Heng Thian Siau To BAGIAN 23 : DI TOLONG THE GO

 
BAGIAN 23 : DI TOLONG THE GO

Sekarang marilah kita ikuti usaha The Go masuk kedalam gedung pembesar Ceng itu.

Tiba dimuka halaman gedung, dia segera naik keatas titian.

Melihat ada seorang pengemis buntung hendak  masuk, para pengawal pintu terus hendak melabrak, tapi dengan kesebatan yang luar biasa.

The Go dapat menutuk rubuh kempat penjaga itu.

Bung....., sekali hantam dapatlah The Go membuka pintu gerbang yang bercat merah itu.

Gegerlah orang2 dalam gedung situ.

Kemana ujung tongkat The Go menutuk, disitulah tentu ada orang rubuh.

Walaupun kedua kakinya buntung, namun The Go tetap gagah perkasa, laksana seekor harimau mengamuk kawanan kambing.

Cepat sekali dia sudah menyerbu masuk keruangan belakang, tapi Siao-lan tetap tak kelihatan.

Pada lain, kilas, tersadarlah dia. Kalau Siao-lan belum di-apa2kan tentulah keadaan didalam gedung itu tidak sedemikian sepinya. Ah, mungkin isterinya itu telah dibinasakan!

Suatu perasaan pedih dan geram mencengkeram sanubarinya.

Saking gemasnya, dia hantam berantakan sebuah pintu angin kaca. Diluar terdengar sorak-sorai orang2 sama hiruk-pikuk, tapi tiada yang berani masuk.

The Go makin kalap, hendak dia menerjang keluar untuk menghajar orang2 itu.

Tapi baru dia hendak bergerak atau tiba2 terdengar suara menggelegar hebat, daun pintu ruangan belakang roboh dan tegaklah berdiri diambang pintu situ seorang tua yang bertubuh kate.

"Hai, siapa yang berani bikin onar disini itu?!" seru orang kate bernada anak kecil.

Kiranya dia itu bukan lain adalah Liat Hwat  cousu, atau Mo Put-siu, suhu dari Shin Hiat-ji. Setelah berhasil meyakinkan hwat-hun-kang, ilmu lwekang tertinggi, segera dia keluar untuk meringkus pengacau itu.

The Go dapatkan bahwa selain Liat Hwat, kini dia sudah dikepung oleh ratusan orang.

Sebenarnya mengandal otaknya yang cerdas, dapatlah dia lolos dari kepungan itu.

Tapi karena sang isteri sudah tertangkap, hatinyapun sudah tawar, tak mau dia hidup seorang diri.

"Dimana Siao-lan dan nona Tio itu?" serunya nyaring2.

Liat Hwat agak bingung, syukur saat itu Hiat-ji  muncul, terus menyahut:

"Perempuan gila yang ngamuk kemari itu, sudah kutangkap. Nona Tio hendak menikah dengan aku, perlu apa kau tanya?"

The Go mendapat ketenangan pula demi didengarnya Siao-lan masih hidup. "Kalau kau menikah dengan puteri raja, aku sih tak peduli. Tapi yang itu, lain halnya. Lekas keluarkan Siao- lan, baru aku habisi perkara inil" serunya dengan dingin.

Hiat-ji mendongak tertawa keras. "Ho, kiranya kaulah si Bu-kak-sian itu bukan? Ini namanya ular cari gebuk!" serunya sembari hendak melangkah....maju, tapi cepat dicegah Liat Hwat. "Hiat-ji, orang itu berkepandaian tinggi, biar kucoba hwat-hun-kang-yang habis kuyakinkan itu!"

Iblis kate itu maju pe-lahan2, tubuhnya ber-goyang2 dalam gerak gerik yang aneh.

Lengan kanan pe-lahan2 diangkat keatas, sepasang matanya menatap lekat2 kearah The Go. Insyaf bahwa pertempuran kalini penting sekali artinya.

Kalau kalah, bukan saja dia dan Siao-lan akan binasa, pun rahasia Tay-keng tetap tak terbongkar se-lama2nya.

Tapi melihat gelagat, sukarlah rasanya untuk menang.

Sesaat lengan Liat Hwat diangkat, sebuah tenaga dahsyat menindih muka The Go.

Karena kakinya buntung, The Go mengandalkan tongkat untuk berjalan, sudah tentu gerakannya tak leluasa. Ditambah pula, ilmu yang dilancarkan Liat Hwat itu adalah hwat-hun-kang, ilmu simpanan yang menjadi modal penghabisan baginya. Sebenarnya ilmu sakti itu diperuntukkan menghadapi ilmupedang termasyhur dari sepasang suami isteri Tio Jiang dan Yan-chiu. Dia pernah mendapat kekalahan, dan kini dengan hwat-hun-kang itu ia hendak menuntut balas. Atas serangan Liat Hwat itu, buru2 The Go mundur selangkah. Secepat kilat di-gerakan kedua tongkatnya. Yang kiri dibuat menahan tubuh, sedang yang kanan digerakkan dalam jurus sam-yang-gay-thay (3 matahari membuka gunung Thay-san).

Sin-hong, siang-kiok dan thong-ko, 3 buah jalan darah dibagian dada orang ditutuknya dengan gerak cepat.

Tapi Liat Hwat sudah menutup semua jalan darannya.

Kecuali jarum emas yang khusus untuk menyusup lubang lwekang atau orang yang lebih tinggi lwekangnya dari dia, barulah Liat Hwat kena dirubuhkan.

Tapi kedua syarat itu, The Go tak mempunyai.

Tuk...., tuk...., tuk....., benar tepat sekali ujung tongkat mengenai sasarannya, tapi sebaliknya dari Liat Hwat rubuh, seketika itu The Go rasakan didorong oleh suatu tenaga-balik yang kuat, hingga dia hampir terhuyung...... Krek......, tongkat ditangan kiri yang dibuat menahan tubuhnya itu patah.

Hilanglah keseimbangan badan dan tubuhnyapun menurun jatuh.

Dengan tertawa iblis, Liat Hwat maju selangkah, tangannya ber-gerak2 dengan pelahan. Itulah gerak- lambat ilmusilat Thay-kek-kun. Suatu lingkaran tenaga dahsyat segera mengurung The Go.

Tapi The Go sekarang bukan The Go 20 tahun yang lalu. Begitu melayang turun, dengan sisa kutungan tongkat, dia tekankan kelantai dan dengan meminjam kekuatan tekanan itu, tubuhnya melayang sampai bebrapa meter tingginya. Dengan gaya yau-cuhoan-sim (burung membalik badan), dia berjumpalitan hinggap diatas tiang penglari.

Bagi seorang buntung, sungguh suatu kepandaian yang tiada taranya Liat Hwat tetap ketawa walaupun serangannya terbentur tempat kosong.

Kini dia gerakkan tangannya menghantam keatas. Jaraknya dengan  The Go  kiranya ada setombak lebih,

tapi  tenaga yang menderu  dari  hantaman itu,  tetap tak

berkurang kedahsyatannya.

Sejak dalam pengasingannya menemukan kitab Tat Mo co-siang (Ilmu bersemadhi dari guru besar Tat Mo), walaupun tak seluruhnya dapat menyelami, namun dengan menurutkan gambar2 orang bersamadhi dalam kitab itu, lwekang The Go mendapat kemajuan yang pesat sekali.

Tapi dia heran juga melihat gerak Liat Hwat yang sedemikian lambatnya itu.

Adakah udang dibalik batu?

Dalam dia meragu itu, tenaga gempuran Liat Hwat sudah menyerang datang.

Sesaat itu dirasakan dirinya dibakar oleh api panas.

Bagaikan tumpukan kayu bakar yang dihempus oleh tiupan angin.

Dalam kejutnya, The Go hendak enjot tubuhnya naik keatas wuwungan yang lebih tinggi lagi, agar dapat menghindar dari pembakaran itu.

Tapi apa yang terjadi? Benar gerakan Liat Hwat tadi lambat tampaknya, tapi sebenarnya dia tengah melancarkan salah suatu jurus ilmu hwat-hun-kang (awan api) yang disebut hwat-hun- bong (jaring awan api).

Lihaynya bukan alang kepalang.

Sekali dilancarkan, jaring api itu meliputi empat penjuru.

Bagaikan sebuah jaring, makin sang ikan berontak, makin dia terbentur dengan jaring. Demikianlah keadaan The Go yang hendak menghindar itu.

Segera dia rasakan terbakar dengan api yang marong.

Salah satu keistimewaan hwat-hunbong lagi, sewaktu dilancarkan mungkin tak menarik perhatian lawan, tapi begitu orang mengetahui, itu sudah terlambat, sudah terperangkap.

Demikianlah The Go. Walaupun gerakan Liat Hwat itu agak aneh, tapi dia tak mengira kalau sedemikian hebat kesaktiannya.

Sewaktu dia hendak loncat dari tiang penglari keatas wuwungan, baru setengah meter tingginya dia segera terperanjat.

Tahu terjebak, buru2 dia hendak turun kembali ketiang penglari, tapi tak dapat.

Pada saat itu, Liat Hwat mundur dua tindak, tangannya disentakkan kebelakang, wut, bagaikan sebuah layang2 putus, tubuh The Go turut terlempar menurut gerakan tangan Liat Hwat.

Kini barulah The Go tahu lihaynya. Dalam gugupnya dia cepat kerahkan lwe-kang dan coba meronta naik keatas lagi, berbareng tongkat ditangan kanan dijujukan kebatok kepala lawan.

Kalau lain orang yang dilibat oleh hwat-hun-kang, tentu tak dapat berkutik lagi.

Tapi peyakinan selama 20 tahun digunung Sip-ban- tay-san itu, telah membuat The Go lain dari yang lain.

Liat Hwat terpaksa miringkan tubuh untuk menghindari ujung tongkat, krak, ujung tongkat menyusup masuk seperempat meter kedalam lantai dan membarengi kelonggaran itu, dapatlah tangan kanan The Go mencapai tiang penglari.

Tapi diapun cukup tahu bahwa nantinya Liat Hwat tentu akan menyerang lagi, maka dia ambil  putusan untuk menyerang lebih dahulu.

Dengan gerak cian-kin-tui (tindihan 1000 kati), dia menggelandot turun.

Krek...., bum , tiang penglari sebesar paha itu patah

seketika dan berguguranlah batu dan  tembok menghujani kebawah.

Sudah tentu tubuh The Gopun turut jatuh kebawah, tapi kini dia dapat ganti tongkat baru yang berupa kutungan tiang penglari itu.

Sebelum Liat Hwat sempat merencanakan serangan, The Go menekan kelantai.

Dengan masih mencekal kutungan penglari, dia melayang kearah Hiat-ji.

Sebat dan mengagumkan sekali gerakan jago buntung dari Sip-ban-tay-san itu. Sesaat Liat Hwat terpesona melihat ketangkasan orang.

Sedikitpun dia tak mimpi, dalam kekalahan The Go masih bisa merebut kemenangan lagi.

Begitu tersadar.

Liat Hwat segera akan melancarkan serangan lagi, tapi saat itu The Go sudah tiba dihadapan Hiat-ji.

Untuk melancarkan hwat-hunbong. lagi, memang mudah bagi Liat Hwat.

Tapi karena kini lawan merapati Hiat-ji, dia menjadi ragu2.

Hwat-hun-ong mempunyai lingkaran radius yang luas. Kalau The Go diserang, Hiat-ji pasti akan kena juga.

Memang kecerdikan The Go itu sudah termasyhur.

Setelah mendapat keterangan bahwa Siao-lan masih hidup, dia tak mau adu jiwa dengan Liat Hwat, lebih2 setelah diketahuinya bahwa dia bukan tandingan orang kate itu.

Pikiran untuk lolos, makin kuat.

Taruh kata Siao-lan sudah ter-aniaya, kelak dia masih ada kesempatan membalaskan hutang darah itu daripada kalau dia turut terbinasa sekarang.

Baginya, sudahlah untuk merencanakan siasat meloloskan diri itu.

Begitu dia melayang ketempat Hiat-ji, segera dia hantamkan tiang penglari. Hiat-ji gugup, terus menangkis, tapi tak tahu gerakan The Go tadi hanya gertakan kosong belaka.

Dia hantamkan penglari kelantai, dengan meninjam tenaga hantaman itu, tubuhnya melayang ketembok, bruk......, tembok hancur dan via lubang itu dia melesat keluar. Tiba diruang sebelah, dia segera loncat kepintu hendak lolos.

Tapi ternyata pintu itu sukar didorong. Celaka, itu dia Liat Hwat kedengaran melengking memburu datang.

Dengan berjalan diatas tangan, dia buru2 mundur 3 tindak.

Baru saja dia siap hendak menerjang pintu itu, tiba2 kedengaran ada suara rintihan orang dari kamar sebelah situ.

Dia melongok dan didapatinya dalam kamar itu terdapat sebuah ranjang kayu.

Dari ranjang situlah rintihan itu keluarnya. Cian-bin- long-kun The Go yang cerdas tangkas itu, segera mendapat akal. Disambarnya sebuah kursi, terus dilemparnya kearah pintu tadi, bum...., kursi yang  disertai lemparan Iwekang itu telah  berhasil menggempur tembus pintu itu. Berbareng itu, sekali tangan menekan lantai, dia segera menyusup masuk kedalam kamar terus naik keatas ranjang.

"Hai, kemana larinya bangsat itu?”

”Dia sudah menobros keluar pintu, suhu...., ayuh kita kejar!" pada lain saat diluar kamar terdengar Hiat-ji berseru. "Tidak, mungkin dia masih berada dalam ruangan sini!" sahut Liat Hwat.

"Mana bisa, kalau berada disini, mengapa dia menggempur pintu?!" bantah Hiat-ji.

Menyusul terdengarlah suara dua sosok tubuh menobros keluar pintu.

The Go menghela napas longgar.

Tapi dalam pada itu dia heran juga mengapa Hiat-ji rupanya tak setuju Liat Hwat menggeledah ruangan situ.

Ketika dia berpaling muka, astaga, kiranya disebelah situ terdapat seorang nona cantik bermata bundar, rebah dengan tangan terikat dan mulut tersembat.

Ho, inilah sebabnya mengapa Hiat-ji berbuat begitu tadi.

Kiranya dia mempunyai simpanan dalam kamar itu. Takut rupanya pemuda itu kalau diketahui suhunya. Diam2 The Go berterima kasih kepada nona itu.

"Nona, siapa ........", The Go menarik sumbat mulut nona itu, tapi sebelum dia lanyutkan kata2nya 'namamu', dia terkesiap kaget.

Benar, wajah nona itu mirip sekali dengan seseorang yang dikenalnya.

Sebaliknya, setelah dapat bergerak, nona itu cepat benturkan kepalanya kepada The Go sembari memaki: "Bangsat, tak usah merayu lidah, nonamu tak jeri padamu!" The Go menghindar sembari menangkap tangan sinona, ujarnya: "Set, jangan ribut, kalau ketahuan  orang, aku yang dibunuh dulu. Apakah nona ini bukan puterinya Hui-lay-hong Liau Yan-chiu yang bernama Tio In?"

"Huh, apa kau masih pura2 tak tahu?" jengek sinona yg bukan lain memang Tio In adanya. Dia ditawan disitu oleh Hiat-ji. Melihat kedatangan The Go, dikiranya kalau orang suruhan si Hiat-ji untuk membujuknya. Sudah tentu ia marah2 dan mengumpat caci.

"Ai, harap jangan bicara keras2!" kata The Go sembari membuka tali ikatan tangan Tio In. “Aku bernama The Go, sudah kenal dengan ayah bundamu. Kita harus lekas2 cari jalan lolos dari sini dulu!"

Teringat Tio In bahwa ayah bundanya pernah menceritakan tentang diri Cian-bin-long-kun The Go itu kepadanya. Setelah kakinya kutung, dia (The Go) menyesal dan bertobat lalu mengasingkan diri entah kemana.

Waktu menuturkan riwayatnya itu, ayahnya terkenang dan menaruh rasa symphati.

Tapi tidak demikian dengan mahnya (Yan-chiu), yang tetap menuduh The Go itu sebagai orang yang culas jahat.

Mungkin penyesalannya itu hanya pura2 saja.

Maka mamahnya itu memesan Tio In, apabila berjumpa dengan orang itu hendaknya berlaku hati2 jangan mudah percaya omongannya. Lazimnya, anak perempuan itu lebih dekat dengan sang ibu.

Nasehat Yan-chiu itu termakan dalam hatinya. Mendengar dengan siapa ia berhadapan sekarang,

timbullah purbasangkanya yang jelek.

"Mengapa kita harus ber-sama2 lari, bukantah lebih baik cari jalan sendiri2 saja?" sahutnya dengan tertawa dingin.

Menyingkap kelambu, ia terus hendak turun dari ranjang.

The Go yang cerdik segera dapat menerka hati nona itu.

Tentulah ajaran ayah bundanya yang menyebabkan nona itu berlaku sedemikian tawar kepadanya.

Tapi biar bagaimana, kalau Tio In sampai  keluar sendirian, terang tentu berbahaya.

"Nona Tio, jangan!" cepat dia mencekal tangan Tio In, setelah ambil putusan untuk menolongnya. Tapi baru ia mengucap begitu, disebelah luar sana kedengaran suara Liat Hwat melenglking: ”Aneh, sekalipun dia  bisa terbang, juga tak nanti dapat menghilang sedemikian cepatnya!"

Sebaliknya kedengaran Hiat-ji tertawa, serunya: "Wanita itu masih disini masakan dia tega tak kembali lagi!"

"Apa kau tahu, pernah apa dia dengan perempuan itu, mengapa kau yakin dia tentu kembali kesini lagi?" Hiat-ji terkesiap mendengar nada suara suhunya yang gusar itu.

Buru2 dia memberi keterangan: "Entahlah, tapi bersama perempuan itu jugalah dia mempedayakan Tay- keng tempo hari, jadi tentu mempunyai tali hubungan yang rapat. Tapi rasanya tak mengapalah dia bisa lolos, karena Tay-keng sudah menuju ke Lo-hu-san untuk menjalankan rencanaku!"

Hanya kedengaran hidung Liat Hwat mendengus sekali, lalu kedua orang itu tinggalkan ruangan situ.

Mereka berjalan lewat disamping ranjang situ, namun sedikitpun tak bercuriga kalau The Go mungkin bersembunyi disitu.

"Ai, mengapa engkohku bisa kenal dengan orang2 itu? Apa mungkin ada orang yang bersamaan namanya?" Tio In berkata seorang diri.

The Go ambil putusan tetap.

Lebih dahulu dia hendak membeber kelakuan khianat dari Tay-keng kepada Tio In.

Kemudian dia akan berusaha keras untuk meloloskan nona itu dari situ, agar sepulangnya ke Lo-hu-san dapatlah ia memberi laporan pada Siau-beng-siang Tio Jiang.

Andai kata dia (The Go) terpaksa harus mengadu jiwa disarang harimau situ, relalah sudah dia untuk binasa.

Tugasnya untuk menyelamatkan orang2 gagah Lo-hu- san sudah terpenuhi.

"Bukan lain orang, tapi memang engkohmu Tio Tay- keng itu sendiri!" sahutnya. Tio In terkesiap. Teringat ia akan kejadian tempo terjebak diruang gereja Kong Hau Si itu. la sudah menduga, bahwa Hiat-ji tentu akan membunuhnya, tapi ternyata tidak.

Jadi teranglah, kalau Hiat-ji hendak menggunakan siasat 'pinjam mulutnya' untuk mencelakai engkohnya.

Memang masih penuhlah kepercayaan Tio In terhadap engkohnya itu.

Terhadap The Go sememangnya ia sudah mempunyai purbasangka jelek, maka demi mendengar kata2 The Go itu, makin teguhlah dugaannya kalau Cian-bin-long-kun itu sekaum dengan kawanan kaki tangan pemerintah Ceng itu (rombongan Hiat-ji dkk).

"Terima kasih atas peringatanmu itu!" sahutnya dengan nada sinis.

"Kalau nanti nona sudah lolos dari sini, saya minta dengan sangat apa yang kau saksikan dan dengar disini itu semua, kau ceritakan pada ayahmu!"

The Go yang mengira Tio In sudah insyaf, buru2 menyusuli kata2nya.

Tapi sebaliknya, kecurigaan Tio In kalau The Go itu menjadi kaki tangan Hiat-ji, makin teguh.

Pertama, ia tak percaya kalau enkohnya sampai berbuat sedemikian hina menjadi kaki tangan musuh.

Dan kedua kalinya, ia percaya dirinya pintar dewek, menetapkan kalau kesemuanya Itu adalah siasat pinjam- mulut dari Hiat-ji.

Dugaan ini makin diperbuat dengan kenyataan, mengapa begitu bernapsu tampak-nya The Go minta kepadanya supaya menceritakan pengkhianatan Tay- keng itu kepada ayahnya.

Sudah tentu ia tak menghiraukan permintaan The Go itu.

Setelah dilihatnya tiada seorangpun lagi, cepat2 Tio In turun dari ranjang.

The Go cemas, seorang diri Tio In tentu celaka.

Maka diapun lalu turun, menyempal dua buah kaki kursi, lalu berjalan mengikuti Tio In.

Tapi baru berjalan tak berapa jauh, tampak penjagaan digedung situ diperkeras.

Memang setelah The Go lolos, Liat Hwat perintahkan agar penjagaan diperkuat.

Buru2 Tio In dan The Go menyelinap bersembunyi diujung tembok.

Tapi dia segera merasa bahwa cara main bersembunyi begitu, tidak tepat.

"Nona Tio, biar kupancing perhatian mereka, dan kau supaya lekas2 lolos. Jangan lama2 tinggal disini, berbahaya sekalil" bisik The Go.

"Terima kasih atas kebaikanmu itu. Sekalipun Liat Hwat yang berada disini, diapun serupa juga tentu akan membiarkan aku lolos, karena dia memerlukan tenagaku!"

The Go terbeliak, mengapa nona itu berkata begitu.

Sebaliknya Tio In tertawa lagi, nadanya penuh dengan rasa mengejek. Kalau 20 tahun yang lampau The Go mendengar ketawa ejekan itu, mungkin dia tak kaget.

Dengan sepak terjang kejahatannya tempo dulu itu, ber-ulang2 dia menerima ejekan semacam itu. Tapi tidak demikian dengan dia sekarang. Dia bertobat, dia berusaha keras untuk menebus kesalahannya, tapi tetap mendapat ejekan begitu macam. Kepedihan hatinya, sukar dilukis.

Ah, kiranya betapapun kuberusaha untuk menebus dosa, tetap orang tak mau mengampuni. Nona kecil macam Tio In bisa berlaku demikian, apalagi lain2 orang.

The Go tertegun, terbit pertentangan dalam batinnya. Mana Tio In mengetahui isi hati The Go saat itu.

Mengira kalau 'serangannya' tadi telah berhasil menelanjangi isi hati orang, ia makin gembira.

Pikirnya, lain orang dapat dipedayai Ciam-bin-long- kun, tapi tidak ia.

Dengan langkah lebar, ia berjalan keluar.

Kebetulan penjaga yang bertugas disitu adalah seorang yang kakinya pendek.

Melihat  Tio In  hanya seorang nona kecil, Maka dibiarkan saja ia keluar dari gedung tihu situ.

Tiba dijalan besar, Tio In masih geli, menertawakan 'siasat tolol' dari kawanan Hiat-ji itu.

Segera ia menuju lagi kegereja Kong Hau Si.

Setelah disana tak menjumpai Tay-keng, ia duga engkohnya itu tentu sudah pulang melapor  pada ayahnya. Agar jangan membikin gelisah hati orang tuanya. Tio In pinjam seekor kuda dari seorang kenalan ayahnya di Kwiciu situ, terus mencongklang ke Lo-hu- san.

---o0-dwkz_kupay-0o--- 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar