Heng Thian Siau To BAGIAN 29 : MELUNASI HUTANG

 
BAGIAN 29 : MELUNASI HUTANG

Kira2 dua jam berjalan dia dan The Ing sudah keluar dari Lo-hu-san.

Kala itu rembulan purnama.

Lapisan mega tipis sayup2 bertebaran melalui dewi malam itu.

Untuk melonggarkan kemengkelannya, Tong Ko mainkan goloknya dalam ilmugolok ajaran Ang Hwat cinjin. Lui-tong-in-in, lui-tian-kiau-co, hong-luiki-seng, 3 jurus lengkap dia mainkan sampai selesai.

Sewaktu mengakhiri permainannya, Tong Ko papaskan goloknya kesebuah batu besar. Tring......., terbelah batu besar itu menjadi dua.

Tong Ko maju mendekati dan menghantam lagi. Dua belah batu itu, terhantam menjadi empat belah.

Setelah puas, barulah Tong Ko lintangkan goloknya dimuka dada.

Dengan tertawa dia berpaling, tanyanya: "Nona The, kemana kita hendak pergi ini?"

The Ing tahu bahwa hati anak muda itu sedang gundah resah, maka iapun menyahut: "Terserah padamu, hanya saja aku ingin sekali berjumpa dengan ayah dan mamahku!"

"Aku bagaikan seekor burung, empat penjuru lautan ini adalah rumahku. Baik, mari kita menuju ke Sip-ban- tay-san!"

Menjelang malam, mereka baru mencari rumah penginapan. Keesokan harinya mereka lanjutkan perjalanan lagi.

Selama dalam perjalanan itu, mereka menuturkan pengalaman masing2 sejak berpisah.

Setelah jelas mengetahui bahwa anak muda itu masih tetap menyintai Tio In, maka sengaja The Ing perlambat perjalanannya.

Pertama karena ia berduka, kedua supaya dapat lebih lama berkumpul dengan Tong Ko.

Perjalanan ke Sip-ban-tay-san itu hampir memakan waktu satu bulan.

Begitu mendorong pintu rumah The Go, segera Tong Ko berseru: "Ang Hwat cianpwe, aku sudah kembali!"

Tiada penyahutan.

The Ing menyatakan herannya mengapa kedua ayah bundanyapun belum pulang, Tong Ko menghiburnya barangkali ayah bunda The Ing itu masih ada  lain urusan.

"Engkoh Ko mengasohlah dahulu, biarlah kutangkapkan dua ekor ayam hutan untuk santapan!" kata The Ing terus menuju keluar.

Belum sempat Tong Ko mengiakan, atau The Ing kedengaran menjerit kaget.

Cepat Tong Ko loncat memburu. Diatas dahan sehatang pohon lengkeng tua yang separoh bagian sudah kering, tampak ada sesosok tubuh bergelantungan dengan kaki diatas. Puhun itu ada 6-7 tombak tingginya dan tubuhnya ber-goyang2 tertiup angin, jadi tak kelihatan jelas air mukanya. "Aneh, pohon lengkeng itu sudah lama layu kering. Ketika masih kecil aku pernah memanjat dan putuslah dahan yang kuinjaknya. Ilmu gin-kang siapa yang dapat naik sedemikian tingginya?" kata The Ing.

Setelah mendongak mengawasi sejenak, baru Tong Ko berkata: ”Nona The, ilmu ginkang orang itu memang sempurna, orang yang tergantung dipuhun itu sudah mati. Setelah mati, baru orang itu digantung!"

Jadi dapat dibayangkan bagaimana lihay ginkang orang itu.

"Ang Hwat cinjin?" seru The Ing dengan kagetnya.

Tong Ko menggeleng: "Ang Hwat cinjin tak nanti berbuat begitu, mari kita naik memeriksa keatas!"

Tong Ko enjot tubuhnya naik kesebatang dahan, tapi baru sang kaki menginjak, dahan itu segera patah. Tong Ko cepat mencapai dahan lainnya sebelah atas, tapi dahan itupun patah dan jatuhlah Tong Ko bersama  dahan itu.

"Engkoh Ko, separoh bagian dari pohon itu entah sudah berapa tahun kering kerontang, memang sukar dipanjat!"

"Aneh, mengapa dahan yang dibuat menggantung orang itu tak putus? Kita harus memeriksa keatas!"

"Untuk memanjat keatas, mudah saja. Kita harus melalui bagian batang yang tidak kering!"

Tong Ko lakukan usul itu dan tak lama kemudian dapatlah dia tiba dipuncaknya, tapi masih terpisah 2 meteran dari tubuh mayat itu. Namun dari situ dapat dilihatnya jelas keadaan korban itu.

Umurnya kira2 50-an tahun, memelihara janggut pendek yang menjikrak.

Sikapnya menandakan seorang persilatan.

Kiranya dahan yang dibuat menggantung orang itu, bukan dahan puhun tapi sebatang tiang besi yang ujungnya dimasukkan kedalam batang puhun. Sepintas pandang, tampaknya memang seperti dahan kering. Tong Ko loncat keatas dan menurun mayat itu. Tubuh korban itu tak terdapat luka apa2 melainkan punggungnya terdapat sebuah telapak tangan. Inilah yang menyebabkan kematian orang itu. Tong Ko belum pernah mendengar tentang akhli silat yang begitu hebat pukulannya.

"Nona The, mungkin si pembunuh belum jauh dari sini, ditilik dari kepandaiannya rasanya kita masih dibawahnya. Lebih baik kita ber-hati2, siapkan senjatamulah!" kata Tong Ko.

The Ing mengatakan bahwa tali cengsi-nya sudah siap segala waktu. Tapi mencari kesekeliling situ sampai sekian lama, mereka tak bertemu dengan jejak apa2. Terpaksa mereka kembali kedalam pondok lagi. Baru The Ing hendak membuka mulut atau Tong Ko cepat  memberi isyarat tangan supaya diam, karena, didengarnya dikamar sebelah ada suara orang tidur mendengkur. Cepat dia mendorong pintu dan dapatkan diatas balai2 bambu tidur seorang gemuk dengan pulasnya. Tong Ko belum pernah melihat orang itu. "Ai, rasanya aku pernah kenal dianya!" kata The Ing. Dan karena suara The Ing itu maka menggeliatlah orang itu bangun. Dia memandang kearah kedua anak muda itu.

Tampak jelas bagaimana sorot matanya bersinar ungu. Teringat akan telapak tangan ungu yang terdapat pada punggung mayat dipuhun itu, Tong Ko dan The Ing terkesiap.

"Hai, kau siapa, mengapa seenaknya sendiri tidur diranjang ayah ku?" tegur The Ing.

Orang itu tertawa sahutnya: "Aku selalu bebas berbuat sesukaku, sedang Tay Siang siansu saja tak  dapat mengganggu usik diriku, masakan seorang budak perempuan berani usilan?"

Waktu orang itu mengungkit nama Tay Siang siansu, sesaat teringatlah The Ing sewaktu ia bersama Bek Lian melarikan diri dari kejaran Liat Hwat cousu digunung Lo- hu-san tempo hari. Ia menjumpai Tay Siang siansu sedang duduk berhadapan dengan seorang gemuk.  Benar Tay Siang itu waktu tak memberi tahu, tapi pernah ayahnya (The Go) mengatakan sesuatu tentang orang itu. Maka siraplah amarahnya dan berseru "Kau..."

Tapi belum ia lanjutkan kata2nya, Tong Ko sudah menyelutuk: ”Yang tergantung diatas puhun itu, apakah tuan yang melakukankan?"

Orang itu menguap dulu, baru acuh tak  acuh menjawab: ”Benar, orang itu bergelar Tiat-pi-tong-kak Cin Gun!"

Tong Ko terbeliak. Tiat-pi-tong-kak (lengan besi kaki tembaga) Cin Gun, seorang tokoh kenamaan di daerah Kwisay yang sangat dihormati orang karena kemuliaan budinya.

"Mengapa kau mencelakainya?" tegur Tong Ko.

Kembali orang itu menguap seperti oraang masih ngantuk, ujarnya: "Untuk membunuh orang, masa harus mencari alasan? Tempo hari aku kena diakali si keledai gundul Tay Siang, diajak adu bersemedhi. Sudah tentu karena dia seorang paderi, aku tak dapat menang. Syukur kala itu datang seseorang membantunya untuk memukul aku, sehingga aku dapat keluar dari perangkapnya untuk meng-gantung2i orang, ha. ,

ha....., senang senang sekalii !'

Bagi orang itu menggantungi orang sudah menjadi hobbynya. Habis berkata kembali dia tampak menggeliat, justeru telapak tangannya menghadap kemuka. Tong Ko melihat jelas bagaimana telapak tangan orang aneh itu berwarna ke-ungu2an. Orang aneh, kepandaian  aneh dan tingkah laku yang aneh pula.

"Cin Gun dihormati oleh kaum persilatan, apakah kau tak kuatir ada orang menuntut perhitungan padamu?" tanya Tong Ko pula.

Habis menggeliat, orang itu tundukkan kepala dan matanya seperti tertumbuk pada pi-lik-to. Serentak mulutnya memuji: "Golok bagus"!

Seenaknya sendiri, dia ulurkan tangan, ujarnya: "Berikan padaku!"

Tong Ko tahu bahwa dia sedang berhadapan dengan seorang tokoh sakti yang menyangsikan kelakuannya. "Cunke, jangan ber-olok2!" serunya sembari mundur. "Siapa yang ber-olok2 denganmu. Kalau tak mau memberikan kaupun tentu akan kugantung dipuhun tua itu supaya dapat menikmati pemandangan alam Sip-ban- tay-san sini!" bentaknya dengan marah.

Tong Ko yang selama itu tak  lepaskan matanya kepada orang aneh itu, memperhatikan bahwa setiap kali tangan si gemuk itu diangkat naik. tentu warnanya makin tua. Selama digembleng dan diwejang ilmu silat oleh Ang Hwat cin-jin, baik kepandaian maupun pengetahuan Tong Ko mengenai ilmu itu, bertambah maju dan luas. Dia yakin tangan ungu dari si gemuk itu tentu termasuk jenis lwekang yang sakti, kemungkinan besar sangat jahat. Setelah menolak permintaan orang, dia mundur sembari isyarat anggukan kepala kepada The Ing. Maksudnya suruh nona itu juga ikut mundur, tapi ternyata malah runyam. Sememangnya The Ing sudah benci melihat kecongkakan orang itu.

Maka demi tampak Tong Po mengangguk, ia mengira kalau pemuda itu suruh dia turun tangan. Tanpa berayal lagi, dia segera lambaikan tali cheng-sidalam gerak ceng- hay-sen-boh. Ratusan lingkaran kecil warna  merah segera bergelombang menabur kearah muka si gemuk.

"Nona The......" Tong Ko menjerit kaget, tapi belum sempat dia lanjutkan kata2nya, orang gemuk itu dengan malas2an menyambar tali itu. Seketika permainan tali cheng-si dalam jurus ceng-hay-sen-boh yang dahsyat itu, tak dapat digerakkan alias macet. Sekali orang itu menarik tangannya keperut, The Ing seperti ditarik kemuka, jatuh tertelungkup kearah ruangan dalam.

Tong Ko bertindak sebat. Cepat dia hantamkan pi-lik- to, begitu tali cheng-si putus, dia segera tarik tangan The Ing untuk diajak loncat keluar. Untung dia berlaku sebat, karena sesaat itu terasa ada hawa amis menyambar, bau yang memaksa orang muntah2.

Tapi karena sudah berada diluar, mereka tak sampai begitu.

Jelas bahwa hawa amis itu, keluar dari telapak tangan si gemuk yang ungu itu, suatu tok-ciang (ilmu pukulan beracun) yang jarang terdapat.

Pada saat Tong Ko hendak mencari siasat menghadapi si gemuk jahat itu, tiba2 ada orang berseru diluar pintu: "Nona The apa dirumah? Leng-cun (ayahmu) suruh aku mengantarkan surat kemari!"

Tong Ko seperti kenal dengan suara orang itu. Dia terkejut mengapa orang itu hendak mencari The Ing. Juga The Ing tak terkecuali herannya. "Nada suara orang itu tak asing rasanya, mengapa ayah menyuruhnya kemari? Mari kita keluar menjenguknya!" katanya.

"Habis bagaimana dengan orang gemuk didalam kamar itu?" tanya Tong Ko.

The Ing mengintip kedalam dan tampak orang aneh itu menggeliat lalu terlentang tidur menggeros lagi. The Ing segera ajak Tong Ko keluar menerima surat itu lebih dahulu.

Seorang yang mengenakan pakaian opsir Ceng dan seorang tinggi besar, tengah menggendong tangan berdiri membelakangi pintu. Rupanya mereka tengah menikmati aIam pegunungan disitu.

"Siapa yang hendak menerimakan surat padaku?" tegur The Ing. Kedua orang itu serentak sama berputar diri. Tapi demi melihat Tong Ko, siorang tinggi besar itu segera berseru keras: "Bagus, kau juga disini!"

"Ai, kiranya kau!" The Ing pun tak kurang kagetnya demi mengetahui bahwa orang itu bukan lain sipemuda berumur 20-an tahun yang sudah menduduki jabatan sebagai tay-lwe ko-chiu (jagoan istana), si Cek-cing-long Shin Hiat-ji. Anak itupun terperanjat melihat The Ing.

"Oh, kiranya nona itu adalah puterinya The sute, maaf karena belum mengenal tempo hari sudah kesalahan tangan. The sute mengirim sepucuk surat, harap nona terima!" secepat Hiat-ji dapat menguasai getar wajahnya, dia lantas memulai buka pembicaraan.

The Ing terkesiap, serunya: "Ngaco, apa katamu?

Ayahku suruh kau kemari menyerahkan surat?"

"Benar," Hiat-ji tertawa, The Go yang dahulu dikenal orang sebagai Cian-bin-long-kun, kini sudah menjadi murid suhuku Liat Hwat cousu, ketua sebuah partai di Tibet. Dengan begitu, walaupun aku lebih muda, tapi karena aku yang menjadi murid terdahulu, jadi. dia menyebut aku suheng!"

The Ing tak percaya pendengarannya. "Jangan mengoceh tak keruan. Ayahku mana sudi campur gaul dengan kamu kawanan bebodoran ini?"

Hiat-ji tak marah, katanya: "Harap nona jangan marah2, bacalah suratnya dan kau tentu akan percaya!"

Dari saku bajunya, Hiat-ji mengambil sepucuk surat terus diserahkan pada sinona. The Ing bersangsi, ia berpaling menghadap kearah Tong Ko dan tak mau menyambuti surat itu Tong Ko berapi2 matanya memandang. pada Hiat-ji.

Sebentar lagi dia hendak menyelesaikan rekening- hinaan yang diutangnya dari anak itu. Tapi demi dilihatnya surat itu bercoretkan tulisan yang indah garang, dia tak ragu lagi.

"Nona The, surat itu benar tulisan ayahmu!" serunya.

Ketika The Ing berpaling, memang benar apa yang dikatakan Tong Ko itu.

Dengan perasaan sangsi, surat itu disambutinya dan astaga, kiranya memang benar tulisan ayahnya.

Surat itu berbunyi demikian:

Kepada anakda Ing :

Harap anakda ketahui, bahwa putusan ayah untuk kembali menakluk, sungguh bukan pura2. Lekas datang jangan ayal menemui aku.

Ayahmu The Go.

Uruf2-nya yang indah garang itu, memang buah tangan The Go. The Ing terkesiap sejenak. Diulanginya membaca sekali lagi. Wajahnya berobah merah putih, penuh dengan seribu kesangsian. Tong Ko menghampiri turut membaca.

”Gila, mengapa terjadi begini? Ah, tak mungkin!" serunya. Hiat-ji tertawa dingin, memberi komentar singkat: "Saudara Tong, surat itu menjadi bukti yang berbicara!"

Melihat cecongor anak itu, amarah Tong Ko meluap- luap.

Walaupun perkenalannya dengan Cian-bin-long-kun tak berapa lama, tapi dalam waktu yang sesingkat itu dia sudah mengetahui jelas bagaimana peribadi ayah The Ing itu.

Tong Ko tak percaya barang serambutpun, bahwa The Go sudi bertindak menjadi pengkhianat lagi. Tapi seperti yang dikatakan Hiat-ji, surat itu merupakan bukti hitam diatas putih yang tak dapat dibantah lagi.

Ketika dia mengamat2i sampulnya, ternyata pada tutup sampul itu tertera sebuah huruf "Sam" (tiga). Memang pada jeman dulu, orang suka memberi sesuatu tanda tulisan diatas surat, agar pengantar surat itu atau lain orang tak sembarangan berani membuka mencuri baca isinya. Tapi mengapa The Go juga membubuhi tanda itu, pada hal yang disuruh mengantarkan adalah Hiat-ji? Dengan kecurigaan itu dia menanyakan The Ing: "Nona The, lengcun menulis huruf "sam" pada tutup sampul, apakah artinya itu?"

The Ing teringat sesuatu bisiknya dengan pelahan: "Benar, ayah sering bilang padaku, dalam keadaan genting, orang bisa menuliskan maksudnya secara rahasia dalam sebuah surat. Dengan adanya tanda huruf "sam" itu, ayah tentu menyuruh aku membaca setiap huruf yang ketiga. Disitulah terdapat maksud yang sebenarnya dari ayah!" Tong Ko mulai membaca lagi menurut peraturan itu. Huruf ketiga dari setiap perkataan, dia ambil keluar. Huruf ketiga dari baris pertama yalah "Ing". Huruf ketiga pada baris kedua dan selanjutnya adalah "ketahuilah", lalu "ayah" lalu "menakluk", lalu` "pura2", lalu "jangan" dan terakhir "kemari". Apabila kedelapan huruf itu dirangkai maka terdapatlah pesan begini: "Ing ketahuilah. Ayah menakluk pura2 jangan kemari!"

Setelah yakin akan maksud sebenarnya dari surat itu, segera Tong Ko memberi isyarat mata kepada The Ing, bisiknya: "Kau beresi si opsir, aku si Hiat-ji, biar mereka tak dapat pulang se-lama2nya!"

The Ing mengerti. Dengan tertawa-tawa, ia menghampiri Hiat-ji, ujarnya dengan ramah: "Ya, memang surat dari ayahku, terima kasih!"

Sudah tentu Hiat-ji tak mengetahui mengapa  sikap The Ing kini mendadak berobah seratus derajat. The Ing berpaling kepada si opsir dan tanyanya: "Tuan opsir yang entah siapa namanya, aku membilang banyak terima kasih juga padamu!"

Selagi siopsir masih main aksi ke-sombong2an, The Ing sudah gerakkan tali merahnya dalam jurus ceng-hay- seng-boh. Tahu2 leher siopsir itu serasa terlibat dengan tali tajam. Sekali tangan The Ing menyentak, tanpa berkuik lagi opsir itu rubuh tak bernyawa! 

Sementara itu, Tong Kopun maju menghampiri Hiat-ji dan berkata dengan dingin: "Shin tayjin, urusan diantara kita berdua, sebaiknya juga diselesaikan sekarang!"

Hiat-ji tersenyum ewah, ujarnya: "Sebenarnya setelah The Go menakluk kepada kerajaan Ceng, kau dan nona The seharusnyapun mengikuti tindakannya itu. Tapi kalau kau berkeras hendak menyelesaikan hutang itu, akupun terpaksa melayani juga!"

Tong Ko lintangkan goloknya pe-lahan2 kedada, setelah melepas tertawa, berserulah dia dengan girang: "Shin tayjin, kau sungguh menolong mukaku!"

Kata2nya itu ditutup dengan sabetan pi-lik-to.

Tadi sebenarnya Hiat-ji pun sudah mengetahui bahwa golok ditangan anak muda itu sebuah senjata pusaka. Tapi dikarenakan kesombongannya, dia sudah tak mau memandang mata. Dia tetap mengira, lawannya itu adalah pemuda Tong Ko dahulu.

Mundur selangkah, dia gunakan tangan kosong gong- chiu-kin-na-tihiu untuk merebut senjata lawan. Karena bencinya terhadap pemuda pengchianat itu,  sekali gebrak Tong Ko sudah keluarkan jurus hong-lui-ki-seng, jurus yang paling lihay dari ilmugolok 3 jurus itu Golok itu menyemburkan badai dan kilat yang men-deru2. Demi melihat Hiat-ji dengan sombongnya menggunakan tangan kosong, dengan tertawa gelak2 Tong Ko ber- putar2 memainkan golok pusakanya. Belum reda suara ketawanya itu atau Hiat-ji sudah menjerit ngeri. Tong Kopun lantas menarik pulang goloknya dan mengawasi keadaan lawan.

Hiat-ji ter-huyung2 jatuh kira2 8 tindak jauhnya, mukanya pucat seperti kertas dan yang mengerikan lengan kanannya sudah hilang

"Shin tayjin, dengan membayar sebuah lengan ini, rasanya hutangmu itu masih belum lunas!" Tong Ko tertawa dingin. Karena sakitnya, sebenarnya dengan wajah pucat mayat Hiat-ji sudah menunggu ajalnya. Tapi tiba2 matanya tertumbuk akan sesuatu bayangan dan berserulah dia keras2: "Toa-supeh, kiranya kau berada disini. Kedatangan suhu kali ini keselatan, sebagian besar adalah untuk mencarimu!"

Tong Ko berpaling kebelakang. Si gemuk tadi kiranya sudah berdiri diambang pintu sambil molat molet (bergeliat).

"Kau ini anak murid siapa, mengapa mengomong tak keruan!" tegurnya.

Sewaktu kedua orang itu berbicara, Tong Ko merasa bakal terjadi sesuatu hal. Cepat dia hampiri The Ing untuk bahu membahu menunggu setiap kemungkinan.

Tampak Hiat-ji paksakan diri untuk menyahut: "Toa............... supeh, aku adalah.......muridnya Liat Hwat cousu............... apa kau sudah membalaskan sakit hati kedua suheng?"

"Hem, baru saja aku tiba di Lo-hu-san dalam perjalanan ke Kwitang, aku sudah ditantang adu semedhi oleh seorang paderi bangsat, dan itu telah menghabiskan waktuku sampai 10 tahun!" kata orang itu.

Memang si gemuk itu bukan lain adalah toa suheng dari Liat Hwat cousu.

Sepuluh tahun yang lalu dia berangkat dari  Tibet untuk menuntutkan balas bagi kedua muridnya suami isteri Hwat Siau dan Swat Moay, yang telah dibikin lumpuh punah kepandaiannya oleh Tay Siang siarisu.

Tapi begitu pergi, dia tak ada kabar beritanya lagi. Sebenarnya Hiat-ji sudah tak kuat, hanya karena melihat munculnya sang toa-supeh yang tak di-duga2 itulah maka dia kuatkan, diri untuk memanggil.

Tapi habis itu, diapun segera rubuh terkulai tak bernyawa lagi.

Melihat sutitnya (murid keponakan) binasa, orang itu mengicupkan mata kearah Tong Ko. Tong Ko tahu apa artinya itu dan pe-lahan2 dia kisiki The Ing mundur kebelakang.

"Shin-sutit tak dapat ditolong Iagi, diantara kalian berdua, siapa yang mengganti jiwa?" tanya si gemuk.

Tong Ko tertawa, dingin, sahutnya: "Dia mati itu  sudah selayaknya, siapa yang mau mengganti jiwa-nya?"

Orang itu perdengarkan geraman aneh tubuhnya bergetar, tangannya pelahan2 diangkat. Sesaat lagi, dia tentu bakal melancarkan pukulan amis. Menyerang dulu, adalah siasat yang paling baik. Demikian pikir Tong Ko dan dia segera serukan The Ing supaya menyingkir, lalu putar pi-lik-to menyerang orang gemuk itu.

Tepat pada saat itu pukulan lawanpun sudah melancar, serangkum bau amis memuakkan perut orang.

Buru2 Tong Ko tutup napas, tapi tetap tak tahan.

Tanpa menghindar, cukup dengan gerakkan telapak tangannya yang hitam, orang itu telah dapat menahan arus serangan Tong Ko.

Tong Ko terperanjat, terpaksa dia mundurkan langkah. Orang itu kedengaran menguap beberapa kali,

selangkah demi selangkah maju menghampiri. Walaupun mempunyai golok pusaka yang dahsyat, namun Tong Ko tak berani maju menyongsong.

Cepat dia tarik The Ing untuk diajak lari.

Se-konyong2 dari arah samping terdengar suara seorang tua berseru: ”Akumuba! Inilah pemimpin besar dari Tibet yang digelari orang sebagai Sui-giam-lo soh- hun-ciang Kwan Tay-kin!"

Tong Ko berpaling dan dapatkan kakek gurunya, Ang Hwat cinjin berdiri disebelahnya. Dadanya serasa longgar sekali. Orang itu berhenti demi tampak ada seorang cin- jin muncul disitu

"Bagus, diantara barisan ko-chiu daerah Kwiciu, aku sudah berjumpa derigan Tay Siang si kepala gundul, kini gilirannia dengan seorang imam gembel. Apa kau juga mau ajak bertanding semedhi?"

"Kwan Tay-kin, kali ini entah berapa banyak sudah orang2 persilatan yang kau celakai? Kaum persilatan Kwiciu, tiada sudi menerima seorang bebodoran macam kau!" sahut Ang Hwat.

Orang she Kwan itu jebikan: bibirnya, menyeringai : "Bagus, mari kita segera mulai saja!"

Ketika dia hentikan langkah tadi, tangannya masih diacungkan keatas.

Habis mengucap dia lantas enjot tubuhnya loncat setombak jauhnya.

Gerakannya aneh, pesatnya bukan alang kepalang.

Karena loncatan itu, kembali ada serangkum angin amis menyampok. Saking tak kuatnya, Tong Ko dan The Ing menyurut mundur.

Ang Hwat cinjin pun cepat kibaskan lengan baju, melayangkan sebuah pukulan.

Kedua gembong itu, jaraknya terpisah 3-4 meter, namun ketika kedua pukulan itu saling berbentur, terbitlah suatu angin puyuh besar sehingga puhun2 disekliling situ sama rontok daunnya, dahan2nya patah. Bau amis itupun bertebaran ke-mana2. Kedua tokoh itu sama2 mundur bebrapa langkah.

"Kalian berdua harus menyingkir pergi, makin jauh makin baik!" seru Ang Hwat kepada Tong Ko dan The Ing.

Tong Ko tahu bahwa cin-jin itu telah mencapai kesaktian yang tinggi.

Kwan Tay-kin lihay, tapi rasanya takkan dapat berbuat banyak kepadanya.

"Cin-jin, ayah The Ing berada di Kwiciu, entah mengapa dia melakukan siasat pura2 menakluk pada pemerintah Ceng, kami berdua hendak menyusul kesana!" seru Tong Ko.

"Pergilah!" sahut Ang Hwat tanpa menoleh.

Ketika kedua anak muda itu berjalan jauh tiba2 dari arah belakang sana terdengar suara menggelugur yang dahsyat. Kiranya itulah puhun tua lengkeng yang roboh.

Mereka duga tentulah kedua gembong itu sedang bertempur didekat puhun situ, hingga puhun itu sempal separoh bagian. Pertempuran antara dua gembong persilatan, merupakan hal yang jarang terjadi. Beruntunglah mereka yang mempunyai kesempatan untuk menyaksikan, karena dalam pertempuran itu tentu akan dipertunjukkan ilmu sakti dan lain2 kepandaian istimewa yang jarang keluar.

Ini sangat berfaedah untuk menambah pengalaman. Tong Ko dan The Ing saling berpandangan, dan The

Ingpun tahu apa yang dimaksudkan anak muda itu.

Berkata Tong Ko dengan penuh kesungkanan :"Nona The, ayahmu di Kwiciu. "

”Tak menjadi soal. Setelah dia mengabdi pada pemerintah Ceng, tentu keselamatan-nya terjamin. Sebaliknya kalau kita lewatkan pertempuran besar ini, kita tentu akan menyesal seumur hidup!" The Ing buru2. memotong.

Tong Ko mengiakan dan begitulah keduanya lalu diiam2 menyelinap kembali, bersembunyi dibalik sebuah batu besar.

Dilihatnya Ang Hwat cinjin seperti orang gila keadaannya. Rambutnya yang berwarna merah itu riyap2 rebah berdiri, sikapnya menyeramkan sekali.

Sedang difihak lawan, Kwan Tay-kin matanya melotot, tak mengantuk seperti tadi.

Nyata2 kedua gembong itu sedang mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menghadapi lawannya yang berat.

Cek-hun-ciang atau pukulan awan ungu yang diyakinkan oleh Kwan Taykin, merupakan suatu ilmu ganas yang paling lihay sendiri diantara 7 macam ilmu ganas. Dan karena peyakinannya itu sudah mencapai tingkat kesempurnaan, angin pukulannyapun bisa mengeluarkan hawa racun. Andaikata yang diyakinkan itu bukan jenis Iwekang tok-ciang (pukulan racun), artinya meyakinkan ilmu Iwekang bisa, tingkatan yang dicapai oleh Kwan Tay-kin itu, akan dapat dibuat menangkis senjata lawan yang jaraknya beberapa meter jauhnya!

Adanya dia sampai meyakinkan pukulan ganas itu karena marah atas nasib yang diderita kedua muridnya (Hwat Siau dan Swat Moay). Setelah berhasil meyakinkan, dia segera menuju ke Kwiciu untuk melakukan pembalasan. Tapi apa lacur, ketika tiba di Lo- hu-san dia telah berpapasan dengan Tay Siang siansu. Paderi agung yang sakti itu sepintas pandang segera mengetahui, bahwa orang itu memiliki ilmu yang keliwat saktinya.

Tapi sorot matanya mengunjuk kebuasan yang ganas sekali.

Hweshio agung itu mengambil putusan untuk menjinakkannya dengan pelajaran agama Hud. Maka sengaja dia cari perkara dan tantang tokoh Tibet itu untuk bertanding duduk semedhi. Kecuali ada  orang yang membantu siansu itu atau dia (Kwan Tay-kin) berjanji takkan mengijakkan kaki didaerah Kwan-lwe (Tiongkok) lagi, barulah dia menang dan boleh bebas.

Gembong Tibet itu tinggi sekali adatnya (congkak). Nafsu ingin menangnya, besar sekali. Begitulah setiap hari mereka duduk bersemedhi sampai 8 jam dan kejadian itu berlarut sampai 10 tahun lamanya. Dalam waktu sekian lama itu; dengan sendirinya, Kwan Tay-kin bertambah maju kepandaiannya. Sedikit waktu lagi, dengan falsafah2 Hud Tay Siang percaya tentu dapat menerangi bathin orang itu. Tapi ternyata jerih payah selama 10 tahun itu, lenyap hanya dalam satu hari saja. Tanpa mendapat idin Tay Siang, Siao-lan telah menusukkan senjata garunya kepada orang itu.

Sesuai dengan janji yang telah diikrarkan dimuka, Kwan Taykin segera berbangkit dan pergi situ dengan lenggangnya. Setiap tokoh persilatan yang dijumpainya, tentu dibunuh. Habis dibunuh lalu digantung tinggi2. Keenam orang persilatan yang ditemukan The Go tergantung diujung serambi pagoda bungalow, adalah orang, Tibet itu yang melakukan!

Sampai bebrapa saat kemudian, kedua gembong itu masih belum mulai lagi.

"Ai, mengapa mereka itu?" saking tak sabarnya The Ing segera menggerutu dengan pelahan. Tapi Tong Ko menjawilnya supaya jangan banyak omong.

Benar juga, rupanya Ang Hwat seperti mendengar bisikan nona itu tadi. Gerakan tubuhnya agak lambat justeru pada saat itu Kwan Tay-kin sudah melancarkan sebuah hantaman. Ang Hwat buru2 membalas. Kali ini jarak mereka lebih dekat. Ketika terjadi benturan, Ang Hwat kedengaran bersuit panjang sedang Kwan Tay-kin tertawa seram. Kembali keduanya sama. berpencar lagi. Kini mereka bergerak-gerak melakukan serang menyerang, dari pelahan menjadi cepat. Apa yang tampak digelanggang situ, hanya, lah dua gulung sinar yang mengeluarkan deru angin dahsyat.

Se-konyong2 terdengar suara benturan keras, dan kedua gembong itu tampak tegak berdiri  diam, tangannya saling menempel. Melihat itu, bukan main kejutnya Tong Ko. Terang mereka sedang mengadu lwekang. Serentak berdiri, berteriaklah Tong Ko dengan cemasnya : "Cin-jin, tangannya beracun!"

Ang Hwat berpaling. Wajahnya merah padam karena murka.

"Budak yang tak mau mendengar kata, lekas enyah. Kalau kudapatkan kau masih berada dalam jarak 100 Ii dari sini, awas jiwamu ya!"

Tong Ko tersipu-sipu.

Dia yakin Ang Hwat tentu sudah mempunyai pegangan.

Segera diajaknya The Ing berlalu.

Baru berdialan belum lama, mereka berpaling kebelakang tampak kedua gembong itu masih tegak berdiri seperti tiang.

"Engkoh Ko, kau berpendapat siapa yang menang nanti?" tanya The Ing setelah jauh sekali dari gelanggang itu. Tapi Tong Ko hanya menggeleng kepala.

Belum sampai petang hari, mereka sudah keluar dari daerah Sip-ban-tay-san. Malam itu mereka tidur disembarang tempat. Keesokan harinya barulah meneruskan perjalanan ke Kwiciu. Tiba disana, langsung mereka menuju kegedung tihu (residen). Pintu kantor pembesar itu tertutup rapat. Mereka mencari sebuah warung untuk berunding. Tong Ko menyatakan supaya malam nanti melakukan penyelidikan kegedung tihu, The Ing diam saja, berselang bebrapa saat baru  ia menyahut

: "Engkoh Ko, aku punya jalan! Bukantah dalam suratnya itu ayah menyuruh aku datang? Nah, dengan surat itu aku akan masuk kesana!"

"Benar, tapi kalau kau seorang diri, berbahaya sekali!"

The Ing menatap wajah Tong Ko, tiba2 ia tertawa geli.

Tong Ko heran dan mengira kalau mukanya itu apa barangkali kotor, maka sampai ditertawai sinona. Buru- buru dia menghampiri kaca, tapi ternyata bersih2 saja.

"Kau menertawai apa?" tegurnya dengan heran. "Aku punya akal, tapi, jangan2 kau tak mau!"

""Asal bisa menjumpai paman The, aku tentu tak menolak!"

"Kau menyaru jadi seorang nona dan ikut aku masuk. Mereka tentu tak mencurigai" kata The Ing sembari ketawa:

"Hai, apa2an itu?!"

"Kalau begitu biar aku pergi seorang diri saja," kata The Ing dengan mengangkat pundak.

Setelah merenungkan sejenak, akhirnya Tong Ko menerima. The Ing lekas2 keluar membeli pakaian wanita dan beberapa macam perhiasan. Oleh karena sememangnya berparas cakap, maka ketika sudah berganti pakaian wanita, jadilah Tong Ko seorang nona cantik. Malah The Ing sendiri sampai terkejut :"Ai, mengapa kau menyerupai benar dengan suatu orang?!"

"Siapa?"

"Say-hong-hong Bek Lian!" Tong Ko tertawa, ujarnya :"Say-hong-hong Bek Lian adalah ratu bunga dari Kwiciu, masakan aku dapat menyamainya, sudah jangan omong tak keruan!"

The Ing tetap ngotot.. "Benar2 seperti pinang dibelah dua, percaya atau tidak itu terserah padamu!"

Tong Ko tak mau berbantah.

Keesokan harinya, mereka menuju kegedung tihu. "Mau apa?" hardik serdadu penjaga seraya

menghadang.

The Ing deliki mata. "Kawanan yang tak bermata, kau kenal tidak dengan Shin Hiat-ji tayjin?"

Shin Hiat-ji adalah taylwe-wisu (barangkari keraton). Segera kawanan serdadu itu merobah sikapnya. "Nona ini adalah. "

"Aku she The, kemari hendak menemui ayah!"

Ter-sipu2 kawanan serdadu itu membawa kedua nona itu masuk.

Tiba disebuah ruangan, terdengar lengking suara Liat Hwat cousu berkata : "Sudah bebrapa hari, mengapa Hiat-ji masih belum pulang? Jangan2 dia mendapat halangan ditengah jalan!"

"Kukira tidak!" sahut suara The Go.

Mendengar itu, tak dapat The Ing menahan teriaknya lagi : "Yah, aku sudah datang!"

Pintu ruangan itu terbuka sendiri. Liat Hwat dan The Go duduk dikursi, sedang Siao-lan berdiri disisi suaminya. Bermula The Go terbeliak melihat puterinya kesitu, tapi lebih kaget lagi demi tampak seorang nona mengikut dibelakang The Ing. Pikiran The Go terbayang lagi akan kenangan pada duapuluh tahun berselang, Say-hong- hong Bek Lian, dewi jelita dari gunung Lo-hu-san..........

Juga Siao-lan terperanjat bukan terkira.

The Ing cukup cerdas dan buru2 memberi keterangan

: "Yah, Hiat-ji susiok sedang mempunyai lain urusan, jadi agak terlambat beberapa hari. Aku telah mengerti  jelas isi suratmu itu, maka aku datang kemari!"

Sengaja ia tekankan kata2 "jelas" itu. Sebagai seorang yang berotak, tajam, The Go dapat menangkap isyarat itu.

"Ing-ji, lekas beri hormat pada sucoumu!" serunya sembari menatap tajam2 kearah "Bek Lian". Ah, Bek-Lian tak semuda itu keadaannya. Hai, itulah Tong Ko, secepat itu The Go sudah dapat meneropong penyaruan yang lihay itu.

Sebenarnya pada perkenalannya pertama dengan Tong Ko, The Go sudah dapat merabah-rabah asal usul anak muda itu. Tapi dia anggap belum  tiba  saatnya untuk memberi tahu. Hanya dia larang puterinya supaya jangan bergaul rapat dengan pemuda itu.  Maka sangatlah gelisahnya demi The Ing datang bersama Tong Ko, suatu tanda bahwa hubungan kedua anak muda itu tentu sudah makin akrab. Namun dalam saat dan keadaan seperti itu, dia terpaksa tekan perasaannya dan pura2 berseri girang.

"Ha, kiranya tit-li (keponakan perempuan) juga ikut?" ujarnya. "Titli ingin menyambangi susiok dan subo!" sahut  Tong Ko dengan nada kecil.

Ternyata anak muda itu juga cakap bersandiwara.

Untuk membuktikan dirinya itu seorang nona sesungguhnya, dia kerutkan tenggorokannya supaya bisa bersuara kecil.

Adalah Siao-lan yang lamban pikirannya, tak dapat segera mengetahui sandiwara yang sedang dimainkan oleh suaminya dan anak muda itu. Wajahnya menampil rasa heran. Buru2 The Go menyentuhnya sebagai isyarat jangan bicara apa2. Liat Hwat duduk anteng menerima pemberian hormat dari kedua gadis itu. Rupanya dia sangat gembira dan tertawa ter-bahak2.

"Ha..., ha..., tak kira bisa mendapat tambahan dua orang titli yang cantik dan gagah," ujarnya, lalu berkata kepada The Go : "The Go, kau bilang hendak menyumbangkan suatu jasa pada pemerintah kerajaan, entah bagaimana caranya? Turut pendapatku, kembalimu kepada kerajaan itu, masih belum diketahui umum. Bunuhlah bebrapa tokoh pemberontak, barulah kerajaan menaruh kepercayaan penuh padamu!"

"Bukan begitu!" sahut The Go.

"Lalu bagaimana kau hendak mengunjuk jasa?" Liat Hwat, berobah wajahnya dengan serius.

The Go tertawa, ucapnya : "Pepatah mengatakan 'tangkap kawanan penjahat harus ringkus dulu pemimpinnya'. Dengan membawa batang kepala Siau- beng-siang kemari, itulah baru suatu pahala besar!"

"Bagus, bagus! Tapi apakah prakteknya sernudah itu?" "Segala usaha besar, tentu sukar. Tapi itu bukan berarti tak dapat dilakukan. Kalau aku suami isteri dan kedua anak perempuan itu diperboleh pergi kesana, tanggung tentu berhasil!"

Liat Hwat perdengarkan tertawa aneh, serunya : "Kamu berdua suami isteri dan seorang titli bolehlah pergi, tapi anakmu perempuan itu harus inggal disini!"

The Go cerdik, tapi Liat Hwatpun tak mudah diakali.

Mendengar pernyataan, "suhunya" itu, hati The Go terkesiap, namun wajahnya tetap dikuasai, sahutnya dengan lapang : "Kurang satu orangpun tak menjadi soal!"

Tapi Liat Hwat tetap menggeleng; katanya :"Tidak, lebih baik aku ikut pergi juga!"

Kali ini benar2 The Go terkejut sekali. Celaka, kalau setan kate itu turut pergi, dia tentu dipaksa untuk melakukan rencana itu. "Guyon2 jadi sungguhan" namanya itu. Tapi kini jelaslah sudah bahwa Liat Hwat masih tetap menaruh kecurigaan, maka tak mau biarkan dia (The Go anak isteri) pergi. Untuk menolak maksud Liat Hwat, tentu akan makin mengentarai.

The Go bukanlah si Cian-bin-long-kun yang pernah menghabiskan 3 laksa pejoang Hoasan, kalau berhadapan dengan Liat Hwat seorang saja, dia sudah menyerah.

"Kalau insu mau sekalian turut, itulah bagus sekali!" katanya dengan girang.

---oo^dwkz0kupay^oo--- (Bersambung Ke Bagian 30)

BAGIAN 29 : MELUNASI HUTA NG

Kira2 dua jam berjalan dia dan The Ing sudah keluar dari Lo-hu-san.

Kala itu rembulan purnama.

Lapisan mega tipis sayup2 bertebaran melalui dewi malam itu.

Untuk melonggarkan kemengkelannya, Tong Ko mainkan goloknya dalam ilmugolok ajaran Ang Hwat cinjin. Lui-tong-in-in, lui-tian-kiau-co, hong-luiki-seng, 3 jurus lengkap dia mainkan sampai selesai.

Sewaktu mengakhiri permainannya, Tong Ko papaskan goloknya kesebuah batu besar. Tring......., terbelah batu besar itu menjadi dua.

Tong Ko maju mendekati dan menghantam lagi. Dua belah batu itu, terhantam menjadi empat belah.

Setelah puas, barulah Tong Ko lintangkan goloknya dimuka dada.

Dengan tertawa dia berpaling, tanyanya: "Nona The, kemana kita hendak pergi ini?"

The Ing tahu bahwa hati anak muda itu sedang gundah resah, maka iapun menyahut: "Terserah padamu, hanya saja aku ingin sekali berjumpa dengan ayah dan mamahku!" "Aku bagaikan seekor burung, empat penjuru lautan ini adalah rumahku. Baik, mari kita menuju ke Sip-ban- tay-san!"

Menjelang malam, mereka baru mencari rumah penginapan.

Keesokan harinya mereka lanjutkan perjalanan lagi.

Selama dalam perjalanan itu, mereka menuturkan pengalaman masing2 sejak berpisah.

Setelah jelas mengetahui bahwa anak muda itu masih tetap menyintai Tio In, maka sengaja The Ing perlambat perjalanannya.

Pertama karena ia berduka, kedua supaya dapat lebih lama berkumpul dengan Tong Ko.

Perjalanan ke Sip-ban-tay-san itu hampir memakan waktu satu bulan.

Begitu mendorong pintu rumah The Go, segera Tong Ko berseru: "Ang Hwat cianpwe, aku sudah kembali!"

Tiada penyahutan.

The Ing menyatakan herannya mengapa kedua ayah bundanyapun belum pulang, Tong Ko menghiburnya barangkali ayah bunda The Ing itu masih ada  lain urusan.

"Engkoh Ko mengasohlah dahulu, biarlah kutangkapkan dua ekor ayam hutan untuk santapan!" kata The Ing terus menuju keluar.

Belum sempat Tong Ko mengiakan, atau The Ing kedengaran menjerit kaget. Cepat Tong Ko loncat memburu. Diatas dahan sehatang pohon lengkeng tua yang separoh bagian sudah kering, tampak ada sesosok tubuh bergelantungan dengan kaki diatas. Puhun itu ada 6-7 tombak tingginya dan tubuhnya ber-goyang2 tertiup angin, jadi tak kelihatan jelas air mukanya.

"Aneh, pohon lengkeng itu sudah lama layu kering. Ketika masih kecil aku pernah memanjat dan putuslah dahan yang kuinjaknya. Ilmu gin-kang siapa yang dapat naik sedemikian tingginya?" kata The Ing.

Setelah mendongak mengawasi sejenak, baru Tong Ko berkata: ”Nona The, ilmu ginkang orang itu memang sempurna, orang yang tergantung dipuhun itu sudah mati. Setelah mati, baru orang itu digantung!"

Jadi dapat dibayangkan bagaimana lihay ginkang orang itu.

"Ang Hwat cinjin?" seru The Ing dengan kagetnya.

Tong Ko menggeleng: "Ang Hwat cinjin tak nanti berbuat begitu, mari kita naik memeriksa keatas!"

Tong Ko enjot tubuhnya naik kesebatang dahan, tapi baru sang kaki menginjak, dahan itu segera patah. Tong Ko cepat mencapai dahan lainnya sebelah atas, tapi dahan itupun patah dan jatuhlah Tong Ko bersama  dahan itu.

"Engkoh Ko, separoh bagian dari pohon itu entah sudah berapa tahun kering kerontang, memang sukar dipanjat!"

"Aneh, mengapa dahan yang dibuat menggantung orang itu tak putus? Kita harus memeriksa keatas!" "Untuk memanjat keatas, mudah saja. Kita harus melalui bagian batang yang tidak kering!"

Tong Ko lakukan usul itu dan tak lama kemudian dapatlah dia tiba dipuncaknya, tapi masih terpisah 2 meteran dari tubuh mayat itu.

Namun dari situ dapat dilihatnya jelas keadaan korban itu.

Umurnya kira2 50-an tahun, memelihara janggut pendek yang menjikrak.

Sikapnya menandakan seorang persilatan.

Kiranya dahan yang dibuat menggantung orang itu, bukan dahan puhun tapi sebatang tiang besi yang ujungnya dimasukkan kedalam batang puhun. Sepintas pandang, tampaknya memang seperti dahan kering. Tong Ko loncat keatas dan menurun mayat itu. Tubuh korban itu tak terdapat luka apa2 melainkan punggungnya terdapat sebuah telapak tangan. Inilah yang menyebabkan kematian orang itu. Tong Ko belum pernah mendengar tentang akhli silat yang begitu hebat pukulannya.

"Nona The, mungkin si pembunuh belum jauh dari sini, ditilik dari kepandaiannya rasanya kita masih dibawahnya. Lebih baik kita ber-hati2, siapkan senjatamulah!" kata Tong Ko.

The Ing mengatakan bahwa tali cengsi-nya sudah siap segala waktu. Tapi mencari kesekeliling situ sampai sekian lama, mereka tak bertemu dengan jejak apa2. Terpaksa mereka kembali kedalam pondok lagi. Baru The Ing hendak membuka mulut atau Tong Ko cepat  memberi isyarat tangan supaya diam, karena, didengarnya dikamar sebelah ada suara orang tidur mendengkur. Cepat dia mendorong pintu dan dapatkan diatas balai2 bambu tidur seorang gemuk dengan pulasnya. Tong Ko belum pernah melihat orang itu.

"Ai, rasanya aku pernah kenal dianya!" kata The Ing. Dan karena suara The Ing itu maka menggeliatlah orang itu bangun. Dia memandang kearah kedua anak muda itu.

Tampak jelas bagaimana sorot matanya bersinar ungu. Teringat akan telapak tangan ungu yang terdapat pada punggung mayat dipuhun itu, Tong Ko dan The Ing terkesiap.

"Hai, kau siapa, mengapa seenaknya sendiri tidur diranjang ayah ku?" tegur The Ing.

Orang itu tertawa sahutnya: "Aku selalu bebas berbuat sesukaku, sedang Tay Siang siansu saja tak  dapat mengganggu usik diriku, masakan seorang budak perempuan berani usilan?"

Waktu orang itu mengungkit nama Tay Siang siansu, sesaat teringatlah The Ing sewaktu ia bersama Bek Lian melarikan diri dari kejaran Liat Hwat cousu digunung Lo- hu-san tempo hari. Ia menjumpai Tay Siang siansu sedang duduk berhadapan dengan seorang gemuk.  Benar Tay Siang itu waktu tak memberi tahu, tapi pernah ayahnya (The Go) mengatakan sesuatu tentang orang itu. Maka siraplah amarahnya dan berseru "Kau..."

Tapi belum ia lanjutkan kata2nya, Tong Ko sudah menyelutuk: ”Yang tergantung diatas puhun itu, apakah tuan yang melakukankan?" Orang itu menguap dulu, baru acuh tak  acuh menjawab: ”Benar, orang itu bergelar Tiat-pi-tong-kak Cin Gun!"

Tong Ko terbeliak. Tiat-pi-tong-kak (lengan besi kaki tembaga) Cin Gun, seorang tokoh kenamaan di daerah Kwisay yang sangat dihormati orang karena kemuliaan budinya.

"Mengapa kau mencelakainya?" tegur Tong Ko.

Kembali orang itu menguap seperti oraang masih ngantuk, ujarnya: "Untuk membunuh orang, masa harus mencari alasan? Tempo hari aku kena diakali si keledai gundul Tay Siang, diajak adu bersemedhi. Sudah tentu karena dia seorang paderi, aku tak dapat menang. Syukur kala itu datang seseorang membantunya untuk memukul aku, sehingga aku dapat keluar dari perangkapnya untuk meng-gantung2i orang, ha. ,

ha....., senang senang sekalii !'

Bagi orang itu menggantungi orang sudah menjadi hobbynya. Habis berkata kembali dia tampak menggeliat, justeru telapak tangannya menghadap kemuka. Tong Ko melihat jelas bagaimana telapak tangan orang aneh itu berwarna ke-ungu2an. Orang aneh, kepandaian  aneh dan tingkah laku yang aneh pula.

"Cin Gun dihormati oleh kaum persilatan, apakah kau tak kuatir ada orang menuntut perhitungan padamu?" tanya Tong Ko pula.

Habis menggeliat, orang itu tundukkan kepala dan matanya seperti tertumbuk pada pi-lik-to. Serentak mulutnya memuji: "Golok bagus"! Seenaknya sendiri, dia ulurkan tangan, ujarnya: "Berikan padaku!"

Tong Ko tahu bahwa dia sedang berhadapan dengan seorang tokoh sakti yang menyangsikan kelakuannya. "Cunke, jangan ber-olok2!" serunya sembari mundur.

"Siapa yang ber-olok2 denganmu. Kalau tak mau memberikan kaupun tentu akan kugantung dipuhun tua itu supaya dapat menikmati pemandangan alam Sip-ban- tay-san sini!" bentaknya dengan marah.

Tong Ko yang selama itu tak  lepaskan matanya kepada orang aneh itu, memperhatikan bahwa setiap kali tangan si gemuk itu diangkat naik. tentu warnanya makin tua. Selama digembleng dan diwejang ilmu silat oleh Ang Hwat cin-jin, baik kepandaian maupun pengetahuan Tong Ko mengenai ilmu itu, bertambah maju dan luas. Dia yakin tangan ungu dari si gemuk itu tentu termasuk jenis lwekang yang sakti, kemungkinan besar sangat jahat. Setelah menolak permintaan orang, dia mundur sembari isyarat anggukan kepala kepada The Ing. Maksudnya suruh nona itu juga ikut mundur, tapi ternyata malah runyam. Sememangnya The Ing sudah benci melihat kecongkakan orang itu.

Maka demi tampak Tong Po mengangguk, ia mengira kalau pemuda itu suruh dia turun tangan. Tanpa berayal lagi, dia segera lambaikan tali cheng-sidalam gerak ceng- hay-sen-boh. Ratusan lingkaran kecil warna  merah segera bergelombang menabur kearah muka si gemuk.

"Nona The......" Tong Ko menjerit kaget, tapi belum sempat dia lanjutkan kata2nya, orang gemuk itu dengan malas2an menyambar tali itu. Seketika permainan tali cheng-si dalam jurus ceng-hay-sen-boh yang dahsyat itu, tak dapat digerakkan alias macet. Sekali orang itu menarik tangannya keperut, The Ing seperti ditarik kemuka, jatuh tertelungkup kearah ruangan dalam.

Tong Ko bertindak sebat. Cepat dia hantamkan pi-lik- to, begitu tali cheng-si putus, dia segera tarik tangan The Ing untuk diajak loncat keluar. Untung dia berlaku sebat, karena sesaat itu terasa ada hawa amis menyambar, bau yang memaksa orang muntah2.

Tapi karena sudah berada diluar, mereka tak sampai begitu.

Jelas bahwa hawa amis itu, keluar dari telapak tangan si gemuk yang ungu itu, suatu tok-ciang (ilmu pukulan beracun) yang jarang terdapat.

Pada saat Tong Ko hendak mencari siasat menghadapi si gemuk jahat itu, tiba2 ada orang berseru diluar pintu: "Nona The apa dirumah? Leng-cun (ayahmu) suruh aku mengantarkan surat kemari!"

Tong Ko seperti kenal dengan suara orang itu. Dia terkejut mengapa orang itu hendak mencari The Ing. Juga The Ing tak terkecuali herannya. "Nada suara orang itu tak asing rasanya, mengapa ayah menyuruhnya kemari? Mari kita keluar menjenguknya!" katanya.

"Habis bagaimana dengan orang gemuk didalam kamar itu?" tanya Tong Ko.

The Ing mengintip kedalam dan tampak orang aneh itu menggeliat lalu terlentang tidur menggeros lagi. The Ing segera ajak Tong Ko keluar menerima surat itu lebih dahulu. Seorang yang mengenakan pakaian opsir Ceng dan seorang tinggi besar, tengah menggendong tangan berdiri membelakangi pintu. Rupanya mereka tengah menikmati aIam pegunungan disitu.

"Siapa yang hendak menerimakan surat padaku?" tegur The Ing.

Kedua orang itu serentak sama berputar diri. Tapi demi melihat Tong Ko, siorang tinggi besar itu segera berseru keras: "Bagus, kau juga disini!"

"Ai, kiranya kau!" The Ing pun tak kurang kagetnya demi mengetahui bahwa orang itu bukan lain sipemuda berumur 20-an tahun yang sudah menduduki jabatan sebagai tay-lwe ko-chiu (jagoan istana), si Cek-cing-long Shin Hiat-ji. Anak itupun terperanjat melihat The Ing.

"Oh, kiranya nona itu adalah puterinya The sute, maaf karena belum mengenal tempo hari sudah kesalahan tangan. The sute mengirim sepucuk surat, harap nona terima!" secepat Hiat-ji dapat menguasai getar wajahnya, dia lantas memulai buka pembicaraan.

The Ing terkesiap, serunya: "Ngaco, apa katamu?

Ayahku suruh kau kemari menyerahkan surat?"

"Benar," Hiat-ji tertawa, The Go yang dahulu dikenal orang sebagai Cian-bin-long-kun, kini sudah menjadi murid suhuku Liat Hwat cousu, ketua sebuah partai di Tibet. Dengan begitu, walaupun aku lebih muda, tapi karena aku yang menjadi murid terdahulu, jadi. dia menyebut aku suheng!"

The Ing tak percaya pendengarannya. "Jangan mengoceh tak keruan. Ayahku mana sudi campur gaul dengan kamu kawanan bebodoran ini?" Hiat-ji tak marah, katanya: "Harap nona jangan marah2, bacalah suratnya dan kau tentu akan percaya!"

Dari saku bajunya, Hiat-ji mengambil sepucuk surat terus diserahkan pada sinona. The Ing bersangsi, ia berpaling menghadap kearah Tong Ko dan tak mau menyambuti surat itu Tong Ko berapi2 matanya memandang. pada Hiat-ji.

Sebentar lagi dia hendak menyelesaikan rekening- hinaan yang diutangnya dari anak itu. Tapi demi dilihatnya surat itu bercoretkan tulisan yang indah garang, dia tak ragu lagi.

"Nona The, surat itu benar tulisan ayahmu!" serunya.

Ketika The Ing berpaling, memang benar apa yang dikatakan Tong Ko itu.

Dengan perasaan sangsi, surat itu disambutinya dan astaga, kiranya memang benar tulisan ayahnya.

Surat itu berbunyi demikian:

Kepada anakda Ing :

Harap anakda ketahui, bahwa putusan ayah untuk kembali menakluk, sungguh bukan pura2. Lekas datang jangan ayal menemui aku.

Ayahmu The Go.

Uruf2-nya yang indah garang itu, memang buah tangan The Go. The Ing terkesiap sejenak. Diulanginya membaca sekali lagi. Wajahnya berobah merah putih, penuh dengan seribu kesangsian. Tong Ko menghampiri turut membaca.

”Gila, mengapa terjadi begini? Ah, tak mungkin!" serunya.

Hiat-ji tertawa dingin, memberi komentar singkat: "Saudara Tong, surat itu menjadi bukti yang berbicara!"

Melihat cecongor anak itu, amarah Tong Ko meluap- luap.

Walaupun perkenalannya dengan Cian-bin-long-kun tak berapa lama, tapi dalam waktu yang sesingkat itu dia sudah mengetahui jelas bagaimana peribadi ayah The Ing itu.

Tong Ko tak percaya barang serambutpun, bahwa The Go sudi bertindak menjadi pengkhianat lagi. Tapi seperti yang dikatakan Hiat-ji, surat itu merupakan bukti hitam diatas putih yang tak dapat dibantah lagi.

Ketika dia mengamat2i sampulnya, ternyata pada tutup sampul itu tertera sebuah huruf "Sam" (tiga). Memang pada jeman dulu, orang suka memberi sesuatu tanda tulisan diatas surat, agar pengantar surat itu atau lain orang tak sembarangan berani membuka mencuri baca isinya. Tapi mengapa The Go juga membubuhi tanda itu, pada hal yang disuruh mengantarkan adalah Hiat-ji? Dengan kecurigaan itu dia menanyakan The Ing: "Nona The, lengcun menulis huruf "sam" pada tutup sampul, apakah artinya itu?"

The Ing teringat sesuatu bisiknya dengan pelahan: "Benar, ayah sering bilang padaku, dalam keadaan genting, orang bisa menuliskan maksudnya secara rahasia dalam sebuah surat. Dengan adanya tanda huruf "sam" itu, ayah tentu menyuruh aku membaca setiap huruf yang ketiga. Disitulah terdapat maksud yang sebenarnya dari ayah!"

Tong Ko mulai membaca lagi menurut peraturan itu. Huruf ketiga dari setiap perkataan, dia ambil keluar. Huruf ketiga dari baris pertama yalah "Ing". Huruf ketiga pada baris kedua dan selanjutnya adalah "ketahuilah", lalu "ayah" lalu "menakluk", lalu` "pura2", lalu "jangan" dan terakhir "kemari". Apabila kedelapan huruf itu dirangkai maka terdapatlah pesan begini: "Ing ketahuilah. Ayah menakluk pura2 jangan kemari!"

Setelah yakin akan maksud sebenarnya dari surat itu, segera Tong Ko memberi isyarat mata kepada The Ing, bisiknya: "Kau beresi si opsir, aku si Hiat-ji, biar mereka tak dapat pulang se-lama2nya!"

The Ing mengerti. Dengan tertawa-tawa, ia menghampiri Hiat-ji, ujarnya dengan ramah: "Ya, memang surat dari ayahku, terima kasih!"

Sudah tentu Hiat-ji tak mengetahui mengapa  sikap The Ing kini mendadak berobah seratus derajat. The Ing berpaling kepada si opsir dan tanyanya: "Tuan opsir yang entah siapa namanya, aku membilang banyak terima kasih juga padamu!"

Selagi siopsir masih main aksi ke-sombong2an, The Ing sudah gerakkan tali merahnya dalam jurus ceng-hay- seng-boh. Tahu2 leher siopsir itu serasa terlibat dengan tali tajam. Sekali tangan The Ing menyentak, tanpa berkuik lagi opsir itu rubuh tak bernyawa!  Sementara itu, Tong Kopun maju menghampiri Hiat-ji dan berkata dengan dingin: "Shin tayjin, urusan diantara kita berdua, sebaiknya juga diselesaikan sekarang!"

Hiat-ji tersenyum ewah, ujarnya: "Sebenarnya setelah The Go menakluk kepada kerajaan Ceng, kau dan nona The seharusnyapun mengikuti tindakannya itu. Tapi kalau kau berkeras hendak menyelesaikan hutang itu, akupun terpaksa melayani juga!"

Tong Ko lintangkan goloknya pe-lahan2 kedada, setelah melepas tertawa, berserulah dia dengan girang: "Shin tayjin, kau sungguh menolong mukaku!"

Kata2nya itu ditutup dengan sabetan pi-lik-to.

Tadi sebenarnya Hiat-ji pun sudah mengetahui bahwa golok ditangan anak muda itu sebuah senjata pusaka. Tapi dikarenakan kesombongannya, dia sudah tak mau memandang mata. Dia tetap mengira, lawannya itu adalah pemuda Tong Ko dahulu.

Mundur selangkah, dia gunakan tangan kosong gong- chiu-kin-na-tihiu untuk merebut senjata lawan. Karena bencinya terhadap pemuda pengchianat itu,  sekali gebrak Tong Ko sudah keluarkan jurus hong-lui-ki-seng, jurus yang paling lihay dari ilmugolok 3 jurus itu Golok itu menyemburkan badai dan kilat yang men-deru2. Demi melihat Hiat-ji dengan sombongnya menggunakan tangan kosong, dengan tertawa gelak2 Tong Ko ber- putar2 memainkan golok pusakanya. Belum reda suara ketawanya itu atau Hiat-ji sudah menjerit ngeri. Tong Kopun lantas menarik pulang goloknya dan mengawasi keadaan lawan. Hiat-ji ter-huyung2 jatuh kira2 8 tindak jauhnya, mukanya pucat seperti kertas dan yang mengerikan lengan kanannya sudah hilang

"Shin tayjin, dengan membayar sebuah lengan ini, rasanya hutangmu itu masih belum lunas!" Tong Ko tertawa dingin.

Karena sakitnya, sebenarnya dengan wajah pucat mayat Hiat-ji sudah menunggu ajalnya. Tapi tiba2 matanya tertumbuk akan sesuatu bayangan dan berserulah dia keras2: "Toa-supeh, kiranya kau berada disini. Kedatangan suhu kali ini keselatan, sebagian besar adalah untuk mencarimu!"

Tong Ko berpaling kebelakang. Si gemuk tadi kiranya sudah berdiri diambang pintu sambil molat molet (bergeliat).

"Kau ini anak murid siapa, mengapa mengomong tak keruan!" tegurnya.

Sewaktu kedua orang itu berbicara, Tong Ko merasa bakal terjadi sesuatu hal. Cepat dia hampiri The Ing untuk bahu membahu menunggu setiap kemungkinan.

Tampak Hiat-ji paksakan diri untuk menyahut: "Toa............... supeh, aku adalah.......muridnya Liat Hwat cousu............... apa kau sudah membalaskan sakit hati kedua suheng?"

"Hem, baru saja aku tiba di Lo-hu-san dalam perjalanan ke Kwitang, aku sudah ditantang adu semedhi oleh seorang paderi bangsat, dan itu telah menghabiskan waktuku sampai 10 tahun!" kata orang itu. Memang si gemuk itu bukan lain adalah toa suheng dari Liat Hwat cousu.

Sepuluh tahun yang lalu dia berangkat dari  Tibet untuk menuntutkan balas bagi kedua muridnya suami isteri Hwat Siau dan Swat Moay, yang telah dibikin lumpuh punah kepandaiannya oleh Tay Siang siarisu.

Tapi begitu pergi, dia tak ada kabar beritanya lagi.

Sebenarnya Hiat-ji sudah tak kuat, hanya karena melihat munculnya sang toa-supeh yang tak di-duga2 itulah maka dia kuatkan, diri untuk memanggil.

Tapi habis itu, diapun segera rubuh terkulai tak bernyawa lagi.

Melihat sutitnya (murid keponakan) binasa, orang itu mengicupkan mata kearah Tong Ko. Tong Ko tahu apa artinya itu dan pe-lahan2 dia kisiki The Ing mundur kebelakang.

"Shin-sutit tak dapat ditolong Iagi, diantara kalian berdua, siapa yang mengganti jiwa?" tanya si gemuk.

Tong Ko tertawa, dingin, sahutnya: "Dia mati itu  sudah selayaknya, siapa yang mau mengganti jiwa-nya?"

Orang itu perdengarkan geraman aneh tubuhnya bergetar, tangannya pelahan2 diangkat. Sesaat lagi, dia tentu bakal melancarkan pukulan amis. Menyerang dulu, adalah siasat yang paling baik. Demikian pikir Tong Ko dan dia segera serukan The Ing supaya menyingkir, lalu putar pi-lik-to menyerang orang gemuk itu.

Tepat pada saat itu pukulan lawanpun sudah melancar, serangkum bau amis memuakkan perut orang.

Buru2 Tong Ko tutup napas, tapi tetap tak tahan. Tanpa menghindar, cukup dengan gerakkan telapak tangannya yang hitam, orang itu telah dapat menahan arus serangan Tong Ko.

Tong Ko terperanjat, terpaksa dia mundurkan langkah. Orang itu kedengaran menguap beberapa kali,

selangkah demi selangkah maju menghampiri.

Walaupun mempunyai golok pusaka yang dahsyat, namun Tong Ko tak berani maju menyongsong.

Cepat dia tarik The Ing untuk diajak lari.

Se-konyong2 dari arah samping terdengar suara seorang tua berseru: ”Akumuba! Inilah pemimpin besar dari Tibet yang digelari orang sebagai Sui-giam-lo soh- hun-ciang Kwan Tay-kin!"

Tong Ko berpaling dan dapatkan kakek gurunya, Ang Hwat cinjin berdiri disebelahnya. Dadanya serasa longgar sekali. Orang itu berhenti demi tampak ada seorang cin- jin muncul disitu

"Bagus, diantara barisan ko-chiu daerah Kwiciu, aku sudah berjumpa derigan Tay Siang si kepala gundul, kini gilirannia dengan seorang imam gembel. Apa kau juga mau ajak bertanding semedhi?"

"Kwan Tay-kin, kali ini entah berapa banyak sudah orang2 persilatan yang kau celakai? Kaum persilatan Kwiciu, tiada sudi menerima seorang bebodoran macam kau!" sahut Ang Hwat.

Orang she Kwan itu jebikan: bibirnya, menyeringai : "Bagus, mari kita segera mulai saja!"

Ketika dia hentikan langkah tadi, tangannya masih diacungkan keatas. Habis mengucap dia lantas enjot tubuhnya loncat setombak jauhnya.

Gerakannya aneh, pesatnya bukan alang kepalang.

Karena loncatan itu, kembali ada serangkum angin amis menyampok.

Saking tak kuatnya, Tong Ko dan The Ing menyurut mundur.

Ang Hwat cinjin pun cepat kibaskan lengan baju, melayangkan sebuah pukulan.

Kedua gembong itu, jaraknya terpisah 3-4 meter, namun ketika kedua pukulan itu saling berbentur, terbitlah suatu angin puyuh besar sehingga puhun2 disekliling situ sama rontok daunnya, dahan2nya patah. Bau amis itupun bertebaran ke-mana2. Kedua tokoh itu sama2 mundur bebrapa langkah.

"Kalian berdua harus menyingkir pergi, makin jauh makin baik!" seru Ang Hwat kepada Tong Ko dan The Ing.

Tong Ko tahu bahwa cin-jin itu telah mencapai kesaktian yang tinggi.

Kwan Tay-kin lihay, tapi rasanya takkan dapat berbuat banyak kepadanya.

"Cin-jin, ayah The Ing berada di Kwiciu, entah mengapa dia melakukan siasat pura2 menakluk pada pemerintah Ceng, kami berdua hendak menyusul kesana!" seru Tong Ko.

"Pergilah!" sahut Ang Hwat tanpa menoleh. Ketika kedua anak muda itu berjalan jauh tiba2 dari arah belakang sana terdengar suara menggelugur yang dahsyat. Kiranya itulah puhun tua lengkeng yang roboh.

Mereka duga tentulah kedua gembong itu sedang bertempur didekat puhun situ, hingga puhun itu sempal separoh bagian. Pertempuran antara dua gembong persilatan, merupakan hal yang jarang terjadi. Beruntunglah mereka yang mempunyai kesempatan untuk menyaksikan, karena dalam pertempuran itu tentu akan dipertunjukkan ilmu sakti dan lain2 kepandaian istimewa yang jarang keluar.

Ini sangat berfaedah untuk menambah pengalaman. Tong Ko dan The Ing saling berpandangan, dan The

Ingpun tahu apa yang dimaksudkan anak muda itu.

Berkata Tong Ko dengan penuh kesungkanan :"Nona The, ayahmu di Kwiciu. "

”Tak menjadi soal. Setelah dia mengabdi pada pemerintah Ceng, tentu keselamatan-nya terjamin. Sebaliknya kalau kita lewatkan pertempuran besar ini, kita tentu akan menyesal seumur hidup!" The Ing buru2. memotong.

Tong Ko mengiakan dan begitulah keduanya lalu diiam2 menyelinap kembali, bersembunyi dibalik sebuah batu besar.

Dilihatnya Ang Hwat cinjin seperti orang gila keadaannya. Rambutnya yang berwarna merah itu riyap2 rebah berdiri, sikapnya menyeramkan sekali.

Sedang difihak lawan, Kwan Tay-kin matanya melotot, tak mengantuk seperti tadi. Nyata2 kedua gembong itu sedang mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menghadapi lawannya yang berat.

Cek-hun-ciang atau pukulan awan ungu yang diyakinkan oleh Kwan Taykin, merupakan suatu ilmu ganas yang paling lihay sendiri diantara 7 macam ilmu ganas.

Dan karena peyakinannya itu sudah mencapai tingkat kesempurnaan, angin pukulannyapun bisa mengeluarkan hawa racun. Andaikata yang diyakinkan itu bukan jenis Iwekang tok-ciang (pukulan racun), artinya meyakinkan ilmu Iwekang bisa, tingkatan yang dicapai oleh Kwan Tay-kin itu, akan dapat dibuat menangkis senjata lawan yang jaraknya beberapa meter jauhnya!

Adanya dia sampai meyakinkan pukulan ganas itu karena marah atas nasib yang diderita kedua muridnya (Hwat Siau dan Swat Moay). Setelah berhasil meyakinkan, dia segera menuju ke Kwiciu untuk melakukan pembalasan. Tapi apa lacur, ketika tiba di Lo- hu-san dia telah berpapasan dengan Tay Siang siansu. Paderi agung yang sakti itu sepintas pandang segera mengetahui, bahwa orang itu memiliki ilmu yang keliwat saktinya.

Tapi sorot matanya mengunjuk kebuasan yang ganas sekali.

Hweshio agung itu mengambil putusan untuk menjinakkannya dengan pelajaran agama Hud. Maka sengaja dia cari perkara dan tantang tokoh Tibet itu untuk bertanding duduk semedhi. Kecuali ada  orang yang membantu siansu itu atau dia (Kwan Tay-kin) berjanji takkan mengijakkan kaki didaerah Kwan-lwe (Tiongkok) lagi, barulah dia menang dan boleh bebas.

Gembong Tibet itu tinggi sekali adatnya (congkak). Nafsu ingin menangnya, besar sekali. Begitulah setiap hari mereka duduk bersemedhi sampai 8 jam dan kejadian itu berlarut sampai 10 tahun lamanya. Dalam waktu sekian lama itu; dengan sendirinya, Kwan Tay-kin bertambah maju kepandaiannya. Sedikit waktu lagi, dengan falsafah2 Hud Tay Siang percaya tentu dapat menerangi bathin orang itu. Tapi ternyata jerih payah selama 10 tahun itu, lenyap hanya dalam satu hari saja. Tanpa mendapat idin Tay Siang, Siao-lan telah menusukkan senjata garunya kepada orang itu.

Sesuai dengan janji yang telah diikrarkan dimuka, Kwan Taykin segera berbangkit dan pergi situ dengan lenggangnya. Setiap tokoh persilatan yang dijumpainya, tentu dibunuh. Habis dibunuh lalu digantung tinggi2. Keenam orang persilatan yang ditemukan The Go tergantung diujung serambi pagoda bungalow, adalah orang, Tibet itu yang melakukan!

Sampai bebrapa saat kemudian, kedua gembong itu masih belum mulai lagi.

"Ai, mengapa mereka itu?" saking tak sabarnya The Ing segera menggerutu dengan pelahan. Tapi Tong Ko menjawilnya supaya jangan banyak omong.

Benar juga, rupanya Ang Hwat seperti mendengar bisikan nona itu tadi. Gerakan tubuhnya agak lambat justeru pada saat itu Kwan Tay-kin sudah melancarkan sebuah hantaman. Ang Hwat buru2 membalas. Kali ini jarak mereka lebih dekat. Ketika terjadi benturan, Ang Hwat kedengaran bersuit panjang sedang Kwan Tay-kin tertawa seram. Kembali keduanya sama. berpencar lagi. Kini mereka bergerak-gerak melakukan serang menyerang, dari pelahan menjadi cepat. Apa yang tampak digelanggang situ, hanya, lah dua gulung sinar yang mengeluarkan deru angin dahsyat.

Se-konyong2 terdengar suara benturan keras, dan kedua gembong itu tampak tegak berdiri  diam, tangannya saling menempel. Melihat itu, bukan main kejutnya Tong Ko. Terang mereka sedang mengadu lwekang. Serentak berdiri, berteriaklah Tong Ko dengan cemasnya : "Cin-jin, tangannya beracun!"

Ang Hwat berpaling. Wajahnya merah padam karena murka.

"Budak yang tak mau mendengar kata, lekas enyah. Kalau kudapatkan kau masih berada dalam jarak 100 Ii dari sini, awas jiwamu ya!"

Tong Ko tersipu-sipu.

Dia yakin Ang Hwat tentu sudah mempunyai pegangan.

Segera diajaknya The Ing berlalu.

Baru berdialan belum lama, mereka berpaling kebelakang tampak kedua gembong itu masih tegak berdiri seperti tiang.

"Engkoh Ko, kau berpendapat siapa yang menang nanti?" tanya The Ing setelah jauh sekali dari gelanggang itu. Tapi Tong Ko hanya menggeleng kepala.

Belum sampai petang hari, mereka sudah keluar dari daerah Sip-ban-tay-san. Malam itu mereka tidur disembarang tempat. Keesokan harinya barulah meneruskan perjalanan ke Kwiciu. Tiba disana, langsung mereka menuju kegedung tihu (residen). Pintu kantor pembesar itu tertutup rapat. Mereka mencari sebuah warung untuk berunding. Tong Ko menyatakan supaya malam nanti melakukan penyelidikan kegedung tihu, The Ing diam saja, berselang bebrapa saat baru ia menyahut

: "Engkoh Ko, aku punya jalan! Bukantah dalam suratnya itu ayah menyuruh aku datang? Nah, dengan surat itu aku akan masuk kesana!"

"Benar, tapi kalau kau seorang diri, berbahaya sekali!"

The Ing menatap wajah Tong Ko, tiba2 ia tertawa geli.

Tong Ko heran dan mengira kalau mukanya itu apa barangkali kotor, maka sampai ditertawai sinona. Buru- buru dia menghampiri kaca, tapi ternyata bersih2 saja.

"Kau menertawai apa?" tegurnya dengan heran. "Aku punya akal, tapi, jangan2 kau tak mau!"

""Asal bisa menjumpai paman The, aku tentu tak menolak!"

"Kau menyaru jadi seorang nona dan ikut aku masuk. Mereka tentu tak mencurigai" kata The Ing sembari ketawa:

"Hai, apa2an itu?!"

"Kalau begitu biar aku pergi seorang diri saja," kata The Ing dengan mengangkat pundak.

Setelah merenungkan sejenak, akhirnya Tong Ko menerima. The Ing lekas2 keluar membeli pakaian wanita dan beberapa macam perhiasan. Oleh karena sememangnya berparas cakap, maka ketika sudah berganti pakaian wanita, jadilah Tong Ko seorang nona cantik. Malah The Ing sendiri sampai terkejut :"Ai, mengapa kau menyerupai benar dengan suatu orang?!"

"Siapa?"

"Say-hong-hong Bek Lian!"

Tong Ko tertawa, ujarnya :"Say-hong-hong Bek Lian adalah ratu bunga dari Kwiciu, masakan aku dapat menyamainya, sudah jangan omong tak keruan!"

The Ing tetap ngotot.. "Benar2 seperti pinang dibelah dua, percaya atau tidak itu terserah padamu!"

Tong Ko tak mau berbantah.

Keesokan harinya, mereka menuju kegedung tihu. "Mau apa?" hardik serdadu penjaga seraya

menghadang.

The Ing deliki mata. "Kawanan yang tak bermata, kau kenal tidak dengan Shin Hiat-ji tayjin?"

Shin Hiat-ji adalah taylwe-wisu (barangkari keraton). Segera kawanan serdadu itu merobah sikapnya. "Nona ini adalah. "

"Aku she The, kemari hendak menemui ayah!"

Ter-sipu2 kawanan serdadu itu membawa kedua nona itu masuk.

Tiba disebuah ruangan, terdengar lengking suara Liat Hwat cousu berkata : "Sudah bebrapa hari, mengapa Hiat-ji masih belum pulang? Jangan2 dia mendapat halangan ditengah jalan!"

"Kukira tidak!" sahut suara The Go. Mendengar itu, tak dapat The Ing menahan teriaknya lagi : "Yah, aku sudah datang!"

Pintu ruangan itu terbuka sendiri. Liat Hwat dan The Go duduk dikursi, sedang Siao-lan berdiri disisi suaminya. Bermula The Go terbeliak melihat puterinya kesitu, tapi lebih kaget lagi demi tampak seorang nona mengikut dibelakang The Ing. Pikiran The Go terbayang lagi akan kenangan pada duapuluh tahun berselang, Say-hong- hong Bek Lian, dewi jelita dari gunung Lo-hu-san..........

Juga Siao-lan terperanjat bukan terkira.

The Ing cukup cerdas dan buru2 memberi keterangan

: "Yah, Hiat-ji susiok sedang mempunyai lain urusan, jadi agak terlambat beberapa hari. Aku telah mengerti  jelas isi suratmu itu, maka aku datang kemari!"

Sengaja ia tekankan kata2 "jelas" itu. Sebagai seorang yang berotak, tajam, The Go dapat menangkap isyarat itu.

"Ing-ji, lekas beri hormat pada sucoumu!" serunya sembari menatap tajam2 kearah "Bek Lian". Ah, Bek-Lian tak semuda itu keadaannya. Hai, itulah Tong Ko, secepat itu The Go sudah dapat meneropong penyaruan yang lihay itu.

Sebenarnya pada perkenalannya pertama dengan Tong Ko, The Go sudah dapat merabah-rabah asal usul anak muda itu. Tapi dia anggap belum  tiba  saatnya untuk memberi tahu. Hanya dia larang puterinya supaya jangan bergaul rapat dengan pemuda itu.  Maka sangatlah gelisahnya demi The Ing datang bersama Tong Ko, suatu tanda bahwa hubungan kedua anak muda itu tentu sudah makin akrab. Namun dalam saat dan keadaan seperti itu, dia terpaksa tekan perasaannya dan pura2 berseri girang.

"Ha, kiranya tit-li (keponakan perempuan) juga ikut?" ujarnya.

"Titli ingin menyambangi susiok dan subo!" sahut  Tong Ko dengan nada kecil.

Ternyata anak muda itu juga cakap bersandiwara.

Untuk membuktikan dirinya itu seorang nona sesungguhnya, dia kerutkan tenggorokannya supaya bisa bersuara kecil.

Adalah Siao-lan yang lamban pikirannya, tak dapat segera mengetahui sandiwara yang sedang dimainkan oleh suaminya dan anak muda itu. Wajahnya menampil rasa heran. Buru2 The Go menyentuhnya sebagai isyarat jangan bicara apa2. Liat Hwat duduk anteng menerima pemberian hormat dari kedua gadis itu. Rupanya dia sangat gembira dan tertawa ter-bahak2.

"Ha..., ha..., tak kira bisa mendapat tambahan dua orang titli yang cantik dan gagah," ujarnya, lalu berkata kepada The Go : "The Go, kau bilang hendak menyumbangkan suatu jasa pada pemerintah kerajaan, entah bagaimana caranya? Turut pendapatku, kembalimu kepada kerajaan itu, masih belum diketahui umum. Bunuhlah bebrapa tokoh pemberontak, barulah kerajaan menaruh kepercayaan penuh padamu!"

"Bukan begitu!" sahut The Go.

"Lalu bagaimana kau hendak mengunjuk jasa?" Liat Hwat, berobah wajahnya dengan serius. The Go tertawa, ucapnya : "Pepatah mengatakan 'tangkap kawanan penjahat harus ringkus dulu pemimpinnya'. Dengan membawa batang kepala Siau- beng-siang kemari, itulah baru suatu pahala besar!"

"Bagus, bagus! Tapi apakah prakteknya sernudah itu?"

"Segala usaha besar, tentu sukar. Tapi itu bukan berarti tak dapat dilakukan. Kalau aku suami isteri dan kedua anak perempuan itu diperboleh pergi kesana, tanggung tentu berhasil!"

Liat Hwat perdengarkan tertawa aneh, serunya : "Kamu berdua suami isteri dan seorang titli bolehlah pergi, tapi anakmu perempuan itu harus inggal disini!"

The Go cerdik, tapi Liat Hwatpun tak mudah diakali.

Mendengar pernyataan, "suhunya" itu, hati The Go terkesiap, namun wajahnya tetap dikuasai, sahutnya dengan lapang : "Kurang satu orangpun tak menjadi soal!"

Tapi Liat Hwat tetap menggeleng; katanya :"Tidak, lebih baik aku ikut pergi juga!"

Kali ini benar2 The Go terkejut sekali. Celaka, kalau setan kate itu turut pergi, dia tentu dipaksa untuk melakukan rencana itu. "Guyon2 jadi sungguhan" namanya itu. Tapi kini jelaslah sudah bahwa Liat Hwat masih tetap menaruh kecurigaan, maka tak mau biarkan dia (The Go anak isteri) pergi. Untuk menolak maksud Liat Hwat, tentu akan makin mengentarai.

The Go bukanlah si Cian-bin-long-kun yang pernah menghabiskan 3 laksa pejoang Hoasan, kalau berhadapan dengan Liat Hwat seorang saja, dia sudah menyerah.

"Kalau insu mau sekalian turut, itulah bagus sekali!" katanya dengan girang.

---oo^dwkz0kupay^oo---
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar