Heng Thian Siau To BAGIAN 07 : TERTANGKAP LAGI

 
BAGIAN 07 : TERTANGKAP LAGI

Setiba dikaki gunung Lo-hu-san, Hiat-ji tak segera mendaki ke Giok-li-nia. Demi dilihatnya puncak itu menjulang dengan megahnya, demi teringat bahwa dipuncak situ berkumpul sejumlah besar orang gagah, timbul juga keragu-raguannya. Tapi tadi dia sudah sumbar-sumbar dimuka Sin Tok untuk menawan Tio In. Kalau saja hal itu tak  terlaksana, bukantah dia tak mempunyai muka untuk bertemu orang lagi ?

Pikirnya nanti setelah hari gelap, dia hendak mengadakan penyelidikan ke Giok-li-nia.

Diperhitungkannya bahwa apabila mengambil jalanan besar, tentu akan berpapasan dengan kawanan regu penjaga. Maka dia lalu mengitari puncak itu untuk coba- coba mencarl sesuatu jalan pendek kepuncak sana. Tapi ternyata keadaan puncak Giok-li-nia itu amat berbahaya sekali. Hiat-ji sudah mengitari satu kali dan haripun sudah gelap, tapi tetap dia belum menemukan jalan pendek yang dikehendaki itu. Dengan uring-uringan dia terpaksa duduk disebuah batu besar untuk memikirkan daya.

Malampun makin kelam. Hiat-ji sudah ambil putusan untuk naik kepuncak dengan ambil jalan besar saja. Sekonyong-konyong dalam kegelapan malam itu, terdengarlah suara tangisan seseorang. Pada lain saat tampak sesosok tubuh yang langsing berjalan mendatangi. Sembari berjalan, orang itu terisak-isak menangis. Bermula Hiat-ji terperanjat sekali karena mengira yang datang itu adalah seorang sakti dari kalangan persilatan. Tetapi serta sudah dekat, girangnya bukan buatan. Kiranya itulah si Tio In, jadi pucuk dicinta ulam tiba namanya. (Pucuk yalah daun muda, ulam adalah daun pupus yang lebih muda lagi. Kiasan ini berarti, mendapat sesuatu, lebih dari apa yang diharapkan).

Sebenarnya Hiat-ji sudah segera hendak ayun tubuhnya menyergap anak gadis itu, tapi terkilas lain pikiran padanya, jangan-jangan orang Lo-hu-san sudah mengetahui gerak gerik kedatangannya dan kini tengah memasang suatu perangkap untuk menangkapnya. Terpaksa dia sabarkan diri untuk menunggu sebentar.

"Ko-ko...., Ko-ko....!" sembari berjalan menangis itu Tio In tak henti2nya mengucapkan nama Tong Ko. Sebentar2 ia celingukan kesana sini, se-olah2 seperti hendak mencari orang.

Hiat-ji menguntit dibelakangnya. Dan oleh karena selama itu tiada lain perkembangan lagi, nyalinya pun besar. Serunya dengan halus: "Nona In!"

Seperti telah diceritakan, kala itu Tio In sedang mencari jenazah Tong Ko yang dikiranya tentu sudah binasa terjun dari atas puncak itu. la tak mengetahui sama sekali bahwa saat itu sebenarnya Tong Ko berada diatas batu datar, tengah dibuat rebutan oleh Soa-kim- kong dan Sik Lo-sam. Sudah tentu Tio In tak dapat menemukan jenazahnya. Maka kesana-sini ia mencarinya terus, sembari menangis ter-lara2.

Sewaktu tiba2 mendengar orang menyebut "nona In", bukan buatan girangnya. Itulah Tong Ko tentu, demikian pikirnya sembari berpaling kebelakang. Perawakan Hiat-ji hampir sama dengan Tong Ko, dalam kegelapan malam yang pekat, Tio In yang diliputi oleh rasa girang itu segera berseru: "Ko-ko.....!" sembari terus songsongkan dirinya kedada Hiat-ji.

Hiat-ji memeluknya, tangannya ditaruh diatas pundak Tio In untuk menekan jalan darah jip-tong-hiat, salah satu jalan darah berbahaya dari tubuh manusia. Namun tetap Tio In tak tersadar, malah susupkan kepalanya kedada Hiat-ji seraya merajuk macam anak manja: "Ko- ko, kukira dalam penghidupan sekarang ini kita tak dapat berjumpa lagi, ah, tak nyana kalau masih dapat mengalami seperti harini!"

Hiat-ji ingin lekas2 membawa pergi sang kijang, karena dikuatirkan apabila dirinya ketahuan bukan Tong Ko tentulah nona itu akan berontak. Benar dia tak kuatir nona itu bakal lolos, tapi se-kurang2nya tentu menghambat tempo juga.

Sementara itu walaupun sang "Tong Ko" tak menyahut, tetap Tio In belum tersadar akan kekhilafannya, katanya pula: "Ko-ko, untuk sementara waktu seyogyanya kau tinggalkan tempat ini dahulu untuk mencari guru yang sakti. Kira2 nanti dua tahunan lagi, kau kembalilah kemari untuk menebus kesalahan dengan pahala...”

Berkata sampai. disini, Tio In tengadahkan kepalanya dan betapalah terkejutnya, dapat pembaca bayangkan sendiri. la ter-longong2 sampai sekian saat tak dapat berkata apa2.

"Kau. kau ini siapa?'

Hiat-ji tertawa, sahutnya: "Harap nona jangan takut, aku Shin Hiat-ji, orang menjuluki sebagai Ce-cing-long!" "Ha......., jadi kau adalah penjahat yang turut membinasakan adikku?I" tiba2 Tio In teringat akan nama Itu.

"Ah, kalau siang2 kami tahu nona seorang yang berperasaan halus, pasti kami takkan begitu ganas!"

Cepat2 Tio In menyurut kebelakang, tapi jari tengah tangan kiri Hiat-ji sudah melekat dijalan darah jip-tong- hiatnya. Begitu ia mundur kebelakang, segera ia rasakan bahunya kesemutan. Tahulah ia kini, kalau dirinya sudah dikuasai musuh. Saking gusarnya, ia kalap menghantam muka Hiat-ji se-kuat2nya. Tapi lagi2, siku tangannya sudah dicengkeram Hiat-ji dengan jurus sian-kinna-chiu. Kini Tio In tak berdaya lagi.

"Kau kau hendak bagaimana?"

"Hendak ajak nona pesiar kekota raja!" sahut Hiat-ji tertawa.

Saking geramnya, Tio In semburkan ludahnya kemuka orang. Buru2 Hiat-ji tundukkan kepalanya untuk melindungi muka, tapi karena jaraknya sangat dekat, jadi ludah itu tepat mengenai batok kepalanya, malah hampir saja tepat pada jalan darah peh-hui-hiat. Sudah sejak kecil mula, Tio In belajar silat, jadi lwekangnyapun tinggi. Semburan ludah tadi, ia iring dengan tiupan lwekang. Sekalipun kepandaian Hiat-ji lebih tinggi darinya, tetapi tak urung dia merasakan kesakitan juga. Sudah tentu dia gusar sekali.

"Siau-ya menghargakan dirimu, sebaliknya kau begitu kurang ajar! Kalau masih melawan, tentu kuhabisi jiwamu. Apa kau anggap aku ini tak lebih jempol dari kekasihmu si Tong Ko itu?" bentaknya. Disamping mendapat latihan silat, pun Tio In dididik ayahnya dengan budi perilaku yang luhur. Apalagi dalam se-hari2-nya ia selalu bergaul dengan para orang gagah yang berwatak ksatrya, jiwa patriotnya sudah mendarah daging dalam sanubarinya.

"Fui....., kau seorang budak Ceng yang tak punya muka, perlu apa banyak bacot!"

Kalini Hiat-ji hanya mengangkat bahu, sahutnya dengan mengejek: "Aneh bin ajaib, nona secerdas kau mengapa bisa menyintai seorang Tong Ko. Apakah dia itu tak sealiran dengan aku? Nona In, Tong Ko berkepandaian dangkal, kalau dijajarkan dengan kau, laksana lumpur dengan salju bedanya. Lebih baik kau ikut aku kekota raja saja.. untuk menunggu kunjungan ayah bundamu. Kalau mereka itu tahu diri, dapatlah kita bersama menjadi menteri kerajaan. Bila mereka membangkang itupun sudah takdir Ilahi, aku tetap akan menyediakan diri agar kau tak mendapat suatu gangguan apapun"

Kata2 Hiat-ji makin melantur tak keruan, namun Tio In tak dapat mencari jawaban. Tanpa menunggu jawaban orang lagi. Hiat-ji terus ringkus Tio In untuk dikempitnya. Tio In hendak meronta, tapi tak berdaya, karena jalan darahnya sudah tertutuk.

Girang Hiat-ji me-luap2, sehingga saking kesusunya dia sudah dapat mengetahui bahwa si kaki satu Sin Tok dan Shin Leng-siau tengah menyusulnya. Begitu keluar dari gunung, segera didengarnya dijalanan sana ada suara senjata beradu. Letikan apinya jelas kelihatan dimalam yang kelam itu. Rupanya ada orang bertempur dengan seru. Hiat-ji memiliki mata yang luar biasa tajamnya. Dalam tempat yang bagaimanapun gelapnya, dia tetap dapat melihat dengan jelas.

Dia buru2 menghampiri dan didapatinya Tok-kak-sin- mo Sin Tok tengah mainkan sepasang kapak, tengah bertempur dengan seorang kate yang bergegaman golok. Sedang Shin Leng-siau sedang dikeroyok oleh dua orang muda, dan tampaknya sudah kewalahan. Keras dugaan Hiat-ji, bahwa ketiga lawan itu tentulah orang persilatan yang anti pemerintah Ceng, kemungkinan  besar anggauta perserekatan Lo-hu-san.

Sebenarnya sudah berpuluh tahun penjajah bangsa Boan Ceng, menduduki wilayah Tiongkok. Rakyat diseluruh negeripun sudah sama memelihara kuncir, menuruti peraturan yang diundangkan oleh pemerintah penjajah tersebut. Adalah untuk keleluasaan bergerak, maka para kaum patriot terpaksa mengenakan juga kuncir. Tapi apabila berada ditempat yang sepi, mereka tentu menggulung rambut itu. Ketika orang itu tadipun menghias rambutnya dengan cara begitu.

"Jangan takut, aku datang!" seru Hiat-ji sembari lepaskan Tio In, lalu loncat menyerang. Belum orangnya tiba, dia sudah gerakkan dua buah serangan. Salah seorang pengeroyok kakaknya yang bersenjata golok, telah kena direbut senjatanya terus ditendang keluar.

Kawannya dengan menggerung keras maju merangsang, tapi kena didesak mundur oleh Hiat-ji. Dalam kesempatan itu, Hiat-ji melirik kearah sikaki satu yang rupanya difihak unggul. Teringat akan olok2 si kaki satu kemarin, timbullah kebenciannya. Segera dia putar sepasang golok itu lalu dilemparkan diudara. Setelah melingkar sebentar, golok itu meluncur kearah batok kepala si kaki satu. Pada saat itu si kaki satu sudah diambang kemenangan, maka betapa kejutnya ketikz tahu2 ada sepasang golok menyambar. Tring, tring, buru2 dia menangkis dengan kapak, tapi diam2 dia terkejut demi diketahui betapa dahsyat kekuatan golok itu. Timbul dugaannya kalau2 Hiat-ji yang melakukan, tapi oleh karena gerakan anak itu tak dilihatnya, jadi tak berani menetapkan dakwaan. Namun tetap dia menaruh kesangsian.

Adalah karena sedikit renungan itu, gerakannya agak ayal dan kesempatan itu digunakan oleh si kate untuk menabasnya. Untunglah si kaki satu cukup lihay. Begitu menggeliatkan tubuh, dia hantam tangkai golok penyerangnya, trang....... si kate rasakan tangannya panas kesakitan. Berbareng dengan itu, sikaki satu teruskan membabat. Tak ampun lagi, rubuhlah sikate tiada bernyawa lagi. Kedua orang muda tadipun segera loncat untuk.... lari tunggang langgang.

Hiat-ji tak mau mengejarnya, melainkan menghampiri Tio In untuk diambilnya. "Sin toako, anak perempuan Tio Jiang, sudah berada disini!" Ujarnya dengan dingin.

Sin Tok mengawasi lekat2 dan memang benar seperti yang dikatakan oleh anak itu. Dalam hati dia mengiri dan mendongkol, namun lahirnya mau juga dia menghamburkan pujian. Demikian diam2 diantara kedua orang itu terdapat jurang permusuhan gelap.

Shin Leng-siau yang hanya mendengari saja sejak  tadi, kini segera usulkan supaya lekas2  berangkat, karena kedua orang muda yang lolos tadi tentu akan melapor ke Lo-hu-san. Begitulah ketiganya segera cemplak kuda dilarikan se-kencang2nya. Tapi karena tak  faham jalanan, maka semalam suntuk mereka melarikan kudanya, ketika terang tanah didapatinya kalau masih berada didaerah Lo-hu-san. Rupanya mereka tersesat jalan. Makin cemas, makin tak dapat mereka menemukan jalanan yang sebenarnya. Apa boleh buat, Tio In terpaksa dibuka jalan darahnya dan disuruhnya mengunjukkan jalan. Tetapi bukannya menerangkan jalanan, sebaliknya nona itu malah men-jerit2 dengan keras. Sudah tentu mereka jengkel dibuatnya, karena biar bagaimana tak dapat membunuh "umpan" yang berharga itu.

Terpaksa nona itu diringkus, lalu dibawa kabur lagi. Tiba2 disebelah muka sama tampak ada sekawanan kera. Kesanalah mereka bertiga menerjangnya. Begitulah tadi, sikaki satu berada paling depan sendiri, begitu berhasil merubuhkan Tong Ko, dia terus keprak kudanya kemuka.

"Tong-heng, siapa ketiga orang itu, mengapa mereka begitu kurang ajar?" tanya The Ing.

"Itu dianya si Tok-kak-sin-mo Sin Tok, ayuh lekas kejari" sahut Tong Ko dengan gugup.

The Ing terperanjat, tapi ketiga orang itu sudah jauh. Kecuali memiliki ilmu mengentengi tubuh yang lihay, tak mungkin untuk mengejarnya.

"Ah, tak, mungkin mengejarnya, lebih baik kita susul mereka kekota, raja!" serunya.

Wajah Tong Ko tampak ber-sungguh2, ujarnya: "The- heng, memang kita harus mengejarnya. Entah bagaimana, nona In telah diculik lagi oleh si Ce-cing-long Shin Hiat-ji!"

"Nona In? Siapa ia?" The Ing terkesiap kaget. Dalam saat itu, Tong Ko tak  mau menerangkan panjang lebar, maka dengan ringkas saja dia menyahut: "Sudah lama aku saling mencinta dengan dia, jadi tak dapat kuberpeluk tangan melihatnya diculik orang!"

Se-konyong2 wajah The Ing berobah pucat dan ter- mangu2 sampai sekian saat.

"Kita sendiri tak nanti dapat mengejar, kecuali menyuruh si Toa-gin dan Siau-gin!" akhirnya dia berkata dan lalu bersuit. Sekejab saja kedua ekor kera besar itu melayang datang.

"Bawalah rombongan kera untuk mengejar ketiga penunggang kuda itu! Ingat, jangan melukai nona itu!" kata The Ing sembari menunjuk kemuka.

Kedua binatang itu meringkik nyaring, sekali tubuhnya bergerak, mereka sudah berada tiga empat tombak jauhnya. Rombongan kera kecilpun sama cuwat-cuwit ber loncat2an lari dengan pesat sekali. Dalam sekejab sadia, tampak disebelah muka ber-puluh2 letikan perak berlincahan dan pada lain saat sudah menghilang tak kalihatan lagi.

"Sekalipun ketiga orang tadi berkepandaian tinggi, tapi dikejar oleh kawanan kera tentulah akan tertahan untuk beberapa waktu. Ayuh, kita lekas2 susul mereka. Hem....., jangan kuatir Tongheng, jantung hatimu tentu takkan kena apa?"

Jelas tampak oleh Tong. Ko bahwa ketika mengucapkan kata2nya itu, wajah The Ing agak pucat dan nadanya sember. Tetapi karena pentingnya urusan itu, jadi tak sempat dia untuk menanyakan sebabnya. Ketika keduanya tengah lari, tiba2 dari arah belakang terdengar orang berseru nyaring: "Siapa itu, harap berhenti dahulu!"

Nada suaranya begitu menggema hingga sampai berkumandang keseluruh penjuru, menandakan lwekang orang itu telah mencapai tingkat kesempurnaan. Ketika Tong Ko dan The Ing berpaling kebelakang, sesosok tubuh telah melayang tiba dihadapan mereka. Hai, kiranya seorang wanita dari pertengahan umur, mencekal sebatang pedang yang berkeliau2an sinarnya.  Tapi begitu melihat Tong Ko, wanita itu segera membentaknya dengan murka: "Ho, kiranya kau, bangsat!"

Berbareng dengan dampratan itu, tangan siwanita segera gerakkan pedang menyerang Tong Ko, siapa sudah tentu menjadi terkejut sekali. Tetapi kala dia hendak menghindar kebelakang, tring......, terdengarlah benturan dua batang pedang. Ketika diawasi, ternyata disitu terdapat pula seorang lelaki yang bukan lain Siau- beng-siang Tio Jiang adanya. Sedang wanita tadi, yakni Hui-lay-hong Yan-chiu.

"Tentu dialah yang mengajak kuku garuda untuk menculik Inji. Mengapa lagi2 kau mencegati?" Yan-chiu dengan merah padam menegur suaminya.

Belum Tio Jiang menyahut, The Ing sudah mendahului: "Kalau tak salah kalian ini tentulah sepasang suami isteri Siau-beng-siang Tio Jiang. Begitu harum nama kalian dikalangan persilatan, disana sini  orang sama mengindahkan, tetapi sungguh tak nyana kalau ternyata adalah orang yang tak dapat membedakan hitam putih!" Sebenarnya bukan demikian watak perangkai Yan- chiu. Adalah karena kehilangan putera kesayangannya, ia sampai begitu rupa membenci Tong Ko. Ini dapat dimaklumi bagi seorang ibu. Maka begitu melihat Tong Ko, tanpa tanya ba atau bu lagi, ia terus menyerangnya. Apalagi tadi mereka sudah hampir dapat mencandak rombongan si kaki satu, atau tiba2 Tong Ko menghadang di tengah jalan. Bahwasanya Tong Ko ternyata belum binasa, telah mendorong Yan-chiu pada kesimpulan kalau anak muda itulah yang mengadiak rombongan Sin Tok ke Lo-hu-san lagi untuk melakukan penculikan.

Kata2 The Ing tadi makin menambah minyak pada api kemarahan Yan-chiu. "Kau ini siapa?" tanyanya dengan geram.

"Kau katakan sendirilah!" sahut The lng sembari ter- tawa2.

"Telur busuk, siapa yang sudi kau ajak main tebak!" dalam marahnya Yan-chiu terus balingkan pedangnya.

Melihat belum lagi wanita itu membuka serangan, perbawanya sudah sedemikian garang apalagi pedang yang dicekalnya itu terang bukan sembarang pedang, maka menyurutlah The Ing dua tindak kebelakang.

"Ha, kiranya Hui-lay-hong benar2 seorang yang tak kenal aturan. Keterangan Tong-heng tadi, memang tak salah!" serunya dengan sengit.

"Huh, bangsa tikus buduk tentu saling mempercayai!" balas Yan-chiu.

Melihat isterinya bertengkar, Tio Jiang segera berseru: "Yan-chiu, sudahlah jangan buang waktu, ayuh kejar kuku garuda yang membawa In-ji itu !" Yan-chiu mengiakan. "Untuk sementara, kuberi kemurahan berdua!" serunya kepada Tong Ko dan The Ing, lalu melesat menyusul suaminya.

---oodwkz^0tah^oo---
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar