Heng Thian Siau To BAGIAN 09 : MELOLOSKAN DIRI

 
BAGIAN 09 :  MELOLOSKAN DIRI

Watak perangai Tong Ko sekalipun keras, tapi sebenarnya hati nuraninya sangat welas asih. Dia turut belasungkawa akan nasib yang merundung wanita itu. Tapi dipikir lebih panjang lagi, walaupun dia symphati kepada wanita itu namun dia sendiripun  berfaham begitu, tak dapat "menukarkan" hati kepada lain orang. Biar bagaimana, tak mungkin dia menuruti permintaan wanita itu untuk mengawini The Ing.

"cianpwe sendiri telah mengalami bagaimana pahit getirnya orang yang dichianati cintanya, tetapi mengapa cianpwe berkeras mendesak aku supaya menghancurkan hati nona In?" kembali Tong Ko lancarkan serangan lidah yang tajam."

Tampak wajah wanita itu bermuram, ujarnya: "Huh, apa nona In itu. Kalau benar2 kau menyintainya dengan setulus hati, kau harus tinggal digoa sini tiap hari menerima 81 kali cambukan. Kalau kau tahan sampai 81 hari lamanya, nah kau boleh bebas dari sini. He...., he. ,

orang mengatakan bahwa demi cinta, jiwa dan raga rela dikorbankan. Tapi aku tak percaya hal itu. Kalau benar kau cinta pada nona In, seharusnya kau berani menderita siksaan itu. Tapi jika tidak, haruslah kau menurut peraturanku. Kecuali dengan jalan itu, jangan mengharap aku suka merobah peraturanku itu. Bagaimana, lekas katakan !"

Tanpa ragu2 lagi, Tong Ko serentak menyahut : "Tak usah banyak bicara, hari ini juga kau boleh mulai menyiksa diriku !" "Bagus, coba saja berapa lama kau dapat bertahan !" wanita itu tertawa dingin lalu loncat menghampiri untuk menarik The Ing keluar dari dalam jaring. Dibawanya nona itu kebagian perut gunung. Setelah melalui jalanan yang berliku-liku akhirnya tibalah wanita itu pada sebuah kamar batu yang tingginya hampir satu tombak. Sebuah ciok-pay (papan batu) yang tebalnya hampir setengah meter, menutup pintu kamar itu.

Cukup dengan sebelah tangan kanan, wanita itu sudah dapat mendorong papan batu itu terbuka, lalu masukkan The Ing kedalam kamar situ. Waktu hendak berlalu, tampak oleh wanita itu kedua kera besar piaraan The Ing sudah berada disitu. Tanpa banyak bicara, wanita itu segera meringkus dan lemparkan kedua binatang itu ketempat tuannya. Papan batu ditutupnya lagi rapat2, lalu ia tinggalkan tempat itu.

The Ing menduga bahwa wanita itu tentu akan mulai menyiksa Tong Ko. Dengan meratap ia berseru memintakan ampun, tapi tiada penyahutan apa-apa. Hendak The Ing mendorong papan batu itu, tapi sedikitpun tak bergeming. Sejak kecil The Ing sangat dimanjakan oleh kedua orang tuanya. Walaupun mereka hidup didalam gunung belantara, namun segala keperluannya selalu tersedia. Pengalaman pahit yang pertama kali dideritanya selama ini, yalah ditolak Tong Ko dan dijebluskan dalam kamar tahanan oleh wanita aneh itu. Maka saking gemas dan sedihnya, ia menangis gerung2.

Toa-gin dan Siau-gin menjaga disampingnya sembari mengelus2 sang nona majikan, seolah-olah hendak menghiburnya. The Ing tak dapat menumpahkan kesedihan hatinya, maka dengan kuatkan hati ia mencacahkan jumlah binatang piaraannya. Untuk kegirangannya, ternyata kawanan kera itu seekorpun tiada yang kurang. akhirnya ia ambil putusan, oleh karena urusan sudah menjadi sedemikian rupa, daripada menangis lebih baik ia kerahkan kawanan kera untuk mendobrak papan batu itu. Biar bagaimana ia tetap ingin mendampingi Tong Ko untuk menerima dera siksaan. Untuk memulangkan semangatnya, lebih dahulu ia duduk mengambil napas.

Diceritakan, wanita itu ber-gegas2 menuju ketempat Tong Ko sembari membawa benang merah sepanjang 4 tombak. Begitu masuk kedalam, ia terus  mulai menghajar Tong Ko. Benar dalam sesingkat waktu yang terakhir ini, peyakinan Tong Ko maju pesat, tapi terhadap benang sutera yang luar biasa dari wanita itu, benar2 dia tak berdaya. Setiap kali sutera tiba ditubuh dan ditarik kebelakang, kulit tubuh Tong Ko tentu  terbeset, darahnya mengucur. Kalau kebetulan, sabetan itu jatuh dibagian tubuh yang masih utuh (belum terluka) walaupun sakit, tapi masih dapat ditahannya. Tapi kalau sabatan itu tepat mengenai bagian yang sudah terluka, aduh mak, nyerinya sampai menusuk ulu hati rasanya.

Pada sabatan yang ke 60, sebenarnya Tong Ko sudah pingsan, tapi dikarenakan dia itu seorang jantan yang keras hati, sepatahpun tak mau dia mengerang.

Sebaliknya wanita itu bagaikan kemasukan  setan......... 61, 62, 63, mulutnya menghitung tangannya menghajar. Tetapi waktu memasuki hitungan yang ke 70, tiba2 dari arah luar terdengar suara seorang lelaki berseru : "Ho......., kau mau melarikan diri ? Goa ini adalah buntu !" "Huh........., kau takut tak dapat keluar dari sini ?" sahut sebuah suara perempuan.

Sesosok bayangan, melesat masuk kedalam goa dan menyusul tampak seorang lelaki mengejarnya. Wanita aneh itu lepaskan Tong Ko, lalu gerakkan suteranya menyabet kekaki perempuan yang masuk terdahulu tadi, terus ditarik kedekatnya.

"Kau siapa ?'

"Aku bernama Tio In." sahut nona itu. "Siapa mamahmu ?"

Tio In terkesiap sejenak, lalu menjawab :"Hui-lay-hong Liau Yan-chiu!"

Wanita aneh itu tertawa dingin, serunya :"Ho, kiranya dial"

Saat itu orang lelaki yang mengejar tadipun sudah tiba disitu. Melihat wanita aneh itu, dia segera menegurnya. Wanita aneh itu mendongak kemuka. Dilihatnya penegur yang berdiri dihadapannya itu adalah seorang anak muda yang berwajah luar-biasa. Matanya cekung kedalam, hidungnya tinggi dan sepasang matanya berwarna ungu.

"Bagus, itulah memang seharusnya!" serunya.

"Tapi, setelah menikah harus tinggal disini dulu selama 3 tahun, baru nanti boleh keluarl"

Perangai Shin Hiat-ji amat congkak. Dasar dia sangat dimanjakan sebagai anak emas oleh pemerintah ceng, maka makin mangkaklah sikapnya. Dari girang dia berobah menjadi murka besar. "Perempuan busuk, jangan ngoceh tak keruan!" serunya sembari menjotos. Tapi secepat kilat tampak selarik sutera merah bergeliat menyambar sikunya. Saking terperanjatnia, buru2 dia tarik pulang jotosannya, namun tak urung jari kelingkingnya sudah kena tersabat, sakitnya bukan kepalang.

Sret....., dia mundur sembari cabut jwan-pian. Mulut menghambur makian, tangannya menyodokkan jwan- pian lurus kemuka untuk menutuk jalan darah ki-bun-hiat didada siwanita. Bahwa sabatan pertama tadi dapat dihindar wanita itu memperoleh kesan, sekalipun anak itu masih muda belia usianya tetapi kepandaiannia cukup tinggi. Menampak datangnya jwan-plan Itu, wanita tersebut hanya tertawa dingin, tanpa menghindar ia gunakan jarinya untuk menutuk.

Wanita itu tergolong pertengahan umur (40-an tahun), tapi jari tangannya itu masih segar membulu landak. Tapi secepat itu, pula, Hiat-ji turunkan pian untuk menutuk jalan darah thianki-hiat.

Memang gerakan pemuda itu luar biasa cepatnya. Dia cepat, siwanita lebih sebat lagi se-olah2 sudah mengetahui bahwa serangan pertama dari lawan tadi adalah serangan kosong, maka jarinyapun sudah siap menunggu disisi jalan darahnya thian-ki-hiat. Kali ini dapat ia menutuk tepat ujung pian yang menyambar datang itu. jwanpian terungkat keatas dan kaki Hat-ji terhuyung menyurut kebelakang beberapa tindak. Dan berbareng itu, sinar merah menyambar datang. Dalam kedudukan dimana tubuhnya masih belum berdiri jejak, sudah tentu Hiat-ji tak dapat menghindar. Tampak tubuh wanita itu ber-gerak2 mengitari Hiat-ji beberapa kali dan tangan serta kaki Hiat-jipun sudah terikat. Bermula anak itu hendak meronta, tapi  suatu kesakitan yang hebat telah memaksa nya tak berani berkutik lagi.

"Kali ini aku mengaku kalah. Entah siapa namamu ini?" akhrinya anak yang beradat tinggi itu mendongak kemuka.

"Usah tanyakan namaku. Mau tidak kau mengawini nona itu dan tinggal disini sampai 3 tahun?" sahut siwanita.

Hiat-ji melirik kearah Tio In. Dilihatnya nona itu membeliakkan sepasang matanya yang bundar  besar, seri wajahnya merah kecemasan. Tapi justeru hal itu makin menambah semarak kecantikannya. Diam2 Hiat-ji menimang, 3 tahun bukan waktu yang lama. Selain cantik, Tio In adalah puteri kesayangan Siau-beng-siang Tio jiang. Nanti apabila dia sudah mendiadi menantunya, dapatlah dia membujuk Tio jiang suami isteri agar menakluk pada pemerintah Ceng. Bukantah hal itu seperti yang dikatakan orang "sekali tepuk dua lalat"?.

"Baiklah, aku menurut!" kata Hiat-ji sambil mengangguk.

"Ho, kau ternyata tahu diri!" ujar siwanita seraya mengitari tubuh Hiat-ji untuk membuka ikatannya.

Sebaliknya pada saat itu, Tio In ter-mangu2 bagai terpaku ditanah. la mencari jenazah Tong Ko dikaki Lo- hu-san dan dapat diringkus Hiat-ji kemudian setelah berjumpa dengan sikaki satu Sin Tok dan Shin Leng-siau, ia (Tio In) hendak dijadikan umpan pemikat supaya Tio jiang dan rombongan orang gagah Lo-hu-san mau datang kekota raja. Tapi Hiat-ji jatuh hati kepada nona itu. Oleh karena tak diikat, ditengah perjalanan Tio In dapat melarikan diri.

Yang pertama mengetahui lolosnya nona itu adalah Hiat-ji sendiri. Tanpa memberitahukan kepada kedua kawannya, anak muda itu segera mengejarnya. Dalam keputusan akal Tio In tampak disebelah muka ada. sebuah air terjun. Kesitulah ia menobros dan masuk kedalam goa tempat kediaman siwanita aneh. Hiat-ji tak mau melepaskan dan ikut masuk. Sewaktu wanita itu bertempur dengan Hiat-ji, Tio In diam2 bersyukur dalam hati. Tapi serta didengarnya mulut siwanita itu maukan supaya Hiat-ji menikah dengannya (Tio In), kejutnya tak terkira. jangan kata Tong Ko belum meninggal, sekalipun andaikata sang kekasih itu sudah tiada didunia lagi, tetap ia tak sudi menikah dengan anak muda macam itu. Demikian prasetya Tio In.

Maka kalau Hiat-ji menyetujui dengan girang, adalah Tio In serentak mendamprat siwanita: "Ngaco!"

"Ho....., bagus! Pasangan yang tadi, silelaki yang tak mau. Kali ini adalah giliran fihak perempuan yang menolak! Nona ketiil, coba kau lihat, adakah yang didalam jaring itu kekasihmu?" wanita aneh itu berpaling kebelakang menghadapi Tio-In.

Sewaktu masuk kedalam goa situ tadi, Tio In berada dalam keadaan gugup, jadi tak sempat ia memperhatikan keadaan disitu. Sewaktu mendongak keatas dan mengawasi dengan perdata siapa yang berada dalam jaring itu, kalaupun orang itu pada saat tersebut se-olah2 merupakan manusia-darah, namun tak ragu2 lagilah Tio In segera berseru dengan girangnya: "Ko-ko!" Saat itu Tong Ko tengah berada dalam keadaan remang pikiran, antara sadar tak sadar dari pingsannia. Sewaktu mendengar namanya dipanggil orang, dia paksakan matanya memandang dan ah....., kalau saja badannya tak berada dalam jaring, mungkin dia akan sudah lompat menyongsongnya.

"In-moay !"  serunya sembari bergeliatan.

Tio In maju menghampiri, "Ko-ko, mengapa kau berada disini?" tanyanya dengan mesra. Melihat adegan itu, Hiat-ji ber-api2 kemarahannya. Dia maju hendak menyeret Tio In, tapi tepat pada saat itu dari sebelah dalam goa sana, terdengar suara berdebum  yang dahsyat sekali. Menyusul dengan itu, tampak ada ber- puluh2 cahaya perak lari mendatangi kesitu.

Itulah The Ing dengan anak buahnya kawanan kera gin-si-kau. Setelah dapat mendongkrak rubuh papan batu, mereka datang menyerbu. Toa-gin dan Siau-gin merangsang siwanita aneh. Benar wanita itu dapat menghajar pontang-panting kawanan kera hingga dalam beberapa kejab saja sudah ada tiga empat puluhan kera yang terluka, namun bagai air bah (banjir),  kawanan kera gin-si-kau itu patah tumbuh hilang berganti. Mereka berpantang surut, sepuluh rubuh, duapuluh maju. Wanita itu benar2 kewalahan juga.

The Ing cepat menghampiri kedekat jaring. Disitu didapati ada seorang nona tengah memandang lekat2 pada Tong Ko, siapa pun juga balas menatap wajah nona itu.

"Adakah nona ini nona Tio In?" tegur The Ing kepada Tio In. Namun seperti belum puas, Tio In masih enak2 memandang sang kekasih, hingga tak  mendengar teguran itu.

The Ing perih hatinya, namun ia tak mempunyai hati sirik. cepat dilolosnya senjata kelinting kim-leng untuk, menyerang Hiat-ji. Setelah dapat mengundurkan  anak itu, ia enjot tubuhnya menjambret Tong Ko terus dilemparkan kepada Tio In, serunya: "Nona In, lekas bawa dia keluar dari sini!"

Dilempar oleh The Ing tadi, saking sakitnya Tong Ko segera pingsan lagi. Tio In dekap tubuh sang kekasih erat2. Hatinya sangat menerima kasih The Ing.

"Siapakah nama cicl itu?" tanyanya.

The Ing tak henti2nya mendengar jerit pekik kawanan kera yang mengerikan, tanda bahwa mereka itu tak dapat mengurung siwanita lebih lama lagi. Dan pada saat itu Hiat-jipun tampak hendak siap merangsang Tio In. Suasana pada saat itu benar2 berbahaya.

"Sudahlah jangan banyak membuang waktu, lekas lari! Kalau berayal, tentu celaka!" sembari menyahuti pertanyaan Tio In, The Ing menyongsong kedatangan Hiat-ji dengan rantai kelintingnya.

Tio Inpun insyaf akan keadaan yang seruncing itu. "Budi cici itu, takkan kulupakan seumur hidup!"  ia berseru keras2 lalu pondong tubuh Tong Ko dibawa lari keluar. Tak antara berapa lama, dapatlah ia menobros keluar dari air terjun. Masih terdengar deru kumandang air terjun itu menumpahkan airnya dan suara gemerincing senjata beradu ditingkah dengan jeritan ngeri dari kawanan kera. Namun Tio In tak berani hentikan larinya. Setelah 3 li jauhnya, barulah ia berhenti. Dicarinya sebuah batu besar untuk meletakkan tubuh sang kekasih. Demi dilihatnya tubuh pemuda yang menjadi tambatan hatinya itu bertaburan luka dan noda darah, hati Tio In seperti disayat sembilu.

Pada lain saat, Tong Ko tersadar. Begitu tampak Tio In disisinya, dia segera bertanya: "In-moay, bagaimana kita dapat berada disini? Adakah aku ini sedang bermimpi? Matikah sudah aku ini?"

Tio In tuturkan apa yang sudah terjadi barusan. Mendengar itu, tiba2 wajah Tong Ko berobah pucat. Serentak loncat bangun dia berseru: "In-moay, mengapa kaulakukan perbuatan yang tak selayaknya ini?"

Tio In terkesiap, tanyanya "Kesalahan apa yang kulakukan?"

"Nona The telah korbankan jiwanya untuk menolong aku dan kau. Baginya, sudah tentu ia rela ikhlas, tetapi apakah kita berpeluk tangan saja membiarkan penolong kita dicelakai orang? Lekas balik kedalam goa sana, lekas, lekasl Tong Ko beringas seperti orang kalap.

Tio In terbelalak, sahutnya: "Ko-ko, kalau kita balik kesana, apakah tidak berarti mengantar kematian juga?"

Sewaktu Tong Ko dahulu masih berkepandaian cetek, dia sudah memuja akan sifat ksatryaan dari tokoh2 pahlawan setiap jaman. Apalagi dia memang memiliki sifat2 peribadi begitu. Maka tak  mengherankanlah kiranya kalau dia begitu bersemangat kala mengetahui pengorbanan yang luhur dari The Ing. Sesaat lupalah dia akan diri Tio In dan membentak-bentaknia dgn marah. Menilik sifat Tong Ko, dalam hal itu dapat dimaklumi. Tapi dasar anak perempuan, Tio In tak  dapat memahami apa, yang terkandung dalam sanubari Tong Ko tadi. la malah menduga yang tidak2.

"Ko-ko, kau suka pada nona The bukan? Ah, itu mudah, kau tunggu disini, biar kukesana, nanti tentu kuserahkan nona itu kepadamu lagil" kata Tio In serya terus berputar diri mengayun langkah.

---oo>dwkz0tah<oo--- 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar