enci Lengnya, sudah tidak perlu dikata lagi, yang sudah pasti ialah, enci itu tentu akan membenci padanya selama-lamanya.

Ia ingin memberi tahukan kepada Lauw Bong, bahwa perkataan Yayanya yang mengatakan Thie Po Leng telah membuka rahasia, itu adalah bohong, enci Lengnya itu sebetulnya benar-benar suka kepada pemuda she Lauw itu. Tetapi semua itu tak dapat diutarakan hanya dengan sepatah dua patah kata saja, apalagi di bawah mata Yayanya, bagaimana ia berani mengutarakan pikirannya itu?

Masih ada lagi satu hal, perbuatan Lauw Bong itu sebenarnya juga sangat tercela, ia sebenarnya adalah seorang baik atau jahat, Can Pek Sin sendiri masih belum begitu jelas. Cuma, dari sikapnya semalam yang telah bersama-sama melawan Touw Goan, Lauw Bong juga masih tergolong seorang laki-laki sejati, bahkan masih bisa saling membela.

Can Pek Sin masih dalam keadaan bimbang, sementara itu, Lauw Bong sudah berjalan ke pintu pekarangan sambil menggendong ayahnya. Ia segera memburu dan berkata kepadanya dengan suara rendah:

“Lauw toako, apa kau masih ada perkataan yang aku harus sampaikan kepada enci Po Leng?” Lauw Bong tercengang, dengan menindas perasaan hatinya ia menjawab:

“Aku tidak ada apa-apa yang perlu disampaikan padanya, hanya mengharap supaya kau baik-baik memperlakukannya, untuk selanjutnya, aku juga tidak bisa ketemu lagi dengannya.”

Wajah Can Pek Sin nampak merah, ia berkata kepada diri sendiri: Kalau begitu ia telah salah paham terhadap aku. Dalam keadaan demikian, ia tidak tahu bagaimana harus menjawab.

Sementara itu, Thie Sui sudah berkata kepadanya:

“Mereka bukan merupakan tetamu yang diundang, Siao-sin, kau tidak perlu mengantar!”

Lauw Bong sangat mendongkol, cepat-cepat ia meninggalkan Can Pek Sin dan keluar dari pekarangan rumah keluarga Thie!

Dalam keadaan demikian, Tok-kow U juga merasa tidak enak, maka ia lalu berkata sambil angkat tangan:

“Thie locianpwee, aku tidak mengganggu kau lagi. Tiat hiantit, dihadapan ayahmu, tolong tanyakan kesehatannya. Sekarang aku hendak pergi dulu.”

Thie Sui berkata dengan nada dingin:

“Tok-kow tayhiap, kau adalah seorang pendekar kenamaan di kalangan Kang-ouw, kapan saja kau suka datangi pondokku ini, aku si tua bangka pasti akan menyambut dengan tangan terbuka. Tetapi harap kau jangan datang bersama-sama orang-orang yang tidak karuan, sehingga membuat noda namamu sendiri.”

Wajah Tok-kow U nampak berubah, sahutnya:

“Pemandanganmu dan pemandanganku berlainan. Aku juga ingin menasihatimu, harta yang tidak halal, lebih baik digunakan untuk pekerjaan yang ada manfaatnya bagi masyarakat.”

Thie Sui hanya menyambut dengan tertawa dingin, Can Pek Sin lalu berkata: “Yaya, urusan sudah lalu, jangan kita bicarakan lagi.”

Tok-kow U setelah mengucapkan perkataan tersebut, lalu berlalu dengan hati mendongkol. Tiat Ceng tidak tahu sebab musababnya pertikaian itu, hendak memberi nasihat juga tidak tahu bagaimana harus membuka mulut. Terpaksa berkata:

“Tok-kow Siok-siok, kau tinggal dimana? Besok aku akan datang menengokmu.”

“Kau tidak usah datang mencari aku. Hari ini aku akan pergi, selanjutnya juga tidak akan datang-datang lagi ke lembah Phoan-liong-kok.”

Setelah mengucap demikian, ia berlalu.

Dengan berbagai pertanyaan dalam otaknya, Tiat Ceng menanya kepada Can Pek Sin: “Can toako, apakah artinya ini? Mengapa kalian juga bertengkar dengan Tok-kow U?”

“Panjang ceritanya, mari kita bawa Yaya ke dalam dulu, nanti aku ceritakan,” sahutnya Can Pek Sin sambil tersenyum masam.

Tiat Leng tadi samar-samar mendengar percakapan antara Can Pek Sin dengan Lauw Bong yang di antaranya ada disebut-sebut nama Thie Po Leng. Sebagai seorang gadis tanggung yang baru berusia limabelasan, masih belum mengerti apa artinya pantangan. Ia bertanya:

“O, ya! Can toako, dimana enci Leng-mu? Mengapa kita tidak melihatnya? Di luar kalian bertempur demikian hebat, mengapa ia tidak keluar?”

“Dia, dia sedang menjaga rumah,” jawab Can Pek Sin membohong.

“Aku kira ia sudah keluar. Baiklah, aku justru ingin bertemu dengannya, sudah beberapa tahun kita tidak pernah berjumpa, kepandaian ilmu silatnya barangkali sudah mendapat banyak kemajuan.”

Can Pek Sin melirik kepada Thie Sui, jago tua itu berkata dengan suara duka:

“Apa dia masih ada muka untuk menemui orang? Namun demikian, juga tidak dapat menyembunyikan diri untuk selama-lamanya. Baiklah, kalau kalian hendak melihatnya pergilah.”

Dua saudara Tiat merasa heran, Tiat Ceng yang usianya lebih tua, sedikit banyak sudah dapat menerka sebagian apa sebabnya. Ia cepat-cepat memberi isyarat dengan lirikan mata kepada adiknya, supaya sang adik tidak semaunya saja bertanya-tanya.

Meskipun Thie Sui terluka parah, tetapi kalau dibanding dengan Lauw Cin, masih agak lumayan sehingga tak perlu digendong. Dengan dipepayang oleh Can Pek Sin dan Tiat Ceng, perlahan-lahan mereka memasuki rumah.

Kedukaan Thie Sui tak dapat dilukiskan. Ia sebetulnya tidak menghendaki peristiwa yang memalukan itu terdengar oleh orang luar, tetapi karena dua saudara Tiat itu telah menolong jiwanya, apalagi mereka juga merupakan sahabat baik cucu perempuannya, ia lalu memutuskan tidak akan menutup rahasia terlebih lama lagi.

Tak lama kemudian mereka sudah sampai di kamar Thie Sui. Can Pek Sin yang merasa kasihan terhadap enci Leng nya, dalam hati berpikir: Ia sudah diikat hampir satu malam, entah bagaimana keadaannya!

Cepat-cepat. ia mendorong pintu kamar sambil terseru: “Enci Leng, enci Leng!”

Dalam kamar sunyi senyap, tidak terdengar suara menjawab. Di lantai nampak dua utas tambang, dan daun jendela telah terpentang lebar-lebar! Enci Leng nya sudah tidak ada di situ!

Can Pek Sin berdiri terpaku dengan mulut terbuka lebar dan mata membelalak. Thie Sui pun nampak bingung. Mana ia tahu kemana perginya sang cucu? Dilarikan oleh kawanan penjahatkah? Ataukah dia lari itu atas kemauannya sendiri?

Tiat Leng yang bermata tajam tiba-tiba berkata:

“Thie Yaya, coba kau lihat! Di sini ada dua baris tulisan, yang mirip dengan tulisan enci Leng!”

Dua baris huruf itu ditulis di atas suatu meja yang terletak di dekat pembaringan, dengan warna merah, mungkin ia menulis itu memakai darah jari tangannya sendiri. Begini kira-kira bunyi tulisan itu:

"Aku sudah merasa malu untuk merawati Yaya lagi, kini aku pergi, dan takkan kembali! Anggaplah Yaya tak mempunyai cucu seperti aku ini!"

Di bawahnya lagi terbaca:

"Peluk cium terakhir dari cucumu yang telah mendurhaka, Po Leng" Agaknya Thie Po Leng benar-benar sudah pergi dalam keadaan marah, bahkan sudah bersumpah tidak akan kembali.

Kaburnya Thie Po Leng ini merupakan satu pukulan hebat bagi Can Pek Sin, hampir saja ia tidak dapat berdiri tegak, sementara itu hatinya terus berpikir: Enci Leng tidak meninggalkan sepatah katapun untukku, ia pasti benci sekali padaku.

Thie Sui lebih hebat lagi, orang tua ini berdiri termenung sejak masuk pintu tadi. Tiba-tiba matanya terbeliak, dan berkata: “Budak tidak berbakti itu, baru diumpat sedikit saja, sudah lantas meninggalkan Yayanya yang sudah begini tua!”

Suara jago tua itu agak gemetar, suatu tanda betapa besar kedukaan dalam hatinya dan betapa geramnya ia pada ketika itu. Setelah mengucapkan perkataan demikian mendadak rubuh. Untung rubuhnya cuma di atas pembaringan.

Dalam terkejutnya Can Pek Sin tersadar, ia menyesali dirinya sendiri, mengapa pada saat-saat demikian ia tidak lekas-lekas memberi pertolongan kepada Yayanya.

Pada saat itu, Thie Sui sudah sadar kembali, pertama-tama ia memanggil Can Pek Sin, lalu berkata kepadanya:

“Siao-sin, kemarilah engkau!”

Suaranya masih gemetar, sebelum dapat mengatakan selanjutnya, darah sudah menyembur keluar dari mulutnya, begitu pula luka-luka di badannya yang baru saja diobati, juga mengeluarkan darah, sehingga tempat tidurnya penuh darah.

Sudah bertahun-tahun Thie Sui hidup dengan cucu satu-satunya itu, meski kadang-kadang dicomeli dan dipukul, tetapi betapapun juga, ia masih tetap sayang kepada cucunya itu. Dan sekarang dengan kepergiannya itu, bagaimana tidak membuatnya sangat berduka?

Terutama sikap Thie Po Leng yang tidak melihat padanya ketika sedang bertempur sengit dengan Lauw Cin dan anaknya, andaikata dalam pertempuran itu sang kakek itu binasa di tangan musuhnya, bagaimana?

Tetapi, bagaimana ia tahu pikiran cucunya itu? Yang saat itu sudah menganggap pasti bahwa Can Pek Sin sudah menjual dirinya, ia tahu kepandaian Yayanya tinggi sekali, dalam keadaan sudah siap siaga, sekalipun Lauw Cin dan anaknya tidak binasa, setidak-tidaknya juga akan terluka parah, hingga untuk selanjutnya ia sudah tidak ada harapan untuk bertemu lagi dengan Lauw Bong. Maka perginya gadis itu, sebagian karena merasa malu, tetapi sebagian juga karena sudah merasa putus harapan, hingga tidak perlu berdiam di tempat yang akan meninggalkan kenang-kenangan sedih itu.

Kasihan Thie Sui yang sudah berusia sangat lanjut, telah mendapat pengalaman pahit sedemikian rupa, perasaan sedih, sakit hati, amarah, telah bertumpuk menjadi satu, apalagi barusan mengalami pertempuran hebat yang mengakibatkan luka parah, pukulan bathin itu sangat hebat baginya.

Tiat Ceng yang menyaksikan keaadaan demikian, dengan cepat bertindak, ia menutup seluruh jalan darah Thie Sui yang telah terluka, untuk mencegah supaya darah jangan terlalu banyak mengalir keluar.

Itu adalah ilmu kepandaian tunggal warisan suhunya Khong-khong Jie. Meski darah yang mengalir keluar dari tubuh Thie Sui dapat dicegah, tetapi keadaan Thie Sui sudah nampak sangat payah.

Can Pek Sin sangat bingung, ia membimbing Yayanya seraya berkata:

“Yaya, kau jangan gusar. Beristirahatlah, aku akan pergi mencari tabib.”

Letak lembah Phoan-liong-kok sangat terpencil dengan dunia luar, kota yang terdekat juga masih memerlukan perjalanan seratus lie lebih, untuk mencari seorang tabib, paling cepat juga masih memerlukan waktu satu hari. Tetapi Can Pek Sin mempunyai pikiran lain, ia ingin menuju ke rumah keluarga Lauw, mengharap bisa menemukan Tok-kow U, sehingga bisa diminta bantuannya. Tok-kow U adalah seorang pendekar kenamaan, meskipun bukan seorang ahli tabib kenamaan, tetapi pil ‘Siao-hun-tan’ keturunan keluarganya, manjur sekali untuk menyembuhkan luka dalam. Hanya saja, ia tahu benar sifat Yayanya, yang pasti tidak mau minta pertolongan kepada musuhnya, maka ia mengatakan hendak mencari tabib.

Tetapi Thie Sui tidak mengidzinkan ia pergi, setelah menarik napas dalam, ia berkata dengan suara parau:

“Siao-sin, kau jangan pergi. Aku hendak bicara denganmu, kalau kau tidak dengar pesanku, matipun aku tidak bisa menutup mata!”

Melihat keadaan Yayanya, Can Pek Sin juga merasa khawatir maka terpaksa menurut, ia berkata: “Yaya, beristirahatlah dahulu.”

Thie Sui menggertakkan giginya, dengan suara agak keras ia berkata:

“Aku sudah hidup tujuhpuluh tahun, mati juga sudah tidak mengapa. Kau tidak usah bersedih. Tetapi setelah aku mati, kau harus mencari kembali enci Lengmu.”

“Tidak, Yaya, kau tidak boleh mati, kau juga tidak bisa mati. Kalau sakitmu sudah sembuh, aku nanti akan mencari enci Leng, sekalipun ke ujung langit, aku juga akan mencarinya,” kata Can Pek Sin.

Di bibir jago tua itu nampak senyuman puas, ia berkata:

“Bagus, bagus. Kau adalah seorang anak baik, sayang Po Leng berlaku tidak pantas terhadapmu. Kalau kau berhasil menemukan dia, beritahukan kepadanya, bahwa aku boleh memaafkannya. Tetapi hanya satu hal, dia tidak boleh menikah dengan bangsat kecil itu, jikalau tidak, sekalipun aku sudah menjadi setan, juga akan menyumpahi mereka berdua. Aih, sebaiknya memang kau... Tapi aku tidak dapat memaksa kau.”

Thie Sui benci sekali terhadap Lauw Bong, ia menganggap cucunya sudah mengkhianati dirinya, semata- mata karena atas anjuran pemuda she Lauw itu, maka sampai matipun tidak mau mengampuninya. Dalam hati mengharap agar Can Pek Sin suka mengawini cucu perempuannya itu, tetapi dengan terjadinya peristiwa itu, ia khawatir Can Pek Sin sudah tidak menyukai cucunya itu lagi, maka ia mengucapkan perkataan tidak dapat memaksa.

Sebaliknya dengan Can Pek Sin, ia tidak dapat menyetujui perintah Yayanya itu, dalam hatinya berpikir: Enci Leng begitu cinta kepada Lauw Bong, untuk apa kita menghalangi maksudnya?

Sementara itu, Thie Sui sudah berkata pula:

“Kau mau mendengar perintahku atau tidak? Biar bagaimana, Po Leng tidak kuidzinkan menikah dengan bangsat kecil itu! Kau harus menyampaikan ucapanku ini dengan tanpa perubahan sepatahpun juga!”

Dengan terpaksa Can Pek Sin berkata:

“Aku akan sampaikan pesan Yaya kepadanya. Tetapi, aku harap Yaya lekas sembuh.” Namun dalam hatinya berkata: Andaikata Yaya menutup mata, aku tetap hendak mencari enci Leng, tetapi aku tidak akan campur tangan dalam urusannya.

Thie Sui perkata pula:

“Dan lagi, harta benda peninggalan kakek luarmu itu, aku sudah menjaga selama beberapa puluh tahun, selesailah sudah tugas dan kewajibanku. Kau adalah satu-satunya orang yang terdekat, aku sebetulnya akan menanti sehingga kau dewasa, baru akan kuberikan padamu, tetapi sekarang ternyata sudah tidak sempat lagi. Sungguh durhaka cucuku itu, ia telah bersekutu dengan orang luar, untuk mengarah harta benda kita, maka setelah aku mati, kau harus lekas menyingkirkannya ke lain tempat, kau hendak gunakan untuk apa harta benda itu, terserah kepadamu sendiri, aku juga tidak mau tahu lagi.”

Can Pek Sin teringat karena gara-garanya harta benda itu, sehingga rumah tangga Yayanya berantakan, maka airmatanya lantas mengalir keluar, ia berkata: “Yaya, tentang harta itu tidak ada artinya, yang penting adalah jiwa orang. Yaya, kau harus tenangkan pikiranmu, supaya lekas sembuh.”

Thie Sui menghela napas, dengan suara terputus-putus ia berkata:

“Benar, yang penting adalah jiwa. Siao-sin, aku mengharap kau bisa membangun lagi nama baik, keluargamu, tentang Yayamu, ai, mungkin tidak bisa melihatmu lagi. Tapi kau adalah seorang anak baik, jiwamu juga besar, di alam baka, aku juga merasa tenang.”

Suaranya makin lama makin lemah, akhirnya cuma tinggal napasnya yang juga sudah lemah. Can Pek Sin menubruk sambil berseru: “Yaya, kau tidak boleh tinggalkan aku!”

Thie Sui memegang kedua tangan Can Pek Sin, tiba-tiba ia berkata:

“Ingat, kau harus cari enci Leng mu sampai ketemu!”

Setelah mengucapkan perkataan itu, napasnya kemudian berhenti.

Can Pek Sin menangis tersedu-sedu, mengingat kebaikan Yayanya, yang melebihi kakeknya sendiri, kesedihannya tak dapat dikendalikan lagi.

Tiat Ceng yang menyaksikan kematian seorang jago dari rimba hijau yang begitu menyedihkan, juga turut mengucurkan air mata.

Sementara itu, Tiat Leng lalu berkata:

“Can toako, janganlah menangis saja. Aku lihat tempat ini sudah tidak sempurna lagi untuk tempat tinggalmu, maka sebaiknya pindah saja dari sini, tetapi kalau kau terlalu bersedih sehingga mengganggu kesehatanmu, bagaimana kau bisa jalan?”

Tiat Ceng juga berkata:

“Itu memang benar, Can toako, kau juga harus segera mengatur penguburan jenazah Yayamu.” “Peti mati Yaya siang-siang sudah disediakan, di bawah atap lorong,” berkata Can Pek Sin. “Baiklah, mari ku bantu kau angkat peti mati itu, supaya kita dapat lekas mengubur jenazah beliau.”

Setelah peti mati dipantek, kembali Can Pek Sin menangis bagaikan anak kecil, kembali Tiat Leng berkata padanya:

“Janganlah engkau menangis saja, perutku sudah lapar, ada makanan atau tidak?”

Sebetulnya ia belum begitu lapar, ia hanya ingin mengalihkan perhatian Can Pek Sin supaya jangan menangis saja. Ia adalah seorang gadis yang masih kekanak-kanakan, apa yang dipikir juga tidak terlepas dari pikiran kanak-kanak.

Can Pek Sin yang sudah terlalu letih, mendengar perkataan Tiat Leng, perutnya benar-benar dirasakan sangat lapar. Maka berkatalah:

“Di dapur barangkali masih ada sedikit sayuran, baiklah kulihat dulu. Tetapi aku tidak bisa menanak nasi.”

Berkata sampai di situ, ia lalu teringat kepada enci Leng nya, sebab setiap harinya sang encilah yang mengurus makannya.

“Tidak mengapa, makan saja seadanya, mari aku bantu kau masak sayur,” berkata Tiat Ceng.

Tiga ‘anak besar’ itu lalu membuat makanan sebisanya, meskipun sayurannya setengah matang dan nasinya agak hangus, tetapi biar bagaimana ada yang dimakan. Di waktu makan tengah hari, Can Pek Sin baru mendapat kesempatan untuk menuturkan apa yang telah terjadi dengan Thie Yayanya, kepada dua saudara Tiat.

Mendengar cerita itu, hati Tiat Ceng sangat terharu, ia berkata:

“Tidak kukira kau mengalami kejadian yang tidak enak ini. Lebih-lebih tidak disangka bahwa musuh besarmu itu masih mempunyai hubungan dengan ayah. Tetapi aku mengharap supaya kau jangan banyak curiga. Ayah adalah seorang yang paling adil, aku berani tanggung ayah tidak akan membantu pihaknya Touw Goan, sekalipun masih ada hubungan kekeluargaan dari tingkatan tua mereka. Pesan ibumu di saat terakhir, sebetulnya juga terlalu berlebihan.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar