Jiwa Ksatria Jilid 01

 
Udara cerah, angin gunung bertiup sepoi-sepoi. Di bawah kaki gunung Hok-gu-san terlihat seorang anak muda menunggang seekor kuda, agaknya ia sedang melakukan perjalanan jauh.

Lereng gunung Hok-gu-san bentuknya bagaikan ular menggelosor, panjangnya kira-kira beberapa ratus lie, letaknya di tanah datar propinsi Ho-lam, dari sebelah barat membujur ke timur. Tapi pemuda yang  disebutkan di atas tadi, sebaliknya larikan kudanya dari arah timur menuju ke barat.

Pemuda itu berusia kira-kira delapanbelas tahun, mukanya tampan dan gagah, kudanya juga ada seekor kuda pilihan. Meski udara baik, tapi sayang hatinya anak muda itu agaknya kesepian. Dari air mukanya telah terlihat, bahwa pada saat itu ia seperti sedang diliputi kedukaan.

Melihat ke atas gunung dari jauh cuma sebagai selaput putih yang remang-remang karena tertutup kabut tebal, tapi di mata pemuda tersebut pemandangan itu seperti barisan kuda yang sedang berlari-larian di medan laga.

Lima tahun berselang, di atas gunung Hok-gu-san itu, pernah diadakan pertemuan para orang gagah di seluruh negeri, kemudian mengangkat Tiat Mo Lek sebagai ‘Beng-cu’ atau pemimpin golongan rimba hijau.

Waktu itu pemuda tersebut masih kanak-kanak, tapi ayah bundanya telah mengajaknya pergi ke pertemuan tersebut.

Lima tahun tidak terhitung panjang, tapi juga tidak terhitung terlalu pendek, namun bagi pemuda itu, gunung Hok-gu-san ini ternyata sudah mengalami banyak perobahan. Para jago atau orang-orang gagah pada waktu itu sudah berpencaran entah ke mana, sedang pemuda itu sendiri sudah kehilangan ayah bundanya.

Beberapa kali pemuda itu ingin putar balik kudanya, ingin naik ke atas gunung untuk pergi menengoki, tapi akhirnya maksudnya diurungkan. Ia bertanya kepada diri sendiri sambil menghela napas: “Entah paman Tiat masih berdiam di atas gunung itu atau tidak? Setelah pertemuan waktu itu, pemerintah agaknya merasa khawatir, maka lantas kirim pasukan dari Tiong-ciu dan Peng-lo untuk mengepung. Kabarnya orang-orang gagah waktu itu sudah pada pulang, tapi di atas gunung itu masih ada kawanan rimba hijau yang mempunyai kedudukan kuat, hingga pasukan pemerintah itu terpukul mundur. Tapi apakah mereka tidak akan kembali lagi? Ng, paman Tiat ada begitu baik terhadapku, aku yang kebetulan lewat di tempat ini, seharusnya pergi menengokinya. Tapi, ah...!”

Mendadak ia ingat pesan ibunya ketika hendak menutup mata: ‘Aku tidak idzinkan kau menuntut balas untukku kepada orang lain, kau cuma boleh mengatakan bahwa aku meninggal dunia karena sakit mendadak. Tiat Mo Lek ada beng-cu golongan rimba hijau, ia juga sahabat karib ayah ibumu, tapi dalam urusan ini sekali-kali tidak boleh kau mengandalkan padanya! Aku mau kau ingat selalu pesanku ini, terhadapnya juga tidak terkecuali! Sebaiknya kau belajar beberapa tahun lagi, baru pergi menjumpai padanya.’

Memikir sampai di situ, pemuda itu mengucurkan airmata. Ia sama sekali tak mengerti apa sebenarnya maksud sang ibu memesan demikian. Setelah meninggalkan pesannya yang terakhir itu, sang ibu lantas menutup mata untuk selamanya, hingga ia tidak sempat menanyakan sebab musababnya!

Walaupun dalam hatinya masih tidak habis mengerti atas pesan ibunya itu, tapi ia tetap mematuhi pesan ibunya yang terakhir itu. Maka ia telah mengambil keputusan tidak akan pergi menengoki paman Tiat-nya di atas gunung itu.

Pemuda itu selagi masih berada dalam keadaan melamun, tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda, dari arah depan ada dua penunggang kuda sedang lari mendatangi. Penunggangnya ada sepasang muda-mudi, yang laki-laki usianya kira-kira sebaya dengan ia sendiri, sedang yang perempuan nampaknya lebih muda ditaksir kira-kira baru limabelasan. Sifat kekanak- kanakannya masih belum hilang, rambutnya dikuncir menjadi dua dan diikat dengan sutra merah.

Pemuda itu melengak, sepasang matanya terus mengikuti jejak si nona kecil itu.

Kuda itu lari cepat sekali, sebentar saja sudah melalui depan matanya. Gadis tanggung itu nampaknya dapat lihat sikap pemuda itu, ia agaknya merasa kurang senang, maka lantas monyongkan mulutnya yang kecil mungil, sambil matanya melototi padanya.

Pemuda itu baru tersadar, tapi kedua ekor kuda itu sudah lari jauh, lapat-lapat terdengar suara gadis kecil itu yang berkata: “Koko, kau sabar sekali! Hm, jikalau ketemu suhu, barangkali sudah dikorek kedua biji matanya!”

Pemuda yang disebut koko itu lantas berkata:

“Suhumu tokh tidak jahat?”

“Tidak jahat? Apa kau tahu kisahnya di masa mudanya?”

Baru bicara sampai di situ, mereka lantas dengar suara derap kaki kuda. Ternyata pemuda yang tersebut duluan itu sudah putar kudanya dan kini sedang dilarikan ke arah mereka.

Gadis tanggung itu kerutkan keningnya, mendadak ia hentikan kudanya dan membentak: “Kau ini mau apa?”

“Aku, aku..., oh! Tidak apa-apa, aku hanya... sedang melakukan perjalanan!” jawab pemuda itu dengan suara gelagapan.

“Melakukan perjalanan? Hhm, mengapa kau balik lagi?” “Ini, ini..., aku hanya...”

Entah dibikin takut oleh sikapnya si nona yang galak, atau karena sedang memikirkan apa-apa, kata- katanya masih tetap gelagapan, tidak bisa memberikan keterangan yang sebenarnya.

Kakak si gadis kecil itu juga merasa bahwa anak muda di depan matanya itu kelakuannya agak kurang sopan, jawabannya saling bertentangan.

Gadis kecil itu berkata pula sambil ketawa dingin:

“Kau kata sedang melakukan perjalanan? Hm, nyata kau sedang mengikuti jejak kita, tentu kau ada seorang jahat! Apa kau kira kita ini ada orang-orang yang mudah diperlakukan sembarangan? Lekas pergi!”

Diperlakukan demikian, pemuda itu agaknya mendongkol, katanya:

“Jalan ini tokh bukannya jalanmu, kalau aku suka segera balik, perlu apa harus memberitahukan padamu sebab musababnya?”

Sedangkan dalam hatinya diam-diam berpikir: Nona ini kenapa begini galak? Mungkin aku benar-benar kesalahan mata.

Belum lagi lenyap pikirannya, nona kecil itu mendadak ayun tangannya, pisau belati melayang ke arahnya, dan terdengar pula suara bentakannya: “Aku suruh kau pergi, kau harus pergi!”

Dengan satu gerakan yang bagus sekali, pemuda itu menyamplok belati-belati terbang dengan pecutnya. Si pemuda mengetahui juga bahwa nona kecil itu tidak bermaksud melukai dirinya, hanya menggertak saja. Ketika belati terbangnya tersampok, si nona jadi gusar. “Bagus!” ia berseru, “Aku mau coba-coba kepandaianmu!”

Kembali ia ayun tangannya, dan kali ini sekaligus menyerang dengan tiga buah belati terbang, yang ditujukan kepada pemuda dan kudanya.

Pemuda itu tidak takut, ia cuma khawatirkan kudanya. Belati itu dengan cepat melayang ke arahnya. Reaksinya juga cepat, tatkala belati terbang melayang, ia segera lompat dari tempat duduknya sambil menghunus pedangnya hendak menangkis tiga belati itu, kemudian ia lompat turun ke tanah. Semua gerakan itu sekaligus dilakukan dengan gayanya yang manis sekali hingga menarik perhatian kakak si gadis cilik.

Gadis cilik itu juga lompat turun dari atas kudanya, ia berkata sambil ketawa dingin:

“Apa kau hendak pertontonkan kepandaian ilmu pedangmu? Baik, aku hendak mengadu ilmu pedang denganmu!”

Dalam hati pemuda itu lantas berpikir: Kau lebih dulu menyerangku dengan belati terbang masa aku tak boleh keluarkan pedang untuk menangkis? Mana boleh kau katakan aku pertontonkan ilmu pedangku?

Sekonyong-konyong ujung pedang si nona sudah mengancam dirinya, maka sudah tidak ada kesempatan untuk memberi keterangan.

Berulang-ulang pemuda itu diperlakukan demikian kasarnya, akhirnya hilang kesabarannya. Pikirnya, melihat kau masih kanak-kanak aku tak perlu meladenimu. Tapi sikapmu terlalu jumawa, mau tidak mau aku harus beri sedikit pelajaran padamu.

Ia segera kerahkan kekuatan tenaganya ke ujung pedang, maksudnya hendak menabas kutung pedang si nona.

Di luar dugaannya, ilmu pedang nona kecil itu aneh sekali. Semula ia menikam ke arah dada, tapi di tengah jalan mendadak berobah arahnya dari tempat yang tidak dapat diduga oleh lawannya, menusuk ke tempat yang kosong.

Si pemuda terperanjat. Buru-buru ia menggunakan gerak tipunya ‘Naga melingkar memutar ekor’, pedang panjangnya membuat satu lingkaran untuk melindungi tempat yang kosong itu. Dengan jalan demikian, terhindarlah ia dari serangan si nona.

Nona itu tidak tinggal diam, serangannya semakin gencar. Ilmu pedangnya ternyata terdiri dari golongan lunak, tapi dalam kelunakannya itu ada mengandung keras. Inilah yang susah dijaga.

Pemuda tersebut agaknya kewalahan juga, kini ia baru tahu bahwa nona kecil itu ternyata sangat lihay ilmu pedangnya. Dalam hatinya ia berpikir: Aku kira dengan kepandaianku yang diturunkan oleh ayah dan ibuku sudah cukup untuk menghadapi tokoh-tokoh kuat dalam dunia Kang-ouw ini. Siapa nyana seorang nona kecil saja kepandaiannya sudah demikian lihaynya? Hm, kalau terhadap seorang nona kecil saja aku masih belum mampu menjatuhkan, bagaimana aku bisa terjun ke dunia Kang-ouw?

Oleh karena itu, maka kini ia tidak berani pandang ringan lawannya lagi, ia pandang nona kecil itu sebagai lawan sederajatnya dan menghadapinya dengan lebih hati-hati.

Walapun demikian, ia juga cuma mampu menangkis, sebab gerak tipu yang digunakan oleh nona itu, ia belum pernah melihatnya, apalagi menghadapinya. Selain daripada itu, lawannya juga merupakan seorang nona yang usianya masih jauh lebih muda daripada usianya sendiri, taruh kata ia menang, baginya juga tidak dapat dibuat bangga, apalagi kalau kalah. Maka sedikit banyak ia merasa khawatir juga.

Selagi pertandingan berlangsung seru, terdengar suara bentakan si nona. “Lepaskan pedangmu!”

Pedangnya membabat pergelangan tangan si pemuda. Pemuda itu kibaskan tangannya, hanya lengan bajunya yang kena dibabat, untung ia menyingkir dengan cepat, hingga pedangnya tidak sampai terlepas dari tangannya.

Mengalami kerugian itu, wajah si pemuda merah padam, mendadak ia juga keluarkan bentakan keras: “Lepaskan pedangmu!” Badannya melesat tinggi, dengan satu gerakan bagaikan burung elang menerkam kelinci, menyambar tangan si nona dari tengah udara.

Si nona itu juga belum pernah melihat gerakan yang sangat hebat ini, ia terperanjat. Tiba-tiba pergelangan tangannya dirasakan kesemutan, pedangnya sudah terpukul jatuh oleh pemuda itu.

Kakak si nona itu lantas berseru: “Jangan berlaku terlengas!” lantas badannya melesat tinggi, menyambuti serangan pemuda itu dengan tangannya.

Pemuda yang tersebut duluan itu mundur terhuyung-huyung sampai lima langkah, baru berdiri tegak, sedang kakak si nona cuma mundur tiga langkah.

Pemuda itu terkejut, bukan saja karena kekuatan dan kepandaian kakak si nona itu lebih tinggi dari padanya, tapi kekuatan tangan dan gerakannya itu agaknya ia sudah pernah mengenalnya juga.

Dalam kagetnya ia lantas menegur: “Kau, apa kau...” Tapi sudah didahului oleh kakak si nona:

“Apa kau bukan Can toako? Siaotee adalah Tiat Ceng.”

Pemuda itu terkejut dan merasa girang, selekasnya ia menjawab:

“Aku adalah Can Pek Sin. Nona ini tentunya ada adik Tiat Leng? Ah, aku telah mengganggu perjalanan kalian kakak beradik, benar-benar aku tidak enak!”

Kakak beradik itu adalah Tiat Ceng dan Tiat Leng, anak laki-laki dan anak perempuan Tiat Mo Lek. Ayah Can Pek Sin adalah Can Goan Siu, ibunya bernama Ong Yan Ie. Ayah bunda Can Pek Sin ada sahabat karib Tiat Mo Lek.

Tatkala Can Pek Sin berusia duabelas tahun, ia pernah ikut ayah bundanya mengunjungi Tiat Mo Lek di gunung Hok-gu-san, yang kebetulan diadakan pertemuan para jago-jago seluruh negeri, pada waktu itu Tiat Mo Lek diangkat sebagai ‘Beng-cu’.

Kedua kalinya Can Pek Sin ke Hok-gu-san, juga bersama ayah bundanya, waktu menghadiri pesta nikahnya Toan Khek Gee. Dari dua kali kunjungannya ke gunung Hok-gu-san, ia berdiam di sana hampir satu bulan lamanya, dan selama itu ia berkawan dengan dua saudara Tiat, setiap hari melatih ilmu silat bersama-sama.

Sehabis pesta perkawinan Toan Khek Gee, Tiat Mo Lek lantas menyuruh putranya berguru kepada kakak seperguruan dari Toan Khek Gee, yakni Khong-khong Jie, puterinya kepada Sin Cie Kow, isterinya Khong- khong Jie. Sejak Khong-khong Jie dan isterinya membawa kedua saudara Tiat ini berkelana, Can Pek Sin baru bertemu lagi dengan mereka kali ini.

Tiat Ceng lebih muda satu tahun daripada Can Pek Sin, Tiat Leng lebih muda tiga tahun. Lima tahun mereka berpisahan, sekarang masing-masing sudah menjadi dewasa.

Anak-anak dalam masa remaja demikian, pertumbuhan badannya sangat cepat, terutama Tiat Leng, yang waktu itu masih merupakan satu anak kecil suka bermain, dan bentuk badannya serta tingginya berbeda jauh dengan Can Pek Sin, kini sudah merupakan satu gadis tanggung, yang tinggi badannya hampir sama dengan Can Pek Sin. Maka ketika Can Pek Sin pertama melihat padanya, meski merasa pernah kenal, tapi tidak berani meyakinkan!

Oleh karena dahulu mereka pernah melatih ilmu silat bersama-sama, maka tatkala Can Pek Sin menggunakan tipu silatnya ‘Ngo-khim-ciang’ keturunan keluarga Can untuk merebut pedang Tiat Leng, Tiat Ceng segera mengenalinya. Tiat Ceng juga menggunakan tipu silat keluarga Tiat, ‘Hui-liong-ciang’, yang dahulu pernah berlatih bersama-sama dengannya, untuk menyambuti serangan tangan Can Pek Sin. Tapi ilmu silat yang digunakan oleh Tiat Leng, adalah ilmu pedang pelajaran Sin Cie Kow, yang belum pernah dikenal oleh Can Pek Sin.

Pertemuan di luar dugaan itu, sudah tentu menggirangkan mereka. Tiat Leng yang adatnya seperti ayahnya, polos dan gembira, ketika mendengar perkataan Can Pek Sin, lantas berkata,

“Ini tidak bisa salahkan kau, tentunya kau tadi sudah sangsikan kami dan tak berani perkenalkan diri. Rupa-rupanya kau tadi mau menyelidiki kami lebih dulu? Kalau begitu, justru aku yang harus minta maaf padamu, karena aku sudah menganggap kau sebagai pemuda ceriwis, yang ‘mengincar’ diriku. Ha ha, apakah kau tidak sesalkan perbuatanku?”

Usia Tiat Leng kalau mau dikata sudah dewasa, juga belum dewasa, mau dikata masih kanak-kanak, tapi juga bukan kanak-kanak lagi, namun demikian, ia masih belum mengerti betul apa artinya malu.

Suhunya, Sin Cie Kow, juga ada seorang perempuan polos yang tidak memandang soal-soal peradatan. Ia sudah lima tahun lamanya mengikuti suhunya, sedikit banyak ‘ketularan’ perangai suhunya itu, bicaranya terus terang tanpa tedeng aling-aling. Perkataan yang terus terang dan mengenakan isi hati pemuda itu, membuat si pemuda merasa jengah.

Tiat Ceng lalu menegur adiknya sambil ketawa:

“Anak perempuan bagaimana bicara seenaknya saja?”

“Engko Can tokh bukan orang lain, takut apa?” jawabnya sang adik membandel. “Meski bukan orang lain, kau juga harus mengerti sedikit aturan.”

Tiat Leng dengan sikapnya yang dibikin-bikin, hingga nampaknya sangat lucu, memberi hormat kepada Can Pek Sin seraya berkata:

“Numpang tanya apakah engko Can hendak pulang? Apakah ayahku ada di gunung?” Hati Tiat Ceng merasa mangkal, ia benar-benar tidak berdaya terhadap adiknya.

“Dasar anak nakal! Aku suruh kau mengerti aturan, juga tidak perlu sampai sedemikian rupa. Sudah tentu Can toako hendak pulang, apa masih perlu ditanya lagi? Kebetulan kita boleh pulang bersama-sama. Ng, lima tahun kita tidak berjumpa, kepandaianmu tentunya sudah mendapat banyak kemajuan? Kali ini biar bagaimana kau harus tinggal beberapa hari di atas gunung, agar kita mendapat banyak waktu untuk melakukan latihan bersama-sama,” katanya sang kakak.

Pada lima tahun berselang, keluarga Can sebetulnya berdiam di bagian depan dari gunung Hok-gu-san, karena lereng gunung itu panjangnya beberapa ratus lie, dari tempat kediaman Tiat Mo Lek masih juga memerlukan perjalanan tiga hari lamanya.

Tiat Mo Lek sebenarnya berdiam di gunung Kim-kee-nia, kemudian baru pindah ke gunung Hok-gu-san. Setahun kemudian, keluarga Can telah pindah ke lain tempat, maka hanya dua kali saja Can Pek Sin pernah datang ke gunung itu.

Ketika mendengar pertanyaan Tiat Leng hati Can Pek Sin sangat berduka, ia lantas menjawab dengan muka murung.

“Rumahku sudah tidak ada lagi, sudah lama kita pindah dari gunung Hok-gu-san. Kepergianku ini sebetulnya hendak mencari tumpangan di rumah Siok-cow (kakek), maafkan aku tidak dapat mengawani kalian berjalan bersama-sama.”

“Apa? Kalian sudah lama pindah? Aku pernah dengar ibu berkata, ayah bundamu adalah sahabat baik ayah, aku mengira kalian bisa berdiam di atas gunung untuk membantu ayah. Kenapa pindah? Apakah ini... ini...” Sebetulnya Tiat Leng sudah akan mengatakan: “Apakah ini merupakan satu perbuatan yang tidak cukup setiawan?” Oleh karena mengingat tidak boleh berlaku tidak sopan terhadap orang tingkatan tua, maka perkataannya itu ditelan kembali.

Can Pek Sin geleng-gelengkan kepala, berkata sambil menghela napas:

“Aku tidak tahu. Aih, andaikata kita tidak pindah, dan tinggal berdekatan dengan markas besar di gunung, tentunya tidak sampai...”

Berkata sampai di situ, mendadak ia ingat pesan ibunya, yang tidak boleh memberitahukan hal kematiannya itu kepada Tiat Mo Lek, maka ia tidak melanjutkan kata-katanya.

Tiga muda mudi itu tidak tahu menahu bahwa ibu Can Pek Sin di masa mudanya pernah mengadakan perhubungan asmara dengan Tiat Mo Lek, walaupun kemudian tidak sampai terangkap jodoh dan masing- masing sudah menikah dengan orang lain, walaupun Tiat Mo Lek serta Can Goan Siu ada laki-laki berjiwa kesatria, tapi bagi Ong Yan Ie, sedikit banyak masih merupakan satu ganjalan dalam hatinya, juga karena untuk menjaga kerukunan rumah tangga dari kedua belah pihak, maka setelah selesai pertemuan para jago dan setelah menghadiri pesta perkawinan Toan Khek Gee, ia lantas ajak suaminya pindah ke lain tempat.

Tiat Ceng yang berpikiran lebih halus, ketika mendengar perkataan Can Pek Sin yang mengandung arti, lantas terperanjat. Buru-buru ia menanya:

“Can toako, apa kau katakan tadi? Bagaimana dengan rumah tanggamu?”

“Ayah ibuku sudah meninggal dunia, cuma tinggal aku seorang diri, bagaimana bisa disebut rumah tangga?” jawabnya Can Pek Sin yang segera mengucurkan airmata.

Tiat Ceng terkejut, lalu menanya,

“Apa? Paman dan bibi sudah meninggal dunia semuanya? Bagaimana cara meninggalnya?” Tiat Leng juga menanya dengan perasaan heran:

“Ayah ibumu sebaya usianya dengan ayah ibu kami, paling banyak baru empatpuluhan. Bukankah badan dan kesehatan paman dan bibi selama ini ada baik? Apa sebabnya secara mendadak mereka meninggal dunia?”

Dengan menindas perasaan sedihnya Can Pek Sin menjawab:

“Cuaca bisa berobah sewaktu-waktu, begitu pula dengan peruntungan dan kematian manusia. Ayah dan ibuku karena diserang penyakit mendadak, dalam satu malam saja keduanya telah meninggal dunia.”

“Toako, barusan kau berkata, andaikata kalian terus berdiam di atas gunung, barangkali tidak sampai kehilangan ayah bundamu. Apakah artinya ini? Kalau demikian halnya, maka kematian paman dan bibi itu, apakah..., apakah ada menyelip...” berkata Tiat Ceng. 

Pemuda itu usianya lebih tua berapa tahun daripada adiknya, ia bisa menggunakan pikiran. Ketika mendengar perkataan Can Pek Sin tadi, dalam hati lantas timbul kecurigaannya.

Kembali Can Pek Sin harus menindas perasaan sedihnya, ia menjawab:

“Sebetulnya tidak ada apa-apa yang perlu dirahasiakan, andaikata kita terus berdiam di atas gunung, dan To Kong-kong tinggal bersama-sama, penyakit ayah dan ibu pasti dapat disembuhkannya, belum tentu sampai tidak tertolong. Sayang kita berdiam di perkampungan yang sunyi mencil, apabila diserang penyakit, satu tabib pun tidak dapat dicari.”

‘To Kong-kong’ yang disebutkan oleh Can Pek Sin, adalah To Pek Ing yang mempunyai gelar pedang emas dan kantong hijau, ia adalah sahabat karib ayah Toan Khek Gee, Toan Kui Ciang, di masa masih hidupnya, lebih tua setingkat dari Tiat Mo Lek. Ia bukan saja mahir dalam ilmu pedang, tapi juga ahli dalam pengobatan. Selama itu ia membantu Tiat Mo Lek mengurus persoalan golongan rimba hijau. Can Pek Sin ingat pesan ibunya, ia tidak mau memberitahukan sebab musabab dari kematian ayah bundanya kepada dua saudara Tiat itu, maka ia ingat kepada orang itu dan digunakan sebagai alasan untuk menjawab pertanyaan Tiat Ceng.

“Can toako tidak usah berduka, kau sudah tidak mempunyai rumah tangga lagi, baiklah ikut saja dengan kami ke atas gunung. Keluargamu dengan keluarga kami merupakan sahabat paling karib, maka rumah tangga kami juga merupakan rumah tanggamu,” berkata Tiat Leng.

“Ialah, ayahmu dengan ayahku bersahabat baik. Kau dengan aku juga sudah seperti saudara sekandung. Kau jangan pergi kemana-mana, marilah tinggal bersama-sama kami,” berkata Tiat Ceng.

“Terima kasih atas kebaikan kalian berdua. Tapi ayah ibuku di waktu hendak menutup mata telah berpesan padaku, suruh aku menumpang kepada siok-cow, katanya aku harus berdiam di sana untuk sementara waktu, lalu aku bisa pergi menengok kalian,” jawab Can Pek Sin.

“Apakah siok-cowmu itu adalah...” bertanya Tiat Ceng.

“Dia adalah Thie kong-kong yang dulu pernah tinggal bersama-sama kita di waktu masih di gunung Hok- gu-san,” jawab Can Pek Sin.

“Oh, kiranya adalah Thie Sui locianpwee? Apa dia juga sudah pindah rumah?”

“Dia sebetulnya tidak berdiam di atas gunung Hok-gu-san. Karena waktu itu sedang diadakan pertemuan besar antara para jago rimba hijau, maka dia sebagai salah seorang dari angkatan tua, setengah tahun sebelum diadakan pertemuan itu juga sudah ada di atas gunung buat membantu-bantu ayahmu. Setelah pertemuan berakhir, dia pulang ke kediamannya sendiri yang letaknya di salah satu perkampungan dekat lembah Phoan-liong-kok di propinsi Shoa-tang, terpisah dari sini masih kurang lebih ada seribu lie. Aku sekarang hendak menuju ke sana.”

“Mengapa ayah ibumu suruh kau menumpang ke rumah dia? Apa hubunganmu dengan dia lebih erat daripada perhubungan dengan ayahku?”

“Bukan begitu. Thie kong-kong itu dengan kakek luarku di masa hidupnya pernah angkat saudara. Menurut keterangan ibu, pada tigapuluh tahun berselang, kakek luarku juga pernah menjadi ‘Beng-cu’ dari kalangan rimba hijau. Thie kong-kong adalah adik angkatnya, juga menjadi wakilnya, bagaimana perhubu¬ngan mereka dapat kita bayangkan sendiri. Thie kong-kong sudah menganggap ibuku sebagai anak perempuannya sendiri, juga menganggap aku sebagai cucu sendiri. Ibuku mengatakan bahwa perhubungan antara mereka itu sudah dimulai dari masa kakekku. Ibu juga berkata bahwa karena Tiat siok-siok masih kuat tenaganya, sedangkan Thie kong-kong sudah tua dan barangkali sudah tak bisa lama lagi hidup di dunia, maka disuruhnya aku pergi tengok Thie kong-kong dulu, untuk merawat padanya sampai di hari akhirnya. Sementara bagi kira-kira dari tingkatan muda, masih banyak waktu untuk berkumpul.”

Kata-kata Can Pek Sin itu memang masuk diakal, maka Tiat Ceng yang mendengarkan juga turut merasa sedih, kemudian ia berkata:

“Kalau begitu aku juga tidak akan memaksa kau lagi. Cuma, karena kau sudah berada di gunung Hok-gu- san, kalau hanya tertunda dua-tiga hari saja, rasanya tidak mempengaruhi per¬jalananmu. Biar bagaimana kau harus menengok ayah. Ayah juga masih belum tahu tentang kematian ayah bundamu.”

“Menurut aturan, aku seharusnya pergi memberi kabar kepada ayahmu, tapi pesan terakhir ibuku menyuruh aku lebih dulu pergi menengok Thie kong-kong. Karena kebetulan aku sudah bertemu dengan kau, maka harap tolong kau sampaikan kabar ini kepada ayahmu, serta minta maaf atas kesalahanku ini.”

Tiat Leng mendadak nyeletuk:

“Oh, aku ingat. Thie kong-kong ini ada mempunyai seorang cucu perempuan, usianya sebaya dengan kau. Oh, ya, ia bernama Thie Po Leng, benar tidak? Aku ingat, tatkala pertama kali kau datang bersama-sama dengan encie Thie itu. Emmm, sekarang aku mengerti...”

“Kau mengerti apa?” tanya Tiat Ceng. “Ayah ibumu pasti memikirkan kau yang belum berumah tangga dan mereka sangat menyesal belum menyaksikan kau menikah, hingga suruh kau...” kata Tiat Leng.

Dengan muka merah membara Can Pek Sin memotong:

“Adik Leng, jangan kau menggoda!”

Tiat Leng sangat cerdik, ketika menyaksikan sikap Can Pek Sin, ia sudah tahu bahwa dugaannya itu tidak salah, maka ia sangat bangga.

Sebetulnya ia masih ingin menggoda lagi, mendadak ingat bahwa Can Pek Sin masih dalam keadaan berkabung, maka tidak berani menggoda agak keterlaluan.

“Kalau begitu, kita tidak akan menahanmu lagi. Kali ini kita pulang ke atas gunung, barangkali akan berdiam setengah tahun lamanya. Nanti setelah kau sudah berjumpa dengan Thie locianpwee, harap lekas datang ke gunung untuk berkumpul beberapa hari dengan kami,” berkata Tiat Ceng.

“Sedapat mungkin aku nanti akan datang menemui kalian. Nah, sampai kita berjumpa lagi, maaf aku hendak jalan lebih dulu.”

Mereka bertiga lalu berpisahan, Can Pek Sin dengan seorang diri melanjutkan perjalanannya. Lapat-lapat ia masih mendengar Tiat Leng berkata: “Dia, setelah bertemu dengan encie Thie nanti, sekalipun tak sampai melupakan kita, rasanya enci Thie lah yang tidak bisa lekas-lekas melepaskan dia menengoki kita!”

Can Pek Sin termangu-mangu, mukanya dirasakan panas. Memang, tidaklah salah dugaannya Tiat Leng tadi. Menurut pesan ibunya memang ia disuruh lekas menikah dengan ‘enci Thie’ yang disebut oleh Tiat Leng tadi, Thie Po Leng.

Dalam otaknya Can Pek Sin kala itu terbayang-bayanglah suatu paras dari seorang nona cilik, kejadian pada lima tahun yang telah silam kembali terbayang di depan matanya. Kala itu, kira-kira ia baru berumur duabelas tahun, Thie Po Leng lebih tua setahun daripadanya, kira-kira baru tigabelas tahun.

Sebagaimana umumnya anak, demikian pun pergaulan di antara kedua anak ini amatlah akrabnya. Setiap hari mereka bermain bersama-sama, kadang-kadang memetik bunga kalau tidak naik ke atas pohon buat menangkap burung kecil. Pernah suatu hari mereka bersama-sama pergi menempuh bahaya, pergi melihat pohon berbisa, dan kebetulan ada seorang gadis yang butuh pertolongan, segera ditolongnya, padahal baru kemudian diketahuinya siapa gadis itu. Ia, seorang gadis dari lain suku yang bernama U-bun Hong-nie, kekasih dari seorang pendekar muda yang terkenal, Cho Peng Goan.

Sambil jalan dalam hati Can Pek Sin berpikir, Sudah lima tahun, apakah ia masih mengenaliku? Meski ia lebih tua setahun dariku, tetapi sekarang mungkin sudah menjadi satu gadis remaja, karena dulu saja dia sudah sebesar aku. Ehm, seluruh kejadian di masa anak masih kuingat semua, apakah diapun mengingatnya?

Ia juga berpikir, Thie kong-kongnya itu sebetulnya juga mempunyai maksud hendak jodohkan Thie Po Leng dengannya. Cuma karena pada waktu itu kedua-duanya sama-sama masih belum dewasa, hingga belum dapat diutarakan niatnya. Andaikata waktu itu sudah ditetapkan pertunangannya, mungkin tidak perlu ia harus meminang sendiri. Caranya meminang, ia belum tahu bagaimana harus membuka mulutnya!!

Dalam hati Can Pek Sin tidak bisa melupakan nasib ayah bundanya, disamping itu ia juga memikirkan nasibnya sendiri dan bagaimana nanti jika menjumpai Thie Po Leng, hal mana membuat pikirannya menjadi kalut.

Dengan pikiran kalut ia melakukan perjalanan siang hari malam. Ketika kudanya memasuki lembah Phoan- liong-kok, badannya sudah sangat letih, mukanya sudah hitam akibat panasnya matahari.

Di masa kakek luarnya menjadi ‘Beng-cu’, pernah dibangun gedung dan perkebunan di lembah Phoan- liong-kok, tapi kemudian setelah terjadi pertempuran hebat, gedung itu dibakar tiga hari tiga malam lamanya, hingga gedung yang besar dan megah, sebagian besar sudah menjadi hangus. Tapi itu ada kejadian yang sudah lama. Di waktu anak-anak ketika mendengar cerita dari ibunya, hanya dianggap sebagai satu kisah belaka. Terhadap segala perobahan dalam lembah itu, ia tidak mempunyai kesan yang mendalam. Ia hanya ingat kata-kata ibunya, bahwa Thie kong-kong nya masih mendiami satu bagian bangunan yang masih belum terbakar.

Letak lembah itu di antara dua bukit, panjangnya beberapa lie. Sejak kejadian kebakaran besar itu, kabarnya dalam lembah itu sudah tidak ada rumah lagi.

Can Pek Sin kedut kudanya, berjalan lambat-lambat memasuki lembah. Pepohonan tumbuh lebat, mungkin karena tidak ada orang yang mengganggu, hingga bisa hidup subur.

Berjalan tidak antara lama, telinganya mendadak dapat menangkap suara orang sedang bercakap-cakap dan ketawa-tawa.

Itu ada suaranya satu laki-laki dan satu perempuan. Ketika lewat di kaki bukit, kebetulan dapat dengar suaranya itu laki-laki yang agak cemas: “Eh, eh, kau jangan lekas pulang! Dengan susah payah kita baru bisa berjumpa, apa salahnya berdiam agak lama sedikit?”

Lalu terdengar suara perempuan: “Tidak, tidak! Aku tadi mencuri keluar, kalau tidak lekas pulang nanti yaya (kakek) akan mencari!”

Cau Pek Sin merasa geli, kiranya itu ada sepasang kekasih yang sedang mengadakan pertemuan gelap. Tapi mendadak hatinya bercekat karena suara perempuan itu rasanya pernah dikenalnya.

Selagi pikirannya masih bekerja terdengar pula suaranya si lelaki: “Kau tokh bukan anak kecil lagi, mengapa masih takut pada yayamu?”

Perempuan itu lalu menjawab: “Kau tidak tahu bahwa yayaku paling tidak suka aku pergi menjumpai kau, kalau kepergok olehnya, barangkali kau sendiri juga akan dihajarnya.”

Laki-laki itu lantas berkata: “Begitu galak? Heran, mengapa yayamu begitu jemu terhadapku?” Perempuan itu lalu menjawab: “Mana aku tahu? Kau... kau... lekas lepaskan aku!”

Laki-laki itu lantas berkata: “Aku tidak takut. Untuk kau, sekalipun dia patahkan kakiku, aku juga rela.”

Terdengar suaranya itu perempuan. “Kau tidak takut? Tapi aku takut! Kalau kau benar-benar dihajar hingga patah sebelah kakimu, apa aku tidak susah? Mengapa kau tidak bisa memikirkan diriku?”

Si lelaki rupanya mulai lunak, katanya dengan lemah lembut. “Baiklah, aku lepaskan kau pulang. Tapi kau lihat, bunga tulip di sana itu alangkah bagusnya, aku nanti buatkan kalung bunga untukmu, apakah kau bisa tunggu sebentar?”

“Ah, kau benar-benar cerewet! Baiklah, lekas kau buat.” Demikian terdengar suaranya perempuan itu, yang agaknya sudah menyerah.

Can Pek Sin sebetulnya tidak ada maksud hendak mencuri dengar perkataan dua kekasih yang sedang mengadakan pertemuan itu, tapi suara perempuan itu seolah-olah mempunyai daya penarik sangat hebat, hingga menambat hatinya. Makin lama ia mendengar, dirasakan semakin tidak asing lagi suara perempuan itu. Lalu menanya-nanya pada dirinya sendiri: “Mungkinkah perempuan itu dia adanya?”

Tiba-tiba dari jauh terdengar suara orang tua. “Leng-jie! Leng-jie!”

Lalu terdengar pula suaranya perempuan itu tadi, tapi kini sangat pelahan: “Celaka benar, yaya datang mencari aku, aku harus lekas pulang!”

Sebentar kemudian lalu terdengar suara keresekan, Can Pek Sin lalu melihat bayangan seorang gadis berjalan tergesa-gesa, ia sudah kenali bahwa gadis itu memang benar Thie Po Leng.

Potongan badannya sudah banyak lebih tinggi, gaya jalannya juga sangat luwes dan mengikat hati. Saat itu, entah bagaimana perasaannya Can Pek Sin, ia hanya dapat berpikir: Kiranya enci Leng sudah mempunyai pilihan orang lain!

Selagi Can Pek Sin masih berdiri termenung menung, tiba-tiba terdengar suaranya orang tua: “Eh kau, bukankah kau ini Siao-sin?”

Kiranya orang tua yang berada di depannya itu bukan lain daripada Thie Sui, kakeknya Thie Po Leng. Can Pek Sin buru-buru lompat turun dari kudanya untuk memberi hormat, kemudian berkata:

“Thie Kong-kong, ibu suruh aku datang untuk menumpang di rumahmu.” “Bagaimana dengan ayah bundamu? Kenapa kau datang seorang diri?” “Panjang ceritanya ini...”

“Baiklah, mari kita pulang, nanti kau ceritakan padaku. Eh, tunggu dulu! Kau lihat enci Leng mu atau tidak?”

Can Pek Sin sejenak nampak bersangsi, akhirnya ia menjawab dengan suara gelagapan: “Tidak, tidak lihat.”

Thie Sui kerutkan alisnya, ia berkata pula: “Heran, kemana larinya budak itu? Leng-jie, Leng-jie!” Suara Thie Po Leng yang merdu terdengar dari balik bukit: “Ya, yaya!”

Gadis itu barusan berada di sebelah kiri bukit, tapi kini telah memutar dan muncul dari sebelah kanan. Thie Sui lantas menanya padanya:

“A Leng, kau tahu ini siapa?”

Sementara itu, Thie Po Leng sudah lari ke depan Can Pek Sin, ia mengawasi dari atas sampai ke bawah, mendadak ia berseru: “Ya! Kau adalah Siao-sin!”

Sikapnya nona itu nampak sangat girang, ia pegang kedua tangan Can Pek Sin terus digoyang- goyangkan.

“Enci Leng, terima kasih kau masih kenali aku,” berkata Can Pek Sin.

“Mengapa kau berobah menjadi begini hitam? Aku benar-benar hampir tidak mengenali kau sebetulnya! Pakaianmu barangkali sudah sepuluh hari kau tidak tukar? Rambutmu juga sudah gondrong, mengapa tidak dicukur? Benar-benar mirip dengan seorang tahanan yang lari dari rumah tahanan!” berkata Thie Po Leng sambil ketawa.

Adat Thie Po Leng ternyata tak banyak berobah, perkataannya seenaknya saja. Can Pek Sin kini menghadapinya, merasa malu sendiri. Hampir ia tak berani angkat kepala lagi.

Gadis itu, benar seperti apa yang dibayangkan. Bahkan lebih cantik dari apa yang ia duga semula, potongan mukanya membulat telur, dihiasi oleh sujen di kedua pipinya, hingga nampak lebih manis.

Can Pek Sin sebetulnya sudah merasa malu melihat dirinya sendiri, dikatakan demikian oleh Thie Po Leng, wajahnya lantas merah, ia lalu melepaskan tangannya dari cekalan Thie Po Leng dan berkata padanya:

“Enci Leng, tanganku penuh debu! Hati-hati, tanganmu nanti kotor!” Thie Sui lantas berkata:

“Leng-jie, kau berkata tidak tahu aturan. Adik Sin mu sudah dari tempat begitu jauh datang menengok kau, di perjalanan mana ada waktu untuk mencukur rambutnya? Perjalanan itu sedikitnya juga memerlukan waktu setengah bulan, bagaimana mukanya tidak menjadi hitam karena teriknya matahari? Kau tidak mengucapkan terima kasih padanya, sebaliknya malah menggodanya!”

“Astaga! Siao-sin, sekarang kau sudah dewasa. Apakah orang yang menjadi encinya tidak boleh main- main atau menggoda kau? Yaya, adik Sin anggap benar-benar. Apakah Yaya juga anggap demikian? Adik Sin, sekalipun kau lebih kotor lagi, orang yang menjadi enci juga tidak akan merasa jijik. Nanti selekasnya kita pulang, lebih dulu aku akan cukur rambutmu, kemudian aku jahitkan pakaian baru untukmu, sebagai gantinya permintaan maaf atas kesalahanku, boleh tidak? Besok akan kuajak kau keluar buat pesiar, di sini ada lebih indah dari pada tempat kediaman kita yang lama. Bunga aneka warna terdapat di mana- mana, masih ada pula burung-burung hutan yang bagus sekali.” Sebentar ia berhenti lalu melanjutkan:

“Sayang yaya tidak idzinkan aku panjat pohon menangkap burung, katanya sebagai satu anak perempuan tidak boleh terlalu berandalan. Kau ada satu anak laki, yaya barangkali tidak akan melarang.”

Gadis itu rupanya sangat gembira bisa bertemu lagi dengan kawannya di masa anak-anak, hingga ia nyerocos terus tak berhentinya. Sikapnya masih seperti anak-anak, sedikitpun tidak dibikin-bikin.

Tapi, dalam hati Can Pek Sin sudah diliputi oleh bayangan gelap. Terutama sewaktu sang enci itu mengatakan banyak bunga beraneka warna segera teringatlah olehnya, pemuda yang barusan mengatakan hendak membuatkan kalung kembang untuk ‘enci’nya. Hatinya makin pilu, hingga ia diam saja, tidak bisa berkata apa-apa.

Thie Sui nampaknya yang paling gembira, ia berkata:

“Benar, kalian sejak kanak? dibesarkan bersama-sama, seharusnya seperti enci dan adik. A Leng, kau harus urus segala keperluan Siao-sin.”

Pada saat itu, dari dalam rimba tiba-tiba terdengar suara orang yang sedang menyanyikan lagu dari nyanyian rakyat pegunungan.

“Rembulan di atas langit mengejar matahari. Nona manis di bumi mengejar si jantung hati, Matahari timbul dari ufuk timur,

Rembulan tenggelam ke barat, saling kejar-kejaran. Biar bagaimana tidak mungkin akan berdampingan.”

Thie Sui lantas mencetuskan kata-kata yang tidak senang: “Hm, menjemukan!”

Can Pek Sin dongakan kepalanya, ia segera dapat melihat dari lereng bukit ada seorang pemuda sedang berjalan turun, satu tangannya menenteng seekor ayam hutan, di lehernya dikalungi kalung bunga. Ketika melihat Thie Sui, lantas menyapa sambil ketawa berseri-seri:

“Thie kong-kong, apa di rumahmu ada kedatangan tetamu?”

“Ada hubungan apa dengan kau?” jawabnya Thie Sui tidak senang.

“Aku membawa seekor ayam hutan untuk tetamumu, Thie Kong-kong tokh tidak keberatan, bukan?” “Siapa mau terima barangmu? Pergi!” jawabnya gusar.

Selembar muka si pemuda lantas merah, Thie Po Leng diam-diam memberi isyarat kepadanya:

Karena Thie Sui berdiri di belakangnya, maka ia tidak melihat, tapi semua itu sudah dapat dilihat oleh Can Pek Sin.

Pemuda itu sebetulnya masih hendak membantah, ketika melihat isyarat dari matanya Thie Po Leng, perasaan mendongkol lenyap seketika, dan diganti dengan senyuman yang dibikin-bikin, kemudian berkata:

“Thie kong-kong, kau tidak mau sudah saja, tidak perlu marah-marah!” Pemuda itu lantas berlalu menuju ke arah yang lain. Thie Sui yang masih belum hilang amarahnya, kembali menyumpahi. “Menjemukan!” Thie Po Leng lalu berkata sambil ketawa,

“Yaya, biar bagaimana orang itu tokh bermaksud baik.”

“Maksud baik apa? Aku justru melihat sikapnya yang ceriwis, lebih jemu lagi kalau dengar nyanyian begituan!”

“Itu ada nyanyian rakyat di gunung yang sering dinyanyikan oleh anak-anak muda pegunungan aku rasa tidak ada yang menjemukan, memangnya kenapa?”

“Apa kau suka dengar? Baiklah, kau suruh dia nyanyikan untukmu! Tapi aku harus beritahukan padamu, kalau aku melihat padanya menyanyi lagi di belakang rumah kita, aku nanti akan patahkan kakinya!”

Thie Po Leng monyongkan mulutnya dan berkata:

“Kapan aku berkata suka dengar nyanyiannya? Aku hanya mengatakan padamu bahwa nyanyian rakyat pegunungan itu masih enak didengarnya, bukan aku ingin nyanyikan. Kau belum dengar dengan jelas sudah marah-marah.”

Thie Sui mendadak ingat Can Pek Sin, dalam hatinya lantas berpikir: aku benar-benar sudah gila. Budak Leng ini meski suka kepada bangsat itu, ia tokh tidak melakukan perbuatan yang tercela, bahkan setelah aku melarangnya, ia juga tidak berani bergaul lagi dengan bangsat itu. Sekarang aku damprat begitu terang-terangan di depan Pek Sin, bukankah akan menimbulkan salah paham padanya?”

Maka ia lantas berkata:

“Aku tahu kau kasihani yayamu, supaya yayamu jangan marah, hingga merusak badan. Hidup tenang memang baik, tapi aku lihat bocah itu bukan orang baik-baik, aku memang sengaja ajar adat sedikit padanya supaya ia tidak berani mengganggu kau lagi. Baiklah, kalau kau memang tidak suka dengar nyanyiannya bocah itu, hitung-hitung yayamu yang salah. Jangan sebut-sebut padanya lagi, mari lekas kita pulang!”

Can Pek Sin cuma mendengarkan percakapan antara kakek dan cucu itu, ia tidak menanya siapa adanya pemuda itu, juga tidak bicara dengan Thie Po Leng.

Sikap diam ini membuat Thie Sui merasa tidak enak, maka ia lantas berkata padanya “Siao-sin, tadi ketika kau datang, apa kau tidak melihat bocah itu?”

“Tidak,” jawabnya.

“Bocah itu she Lauw, namanya bong. Benar-benar mirip dengan satu bangsat kecil. Ayahnya sangat aneh asal usulnya, aku sendiri juga tidak mengetahui dengan jelas. entah apa sebabnya ia pindah ke lembah ini! Nampaknya juga orang-orang dari rimba persilatan, barangkali sedang menyingkiri musuh-musuhnya. Pendek kata, sebelum kita mengetahui asal usulnya, lebih baik jangan mengadakan perhubungan dengan mereka. Selanjutnya, kau akan berdiam disini, jika bocah itu berani mengganggu kau, jangan kau hiraukan, beritahukan saja padaku.”

“Baik,” jawabnya Can Pek Sin singkat.

Thie Sui menduga bahwa hati Can Pek Sin sudah timbul perasaan curiga. Padahal Can Pek Sin tidak perlu curiga, karena ia memang sudah menyaksikan dengan mata kepala sendiri.

Ia tahu bahwa ‘bocah’ she Lauw ini adalah itu pemuda yang mengadakan pertemuan dengan enci Po Leng nya. Kalung bunga di lehernya itu adalah kalung bunga yang ia buat untuk Thie Po Leng. Dari pembicaraan Thie Sui, ia tahu bahwa pemuda she Lauw itu bukan hanya satu kali ini saja menyanyikan lagu rakyat itu di depan rumah Thie Sui. Hati Thie Sui masih belum merasa lega, pikirnya: Apakah Po Leng ada melakukan perbuatan yang dipergoki oleh Siao-sin?

Karenanya, maka ia lantas menanya: “Leng-jie, barusan dari mana kau?” “Aku pergi menangkap ikan di kali depan,” jawabnya sang cucu.

“Hm, sudah menjadi gadis umur delapanbelas tahun, kau pergi menangkap ikan dengan telanjang kaki?” berkata sang kakek, tapi ketika menyaksikan sepatu cucunya masih bersih, nampaknya tidak benar injak kaki di tepi sungai.

Thie Po Leng lantas berkata sambil ketawa:

“Yaya, kau belum tanya jelas sudah katai aku. Aku tadi menggunakan batang pohon sebagai tombak untuk menombak ikan, sayang selagi hendak menombak seekor ikan besar sudah kau panggil!”

Thie Sui karena barusan melihat cucunya keluar dari bukit sebelah kanan, sedangkan bocah she Lauw itu munculnya dari bukit sebelah kiri dengan menenteng seekor ayam hutan, maka terhadap keterangan cucunya itu benar atau tidak, ia tidak usut lagi.

Hanya hati Can Pek Sin yang merasa perih. Sebab ia tahu benar bahwa enci Lengnya itu meski nakal, tapi selamanya belum pernah membohong. Kini, lantaran pemuda itu ia telah berbohong dihadapan yayanya.

Sementara itu, mereka sudah tiba di rumah keluarga Thie. Thie Sui berkata sambil menghela napas:

“Pekarangan ini, dahulu adalah kepunyaan kakek luarmu, disini dahulu pernah diadakan pertemuan para orang gagah dari seluruh negeri. Tapi sekarang sudah murat-marit, tiada satu rumahpun yang utuh. Rumah ini agak mendingan, karena aku telah perbaiki menurut keadaan semula.”

Dari reruntuhan yang masih ketinggalan, sedikit banyak masih terdapat peninggalan kemegahan rumah yang dibangun pada masa silam itu.

Menyaksikan yayanya terkenang kejayaannya di masa yang lampau, Thie Po Leng lantas berkata sambil ketawa:

“Yaya, urusan yang sudah lalu apa perlunya kau bicarakan lagi? Beng-cu yang sekarang Tiat Mo Lek, bukankah lebih mendapat simpati rakyat daripada Ong kong-kong di masa yang lalu? Aku masih ingat, ibunya Siao-sin juga mengatakan demikian. O, ya, Siao-sin, aku sekarang baru ingat, mengapa ayah bundamu tidak datang? Sebaliknya hanya kau yang datang seorang diri saja?”

Kini Can Pek Sin baru memberi keterangan: “Ayah dan ibu sudah meninggal!” Thie Sui sangat terkejut, cepat ia menanya:

“Apa? Ayah bundamu sehat-sehat saja, bagaimana mendadak meninggal?”

Sementara itu, ia sudah bawa Can Pek Sin ke ruangan tengah, setelah menutup pintu, ia berkata pula: “Siao-sin, duduklah, coba kau jelaskan, cara bagaimana mereka telah meninggal?”

Can Pek Sin sebetulnya hendak menuturkan kematian ayah bundanya kepada kakek dan cucu itu, tapi mendadak ia robah pikirannya, dalam hatinya berpikir: Ibu melarang aku menuntut balas, cuma idzinkan aku memberitahukan kepada kong-kong seorang. Enci Leng meski ada cucunya, tapi sekarang ia sudah mempunyai pilihan orang lain, belum tentu ia tidak membocorkan rahasia ini kepadanya. Sedangkan bocah itu belum diketahui asal usulnya, lebih baik aku berlaku hati-hati.

Sang kakek menunggu jawabannya sekian lama, tapi tidak sepatah katapun keluar darii mulut Can Pek Sin, dalam hati merasa heran, maka lantas berkata pula. “Sin-jie, apa kau mempunyai kesulitan? Terhadap aku masa kau takut memberi keterangan? Aku adalah saudara angkat kakek luarmu, aku menyaksikan ibumu mangkat dewasa! Ada kesulitan apa, kau tuturkan saja, supaya aku dapat memecahkan!”

“lbu suruh aku menumpang pada kong-kong, ada sesuatu hal ia ingin supaya aku memberitahukan padamu, cuma...”

Thie Sui ada seorang tua yang sudah kenyang makan asam garam, melihat sikap Can Pek Sin yang nampaknya ragu-ragu, dan di waktu bicara matanya selalu melirik ke arah Thie Po Leng, segera dapat menduga bahwa pemuda ini disuruh ibunya melamar cucu perempuannya, di depan si gadis, sudah tentu ia malu mengatakan. Tapi dugaan orang itu ternyata keliru sama sekali.

Walaupun demikian, ia tokh lantas suruh Thie Po Leng menyingkir, katanya kepadanya.

“Leng-ji, selagi masih pagi, kau jahitkan baju untuk adik Sin mu, selesai jahit baju, kau potong seekor ayam dan kemudian masak nasi.”

Thie Po Leng sangat cerdik, mendengar ucapan kakeknya, segeralah ia mengerti kalau sang sang kakek itu sengaja menyuruh ia menyingkir, dalam hatinya lantas teringat soal itu, hingga parasnya merah seketika, sedang dalam hatinya diam-diam berpikir: Kalau benar Siao-sin disuruh ibunya untuk melamar aku, bagaimana aku harus menghadapi soal ini?

Dengan hati kebat-kebit ia turut perintah kakeknya, tapi kemudian diam-diam memutar ke belakang jendela untuk mencuri dengar pembicaraan mereka.

“Siao-sin,” demikian terdengar kakeknya mulai bicara, “kita sudah seperti keluarga sendiri, kau telah kuanggap sebagai cucuku juga. Ada urusan apa, bicaralah saja dengan terus terang, jangan malu-malu!”

Beberapa saat tak terdengar suara apapun. Tiba-tiba terdengar suara sesenggukan. “Thie kong-kong...” demikian suara tersebut, kiranya Can Pek Sin sudah tak dapat menekan perasaannya, telah menangis dengan sedihnya, masih dengan tersedu-sedu ia melanjutkan: “...ayah dan ibu... sebetulnya... telah meninggal dunia...”

“Mereka meninggal, karena apa?” “Dibunuh musuh!”

Pendek, tetapi keras diucapkannya jawaban ini, geram agaknya Can Pek Sin waktu itu.

Tak dapat dikatakan bagaimana terkejutnya Thie Sui mendengar itu, gemetar suaranya ketika kemudian ia berkata pula:

“Apa? Apa katamu? Ayah bundamu dibunuh mati oleh musuhnya? Siapa musuhnya?”

Karena ayah bunda Can Pek Sin, Can Goan Siu dan Ong Yan Ie di dunia rimba persilatan merupakan sepasang suami isteri yang mempunyai kepandaian sangat tinggi, terutama kepandaian Can Goan Siu, yang tergabung dari golongan benar dan golongan sesat, dalam rimba persilatan pada masa itu, boleh dikata sudah tidak ada tandingannya.

Maka meski semula agak curiga atas keterangan Can Pek Sin, tapi ia juga belum mau menduga kalau Can Goan Siu dan istrinya binasa di tangan musuhnya.

Can Pek Sin dengan suara terisak-isak menjawab:

“Justru karena tidak tahu siapa adanya musuh itu, maka aku datang hendak minta keterangan kepada kong-kong. Disamping itu, masih juga ada banyak hal-hal yang mencurigakan, mungkin juga hanya kong- kong seorang yang dapat menjelaskan atau memecahkan rahasia ini.”

Thie Sui tenangkan pikirannya, katanya:

“Kalau begitu, coba kau jelaskan duduknya perkara, supaya aku dapat memecahkan rahasia ini.” “Ayah nasibnya buruk, pada musim dingin tahun yang lalu, telah mendapat kecelakaan setelah melatih ilmunya, hingga separuh badannya mati.”

“Pantas musuhnya bisa berhasil. Kalau benar demikian halnya, kecelakaan ayahmu ini barang kali dapat didengar oleh musuhnya, hingga kesempatan itu digunakan untuk menuntut balas dendamnya. Tapi ibumu juga bukan bangsa lemah. Berapa banyak musuhnya yang datang?”

“Cuma seorang.”

“Cuma seorang saja?” tanya Thie Sui heran, sedang dalam hatinya diam-diam berpikir: Dalam rimba persilatan pada dewasa itu, orang yang mampu menandingi Ong Yan Ie dengan seorang diri, paling banyak tidak lebih dari sepuluh orang, tapi orang ini rasanya tidak ada yang mempunyai permusuhan dengannya.”

Can Pek Sin menjawab:

“Benar, hanya seorang diri saja. Malam itu ketika aku menjaga ayah di pembaringan, tiba-tiba terdengar suara desiran angin, ayah lalu mendorong aku, lalu menyambut dengan bantalnya yang terdiri dari batu pualam putih. Aku yang baru lompat menyingkir, cuma terdengar suara ‘trang’ dan batu pualam itu hancur, tahu-tahu sebuah senjata paser sudah menancap di atas pembaringan. Jika tidak ada itu bantal batu pualam yang menahan, senjata paser itu pasti sudah menancap di dada ayah!”

Bantal batu pualam itu merupakan benda pusaka keturunan keluarga Can, dimana Thie Sui juga sudah pernah mendengarnya. Ketika mendengar benda pusaka itu hancur, hati Thie Sui bergidik. Ia bukan merasa sayang kepada benda pusaka tersebut, melainkan dikejutkan oleh kekuatan orang itu. Sebab batu pualam yang merupakan benda pusaka itu, golok atau pedang biasa sedikitpun tidak bisa merusak padanya, tapi orang itu hanya dengan senjata paser yang kecil bentuknya, sudah dapat menghancurkan. Dapat dibayangkan betapa hebatnya kekuatan orang itu!

Can Pek Sin melanjutkan penuturannya:

“Ayah lalu menegur orang itu: ‘Sahabat dari golongan mana? Maafkan aku si orang she Can tidak bisa keluar menyambutmu. Kalau kau bermaksud hendak mencelakakan diriku, silahkan masuk, kita adu kekuatan secara terang-terangan. Dengan jalan membokong, apakah ini ada perbuatannya seorang gagah?’ Orang itu lantas menjawab sambil ketawa terbahak-bahak: ‘Senjata paser terbangku ini cuma ingin menyelidiki keadaan saja, tidak kusangka mengejutkan kau? Kenapa, apa kau tidak berani keluar?’ Setelah itu, terdengar suara ‘trang’ pula, rupanya orang itu telah menggunakan senjatanya untuk menyampok jatuh senjata rahasia.

“Kiranya ibu sudah datang pada waktunya yang tepat. Aku tidak berani meninggalkan ayah, hanya melongok dari jendela. Segera dapat kulihat ibu dengan pedang pusakanya sambil menuding ke arah orang itu berkata: ‘Can Goan Siu adalah suamiku, dia sedang sakit tidak dapat bangun dari tempat tidurnya. Kalau kau ada bermusuhan dengannya, aku yang akan mewakili!’

“Orang itu usianya mungkin empatpuluhan, alisnya tebal matanya lebar, mukanya kasar. Tangan kirinya memegang senjata gaetan, tangan kanannya memegang senjata tameng. Ibu mengira bahwa laki-laki kasar itu ada musuh ayah, di luar dugaan laki-laki itu lantas ketawa terbahak-bahak dan berkata: ‘Ong Yan Ie, kau tidak kenali aku, tapi aku masih kenali kau! Yang aku cari sebetulnya memang kau! Kalau suamimu memang benar sedang sakit, aku akan bunuh mati kau lebih dulu, kemudian baru bunuh mati suamimu! Laki-laki itu ternyata dapat menyebut nama kecil ibu, nyata ia ada kenalan lama.

Sebaliknya ibu tak kenali padanya, ketika mendengar ucapannya, nampaknya agak heran. Ia tidak turun tangan duluan, lalu menanyakan kepadanya: ‘Siapa kau? Bila bermusuhan dengan aku? Kalau kau hendak membunuhku, itu dapat dimengerti, tetapi mengapa kau juga harus membunuh suamiku?’

“Laki-laki itu dongakkan kepalanya dan ketawa terbahak-bahak, kemudian ia berkata, ‘Bukan saja suamimu, serumah tanggamu yang terdiri dan tiga mulut itu, malam ini juga aku akan basmi seluruhnya, inilah yang dinamakan membabat rumput berikut akarnya. Heh, heh, sayang kau cuma mempunyai seorang anak, hanya tiga mulut saja, belum cukup untuk melampiaskan kebencianku!’

“Mendengar kata-katanya yang begitu kejam, ibu menjadi gusar, ia tidak menanyakan lagi asal usulnya, lantas turun tangan menyerang padanya. “Kepandaian ilmu silat orang itu tinggi sekali, senjata gaetannya itu dimainkan bagaikan seekor ular yang berputaran di tengah udara, sedang senjata tamengnya juga menghembuskan angin yang menderu-deru.

“Suara beradunya senjata berulang-ulang, pedang ibu menusuk badannya, tapi selalu dihalangi oleh tamengnya. Pertempuran berlangsung semakin sengit, karena kepandaianku masih rendah, hingga tidak dapat membedakan siapa yang lebih unggul dari yang lain.”

Mendengar keterangan itu, wajah Thie Sui mendadak pucat, berulang-ulang mulutnya mengatakan: “Aneh, aneh...!” sedang dalam hatinya terus berpikir: Orang itu menggunakan senjata gaetannya dan tameng. Ow, apakah itu peristiwa pada tigapuluh tahun berselang yang mengakibatkan penuntutan balas? Tapi kala itu Ong Yan Ie sudah basmi habis musuhnya, bagaimana bisa ketinggalan satu orang yang masih hidup...?

Melihat kong-kongnya pucat mendadak, Can Pek Sin lantas menanya:

“Thie Kong-kong, kenapa kau?”

“Tidak apa-apa, aku sedang memikirkan siapa adanya orang itu. Coba kau lanjutkan penuturanmu!”

“Aku tidak berani meninggalkan ayah sebaliknya ingin keluar membantu ibu. Selagi dalam keadaan panik, ayah mendadak gigit jari tangannya, darah merah disemburkan dari mulutnya, kemudian ia duduk dan berkata padaku, ‘Sin-jie, kau gendong aku keluar!’ Aku lihat keadaan ayah sedemikian rupa, ketakutan setengah mati, selagi masih ragu-ragu, di luar terdengar pula suara beradunya senjata tajam, ibu sedang bertempur mati-matian dengan orang itu. Ayah lalu berkata dengan suara bengis: ‘Apa kau tega melihat ibumu mati dalam tangan musuh? lekas gendong aku keluar! Aku tidak berdaya, terpaksa gendong ayah keluar dari kamar.”

“Ayahmu itu menggunakan ilmunya dari golongan sesat, mengerahkan seluruh kekuatannya dengan cara paksa, hendak adu jiwa dengan musuhnya. Ilmu serupa ini terlalu menghamburkan tenaga, tapi juga hebat sekali. Meski ayahmu separuh badannya sudah mati, tapi kekuatan tenaga dalamnya masih utuh, dengan bergandengan tangan bersama ibumu, apa masih belum mampu menjatuhkan lawannya itu?” tanya Thie Sui sambil menghela napas.

“Baru saja aku keluar dari kamar, ayah sudah berkata: ‘Isteriku kau mundur. Biarlah aku yang melayani sahabat ini!’ meski ayah sudah cacad, tapi kegagahannya masih belum luntur, karena lawannya hanya sendirian, ia tak mau mengeroyok dengan ibu.

“Karena ibu sedang bertempur sengit, tidak ada waktu untuk menjawab perkataan ayah, ia pantang mundur.

“Orang itu mendadak berkata sambil ketawa terbahak-bahak, ‘Bagus, kalian bertiga boleh maju semua! supaya aku tidak usah turun tangan satu persatu!’ orang itu meski mulutnya berkata demikian, tapi dalam hatinya sebetulnya juga merasa jeri, karena wajahnya nampak sangat serius, ia berkelahi semakin hati- hati.

“Pada saat itu mendadak terdengar suara ‘Sret’ ternyata ujung pedang itu sudah menikam dada orang itu. Aku merasa terkejut dan girang, hingga bersorak kegirangan.

“Lalu terdengar suara bentakan ibu: ‘Aku belum pernah melihat ada orang begitu kejam seperti kau, ada permusuhan apa kau dengan aku? Apa sebabnya kau hendak membunuh mati serumah tanggaku? Aku ingin melihat hatimu ini hitam ataukah merah?’

“Tapi belum habis ucapan ibu, tiba-tiba terdengar suara robekan baju, orang itu balikkan badannya, ternyata baju atasnya sudah terbuka. Kiranya ujung pedang ibu tadi cuma mengenakan bajunya saja, tidak melukai dagingnya.

“Ibu mendadak terperanjat, ia berdiri melongo, serangannya yang kedua berhenti setengah jalan, kemudian menuding dengan pedangnya kepada orang itu dan berkata: ‘Kau, kau adalah...! Aku juga segera dapat melihat bahwa baju dalam orang itu ada terdapat gambar lukisan seekor harimau!”

Mendengarkan sampai di situ, Thie Sui mendadak berseru, “Ai-ya” kemudian ia menggumam: “Seekor harimau...? Seekor harimau...?” Sementara itu wajahnya nampak semakin pucat. Can Pek Sin yang menyaksikan perubahan sikap kong-kongnya, sudah menduga bahwa kong-kongnya pasti sudah tahu siapa adanya musuh ibu bapaknya, oleh karena ia sedang menceriterakan bagian yang paling tegang, tidak ingin menghentikan, baru akan menanyakan setelah selesai penuturannya. Maka ia lantas melanjutkan penuturannya.

“Orang itu setelah menunjukkan baju dalamnya yang terlukis seekor harimau, lantas berkata sambil ketawa mengejek: ‘Apa kau sudah tahu siapakah aku ini? He, aku cuma ingin membunuh seluruh rumah tanggamu yang terdiri hanya tiga orang saja, kau katakan aku kejam,’ tiba-tiba ia puter tamengnya dan menyerang kepala ibu! Pada saat itu ibu masih berdiri termenung, agaknya tidak mau memberi perlawanan.

“Selagi orang itu tertawa bangga, ayah perintahkan aku maju, sebetulnya tidak usah ayah perintahkan, aku juga tahu harus maju.

“Ayah berdiri di atas pundakku dan aku maju menerjang! Sebentar terdengar suara ‘trang’ yang amat nyaring. Ternyata serangan ayah sudah meluncur dan beradu dengan tamengnya orang tersebut!

“Tiba-tiba aku merasakan bumi seperti berputaran dan badanku seperti ditendang ke tengah udara, aku lantas jatuh di tanah. Ketika aku mencoba merayap bangun, kulihat ayah juga sudah terlentang di tanah, lengannya patah! Di samping badannya terdapat banyak darah. Ibu waktu itu sedang sandarkan badannya di bawah pohon besar, dadanya mengucurkan darah, ternyata sudah kena tusukan senjata gaetan orang tersebut, lukanya agaknya lebih parah daripada ayah.

“Orang itu juga duduk numprah di tanah napasnya sengal-sengal, senjata gaetannya dan tamengnya menggeletak di samping, gaetannya sudah bengkok, tamengnya sudah melesak. Ternyata itu adalah akibat serangan ayah yang amat dasyat itu. Tamengnya sudah demikian rupa, entah bagaimana dengan orangnya?

“Meski pengetahuanku tentang kepandaian ilmu silat masih cetek, tapi juga sudah dapat menduga bahwa orang itu sudah terluka di bagian dalamnya, jikalau tidak, bagaimana ia tidak melakukan serangannya selagi ayah dan ibu dalam keadaan terluka parah? Yang paling beruntung adalah aku, meski aku terpental jatuh, tidak terluka sama sekali.

“Pada saat itu, aku tidak tahu harus menolong siapa lebih dulu, ataukah menghajar orang itu.

“Ternyata luka orang itu agak ringan, sebelum aku mengambil keputusan, ia sudah merayap bangun, matanya merah, sikapnya menakutkan, ia menghampiri aku seraya berkata: ‘IkutIah dengan ayah bundamu! Tiga bangkai ditukar dengan lima jiwa, hitung-hitung masih terlalu murah bagi kalian!’

“Aku sudah tidak tahu lagi apa artinya takut, aku hendak terjang padanya, tapi kakiku tidak mau turut perintahku walaupun badanku tidak terluka. Oleh sebab tadi terjatuh dari tengah udara, hingga kakiku luka tanpa dirasa. Kini ketika aku gerakan, rasanya sangat ngilu sekali.

“Ibu lantas berseru: “Sin-jie, mundur!” Sesaat kemudian tangannya mengayun, dan orang itu lantas rubuh lagi. Di tanah ia bergulingan sampai tiga tombak jauhnya! Ayah, bergelindingan menghampiri aku.”

Thie Sui sudah tahu kesudahannya pertempuran itu, tapi mendengar penuturan Can Pek Sin yang sedemikian mengerikan, mau tidak mau turut mengucurkan keringat dingin. Ia berkata dengan heran:

“Orang itu benar-benar sangat kejam! ayahmu tentunya ingin mati bersama-sama musuhnya! Selanjutnya bagaimana? Apa orang itu kedatangan pembantunya?”

Dalam anggapan Thie Sui, kalau benar Can Goan Siu menggunakan seluruh kekuatan tenaganya untuk menggempur musuhnya dengan tekad mati bersama-sama dengan musuhnya, karena orang itupun sudah terluka, tentunya akan binasa juga. Tapi dari semula Can Pek Sin sudah berkata bahwa musuhnya itu belum mati, maka ia menduga tentu datang bantuan dari kawannya.

Can Pek Sin lantas menjawab: “Tidak. Ketika orang itu jatuh, ayah sudah berada di sampingku, ibu mendadak berkata: ‘Toako, jangan.’ Ayah lantas balik menanya: ‘Apa kau hendak membiarkan musuh itu pulang dalam keadaan hidup?’ Ibu berkata pula: ‘Balas membalas tidak ada habisnya, semua ini adalah dosaku.’

“Ayah menghela napas, ia menggenggam tanganku, aku merasa hawa panas mengalir dalam sekujur badanku, rasa sakit dilututku juga lenyap seketika. Ternyata ayah telah menyalurkan seluruh sisa kekuatan tenaga dalamnya ke dalam tubuhku.

“Ayah membisiki aku: ‘Orang itu meski sudah terluka, tapi kau masih bukan tandingannya. Sekarang kau gunakan kesempatan ini, lantas kabur.’ Tapi, bagaimana aku tega meninggalkan ayah dan ibu dalam keadaan demikian?

“Orang itu merayap bangun lagi, ia berkata sambil ketawa mengejek: ‘Bagus Ong Yan Ie, kau melukai aku dengan senjata rahasiamu, sekarang aku terpaksa mati bersama-sama dengan kalian bertiga!’

“Ibu lalu berkata: ‘Aku berdua sudah tidak bisa hidup lagi, tapi kau masih bisa. Cuma aku sekarang hendak tanya padamu, apakah kau masih ingin hidup atau tidak?”

“Orang itu ketika mendengar pertanyaan ibu, lantas menanya: ‘Bagaimana?’

“Ibu menjawab: ‘Benar, kau sudah kena senjata racunku. Maka kau tidak bisa hidup sampai esok, jika pada saat ini kau bertempur lagi dengan anakku, kematianmu semakin cepat. Tapi aku ada mempunyai obat pemunahnya, asal kau suka melepaskan anakku, aku akan berikan obat pemunah ini padamu. Kau lekas-lekas pulang, setelah minum obat pemunahku, kau rendam dirimu dalam air dingin selama tujuh hari tujuh malam, hingga racun dalam badanmu bisa lenyap seluruhnya. Maukah kau menerima syaratku ini atau tidak?”

“Orang itu berkata: ‘Apakah kata-katamu itu dapat dipercaya, atau kau hendak menipu aku?’

“Ibu berkata sambil ketawa dingin. ‘Kalau aku hendak membunuh mati kau, barusan kita suami istri sudah turun tangan bersama, niscaya siang-siang kau sudah kita binasakan! Sekarangpun juga, andaikata kau ingin tarun tangan, paling banyak mati bersama-sama, perlu apa aku menipu kau? Kau harus tahu, aku bukan minta-minta kepadamu, tindakanku ini ada merupakan satu syarat tukar-menukar yang sangat adil, satu jiwa tukar dengan satu jiwa.

“Kau belajar ilmu silat sampai mencapai taraf seperti sekarang ini, bukanlah mudah, apakah kau hendak menggunakan jiwamu untuk menukar jiwa anakku? Apakah kau anggap ini ada harganya bagi kau? Lagi pula akulah sendiri yang berdosa, itu tidak ada sangkut pautnya dengan anakku, dia tidak berdosa, kau sudah membinasakan kita suami isteri, kebencianmu selama tigapuluh tahun, rasanya sudah cukup memuaskan hatimu bukan?’

“Hawa hitam dimuka orang itu nampak semakin tebal, kiranya ia juga tahu betapa hebat bekerjanya racun itu, maka ia lantas berkata: ‘Keluarkan obat pemunah itu.’”

Can Pek Sin pesut airmatanya, itu melanjutkan lagi:

“Ibu melemparkan obat pemunahnya. Dan orang itu setelah menyambuti lantas tertawa terbahak-bahak seraya katanya, ‘Aku tak takut anak itu menuntut balas! Baiklah, aku terima baik syaratmu ini! Dua bangkai ditukar dengan lima jiwa, meski aku yang dirugikan, tapi ya sudahlah. Di kemudian hari asal anakmu tidak mencari aku, aku juga tidak akan mencari padanya!

“Sehabis berkata demikian ia lantas lompat keluar melalui dinding tembok pekarangan, sebentar saja sudah menghilang. Orang itu sudah terluka dua kali, tapi setelah mengaso hanya sekejap mata saja, ternyata masih dapat menggunakan ilmunya meringankan tubuh demikian hebatnya, aku, diam-diam bergidik, baru tahu bahwa ucapan ayah ternyata benar. Kalau aku tadi dengan gegabah bertempur dengannya, mungkin akan antar jiwaku secara cuma-cuma.

“Dari ucapan ibu, rasanya ia sudah tahu kalau ia dan ayah sudah tidak bisa hidup lagi. Hatiku sedih dan kusut, aku tidak tahu bagaimana harus berbuat. Sebaliknya ayah dan ibu nampak tenang-tenang saja, entah sejak kapan mereka sudah berdampingan satu sama lain. Aku dengar suara ibu yang berkata kepada ayah: ‘Hutang dosaku yang selama ini mengganjal dalam hati, kini sudah kubayar dengan jiwa, hingga hatiku merasa lega. Cuma dengan demikian aku telah merembet-rembet dirimu yang tidak berdosa, hal mana membuat aku merasa tidak senang.’

“Ayah ketawa dan berkata: ‘Kita tidak dilahirkan dalam satu hari, tapi kini telah binasa bersama-sama, bukankah ini sangat baik? Sin-jie kini sudah berusia tujuhbelas tahun, seluruh kepandaianku sudah kuturunkan kepadanya, aku juga tidak perlu memikirkan dirinya lagi. Apakah kau hendak meninggalkan pesan padanya? Aku hendak jalan dulu!’

“Sepasang tangan ayah yang semula diletakkan ke badan ibu, setelah mengucapkan perkataan itu lantas diturunkan, bibirnya tersungging satu senyuman, tapi matanya sudah tertutup rapat. Aku mengerti bahwa sisa kekuatan tenaga dalam ayah diberikan kepada ibu, supaya ia dapat menyambung jiwanya untuk beberapa menit lagi.

“Aku tidak sempat menyatakan kesedihanku, tidak sempat memberi ucapan selamat jalan kepada ayah! Segera aku menanyakan sesuatu kepada ibu: ‘Ibu, siapakah sebenarnya musuhmu itu? Beritahukanlah padaku, aku akan cari paman Tiat, dia adalah Beng-cu rimba persilatan. Meskipun aku tidak dapat menuntut balas untuk ibu, aku yakin paman Tiat pasti akan dapat menuntut balas untuk ibu!’

“Ibu geleng-gelengkan kepala, ia berkata: ‘Sin-jie, ibumu hendak berangkat, ada sedikit pesan untukmu, tapi kau harus dengar kata ibumu!’

“Aku lantas berkata: ‘Sudah aku tentu aku akan dengar pesan ibu!’

“lbu berkata pula: ‘Kau jangan tanya siapa musuhku itu, aku juga tidak mengidzinkan kau menuntut balas!’ “Aku heran, aku lantas menanya dengan suara keras: ‘Kenapa?’

“Ibu lantas menjawab: ‘Aku sekarang sudah tidak ada waktu lagi untuk menjelaskan padamu. Lekas jawab, kau harus berjanji untuk menerima baik pesan ibumu. Jikalau tidak aku mati juga tidak bisa meram.’

“Waktu ibu mengucapkan perkataan itu, parasnya sudah pucat pasi, napasnya sudah memburu. Aku terpaksa menjawab: ‘Ibu, aku dengar katamu, aku tidak akan menuntut balas.’

“Ibu baru unjukkan senyumnya, ia berkata pula: ‘Kau masih harus berjanji bahwa apa yang terjadi malam ini, jangan kau beritahukan kepada Paman Tiat, sudah tentu pula tidak boleh minta bantuan padanya untuk menuntut balas!”

Mendengar penuturan itu, Thie Sui menghela napas, tapi ia tidak berkata apa-apa. Can Pek Sin meneruskan:

“Dalam hatiku merasa heran, paman Tiat adalah sahabat ayah dan ibu yang paling baik, apa sebabnya ibu tidak mengidzinkan aku minta pertolongannya untuk menuntut balas, ini masih dapat dimengerti! Akan tetapi mengapa beritanya saja juga tidak boleh disampaikan padanya?”

“Karena pesan ibu ada sungguh-sungguh, aku tidak berani menanyakan, lagipula juga sudah tidak ada waktu lagi untuk menanyakan lebih lanjut. Ibu khawatirkan aku sedih apabila berjumpa dengan paman Tiat, sekarang ini untuk memberitahukan padanya apa yang telah terjadi! Maka ia minta aku supaya dalam tempo dua atau tiga tahun kemudian baru pergi mengunjunginya. Semua ini aku terima baik.

“Ibu lalu suruh aku menumpang kepada kong-kong. Dan aku lalu bertanya kepada beliau apakah aku boleh memberitahukan hal ini kepada kong-kong?”

“Ibu semula berkata, kalau dapat, sebaiknya jangan diberitahukan. Tapi kemudian ia berkata lagi: ‘Thie kong-kong adalah saudara angkat kakek luarmu, dengan kita merupakan orang sekeluarga. Dalam urusan ini biar bagaimana tidak akan dapat mengelabui matanya, kong-kongmu mengerti urusan ini, kiranya tidak akan menambah dosa bagi ibumu. Tidak halangan kau beritahukan padanya.’

“Ibu nampaknya sudah kehabisan tenaga, napasnya semakin memburu, tapi ia masih coba melanjutkan pesannya. ‘Orang itu sudah terluka, paling cepat juga masih memerlukan waktu tiga tahun lagi baru bisa sembuh sama sekali. Dalam waktu tiga tahun ini, kau harus ikut Thie kong-kong melatih ilmu silat! Walaupun ia berkata mau melepaskan kau, tapi kau juga harus berjaga-jaga kalau-kalau dia nanti mengingkari janjinya. Aku suruh kau menumpang kepada Thie kong-kong, juga karena menjaga dalam waktu tiga tahun ini ia dapat mencelakakan dirimu. Tiga tahun kemudian, kau sudah dewasa, asal kau mampu mencapai delapan bagian saja dari kepandaian ayahmu, aku boleh merasa lega.’

“Aku lantas berkata: ‘Ibu jangan khawatir anakmu pasti akan melatih ilmu silat sampai sempurna! Ibu, apa ibu masih ada pesan lainnya?’

“Ibu kata: ‘Ingat, aku suruh kau belajar ilmu silat, tujuannya ialah untuk menjaga diri, bukan untuk menuntut balas!’ Aku terpaksa terima baik pesan itu.

“Ibu lalu menarik napasnya yang penghabisan dalam keadaan bersenyum.”

Demikian Can Pek Sin menuturkan hal ikh wal kematian ayah bundanya, sehabis menuturkan, ia baru bisa menangis sepuas-puasnya.

Thie Sui lantas berkata sambil menghela napas:

“Anak yang bernasib malang! Aih, jangan menangis! Kong-kong masih ingin bertanya padamu.”

Can Pek Sin angkat kepala, Thie Sui pesut air matanya yang mengalir membasahi kedua pipinya, lalu berkata pula,

“Ibumu suruh kau datang kemari, apa masih ada lain urusan yang kau lupa beritahukan?”

Can Pek Sin ada satu pemuda cerdik, ia sudah mengerti apa maksudnya dalam pertanyaan kong-kongnya ini, dalam hatinya berpikir: lbu memang suruh aku meminang enci Leng, tapi enci Leng kini sudah mempunyai lain kekasih, bagaimana aku dapat katakan lagi?

Justru karena itu, maka pesan terakhir ibunya tentang urusan itu, ia sengaja tidak beritahukan. Ia berpikir sejenak, lalu berkata:

“Ibu suruh aku dengar kata kong-kong, suruh aku baik-baik rawat kong-kong.” “Apa tidak ada pesan lainnya?”

“Tidak.” Demikian Can Pek Sin terpaksa harus membohong.

Thie Sui agak kecewa, tapi karena mengingat keadaan Ong Yan Ie yang begitu menggenaskan, mungkin tidak keburu meninggalkan pesan tentang perjodohan anaknya. Menurut adat istiadat jaman itu, kalau ayah bundanya meninggal dunia si anak harus berkabung tiga tahun, setelah itu baru boleh menikah.

Thie Sui lantas berpikir, karena masing-masing masih belum cukup dewasa, maka nanti tiga tahun lagi akan dinyatakan perjodohan mereka masih belum terlambat, apalagi sekarang mereka bisa bergaul setiap hari, hanya ia khawatirkan Thie Po Leng yang adatnya agak berandalan, apakah kiranya ia dapat melupakan bocah she Lauw itu?

Can Pek Sin angkat kepala, ia menanya kepada kong-kongnya:

“Thie kong-kong, sekarang adalah giliran kong-kong untuk memberitahukan padaku, siapakah sebetulnya musuh keluarga kita itu?”

“Ibumu bukankah pesan padamu, tidak boleh menanyakan asal usulnya musuh itu? Bukankah kau juga sudah berjanji padanya tidak akan menuntut balas?”

“Ibu suruh aku berkata demikian, tidak boleh tidak aku harus berkata demikian pula. Tapi rahasia ini kalau tidak dipecahkan, seumur hidupku tidak akan merasa tenang! Aku pikir, ayah dan ibu adalah orang baik- baik, aku tidak percaya kalau mereka melakukan kejahatan, sehingga hutang darah kepada lain orang. Maka aku harus minta penjelasan, kalau benar memang kesalahan ayah dan ibu, maka aku tidak akan menuntut balas. Jikalau tidak, aku lebih suka disesalkan oleh ibu, aku terpaksa akan menuntut balas!”

“Anak baik, kau berambeg besar. Cuma dalam urusan ini siapa yang benar dan siapa yang salah, sesungguhnya susah dikata!” “Kong-kong, aku cuma ingin tahu faktanya. Katakanlah kong-kong, siapakah musuh itu?” Thie Sui menghela napas, kemudian berkata pelahan-lahan:

“Namanya musuh itu, aku sendiri juga belum tahu. Tapi tentang asal usulnya, aku kira tidak salah lagi. Dia adalah musuh turunan ibumu!”

“Kita mulai dari persoalan berebutan pengaruh dalam rimba hijau sejak tigapuluh tahun berselang. Pada waktu itu, Beng-cu dari rimba hijau adalah seorang she Touw, yang terdiri dari lima saudara. Mereka berkedudukan di gunung Hui-houw-san, sehingga mendapat julukan Lima Harimau dari keluarga touw. Yang tertua Touw Leng Kham, menjagoi dunia rimba hijau.”

“Dalam kalangan rimba hijau pada waktu itu ada dua keluarga yang berpengaruh. Satu adalah keluarga Touw, yang lain adalah keluarga Ong, kakek luarmu. Mereka bersama-sama menjagoi rimba hijau sejak jaman kaisar Sui. Kedudukan Beng-cu dalam rimba hijau, kalau bukan keluarga Ong, ialah keluarga Touw.

“Masih ada lagi keluarga Tiat, yang muncul belakangan, hingga kedudukannya masih di bawah keluarga Ong dan Touw. Tigapuluh tahun berselang, hubungan antara keluarga Tiat dan keluarga Touw ada lebih baik. Ceecu keluarga Tiat, Tiat Kun Lun, kemudian dibunuh mati musuhnya, sisa orang-orangnya menggabungkan diri dengan Ceecu keluarga Touw. Anak lelaki Tiat Kun Lun ialah Beng-cu sekarang ini, Tiat Mo Lek. Kala itu waktu ayahnya meninggal, ia baru berusia enam-tujuh tahun, Touw Leng Kham angkat ia sebagai anak angkatnya.

“Keluarga Touw terdiri dari lima saudara, sedangkan kakek luarmu cuma mempunyai seorang anak laki- laki dan seorang anak perempuan. Setelah keluarga Touw mendapat tambahan orang-orangnya keluarga Tiat, maka pengaruhnya lebih besar, hingga melampaui kakek luarmu. Pada waktu itu aku adalah wakil Ceecu dalam keluarga kakek luarmu.”

“Kalau memang benar pengaruh dan kekuatan keluarga Touw lebih besar daripada kakek luarmu, mengapa kemudian mereka menyerahkan kedudukan Beng-cu kepada keluarga Ong?”

“Bukan menyerahkan, melainkan sesudah mengalami pertumpahan darah hebat! Kejadian yang sudah lampau ini, ibumu sebetulnya tidak ingin diketahui olehmu, tapi sekarang, aku terpaksa beritahukan juga padamu.”

Teringat kejadian di masa lampau itu, Thie Sui menghela napas, setelah itu ia baru melanjutkan penuturannya:

“Mau tahu jelas sebab musababnya, kita mulai dulu dari keluarga Touw.”

“Touw Leng Kham ketika menjadi Beng-cu, tindakannya terhadap sesamanya terlalu kejam. Ia mengira keluarga Ong sudah mulai runtuh, tidak ada orang lagi yang berani merintangi sepak terjangnya, di kalangan Kang-ouw mereka malang melintang. Orang-orang rimba persilatan di luar golongan hitam juga banyak musuhnya, satu di antaranya ialah Khong-khong Jie, yang kini namanya sangat terkenal.

“Kakek luarmu berusaha keras hendak merebut kembali kedudukan Beng-cu, ia mengirim anak perempuannya untuk belajar ilmu silat kepada seorang pandai kenamaan, anak lelakinya berguru kepada seorang gagah dari golongan sesat. Ia berhasil mendapat beberapa rupa kepandaian yang sangat lihay dari golongan sesat. Anak perempuannya dari Biauw Hui sin-nie berhasil mendapat pelajaran ilmu pedang, kepandaiannya lebih tinggi dari pada engkonya.”

“Oh, kiranya aku masih mempunyai satu engku. Tapi ibu belum pernah sebut tentang diri engku itu.”

“Engkumu itu kemudian masuk golongan sesat, dan menemukan ajalnya secara mengecewakan. Maka ibumu tidak mau sebutkan dirinya. Tentang engkumu, dengan kematian ayah ibumu ini tidak ada sangkut pautnya, kau juga tidak perlu tahu.”

“Ya, aku cuma ingin tahu asal usulnya musuh kita itu.”

“Pertempuran antara keluarga Ong dan Touw waktu itu, ibumu baru berusia limabelas tahun, tapi kepandaian ilmu pedangnya sudah mendapat didikan dari Biauw Hui Sin-nie. “Pada waktu itu kakek luarmu minta bantuan Khong-khong Jie dan Ceng-ceng Jie dua saudara, ditambah lagi dengan orang-orang yang tidak senang dengan sepak terjangnya persaudaraan Touw, mereka menyerbu ke gunung Hui-houw-san.”

“Di pihaknya keluarga Touw juga mendapat banyak bantuan orang pandai, salah satu yang herkepandaian paling tinggi ialah iparnya, ialah pendekar kenamaan pada waktu itu, Toan Kui Ciang. Orang ini adalah ayahnya Toan Khek Gee.”

“Namanya Toan tayhiap aku sudah pernah dengar, sekarang masih sering disebut-sebut banyak orang, tapi dia adalah satu pendekar, bagaimana mau membantu kejahatan semata-mata karena berhubungan famili saja?”

“Nyonya Toan tayhiap, ialah Touw Suan Nio, memang tidak bisa akur dengan lima saudara lakinya, maka setelah menikah, suami isteri itu lantas meninggalkan keluarga Touw dan berdiam di salah satu desa kecil. Justru karena itulah mereka tidak begitu mengetahui keadaan dunia rimba hijau. Sebaliknya dengan Touw Suan Nio, meskipun tidak bisa akur dengan saudara-saudaranya, tapi bagaimanapun masih terikat tali persaudaraan, sudah tentu tidak bisa tinggal diam, maka akhirnya suami istri itu juga terlibat dalam pertikaian itu.”

Can Pek Sin agak curiga, pikirnya: Toan Kui Ciang ada satu pendekar kenamaan, sekalipun agak asing keadaan dalam kalangan rimba hijau, rasanya tidak mungkin jika tanpa sebab mau membantu keluarga Touw. Apakah kakek luarku juga ada mempunyai kesalahan?

Thie Sui rupanya dapat menduga hati anak muda itu, ia berkata pula sambil menghela napas.

“Dalam dunia rimba hijau, sebetulnya sulit untuk mengatakan siapa yang benar dan siapa yang salah. Orang-orang yang hidup dalam kalangan itu, sedikit banyak ada pernah melakukan kesalahan, sudah tentu pula tidak terhindar dari permusuhan. Walaupun bagaimana juga, keluarga touw sepak terjangnya sangat keterlaluan, kalau dibanding dengan mereka, kakek luarmu ada lebih baik.”

Thie Sui adalah wakilnya Ong Pek Thong, sudah tentu membantu saudara angkatnya. Sebetulnya, keluarga Ong juga tidak lebih baik daripada keluarga Touw, kalau ia berhasil merebut kedudukan Beng-cu, semata mata karena hasil usahanya menggunakan kekerasan.

Kemudian, apa yang dilakukan oleh Ong Pek Thong, bahkan semakin keliru, ia telah bersekutu dengan An Lok San, ini yang lebih tidak berharga daripada keluarga Touw.

Baru pada saat hendak menutup mata, Ong Pek Thong merasa menyesal. Thie Sui juga kemudian baru tahu kesalahannya, tapi ia hanya ‘mengaku salah dalam hati’ di mulutnya tidak mau mengatakan kepada keturunannya yang lebih muda.

Selain daripada itu, sudah beberapa puluh tahun ia menjadi wakilnya Ong Pek Thong, meski sifatnya agak jujur, perbuatannya juga tidak terlalu banyak salah, tapi jarang berhubungan dengan orang-orang dari golongan benar. Hanya di waktu lanjut usianya ia baru ada sedikit perhubungan dengan Tiat Mo Lek serta melakukan sedikit pekerjaan baik. Oleh karena setelah keluarga Ong runtuh, dan ia sendiri sudah mulai lanjut usianya, maka terpaksa cuci tangan. Sebetulnya ia masih tidak dapat melupakan di masa jayanya ketika masih menjabat kedudukan wakil Beng-cu.

Asal usul dan didikan Can Pek Sin jauh berlainan dengan Thie Sui. Begitu lahir, ayah bundanya sudah berobah menjadi orang-orang golongan benar, bukan orang-orang golongan sesat lagi. Sedari kecil sudah dipengaruhi oleh kepribadiannya Tiat Mo Lek, meski baru berusia tujuhbelas tahun, tapi mengenai segala urusan lebih banyak mengerti daripada Thie Sui yang sudah menjadi kakeknya.

Setelah mendengar penuturan Thie Sui, dalam hatinya lantas berpikir: Perkataan Thie kong-kong ini belum tentu benar. Tiat Mo Lek juga beng-cu dari golongan rimba hijau, tapi orang-orang dunia Kang-ouw sebut padanya tayhiap, tiada orang yang berkata ia berbuat salah. Jadi, urusan dalam rimba hijau, juga belum tentu selalu membabi buta, tidak bisa dibedakan yang benar dengan yang salah.

Tapi karena Can Pek Sin tidak membicarakan soal ini, melainkan ingin tahu asal usul musuhnya. Apalagi Ong Pek Thong adalah kakek luarnya, kalau Thie Sui mengatakan dia lebih baik dari pada keluarga Touw, ia percaya keseluruhannya. Walaupun ia tidak setuju dengan ucapan Thie Sui yang mengatakan bahwa dalam dunia rimba hijau tidak ada yang benar dan yang salah.

Karena itu, maka ia lantas menanya:

“Bagaimana kesudahannya pertempuran besar itu? Waktu itu Toan tayhiap ada membantu keluarga Touw, bukankah ini berarti bermusuhan dengan ayah dan ibu? Dan lagi, kau kata Tiat Mo Lek ada anak angkat keluarga Touw, tapi mengapa kemudian ia menjadi sahabat baiknya ayah dan ibu?”

“Kau jangan kesusu, nanti aku beritahukan padamu. Waktu itu ibumu baru berusia limabelas tahun, ayahmu belum bertemu muka dengan ibumu. Waktu itu ia juga tidak bertempur dengan Toan Kui Ciang.”

“Kalau begitu, siapa yang pukul mundur Toan tayhiap?”

“Toan tayhiap semula mengalahkan Ceng-ceng Jie. Kemudian dengan istrinya melawan Khong-khong Jie.

“Khong-khong Jie membeberkan kejahatannya keluarga Touw. Toan Kui Ciang lalu berjanji padanya, jika mereka suami istri terkalahkan setengah jurus saja di tangan Khong-khong Jie, mereka tidak akan campur tangan lagi dalam urusannya keluarga Touw.

Akhirnya Khong-khong Jie memang setuju dalam pertandingan itu, maka Toan Kui Ciang suami isteri lantas memenuhi janjinya, meninggalkan kancah pertikaian itu, di waktu pergi mereka bawa Tiat Mo Lek, yang waktu itu usianya sebaya dengan ibumu, tapi kepandaiannya masih tidak begitu tinggi, bahkan kalah dengan ibumu. Untung Toan Kui Ciang bawa ia pergi, kalau tidak Tiat Mo Lek waktu itu pasti turut korbankan jiwanya dalam pertempuran hebat itu.”

Berkata sampai di situ, Thie Sui menghela napas panjang, kemudian berkata pula:

“Siapapun tidak ada yang menyangka, kalau di kemudian hari antara Toan Kui Ciang, Tiat Mo Lek dan Khong-khong Jie serta ayah bundamu menjadi sahabat karib.”

“Toan dan Tiat kedua tayhiap, sudah tentu tidak dapat dibandingkan dengan lima saudara Touw. Ayah bundaku ada orang baik-baik, mereka melenyapkan sikap permusuhannya dan menjadi sahabat, ini sudah dapat kita duga.”

Dugaan ini boleh dikata cuma benar sebagian, karena ia tahu bahwa ayah bundanya itu pada waktu belakangan baru menempuh jalan kebenaran.

Thie Sui berkata sambil ketawa getir:

“Perkara salah atau benar, sebetulnya juga sulit untuk menemukan. Kita semua anggap bahwa ibumu menyingkirkan lima saudara Touw itu adalah untuk menyingkirkan kejahatan dalam rimba hijau, tapi dari kalangan rimba hijau tidak sedikit yang menganggap perbuatan ibumu itu terlalu kejam. Tiat Mo Lek sendiri bertahun-tahun lamanya juga pernah membenci ibumu, kemudian karena ibumu pernah menolong jiwanya, hingga akhirnya menjadi sahabat baik.”

Can Pek Sin terkejut, ia menanya:

“Apakah kelima saudara Touw itu ibu yang membasmi? Aku tadinya mengira mati di tangan Khong-khong Jie. Waktu itu orang-orang yang mengambil bagian dalam pertempuran hebat itu, bukankah Khong-khong Jie yang terhitung paling kuat?”

“Lima saudara Touw, mana dipandang mata oleh Khong-khong Jie? Dia setelah memukul mundur Toan Kui Ciang suami istri, juga tidak perlu turut turun tangan lagi. Cuma, meski ia tidak turun tangan tapi telah memberi petunjuk kepada ibumu. Setidak-tidaknya ia juga turut pikul sebagian tanggung jawabnya.

“Waktu itu, ibumu baru berusia limabelas tahunan, tapi ilmu pedangnya sudah tinggi sekali. Dalam pertempuran sengit dengan lima saudara Touw, di bawah petunjuk Khong-khong Jie, sambil bersenda gurau ia sudah berhasil membunuh mati lima saudara itu seluruhnya. Kakek luarmu mendapat kemenangan besar, seluruh keluarga Touw dibunuh mati semua!”

Can Pek Sin terperanjat, tanyanya: “Dibunuh seluruhnya? Bukankah itu terlalu kejam?”

“Berebutan pengaruh antara keluarga Touw dan Ong, sudah berlangsung ratusan tahun. Dengan susah payah kakekmu baru berhasil mendapat kemenangan itu, bagaimana mau membiarkan keturunan Touw nanti bisa bangkit lagi? Sudah tentu ia akan membasmi sampai ke akar-akarnya! Pertikaian dalam rimba hijau kebanyakan memang begitu, kau tidak membunuh orang, orang akan membunuh kau. Sekalipun kejam, juga tidak perduli lagi.”

“Aih, mau dikata terbunuh seluruhnya, juga belum dapat dipastikan, kalau dilihat apa yang terjadi atas diri ayah bundamu. Setidak-tidaknya masih ada satu orang yang lolos!”

“Apakah dia adalah itu orang yang membunuh ayah dan ibu?”

“Benar. Menurut pemandanganku, musuh yang membunuh ayah bundamu itu, pasti adalah itu keturunan keluarga Touw yang waktu itu bisa lolos. Kau kata orang itu menggunakan senjata gaetan dan tameng, itu memang senjata persaudaraan Touw yang tertua dan kedua. Cuma orang itu bisa menandingi kepandaian ibumu malah bisa menyambuti serangan ayahmu, yang paling dahsyat, maka kepandaiannya nyata jauh lebih tinggi daripada kepandaian lima saudara Touw pada waktu itu. Berapakah usia orang itu?”

“Nampaknya baru kira-kira empatpuluhan.”

“Waktu itu ketika mengadakan pembasmian pada keluarga Touw, mungkin karena anak-anak, kita tidak perhatikan, hingga ia bisa lolos. Orang itu menunggu dengan sabar sampai tigapuluh tahun lamanya, sampai kepandaiannya dirasa cukup untuk menggempur musuhnya, baru ia unjukan diri untuk menuntut balas. Boleh dibilang ada satu usaha yang berat juga.”

Mendengar seluruh kisah itu, perasaan Can Pek Sin tidak karuan. Ibunya telah membunuh lima ssudara Touw, dan sekarang keturunan keluarga Touw membunuh ayah bundanya. Pantas ibunya berkata bahwa itu adalah persoalan balas membalas dendam.

Ia tidak bisa mengambil keputusan, maka lalu menanyakan kepada kong-kongnya:

“Thie kong-kong, tentang sebab dan akibat pembunuhan ini, kau sudah mengerti semuanya. Menurut pendapatmu, permusuhan ini aku harus menuntut balas atau tidak?”

“Perbuatan yang dilakukan oleh ibumu juga tidak boleh dikatakan salah keseluruhannya. Menurut dugaanku, sewaktu hendak menutup mata dalam hatinya ia barangkali takut kalau balas membalas ini tidak ada akhirnya. Maka ia pesan kau jangan menuntut balas. Tapi, meskipun kau tidak akan menuntut, nanti orang itu setelah sembuh lukanya, juga belum tentu mau lepaskan dirimu begitu saja.”

“Ya, ibu juga berkata demikian. Maka ia suruh aku menumpang kepada kong-kong.”

“Soal bunuh membunuh dalam kalangan rimba hijau, susah dikata siapa yang benar dan siapa yang salah. Menuntut balas atau tidak, aku tidak berani putuskan sendiri. Menurut anggapan umum, musuh ayah bundamu, adalah musuh yang terbesar. Jikalau kau menuntut balas, juga tidak ada orang yang menyalahkan kau. Maka sebaiknya kau ambil keputusan sendiri.

“Biar bagaimanapun, kau harus lebih rajin melatih ilmu silatmu, supaya bisa menghadapi musuhmu. Anak, kakek luarmu dulu pernah menjadi Beng-cu, aku harap di kemudian hari kau juga bisa menjadi orang kuat nomor satu dalam rimba persilatan. Dengan demikian, nanti setelah aku meninggal dunia, juga sudah merasa puas, juga tidak merasa malu bertemu dengan kakekmu di alam baka. “

“Ucapan kong-kong ini terlalu jauh. Lagi pula, aku juga tidak berpikir hendak merebut kedudukan Beng-cu dari tangan Tiat Mo Lek. “

“Tiat Mo Lek kini sudah empatpuluh tahun lebih usianya, dia tokh tidak akan menjadi Beng-cu untuk selama-lamanya.”

“Ibumu melarang kau memberitahukan kepada Tiat Mo Lek, oleh sebab ia juga ada yang tidak mau beritahukan padamu. Tiat Mo Lek ada anak angkatnya keluarga Touw, dengan keluargamu juga ada mempunyai hubungan dalam. Sekalipun ia tidak membantu musuhmu, kiranya juga tidak bisa membantu kau. Beritahukan padanya, sebaliknya malah membuat ia berada dalam kesulitan, terhadap kau belum tentu menguntungkan.”

“Aku mengerti.”

“Maka, kalau kau ingin menuntut balas, berharaplah pada dirimu sendiri. Meski usiaku sudah lanjut, tidak bisa turun tangan sendiri, tapi kalau hanya membantu sekedar tenaga saja umpama membantu kau memperdalam kepandaian ilmu silatmu, rasanya masih sanggup.”

“Kong-kong benar, aku nanti hendak menuntut balas juga baik, tidakpun baik, tapi kepandaian harus aku mahirkan. Maka harap kong-kong suka memberi bimbingan.”

“Meski aku tidak berguna, tapi sejak aku cuci tangan, selama tigapuluh tahun ini, karena tidak ada pekerjaan, juga berhasil menciptakan beberapa ilmu silat baru, aku sudah anggap kau sebagai cucuku sendiri, kepandaianku ini, asal kau masih mau belajar, aku nanti akan turunkan padamu keseluruhannya.

“Kepandaian keturunan keluargamu yang diturunkan oleh ayah bundamu, itu ada merupakan kepandaian gabungan dari golongan benar dan sesat, kau juga tidak boleh tinggalkan. Terhadap kepandaian ayah bundamu itu, meski aku belum mengetahui sampai sedalam-dalamnya, tapi tentang kepandaian ilmu silat berbagai cabang, aku yakin bahwa pengartianku cukup banyak. Maka kalau kau menemukan kesulitan, mungkin aku dapat membantu padamu.”

“Budi kong-kong besar sekali, aku sudah tidak mempunyai ayah dan ibu, semua harus berharap kepada kong-kong. Aku berjanji hendak belajar baik-baik ilmu kepandaian, tidak nanti mengecewakan pengharapan kong-kong.”

”Bagus, itulah ada satu anak baik. Kau dengan aku selanjutnya sudah menjadi orang-orang sendiri, perkataan terima kasih, tidak usah kau ucapkan.

“Mulai besok, kau dengan Leng-jie berlatih bersama-sama, aku nanti menetapkan pelajarannya.” “Baik.”

“Adat Leng-jie agak berandalan, jikalau ia berlaku salah terhadap kau, pandanglah diriku, harap kau sabar sadikit terhadapnya.”

“Aku cuma khawatir karena usiaku terlalu muda dan tidak mengerti urusan, barangkali menjengkelkan enci Leng.”

“Kalian tokh sudah bergaul sejak kanak-kanak, satu sama lain sudah saling mengenal tabiat masing- masing. Dia adalah encimu, seharusnya ia menyayangi kau. Tentang tabiatnya yang kurang baik, aku tahu kau dapat mengerti. Kalian harus seperti dulu-dulu, satu sama lain saling mencintai, aku juga merasa senang.”

Mendengar perkataan itu, Can Pek Sin teringat kejadian di masa lampau, hatinya merasa pilu. Sebetulnya ia tidak ingin melatih ilmu silat bersama-sama enci Lengnya, tapi bagaimana ia dapat menerangkan kepada kong-kongnya? Apalagi sang kong-kong juga tidak akan mempelajari mereka secara terpisah- pisah.

Can Pek Sin berpikir sejenak, kemudian berkata: “Thie kong-kong, aku, aku...” “Apa yang ingin kau katakan? Terangkan saja!”

“Perkara ayah bundaku, aku pikir sebaiknya jangan sampai diketahui oleh enci Leng.”

Thie Sui seorang sudah tua, segera mengetahui perasaan pemuda itu, yang tentunya takut kalau Thie Po Leng memhocorkan rahasia ini kepada orang luar. Ia kerutkan alisnya, tapi tidak berkata apa-apa, hanya berkata:

“Baiklah! Nanti setelah kau anggap sudah tiba waktunya untuk diberitahukan, kau beritahukan saja padanya.” Ia berhenti sejenak, kemudian berkata pula. “Enci Lengmu sudah dewasa, aku juga sudah tua, kurang pantas terlalu mengikat padanya. Dia sifatnya suka bergerak, adatnya juga agak berandalan. Tapi semua ini karena tidak ada kawan sebayanya yang diajak berkawan. Sekarang kau sudah datang, dapat mengawani padanya, aku pikir barangkali ia bisa berlatih di rumah dengan tenang.”

Baru bicara sampai di situ, Thie Po Leng sudah menegur sambil ketawa:

“Yaya, apa yang kau katakan tentang diriku di hadapan adik Sin?”

“A Leng, masuklah. Siao-sin sejak kecil sudah bersama-sama dengan kau, mengenai adatmu yang berandalan itu apa kau kira dia tidak tahu? Perlu apa yayamu harus katakan padanya? Aku sedang bicara dengan dia, suruh dia untuk membantu aku mengawasi kau!”

Dengan membawa sestel pakaian, Thie Po Leng masuk ke dalam, katanya:

“Bagus sekali, yaya, kau berat sebelah. Siao-sin datang, kau lantas bersepakat dengan dia mengekang diriku. Heh, Siao-sin, kelihatannya kau masih seperti anak-anak, apa kau benar-benar akan bantu yaya mengekang aku?”

Can Pek Sin buru-buru menjawab dengan muka merah:

“Yaya cuma main-main saja. Aku justru ingin minta enci yang bimbing aku.” Thie Po Leng berkata sambil ketawa:

“Kiranya kau juga tidak berani. Baiklah, kita seperti di waktu masih anak-anak, kau tak usah perdulikan aku, aku juga tidak akan campur tahu urusanmu. Kalau kau hendak mencampuri urusanku, demikian juga aku terhadap kau. Aku tidak akan berlaga sebagai enci, tapi kau juga jangan bikin aku marah. Apa kau masih ingat, di waktu anak-anak aku sering memukuli kau. Kalau sekarang kau coba-coba bikin aku marah, aku masih tetap bisa hajar kau.”

Thie Sui lantas menegur:

“Anak gila, semakin besar semakin menjadi-jadi. Siao-sin mesti lebih muda satu tahun daripadamu, ia lebih banyak mengerti urusan daripada kau. Aih, cuma sayang ayah bundamu mati muda-muda dan aku juga tidak ada kemampuan untuk menghajar kau.”

Mendengar kakeknya menyebut-nyebut ayah bundanya, Thie Po Leng hatinya merasa berduka, ia berkata sambil tundukkan kepala:

“Yaya, aku cuma suka main-main saja, lihat, kau lantas katakan aku anak binal. Baiklah selanjutnya aku akan belajar kepada adik Sin, tidak akan ribut-ribut, supaya kau tak usah kesal hati.”

Thie Sui sebetulnya sangat sayang kepada cucu perempuannya itu, ia juga merasa bahwa perkataannya terlalu tajam, maka ia lantas berkata:

“Asal kau enci dan adik selanjutnya bisa hidup rukun, jangan cekcok, aku juga merasa senang. Kita orang- orang yang belajar ilmu memang ada orang-orang bangsa kasar, maka aku juga tidak minta kau mentaati peraturan seperti gadis pingitan. Kau suka bermain, selanjutnya Siao-sin bisa kawani kau, aku juga tidak usah merasa khawatir lagi. Cuma ada satu hal yang ku ingini dari kalian, kalian tidak boleh berhantam!” Berkata sampai di situ, orang tua itu juga ketawa geli sendiri.

Thie Po Leng ada satu gadis lincah polos, mendengar kata-kata kakeknya, kedukaan dalam hatinya seketika lantas lenyap. Ia lalu beber baju yang ia bawa dan berkata kepada Can Pek Sin:

“Siao-sin, kau mengerti urusan, encimu hadiahkan kau sestel pakaian baru. Kau coba, cocok untuk badanmu atau tidak?”

Dalam hal ini Thie Po Leng ternyata sangat cermat, ia tahu bahwa pemuda itu sedang berkabung, maka ia buatkan pakaian yang berwarna putih. Can Pek Sin menyambuti pakaian itu, lalu berkata:

“Enci Leng, kau terlalu capaikan hati. Aku baru tiba sudah membuat kau repot, sesungguhnya aku merasa tidak enak sekali.” “Kau bagaimana sih? Sudah besar, lantas pandang encimu seperti orang luar saja? Sepotong pakaian apa artinya, juga perlu apa kau ucapkan perkataan demikian merendah? Lekas pergi ganti pakaian. O ya, di kamar mandi aku sudah sediakan air untuk kau mandi. Sekarang aku hendak menanak nasi, sehabis mandi, kita nanti boleh makan.”

Dalam hati Can Pek Sin lantas berpikir: Encie Leng ini masih suka bermain, tapi pandai mengurus rumah tangga pula! Aih, cuma sayang...

Ia tidak mau memikir lagi, lalu pergi…..

********************

Setelah Can Pek Sin berlalu dan selagi Thie Po Leng hendak keluar, Thie Sui mendadak merasa curiga, ia lalu panggil padanya dan berkata:

“Hari sudah hampir malam, apa kau belum menanak nasi?”

“Belum, selama setengah hari ini, aku membuat baju untuk adik Sin.”

“A Leng, dihadapan yayamu, kau tidak boleh membohong, apakah tadi kau curi dengar pembicaraan yayamu?” berkata Thie Sui dengan suara perlahan. Karena ia tahu kepandaiannya, menjahit sapotong baju tidak memperlukan waktu setengah hari.

Thie Po Leng monyongkan mulutnya, dihadapan yayanya ia berlaku aleman, katanya:

“Siao-sin pandang aku sebagai orang luar, ia menjaga diriku. Yaya, kau juga membantu padanya mengelabuhi, dan membohongi aku. Ada rahasia, semua dibicarakan di belakang diriku. Hm, kalau begini kalian tidak percaya orang!”

Thie Sui terperanjat, ia buru-buru memberi keterangan:

“Kau tidak tahu betapa seriusnya urusan ini, kedatangan Siao-sin adalah untuk menyingkiri musuhnya, yang telah memhunuh ayah bundanya itu. Perihal kepandaian musuhnya, sangat tinggi apabila dibandingkan dengan kapandaiannya sendiri. Usiaku sendiri sudah lanjut, kalau rahasia ini bocor dan musuh datang kemari, bagaimana kita harus menghadapinya? Bukan saja Siao-sin tidak sanggup, kita berdua barangkali akan terlibat semuanya.

“Siao-sin tahu adatmu, ia takut kau omong seenaknya saja, maka ia tidak berani memberitahukan padamu. Kau harus mengerti keadaan dan perasaannya, tidak boleh sesalkan dirinya. Paling baik kau berlaga tidak tahu, supaya ia jangan sampai tahu kalau kau telah mendengar pembicaraannya.” Berkata sampai di situ, ia ketawa dan berkata disamping telinganya: “Satu hari kelak Siao-sin pasti akan memberitahukan padamu. Bagaimana ia pandang kau sebagai orang luar? Waktu tiga tahun cepat berlalu, dikemudian hari ia masih memerlukan bantuanmu, untuk menuntut balas bersama-sama. Cuma, sekarang kau jangan terangkan dulu.”

Thie Po Leng ada satu gadis cerdik, ia segera dapat menangkap maksud dari ucapan yayanya itu, ini berarti bahwa tiga tahun kemudian, setelah Can Pek Sin herhasil dengan ilmu kepandaiannya dan sudah habis waktunya berkabung, akan dikawinkan dengannya. Setelah menjadi suami isteri sudah tentu Can Pek Sin tidak akan merahasiakan lagi urusannya.

Dengan paras kemerah-merahan ia berkata:

“Aku justru tidak mau tahu urusan rumah tangganya. Kau suruh aku berlagak tidak tahu boleh saja. Tapi aku ingin menjelaskan lebih dulu, bahwa aku anggap Siao-sin sebagai adik, aku tidak ingin, tidak ingin...”

Biar bagaimana ia masih satu gadis remaja, perkataan ‘menikah’ akhirnya tidak dapat keluar dari mulutnya.

Thie Sui delikkan matanya, ia lalu berkata: “Siao-sin apanya yang tercela? Kau cuma tahu suka kepada bangsat kecil itu saja! Hm, aku juga perlu menjelaskan lebih dulu padamu, apabila aku ketahui kau masih suka bergaul dengan bangsat kecil itu, pasti akan kupatahkan kedua pahanya!”

Thie Po Leng tahu benar adat Yayanya, sudah beberapa puluh tahun hidup dalam kalangan rimba hijau, membunuh jiwa seseorang baginya bukan soal. Sekalipun ia dimanja oleh Yayanya, tapi saat itu ia juga tidak berani membangkitkan kegusaran Yayanya.

Thie Sui sebaliknya khawatirkan sang cucu itu nanti menimbulkan onar, maka ia terpaksa berkata:

“Baiklah, asal kau perlakukan baik adikmu itu, kawin atau tidak, nanti tiga tahun kemudian kita bicarakan lagi. Ingat pesanku, jangan sekali-kali kau bocorkan rahasianya. Nah, pergilah menanak nasi.”

Can Pek Sin sehabis mandi, keadaannya berlainan, ketika bertemu dengan Thie Po Leng, lantas ditegur oleh sang enci itu sambil ketawa:

“Aha, sekarang nampaknya kau sudah menjadi satu pemuda yang ganteng tampan, dibandingkan dengan keadaanmu di waktu siang hari jauh berlainan. Patung Budha harus dihias dengan emas, manusia harus dihiasi dengan pakaian, perkataan ini ternyata benar.”

Can Pek Sin baru berusia belasan tahun, meski pikirannya sudah agak dewasa, tapi biar bagaimana sifat kekanak-kanakan masih ada, mendapat pujian encinya sedemikian rupa, hatinya lantas merasa sangat girang. Dengan muka kemerah-merahan ia menyahut,

“Enci, kau suka menggoda aku saja. Aku...”

Ia sebetulnya ingin mengatakan: “Bagaimana dapat dibandingkan dengan orang lain?” Tapi karena mengingat kong-kongnya tidak suka pemuda she Lauw itu, ia terpaksa urungkan maksudnya.

“Kau kenapa? Aku kata kau seorang pemuda ganteng, tapi kau mendadak seperti, seorang, gadis yang malu-malu kucing?” berkata Thie Po Leng.

“Perutku sudah lapar,” sahutnya Can Pek Sin

“Ya, aku tahu perutmu tentu sudah lapar, maka sekarang akan kuundang kau makan,” berkata Thie Po Leng sambil ketawa terbahak-bahak.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar