Heng Thian Siau To BAGIAN 12 : GOLOK YANG MENGGUNCANG DUNIA

 
BAGIAN 12 : “ GOLOK YANG MENGGUNCANG DUNIA” (Kian-thian-it- gwan pik-li-to)

Keesokan harinya ketika terbangun, tiba2 dia merasa ada sesuatu yang luar biasa.

Kala itu hari masih belum begitu gelap, tetapi ketika membuka mata didapatinya pada wuwungan rumah itu tampak ada suatu cahaya yang terang benderang. Bermula dikiranya kalau sinar rembulan yang menobros dari lubang wuwungan, kemudian setelah di-amat2i dengan seksama, astaga, itulah pik-li-to (golok sabit) yang kemarin dengan hati2 ditindihinya kini  berada diatas tiang Penglari wuwungan itu. Seketika hilang rasa kantuknya karena terperanjat. Sekali enjot tubuh, dia loncat naik untuk mengambil golok pusaka itu. Dibalik heran diapun merasa takjub akan kelihayan orang main2 dengannya itu. Bahwa orang telah dapat mengambil golok pusaka yang ditindihi dibawah bantal tanpa diketahuinya, adalah sangat mengejutkan. Tapi yang lebih mengherankan lagi, mengapa orang lihay itu tak mengambil golok itu saja dan hanya digantung ditiang penglari. Apakah gerangan maksudnya?

Sampai terang tanah, tak dapat dia pecahkan kejadian yang aneh itu. Dibungkus baik2 golok pusaka itu lalu dia tinggalkan pondok situ. Menghadapi jalanan yang membentang dihadapannya itu, timbullah keraguannya, hendak kemana dia ayunkan langkah mengejar jejak Tio In atau menuju ketempat The Ing?

Diperhitungkannya bahwa sudah 3-4 hari lamanya dia berada didalam pondok situ, rasanya Siau-beng-siang Tio Jiang tentu sudah sampai diperbatasan Kwitang. Untuk menyusul, terang tak keburu lagi. Ah......, lebih baik dia kembali kegua sana untuk menolong The Ing. Dengan bantuan golok. pusaka: "Kian-thian-it-gwan pik-li-to" dan ilmu ruyung " Pat-siat-pian-hwat" yang baru diperlajarinya itu, kemungkinan besar dapat dia membebaskan The Ing. Nona itu telah melepas budi besar padanya, maka sudah lebih dari pantas kalau die menolonginya.

Kegua tempat wanita aneh itu, kini ayun kakinya ditujukan. Ketika dahulu dia dipondong Tio In lari dari ke gua itu, waktu itu dia tengah pingsan, jadi tak mengetahui jalannya. Make hampir lewat tengah hari, dan sudah melintasi dua buah puncak gunung, tetap dia tak menemukan jejak penunjuk ketempat goa itu. Terpaksa dia berhenti sebentar memulangkan napas. Hai....., mengapa aku tak menuju dulu ke Giok-li-nia dan dari sana lalu mencari goa itu? Demikian dia mendapat pikiran.,

Tiba dikaki Giok-li-nia, terkilas pikirannya bahwa pada saat itu dipuncak sana tentu para, orang gagah patriot tengah merundingkan siasat perlawanan kepada pemerintah Ceng. Ingin benar dia menyumbangkan tenaga, namun mereka tak mau mempercayai dirinya lagi. Tiba pada lamunan itu, dia menghela napas dalam2. Tiba2 pikirannya melayang akan perbuatan Tio Tay-keng yang aneh mencurigakan itu. Ya, biar bagaimana juga, kelak dia akan berusaha untuk menelanjangi  rahasia anak itu.

Sembari merenung didalam pikirannya itu, tidak terasa lagi kakinya sudah tiba pada jalanan dimana tempo hari, dia bersama The Ing dan rombongan kera gin-si-kau. Ketika memandang kebawah, tampak ada tetesan darah berceceran diatas batu yang menuju kesebelah muka. Dari keadaannya, terang noda darah itu masih belum kering, jadi kalau. benar ada seseorang yang terluka, tentulah belum lama berselang, kemungkinan besar baru kemarIn malam.

Disusurinya ceceran darah itu. Kira2 satu li jauhnya disebelah muka, tampak ada 4 ekor kecra gin-si-kau menggeletak ditanah, namun ceceran darah tadi masih belum putus. sampai disitu. Kejut Tong Ko tak terkira. Diayunkan langkahnya makin cepat untuk menyusur kemuka. Disepanjang jalan itu, ternyata tak putus2nya dia berjumpa dengan kera2 gin-si-kau yang sudah menjadi bangkai. Tak lama kemudian, tibalah dia dilembah gunung yang terdapat air terjun itu

Ya, tak salah lagi itulah tempat gua siwanita aneh. Dengan Plan ditangan kiri dan golok ditangan kanan, dia loncat menobros masuk kedalam air terjun. Berkat cahaya benderang dari golok pusaka itu dapatlah dia mengetahui keadaan dalam gua situ. Lagi2 dla disuguhi dengan pemandangan yang aneh. Bukan saja dalam gua situ kosong melompong tiada terdapat barang seorangpun, juga jaring ikan yang tergantung disitu, lenyap entah kemana. Masih Tong Ko tak puas, lalu menuju kesudut untuk mencari wanita aneh itu, tapi juga wanita bekas bidadari dunia itu tak kelihatan bayangannya.

Lorong tikungan gua situ, amat banyak. Satu demi satu. Tong Ko menyusurinya, kecuali beberapa kamar batu, tiada barang sesuatu yang dijumpainya Didepan sebuah kamar batu terhampar sebuah papan batu (tempat The Ing dikurung tempo hari), dia menemukan sebuah ikat kepala pelajar yang bukan lain adalah milik The Ing. Tong Ko makin gelisah. Setelah sia2 mencarinya, terpaksa dia keluar lagi. Memandang kearah air. mancur yang. mencuram dari atas karang itu, hati Tong Ko amat gundah.

"Nona The dimana kau berada?" tanpa merasa dia berkata seorang diri.

Sekonyong2 didengarnya ada suara berkeresekan dari semak2 rumput disebelah. atas. Tatkala diawasinya seperti ada dua sosok tubuh berbaring ditengah semak rumput itu.

Ber-gegas2 dia menuju kesana, dan astag, kirania Toa-gin dan Siau-gin sedang meregang jiwa (sekarat). Begitu tampak sianak muda, mata kedua binatang itu ber-kicup2 tetapi tubuhnya tetap tak dapat berkutik. Dada dan punggungnya, masing2 terdapat sebuah lubang luka besar. Entah bekas kena senjata apa, tapi yang nyata luka itu masih mengucurkan darah.

"Toa-gin, Siau-gin, dimana nona The Ing?" tanya Tong Ko kepada kera2 yang dapat mengerti bahasa orang itu.

Dia harap dapatlah sekiranya kedua kera itu memberi barang sedikit petunjuk, tapi kedua binatang itu hanya membeliakkan matanya sejenak, lalu menutup lagi untuk se-lama2nya. Tak tega Tong Ko melihat mayat binatang itu terkapar begitu saja, mengingat bahwa sudah ber- tahun2 lamanya menjadi piaraan The Ing. Maka dibuatnya sebuah liang untuk menguburnya. Ketika hendak diangkat kedalam liang, Tong Ko mendapatkan tangan Toa-gin menggenggam secarik kain yang dikenalnya sebagai robekan baju The Ing. Tatkala robekan kain itu dibentang, ternyata disitu terdapat tulisan dari darah yang walaupun corak hurufnya pencang-pencong, tapi terang adalah buah tulisan The Ing.

"Perobahan besar timbul secara mendadak, urusan menjadi gawat sekali. Kutahu kau pasti datang kemari. Pergilah ke Sipban ......... beritahukan ayah bundaku, hatiku telah menjadi milikmu" demikian bunyi tulisan itu. Tak salah lagi, tulisan itu tentu untuknya.

Lepas darl pernyataan isi hati The Ing, Tong Ko adalah seorang yang berbudi luhur.

Adakah The Ing Itu mencintainya atau hanya sebagal sahabat biasa, namun Tong Ko tetap mengenang akan budi yang dilepas nona itu dalam usaha menolong dirinya tempo hari. Dari maksud tulisan itu, kemungkinan besar The Ing tentu mengalami bencana. Tanpa terasa, menangislah dia.

"Seorang lelaki tak mau sembarangan mengucurkan air mata, betapapun penderitaan yang diterimanya". Beberapa kali Tong Ko telah menelan hinaan dan mandi penasaran bahkan dipaksa untuk bunuh diri, tetap  dia tak mengucurkan setetes air mata. Tapi kali ini, benar2 dia tak kuasa menahan arus air mata yang membanjir keluar itu. Begitu sudah puas menumpahkan perasaannya, robekan baju The Ing disimpannya lalu meneruskan penguburan Toa-gin dan Siau-gin. Setelah itu dia menyelidiki sekitar tempat itu kalau2 dapat menemukan jenazah The Ing. Tapi usahanya itu tak berhasil.

Dalam perjalanan meninggalkan lembah itu, Tong Ko selalu terkenang akan The Ing. Orang satu2nya yang 

dianggap sebagai orang sendiri (mengetahui perasaannya) adalah nona itu. Dalam waktu remang petang dimana burung2 gagak sama beterbangan pulang kesarangnya itu, hati Tong Ko makin terasa rawan. Untuk melampiaskan kesesakan dadanya, hendak dia bersuit keras2. Tetapl se-konyong2 dari balik gunung sana, terdengar suara seseorang bergelak-tawa. Dari nadanya, terang orang itu si Ce-cing-long Shin Hiat-ji adanya!

Tong Ko kaget tercampur girang. Kaget, karena dia  tak merasa ungkulan menghadapi Hiat-ji yang berkepandaian tinggi itu. Girang sebab dengan beradanya anak itu, dapatlah dia menanyakan dirinya The Ing. Begitu menyembunyikan golok didalam  baju dan mencekal liong-kau-pian, dia menuju kearah datangnya suara itu.

Jauh disebelah sana tampak ada setumpuk api unggun. Serangkum bau daging bakar yang wangi, menyampok hidung Tong Ko. Oleh karena beberapa hari tak merasakan daharan daging, air liur Tong Ko sampai menetes dibuatnya. Dari cahaya api unggun, tampak  Shin Hiat-ji duduk disebelah situ tengah memberakoti sepotong paha rusa dengan nikmatnya. Duduk dihadapannya adalah seorang tua kate yang mengenakan pakaian aneh sekali. Juga orang kate itu tengah kemak-kemik gerahamnya mengunyah daging rusa. Selain mereka berdua, tiada lain orang lagi. Hanya disisi Hiat-ji terdapat setumpuk benda hitam yang dikenali Tong Ko sebagai jaring ikan dari si wanita dari gua itu.

"Suhu, kalau kau orang tua tak keburu datang, mungkin Tecu (murid) sudah celaka ditangan wanita jahat itu! Ilmu kepandalannya hebat jugal" kedengaran Hiat-ji berkata.

Sikate itu tertawa dengan nada yang memanja. Dalam keadaan seperti itu, dia mirip sekali dengan Bi-lek-hud (Budha) yang gendut perutnya.

"Suhu, adakah kau mengetahui siapa wanita jahat itu?" tanya Hiat-ji pula. Sikate yang dibahasakan "Suhu" (guru) itu goyang2 kepala, sahutnya: "Oleh karena baru pertama kali ini aku melintasi sungai Tiangkang, maka tentang tokoh2 persilatan didaerah Selatan sini, aku tak paham!"

Keterangan sikate itu hampir saja membuat Tong Ko berjingkrak bahna kagetnya. Bukan saja suara sikate itu sekeras guntur, tapi nadanya seperti anak kecil. Kalau orang tak melihat mukanya, tentu akan mengira kalau anak kecil yang bicara.

"Suhu, mengapa kau orang tua juga datang ke Kwitang sini?" kembali Hiat-ji ajukan pertanyaan.

"Pemerintah agung Ceng mengutus orang menyampaikan surat padaku, supaya turun gunung membantunya. Walaupun aku seorang liar, tapi tahu juga akan rasa terima kasih. Kudengar sepak terjang si Go Sam-kui itu mencurigakan, mengunjuk sikap hendak memberontak. Kwisay, Kwitang serta Hun-lam berbahaya suasananya. Oleh karena kau berada di Kwitang, maka segera aku datang kemari mencarimu"

"Suhu, dengan kesaktianmu itu, mengapa tak menghajar saja ke Giok-li-nia, pusat berkumpulnya kawanan pemberontak itu? Biar mereka tahu rasal" Seru- Hiat-ji. Sampai disini tahulah sudah Tong Ko apa yang dimaksudkan dengan tulisan "perubahan besar timbul dengan mendadak" itu. The Ing tentu maksudkan munculnya. siorang tua kate itu. Ditilik dari gelagatnya, wanita aneh dari gua itu tentu bukan tandingan siorang tua kate, maka sampai pusaka jaring kena dirampas.

Ilmu kepandaian wanita itu cukup tinggi, tak sembarang tokoh persilatan dapat menandinginya. Kalau in saja sampai kalah, terang kepandaian sikate itu bukan main dan dengan begitu The Ing tentu sudah mengalami kecclakaan. Menuruti getaran hati, seketika itu juga dia sudah hendak menobros keluar untuk menghadapi mereka, tapi tiba2 orang tua kate itu kedengaran berkata: "Hiat-ji, adatmu masih seperti anak kecil saja. Kau sudah lama berkelana didaerah Kwitang sini, apakah pernah mendengar tentang golok pusaka Kian-thian-it- gwan pik-li-to?"

Disinggungnya golok pusaka itulah yang membuat Tong Ko hentikan langkahnya hendak keluar tadi.

"Belum pernah mendengarnya!" seru Hiat-ji dengan terkejut.

"Aneh," kedengaran sikate menyahut "malam lusa tak berapa jauh dari gunung ini kulihat ada segulung sinar gemilang yang rupanya mirip dengan golok pik-li-to. Menurut cerita rakyat Tibet kami sewaktu Thio Cian-seng dari ahala Han mengunjungi daerah itu, baginda  Tay Wan telah menghadiahkan golok pusaka Kian-gun-it- guan pik-li-to yang terbuat daripada emas  murni keluaran daerah barat itu. Ai, sayang, gerakan sipembawa golok pusaka itu sangat luar biasa cepatnya. Waktu hendak kukejar, dia sudah menghilang. Hiat-ji, benar ilmu kepandaianmu sudah tinggi, tetapi belum mencapai kesempurnaan. Asal kau dapat memperoleh golok pusaka itu berikut ilmu permainannya yang tiada tara saktinya, rasanya sekian banyak taylwe-ko-chiu (jagoan istana Ceng) tak nanti dapat menandingimu"

"Suhu, dimana kau melihalnya? Ayoh, lekas kita cari!" seru Hiat-ji sambil berjingkrak girang

Orang kate itu mengiakan Dia hanya kelihatan me- nepuk2 pakaiannya dan entah bagaimana tiaranya bergerak, tahu2 dia sudah melesat tiga empat tombak jauhnya. Larinya bagai segulung asap, pesatnya bukan kepalang. Tiba2 dia hentikan langkahnya, berpaling kebelakang seraya berseru. "Jaring liok-i-bang dari wanita itu juga termasuk senjata pusaka, terbuat daripada sutera labah2 kim-cu. Jangan lupa membawanya?"

Hiat-ji mengiakan dan setelah mengemasi jaring itu, dia lalu menyusul suhunya. Dalam sekejab saja kedua orang itu sudah lenyap dalam kegelapan malam.  Kini baru Tong Ko berani unjukkan diri dari tempat persembunyiannya. Lebih dahulu dia beresi sisa daging rusa yang ada disitu untuk mengisi perutnya. Diam2 dia mengagumi golok pusaka hadiah Sik Lo-sam itu. Kalau saja dapat dia mempelajari ilmu permainannya, rasanya dia bakal menjagoi dunia persilatan. Sik Lo-sam mengatakan golok itu dicurinya dari gunung Sin-ban-tay- san, tetapi tak tahu bagaimana ilmu permainannya. Ah, kebenaran sekali kalau dia pergi kegunung itu. Pertama, untuk menjumpai ayah-bunda The Ing dan kedua kalinya, siapa tahu kalau awak mujur, tentulah dapat menemukan rahasia permainan golok itu Dendam penasarannya pasti terhimpas, namanya akan dapat direhabiliteer (dikembalikan) pula sebagai salah seorang pahlawan yang gagah perwira.

Tengah dia dilamun oleh cita2nya yang membubung itu, se-konyong2 ada serangkum angin puyuh meniup, sehingga unggun api itu tertiup naik sampai beberapa meter tingginya. Menyusul dengan itu, apipun  padam dan disekelilingnya menjadi gelap gelita. Terang api itu tertiup padam oleh angin puyuh, tapi mengapa? Api unggun itu sudah sekian lama berkobar nyalanya. Sekalipun ada angin puyuh, yang bagaimana dahsyatnya hingga memadamkan, tentu tiada semuanya padam. Sekurang2nya pasti masih ada sisa lelatunya yang masih- hidup. Tetapi mengapa api unggun itu padam serempak?

Tong Ko insyaf tentu ada sesuatu yang kurang wajar. Baru saja dia berbangkit atau cari sebelah belakang sudah terdengar deru sambaran senjata melayang datang Tak kurang sebatnia, Tong Ko segera sabatkan liong-kau-pian kebelakang dalam diurus "tunyang-hui- kiam". Tapi sabetannya itu mengenai tempat kosong dan dengan tangkasnya dia berputar lagi kebelakang.. Belum sempat dia lancarkan serangannya yang kedua, terasa ada angin meniup disisi nya. Rasanya seperti  ada sesosok tubuh menyamber disampingnya. Jurus kedua "kok-ciu-ja-ho" dia hantamkan, namun lagi2 menyambar angin saja. Kiranya deru angin itu sudah jauh, saat itu tiada terdengar suara apa2 lagi.

Buru2 Tong Ko pasang geretan api. Hai, kiranya diatas tumpukan unggun itu terdapat sebaran pasir halus, makanya apinya sampai padam sama sekali. Waktu sebaran pasir halus itu disingkirkan, apipun kembali menyala. Tatkala dia menunduk untuk melakukan pemasangan unggun itu, tiba2 dilihatnya robekan baju bertulisan tadi jatuh diatas tanah. Robekan baju itu tadi disimpannya dengan hati2, mengapa bisa jatuh? Memikir hal itu teringatlah dia akan golok pusaka pik-li-to. Tangannya meraba kedada dan astaga, ternyata golok itu sudah tak ada lagi!

Baru saja dia mengetahui akan kesaktian golok  itu atau kini sudah hilang lenyap. Walaupun marah, namun tak mau dia mengejar penyerang gelap itu, karena menginsyafi dirinya bukan tandingan musuh yang sedemikian saktinya itu. Hanya yang dia herankan mengapa dengan mempunyai kepandaian yang sedemikian hebatnya itu, orang tersebut tak menyerangnya saja secara terang2an, tetapi secara menggelap begitu? Rasanya bukan si Hiat-ji atau sikate yang melakukan. Adalah Sik Lo-sam karena merasa getun menyerahkan golok itu? Ah rasanya juga tidak. Kemungkinan besar tentulah orang yang pada malam itu pernah mengambil dan menggantung golok itu diatas penglari wuwungan tempo harl. Tetapi siapa gerangan orang aneh itu? Apa maksudnya?

Dalam kemasgulannya dia menghibur diri. Dalam keadaan masih begitu rendah kepandaiarnnya, rasanya lebih baik tak memiliki senjata pusaka itu daripada nanti mengundang bahaya di-kejar2 oleh kaum persilatan yang tentu sangat mengilerkan pusaka itu. Maka dipungutnya lagi robekan baju tadi dan serentak seperti meng-iang2 pulalah kata2 yang tertera dalam pesan robekan-baju itu: "Ko-ko, lekas pergi ke Sip-ban-tay-san memberitahukan ayah bundaku! Lekas, lekaslah!"

Jika benar The Ing mengalami sesuatu yang tak diinginkan, tentulah perbuatan siorang tua kate clan Shin Hiat-ji. Tetapi Siapakah gerangan ayah-bunda The Ing itu? The Ing hanya pernah mengatakan dirinya dibesarkan ditengah hutan belantara, lain tidak. Rasanya orang tua The Ing Itu tentulah orang2 sakti yang menyepikan diri dari pergaulan ramai.

Begitulah akhirnya dia ambil putusan menuju kepegunungan itu.

---oo-dwkz+0+tah-oo---
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar