Heng Thian Siau To BAGIAN 05 : SI LIMBUNG DAN SI LINGLUNG

 
BAGIAN 05 : SI LIMBUNG DAN SI LINGLUNG

Sekarang marilah kita ikuti keadaan Tong Ko. Dikala tubuhnya melayang turun kelembah curam, dia sudah paserah nasib, sebab tentu mati. Tapi meluncur baru beberapa tombak kebawah, diantara halimun lebat yang menutup lembah itu terdengar ada dua orang tengah bertengkar mulut, saling memaki dengan keras. Kiranya tepat diatas sebuah batu raksasa yang menonjol dilamping gunung situ, terdapat dua orang tengah berkelahi. Yang satu seorang jangkung dan lawannya seorang kate.

Belum lagi Tong Ko dapat melihat dengan perdata, atau se-konyong2 dirasakannya ada suatu tenaga dahsyat, menyampok keatas, hingga membuat luncuran tubuhnya itu menjadi tercegah.

Ketika Tong Ko memperhatikannya, ternyata tenaga dahsyat Itu berasal dari sebuah hantaman yang dilancarkan oleh siraksasa.

"Apakah ajalku ini belum sampai?" pikir Tong Ko. Dan baru benaknya memikir begitu, atau sepasang kakinya terasa dicengkeram keras2 oleh tangan orang yang ternyata adalah sijangkung raksasa itu.

Batu besar itu tak kurang darI 5 tombak luasnya. Wut....., tiba2 sikate melesat kesamping seraya menggerutu: "Toa-ko-ji (anak gede), hem...., kau pintar mencari senjata ya? Serumpun janggutku yang panjang ini, bulan yang lalu telah kalah main. Kalau tidak, tentu akan kusuruhmu melihatnyal" Siraksasa itu menggeram, maju setindak dia hantamkan tubuh Tong Ko kearah sikate. Tong Ko tenangkan perasaannya dan mencuri lihat kearah sikate. Orang pendek Itu ternyata seorang tua, kepala gundul pelontos dan janggutpun tiada barang selembar rambut. Kalau bicara, mata dan hidungnya turut bergoyang naik turun, aneh dan lucu sekali tampaknya. Dia ternyata tak mau menghindar melainkan ulurkan tangannya untuk mencengkeram lengan Tong Ko lalu ditarik kebelakang se-kuat2nya.

Tong Ko segera rasakan ditarik oleh suatu tenaga dahsyat hingga lengannya serasa terlepas dari bahunya. Saking sakitnya, dia sampai mengucurkan keringat dingin. Dan lebih celakanya lagi siraksasa tadipun menarik lengannya (Tong Ko) yang satu kebelakang, jadi kini anak itu dibuat barang tarikan. Hampir saja tubuh Tong Ko robek dibuatnya.

"Hai......, kalian lepaskan dulu akul" teriaknya kebingungan. Rupanya kedua orang aneh itu sama terkesiap kaget hingga saling lepaskan cekalannya. Bum......, Tong Ko menggeIepar diatas batu, hampir sedikit saja dia menggelundung kebawah jurang lagi.

"Astagafirullah......., kiranya kau ini seorang manusia hidup, mengapa tak siang2 bersuara?" tanya sikate dan sijangkung dengan .serentak.

Tong Ko berbangkit dan kedua orang aneh itupun tertawa gelak2 melihatnya.

"Begitu meluncur tadi, kalian terus mementang lenganku, mana aku dapat bersuara lagi?" sahut Tong Ko. Sikate berjingkrak sampai beberapa kaki tingginya lalu ber-tepuk2 tangan, serunya: "Huh, toa-ko-ji, tadi sudah berjanji tak menggunakan senjata, mengapa kau gunakan anak itu sebagai senjata, kau kalah artinyal"

Siraksasa terbeliak kaget, walaupun tak terima tapi mulutnya tak dapat membela diri. Hanya selebar mukanya yang merah seperti kepiting direbus.

"Bah senjata Itu tiba dari langit, mungkin lo-thian- kong (Tuhan Allah) mau membantu aku, masa hal ini tak dianggap biji. Nah, akulah yang menangl" jawab si raksasa jangkung itu.

Mendengar kata2 mereka, tahulah Tong Ko bahwa kini dia sedang berhadapan dengan orang limbung dan orang linglung!

"Toa-ko-ji, jangan ribut2. Kau bilang aku yang kalah dan aku kata kau yang keok. Baik kita cari juri yang bisa bicara adil!" seru sikate.

"Bagus!" sahut sijangkung, tapi pada lain saat dia tampak kerutkan alis, ujarnya: "tetapi tempat  ini ditengah awang2, tidak dilangit bukan ditanah, bagaimana akan mencari juri?"

Sikate tertawa mengekeh lalu menuding pada Tong Ko: "Apa dia bukan?"

Tong Ko terkesiap kaget, dilihatnya mulut sikate itu menyeringai men-desis2 sepertI tikus mencicit, namun dengan jelas sekali telinganya dapat mendengar setiap patah yang diucapkan. "Buyung, cukup sepatah kau katakan aku yang menang, nanti kuberi suatu kebaikan yang besar sekali kepadamu." Sekalipun kepandaian Tong Ko itu dangkal, tapi pengalamannya cukup luas. Dilihatnya sijangkung tadi masih ter-longong2 disamping, jadi terang kalau kata2 sikate tadi hanya dia sendiri yang dapat mendengarnya, amboi, suatu ilmu lwekang coan-im-jipti (menyusupkan suara) yang tiada taranya. Tapi dia heran memikirkan, mengapa seorang tua yang sedemikian lihaynya, kok limbung tak keruan begitu? Masakan dia disuruh jadi juri tapi dlsuruh mengatakan dia yang menang!

Ya, mengapa kedua orang tak genah itu gasak2an? Dan siapakah mereka itu? Tong Ko tak mau sembarangan memberi penyahutan, karena dia merasa namanya sudah jatuh. Tapi sebaliknya sikate itu menunjukkan muka setan kepadanya, sikapnya berseri2 kegirangan. Baru Tong Ko hendak membuka mulut menyatakan keberatan, siraksasa sudah ulurkan tangan untuk memijat bahunya, hingga Tong Ko gentayangan ngerusuk kedekatnya. Kiranya siraksasa itupun membisiki kedekat telinganya: "Siaoko, jangan se-kali2 kau katakan dia menang! Awas, nanti kulempar tubuhmu kebawah lembah supaya hancur lebur! Ketahuilah, sikate itu tak dapat menangkan aku, tak usah kau membantunya!"

Setelah itu, kembali sikate menyentakkan Tong Ko kearahnya dan membisiki supaia mengatakan sijangkung itu yang kalah. Benar2 Tong. Ko serba sulit kedudukannya. Hendak mengatakan bagaimana dia nantI? Apabila sijangkung telah melepaskan cekalannya, maka kedua orang limbung itu serentak berseru: "Buyung, katakanlah lekasl"

Diam2 Tong Ko menarik kesimpulan bahwa kedua orang itu tentulah bukan orang baik, mereka tentu tak mau kalah satu sama lain. Tapi menilik kedua orang itu limbung semua, jadi tentulah tak dapat diajak bicara genah. Tiba2 timbullah akal pada Tong Ko. Lebih dahulu dia menyorong kedekat siraksasa dan berkata: "Sudah tentu kaulah yang menang"

Saking girangnya sijangkung raksasa itu me-lonjak2, sampai Tong Ko cemas sendiri melihatnya jangan2 nanti tergelincir kebawah lembah. Tampak mata sikate terbelalak, buru2 Tong Ko menghampiri dan berbisik pe- lahan2: "Lo-cianpwe kau menangi Si jangkung itu bukan tandinganmul"

Menjeritlah mulut sikate "buyung yang baik", dan lalu me-nari2. Keduanya tak mengerti apa yang dikatakan Tong Ko kepada. masing2 orang, tapi mereka sama menganggap dirinyalah yang menang. Kala Tong Ko masih heran memikirkan kelakuan aneh dari kedua orang itu, tiba2 kedua belah lengannya terasa ditarik kencang. Hal, celaka! Kiranya dia akan dibuat tarikan lagi oleh kedua orang limbung itu. Sudah tentu kejutnya bukan alang kepalang. Tapi belum lagi dia membuka mulut mencegahnya, kedua orang itu terdengar berseru: "Kau benar2 seorang anak yang baik!"

Berbareng pada saat itu, telapak tangan kiri dan kanan, digenggam oleh tangan sikate dan suatu aliran hawa hangat, menyalur dari telapak tangan keseluruh tubuhnya. Dari takut Tong Kong berbalik menjadi kegirangan luar biasa. Terang kalau sikate itu telah memberi saluran lwekang untuk  memperkuat lwekangnya (Tong Ko). Cara bantuan macam itu, memang lekas sekali dapat memperkokoh yang menerima tapi sebaliknya merugikan lwekang orang yang memberinya. Menilik kelihayan sikate itu, buru2 Tong Ko pusatkan semangatnya untuk menyalurkan hawa didalam tubuhnya.

Dengan gembira ria berkatalah sikate kepada sijangkung: '"Toa-ko-ji, ayuh kita bertanding lagi, siapakah yang dapat membikin tenaga anak ini maju pesat dalam waktu yang singkat? Kau tentu tak mampu, lekas lepaskan tanganmu!"

Siraksasa jangkung keruntukan kening, serunya: "Bah, bagaimana kau tahu aku tak mampu?l"

Dilihatinya luka pada jari kelingking kiri Tong Ko dan berserulah  si  jangkung  itu  dengan  kegirangan:  "Ho. ,

ho......, tak mampu?" Tiba2 digigitnya sendiri ujung kelingkingnya,  lalu  kelingking  itu  ditusukkan  pada luka

dijari Tong Ko. Aduh mah, sakitnya jangan dikata lagi. Peluh didahi Tong Ko sampai meng-anak sungai bercucuran.

"Siauko, jangan takut sakit. Sewaktu kecil aku pernah makan darah ikan kakap berumur ratusan sehingga tenagaku luar biasa kuatnya. Kebetulan kau mempunyai luka dan akan kuberikan sedikit darahku, tentu tenagamu akan istimewa juga!" kata sijangkung.

Kembali Tong Ko terperanjat girang, ikan kakap berumur ratusan adalah binatang yang jarang terdapat. Kalau toa-ko-ji itu pernah meminum darahnya dan ditambah pula dengan ber-tahun2 meyakinkan lwekang, wah dia (Tong Ko) tentu akan mendapat manfaat yang hebat sekali. Rasanya lebih hebat dari minum segala macam obat kuat atau pil dewa.

Pernah dia mendengar tentang seorang tokoh dalam dunia persilatan daerah Hokkian, dia seorang bernama Ciang Tay-lo, bergelar Soa-kim-kong (malaekat dungu). Dia pernah mengikut Coxinga (The Seng Kong) melawan pemerintah Ceng. Dengan menghancurkan pertahanan musuh disungai Tiangkang, dia terus memimpin anak buahnya maju sampai ke Tinkang, sehingga membuat pemerintah Ceng kelabakan. Tapi akhirnya terpaksa mundur ke Taiwan dan entah bagaimana kabar ceritanya Iebih jauh.

Kalau menilik dia itu menggunakan logat Hokkian, jangan2 itu si Soa-kim-konglahl

"Adakah ciangpwe ini seperti yang digelari orang sebagai Soa-kim-kong Ciang Tay-lo?" tanyanya ter-sipu2.

Siraksasa deliki mata kepada sikate, serunya: "Kate, benar tidak kataku? Bocah semacam diapun kenal juga namaku, apa katamu lagi?"

Sikate pelembungan pipinya lalu menyembur kata2 nyaring kepada Tong Ko: "Hoi, lekas katakan, siapa aku ini?"

Oleh karena Tong Ko tak pernah mendengar orang persilatan bercerita tentang seorang tokoh  yang bertubuh kate, maka diapun tak dapat menyahut. Ujung batok kepala sikate mengeluarkan keringat" lalu dengan ilmu "coan-im-jip-bi", dia kisiki telinga Tong Ko: "Buyung, aku ini adalah Sik Lo-sam yang termasyhur, tingkatanku sejajar dengan guru dari kim-kong tolol itu. Huh, baru saja kukehilangan janggut, kau sudah tak mengenali lagi?" .

"Ai, kiranya kau ini adalah Sik Lo-sam Sik locianpwe yang namanya termasyhur itul" terpaksa Tong Ko berseru, namun tak mau dia menambahkan komentar "sejajar dengan suhu dari soa-kimkong"

"Ho, bocah gede, apa katamu?" tanya sikate kepada si raksasa. Yang belakangan ini tak dapat menyahut apa2 lagi.

Dalam pada itu Tong Ko rasakan separoh badannya yang sebelah kanan dan separoh yang sebelah kiri, berlainan: Hawa tun-yang (positip murni) yang disalurkan Sik Lo-sam melalui tangannya kanan, mengalir dengan derasnya ketubuh. Tapi biar bagaimana juga tak dapat mengalir keseparoh tubuhnya sebelah kiri. Jadi serasa tubuh Tong Ko itu dibelah dua dan jadilah dia dua macam manusia. Sebelah kiri darahnya panas, kekuatannya besar sekali. Hawa yang terputar pada bagian tubuh sebelah itu, merupakan dasar lwekang yang berlainan dari tubuh sebelah kanan. Dua macam lwekang "memasak" tubuh Tong Ko, sehingga dia sendiri tak tahu bakal celakakah atau untungkah? Apa boleh buat, dia hanya paserah nasib saja!

Tak berapa lama kemudian, walaupun ujung kelingking si Soakim-kong itu masih melekat pada luka kelingking Tong Ko, namun sudah tak mengeluarkan darah lagi. Seperti Sik Lo-sam, orang limbung yang bertubuh tinggi besar itu menyalurkan Iwekangnya kepada Tong Ko. Dua2nya sama ngotot tak mau sudah. Haripun sudah menjelang petang. Jadi dalam setengah harian itu, Tong Ko telah menerima "bantuan"  yang besar sekali. Kalau saja bermula dia sudah mempunyai dasar Iwekang, dia tentu bagaikan seekor ikan yang mendapat air. Sayangnya dia berkepandaian dangkal, jadi lama kelamaan tak tahan menerimanya. "Ji-wi, harap lepaskanl" serunya dengan gugup.

Sungguhpun kedua orang itu limbung pikirannia, tapi dalam soal kepandaian mereka adalah tergolong tokoh kelas utama. Mereka segera lepaskan cekalannya. Tong Ko lalu duduk bersila diatas permukaan batu itu untuk meyakinkan lwekangnya. Kini benar2 dia rasakan didalam tubuhnya itu terdapat dua macam lwekang, begitu pula tenaganyapun seperti terpecah menjadi dua. Yang satu berpusat disebelah kiri dan yang lain disebelah kanan. Sekalipun dapat digunakan berbareng, tapi dua2nya mempunyai daya guna berlainan,

Tong Ko kaget tercampur girang. Kaget, karena memikirkan adakah keadaan itu bakal berlangsung terus. Kelak apabila dalam latihan, tidaklah kedua macam lwekang itu kan berbenturan sendiri? Girang, sebab ilmu kepandaian yang sedemikian luar biasanya itu, rasanya dikolong langit ini hanya dia seorang yang memiliki. Kalau saja hal itu tak menjadi halangan dan dapat dilatih dengan sempurna bukantah akan merupakan suatu keistimewaan besar?

Dia lanjuntukan latihannya itu sampal semalam suntuk. Keesokan harinya tatkala mataharai terbit, dilihatnya Sik Lo-sam dan Soa kim-kong masih saling pencelengan (saling deliki mata). Wajah mereka saling mengunjuk sikap tak mau kalah. Begitu melihat Tong Ko membuka mata, serempak mereka bertanya: "Siapakah yang lwekangnya lebih jempol?"

Dikarenakan kedua orang limbung itu saling mengukur kepandaian, jadi dia bisa mendapat keuntungangan yang sedemikian bagusnya. Hal itu sungguh jarang terdapat didunia. Memikir sampai disitu, tak mau Tong Ko mempermainkan mereka lagi, katanya:

"Oleh karena sekarang belum dapat diketahui siapa kalah siapa menang, lebih baik diundur sampai setahun lagi, nanti kita bertiga berjumpa lagi disini. Aku tentu akan mengatakan yang se-adil2nya!"

"Tidak, kalau sampai waktunya kau tidak datang, kan berabe! Kalau sekarang kau tak dapat mengatakan, kita akan tunggui kau diatas batu ini sampal setahun untuk menungkuli kau berlatih selama satu tahun!"

Tong Ko terkesiap. Setelah dapat kembali dari maut, telah berapa banyak hal yang hendak dia kerjakan. Satu tahun di "simpan", disitu, aduh mak, sakit rasanya. Tapi menilik kesungguhan kata sikate tadi, dia tak berani membantah.

---oo^dwkz0tah^oo--- 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar