Heng Thian Siau To BAGIAN 17 : REMUK RENDAM

 
BAGIAN 17 : REMUK RENDAM

Luka pada pundak Tong Ko tadi masih mengucurkan darah, sehingga dia ter-huyung2 rak dapat berdiri dengan jejak, namun dengan sempoyongan dia tetap maju menghampiri Tay-keng. Tapi baru melangkah bebrapa tindak, telinganya seperti tersusup oleh suatu suara yang bernada ramah: "Nak, mengapa kau tak mengindahkan pesan The Go, berani gegabah keluar sendirian? Kalau mau meloloskan diri, turutlah perintahkul"

Heran Tong Ko dibuatnya. Dia kerlingkan pandangannya kesekeliling tempat situ. Dalam lingkaran seluas empat lima tombak, yang tampak hanyalah orang2 suku Thiat-theng-biau saja. Dan didalam lingkaran yang merupakan gelanggang pertempuran situ, kecuali Tio Jiang yang bertempur dengan Liat Hwat, Sin Tok lawan Yan-chiu dan Hiat-ji "berkelahi" dengan Tay- keng, tiada barang suatu orang lain lagi. Tapi betapa bening nyaring suara bisikan tadi menyusup kedalam telinganya, dia dapat mendengarkannya dengan jelas. Ah, kalau bukan tokoh yang Iwekangnya sudah mencapai tingkat kesempurnaan, tentulah tak nanti dapat menggunakan ilmu lwekang coan-im-jip-bi begitu. Dan rasanya kepandaian-tokoh itu tidak dibawah Liat Hwat bahkan lebih lihay lagi!

Setelah hening sejenak kedengaran pula suara. itu. menyusup:

"Tutuklah jalan darahmu sendiri lebih dahulu untuk menghentikan perdarahan, ini kuberimu obat!" Berbareng dengan kata "obat" itu, punggung Tong Ko serasa sakit dan ketika menunduk kebawah didapatinya ada sebuah gulungan kertas kecil. Buru2 dipungutnya dan ketika dibuka, ternyata berisi obat puder merah. Tanpa berayal Tong Ko lakukan perintah orang gaib itu. Menutuk jalan darah lalu mengulaskan puder merah itu pada luka2nya. Suatu rasa nyaman menyelubungi tubuh, rasa sakit berkurang. Hatinya sangat bersyukur sekali kepada penolongnya yang berbudi itu. Ketika dia hendak berpaling untuk menengok, tiba2 didengarnya Tio In berlari mendatangi. Bermula dia hendak menjemput liong-kau-pian yang terhampar ditanah, tapi batal menjemput dia maju menyongsongnya: "In-moay!"

Tapi untuk kejutnya wajah Tio In berobah muram, matanya ber-kaca2 air mata dan giginya terdengar berkerutukan. "Dahulu masih tak kupercaya kalau kau ini menjadi kaki tangan pemerintah Ceng. Tapi apa yang kusaksikan hari ini, masih dapatkah kau memberi penyangkalan?"

Dan menyusul dengan kata2 itu, tangannya meninju kemuka. Karena tak menduga sama sekali, tinju sinona itu tepat mengenai luka didada Tong Ko. Baru saja luka itu berhenti mengucurkan darah atau kini kembali menyemburkan darah segar hingga tangan Tio In pun kelumuran darah. Tio In tertegun, tiba2 tinjunya yang berlepotan darah itu di-usap2kan baju seraya berseru: "Darahmu, budak Ceng, berbau busuk, mengotorkan tanganku!"

Nona itu sebenarnya sangat mencintai Tong Ko. Tapi ia salah sangka Tong Ko itu seorang kaki tangan pemerintah Ceng. Namun sekalipun begitu, gelar rasa kasih masih kuat meremas sanubari Tio In. Melihat keadaan Tong Ko yang terlongong2 bermandikan darah itu, hatinya seperti di-sayat2. Ia buru2 memutar tubuh membelakangi dan air matanya bercucuran laksana  hujan mencurah

Memang sakit yang ditimbulkan akibat hantaman Tio In itu, bukan kepalang sakitnya.

Namun Tong Ko rasakan, sakit pada hatinya dicerca sang kekasih itu, jauh lebih berat.

Dia ter-mangu2 sampai sekian saat. Pikirannya serasa hampa. Fahamnya hilang ditelan penasaran. Ya, sampai Tio In, nona yang menjadi tambatan jiwanya, pun menuduh dia sebagai seorang kaki tangan Ceng. Orang mengatakan bahwa empedu itu pahit. Tetapi adakah hal yang melebihi pahitnya dari dinista seorang kekasih? Serasa dia kehilangan bumi tempat berpijak, beringin tempat berlindung. Rasanya kecuali The Go seorang, didunia ini sudah tiada orang yang mau mempercayainya lagi.

Dalam keputusan asa, dia berobah kalap.

Se-konyong2 dia tertawa berderai2 dan seperti orang kemasukan setan menjerit dia dengan kalapnya: "Benar, Aku seorang budak Ceng! Aku seorang budak Cengl"

Habis men-jerit2 itu, dipungutnya liong-kau-pian terus dihantamkan kearah dua orang Thiat-theng-biau yang seketika juga segera rubuh sungsang balik ditanah.

Dalam pada itu waktu mendengar dia tertawa keras lagi, Tio In berputar untuk mengawasinya. Tampak akan sepasang biji mata sinona yang bundar bening itu. Hati Tong Ko makin ter-sayat2. Mendongak keatas sembari tertawa nyaring, dia ter-huyung2 maju menghampirinya. Tio In cemas menampak sorot mata anak muda itu ber-api2, iapun menyurut kebelakang.

Mengapa Tio In bisa lari menghampiri Tong Ko, bukanlah tadi ia masih diringkus sikaki satu Sin Tok? Kiranya kejadian itu adalah begini: begitu menyerbu, Yan-chiu telah berhasil mendesak sikaki satu menjadi kalang kabut. Masih si Sin Tok itu hendak menggunakan siasat seperti ketika menghadapi Tio Jiang, yakni menggunakan tubuh Tio In sebagai perisai dan senjata. Namun, Yan-chiu bukan Tio Jiang. Selain lincah, ia juga lebih cerdas. Mengetahui akan siasat lawan, ia segera memperoleh daya untuk memecahkannya. Secepat kilat, ia menyelinap kebelakang lawan dan segera menusuk.

Tahu sudah si Sin Tok itu kalau Yan-chiu bergelar Hui- lai-hong atau si Burung Cenderawasih terbang melayang. Tapi sedikitpun dia tak mengira kalau sedemikian luar biasa gerakan nyonyah itu. Tadi dia hanya menampak berkelebatnya sinar pedang, tapi tahu2 lawan sudah berada dibelakangnya. Jika dia tetap membandel memegangi Tio In, terang punggungnya akan tertusuk pedang. Ah, terpaksa dilepaskannya nona itu, kemudian loncat kemuka. Dan begitu terlepas dari cekalan orang, tadi Tio In pun lantas loncat menghampiri Tong Ko.

Pada saat itu Tio In menyurut bebrapa tindak kebelakang dan tanpa disadari, telah  mendekati ketempat Yan-chiu. Melihat anak gadisnya didesak Tong Ko, marah Yan-chiu tak terkendalikan lagi. Memang sejak kematian puteranya bungsu, Yan-chiu teramat bencinya kepada Tong Ko. Adalah karena beberapa kali dicegah sang suami, ia sudah tak jadi membunuh anak muda itu. Sebenarnya saat itu juga, ia kepingir, melabrak Tong Ko, sayang ia masih harus melayani desakan Sin Tok. Pikirannya cepat bekerja. Tio In tak memegang senjata apa2, sedang ia (Yan-chiu) rasanya sanggup melayani serangan kapak Sin Tok dengan cukup mengandalkan kelincahannya saja.

Secepat memikir, secepat itu pula ia mengambil keputusan. Dijentikkan pedang kuan-wi-kiam kearah Tio In sana seraya berseru: "In-ji, gunakanlah jurus Kang- sim-poh-lohl"

Kang-sim-poh-loh adalah jurus yang terhebat dari ilmu pedang Hoan-kiang-kiam-hwat. Melihat kuan-wi-kiam melayang datang, Tio In cepat menyambarnya, sret ,

dari samping pedang itu diputar ketengah terus ditusukkan kedada Tong Ko. Keadaan Tong Ko pada saat itu, antara sadar tak sadar. Dia rasakan dunia ini gelap, tiada berkecintaan lagi. Tusukan ujung pedang Tio In itu, pun se-olah2 tak dirasakan. Dia hanya lekatkan pandangannya kewajah Tio In, entah apa yang kelihatan olehnya.

Bermula Tio In girang karena tusukannya bakal berhasil. Tapi kala ujung pedang tinggal berapa dim lagi kedada sianak muda, tiba2 hatinya tercekat dan tertegun sejenak. Bibirnya ber-gerak2 seperti hendak mengatakan sesuatu. Ya, memang demikianlah. Perasaan hatinya pada saat itu mungkin tak kalah pedihnya dengan Tong Ko. Pemuda tambatan hatinya adalah seorang "kaki tangan Ceng" Bukan saja lamunannya untuk mendirikan mahligal hidup yang berhabahagia akan lenyap se- lama2nya. Sejak kecil ia diasuh dengan didikan budi pekerti menyinta tanah air. Dimisalkan, ayah bundanya tak menghalangi perhubungannya dengan Tong Ko, ia sendiripun tak sudi lagi untuk menjadi teman hidup seorang budak pemerintah penjajah. Namun betapapun juga, ia tetap seorang dara yang sedang dijenjang asmara. Laksana kuntum bunga yang tengah mekar semerbak, ia rela menyambut kedatangan sang kumbang. Ia berhenti setengah jalan untuk menusuk itu, adalah karena disebabkan hal itu.

Tangannya yang masih mencekali pedang itu tampak bergemetaran sehingga pakaian Tong Kopun turut ber- goyang2. Ini rupanya membikin sadar sianak muda yang terus menundukkan kepala untuk memandangnya. Ketika tampak pedang kuan-wi-kiam berkilau2an menyilaukan mata itu, wajahnya makin 'muram. Dengan bibir bergetar, ia berseru dengan nada yang tawar: "Tusuklah, nona Tio! Mengapa berhenti?"

Dalam nada kata2nya itu terasa suatu kehampaan yang mendalam. Suatu rasa tak mengacuhkan akan segala apa lagi. Dia seolah2 menyuruh Tio In menusuk pada lain orang, bukan menusuk pada dirinya. Ya, dia bagaikan sebuah layang2 yang putus talinya, kehilangan arah tujuan hidup. Tio In terkesiap, hatinya makin pilu. Ia mengetahui bahwa sebenarnya tadi Tong Ko dapat menangkis karena lengannya sebelah kanan tak kena apa2. Tapi anehnya, anak muda itu malah menjulaikan Liong-kau-piannya kebawah.

Ah .....Tong Ko ........... Tong Ko......! Demikian hati Tio In mengeluh demikian pula kalbunya meronta dia cinta padaku.....! Dia cinta padaku. !

Tanpa terasa kelima jarinya yang menggenggam kuan-wi-kiam itu terlepas dan trang......, jatuhlah pedang pusaka itu berkerontangan ditanah. Tapi berbareng dengan jatuhnya pedang itu, terdengarlah Tong Ko tertawa keras.

"Mengapa kau tertawa?" tanya Tio In.

"Mengapa aku tertawa.....? Mengapa aku tertawa. ?

Bagaimana kutahu mengapa aku tertawa ini?" sahut Tong Ko dengan lantang. Kemudian memutar tubuh dia terus melangkah pergi. Tio In tegak ter-longong2 ditempatnya. Tak memungut pedang yang jatuh ditanah tadi, pun tak mengejar, sianak muda. Juga ia sendiri, termangu2 tak tahu apa yang direnungkannya!

Disebelah sana Yan-chiu yang bertangan kosong menghadapi sikaki satu, telah bertempur dengan serunya. Dalam hujan kapak yang dilancarkan Sin Tok, ia berlincahan laksana seekor kupu2 di serang curahan hujan. Walaupun hanya berkaki satu, namun Sin  Tok juga gesit sekali. Maka untuk merebut kemenangan, rasanya juga tak mudah bagi Yan-chiu. Apa yang terjadi pada diri Tio In yang ter-longong2 seperti orang kehilangan semangat mengawasi Tong Ko berlalu itu, tak lepas dari pandangannya. Namun iapun tak dapat berbuat apa2.

Sedang pada partai yang lain, pun Tio Jiang tak dapat berbuat apa2 terhadap Liat Hwat cousu. Setelah lewat jurus yang ke 30, gerakan Tio Jiang tampak agak kendor. Serangan pedang Tio Jiang sepintas pandang seperti sebuah pedang kayu mainan kanak2 gayanya. Tapi bagi Liat Hwat cousu, serangan itu digerakkan dengan suatu tenaga lemas yang mengandung kekuatan dahsyat. Maka dia (Liat Hwat) pun harus mengerahkan tenaga dalam untuk menghalau serangan istimewa itu. Dilain fihak, Tio Jiang juga rasakan kebutan lengan baju orang tua kate itu, mengandung tenaga lwekang yang teramat hebatnya. Jika dia tak mengundang seluruh kekuatannya, sukarlah rasanya untuk menolak tekanan lawan itu. Maka dia curahkan seluruh perhatiannya untuk menghadapi siorang tua kate itu, jadi terpaksa tak dapat menghiraukan Tio In lagi.

Juga partai si Hiat-ji dengan Tio Tay-keng, walaupun hanya pura2 saja, namun tampaknya tak kurang serunya. Hal ini memang sengaja mereka unjukkan begitu, untuk mengelabuhi mata Tio Jiang yang tajam itu. Jadi terpaksa merekapun tak dapat mencegah perginya Tong Ko. Juga rombongan orang Thiat-Theng- biau, karena mengetahui sikap bersahabat dari anak muda itu terhadap kepala sukunya tadi, segera memberi jalan pada Tong Ko. Begitulah dengan tindakan limbung, Tong Ko menuju kebawah gunung.

Adalah setelah anak muda itu berjalan jauh, barulah Tio In tersadar. Dan pada saat itu terdengar juga mamahnya (Yan-chiu) menerlakinya: "In-ji, lekas ambilkan pedang itu untukku!"

Tio In cepat melemparkan pedang itu kearah mamahnya. Sekonyong2 Yan-chiu bersuit nyaring dan tubuhnya melambung keudara. Begitu menyambar kuan- wi-kiam ia terus membabat kebawah, Sin Tok gerakkan kapaknya untuk menangkis, trang, kapak kutung dan kuan-wi-kiam menyambar pundak Sin Tok, meninggalkan sebuah luka sepanjang 20 an centi. 0

Begitu Liau Yan Chiu sambar pedang yang dilemparkan Tio In kepadanya itu, se-konyong2 ia bersuit nyaring sambil melambungkan tubuh keatas dan pedang membabat, "trang....." tahu-tahu kapak Sin Tok terkuntung dan pundaknya terluka.

Tubuh Sin Tok menggigil kedinginan dan rasa dingin itu serasa menusuk sampai keulu hati. Tiba2 kakinya yang tinggal satu itu ditekuk dan tubuhnya segera dibuang untuk bergelundungan kearah Tio In. Dengan sebatnya nona ini mengirim tendangan. Rupanya sikaki satu itu lebih suka mendapat persen tendangan Tio In daripada merasakan tusukan kuan-wi-kiam Yan-chiu. Benar Tio In tepat sekali menendangnya, namun sikaki satu dengan membabi buta tetap bergelundung menerjangnya seraya gerakkan tangan uatuk  menyambar kaki sinona. Syukur Tio In keburu loncat menghindar jauh2 dan pada saat itupun Yan-chiu juga sudah mengejar datang. Sebenarnya Hiat-ji yang hanya bertempur pura2 dengan Tay-keng itu dapat memberi pertolongan pada sikaki satu. Tapi dari menolong, sebaliknya anak bermata wungu itu malah tertawa sinis melihati tingkah laku si Sin Tok yang pontang panting seperti dikejar setan itu. Ya, memang dia benci pada sikaki satu itu dan diam2 mendoakan supaya dia lekas mampus saja.

Dalam gugupnya sikaki satu bergelundungan kesamping. Dalam kesempatan itu dia mencuri lihat kearah Hiat-ji. Waktu dilihatnya wajah anak itu mengunjuk senyum sinis, gusarnya bukan kepalang. Huh, jangan kau bergirang dulu, anak keparat. Kalau aku mati, Tio Jiang dan isterinya itu tentu bakal dapat berkelahi bahu membahu untuk melancarkan ilmu pedang Hoan- kang-kiam-hwat dan to-hay-kilam-hwat yang termasyhur. Pada saat itu kaupun tentu takkan terluput dari keiratian, demikian diam2 dia mengutuk Hiat-ji.

Dalam pada merangkai kutukan itu, dia tetap tak berayal untuk bergelundungan kian kemari. Ternyata gerakannya pun amat lincah sekali. Berulang kali Yan- chiu menikam dan menusuk, namun selalu dapat dihindarinya. Ketika dia bergelundungan kedekat Tay- keng, tiba2 timbullah suatu pikiran. Begitu pentang sepasang tangan, dia dekap kaki anak itu.

Kala itu Tay-keng tengah melancarkan sebuah pukulan kearah Hiat-ji. Benar tadi dia mengetahui bahwa sikaki satu itu bergeIundungan menghampiri kedekatnya, tapi mimpipun tidak dia kalau dirinya bakal diperlakukan begitu oleh sikaki satu. Maka tak ampun lagi, robohlah Tay-keng. Sudah tentu Yan-chiu tak  mengetahui perbuatan puteranya yang manis itu. Maka demi menampak puteranya sedemikian mudah dapat diringkus kakinya oleh Sin Tok, heran juga ia dibuatnya. la mengetahui kepandaian puteranya itu cukup tinggi. Ya....., walaupun masih kalah setingkat dengan sikaki satu, namun biar bagaimana tak nanti sedemikian mudahnya dapat didekap mentah2 begitu. Dalam keherannya itu, timbullah kecurigaan. Sayang dia tak mau merenungkan dalam2 dan melainkan diam saja tak tahu bagaimana harus bertindak.

"Tio-heng, maafkanlah!" sikaki satu berbisik kedekat telinga Tay-keng. Rupanya Tay-keng itu  sudah tenggelam jauh sekali kedalam bujukan mereka. Ia  cukup mengerti apa maksud sikaki satu itu.

"Mah, tahan dahulu!" serunya sembari lepaskan pedangnya.

Yan-chiu kesima. la tetap seorang wanita yang mempunyai rasa keibuan. Setelah puteranya bungsu meninggal, seluruh harapannya dicurahkan kepada Tay- keng. la mengira kalau tak hentikan serangan, puteranya itu tentu bakal celaka.

"Tok-kak-sin-mo, bagaimana maksudmu?" akhirnya setelah termenung beberapa jenak, ia berseru dengan wajah merah padam.

Sin Tok tertawa iblis,  sahutnya:  "Bagus,  aku maukan. "

Baru dia mengucap samuai disitu, matanya silau oleh dua benda putih yang melayang kearahnya. Buru2 dia menggeliat kesamping untuk menghindar. Kiranya dua benda putih itu adalah dua buah batu kecil yang ditimpukkan Tio In. Menyusul dengan timpukannya, sinonapun sudah melayang datang terus menghantam. Hiat-ji yang mengetahui rahasianya bakal pecah akibat perbuatan sikaki satu itu, sambil deliki mata pada sang kawan (Sin Tok) cepat2 menyongsong serangan Tio In itu. Tapi dalam pada saat2 luang itu, Yan-chiu sudah dapat bertindak dengan sebat. la mengambil  putusan, tak usah berdamai dengan mereka. Waktu Sin Tok menggeliat menghindar timpukan batu tadi, letak tubuhnya tepat membelakangi Yan-chiu. Kejadian itu hanya berjalan dalam sekejap mata saja, namun hal itu sudah cukup bagi Yan-chiu untuk melekatkan pedangnya kepunggung orang. Hendak sikaki satu ber-putar lagi tapi sudah tak keburu. Punggungnya terasan dingin menggigil dan ujung kuan-wi-kiam sudah menyusup kedalam bahunya. Yan-chiu. tak mau menarik keluar pedang itu.

"Lepaskan Tay-keng atau, sekali kugerakkan pedang, tubuhmu pasti akan terbelah menjadi dual" serunya menghardik.

Sebenarnya kalau Sin Tok tetap memeluk kaki Tay- keng, mungkin Yan-chiu pun akan pikir2 lagi sebelum bertindak. Tapi kenyataan sikaki satu itu bukan seorang ksatrya.

Dalam menghadapi pagutan maut, dia sayang akan jiwanya. Dekapannya pada kaki Tay-keng itupun dilepas seraya mulutnya meratap ampun: "Hujin (nyonyah), ampunilah jiwaku!"

Melihat puteranya terlepas, girang Yan-chiu  tak terkira. Buru2 ia meneriaki puteranya itu: "Tay-keng, kau bersama adikmu beresi anak itu!" Terpaksa Tay-keng tak berani membantah. Bersama Tio In dia maju menyerang Hiat-ji. Yan-chiu sontakkan pedangnya kesamping dan putuslah tulang, pi-peh-kut dipundak Sin Tok. Darah segar menyembur keluar. Sekalipun luka itu dapat sembuh, namun lengan kanannya akan lumpuh tak dapat digunakan selama2nya.

Setelah itu ia loncat melayang kesamping suaminya, seraya mengucapkan kode: "Jurus pertama!”

Tio Jiang dapat menangkap arti kode itu, bagaikan sepasang, naga keluar dari goanya, maka kedua pedang pusaka yap-kun dan kuan-wi itu menari2 dengan lincahnya. Pada jurus yang kelima, tiba2 kedengaran suara "bret....." dan rowaklah lengan baju Liat Hwat terpapas ujung pedang Yan-chiu. Semangat Liat Hwat serasa terbang dibuatnya. Diam2 dia mengakui betapa kehebatan sepasang ilmupedang hoan-kang-kiam-hwat dan to-hay-kiam-hwat itu. Dia insyaf sukar untuk menghadapi ilmupedang sakti mereka Itu.

Sambil mengaum keras2, tiba2 tubuhnya menggeliat kebelakang dan bum...., bum.... terdengarlah suara ledakan keras melayang kearah Tio Jiang dan isterinya. Dalam kalangan persilatan Liat Hwat cousu itu disegani karena julukannya "Liat hwat sin lui" si Geledek Api yang sakti, kiranya dia mempunyai sebuah senjata rahasia yang teramat istimewa sekali yani semacam senjata granat. Yan-chiu yang kurang pengalaman sembari mendamprat terus hendak menangkisnya dengan ujung pedang, tapi Tio Jiang buru2 berseru mencegahnya: "Jangan, lekas mundur sajal"

Yan-chiu mengkal hatinya, tapi ia turut juga perintah suaminya itu. Sesaat kedua suami isteri itu loncat mundur, dua buah ledakan yang dahsyat segera terdengar mengguncangkan bumi. Beberapa orang Biau yang tak keburu mcnyingkir, sudah terlempar jatuh kebawah gunung. Suatu lingkaran asap yang tebal bertebaran menutup sekeliling tempat itu sehingga orang2 sama tak dapat melihat satu sama lain. Syukur tadi Yan-chiu mau dikasih tahu suaminya kalau tidak, ngeri tentu keadaannya.

Melihat kedahsyatan senjata granat-tangan Liat Hwat itu, sembari memimpin tangan isterinya, Tio Jiang berseru menyuruh ke dua anaknya menyingkir. "Tay- keng, In-ji, lekas mundurl"

Yan-chiu yang cemas akan diri puterinya, beberapa kali hendak nekad menobros kedalam kabut asap yang tebal untuk mencarinya, tapi selalu dicegah Tio Jiang.

"Kalau mereka mendapat bahaya, sekalipun kau menobros kesana, rasanya juga takkan menolong. Rasanya sepasang pedang kita tadi tentu mengeluarkan cahaya berkilau yang dapat menembus kabut asap, dan dapat kelihata oleh mereka. Mereka tentu akan menyusul kemari!" Tio Jiang menenangkan kecemasan hati isterinya. Walaupun dia sendiri tak kurang gelisahnya, namun cukup disadari bahwa untuk menobros kedalam asap sana, juga tak berguna. Diam2 dia cemas pula memikirkan kepentingan perjoangan mereka terhadap pemerintah Ceng. Dengan mempunyai seorang sakti macam Liat Hwa begitu, nyata pemerintah Ceng telah mempunyai senjata yang ampuh untuk menindas gerakan para orang gagah dari Lo-hu-san itu.

Hampir setengah jam lamanya barulah kabut asap itu menipis. Mata Yan-chiu yang tajam, segera dapat melihat bahwa ditengah gelanggang pertempuran sana tampak Tay-keng sedang ber-putar2 seperti main udak dengan adiknya. Kiranya mereka berdua itu saling bertempur. Karena tebalnya asap, jadi mereka tak dapat membedakan mana lawan mana kawan lagi. Liat Hwat dan Hiat-ji sudah tak tampak batang hidungnya lagi. Sementara yang masih disitu, hanyalah sikaki satu Sin Tok yang bermandikan darah sembari tak henti2nya mengerang2 kesakitan.

"Hai, mengapa kalian bertempur sendiri?" seru Yan- chiu dengan cemas2 girang demi diketahuinya kedua puteranya tak kurang suatu apa. Kini barulah Tio In melihat jelas bahwa lawannya itu adalah engkohnya sendiri. Cepat2 ia loncat menghampiri mamahnya.

"Kemana Liat Hwat dan muridnya itu?" tanya Tio Jiang.

"Entahlah, mungkin mereka sudah ngacir pergi!" sahut Tio In.

"Hawa disini kotor sekali, ayuh Tay-keng, kau ikut pada kita turun gunung!" Tio Jiang berseru kepada puteranya. Tay-keng mengiakan. Tapi ketika mereka berempat hendak langkahkan kakinya, se-konyong2 kedengaran Sin Tok berseru setengah mengerang: "Siau- beng-siang, tahan dulul"

Tio Jiang berpaling, bentaknya: "Ada apa?"

Wajah Sin Tok menampilkan raut maut, serunya: "Siau-bengsiang, bila kau dapat menolong jiwaku, hendak kuberitahu padamu suatu rahasia besar”

Wajah Tay-keng pucat seketika. Kemana maksudnya kata-kata sikaki satu itu dia sudah faham. Rahasia yang hendak dibawakan itu bukan lain tentu mengenai dirinya yang sudah bersekongkol dengan kaki  tangan pemerintah Ceng itu. Mulut sikaki satu itu harus dimusnakan dan untuk itu dia segera bertindak dengan sebat.

"Kalau dibiarkan hidup, kau sungguh membahayakan, ayuh lekas pergi keakhirat sana!" serunya sembari loncat menusuk.

Yan-chiu percaya bahwa kata2 yang belum sempat diucapkan sikaki satu itu tentu suatu rahasia yang penting. Maka demi dilihatnya Tay-keng  bertindak sendiri, buru2 ia menereakinya: "Tay-keng, biarkan dia omong habis dulu!"

Tapi seruan Yan-chiu itu sudah terlambat. Ujung pedang Taydkeng sudah mencublas masuk kerongga dada Sin Tok. Suatu jeritan seram terdengar dan putuslah sudah jiwa sikaki satu itu.

"Tay-keng, dia seorang manusia yang takut mati. Mungkin tadi dia hendak memberitahukan sesuatu rahasia penting, mengapa kau buru2 membunuhnya?" tegur Tio Jiang dengan kurang senang.

"Anak sangat benci padanya, maka tadi tak dapat menahan diri lagi!" sahut Taydkeng.

Tio Jiang tak mencurigainya dan terus ajak lanjutukan perdalanan. Adalah ketika mereka sudah pergi, orang2 Thiat-theng-biau itupun sibuk mengurusi mayat2 kawan dan jenazah kepala sukunya: Se-konyong2 Liat Hwat dan Hiat-ji menobros keluar dari salah sebuah goa. Tiba didekat mayat sikaki satu Sin Tok, Hiat-ji ayunkan kaki menendangnya sampai terlempar beberapa meter jauhnya. "Orang she Sin kau hendak bermusuhan pada tuanmu ini, inilah upahmu!"

Biar bagaimana, Sin Tok itu adalah kawan gerombolannya. Kalau orang sudah menjadi bangkai, seharus segala dendam permusuhan itu habis. Tapi tidak demikian dengan Hiat-ji. Dari situ dapat diketahui betapa jahat dan kejamnya anak bermata ungu itu.

Dalam pada itu, tampak wajah Liat Hwat masih mendendam kemarahan, tegurnya dengan keras: "Hiat-ji, mengapa tadi kau cegah kugunakan lagi senjata liat- hwat-sin-lui (granat) !"

"Suhu" sahut Hiat-ji dengan mengulum tawa, "betapakah susah payahnya suhu membuat liat-hwat-sin- lui itu, apa gunanya di-hambur2kan tanpa guna? Aku telah berjanji dengan Tay keng untuk bertemu digereja Kong Hau Si nanti pertengahan bulan depan ini. Suhu, bagaimana pendapatmu tentang benda ini?" Habis berkata itu dia angkat tangannya. Sebuah holou (fles) merah dengan dilekati sepotong kertas yang bertuliskan "hong sin san" (pudar bikin gila) tampak ditelapak tangan si Hiat-ji

"Hai, darimana kau peroleh obat itu? tanya Liat Hwat. "Tadi sewaktu bersembunyi dalam goa, kulihat disitu

ada sebuah lemari obat. Kudapati hong-sin-san berada pada rak yang paling atas sendiri. Suhu, untuk membasmi kawanan orang itu, hanya tergantung pada obat inilah."

Liat Hwat tahu juga maksud muridnya itu. Setelah berpikir sejenak, dia berkata: "Meskipun Tay-keng masuk menjadi anggauta kita, tapi belum tentu dia mau mencelakai orang tuanya!"

Hiat-ji tertawa, ujarnya: "Suhu tak usah kuatir. Tiga kali sudah Tay-keng ikut aku kekotaraja untuk pelesir. Ya" dia benar sudah mabuk plesiran dan judi. Dalam perjudian, dia sudah pinjam padaku 100 ribu tail perak. Untuk itu dia sudah membuat surat pernyataan hutang. Kalau dia tak menurut padaku, cukup kusuruh orang mengantarkan surat hutang itu pada Siau-beng-siang, tentu celakalah dia. Menilik peribadinya Siau-ber.gsiang, biarpun anak kandung sendiri, dia tentu tak  segan2 untuk membunuhnya. Hal itu cukup rasanya diinsyafi Tay-keng, jadi mana dia berani membangkang perintahku? Berhasilnya rencana kita ini, itulah sudah pasti, harap suhu jangan berbanyak hati!"

Kini Liat Hwat melengking puas, serunya, memuji: "Hiat-ji, pintar benar kau ini! Kalau Tio Jiang suami isteri minum obat hong-sin-san itu, bukan melainkan jiwa mereka berdua yang melayang, pun seluruh kawan2nya di Lo-hu-san itu akan hancur binasa, ha....., ha. !"

Puas tampaknya guru dan murid itu. Mereka menyambut rencana kemenangannya itu dengan gelak tawa yang girang. Kemudian mereka lalu turun gunung.

---oo<dw-kz0tah>oo--- 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar