Heng Thian Siau To BAGIAN 06 : SEBUAH PERTEMUAN

 
BAGIAN 06 : SEBUAH PERTEMUAN

Selagi Tong Ko kebingungan, tiba2 terdengar suatu bunyi suitan yang nyaring bening, bagaikan kokok seekor bangau. Suitan itu makin lama makin kuat, dia melongok kebawah, tampak ada seorang pemuda tengah merayap keatas dengan menggelantung pada tumbuhan rotan. Begitu cepat cara dia merayap itu, hingga dalam beberapa kejab saja setelah ayunkan tubuh, dapat dia berdiri jejak diatas permukaan batu situ. Hai, kiranya dia itu seorang anak sekolah yang parasnya cakap tapi agak hitam manis kulitannya.

Pertama melihat, entah bagaimana, Tong Ko mempunyai rasa symphati kepada anak muda itu. Anehnya, kalau hendak naik keatas gunung mengapa pemuda itu tak melalui jalanan gunung saja tetapi memanjat cara begitu? Astaga, teringat dia sekarang soalnya. Diatas, adalah puncak Giok-li-nia, markas utama dari pusat anasir penentang penjajah Ceng. Ditilik rupanya, pemuda itu tentu bukan orang baik, kemungkinan besar dia tentu hendak menyelidiki markas Giok-li-nia.

Secepat mendapat dugaan itu, secepat itu pula Tong Ko maju menyongsong kemuka, seraya menegurnya dengan keras: "Sahabat, kalau naik keatas mengapa tak mau ambil jalan digunung, tetapi menggunakan cara monyet begitu?"

Pemuda itu terkesiap, sahutnya: "Aku  sedang mencoba ilmuku mengentengi tubuh, apakah mengganggu padamu? Mengapa kau ucapkan kata2 yang melukai perasaan orang?" "Siapakah nama sahabat ini?" tanya pula Tong Ko yang sudah tentu tak mau percaya begitu saja. Tetapi rupanya pemuda itupun kurang senang dibuatnya.

"Aku tak mau mengatakan padamu, coba kau hendak berbuat apa?" sahutnya. Makin keras dugaan Tong Ko bahwa pemuda sekolahan itu tentu seorang jahat.

Tanpa ragu2 lagi dia kirim sebuah pukulan. Tapi dia sendiri segera terkejut, ketika didapatinya bahwa hanya dalam semalam saja kini daya pukulannya sudah berobah sedemikian kerasnya. Ai...... kalau anak sekolah itu tak kuat menahan, bukantah akan jauh kedalam lembah sana? Buru2 dia tarik pulang pukulannya, tapi dalam pada itu sipemudapun sudah menghindar dan tahu2 dia mengambil sebuah senjata yang aneh bentuknya, dari atas kepala.

Siapakah engkau sahabat? Tanya Tong Ko dengan curiga sembari melontarkan pukulan. Akan tetapi si pemudah sekolahan itu cepat mengeluarkan semacam senjata aneh, senjata itu berbentuk kelintingan berduri dan berantai. Dengan genggaman itu, dia terus balas menyerang. 

Kiranya senjata itu adalah sebuah rantai halus sepanjang satu meteran. Kedua ujungnya saling menggandeng dan ditengahnya dicanteli sebuah kelinting, persis seperti mainan anak2 yang dipakai diatas kopiah, hanya lebih besar dan diatas kelinting itu diberi ujung yang tajam. Begitu disabatkan, ujung kelinting itu mengancam telapak tangan Tong Ko. Coba tadi Tong Ko tak menarik pulang tangannya, pastilah akan sudah terjadi benturan yang menentukan pertempuran itu.

Adalah Soa-kim-kong Ciang Tay-lo dan Sik Lo Sam yang melihat Tong Ko bertempur dengan anak muda itu, segera sama2 berseru: "Kita mau ikut juga !"

Yang satu dari kiri dan yang lain dari kanan, serentak sama menyerbu. Belum orangnya tiba, sambaran anginnya sudah menyiak. Saking kagetnya sianak muda itu mundur beberapa tindak dan lupalah seketika dia kalau dibelakangnya itu adalah udara kosong. Tak ampun lagi terjungkal dia kebawah lembah yang dalamnya ratusan tombak itu...............

Tong Ko juga terperanjat sekali.

"Mengapa kalian berdua belum tahu hitam putihnya sudah lantas mendorong orang jatuh kebawah?" serunya dengan geram.

Sik Lo-sam dan Soa-kim-kong deliki mata, menyahut: "Hai, bukantah kau sendiri yang mengatakan kalau dia itu orang busuk?!" Tong Ko bohwat (tobat) terhadap dua orang limbung itu. Tak habis getunnya dia memikirkan anak muda tadi. Dia sendiri belum tahu benar siapakah orang itu. Ya, kalau dia itu memang seorang jahat itu sih tak mengapa, tapi kalau tidak, bukantah berarti dia yang mencelakainya ?

Kalau dia masih terbenam dalam keraguan, adalah kedua orang limbung itu, sudah bertengkar lagi. Tong Ko tak hiraukan mereka, melainkan melongok kebawah. Tiba2 didengarnya ada suara orang mengerang. Rupanya suara erangan sianak muda tadi. Tong Ko seorang anak muda yang ber-sungguh2. Bukan melainkan wataknya saja yang keras, tapipun terhadap segala apa dia tentu mau tahu sampai jelas betul. Dia tetap merasa getun telah menyebabkan anak muda tadi terperosok jatuh kebawah. Menilik suara erangan tadi, jangan2  anak muda itu masih belum binasa. Lain orang mungkin akan mencari jalan untuk menolongnya, tapi beda halnya dengan Tong Ko yang berpendapat begini: "Kalau dia tak sampai terjatuh mati, masa aku dapat. Ah, seharusnya aku menolongnya !"

Dan sehabis berpikir begitu, tanpa ditimbang lebih jauh, dia segera ayunkan tubuh loncat kebawah. Kiranya dalam lembah itu penuh diselimuti halimun tebal hingga selebih pada jarak setombak, Tong Ko tak dapat melihat apa2 lagi. Kira2 tiga empat tombak meluncur kebawah, tiba2 tubuh Tong Ko kecantel oleh sebuah dahan puhun siong. Dahan puhun itu me-lingkar2 kesamping sampai beberapa tombak luasnya dan kebenaran sekali dapat mengait tubuh Tong Ko tadi.

Tong Ko beranggapan bahwa tentulah pemuda itu juga kecantel disitu, tapi entah dimana. Maka setelah memulangkan napas, dia lalu berseru pe-lahan2: "Sahabat, kau dimana " Belum habis Tong Ko menyerukan kata2nya, tring. ,

kedengaran bunyi kelinting melayang disusul dengan munculnya sianak sekolahan tadi yang menginjak pada sebuah dahan kecil sebesar jari tangan. Tubuhnya lemah gemulai, makin mengunjuk gerakannya sangat lincah.

Oleh karena Tong Ko tak keburu menghindar lagi, maka dia terpaksa berjumpalitan, tangannya menyambar sebuah dahan terus ayunkan tubuh diatas puhun.  Ah......, tak kira kalau dia dapat berbuat begitu. Kiranya dalam semalam saja, kini ilmunya lwekang dan mengentengi tubuh telah bertambah maju dengan pesat sekali.

Tapi anak sekolahan itu tak  mau sudah. Setelah meloncati dua buah dahan, dia susulkan lagi kim-leng (kelinting) menghantam jalan darah lo-tong-hiat didada Tong Ko.

Rantai kelinting itu karena digerakkan dengan lwekang, dapat menjadi lurus seperti sebatang pena. Cukup dengan dorongan beberapa dim kemuka, dada Tong Ko pasti tertusuk dengan kelinting berduri itu. Syukur dia berhenti sampai disitu saja dan nanya bertanya: "Kau ini orang apa, mengapa terus2an hendak mengambil jiwaku? Aku sudah jatuh kebawah, masakan kau masih mengejar kemari?"

Memang Tong Ko sendiri heran pada dirinya, mengapa dia tak tega pada anak muda itu. Sebaliknya orang yang dipikirkan itu. begitu bertemu lantas mendamprat, dikira kalau mau dibunuh. Ah, tentu dia salah faham, pikir Tong Ko.

"Sahabat, kau salah terka. Karena kedua orang limbung tadi telah mendesakmu jatuh kebawah, demi kudengar kau mengerang, hatiku tak enak lalu buru2 turun hendak menolongmul" Tong Ko cepat2 menerangkan, sembari mengawasi lekat2 pada pemuda sekolahan itu. Dilihatnya pakaian warna hijau dari anak itu sudah banyak yang rompang ramping tertusuk cabang puhun. Sampai pun pada bagian pundak kiri kelihatan juga pakaiannya dalam.

Dilihati macam begitu, merah padam selebar muka pemuda itu.

"Mengapa  kau  mengawasi begitu rupa oh,

jadinya kau ini berhati baik?"

Teringat Tong Ko akan dirinya yang sering dibuat bulan2an orang, mengatakan dirinya itu cantik seperti seorang gadis. Tapi diam2 dia memperhatikan gerak gerik pemuda sekolahan itupun menyerupal seorang gadis juga. Rasa symphatinya makin besar.

"Asal kau bukan kaki tangan pemerintah Ceng, aku takkan kecewa datang kemari menolongmu," katanya.

"Amboi, kau salah duga. Aku ini seorang kaki tangan Ceng, nah, kau mau apa?" ujar pemuda Itu dengan tertawa. Tangannya menjulur dan duri kelintingpun mengancam Tong Ko. Dalam gugupnya Tong Ko suruntukan dada, tangannya kiri menabas. Tapi belum pukulan tiba, bagaikan seekor burung bangau tersentak kaget, pemuda itu sudah ayunkan tubuh hinggap pada sebuah dahan lain, kira2 setombak jauhnya. Malah disitu dia perdengarkan suaranya ketawa mengikik. Pukulan Tong Ko tadi, hanya mematahkan sebuah dahan. Geram Tong Ko bukan kepalang demi mendengar pemuda itu seorang kaki tangan pemerintah Ceng. Teringat dia akan "kopi pahit" yang ditelannya dari rombongan sikaki satu. Sin Tok, sehingga kini dirinya diasingkan oleh perserekatan orang gagah. Dia siapkan tangan kiri, tanpa hiraukan suatu apa lagi, dia terus menyerang lagi.

"Hai, mengapa kau juga seorang limbung?" tiba2 kedengaran pemuda itu berseru. Tapi katena tak mendengarnya, tubuh dan pukulan Tong Ko tadi sudah tiba malah dia susuli lagi dengan tangannya kanan. Dua buah pukulan lwekang yang berlainan gayanya, berbareng menghantam dan terpentallah kelinting orang itu sampai setengah meter.

Sebenarnya Tong Ko hendak ganti serangan lagi dengan lain jurus, tapi karena memangnya ilmu silatnya masih dangkal, jadi sekalipun dia telah memperoleh ilmu kesaktian yang mujijad namun temponya hanya dalam semalam, jadi biar bagaimana dia tetap tak berdaya. Maunya sih hendak merobah gerakan, tapi kakinya malah terpeleset dan orangnyapun segera jatuh dihadapan pemuda sekolahan itu.

Pemuda itu menjerit kaget. Jelas kelihatan oleh Tong Ko bahwa kalau mau, sebenarnya pemuda itu dapat menghantamkan kelinting durinya. Tapi untuk keheranannya, pemuda itu malah ulurkan lengan kiri untuk menahan lengan Tong Ko supaya tak jatuh.

Seperti diketahui lengan kiri Tong Ko itu sudah dihembus dengan saluran lwekang Soa-kim-kong, jadi tenaganya kuat bukan kepalang. Kebetulan lengan pemuda itu mencekal lengan kiri Tong Ko dan tanpa disadari, Tong Ko telah memberi reaksi meronta. Begitu dahsyat tenaga yang ditimbulkan oleh gerakan Tong Ko itu, hingga terpaksa pemuda itu lepaskan niatnya untuk mencekal. Dan oleh karena itu, Tong Ko tetap ngerusuk menjatuhi pemuda itu.

Tong Ko mengetahui jelas, bahwa pemuda itu tak bersikap bermusuhan. Kuatir kalau mencelakainya, buru2 Tong Ko pentang tangannya untuk merangkul, dan terpeluklah pemuda itu didalam dadanya. Tiba2 pemuda itu meronta se-kuat2nya. Karena kehilangan keseimbangan badan, mereka berdua sama jatuh kebawah. Syukur Tong Ko dapat bergerak dengan tangkas untuk menyambar sebuah dahan dibuat gandulan. Demi dilihatnya pemuda sekolahan itu meluncur disebelah bawahnya, buru2 dia turunkan kakinya seraya berseru: "Lekas, cekal kakikul"

Pemuda Itupun menurut dan tepat dapat menangkap kaki kiri Tong Ko. Dengan begitu, terhindarlah dia dari jatuh kebawah lembah,

"Hai. sungguh berbahaya!" serunya dengan lega.

Tong Ko pun kucurkan keringat dingin, ujarnya: "Kalau tadi kau tak meronta se-kuat2 nya, tentu tak terjadi begini".

Kembali muka sipemuda itu merah jambu, sahutnya: "Kalau tadi kau tak main peluk, tentu tak terjadi begini!"

Tiba2 tersadarlah Tong Ko bahwa pemuda yang ditolongnya itu adalah seorang kaki tangan pemerintah Ceng. Pemuda itu walaupun muda usianya, tapi memiliki kepandaian yang bagus. Mungkin dia tersesat jalan,  salah pilih. Kalau dapat dia (Tong Ko) menginsyafkan, alangkah baiknya. "Sahabat, siapakah namamu? Mengapa dapat berhamba pada pemerintah Ceng?" tanyanya dengan nada ber-sungguh2.

Sepasang biji mata pemuda itu ber-kicup2, sikapnya aneh sekali.

"Entahlah, aku tak tahu sendiri. Sekali tak ber-hati2 lalu menjadi anak cucu kuku garudal"

Tong Ko terbeliak. Masakan ada orang menyebut anak cucu kuku garuda?

"Sebenarnya bagaimanakah duduk perkaranya, bolehkah aku mengetahuinya?" tanyanya kemudian,

"Sudah tentu boleh. Ketika aku menuju ke Lo-hu-san hendak mencari seseorang, dilamping gunung aku berpapasan dengan dua orang lelaki gagah dan seorang pendek yang limbung. Sipendek itu mengatakan aku bukan orang baik. Nah, apa dayaku?" kata sipemuda sambil tertawa.

Mendengar keterangan itu, berserulah Tong Ko dengan gembira: "Ha, kiranya kau bukan seorang hamba penjajah!"

"Biarpun bukan hamba Ceng, tapi dikatakan bukan orang baik, juga sami mawon (serupa saja)!" sahut sipemuda pula.

"Tapi kau kan bukan kaki tangan pemerintah Ceng benar2 toh?" Tong Ko balas tertawa. Dia malu sendiri, mengapa saking keliwat ber-hati2 dia sudah menyangka jelek pada orang baik. Ujarnya pula: "Sahabat, jangan kau menertawaiku. Tadi aku sudah salah lihat, apalagi baru saja aku mendapat fitnahan dari gerombolan taylwe ko-thyiu (jagoan lihay istana Ceng), si Tok-kak-sin-mo Sin Tok dan-kawan2, makanya aku sampai kesalahan padamu tadi."

Tanpa diminta, Tong Ko lalu tuturkan apa yang telah dialaminya karena difitnah itu. Perkampungan rakyat habis dibakar, Nyo Kong-lim dan putera bungsu Siau- beng-siang Tio Jiang binasa dan akhirnya dia harus menebus dosa disuruh loncat dari atas puncak gunung.

"Diantara sekian banyak orang, masakan tiada seorangpun yang mempercayai kejujuranmu?" tanya sipemuda dengan membelalakkan mata.

Tong Ko menghela napas, sahutnya: "Apa guna aku berdebat? Siapa yang sudi percaya padaku?"

"Aku!" serentak pemuda itu menyahut tanpa ragu2. Begitu tetap nada suaranya, hingga hati Tong Ko tergerak. Diam2 dia memikir: "aku baru saja berkenalan dengan dia, apalagi tadi hampir saja kucelakai dirinya, tapi dia tetap percaya padaku. Ah....., sungguh jarang terdapat orang macam begitu. Sedang Tio In yang menyintai akupun rasanya belum tentu mau menaruh kepercayaan padaku". "

"Kukuatir yang mau mempercayai diriku, hanya saudara seorang sajalah!" buru2 Tong Ko menyanggapi.

"Ah, usah main sungkan. Ayuh, kita naik keatas gunung atau turun. Kita harus lekas2 menetapkan rencana tak boleh terus menerus ter-katung2 disini" kata sipemuda.

Memang pada saat itu, Tong Ko sendiripun sudah rasakan boyoknya (pinggang) pegal karena  diganduli oleh sipemuda. Tapi tempat itu tepat ditengah angkasa, langit tidak bumipun bukan. Jadi dia sendiri tak tahu bagaimana harus bertindak, Mereka berunding, tapi tetap tak dapat menemukan cara yang baik untuk menghindarkan diri

Selagi keduanya dalam keputusan akal, tiba2 kedengaran ada suara cuwat-cuwit yang keras. Dalam bebrapa kejab, entah ada berapa puluh ekor kera sama loncat menghampiri. Pemuda itu mendadak tampak kegirangan dan mulutnya tak henti2-nya bersuit nyaring. Nada suitan itu menyerupai dengan  cuwat-cuwit kawanan kera tadi. Pada lain saat, kawanan kera itu sama naik keatas puhun dan mengerumuni sipemuda. Rupanya mereka sangat menyayanginya. Ada beberapa ekor kera yang menggelandoti Tong Ko, hingga membuatnya mendongkol sekali. Sudah hampir setengah harian, dia bergelantungan pada dahan sembari kakinya diganduli sipemuda, kini masih ditambahi beratnya lagi dengan kera2 itu. Bukan saja makin berat, pun juga terasa keri (geli).

Berulang kali dia memaki2, namun kera2 itu tak menghiraukannya. Sebaliknya sipemuda itu malah tertawa riang.

"Sahabat, rupanya kau dapat berbahasa kera, mengapa tak lekas2 menghalau mereka?" akhirnya saking tak kuat menahan kemengkalan hatinya, Tong Ko menggerutu.

"Ho, bukan saja tak menghalau malah hendak kusuruh mereka makin dekat kemari. Kawaran kera itu adalah piaraanku, coba kau lihat, menyenangkan tidak?" jawab sipemuda itu. Tong Ko heran dibuatnya, masakan ada orang piara sekian banyak kera. Diawasinya kawanan binatang itu dengan perdata. Bulunya mengkilap ke-perak2an, matanya berwarna merah, tangannya luar biasa panjangnya. Jumlahnya tak kurang dari tujuh sampai delapan puluh ekor.

"Kalau kau tak mau menghalau mereka, aku sungguh tak kuat bertahan lagi lo!" serunya dengan berang.

Sipemuda kembali bersuit keras dan se-konyong2 melayanglah dua ekor kera besar setinggi manusia, hinggap pada dahan situ. Begitu kedua binatang itu tiba, kawanan kera kecil2 sama diam.

"Tay-gin, Siau-gin, lekas panggul aku dan sahabat itu turun gunung!" seru sipemuda.

Salah seekor segera ulurkan lenngannya menyanggapi tubuh sipemuda terus dipanggul dipunggungnya. Sedang yang seekor lagi, hanya mengawasi Tong Ko saja tapi tak mau mengapa-apakannya.

"Binatang kurang ajar, orang itu adalah sahabatku, mengapa tak lekas dipanggul! Awas, nanti kuhajar kaul" seru sipemuda sekolahan. Rupanya kera itu mengerti dan unjuk rupa ketakutan. Sekali ulurkan tangan, Tong Ko sudah segera berada dipunggung bintang itu.

Pemuda itu kembali bersuit lagi dan kawanan kerapun sama cuwat-cuwit. Kedua ekor binatang besar itu, walaupun memanggul orang, tapi gerakannya tetap lincah sekal. Tong Ko hanya rasakan telinganya men- deru2 tersambar angin dan dalam bebrapa kejab saja, tibalah sudah mereka dibawah gunung. "Coba, bukantah hebat kera piaraanku itu?" tanya sipemuda setelah loncat turun dari gendongan.

"Konon kabarnya kera gin-si-kau (kera bulu perak) hanya terdapat digunung Sip-ban-tay-san saja. Adakah kau ini berasal dari daerah yang sejauh itu?" Tong Ko balas bertanya.

"Ya, benar," sahut sipemuda dengan tertawa. Tong Ko makin heran.

"Cara bagaimana kau menempuh perjalanan dengan membawa sekian banyak kera itu?" tanyanya pula.

"Ai, benar2 aku tak memikir sampai disitu, kiranya tentu bakal merupakan suatu tamasya yang menggembirakan sekali. Kalini aku suruh mereka datang kemari sendiri, sayang, sayang!"

"Tapi mengapa kau tak segera datang ke Giok-li-nia dengan terang2an?" Tong Ko mengulang tanya.

"Giok-li-nia banyak terdapat para orang gagah perwira, tapi tiada seorangpun dari mereka yang berpikiran waras. Buktinya, tiada seorang yang mau percaya akan penasaranmu. Ah, aku tak sudi kesana!"

Hati Tong Ko tergerak, segera dia menjurah memberi hormat, ujarnya: "Budi kebaikan anda itu, Tong Ko akan ingat se-lama2nya!"

Tapi sebaliknya pemuda sekolahan itu malah ketawa menggigil, sahutnya "Tingkah kecut, laku kecut!"

Tong Ko terkesiap. Adanya dia tadi mengunjuk sikap sedemikian hormatnya karena mengingat pemuda itu rupanya seperti anak sekolahan. Tapi mengapa dirinya dikatakan bertingkah laku kecut? Adakah dia itu bukan seorang pelajar?

"Aku she The, bernama Ing." kata sipemuda setelah puas ketawa.

"Hai, mengapa seperti nama seorang anak perempuan saja!” Tong Ko balas tertawa.

Tapi sipemuda itu hanya ganda tertawa juga lalu alihkan pembicaraan, katanya: "Jika Tong-heng tak mempunyai urusan apa2, mengapa tak ikut aku pesiar kepegunungan Sip-ban-tay-san. Dengan membawa sekawanan kera. itu dalam perjalanan, kita tentu mendapat kegembiraan besar!"

Tong Ko memberi anjuran supaya pemuda The Ing itu teruskan niatnya untuk menjumpai perserekatan orang gagah dari Lohusan, tapi rupanya pemuda itu tak mau.

Malah dia segera merajuk hendak lanjuntukan perjalanannya seorang diri, jika Tong Ko tak mau ikut. Entah bagaimana, rasanya Tong Ko seperti ada ikatan bathin dengan The Ing itu. Berat nian dia untuk berpisah.

"The-heng, kegunung Sip-ban-tay-san aku tak mempunyai hasrat. Kuberniat mencari suatu  tempat sunyi untuk meyakinkan ilmu kepandaian. Kelak hendak kucari Tok-kak-sin-mo Sin Tok dan kedua saudara Shin itu. Kalau aku dapat meringkus mereka untuk kubawa ke Lo-hu-san, barulah aku dapat mencuci bersih namaku lagi!" akhirnya Tong Ko berkata.

"Bagus, kita pergi saja kekota raja. Biarkan kawanan kera Sip-ban-tay-san itu mendapat pengalaman dikota raja!" diluar dugaan sipemuda itu malah bertepuk girang. Tong Ko diam2 mengeluh, tapi apa boleh buat. Begitulah mereka sembari berjalan sembari pasang pembicaraan dengan asyik sekali.

Melintasi sebuah puncak gunung, tibalah mereka pada sebuah puncak yang menjulang tinggi diangkasa. Sebuah dataran sempit terbentang ditengah.

Ketika Tong Ko hendak nasehati supaya The Ing jangan membawa kawanan kera itu, tiba2 didengarnya ada derap kaki kuda mendatangi dan suara jeritan anak perempuan. Suara itu makin lama makin dekat. Kawanan kera sama menyongsong kebelakang, sedang kedua ekor kera besar itu meringkik2 dengan suara yang aneh.

Kiranya sewaktu Tong Ko dan The Ing berpaling kebelakang, disana tampak ada 3 ekor penunggang kuda mencongklang dengan pesatnya. Penunggang iang dimuka sendiri, bolang balingkan pian untuk menghantam kawanan kera gin-si-kau yang menghadangnya sehingga kera2 itu sama cuwat cuwit lari bubar. Deru sambaran pian itu sangatlah serunya, menandakan bahwa orang itu berilmu tinggi.

Tong Ko terkesiap kaget, demi diketahuinya bahwa orang itu bukan lain adalah si Tok-kak-sin-mo Sin Tok, musuh lama yang hendak dicarinya itu. Saking  girangnya, dia sampai lupa untuk mengajak The Ing, tapi terus enjot tubuhnya lari menyerangnya.

Melihat ada seorang penyerang, Sin Tokpun menyambut dengan pian, tapi Tong Ko dengan beraninya segera menyambar pian itu.

Kini jelaslah sudah sikaki satu Sin Tok bahwa penyerangnya itu adalah Tong Ko. Hem......, gila anak itu, masa berani menyanggapi pianku, pikir Sin Tok. Dia segera kirim sebuah pukulan dan kebetulan pula tangan kiri Tong Kopun maju menghantam. Plak......, ketika kedua kepelan itu saling beradu, sikaki satu terkejut bukan buatan. Didapatinya tenaga pukulan anak muda  itu hebat benar. Buru2 dia kerahkan lwekang dan karena kurang latihan maka terpentallah Tong Ko sampai setombak jauhnya.

Tadi The Ing masih belum mengetahui telah terjadi  hal apa. Tapi demi dilihatnya Tong Ko terpental jatuh, buru-buru dia lari menghampiri. Tepat pada saat itu, dua penunggang kuda yang dibelakang sikaki satupun sudah lewat disitu. Kembali terdengar suara jeritan anak perempuan yang kini jelas berasal dari arah penunggang kuda yang paling belakang sendiri.

Demi Tong Ko mengawasi penunggang kuda itu, ternyata itulah Ce-cing-long Shin Hiat-ji. Dengan sebelah tangan memegang kendali, sebelah tangan anak Itu mengepit seorang gadis. Ditilik dari nada jeritannya tadi, pula dari bentuk tubuhnya, gadis itu tentulah Tio In adanya !

Mengapa Tio In dapat dilarikan pula oleh rombongan Hiat-ji, bukantah ia sudah dirampas balik oleh Tio Jiang dan dibawa Yan-chiu ke Lo-hu-san ? Untuk jelasnya baiklah kita mundur dulu pada kejadian dua hari berselang.

Pada malam itu Tio Jiang dan Yan-chiu segera lakukan pengejaran pada rombongan Sin Tok bertiga. Setelah kesusul, sepasang suami isteri itu segera mainkan pasangan ilmupedang to-hay-kiam-hwat dan hoan-kang- kiam-hwat. Yan-chiu memapas kaki belakang dari kuda Hiat-ji. Saking kagetnya Hiat-ji segera lempar karung yang berisi Tio In kebelakang, hingga hampir saja ujung pedang Yan-chiu mengenai puterinya seadiri. Syukurlah Tio Jiang dapat berlaku sebat untuk menyambar karung itu lalu loncat mundur jauh-jauh.

Adalah karena keayalan itu, sikaki satu dan kedua saudara Shin dapat keprak kudanya untuk lolos. Tio Jiang dapat menolong anaknya tapi tak berhasil menghadang ketiga musuhnya itu. Sebagaimana telah dipaparkan diatas, Yan-chiu segera bawa Tio In naik ke Lo-hu-san sedang Tio Jiang lalu mencari Tong Ko.

Kini diceritakan halnya sikaki satu setelah lolos jauh. Dia tak henti-hentinya sesalkan Hiat-ji mengapa dalam beberapa gebrak saja sudah lemparkan Tio In yang berarti kehilangan suatu umpan bagus untuk menjebak Tio Jiang datang kekota raja. Sebagai anak muda, darah Hiat-jipun panas. Apalagi sewaktu kecilnya dia telah memperoleh keajaiban (dipiara induk harimau), tenaganya besar dan dapat pula meyakinkan ilmu silat yang tinggi. Dengan memiliki andalan itu, dia memang tak memandang pada orang lain lagi. Disesali oleh sikaki satu, dia balas ketawa sinis, serunya mengejek : "Lo Sin, mengapa kau sendiri tak mau balik bertempur tapi sebaliknya lari tunggang langgang ?" Saking marahnya sikaki satu sampai tak dapat berkata apa-apa.

Kalau tidak dipisah oleh Soh-hunciang Shin Leng-siau mungkin dia sudah berkelahi dengan Hiat-ji. Tapi si Hiat- ji tetap tak marah, tawar-tawar saja dia berseru : "Aku tak percaya, hanya dikarenakan Siau-beng-siang Tio Jiang seorang saja, kita harus ramai-ramai menangkapnya. Oleh karena mereka sama berkumpul di Lo-hu-san, maka aku hendak pergi kesana seorang diri. Andaikata tak berhasil menangkap Tio Jiang, sekurang- kurangnya aku tentu berhasil menawan Tio In untuk mengganti kerugianmu."

Habis berkata itu, dia terus cemplak kudanya dilarikan sekeras-kera saya. Melihat adiknya hendak menerjang kubangan naga sarang harimau di Lo-hu-san, Shin Leng- siau buru-buru menyusul hendak mencegahnya. Juga Sin Tok teringat bahwa kaisar Kong Hi, sangat sayang sekali kepada anak luar biasa itu. Kalau sampai Hiat-ji mengalami apa-apa dan dia pulang seorang diri kekota raja, pasti sukarlah untuk memberikan pertanggungan jawab kepada kaisar. Apa boleh buat, diapun bergegas- gegas menyusulnya.

---odwkzo0otaho--- 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar